1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salah satu jenis organisme laut yang banyak terdapat di perairan Indonesia.
Berdasarkan data DKP (2005),
ekspor rajungan beku sebesar 2813,67 ton tanpa kulit (dagingnya saja), dan rajungan tidak beku (bentuk segar) sebesar 4312,32 ton. Permintaan komoditas daging rajungan dalam berbagai bentuk, seperti dalam bentuk segar, beku ataupun dalam kaleng terus meningkat.
Hasil samping dari pengolahan rajungan ini
berupa limbah cair, padat dan gas. Salah satu limbah padat yang dihasilkan adalah cangkang. Satu ekor rajungan dengan bobot tubuh berkisar antara 100-350 g, terdapat cangkang sekitar 51-177 g. Hal ini berarti bobot cangkang rajungan kurang lebih setengahnya atau 50% dari bobot tubuhnya.
Cangkang rajungan mempunyai
kandungan mineral yang tinggi, terutama kalsium (19,97%) dan fosfor (1,81%) (Multazam 2002). Kalsium merupakan salah satu makromineral, yaitu mineral yang
dibutuhkan
oleh
tubuh
dalam
jumlah
lebih
dari
100
mg/hari
(Almatsier 2003). Di Indonesia, konsumsi kalsium masih rendah yaitu 254 mg/hari (Depkes RI 2004). Kebutuhan kalsium bagi masyarakat Indonesia yang direkomendasikan berdasarkan golongan umur, yaitu masa kanak-kanak di bawah umur sepuluh tahun adalah 500 mg/hari, remaja 1000 mg/hari dan orang hamil sebesar 1150 mg/hari, sedangkan untuk orang dewasa baik
laki-laki
dan
perempuan
memerlukan
sebanyak
800
mg/hari
(Widyakarya Pangan dan Gizi 2004). Fungsi dari kalsium dalam tubuh manusia adalah sebagai mineral dalam pertumbuhan dan perkembangan tulang dan gigi, pengatur pembekuan darah, katalisator reaksi biologis, pengatur reaksi otot dan mineral yang mempengaruhi pertumbuhan tubuh (Guthrie 1975). Kalsium dibutuhkan agar tulang dan gigi mencapai ukuran dan kekuatan yang maksimal (Williams 1995). Kekurangan
kalsium
dalam
asupan
tubuh
manusia
menyebabkan
abnormalitas metabolisme terutama pada usia rawan gizi, yaitu pada masa pertumbuhan bayi hingga usia anak-anak serta bagi wanita hamil dan menyusui.
2
Kekurangan
kalsium
pada
masa
pertumbuhan
menyebabkan
gangguan
pertumbuhan seperti tulang kurang kuat, mudah bengkok, dan rapuh.
Orang
dewasa setelah usia 50 tahun, kehilangan kalsium dari tulangnya sehingga menjadi rapuh dan mudah patah yang disebut osteoporosis (Almatsier 2003). Osteoporosis atau keropos tulang adalah kondisi tulang menjadi tipis, rapuh, keropos dan mudah patah sebagai akibat berkurangnya masa tulang akibat bertambahnya usia. Keberadaan penyakit ini sering tidak disadari. Oleh karena itu, osteoporosis sering disebut sebagai silent killer disease (Depkes RI 2004). Kelebihan kalsium dapat menimbulkan gangguan ginjal dan konstipasi (susah buang air besar) (Almatsier 2003). Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak di dalam tubuh setelah kalsium, yaitu 1% dari berat badan. Kurang lebih 58% fosfor di dalam tubuh terdapat sebagai garam kalsium fosfat, yaitu bagian dari kristal hidroksiapatit di dalam tulang dan gigi yang tidak dapat larut. Hidroksiapatit memberi kekuatan dan kekakuan pada tulang. Fosfor di dalam tulang berada dalam perbandingan 1:2 dengan kalsium.
Fosfor selebihnya terdapat di dalam semua sel tubuh,
separuhnya di dalam otot dan di dalam cairan ekstraselular (Almatsier 2003). Rasio antara kalsium dan fosfor memegang peranan penting dalam proses absorbsi keduanya. Dimana Ca dan P membentuk kompleks hidroksiapatit dan berperan dalam struktur dan pertumbuhan tulang (Casidey dan Frey 2001). Mineral akan bersifat bioavailable (jumlah zat dari nutrisi bahan pangan yang dapat digunakan sepenuhnya oleh tubuh) apabila mineral tersebut dalam bentuk mineral terlarut, namun tidak semua mineral terlarut bersifat bioavailable. Kondisi mineral terlarut diperlukan untuk memudahkan dalam penyerapan mineral di dalam tubuh (Newman dan Jagoe 1994). Solubilitas kalsium di dalam usus dipengaruhi oleh bentuk makanan (yang mengandung kalsium) dan pH usus (Casidey dan Frey 2001).
Faktor pendorong lainnya adalah suhu dan
keberadaan vitamin (Sediaoetama 1993). Faktor yang merupakan penghambat adalah kondisi pH basa, keberadaan serat, asam fitat, dan interaksi antara mineral yang satu dengan mineral yang lainnya (Almatsier 2003). Cangkang rajungan merupakan limbah padat yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan sehingga memerlukan penanganan yang serius untuk
3
mengurangi pencemaran sekaligus memberikan nilai tambah. Selama ini nilai tambah cangkang rajungan hanya diperoleh dari industri pakan.
