1. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Hasil perikanan adalah kekayaan kelautan yang dekat dengan kehidupan
manusia karena dimanfaatkan setiap orang. Adapun hasil perikanan tangkap meliputi ikan pelagis, ikan karang, lobster, kepiting, teripang, jenis kerangkerangan dan lain sebagainya. Hasil tangkapan laut tersebut mempunyai nilai ekonomi yang tinggi sehingga sampai saat ini penangkapan terus menerus terjadi untuk memenuhi konsumsi pasar baik pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Aktifitas penangkapan ikan yang berlangsung secara terus menerus tidak diimbangi dengan usaha pengelolaan berkelanjutan dalam menjaga ketersediaan ikan dan keseimbangan sumberdaya perikanan. Salah satu hasil tangkapan perikanan yang menarik dikaji adalah komoditas ikan konsumsi karang hidup. Komoditas tersebut melibatkan berbagi aktor dalam produksi dan distribusi. Dipasarkan melalui jaringan pemasaran internasional dalam keadaan hidup untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri, ikan-ikan tersebut ditangkap di sekitar perairan berkarang oleh nelayan lokal di Indonesia. Perairan Wakatobi merupakan wilayah bagian timur Indonesia sebagai salah satu daerah penghasil ikan konsumsi karang hidup yang masih cukup potensial ketersediaan stok ikannya. Ikan konsumsi karang atau dikenal oleh nelayan Wakatobi sebagai ikan dasar. Komoditas ikan dasar mempunyai dua jenis, yaitu ikan karang hidup yang ditangkap dalam keadaan hidup dan dijual ke tengkulak dalam keadaan hidup, dan ikan segar (ikan mati) ditangkap dalam keadaan hidup dijual ke tengkulak dalam keadaan mati (segar). Secara terminologi ikan konsumsi karang hidup diartikan sebagai ikan karang yang mempunyai habitat di karang yang dikenal dengan sebutan kerapu dan sunu. Nelayan menangkap ikan karang secara bebas di alam, ikan karang tidak berpindah tempat, kecuali pasca reproduksi ikan akan berpindah tempat akan tetapi masih dalam lingkungan karang disekitarnya. Ikan karang bereproduksi disekitar karang dan sangat jarang ditemukan di perairan dalam. Karang sebagai habitat ikan karang berada di perairan yang dangkal, atol dan gugusan terumbu karang. Menurut nelayan ikan konsumsi karang hidup, ikan konsumsi karang hidup atau ikan dasar yang ditangkap diperairan dangkal
1
berkarang mulai kedalaman 10 meter sampai 30 meter, dengan jarak tergantung tempat gugusan karang, terdapat dari karang ke karang sampai dengan jarak ratusan kilometer (Fougeres, 2005: 16; data penelitian 2012). Menurut Li, 1996 (dalam Muldoon, 2009), ikan konsumsi karang hidup adalah penjagaan ikan karang dalam keadaan hidup dan terlihat segar tanpa cacat apapun sebelum sampai pada proses dimasak yang sudah menjadi kebiasaan dari masyarakat China-Hong Kong. Hong Kong menjadi pusat pasar ikan konsumsi karang hidup terbesar di dunia, dimana permintaan ikan konsumsi karang hidup semakin besar sampai kondisi saat ini (Johannes and Riepen, 1995). Konsumen di Hong Kong berani membayar dengan harga mahal untuk komoditas ikan karang konsumsi yang hidup dibandingkan dengan komoditas ikan karang yang di perdagangkan dalam keadaan segar ataupun dibekukan. Permintaan pasar yang terus menerus dan semakin meningkat maka terjadi eksploitasi berlebihan sekaligus terjadi ekspansi fishing ground ke daerah lain yang lebih jauh sehingga menyebabkan kondisi perikanan karang hidup sekarang mengalami keprihatinan. Dekade 1990-an adalah era penangkapan terbesar ikan konsumsi karang hidup di Perairan Indonesia Timur, khususnya Perairan Spermonde. Berdasar penelitian sebelumnya, Johannes and Riepen (1995), memperkirakan bahwa Indonesia menjadi pemasok terbesar untuk perikanan karang hidup di Hong Kong pada dekade 1990-an, sedangkan Cesar 1996; (dalam Bentley, 1999), memperkirakan jumlah total ekspor Indonesia untuk ikan konsumsi karang hidup sekitar 10.000 and 20.000 ton per tahun. Pada pertengahan dekade 1990-an stok permintaan ikan konsumsi karang hidup di Indonesia hampir lebih dari 50% didatangkan dari Kepulauan Spermonde. Kepulauan Spermonde adalah penghasil perikanan karang konsumsi hidup terbesar di Indonesia (Hasil wawancara dengan pemilik CV. Ikan konsumsi karang hidup di Jakarta, 20102012). Berdasar penelitian di Kepulauan Spermonde, struktur nelayan ikan karang hidup diwarnai dengan ikatan patronase yang dikenal dengan sebutan punggawasawi. Punggawa adalah seorang majikan yang memberikan jaminan baik dalam bentuk materi (hutangan), jaminan sosial lainnya, serta jaminan keamanan kepada
2
sawi (nelayan) nya. Sedangkan Sawi adalah seorang nelayan yang menjual hasil tangkapannya kepada punggawanya (Radjawali, 2011; Deswandi, 2012). Deswandi (2012), menyebutkan bahwa jenis patronase yang terdapat di struktur nelayan Spermonde, adalah 1). Punggawa Bonto atau Punggawa Lompo atau yang dikenal sebagai punggawa darat, mempunyai peran sebagai penjamin keperluan untuk nelayannya, baik hutang, sebagai pembeli ikan maupun pelindung buat nelayannya. 2). Punggawa laut, merupakan pemimpin kapal yang bertanggung jawab terhadap kepentingan nelayan dalam menangkap ikan, juga merupakan mediator antara punggawa darat dan nelayan. 3). Sawi merupakan nelayan, yang menjadi buruh terhadap punggawanya. 4). Bos, adalah eksportir ikan konsumsi karang hidup, juga sebagai penjamin keungan dan keamanan untuk punggawa darat di bawahnya. 5). Pekerja perusahaan perikanan, merupakan buruh yang bekerja kepada bos eksportir ikan karang hidup. Radjawali (2011), menjelaskan pada ikatan patronase tersebut terdapat ikatan hutang yang bersifat terus menerus. Artinya adalah, sawi atau nelayan yang menghutang terhadap punggawanya, mempunyai ikatan hutang dalam setiap aktifitas penangkapan ikan, mulai dari perongkosan untuk melaut, jaminan sosial terhadap keluarga sawi yang ditinggal melaut, dan juga jaminan sosial untuk keamanan sawi apabila tertangkap petugas atau mengalami musibah di laut. Temuan penelitian sebelumnya (Radjawali, 2011), menyebutkan bahwa dalam proses produksi dan pengiriman ikan konsumsi karang hidup melalui proses birokrasi yang harus dipenuhi oleh para pelaku produksi, distribusi terutama oleh pedagang ikan konsumsi karang hidup (punggawa). Untuk mendukung usaha produksinya para punggawa mempunyai hubungan yang baik terhadap aparat pemerintah, termasuk petugas perikanan tangkap dari DKP, polisi sektor ataupun resort, TNI AL, pegawai pelabuhan serta badan karantina KKP dan petugas
bea
cukai
di
bandara.
