1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekonomi tidak akan pernah ada tanpa sumberdaya alam dan lingkungan karena setiap aktivitas ekonomi pastilah bersentuhan dengan salah satu atau bahkan keduanya sekaligus. Sayangnya, dalam perkembangannya kajian ekonomi mengabaikan sumberdaya alam, terebih setelah pesimisme Malthus dan kajian yang dilakukan Club of Rome melalui karya yang berjudul The Limit to Growth tidak kunjung terbukti. Ekonomi neoklasik merasa telah mampu mengatasi kelangkaan sumberdaya alam dengan kemajuan teknologi (Stiglitz 1974; Agnani et al 2005 diacu dalam Soedomo 2010).Namun demikian sistem ekonomi tidak akan pernah mampu keluar dari ekosistem. Aturan yang mengatur dinamika ekosistem, di mana di dalamnya aktivitas manusia berlangsung, pada akhirnya merupakan fungsi dari hukum biologi, bukan fungsi dari sistem ekonomi yang diciptakan manusia ( Gowdy dan Mc Daniel 1995; Smith 1996 diacu dalam Soedomo 2010). Pengabaian peranan sumberdaya alam dan lingkungan tersebut tercermin dalam ukuran-ukuran yang menjadi indikator kinerja perekonomian atau kesejahteraan suatu bangsa yang tidak memasukkan faktor sumberdaya alam dan lingkungan di dalamnya. Gross Domestic Product (GDP) dan Gross National Product (GNP) merupakan ukuran standar yang banyak dipergunakan. Ukuran kinerja perekonomian dan kesejahteraan suatu bangsa dengan menggunakan GNP dan GDP ini telah mendapatkan kritik tajam dari ahli-ahli ekonomi, karena beberapa kelemahan mendasar keduanya untuk merefleksikan kesejahteraan yang sesungguhnya (true well being) dari suatu bangsa. Salah satu ahli ekonomi yang memberikan kritik tersebut adalah Hueting pada tahun 1980 melalui bukunya yang berjudul New Scarcity and Economic Growth, di mana dalam buku tersebut Hueting menyatakan bahwa Gross National Product (GNP) sebagai alat indikator untuk mengukur kesejahteraan suatu bangsa (national well being) sangat menyesatkan (totally misleading), karena GNP sama sekali tidak menyertakan faktor-faktor krusial yang memberikan kontribusi terhadap GNP dan GDP, khususnya kualitas jasa lingkungan yang disumbangkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan (Fauzi dan Anna 2004). Apabila GDP dan GNP digunakan sebagai indikator kinerja pembangunan ekonomi dan kesejahteraan suatu bangsa di tingkat nasional maka pada tingkat regional atau daerah yang mencakup wilayah adminitrasi pemerintahan di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota digunakan indikator Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang secara konsep adalah sama dengan GDP atau PDB (Produk Domestik Bruto). Tidak berbeda dengan dengan GDP, PDRB ini belum mencerminkan ukuran kesejahteraan yang sesungguhnya dan tidak dapat dipakai untuk mengetahui tingkat keberlanjutan (sustainability) pembangunan karena belum memasukkan unsur deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. Itulah sebabnya PDRB belum dapat digunakan untuk mengetahui pola (pattern) keberlanjutan pembangunan suatu daerah (propinsi, kabupaten/kota).
2
Salah satu indikator yang dianggap lebih mampu memberikan gambaran tingkat kesejahteraan yang sebenarnya dan relatif lebih mampu memberikan gambaran keberlanjutan pembangunan adalah yang dikenal sebagai Pendapatan Domestik Bruto Hijau (PDBH) pada tingkat nasional dan Pendapatan Domestik Regional Bruto Hijau (PDRBH) pada tingkat regional. Indikator ini dianggap lebih mampu menggambarkan keberlanjutan pembangunan suatu wilayah karena telah memasukkan unsur nilai deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan dalam pendekatan perhitungannya. Perhitungan indikator pembagunan berkelanjutan dengan menggunakan PDRB hijau bagi daerah menjadi sangat penting untuk dilakukan terutama untuk wilayah propinsi atau kabupaten/kota yang memiliki corak perekonomian yang sangat dipengaruhi atau memiliki ketergantungan yang tinggi dengan sumberdaya alam termasuk sumberdaya hutan. Dengan adanya indikator tersebut diharapkan mampu menjadi panduan bagi pemerintah dan masyarakat di daerah tersebut untuk mengetahui apakah pembangunan ekonomi yang selama ini dijalankan berada pada jalur pembangunan yang berkelanjutan (sustainable path of development) atau tidak. Indikator pembangunan yang dimaksud adalah PDRB Hijau yang dalam perhitungannya memasukkan, stok, perubahan stok, deplesi dan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Kabupaten Blora Propinsi Jawa Tengah merupakan salah satu kabupaten yang perekonomiannya sangat tergantung pada sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan yang dicirikan dengan relatif tingginya sumbangan (share) nilai sektor kehutanan terhadap PDRB. Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1.1, rata-rata selama jangka waktu 6 tahun, yaitu dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2010, sektor kehutanan menyumbang 13,84% menurut harga berlaku. Tabel 1.1 Sumbangan Sektor Kehutanan Terhadap PDRB Kabupaten Blora Menurut Harga Berlaku Tahun
Kontribusi Sektor Kehutanan (Rp juta)
PDRB (Rp juta)
2004 326.661 2.253.838 2005 370.277 2.555.232 2006 408.698 2.873.718 2007 426.642 3.145.489 2008 506.631 3.636.798 531.464 2009 3.993.823,81 2010 574.235 4.472.315,20 Rerata Sumber: Blora Dalam Angka Tahun 2010, data diolah
Share Sektor Kehutanan Kehutanan Terhadap PDRB 14,49% 14,49% 14,22% 13,56% 13,93% 13,31% 12,84% 13,84%
Pangsa sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora juga relatif tinggi apabila perhitungan didasarkan pada PDRB Harga konstan tahun 2000 yaitu sebesar dan 14,44%, sebagaimana data yang ditampilkan dalam tabel 1.2.Relatif tingginya peranan sektor kehutanan dalam perekonomian Kabupaten Blora yang bertahan selama jangka waktu yang relatif lama tersebut tidaklah
3
mengherankan karena 50% wilayah Kabupaten Blora merupakan kawasan hutan baik hutan negara maupun hutan rakyat.Secara ringkas dapat dikatakan bahwa faktor resources endowment khususnya sumberdaya hutan telah berperan penting dalam membentuk pola perekonomian kabupaten Blora dalam waktu yang cukup panjang dan diperkirakan masih akan bertahan untuk waktu mendatang, sampai terdapat kekuatan besar yang dapat merubah struktur ekonomi yang ada sejauh ini. Tabel 1.2 Sumbangan Sektor Kehutanan Terhadap PDRB Kabupaten Blora Menurut Harga Konstan Tahun 2004 Tahun
Kontribusi Sektor PDRB Kehutanan (Rp juta) (Rp juta)
2004 255.740 1.659.635 2005 265.890 1.731.376 2006 273.415 1.803.169 2007 262.644 1.871.131 2008 278.147 1.979.627 284.241 2009 2.078.031,30 2010 292.562 2.182.808,64 Rerata Sumber: Blora Dalam Angka Tahun 2010,data diolah
Share Sektor Kehutanan Kehutanan Terhadap PDRB 15,41% 15,36% 15,16% 14,04% 14,05% 13,68% 13,40% 14,44%
Berdasarkan uraian yang dipaparkan sebelumnya bahwa PDRB yang selama ini dihitung dan dipublikasikan sebagaimana dalam Tabel 1.1 dan Tabel 1.2 merupakan PDRB konvensional yang hanya mencatat aktifitas perekonomian tanpa memasukkan dimensi pemanfaatan sumberdaya alam termasuk belum memasukkan stok, perubahan stok, nilai deplesi dan degradasi sumberdaya hutan dalam menghasilkan besaran yang dicantumkan dalam angka kontribusi sektor kehutanan terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Blora tersebut, sehingga tidak dapat diketahui apakah pemanfaatan sumberdaya hutan dalam perekonomian Kabupaten Blora menunjukkan kecenderungan berkelanjutan atau tidak.Dengan demikian diperlukan suatu perhitungan untuk mengkoreksi sumbangan sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora yang mencerminkan kontribusi yang sesungguhnya dari sektor kehutanan. Pendekatan yang dilakukan untuk mengkoreksi tersebut adalah dengan analisis neraca sumberdaya hutan sehingga dapat dihitung stok, perubahan stok, nilai deplesi dan degradasi sumberdaya hutan. 1.2 Rumusan Masalah Cara penentuan pendapatan nasional dan regional dengan menggunakan ukuran PDB atau PDRB yang selama ini digunakan mempunyai kelemahan, yakni bahwa dalam nilai produk yang dihitung masih mengandung depresiasi persediaan sumberdaya alam dan lingkungan. Pengurangan stok sumberdaya alam tidak terbarukan (nonrenewable resources) maupun kelebihan pemanenan terhadap riap
4
(growth rate) pada sumberdaya alam terbarukan (renewable), dalam perhitungan pendapatan nasional yang konvensional selama ini dianggap produksi (Repetto 1989). Dampak kegiatan ekonomi terhadap kualitas lingkungan seperti polusi, peningkatan kapasitas alami dalam menguraikan polusi dan limbah juga tidak muncul dalam perhitungan konvensional tersebut. Untuk kepentingan evaluasi pembangunan ekonomi nasional dan regional yang berdasarkan prinsip kelestarian (sustainable economic development, SED), hasil perhitungan pendapatan nasional dan regional berdasarkan cara konvensional tersebut di muka karenanya dianggap perlu dikoreksi, yakni bahwa setiap pengurangan persediaan sumberdaya alam dan penurunan kualitas lingkungan harus diperlakukan sebagai pengurang bagi pendapatan nasional/regional. Sebaliknya, setiap penambahannya (apresiasi) dianggap sebagai angka yang harus dipertambahkan pada angka pendapatan nasional konvensional (Daly 1986). Koreksi terhadap perhitungan pendapatan nasional dan regional sebagaimana dijelaskan sebelumnya dapat dilakukan dengan menggunakan kerangka kerja akuntansi sumberdaya alam dan lingkungan. Gilbert (1990) mendiskripsikan akuntansi sumberdaya alam sebagai suatu metodologi untuk menyajikan informasi mengenai lingkungan, sumberdaya dan ekonomi. Dalam perhitungan pendapatan nasional maupun regional perlakuan terhadap hutan dinilai bias karena yang dimasukkan adalah pendapatan yang dihasilkan dari sejumlah kayu yang dipanen, sebagai konsekuensinya deplesi atau perubahan stok sumberdaya hutan tidak terlihat dalam PDB atau PDRB. Aspek penting yang lain adalah akuntansi pendapatan nasional/regional yang standar tidak dapat membedakan antara fungsi produktif dan fungsi sumberdaya hutan yang lain yaitu dalam menjalankan fungsi pengaturan ekosistem seperti fungsi perlindungan tanah, pengaturan hidrologi, dan sebagai media rosot (sink) dan asimilasi alami dari emisi. Penggunaan kerangka kerja akuntansi sumberdaya alam dan lingkungan dapat digunakan sebagai pengujian apakah pemanfaatan sumberdaya hutan di Kabupaten Blora yang kontribusi relatif tinggi terhadap pembentukan pendapatan daerah memenuhi kaidah pemanfaatan yang lestari atau tidak. Terdapat sejumah indikator dengan menggunakan kerangka kerja integrasi deplesi dan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan seperti Adjusted Net Saving atau Genuine Saving, dan Eco Domestik Product.Penelitian ini memfokuskan pada integrasi akuntansi sumberdaya hutan dan degradasi lingkungan dengan Pendapatan Regional Bruto Kabupaten Blora. Pengintegrasian tersebut akan menghasilkan perhitungan PDRB yang diesuaikan sebagai indikator untuk menguji apakah pembangunan ekonomi Kabupaten Blora berada pada jalur berkelanjutan (sustainable path) atau sebaliknya. Berdasarkan paparan di atas, maka pertanyaan penelitian (research question) dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana dampak pemanfaatan sumberdaya hutan untuk pembangunan ekonomi terhadap perubahan stok tegakan dan karbon? 2. Apabila sumberdaya hutan diperlakukan sebagai salah satu bentuk kapital alami (natural capital), berapa nilai kapitalisasinya dan penyusutan/depresiasinya?
5
3. Dengan menggunakan kerangka kerja keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya pulih sesuai dengan “Daly’s Operational Rule” apakah pemanfaatan sumberdaya hutan untuk pembangunan ekonomi Kabupaten Blora berada pada jalur berkelanjutan (sustainable path)? 1.3 Tujuan Tujuan umum dari penelitian ini adalah menyusun dan menganalisis neraca tegakan hutan dan sediaan karbon untuk mengkoreksi sumbangan sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora. Tujuan khusus dari penelitian adalah: 1. Menyusun neraca tegakan dan karbon yang merupakan ikhtisar persediaan volume kayu hutan dan karbon beserta perubahannya dalam suatu periode waktu tertentu 2. Mengestimasi nilai moneter dari sediaan volume tegakan dan karbon, dan nilai penysusutan/depresiasi sumberdaya hutan sebagai salah satu bentuk kapital alami 3. Mengestimasi konstribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora yang berkelanjutan dengan memasukkan nilai deplesi tegakan dan degradasi kemampuan hutan dalam menyimpan karbon
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan kemanfaatan sebagai berikut: 1. Memberikan informasi mengenai besarnya nilai deplesi sumberdaya hutan dan degradasi lingkungan sebagai dampak pembangunan ekonomi di Kabupaten Blora 2. Memperkenalkan metode-metode yang dapat digunakan untuk menghitung nilai deplesi sumberdaya hutan dan nilai ekonomi sumberdaya hutan dalam menjalankan salah satu fungsi ekologisnya yaitu sebagai media rosot (sink) dan penyimpanan (storage) emisi karbon 3. Memperkaya ranah penelitian mengenai aplikasi konsep neraca sumberdaya alam dan lingkungan untuk dapat diperbandingkan dengan metode dan hasilhasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya 4. Memberikan informasi kepada pengambil kebijakan pembangunan dan para pemangku kepentingan dalam upaya peninjauan dan perumusan model pembangunan ekonomi yang tidak bias terhadap sumberdaya alam dan lingkungan 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup yang tercakup dalam penelitian ini dibatasi pada: 1. Kawasan hutan yang dimaksudkan adalah kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani yang berada di wilayah administratif pemerintahan Kabupaten Blora
6
2. Aset atau aktiva hutan yang dilakukan penilaian terbatas pada aset hutan dalam bentuk tegakan (standing timber) dan kapasitas hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon yang dikonversi ke dalam bentuk biomassa pohon 3. Biomassa pohon yang diperhitungkan sebagai media rosot karbon dibatasi pada bagian batang (stem), sedangkan kandungan karbon pada bagian biomassa pohon di cabang, akar dan daun tidak diperhitungkan dalam penelitian ini.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Indikator Pembangunan Keberlanjutan Konsep keberlanjutan pada dasarnya berimplikasi kepada suatu karakteristik sistem, program atau sumberdaya yang akan tetap ada sepanjang waktu. Konsep ini pertama kali muncul pada tahun 1980 dalam konteks strategi konservasi dunia yang digagas oleh International for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Konsep keberlanjutan selanjutnya menjadi mengemuka setelah pada tahun 1987, Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih dikenal dengan Bruntland Commisision melalui laporannya yang berjudul Our Common Future, di mana dalam dokumen laporan tersebut menekankan peran kunci keberlanjutan pertanian sebagai basis dari pembangunan berkelanjutan (Singh dan Shishodia 2007). Pembangunan berkelanjutan didefinisikan dalam beragam cara yang berbeda yang menyebabkan pembahasan mengenai masalah yang penting ini kadangkala menjadi sesuatu yang membingungkan. Terdapat sejumlah keragaman mengenai pengertian dalam konsep pembangunan berkelanjutan atau topik-topik yang berhubungan dengan pembangunan berkelanjutan tersebut. Pengertian yang paling sering dikutip untuk mendefinisikan arti pembangunan berkelanjutan adalah definisi yang diberikan oleh Komisi Brundtland yaitu pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya”.Permasalahan yang timbul dari definisi pembangunan berkelanjutan tersebut adalah hanya memberikan sedikit kemanfaatan dalam tataran praktis. Oleh karena permasalahan tersebut maka akan lebih bermanfaat untuk menghubungkan secara langsung konsep pembangunan berkelanjutan dengan konsep konsumsi dalam sistem akuntansi nasional dan Net Domestic Product (NDP). Apabila konsumsi agregat suatu negara kurang dari atau sama dengan NDP maka perekonomian negara tersebut pasti mengikuti jalur pembangunan berkelanjutan karena stok kapital total akan meningkat atau setidaknya tidak mengalami penurunan sepanjang waktu. Secara implikasi terdapat kekonsistenan dengan konsep pembangunan berkelanjutan untuk negara yang mengalami deplesi stok kapital dari sumberdaya alam selama negara tersebut mengkompensasi deplesi tersebut dengan kapital buatan (produced or man made