1 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sudah enam puluh enam tahun merdeka, sampai sekarang Indonesia masih
berstatus sebagai negara berkembang. Bangsa Indonesia belum mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaannya, yakni menjadi bangsa yang maju, adilmakmur, dan berdaulat. Permasalahan mendasar yang sampai sekarang masih dihadapi bangsa Indonesia adalah masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, rendahnya daya saing ekonomi dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia), dan kesenjangan pendapatan antara kelompok kaya dengan masyarakat miskin. Pada 1990-an ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata sekitar 7 persen – 8 persen per tahun. Kemudian, pada 2009 pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 4,3 persen, pada 2010 meningkat menjadi 6,3 persen, dan pada 2011 meningkat lagi menjadi 6,5 persen (Kemenkeu, 2010). Namun, pertumbuhan ekonomi sebesar 4,3 sampai 6,5 persen itu ditenggarai kurang berkualitas (kurang banyak menyerap tenaga kerja), karena sebagian besar pertumbuhan itu bertumpu pada sektor konsumsi, keuangan, dan sektor non-tradable. Akibatnya, angka pengangguran dan kemiskinan pun sampai sekarang tetap tinggi. Pada Agustus tahun 2010 angka pengangguran 8,32 juta orang. Jika setengah penganggur (mereka yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu) dimasukkan, maka angka pengangguran pada 2010 mencapai 39 juta orang atau sekitar 30 persen dari total angkatan kerja (120 juta orang). Demikian juga halnya dengan jumlah penduduk miskin, yang semakin bertambah dari 17 juta orang pada 1997 menjadi 34, 2 juta orang pada 2009 dan 31,2 juta pada 2011 (Samhadi, 2006; BPS, 2009; BPS, 2011). Oleh karenanya, setiap komponen bangsa atau sektor pembangunan harus membantu memecahkan sejumlah permasalahan bangsa tersebut dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata diatas 7 persen per tahun) dan berkualitas untuk menciptakan lapangan kerja dan mensejahterakan rakyat secara berkelanjutan (sustainable).
Selain itu, pertumbuhan ekonomi
2
tersebut haruslah didistribusikan secara adil kepada semua rakyat dan ke seluruh wilyah Indonesia. Sumberdaya alam (SDA) yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan memiliki potensi yang sangat besar untuk berperan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan keunggulan kompetitif (competitive advantage) bangsa Indonesia. Hal ini berdasarkan pada tiga alasan utama. Pertama adalah fakta fisik-geografis, bahwa Indonesia merupakan negara maritim dan kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia dengan lebih dari 17.500 pulau, dikelilingi oleh 95.181 km garis pantai (terpanjang kedua setelah Kanada), dan tiga perempat wilayahnya (5,8 juta km2) termasuk ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) berupa laut. Lebih dari itu, wilayah pesisir dan lautan Indonesia mengandung potensi SDA yang besar dan beragam yang meliputi: (1) SDA terbarukan (renewable resources) seperti hutan mangrove, terumbu karang, perikanan, dan bahan dasar industri bioteknologi; (2) SDA tak terbarukan (non-renewable resources) termasuk antara lain minyak dan gas bumi, bijih besi, bauksit, timah, mangan, dan mineral lainnya; (3) energi kelautan berupa energi pasang-surut, arus laut, gelombang, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion); dan (4) jasa-jasa lingkungan kelautan (marine environmental services), terutama fungsi laut sebagai media transportasi dan komunikasi, sebagai kawasan untuk rekreasi dan pariwisata, penetralisir limbah (waste assimilator), dan sebagai pengatur iklim global (Dahuri, 2003a; Dahuri, 2003b; dan Dahuri, 2004). Potensi SDA yang melimpah tersebut dapat ditransformasi menjadi sumber kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui paling sedikit sebelas sektor pembangunan (ekonomi), yaitu: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) perhubungan laut, (8) industri dan jasa maritim, (9) sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil, (10) hutan pesisir (coastal forest) seperti mangroves, dan (11) SDA non-konvensional (nonconventional resources) (Dahuri, 2005b).
Potensi ekonomi dari perikanan
tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, dan industri bioteknologi saja diperkirakan sebesar US$ 82 milyar per tahun (Dahuri, 2000 dan Dahuri, 2003a).