Jaringan
pengaman
ini
(risk
of
insurance/prosecution networks) dilakukan untuk mempelancar usaha mereka. Dilihat dari segi peraturan perundang-undangan belum ada secara sepesifik mengatur usaha perikanan tangkap konsumsi karang hidup. Prospek yang menjanjikan dari bisnis ikan konsumsi karang hidup menyebabkan pemunculan pemburu rente (rent seeking) yang merupakan praktek saling menguntungkan
3
secara bisnis dan finansial dari petugas pemerintah dan para pengusaha ikan konsumsi karang hidup. Merujuk temuan sebelumnya (Glaser, et.al. 2010; Radjawali, 2011), terlihat jelas bahwa nelayan sekarang dalam usaha menangkap ikan semakin jauh karena adanya penangkapan berlebih (over fishing). Karena over fishing tersebut dan cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan yaitu menggunakan racun dan bom menyebabkan terumbu karang sebagai habitat ikan karang menjadi rusak. Racun jenis cyanide dipergunakan untuk menangkap ikan konsumsi karang hidup dan bom diperuntukkan untuk menangkap ikan konsumsi segar dalam keadaan sudah mati. Kerusakan ekologi habitat ikan karang terjadi karena penangkapan terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pasar Hong Kong terutama dalam menyambut perayaan Tahun Baru Imlek.
Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, nelayan di kepulauan Spermonde melakukan penangkapan sampai ke Teluk Bone dan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Penangkapan ikan masih terus berlangsung sampai sekarang bahkan semakin meningkat sekalipun nelayan telah sadar tentang kelangkaan ikan. Kenekatan mereka berburu ikan karang berhubungan dengan alasan ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi. Upaya global dalam menjawab permasalahan adanya kerusakan ekosistem dan penurunan sumberdaya perikanan menciptakan sebuah program kerjasama government to government dalam upaya konservasi sumberdaya perikanan. Wasistini (2009), menyebutkan, di Kepulauan Spermonde telah terdapat adanya program konservasi COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) adalah Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang jangka panjang yang diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan secara lestari terumbu karang serta ekosistem terkait di Indonesia, dengan tujuan untuk menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir. Upaya konservasi baru-baru ini sedang diinisiasikan dan dikampanyekan oleh WWF Indonesia adalah bentuk kepedulian terhadap keberlangsungan sumberdaya perikanan melalui perikanan tangkap yang bertanggung jawab terhadap produk perikanan yang mengikat pada produk, proses produksi dan pemasaran yang ramah lingkungan. Praktek perikanan yang bertanggungjawab
4
tersebut adalah berupa Seafood Saver. Tentunya mekanisme Seafood Savers ini menjadi tanggungjawab stakeholder yang termasuk dalam rantai perdagangan ikan konsumsi karang hidup. Praktek good fishing responsibility yang ditujukan untuk produk perikanan tangkap dari laut ini adalah bertumpu pada produsen dengan praktek perikanan ramah lingkungan, yang kemudian implementasinya pada perikanan Indonesia dibantu oleh WWF Indonesia dengan membangun mekanisme Seafood Savers. Mekanisme ini dibangun sebagai sebuah bridging mechanism, untuk membantu produsen dan retail di Indonesia mendapatkan sertifikasi MSC sebagai tujuan akhir. Dalam implementasi Seafood Savers untuk perikanan tangkap, WWF Indonesia membangun beberapa tahapan yang secara jelas merupakan langkah penyiapan bagi perikanan tangkap terkait memperbaiki praktek
perikanannnya
menuju
standar
kelestarian
perikanan
dengan
