1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alongi et al. (1993) dan Alongi (1996) mengemukakan bahwa ekosistem mangrove merupakan daerah hutan pantai yang produktif, asosiasi rantai makan dan siklus nutriennya berhubungan erat dengan perairan pantai sekitarnya. Hutan ini dapat dianggap sebagai penghubung antara eksosistem darat dan ekosistem laut (Holmer dan Annemarie 2002). Fungsi ekologis terpenting dari hutan mangrove adalah dalam siklus nutrien dan aliran energi, dimana mangrove merupakan penghasil serasah yaitu materi organik yang telah mati yang terdapat di lantai hutan yang tersusun atas tumbuhan mati. Daun mangrove yang gugur sebagai serasah memegang peran penting dan merupakan sumber nutrisi sebagai awal rantai makanan.
Pada ekosistem
mangrove, rantai makanan yang terjadi adalah rantai makanan detritus. Daun mangrove merupakan bagian terbesar dari produksi primer serasah yang tersedia untuk konsumen dan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap rantai makanan dan sumberdaya perikanan di pesisir (Lee 1995; Ananda et al. 2007; Berg dan McClaugherty 2008). Parameter fisika-kimia air dan substrat di ekosistem mangrove juga mempengaruhi pengaturan hara secara umum (Clough et al. 1983; Boto dan Wellington 1984). Serasah mangrove yang jatuh di perairan didekomposisi oleh mikroorganisme dan selanjutnya akan melepaskan zat hara (nutrient), dan sebagian lagi tersisa berupa partikel serasah atau detritus. Detritus inilah yang dimanfaatkan oleh berbagai juvenile ikan, udang dan kepiting serta kerang sebagai sumber makanan dan energi (Bengen 2000; Bengen dan Dutton 2004). Sumber utama detritus diperoleh dari guguran daun mangrove yang jatuh ke perairan kemudian mengalami penguraian dan berubah menjadi partikel kecil yang dilakukan oleh mikroorganisme seperti bakteri dan jamur. Hancuran bahan organik (detritus) ini menjadi bahan makanan penting (nutrien) bagi cacing, crustaceae, moluska dan hewan lainnya. Detritus berfungsi sebagai sumber nutrisi dan merupakan dasar dari jaring makanan yang luas untuk organisme perairan yang memiliki nilai komersil.
Laegdsgaard dan Johnson (2001) mengemukakan bahwa ada tiga dugaan utama yang menyebabkan ekosistem mangrove dijadikan sebagai habitat, yaitu : (1) ikan tertarik karena keragaman struktur ekosistem mangrove, (2) sedikitnya jumlah predator karena kompleksitas struktur ekosistemnya tinggi (seperti kerapatan vegetasi), dan (3) ketersediaan makanan di ekosistem mangrove lebih banyak dibandingkan ekosistem lainnya. Wada (1999) mengemukakan bahwa sekitar 90 % jenis ikan laut daerah tropis menghabiskan masa hidupnya paling tidak satu fase dalam daur hidupnya di daerah pesisir berhutan. Ikan muda sering menempati ekosistem mangrove sebagai habitat (Lugendo et al. 2006). Di Florida, hutan mangrove mampu menghasilkan bahan organik 90%, dari partikel organik yang ada di dalam air dan berasal dari pohon-pohon mangrove, 35-60 % bersumber dari guguran daun (Brown 1984). Hasil dari produksi serasah di mangrove berperan sebagai bahan makanan bagi makrobentos dan menyokong rantai makanan di hutan mangrove yang terdiri dari ikan, krustasea, dan invertebrata serta penghasil unsur hara bagi perairan sekitarnya. Hutan mangrove sebagai penghasil detritus yang merupakan sumber makanan bagi organisme laut. Besarnya sumbangan detritus dari ekosistem mangrove berkaitan dengan proses dekomposisi serasah dalam ekosistem mangrove. Melalui proses ini hara dalam jumlah yang cukup besar dapat dihasilkan (Valk dan Attiwill 1984). Salah satu jenis ikan yang memanfaatkan detritus dalam ekosistem mangrove sebagai sumber makanan (energi) adalah ikan belanak (Liza subviridis) dari famili mugilidae. Ikan belanak memakan detritus dan mikro algae, selain itu juga mengambil atau menelan butiran pasir dalam sedimen yang berfungsi untuk membantu menggiling makanan di dalam lambung. Ikan belanak secara ekologis sangat penting dalam rantai makanan yang berperan dalam transfer energi dalam kehidupan di perairan estuari. Diduga, jumlah dan mutu detritus yang dihasilkan dari hutan mangrove didasarkan pada jenis mangrove. Jumlah dan mutu detritus yang dihasilkan akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ikan belanak.