3
Namun sangat disayangkan, pemanfaatan sumberdaya kelautan di Indonesia sampai saat ini masih jauh dari optimal. Kontribusi tujuh sektor pembangunan ekonomi kelatuan (diluar industri bioteknologi, pulau-pulau kecil, dan SDA nonkonvensional) terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) baru mencapai 22,63 persen (Bappenas, 2004) dan 3,14 persen pada 2010 (KKP, 2010). Padahal Negara-negara lain yang memiliki potensi ekonomi jauh lebih kecil dari pada Indonesia, seperti Islandia, Norwegia, Jepang, RRC, Korea Selatan, dan Thailand, kontribusi sektor kelautannya terhadap PDB rata-rata sudah lebih dari 40 persen (Dahuri, 2003a). Ini berarti peluang pengembangan ekonomi kelautan masih terbuka lebar. Kedua bahwa seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk Indonesia maupun dunia, maka permintaan terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan akan terus meningkat, terutama untuk produk perikanan dan bioteknologi, energi dan sumberdaya mineral (ESDM), perhubungan laut, dan pariwisata bahari. Hal ini juga ditunjang oleh kenyataan bahwa SDA di darat (pertanian, kehutanan, dan pertambangan) semakin menipis (depleted) atau sukar untuk dikembangkan. Ketiga bahwa dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari poros Atlantik ke kawasan Asia-Pasific sejak akhir abad-20, maka posisi strategis Indonesia yang diapit oleh dua Benua (Asia dan Australia) dan oleh dua Samudera (Pasifik dan Hindia) akan menempatkan sektor-sektor kelautan menjadi lebih strategis bagi Indonesia. Hal ini didukung oleh fakta, bahwa hampir 70 persen dari total perdagangan dunia berlangsung diantara Negara-negara di Asia-Pasifik. Lebih dari 75 persen dari barang-barang yang diperdagangkannya ditransfortasikan melalui laut, terutama melalui Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar, dan laut-laut Indonesia lainnya, dengan nilai sekitar US$ 1.500 triliun setiap tahunnya (UNCTAD, 2009). Permasalahannya adalah bahwa selain kontribusi ekonomi sektor kelautan yang masih relatif kecil, sebagian besar masyarakat pesisir (terutama nelayan) masih hidup dalam kemiskinan. Simatupang, et al. (1990), menyatakan bahwa pada tahun 1985 ketika pendapatan per kapita Indonesia sebesar Rp 588.000, kelompok nelayan pemilik modal memiliki pendapatan Rp 560.000, lebih rendah
4
dari pendapatan per kapita nasional.
Selanjutnya Sitorus, et al. (1992)
menyatakan bahwa jika dibandingkan antara desa lahan kering dengan desa pantai dengan mata pencaharian pokok sebagai nelayan, maka masalah kemiskinan yang dihadapi nelayan lebih parah. Kusnadi (2004) mengatakan dari 67.439 desa di Indonesia, kurang lebih 9.261 desa dikategorikan sebagai desa pesisir dan sebagian besar penduduknya miskin. Lebih lanjut disebutkan kemiskinan dan masalah kesulitan hidup lainnya merupakan masalah krusial yang selalu dihadapi oleh komunitas nelayan, khususnya nelayan-nelayan kecil atau nelayan tradisional. Saad (2006) menyatakan bahwa pada 2006 tercatat 32 persen dari 16,42 juta jiwa masyarakat pesisir hidup di bawah garis kemiskinan. Saat ini jumlah nelayan miskin tercatat 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari jumlah penduduk miskin nasional (KKP, 2011). Dalam perspektif pembangunan berkelanjutan (sustainable development), permasalahan kemiskinan nelayan yang merupakan salah satu kelompok masyarakat termiskin di Indonesia harus segera diatasi. Karena, selain kesejahteraan merupakan hak azasi manusia, kemiskinan juga merupakan akibat sekaligus penyebab dari kerusakan lingkungan dan SDA (termasuk perikanan) yang pada gilirannya mengancam keberlanjutan pembangunan dan kesejahteraan rakyat itu sendiri. Sejak zaman Orde Baru sebenarnya sudah banyak penelitian, analisis kebijakan dan program yang dimaksudkan untuk menanggulangi kemiskinan nelayan. Pada awal tahun 1980-an, kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan yang dikenal dengan program motorisasi perahu dan modernisasi peralatan tangkap telah berlangsung. Kebijakan modernisasi peralatan tangkap secara umum telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi hasil tangkap. Namun demikian, pengenalan teknologi penangkapan yang semakin modern kepada nelayan tidak disertai dengan sosialisasi pemahaman yang baik terhadap lingkungan kelautan. Ketika dihubungkan dengan kondisi nelayan yang tidak semuanya memiliki kemampuan untuk mengadopsi sistem teknologi modern, modernisasi peralatan tangkap justru membuka peluang terjadinya kemiskinan struktural dikalangan nelayan. Kebijakan ini dirasakan oleh nelayan bersifat parsial dan tidak berdasarkan
5
analisis permasalahan yang tepat, sehingga tidak mencerminkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat. Kebijakan yang dibuat cenderung didesain oleh pemerintah dengan pola seragam dan bersifat instruksi dari atas. Kebijakan ini telah menimbulkan dampak lanjutan berupa konflik antar kelompok nelayan, kesenjangan sosial, eksploitasi sumberdaya perikanan secara berlebihan, dan pada akhirnya berujung pada kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Sebagai contoh di Situbondo, sejak dioperasikannya peralatan tangkap purse seine pada tahun 1990 tingkat kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi di kalangan nelayan mulai melebar.
Kesenjangan ini terjadi antara nelayan
tradisional dengan nelayan modern yang memiliki peralatan tangkap lebih canggih.
Tidak terkontrolnya penggunaan peralatan tangkap selama ini telah
mendorong timbulnya situasi overfishing yang bisa mengancam kelestarian stok ikan.
Gejala ini memberikan indikasi kuat bahwa kebijakan modernisasi
perikanan hanya menguntungkan sekelompok kecil nelayan yang memiliki kemampuan ekonomis dan politis. Padahal, sebelum adanya kebijakan motorisasi perahu dan modernisasi peralatan tangkap, nelayan Situbondo khususnya nelayan tradisional, menangkap ikan cukup di pinggiran pantai, dengan tingkat penghasilan yang memadai. Kebijakan pembangunan Orde Baru sangat berkiblat ke daratan, dan tidak memihak ke laut. Hal ini membuat masyarakat kurang peduli terhadap sumberdaya kelautan dan berbagai hal yang terkait dengan laut. Potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang sangat besar, tidak dilihat sebagai potensi andal yang menjadi dasar kebijakan pembangunan. Upaya penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan selama tiga dekade ini, terdapat beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi secara mendasar. Kelemahan tersebut antara lain: (1) masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro, (2) kebijakan yang terpusat, (3) memposisikan masyarakat nelayan sebagai obyek, (4) cara pandang tentang kemiskinan yang berorientasi pada ekonomi, (5) asumsi permasalahan dan penanggulangan kemiskinan yang sering dipandang sama. Mengingat kompleksitas dan keragaman dari dimensi-dimensi kemiskinan yang begitu tinggi, maka penyebab kemiskinan di suatu daerah dengan daerah lainnya bisa sangat berbeda, baik pada tingkat rumah tangga maupun individu.
6
Pendapatan nelayan yang merupakan variable utama bagi kesejahteraan nelayan ditentukan oleh ketersedian stok ikan di ekosistem perairan laut, tekonologi penangkapan yang mereka gunakan, harga jual hasil tangkapan, dan biaya (cost) untuk menangkap ikan di laut. Dari keempat variable tersebut, jelas bahwa kesejahteraan atau tingkat kemiskinan nelayan dipengaruhi bukan hanya oleh kondisi bio-ekologis dari ekosistem laut, tetapi juga oleh kondisi sosial-ekonomi dan budaya dari nelayan itu sendiri, baik sebagai individu maupun dalam masyarakat. Wilayah pesisir Kabupaten Cirebon merupakan salah satu kawasan pemukiman nelayan yang terpadat di Indonesia. Dengan demikian, bila hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar dalam penyusunan dan implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan nelayan, kemudian berhasil, maka untuk daerah-daerah lainnya yang memiliki tipologi biofisik dan sosial-ekonomi serta budaya yang serupa, pendekatan penelitian ini dapat diterapkan atau direplikasi dengan beberapa penyesuaian (adjustments) sesuai keperluan. Sampai sekarang masih sangat sedikit informasi yang berkaitan dengan permasalahan kemiskinan nelayan di Indonesia. Informasi yang ada hanya bersifat agregat, terlalu umum, dan tidak menyentuh akar permasalahan (root causes) dari kemiskinan nelayan itu sendiri. Oleh karena itu, sesuatu yang baru dari disertasi ini adalah analisis komprehensif dan mendalam dari faktor-faktor penyebab kemiskinan. Penentuan status pemanfaatan sumberdaya ikan menurut jenis alat tangkap, zona penangkapan dan jenis ikannya. Dengan demikian, hasil temuan disertasi ini diharapkan dapat dijadikan masukan utama dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan nelayan secara tepat dan benar. 1.2
Perumusan Masalah Nelayan
merupakan
kelompok
masyarakat
pesisir
yang
mata
pencahariannya sebagian besar bersumber dari aktivitas menangkap ikan dan mengumpulkan hasil laut lainnya. Mereka hidup di kawasan pesisir dan sangat dipengaruhi oleh kondisi dan dinamika alam seperti angin, gelombang, arus laut, dan ketersediaan stok ikan yang bersifat musiman, sehingga aktivitas
