1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kelautan, selama lebih tiga dasa warsa terakhir sejak tahun 1970-an, senantiasa diposisikan sebagai sektor pinggiran.
Kondisi ini sangat
ironis mengingat hampir 75% wilayah Indonesia merupakan lautan (teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif) dengan potensi ekonomi yang sangat besar serta berada pada posisi geopolitis yang penting di dunia, yaitu pintu gerbang utama antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia (Kusumastanto, 2003a).
Sebagai negara
kepulauan terbesar, Indonesia terdiri dari sekitar 17.000 pulau dengan garis pantai sepanjang 81 000 kilometer dan luas laut wilayah teritorial sekitar 3.1 juta kilometer persegi (Dahuri, et al. 2001). Dengan potensi dan posisi semacam itu, bidang kelautan sudah seharusnya dijadikan arus utama dalam kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Sedikitnya ada 9 (sembilan) sektor ekonomi kelautan yang dapat memajukan dan memakmurkan Indonesia, yaitu: perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri bioteknologi kelautan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, transportasi laut, industri jasa dan maritim, pulau-pulau kecil, serta sumberdaya non-konvensional (Dahuri, 2005). Sehubungan dengan karakteristik wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan yang kompleks, konflik pemanfaatan wilayah pesisir dan laut telah berlangsung setua usia peradaban manusia.
Konflik kepentingan di wilayah pesisir terus
meningkat. Peningkatan konflik ini dipicu dengan peningkatan jumlah penduduk, intensitas kegiatan manusia yang terkait dengan perkembangan teknologi di wilayah tersebut, yang mengakibatkan kegiatan manusia di wilayah pesisir meningkat serta menjangkau wilayah laut yang lebih luas, khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya. Masalah-masalah yang ada di kawasan pesisir dan lautan dapat disebabkan serta dipicu oleh banyak faktor penyebab. Pengamatan beberapa ahli dan peneliti (Clark, 1992; Patji dan Salipi, 1995; Cicin-Sain and Knecht, 1998; Kay and Alder, 1999; Kusumastanto, 2001), maka dapatlah disampaikan bahwa masalah yang
2 menyebabkan konflik di kawasan pesisir dan laut di Indonesia secara umum adalah: 1) Terjadinya konflik kepentingan dan pemanfaatan sumberdaya dan jasa, akibat: (a) besarnya potensi sumberdaya, (b) terpusatnya mata pencaharian penduduk kepada pemanfaatan sumberdaya dan jasa yang sama, (c) meningkatnya jumlah penduduk, (d) meningkatnya kualitas hidup masyarakat, (e) meningkatnya kepentingan dalam kawasan, (f) perubahan dan kompetisi teknologi, dan (g) proses distribusi pasar; 2) Meningkatnya permintaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir yang mengakibatkan peningkatan konflik nilai sumberdaya dan jasa dimaksud, karena: (a) meningkatnya kepentingan,
(b) besarnya potensi dan
produktivitas, dan (c) tidak diakui berlakunya hukum Adat; 3) Praktek-praktek manajemen yang tidak berkelanjutan; 4) Kendala dalam optimalisasi pemanfaatan rencana tata ruang pesisir dan lautan; 5) Perilaku manusia akibat: (a) ketidaktahuan,
(b) rendahnya kesadaran, (c)
kemiskinan, dan (d) keserakahan; 6) Akibat tiga jenis kegagalan, yaitu: a. kegagalan hak kepemilikan, b. kegagalkan kebijakan, dan c. kegagalan informasi. Berdasarkan hal tersebut, terdapat alasan yang kuat tentang urgensi penelitian ini dilakukan, sehingga dapat dihasilkan skenario penyelesaian masalah pengelolaan wilayah pesisir dan laut berbasis konsep “marine cadastre”. Skenario berbasis sistem tenurial ini sesuai dengan tujuan ekonomi, ekologi, dan sosial dari pengelolaan wilayah yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 1.2. Rumusan Masalah Indikasi masalah pemanfaatan ruang secara umum sebagaimana diuraikan di atas terdapat pula di wilayah pesisir dan laut pulau Bintan. Dari hasil prapenelitian, masalah pemanfaatan ruang pesisir dan laut pada lokasi penelitian adalah sebagai berikut: 1) Masalah implementasi kebijakan dan pengelolaan sumberdaya:
3 a. terjadi konflik pemanfaatan ruang akibat tumpang tindih zonasi peruntukan dan pemanfaatan; b. terjadi degradasi sumberdaya dan lingkungan yang sangat merugikan akibat kebijakan yang berorientasi kepada keuntungan sesaat, serta kurangnya arahan dan pengawasan dalam pemanfaatan ruang pesisir dan laut, khususnya kerusakan akibat penambangan pasir laut serta kerusakan mangrove dan terumbu karang. 2) Masalah substansi kebijakan: a. masih
bersifat
parsial
(belum
terintegrasi),
baik
secara
spasial
(perencanaan masih berorientasi daratan dan belum memadukan perencanaan penataan dan pemanfaatan ruang darat dan laut), maupun secara regional (antara pemerintah daerah yang berbatasan langsung); b. masih lemah legitimasi, kurang transparan dan belum partisipatif, serta belum ada perlindungan sistem penguasaan atau pemilikan dan pengadministrasian penguasaan ruang pesisir dan laut. Ekstraksi dari seluruh hakikat konseptual dan empirikal masalah pemanfaatan ruang pesisir dan lautan sebagaimana diuraikan di atas, menunjukkan bahwa: 1) Masalah dan konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir dan laut berkaitan langsung dengan nilai dan pemanfaatan dari 3 (tiga) komponen utama fakta dan fenomena alam, yaitu komponen ABC: abiotik (a-biotic), komponen biotik (biotic), dan komponen budidaya (culture);