1.2 Rumusan Masalah Dari hasil penelusuran literatur, banyak dijumpai penelitian terkait ekosistem
mangrove terhadap keanekaragaman dan struktur komunitas ikan
(Chong et al. 1990; Sesakumar et al. 1992; Laegdsgaard dan Johnson 2001; Kawaroe et al. 2001; Bengen dan Dutton 2004). Ekosistem mangrove sebagai daerah untuk mencari makan, dan keterkaitan kondisi hutan bakau dengan hasil tangkapan ikan dan udang (Lugendo et al. 2006). Kebiasan makan ikan belanak di ekositem mangrove (Chan dan Chua 1979, Prapaporn et al.1998, dan Lin et al. 2007). Pada penelitian ini akan dilakukan kajian ilmiah untuk mengetahui kontribusi jenis mangrove sebagai penghasil detritus yang merupakan makanan dan sumber energi
ikan belanak (Liza subviridis).
Kontribusi ekosistem
mangrove didasarkan pada jenis mangrove dominan dan kondisi lingkungan perairan di pesisir utara Konawe Selatan. Kerangka pikir penelitian, disajikan pada Gambar 1. Dari pernyataan diatas dan latar belakang penelitian
maka dirumuskan
permasalahan dengan memunculkan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1)
Berapa banyak detritus yang dihasilkan oleh jenis mangrove di pesisir utara Kabupaten Konawe Selatan,
(2)
Berapa persen porsi detritus yang dimanfaatkan ikan belanak sebagai sumber makanannya di pesisir utara Kabupaten Konawe Selatan, dan
(3)
Seberapa besar pengaruh detritus sebagai sumber makanan terhadap pertumbuhan ikan belanak di pesisir utara Kabupaten Konawe Selatan.
Struktur Mangrove Karakteristik Lingkungan Perairan
Kerapatan (jenis) Indeks Nilai Penting
Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) Produksi Serasah Analisis Komponen Utama Analisis Faktorial Koresponden
Kandungan Makronutrien
Produksi Detritus
Rantai Pangan Detritus
Ikan Belanak (Liza subviridis)
Parameter Output : Faktor Kondisi, GSI dan HSI
Parameter Input : Komposisi jenis makanan
Detritus Non Detritus (% dan Kcal)
Gambar 1 Skema kerangka penelitian kontribusi mangrove sebagai pemasok makanan ikan belanak (Liza subviridis, Valenciennes, 1836).
1.3 Tujuan Penelitian (1)
Menganalisis kualitas detritus yang dimanfaatkan ikan belanak berdasarkan jenis mangrove yang dominan, dan
(2)
Mengevaluasi kontribusi detritus sebagai sumber makanan, berdasarkan aspek pertumbuhan ikan belanak (Liza subviridis) di ekosistem mangrove pesisir utara Konawe Selatan.
1.4 Manfaat Penelitian Dapat digunakan sebagai landasan pengelolaan dan konservasi yang terkait dengan fungsi biologis dan ekologis hutan mangrove sebagai pemasok detritus (sumber materi dan energi) untuk ikan
pemakan detritus serta menunjang
perikanan pantai secara umum. 1.5 Hipotesis Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang berkaitan dengan pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai tempat mencari makan ikan belanak, maka hipotesis yang diajukan pada penelitian ini: 1.
Kualitas detritus yang dihasilkan dari suatu jenis mangrove dipengaruhi karakteristik lingkungan perairan, dan
2.
Aspek pertumbuhan ikan belanak akan dipengaruhi oleh kualitas detritus yang dikonsumsi.
1.6 Kebaharuan Penelitian (Novelty Penelitian) Detritus Rhizophora apiculata berkontribusi secara signifikan sebagai makanan dan sumber energi pada aspek pertumbuhan ikan belanak (Liza subviridis) dibandingkan detritus Sonneratia alba di pesisir utara Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara.
Hamid (2006) mengemukakan bahwa ada korelasi yang signifikan antara gugur serasah yang dihasilkan maupun pengaruh musim dengan hasil ikan. Hasil analisis menunjukkan adanya interaksi antar faktor musim dan faktor lokasi, yaitu musim timur mempunyai jumlah individu dan biomassa ikan lebih banyak dibanding dengan yang lainnya. Kontribusi antara satu subsistem terhadap subsistem lainnya dalam rantai makanan menghasilkan pola aliran energi yang membentuk hubungan matematis antara satu subsistem dan subsistem lainnya. Hubungan-hubungan inilah yang menjadi dasar terbentuknya model aliran energi pada ekosistem mangrove. Beberapa jenis ikan, udang dan hewan air lain dimanfaatkan oleh hewan terestrial yang bermukim di atas daratan dan udara seperti burung, reptil dan lain lain. Sebagai dasar sumber makanan adalah daun bakau yang jatuh dilepaskan dari pohon ditambah dengan kulit pohon yang terkelupas, bagian akar, ranting yang patah, guano dari burung yang datang, dan sisa-sisa bahan organik dari hewan yang mati dan material yang terperangkap. Detritus menjadi sumber makanan bagi hewan yang hidup di sekitar kawasan perairan hutan bakau dan juga kadar nitrogen yang dilepas dari pada penguraian sarasah akan diambil kembali oleh pohon bakau dan sebahagian lagi digunakan oleh mikro organisma (Sabri 1997 dan Mulyadi 1998). Semua ini diurai oleh bakteri dan jamur menjadi detritus yang dapat dimakan oleh hewan laut kecil, yang pada gilirannya menjadi mangsa hewan yang lebih besar serta hewan darat yang bermukim atau berkunjung di habitat bakau.
2.2.6 Komunitas Iktiofauna di Ekosistem Mangrove Mangrove merupakan ekosistem yang produktif di dunia, baik dalam produktivitas primer maupun produktivitas serasah. Produktivitas mangrove yang tinggi ini secara langsung terkait dengan rantai makanan melalui aliran energi yang tertumpu atau di dasarkan pada jatuhan seresah dan detritus. Ekosistem
mangrove merupakan daerah mencari makan pada waktu terjadi pasang tinggi bagi ikan-ikan ekonomis maupun non-ekonomis (Chong et al. 1990). Komunitas ikan di perairan mangrove didominasi oleh beberapa spesies, ikan yang tertangkap relatif banyak, dan pada umumnya masih berukuran juvenil. Uji coba penangkapan berbagai spesies ikan di perairan mangrove Selangor, Malaysia, memperoleh 119 spesies. Di perairan mangrove Trinity, Quensland Utara, Australia diperoleh 55 spesies ikan, di Tudor Creek Kenya diperoleh 83 spesies ikan, dan di Puerto Rico 59 spesies ikan (Gunarto 2004). Berdasarkan hasil pemantauan tangkapan ikan di perairan mangrove Tongke-Tongke, Sulawesi Selatan, dengan alat tangkap sero yang memiliki panjang 300−400 m yang dipasang di dataran lumpur 10 m di belakang hutan bakau, jumlah spesies ikan yang tertangkap meliputi 27 spesies dengan jumlah individu terbanyak dari famili Mullidae.
Jenis ikan yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi di antaranya adalah Lates calcarifer, Siganus guttatus, dan S. vermiculatus (Pirzan et al. 2001). Pemantauan hasil tangkapan sero di perairan muara Sungai Lamuru, Kabupaten Bone dengan kondisi mangrove yang sudah sangat berkurang mendapatkan 17 spesies ikan (Pirzan et al. 1999). Badrudin et al. (2001) mengemukakan bahwa ada 25 spesies ikan berhasil ditangkap di perairan pasang surut Indragiri Hilir, Riau. Diduga berbagai jenis ikan yang masuk ke mangrove pada saat air pasang dan kembali ke laut setelah air surut. Daerah dataran lumpur yang terdapat di sebelah luar mangrove dan langsung menghadap ke laut merupakan habitat berbagai komunitas nekton dan jumlahnya sangat melimpah. Hal ini menandakan bahwa daerah tersebut kaya akan sumber pakan sebagai hasil dari produksi primer dan sekunder yang tinggi serta adanya impor bahan organik dari laut dan mangrove. Spesies ikan yang dominan di perairan dataran lumpur yaitu ikan manyung (Osteogeneiosus militaris), ikan keting (Arius caelatus), ikan sembilang (Plotosus canius), ikan belanak (Liza argentez), ikan gulameh (Pennahia argentata), ikan tiga waja (Protonibea diacanthus), ikan teri (Stolephorus macroleptus), dan ikan cucut (Hemiscyllium indicum).