7
penangkapan ikan tidak berlangsung sepanjang tahun. Pada waktu tidak melaut, biasanya istri dan anak-anak nelayan buruh (ABK, Anak Buah Kapal) harus berjuang mencari nafkah untuk mendapatkan penghasilan guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Kadangkala mereka harus berutang pada pemilik kapal ikan (juragan) atau pengepul. Utang akan dibayar saat kondisi alam membaik dan hasil tangkapan ikan banyak. Pada saat ini nelayan harus menjual hasil tangkapannya kepada juragan atau pengepul dengan harga ditentukan oleh juragan atau pengepul tersebut. Nelayan sangat terikat dengan pekerjaan menangkap ikan di laut, dan karakteristik pekerjaan sebagai nelayan membatasi aktivitas mereka ke sektor lain, sehingga mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran rumah tangganya. Kemiskinan yang melanda kehidupan nelayan tidak hanya berkaitan dengan kondisi alam. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan dalam kehidupan masyarakat nelayan. Overeksploitasi sumberdaya ikan, kerusakan lingkungan pesisir, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, terbatasnya akses kepada sumber modal dan aset ekonomi produktif lainnya, gaya hidup yang boros atau kurang suka menabung, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, dan lemahnya penegakan hukum merupakan sejumlah faktor yang dapat menyebabkan kemiskinan nelayan. Pengamat teori modernisasi menggunakan pendekatan internal atau kultural dalam menganalisis penyebab kemiskinan.
Mereka berpendapat bahwa
keterbelakangan dan kemiskinan yang terjadi pada masyarakat di negara-negara dunia ketiga disebabkan oleh berbagai faktor internal yang bersumber dari nilainilai budaya tradisional yang dianut masyarakat itu sendiri. Penganut teori modernisasi berpendapat bahwa budaya tradisional menjadi faktor utama yang menyebabkan keterbelakangan dan kemiskinan di negara-negara dunia ketiga. Sedangkan penganut teori strukturalis dan ketergantungan menggunakan pendekatan eksternal atau struktural dalam memahami fenomena kemiskinan. Mereka melihat bahwa kemiskinan pada masyarakat negara-negara dunia ketiga disebabkan oleh tindakan eksploitatif terhadap sumberdaya ekonomi yang dilakukan negara maju, yang mengakibatkan negara-negara dunia ketiga mengalami kemunduran dalam segala bidang. Sebagai contoh Chili dan Brazil yang awalnya merupakan negara kaya, tetapi akibat negara-negara maju
8
mengambil alih surplus ekonominya, maka kedua negara tersebut mengalami keterbelakangan dan kemiskinan. Damanhuri (1996), memberikan dua catatan penting tentang terjadinya kemiskinan struktural, yaitu: (1) korban pembangunan, contohnya penggusuran karena pembangunan lapangan golf dan real estate seperti yang terjadi di kawasan Pantai Indah Kapuk; dan (2) golongan tertentu tidak memiliki akses terhadap kegiatan ekonomi produktif akibat pola institusional yang diberlakukan. Berdasarkan hal tersebut diatas dikenal 3 (tiga) kelompok penyebab kemiskinan yaitu: (1) kemiskinan alamiah, kemiskinan yang terjadi karena faktor alam seperti kondisi habitat, stok ikan, dan tingkat pencemaran; (2) kemiskinan kultural, kemiskinan yang terjadi akibat kebiasaan atau perilaku malas, boros, konsumtif, cepat puas diri dan susah menerima inovasi; (3) kemiskinan struktural, kemiskinan
yang
disebabkan
oleh
faktor
eksternal
seperti
kebijakan
pembangunan, infrastruktur, modal, teknologi, sistem bagi hasil, dan pasar; (Gambar 1). Ekosistem Pesisir dan Lautan
Sistem Sosial ekologis Pesisir Tata Kelola Pesisir
Sistem Masyarakat Pesisir
Kemiskinan Nelayan
Kemiskinan Alamiah
Kemiskinan Kultural
Kemiskinan Struktural
Analisis Faktor Utama Kemiskinan nelayan
Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Nelayan
Gambar 1 Kerangka Perumusan Masalah.
9
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan hidup nelayan. Sejak tahun 1974 pemerintah telah mengeluarkan program bantuan kredit kepada nelayan, seperti Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), dan Kredit BIMAS. Sekalipun demikian, paket bantuan kredit tersebut belum mampu mengatasi kesulitan sosial-ekonomi masyarakat nelayan (Kusnadi, 2002). Lebih lanjut disebutkan bahwa studi-studi tentang kemiskinan mengidentifikasi, bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat nelayan secara dominan disebabkan oleh dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan yang dikenal dengan program motorisasi perahu dan modernisasi peralatan tangkap telah mendorong proses eksploitasi sumberdaya perikanan secara intensif. Dampak lanjutan dari proses ini adalah timbulnya kelangkaan sumberdaya perikanan, konflik antar kolompok nelayan, kesenjangan sosial, kerusakan ekosistem pesisir dan lautan serta meluasnya kemiskinan. Penelitian Emerson (1979), di pantai utara Jawa Tengah yang mencakup daerah Pati, Jepara, Rembang, dan Demak mengungkapkan, bahwa tidak ada perubahan kehidupan nelayan tradisional semejak berlakunya kebijakan modernisasi penangkapan ikan. Mubyarto, et al. (1984), meneliti di dua desa pantai Kabupaten Jepara Jawa Tengah mengungkapkan bahwa beroperasinya kapal-kapal penangkapan ikan modern di daerah tersebut menyebabkan penurunan jumlah pendapatan dan hasil tangkapan nelayan tradisional dalam kurun waktu tahun 1973 – 1977 sebesar 58%.
Bailey (1988) dalam Tindjabate (2001), juga mengungkapkan bahwa
kebijakan pemerintah Indonesia pada sub sektor perikanan laut yang menekankan pada peningkatan produksi mengakibatkan terjadinya overfishing. Hal ini mengakibatkan berkurangnya sumber matapencaharian nelayan - nelayan tradisional sehingga akibatnya masyarakat nelayan tradisional merupakan masyarakat yang termiskin diantara golongan masyarakat miskin di Indonesia. Tindjabate (2001), yang meneliti kemiskinan nelayan di Sulawesi Tengah menyimpulkan bahwa proses pemiskinan terhadap nelayan tradisional adalah akibat kuatnya tekanan-tekanan struktural yang bersumber dari kebijakan pemerintah Indonesia dalam bidang perikanan laut yang dijalankan pemerintah
10
daerah Kabupaten Poso. Jadi jelas kebijakan dan program pembangunan selama ini belum mampu secara tuntas mengatasi kemiskinan nelayan. Oleh karena itu, identifikasi faktor-faktor penyebab timbulnya masalah kemiskinan di kalangan nelayan secara komprehensif sangat penting dilakukan. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka pertanyaan penelitian yang menjadi dasar penelitian ini adalah sebegai berikut : 1) Apakah status sumberdaya ikan di wilayah perairan laut Kabupaten Cirebon yang selama ini menjadi lokasi kegiatan penangkapan ikan (fishing grounds) masih belum dimanfaatkan secara penuh atau optimial (underfishing), sudah dimanfaatkan secara penuh (fully exploited), atau bahkan sudah mengalami kelebihan tangkap (overfishing) ? 2) Faktor-faktor penyebab mana saja yang menyebabkan kemiskinan nelayan atau tingkat kesejahteraan nelayan ? 3) Bagaimana kebijakan dan strategi penanggulangan kemiskinan berdasarkan hasil penelitian lapang ? 1.3
Hipotesis
1) Kemiskinan nelayan dipengaruhi oleh faktor-faktor alamiah, kultural, dan faktor-faktor struktural. 2) Pada kondisi status pemanfaatan sumberdaya ikan yang sudah mengalami lebih tangkap (overfishing), maka penyebab utama atau faktor yang paling dominan membentuk kemiskinan nelayan adalah faktor alamiah. 1.4
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka penelitian ini
bertujuan: 1) Menentukan status pemanfaatan sumberdaya ikan wilayah perairan laut yang selama ini menjadi lokasi penangkapan ikan para nelayan Kabupaten Cirebon. 2) Mengidentifikasi mempengaruhi
faktor-faktor tingkat
yang
kesejahteraan
menyebabkan nelayan,
dan
kemiskinan
atau
mengidentifikasi
keterkaitan antara faktor-faktor tersebut dengan kemiskinan nelayan di Kabupaten Cirebon.
11
3) Menyusun alternatif kebijakan dan strategi penanggulangan kemiskinan yang tepat dan benar berdasarkan informasi dan hasil penelitian lapang. 1.5
Manfaat Penelitian
1) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan nelayan. 2) Sebagai sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. 3) Sebagai bahan rujukan (pembanding) untuk penelitian selanjutnya.