Komponen
abiotik adalah seluruh struktur dan fungsi fisik lahan (sumberdaya alam), komponen biotik adalah struktur dan fungsi flora dan fauna (sumberdaya hayati), dan komponen budidaya adalah struktur dan fungsi seluruh kegiatan (aktifitas ekonomi, sosial dan budaya) dan hasil-hasil kegiatan manusia di atas lahan yang dimanfaatkannya; 2) Diperlukan kebijakan publik yang baik dan berorientasi kepada kearifan lokal, khususnya kebijakan penataan ruang pesisir dan laut dalam kerangka “marine cadastre” dan kebijakan
kelautan, yaitu: “kebijakan-kebijakan
yang dibuat oleh perumus kebijakan dalam mendayagunakan sumberdaya
4 kelautan
secara
bijaksana
untuk
kepentingan
publik
dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat” (Kusumastanto, 2003a: hal. 5). 1.3. Hipotesis Penelitian Dari hasil perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian dalam disertasi ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Penerapan konsep ‘marine cadastre’ dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir dan laut meningkatkan manfaat ekonomi dan kepastian hak di wilayah Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau” 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis kebijakan serta mendesain pemanfaatan ruang pesisir dan laut berbasis konsep “marine cadastre” sehingga dapat dicapai pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang berkelanjutan. Sejalan dengan tujuan tersebut, maka manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi akademis berupa: 1) Konsep “marine cadastre”
sebagai bagian dari teori ilmu Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Laut Secara Terpadu (aspek manajemen sumberdaya), maupun sebagai bagian dari studi lain seperti ilmu Geodesi dan Geomatika (aspek keteknikan) dan ilmu Hukum Agraria (aspek yuridis); 2) Sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan pemanfaatan ruang dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Pulau Bintan. 1.5. Kerangka Pikir Penelitian 1.5.1. Filosofi Penelitian Filosofi yang mendasari penelitian ini merujuk kepada 5 (lima) perkembangan atau pergeseran paradigma, yaitu: 1) Adanya pergeseran paradigma kelautan, yaitu dari tidak hanya “good governance” namun juga “good ocean governance” (Nichols et al. 2000, Pacem in Maribus ke XIX, 2001). Berkaitan dengan paradigma ini terdapat pergeseran pula paradigma baru dalam konsep “marine cadastre” sebagai perkembangan dari “land cadastre” (Hoogsteden and Robertson, 1999; Nichols et al. 1999; Ng’ang’a et al. 2000; PCGIAP-FIG, 2001);
5 2) Adanya pergeseran landasan epistemologi pembangunan kelautan dari konsep pembangunan berkelanjutan Michael Redclif kepada konsep penguatan pengetahuan lokal Feyereban, Friberg dan Hettne; pembangunan kepemilikan
yang komunal
bercirikan atas
kearifan
sumberdaya
Dengan epistemologi
lokal kelautan
ini,
maka hak
diakui,
sehingga
berkembangnya bahaya moral akibat rezim “open access” atas sumberdaya kelautan dapat dihindari (Kusumastanto, 2003a.); 3) Adanya pergeseran dari paradigma eksklusi sosial (sentralisitik otoriter) kepada paradigma inklusi sosial (masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama serta diakuinya pengetahuan lokal) dalam pembangunan sumberdaya pesisir dan laut (Budiharsono, 2001); 4) Adanya kekosongan hukum yang yang berkenaan dengan belum diaturnya hak-hak atas tanah, hak-hak perairan pesisir dan hak-hak di pulau-pulau kecil (UU No. 5 Tahun 1960 juncto Pasal 60 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996); 5) Adanya perubahan paradigma perencanaan pembangunan berdasarkan kategori tradisi Friedman yang terjadi di Indonesia. Tradisi reformasi sosial telah bergeser kepada tradisi analisis kebijakan publik (Diamar dalam Rais et al., 2004). Demikian pula, kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam memilih paradigma penghormatan dan perlindingan hak azasi manusia (HAM), keberlanjutan kapasitas produktif masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan “good governance”. (Sumardjono, 2003) 1.5.2. Kerangka Penelitian Dalam rangka memecahkan masalah analisis kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut yang dirumuskan, maka dilakukan prosedur analisis kebijakan publik (Dunn, 1994) dalam skema Satu Prosedur Lima Langkah (SPLL). Kerangka pikir penelitian ini mengikuti alur sebagai berikut (Gambar 1). 1) Skema dasar penelitian yang dilandasi oleh latar belakang, masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta landasan filosofi penelitian; 2) Skema landasan teori sebagai dasar penelitian yang menginduk kepada dua hal, yaitu:
6 a. Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan sebagai konsep makro teori dasar penelitian; b. Kajian “Marine Cadastre” sebagai salah satu konsep instrumen ukuran pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.
ELEMEN KERANGKA PIKIR PENELITIAN
SKEMA DASAR: LATAR BELAKANG MASALAH
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Terpadu dan Marine Cadastre Framework
KOMPONEN INFORMASI KEBIJAKAN
ANALISIS KEBIJAKAN
HASIL KEBIJAKAN
PEMANTAUAN
1. Analisis ABC Resource Survey Method untuk analisis data spasial eksisting 2. Analisis M-AHP Kebijakan dan Program 3. Riset Persepsional “Marine Cadastre”
Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut
ANALISIS KEBIJAKAN
Prosedur Analisis Kebijakan Dalam SPLL:
ALTERNATIF KEBIJAKAN DAN AKSI KEBIJAKAN
Deskripsi alternatif Perbandingan konsekuensi kebijakan Dampak ganda dan ekternalitas Hambatan dan fisibilitas politik Solusi yang tersedia
SIMPULAN
Gambar 1.
Deskripsi situasi masalah; HIPOTESIS PENELITIAN
Penilaian “Kinerja Kebijakan” masa lalu Pentingnya “Situasi Masalah” Kebutuhan analisis kebijakan Definisi Masalah Pelaku Utama Tujuan dan Sasaran Ukuran Efektifitas Solusi yang tersedia
SKEMA LANDASAN TEORI SERTA LINGKUP DAN RAGAM MASALAH
Kriteriadan deskripsi alternatif rekomendasi yang dipilih Kerangka strategi implementasi
“SPLL”
KINERJA KEBIJAKAN
EVALUASI
4. Analisis DPSIR – TEV Eksisting
MASALAH KEBIJAKAN
MASALAH KEBIJAKAN
PERAMALAN
MASA DEPAN KEBIJAKAN
AKSI KEBIJAKAN
5. Pembahasan dan Hasil Analisis Ex-Post Θ Ex-Ante
SIMPULAN DAN SARAN
Kerangka pikir penelitian dan relevansi topik penelitian dengan teori dasar dan praksis ICOZM (Integrated Coastal and Ocean Zone Management), analisis kebijakan publik, dan konsep “marine cadastre” (adaptasi dari Dunn, 1994)
7
c. Dalam skema ini dua tahapan dilalui, yaitu: i. Tinjauan dan penetapan metodologi penelitian, dan ii. Tinjauan kepustakaan; 3) Skema “Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Lautan” melalui prosedur analisis kebijakan publik dalam skema SPLL, yaitu diawali dengan “Deskripsi Daerah Penelitian”, kemudian iterasi langkah-langkah sebagai berikut: a. Langkah 1: Analisis data spasial obyek penelitian dengan Metode Survei Sumberdaya ABC (Abiotic-Biotic-Culture); b. Langkah 2: Analisis M-AHP (Modified – Analytical Hierarchy Process) untuk kebijakan dan program pemanfaatan ruang; c. Langkah 3: Hasil Kuesioner Riset Persepsional “Marine Cadaster”; d. Langkah 4: Penggunaan metode TEV (Total Economic Value) kebijakan eksisting dalam Skema DPSIR (Driving-force, Pressure, State, Impact, Response); dan e. Langkah 5: Penggunaan metode TEV “Best Use” dalam Analisis “Ex-Post Θ Ex-Ante” Kebijakan Publik yang kemudian dimodelkan dalam model sistem dinamik menggunakan program STELLA©. 4) Skema Aksi Kebijakan: Aksi kebijakan diuraikan dalam bentuk desain kebijakan pemanfaatan ruang dalam konsep “marine cadastre” yang berisi faktor-faktor dominan dan indikator-indikator penting, serta tinjauan aspek legal dan kelembagaan, aspek ekonomi, dan aspek lingkungan. 5) Simpulan dan Saran: Simpulan diawali dengan simpulan penelitian, kemudian dilanjutkan dengan saran. Simpulan dikategorisasikan berdasarkan metodologi dan substansinya, yaitu metode analisis kebijakan pemanfaatan ruang yang dikembangkan dan substansi penerapan konsep “marine cadastre” dalam pelaksanaan kebijakan dimaksud.
Selanjutnya, saran berisi rekomendasi pada aspek legal dan
kelembagaan serta aspek ekonomi sumberdaya dan lingkungan.