menggunakan standar Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) fishing (terdapat pada tahapan conditioning) dan standar sertifikasi MSC (pada tahapan Fishery Improvement Program). Relasi antar aktor dalam komoditas ikan konsumsi karang hidup sangat berpengaruh terhadap keberhasilan praktek Seafood Savers perikanan karang hidup. Selain melekat pada produk (ikan kosumsi karang hidup), proses produksi (mulai dari proses penangkapan, pemberokan (pengepakan) ikan dalam keadaan hidup), sampai dengan ikan tersebut berada di pasar, perikanan bertanggung jawab juga melekat pada stakeholder/aktor yang mempunyai kepentingan dalam praktek hijau tersebut, seperti nelayan, pedagang (kordinator), bos (pembeli besar dengan UD., CV. atau perusahaannya) ataupun aktor pengimpor (perusahaan besar), lembaga pengkampanye Seafood Savers (LSM) serta negara yang mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan tentang Seafood Savers tersebut. Satria (2009), menyebutkan bahwa salah satu penyebab kerusakan lingkungan adalah kegagalan dari pasar. Pasar tidak bisa mengkontrol penggunaan sumerdaya alam secara keberlanjutan. Dalam usaha untuk melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan perlu ada dua pendekatan instrumen. Pertama, yaitu instrumen pasar, dimana instrumen pasar dijadikan sebagai dasar kebijakan. Dalam produksi, ada batasan dalam sistem quota penangkapan, sementara dalam perdagangan (pasar), ecolabelling adalah senjatanya. Kedua,
5
pengembangan
mekanisme
sistem
pengelolaan
kolaboratif
(collaborative
management). Konsep kolaboratif manajemen dianggap ideal karena melibatkan seluruh stakeholder yang terlibat dalam perumusan rencana pengelolaan sampai pada tahap pengawasan. Kolaboratif manajemen adalah proses demokratisasi dalam pengelolaan perikanan karena ada kesamaan hak antar stakeholder. Bryant dan Bailey (1997), dalam bukuya “Third World Political Ecology”, menyebutkan bahwa dalam kajian ekologi politik di dalamnya mengandung politicizied environmental, artinya bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya alam banyak melibatkan aktor-aktor yang berinteraksi baik dalam tingkat lokal, regional maupun global. Komoditas ikan konsumsi karang hidup, adalah komoditas transboundary, artinya ada produksi lokal dan diekspor keluar untuk kebutuhan konsumen (permintaan pasar). Ketika terdapat jaringan perdagangan, maka terdapat interaksi antar aktor pada level produksi, distribusi dan konsumsi yang lintas teritorial. Eden (2011), menjelaskan dalam “bahwa dalam memahami konsep ecolabelling tidak terlepas dari relasi kekuasaan (power) dari masing-masing aktor dalam memanfaatkan sumberdaya yang mempunyai label ramah lingkungan. Dijelaskan secara lanjut oleh Eden, bahwa ecolabelling merupakan simbol green governance yang diminta oleh konsumen (consumer power) yang terikat dalam fungsi perdagangan. Hal ini menjadi rasionalitas konsumen untuk mementingkan keuntungan komoditas dan memunculkan adanya biaya untuk meminimalisir kerusakan
lingkungan
peminimalisiran
polusi
dan
kerugian
lingkungan,
manusia
mencegah
(terutama
penurunan
produsen),
daya
dukung
sumberdaya, meminimalisir bahaya pekerja, minimal upah pekerja, ketidak amanan pekerja dan bentuk eksploitasi lain terhadap pekerja dan sumberdaya. Wakatobi adalah salah satu tempat percontohan untuk dilakukannya Seafood Savers oleh WWF Indonesia sebagai badan inisiator Seafood Savers. Wakatobi adalah merupakan singkatan dari empat pulau yaitu: Pulau Wangiwangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Taman Nasional Wakatobi adalah Taman Nasional yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasar Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/Kpts-VI/1996 Tanggal 30 Juli 1996 dan berdasar Keputusan Menteri Kehutanan No. 7651/Kpts/II/2002 Tanggal
6
19 Agustus 2002 dengan menetapkan luas areal konservasi seluas 1.390.000 Ha. Tujuan penetapan Taman Nasional adalah sebagai sistem penyangga pelestarian keanekaragaman hayati, menjamin terwujudnya pembangunan ekonomi daerah secara berkelanjutan terutama dari sektor perikanan dan pariwisata, serta menjamin tersedianya sumber mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat setempat. Selain mempunyai fungsi konservatif dan sosio-ekologis, Wakatobi juga sebagai tempat berbagai riset, seperti kegiatan Operation Wallacea, Coremap, LIPI, penelitian akademisi, dll. Pendekatan ke masyarakat dilakukan dengan diadakannya penyuluhan, training, kampanye lingkungan, bantuan maupun pembinaan masyarakat nelayan dalam bentuk mata pencaharaian alternatif. Pengelolaan taman nasional juga diwujudkan dengan menjalin kerjasama intensif dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi, Kementrian Kelautan dan Perikanan, LIPI, dan Joint Program Taman Nasional, WWF dan TNC (www.tamannasionalwakatobi.org, diunduh 17 Desember 2011; RPTNW, 2008). Penetapan Wakatobi sebagai pilot project seafood savers, dengan melihat beberapa kriteria yaitu: 1. Terdapat lembaga pengelola (Taman Nasional Wakatobi, DKP Kabupaten Wakatobi) serta partner utama (WWF Indonesia, Fisheries Captured) pada wilayah tersebut); 2. Terdapat pengusaha ikan konsumsi karang hidup yang akan melakukan perubahan praktek perikanannya sesuai dengan standar kelestarian (good practice), mengingat kondisi stok perikanan di Wakatobi masih potensial, serta dampak kegiatan penangkapan perikanan tidak berdampak negatif terhadap ekosistem lingkungan; dan 3. Memiliki kelembagaan/institusi pengelolaan perikanan yang berjalan. Seafood Savers merupakan instrumen pengelolaan sumberdaya yang di inginkan oleh produsen dan konsumen, sebagai akibat adanya isu jangka pendek dan jangka panjang. Isu jangka pendek adalah: penangkapan yang bersifat merusak, adanya
7
target penangkapan secara terus menerus karena permintaan pasar dan overfishing. Sedangkan
isu
jangka
panjang
adalah
dampak
kemusnahan
keanekaragaman hayati, penurunan produksi perikanan dan ketahanan pangan di masyarakat, serta menurunnya livelihood pada komunitas nelayan. Diharapkan Seafood Savers dalam perkembangannya dapat memberikan bantuan fasilitas kepada perusahaan perikanan dan nelayan untuk memperbaiki praktek penangkapannya sesuai dengan standar kelestarian sertifikasi ekolabel Marine Stewardis Council dengan cara melakukan kegiatan dimana, partner seafood savers, UD. PMB., mulai memberlakukan beberapa aturan, yaitu: 1. Peraturan yang mengikat kepada nelayannya untuk mulai memperbaiki kegiatan perikanannya sesuai dengan kontrak keanggotaan sebagaimana terlampir, 2. Penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, 3. Melepas tangkapan ikan dalam perkembangan juvenile dan ikan dewasa bertelur, 4. Tidak akan menangkap ikan dalam keadaan bebas di alam, 5. Tidak dibolehkan menangkap species ikan yang dilindungi, 6. Menjaga dan Melindungi terumbu karang, 7. Mengikuti kebijakan perusahaan dan pemerintah, dan 8. Bersedia dikeluarkan dari keanggotaan perusahaan apabila ketentuan-ketentuan sebelumnya dilanggar (UD. PMB., 2011). Dalam memahami isu tersebut UD. PMB., yang berada di Bali merupakan perusahaan ekspor ikan konsumsi karang hidup terbesar di Indonesia, yang mempunyai 49 tempat titik penangkapan ikan konsumsi karang hidup, yang salah satunya adalah di Kawasan Taman Nasional Wakatobi. Untuk operasi pengambilan ikan UD. PMB. mempunyai keramba di Pulau Wangi-wangi dan Pulau Tomia. Di Pulau Wangi-wangi terdapat satu kordinator yang menjual ikannya ke UD. PMB dan memiliki sekitar dua puluh nelayan penangkap ikan konsumsi karang hidup. Sedangkan di Pulau Tomia terdapat beberapa kordinator yang menjual ikan ke UD. PMB. dan mempunyai sekitar tiga puluh nelayan.
8
Indikator bahwa instrumen kelembagaan (institutional) berjalan efektif, dilihat pada penerimaan masyarakat dan pasar terhadap pendekatan instrumen tersebut. Disamping itu, keterlibatan masyarakat dan pasar juga terlihat dalam membuat kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dan keluatan. Seafood Savers sebagai salah satu instrumen pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang berkelanjutan mengandung kebijakan-kebijakan dasar yang turut disumbangkan dari pihak konsumen. Berjalannya Seafood Savers untuk komoditas ikan konsumsi karang hidup dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan sifat populisnya (komunitarian) apabila dalam kelembagaan pengelolaan sumber daya alam, masyarakat dan pasar sebagai stakeholder berkolaborasi dalam merumuskan dan merencanakan manajeman Seafood Savers tersebut. Penelitian ini penting dilakukan terutama untuk meneliti dampak komoditas ikan konsumsi karang hidup, interaksi antar aktor dan stakeholder dalam komoditas tersebut, bagaimana peran kelembagaan dalam tata kelola kawasan konservasi, peran kelembagaan dalam mempraktekkan Seafood Savers, interaksi antar aktor dalam memahami Seafood Savers, dampak Seafood Savers itu sendiri bagi produksi dan distribusi dalam komunitas nelayan Wakatobi dalam keberlangsungan komoditas ikan konsumsi karang hidup. Penelitian ini menjadi kajian menarik tersendiri sebagai studi analisis kolaborasi berbagai pihak di antaranya pasar, masyarakat, LSM dan negara yang menentukan kebijakan menjadi sangat penting untuk pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang berkelanjutan dan berpihak terhadap nelayan dan lingkungan. 1.1.
Rumusan Masalah Hasil studi sebelumnya, (Sadovy, et.al. 2003; Fougeres, 2005; Wasistini,
2009; Radjawali, 2011; Deswandi, 2012) di lapangan, setidaknya menunjukkan tentang upaya pengelolaan berkelanjutan sumberdaya perikanan konsumsi ikan karang hidup yang sudah atau sedang dilaksanakan di perairan Indonesia Timur. Upaya tersebut sebagai bentuk respon atas kerusakan sumberdaya terumbu karang sebagai akibat eksploitasi penangkapan ikan konsumsi karang hidup yang cenderung bersifat merusak (penangkapan ikan dengan alat tangkap bom dan cyanide/bius). Penyelamatan keberlanjutan sumberdaya perikanan konsumsi karang hidup yang sudah dilakukan adalah rehabilitasi karang melalui program
9
konservasi dan terumbu karang (COREMAP) untuk program kawasan rehabilitasi dan konservasi terumbu karang serta pembentukan dan penetapan perlindungan kawasan konservasi laut seperti Taman Nasional Wakatobi. Seafood Savers yang merupakan inisiasi WWF Indonesia untuk perusahaan, dikampanyekan
kepada khayalak adalah bentuk baru dari upaya
konservasi spesies ikan konsumsi karang hidup. Praktek Seafood Savers menimbulkan studi baru untuk mempelajari bagaimana keefektifan dan manfaat Seafood Savers di tingkat komunitas dengan melihat adanya permintaan pasar yang besar dari konsumen. Kondisi nyata dari perlakuan komoditas ikan konsumsi karang hidup sebagai kajian menarik adalah, Pertama, dalam komoditas ikan konsumsi karang hidup terdapat penangkapan dengan menggunakan zat kimia. Kedua, cara distribusi pada tingkat pengiriman merupakan permasalahan tersendiri yang unik untuk dikaji lebih lanjut karena menggunakan perlakuan khusus dalam menjaga ikan agar tetap hidup dan sehat. Ketiga, berkaitan tentang interaksi antar aktor yang terlibat dalam usaha Seafood Savers tersebut, bagaimana alur dan jaringan perdagangan yang terbentuk serta keterkaitannya dengan komunitas nelayan penangkap ikan konsumsi karang hidup. Dengan demikian, kehadiran Seafood Savers akankah menjadi pilar dari elaborasi berbagai kepentingan diantara komunitas dan pasar? Karena itu pendekatan komunitarian pada tingkat produksi dan pasar pada tingkat middle man akan menjadi kajian yang menarik untuk diteliti lebih mendalam. Seperti yang sudah dijelaskan dalam latar belakang, dinamika komoditas ikan konsumsi karang hidup merupakan komoditas transboundary yang menimbulkan berbagai permasalahan diberbagai lini produksi, distribusi dan konsumsi. Perdagangan transboundary ikan konsumsi karang hidup menimbulkan masalah di tingkat lokal dan global dalam kaitannya dengan persoalan sosioekologis. Penetapan kriteria Seafood Savers sebagai upaya eco-standarization ikan konsumsi karang hidup ternyata berdampak terhadap tata cara untuk menjaminkan keamanan makanan laut. Penelitian ini mengkaji pola pengelolaan sumberdaya perikanan yang terdapat di Taman Nasional Wakatobi, apakah pola pengaturan sumberdaya perikanan tersebut diatur oleh pemerintah (Taman Nasional), Masyarakat, LSM atau Pasar, sehingga dibutuhkan kedalaman
10
penelitian dalam pendekatan sektor pasar (market approach) dan pendekatan komunitas (communitarian approach). Terkait dengan penelitian ini untuk mengerti peran kelembagaan pengelolaan sumerdaya perikanan, dan pengamatan tentang praktek pencapaian Seafood Savers menjadi sangat penting karena terdapat berbagai aspek yang saling terkait seperti sosial, ekonomi, ekologi serta kebijakan sebagai etika politik dalam menjelaskan kedinamikaan komoditas ikan konsumsi karang hidup yang cenderung dipandang sebagai komoditas yang homogen. Berdasarkan uraian tersebut, untuk memperjelas arah penelitian ini, memunculkan empat pertanyaan spesifik, yaitu: 1. Bagaimana dampak dari komoditas ikan konsumsi karang hidup terhadap aspek sosial, ekonomi, ekologi dan kebijakan serta bagaimana Seafood Savers bekerja dalam komoditas ikan konsumsi karang hidup? 2. Bagaimana interaksi aktor dalam mematuhi aturan-aturan Seafood Savers? 3. Apakah aturan-aturan yang dikandung di dalam Seafood Savers berdampak pada perbaikan proses produksi, distribusi dan konsumsi? 4. Apakah instrumen Seafood Savers sebagai instrumen pola pengelolaan sumberdaya perikanan karang hidup di Taman Nasional Wakatobi, mengakomodasi kepentingan komunitas dan pasar? 1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dari studi ini berdasar dari rumusan masalah di atas adalah untuk
menelusuri
dan
diterjemahkan
meganalisis
sebagai
proses
instrumen
mekanisme
keberlanjutan
Seafood pengelolaan
Savers
yang
sumberdaya
perikanan konsumsi karang hidup secara lestari. Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis dampak komoditas ikan konsumsi karang hidup terhadap aspek sosial, ekonomi, ekologi dan kebijakan serta menganalisis bekerjanya institusi Seafood Savers dalam komoditas ikan konsumsi karang hidup. 2. Menganalisis interaksi aktor dalam mematuhi aturan-aturan seafood savers.
11
3. Menganalisis apakah aturan-aturan dan mekanisme yang dikandung di dalam aturan Seafood Savers yang berdampak pada perbaikan proses produksi, distribusi dan konsumsi. 4. Mengetahui instrumen Seafood Savers sebagai instrumen pola pengelolaan sumberdaya
perikanan
karang
hidup
di
kepulauan
Wakatobi,
mengakomodasi kepentingan komunitas dan pasar. 1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam berbagai aspek
sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini diharapkan menambah khazanah baru dalam kajian ekologi politik pesisir khususnya mengenai pengelolaan sumberdaya perikanan sebagai upaya berkelanjutan yang berguna sebagai referensi bagi peneliti, akademisi dan pemangku kepentingan lainnya seperti pemerintah,
LSM,
masyarakat
dan
perusahaan
perikanan
dalam
melaksanakan tatakelola perikanan yang berkelanjutan. 2. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dalam menyusun kebijakan yang bottom up sehingga pemberlakuan instrument Seafood Savers berpihak pada komunitas nelayan penangkap ikan karang hidup. 3. Hasil peneltian ini diharapkan memberikan ruang diskusi kritis bagi peneliti dan merangsang adanya penelitian selanjutnya dalam memahami kontek permasalahan sumberdaya lingkungan yang terjadi di Indonesia.
12