Mengingat
limbah cangkang rajungan kaya akan kandungan mineralnya, maka dalam penelitian ini dititikberatkan terhadap mineral kalsium dan fosfor. Pemilihan cangkang rajungan sebagai sumber kalsium dan fosfor dalam penelitian ini untuk mengurangi limbah hasil pengolahan dan meminimalkan pencemaran lingkungan. Selain itu juga sebagai alternatif sumber kalsium pengganti susu dikarenakan harga susu yang mahal dan tidak semua kalangan masyarakat dapat membelinya. Pengolahan cangkang rajungan menjadi tepung sudah dilakukan oleh dua orang peneliti yaitu pemanfaatan cangkang rajungan (Portunus sp.) sebagai alternatif sumber kalsium pada kue kering (cookies) (Muna 2005) dan pemanfaatan cangkang rajungan (Portunus sp.) sebagai flavor (Ismiwarti 2005). Akan tetapi kajian terhadap solubilitas kalsium dan fosfor dalam hubungannya dengan metode penepungan (metode basah dan kering) belum pernah dilaporkan. Crackers adalah jenis biskuit yang terbuat dari adonan keras melalui proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang mengarah kepada rasa asin dan relatif renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis (Manley 2001). Crackers dipilih sebagai salah satu jenis makanan yang ditambahkan tepung cangkang rajungan karena crackers mudah dibuat dalam skala rumah tangga maupun industri dan dengan pertimbangan penerimaan bagi masyarakat dalam segala usia maupun tingkatan ekonomi.
1.2 Perumusan Masalah Permintaan komoditas daging rajungan yang terus meningkat menyebabkan meningkatnya limbah dari pengolahan rajungan baik berupa limbah cair, padat dan gas. Salah satu limbah padat yaitu cangkang rajungan. Pemanfaatan limbah cangkang rajungan belum dilakukan secara optimal. Selama ini limbah padat tersebut hanya dimanfaatkan sebagai pakan. Padahal cangkang rajungan memiliki kandungan mineral yang tinggi terutama kalsium dan fosfor, sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti susu sebagai sumber kalsium. Oleh karena itu, penelitian tentang pemanfaatan cangkang rajungan sebagai sumber kalsium
4
dan fosfor dalam pembuatan produk sangat diperlukan, selain untuk meningkatkan gizi masyarakat, juga mampu mengurangi laju osteoporosis. Adanya pengaruh yang terjadi terhadap kelarutan mineral (Ca dan P) dalam hubungannya dengan metode penepungan dan adanya interaksi dengan komponen gizi lain sehingga akan mempengaruhi nilai bioavailabilitasnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh metode penepungan terhadap kelarutan mineral pada berbagai pH (2, 4, 6) termasuk interaksi dengan komponen gizi lain dalam produk crackers.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah memanfaatkan limbah cangkang rajungan untuk dijadikan tepung dan mengaplikasikannya ke dalam produk crackers. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1) Menentukan metode penepungan terbaik antara metode basah dan kering dalam kaitannya dengan sifat fisiko-kimia tepung yang dihasilkan, termasuk kelarutan Ca dan P. 2) Formulasi crackers dengan penambahan tepung cangkang rajungan pada berbagai konsentrasi dan mengevaluasi karakteristik fisiko-kimanya. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam pemenuhan kebutuhan kalsium dan fosfor yang berasal dari tepung cangkang rajungan.
1.4 Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah: (1) Metode penepungan berpengaruh terhadap karakteristik fisiko-kimia tepung cangkang rajungan, termasuk solubilitas Ca dan P. (2) Penambahan tepung cangkang rajungan ke dalam produk crackers berpengaruh terhadap karakteristik fisiko-kimia termasuk solubilitas Ca dan P.
5
1.5 Kerangka Pemikiran Rajungan mengandung 25% bahan padat, 20–25% daging yang dapat dimakan, dan sekitar 50–60% berupa hasil buangan (Angka dan Suhartono 2000). Cangkang merupakan limbah padat dari hasil pengolahan rajungan yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan sehingga memerlukan penanganan yang serius untuk mengurangi pencemaran sekaligus memberikan nilai tambah. Selama ini cangkang rajungan hanya dimanfaatkan sebagai pakan. Mengingat cangkang rajungan memiliki kandungan mineral yang tinggi terutama kalsium dan fosfor, maka dalam penelitian ini dititikberatkan terhadap kalsium dan fosfor. Salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah cangkang rajungan dan meminimalkan pencemaran lingkungan akibat limbah hasil perikanan adalah dengan pengolahan cangkang rajungan menjadi tepung yang kemudian diaplikasikan ke produk pangan (crackers).
Metode penepungan dilakukan
dengan dua cara yaitu metode penepungan basah (perebusan dengan autoklaf) dan metode penepungan kering (pengovenan) untuk mengetahui pengaruh karakteristik fisiko-kimia termasuk solubilitas kalsium dan fosfor dari tepung cangkang rajngan yang dihasilkan. Pemilihan crackers sebagai salah satu produk pangan yang ditambahkan tepung cangkang rajungan karena mudah dibuat dalam skala rumah tangga maupun industri dan dengan pertimbangan penerimaan bagi masyarakat dalam segala usia maupun tingkatan ekonomi.
Crackers yang ditambahkan tepung
cangkang rajungan akan memiliki kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif dalam pemenuhan kebutuhan manusia akan kalsium dan fosfor. Selain itu juga sebagai sumber kalsium untuk mencegah osteoporosis dan osteomalasia. Untuk lebih jelas kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
6
Cangkang Rajungan
Tinggi kandungan kalsium dan fosfor
Metode Penepungan Basah (Perebusan dengan autoklaf)
Metode Penepungan Kering (Pengovenan)
Tepung cangkang rajungan
Crackers kaya kalsium dan fosfor
• Sumber alternatif pemenuhan kebutuhan kalsium dan fosfor • Sumber kalsium untuk mencegah osteoporosis dan osteomalasia • Meningkatkan nilai tambah cangkang rajungan • Meminimalkan pencemaran lingkungan akibat limbah hasil perikanan
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian