1
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebun Raya Bogor (KRB) memiliki keterikatan sejarah yang kuat dalam pelestarian tumbuhan obat. Pendiri KRB yaitu Prof. Caspar George Carl Reinwardt merintis kebun ini dengan menyelidiki berbagai tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan. Tumbuhan ini kemudian dikumpulkan dalam sebuah kebun botani yang disebut Buitenzorg. Beberapa kebun raya tua di dunia, awalnya berdiri sebagai upaya dari pelestarian tumbuhan obat. Waylen (2006) menyebut beberapa contoh kebun raya tua yang dimaksud, yaitu Kebun Raya Padua (1545), Kebun Raya Chelsea (1673) dan Kebun Raya Kew (1847). Kebun Raya Padua awalnya merupakan area budidaya herba obat dan sebagai tempat belajar siswa dalam membedakan dan menggunakan herba obat secara benar. Kebun Raya Chelsea oleh para apoteker dijadikan tempat untuk melatih identifikasi tumbuhan dan budidaya tumbuhan eksotik untuk obat. Kebun Raya Kew oleh direktur pertamanya tidak hanya diperuntukkan bagi para ilmuwan botani tetapi juga digunakan sebagai tempat pelayanan bagi para pedagang obat dan bahan kimia. Tumbuhan obat merupakan sumber daya alam yang sangat berkaitan erat dengan aspek kesehatan dan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia sejak dahulu. Sejumlah spesies tumbuhan yang berguna dan berkembang di masyarakat Indonesia saat ini berasal dari hasil introduksi tanaman dari luar negeri melalui KRB. Kelapa sawit adalah salah satu komoditi pertanian dan sumber bahan obat alami yang diintroduksi pada tahun 1848 dari Afrika Barat ke Indonesia melalui KRB dan akhirnya menjadi induk kelapa sawit di Asia Tenggara. Tanaman introduksi lainnya yang tercatat antara lain adalah teh, kayu manis, karet, coklat dan bahkan kina yang merupakan bahan utama alami untuk pengobatan malaria memiliki sejarah yang kuat dengan perkembangan KRB. Beberapa spesies tumbuhan obat ini telah berhasil menyebar di berbagai daerah di Indonesia sebagai hasil pengembangan dan penelitian yang dilakukan kebun raya saat itu. Sampai tahun 2001 Laboratorium Konservasi Tumbuhan, Fakultas Kehutanan IPB, telah mendata berbagai laporan penelitian dan literatur tentang tumbuhan
2
obat (sekitar 2039 spesies) yang berasal dari hutan Indonesia (Zuhud 2009). Sementara itu Tilaar
(2004) menyatakan bahwa lebih dari 8000 spesies
merupakan tanaman yang mempunyai khasiat obat dan baru sekitar 800-1200 spesies yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk obat tradisional atau jamu. Data dari IBEC (Indonesian Bio-pharmaceutical Exhibition and Congress) yang disampaikan di Keraton Yogyakarta pada 18 Juli 2004 menunjukkan terdapat 7000 spesies tumbuhan obat di Indonesia, namun baru 465 spesies yang terjaring dalam daftar industri obat tradisional. Terlepas dari data yang beragam saat ini, beberapa spesies tumbuhan obat dikabarkan telah termasuk dalam kategori langka. Dokumen IBSAP (Bappenas 2003) dalam lampirannya menyebutkan 44 spesies tumbuhan obat Indonesia yang dikategorikan langka. Pelestarian keanekaragaman hayati secara ex situ merupakan hal penting dalam strategi konservasi keanekaragaman hayati sebagaimana dicanangkan dalam Agenda 21 Indonesia (KLH 1997). Dalam Agenda 21 disebutkan bahwa ‘upaya pelestarian harus disertai dengan pemeliharaan sistem pengetahuan tradisional dan pengembangan sistem pemanfaatan keanekaragaman hayati yang dilandasi oleh pembagian keuntungan yang adil’. KRB sebagai lembaga konservasi ex-situ tumbuhan tentu memiliki tanggung jawab moral dalam pelaksanaan pelestarian spesies tumbuhan obat asli Indonesia yang banyak terkait dengan sistem pengetahuan tradisional yang telah mengalami proses kelangkaan. Berdasarkan Renstranya (Sari et al. 2005), terdapat 4 misi penting KRB, dua di antaranya sangat terkait dengan pemanfaatan keanekaragaman hayati, yaitu (1) pendayagunaan tumbuhan tropika dan (2) peningkatan apresiasi masyarakat terhadap tumbuhan dan lingkungan. Dua misi konservasi yang mengarah kepada pemanfaatan sumberdaya tumbuhan secara berkelanjutan ini realisasinya masih jauh dari harapan. Pendayagunaan tumbuhan tropika seperti halnya kelapa sawit dan kina pada masa awal perkembangan KRB belum lagi terulang. Sementara misi lainnya yaitu pelestarian tumbuhan tropika dalam pelaksanaannya masih terfokus dalam bentuk kebun koleksi. Terkoleksinya spesies tumbuhan obat serta terdokumentasinya pengetahuanpengetahuan tradisional dari berbagai daerah di Nusantara merupakan upaya penting bagi terciptanya kelestarian spesies tumbuhan obat Indonesia. Hal ini
3
tentu sejalan dengan Target 8 dan 9 GSPC (CBD 2002) di mana 60% spesies terancam kepunahan dapat dikoleksi secara ex situ dan 70% dari keragaman tumbuhan pangan yang bernilai ekonomi dapat dikonservasi dan yang berhubungan dengan pengetahuan lokal dapat dipertahankan. Target 8 GSPC bahkan telah direvisi dalam COP 10 CBD 2010 di mana persentase tumbuhan terancam kepunahan yang harus dikoleksikan menjadi 75% (Sharrock and Oldfield 2011). Menurut Jackson dan Sutherland (2000), tumbuhan obat termasuk kelompok spesies yang bernilai penting bagi sosial ekonomi masyarakat lokal dan bersama dengan spesies pangan termasuk dalam prioritas program International Agenda for Botanic Gardens in Conservation (IABGC). Dalam hal ini taman koleksi
tumbuhan obat dapat dikembangkan oleh kebun raya sebagai taman
penting untuk pameran dan pendidikan yang bernilai penting ekonomi dan konservasi bagi masyarakat (Leadlay and Greene 1998). KRB saat ini memiliki koleksi 3411 spesies, dari 1259 genera dan 215 famili tumbuhan, di antaranya adalah spesies tumbuhan obat.
Koleksi yang
berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan belahan dunia ini memiliki habitus yang sangat beragam, mulai dari tumbuhan merambat, herba, perdu sampai pohon-pohon berkayu berukuran besar. Semua spesies koleksi tercatat dengan baik, termasuk aspek taksonomi dan ekologinya di Bagian Registrasi, namun saat ini belum tersedia data yang komprehensif mengenai kegunaannya sebagai obat dari masing-masing spesies koleksi tersebut serta kategori kelangkaannya. Akurasi
data mengenai
keberadaan
tumbuhan
obat
dan
kategori
kelangkaannya di suatu lembaga sangat mendukung upaya konservasi secara berkelanjutan (Langpap 2005). Untuk itu dalam rangka meningkatkan kualitas informasi tentang koleksi, khususnya koleksi tumbuhan berpotensi obat, perlu diadakan pendataan secara detail mengenai jumlah koleksi tumbuhan berpotensi obat dan berbagai aspek konservasinya. Hal ini sangat penting sebagai dasar ilmiah bagi pengembangan program konservasi di KRB pada masa yang akan datang, yang tidak hanya bertitik tolak dari kepentingan pengelola tetapi juga berorientasi kepada kebutuhan masyarakat.
4
1.2. Perumusan Masalah Kebun raya didefinisikan sebagai lembaga yang memiliki koleksi tanaman hidup yang terdokumentasi untuk keperluan penelitian, konservasi, pameran dan pendidikan. Karakteristik suatu kebun raya antara lain dicirikan dengan adanya (1) label yang memadai pada tanaman koleksi, (2) informasi ilmiah untuk koleksi, (3) dokumentasi koleksi yang baik, (4) komunikasi dan informasi dengan kebun raya lain, (5) pertukaran biji atau material dengan kebun raya lain, (6) komitmen dan tanggung jawab untuk memelihara koleksinya, (7) monitoring tanaman koleksinya, (8) promosi konservasi melalui pendidikan lingkungan, (9) penelitian terhadap tanaman koleksinya serta (10) terbuka untuk umum (Jackson and Sutherland 2000). Selanjutnya Ballantyne et al. (2007) menyatakan bahwa kebun raya adalah tempat yang paling berpotensi untuk kegiatan pendidikan masyarakat dan untuk memotivasi sikap pro konservasi serta merangsang publik untuk melakukan upaya-upaya konservasi. Ironisnya, kebun raya dalam pengertian umum sering diartikan sebagai kebun kumpulan pepohonan yang ditata rapih, indah dan nyaman untuk rekreasi. Kemudian kebun raya menjadi kawasan tujuan wisata yang mendatangkan penghasilan. Pemahaman ini begitu kuat melekat di masyarakat kita hingga fungsi utamanya sebagai kawasan konservasi, lahan penelitian biologi, sarana pendidikan lingkungan sekaligus sebagai museum hidup sering terlupakan (Darnaedi 2001). Demikian yang terjadi saat ini, padahal kebun raya memiliki sejarah panjang dan peranan besar dalam kegiatan eksplorasi dan dokumentasi keragaman spesies tumbuhan termasuk di dalamnya pengembangan ilmu pengetahuan sistematika, hortikultura, dan saat ini bidang filogenetika molekular (Crane et al. 2009). Salah satu aset penting kebun raya adalah tumbuhan obat. Sejak zaman kebangkitan di Eropa, beberapa kebun raya di universitas-universitas dunia telah melakukan dan memperlakukan tanaman koleksinya sebagai sesuatu yang bernilai secara medis dan farmasi kepada para mahasiswa di bidang kedokteran. Untuk tujuan ini, spesimen tumbuhan yang dikoleksi dari alam baik oleh para botanis maupun oleh para pengusaha pengembang tanaman, telah dikirim ke kebun raya, pada umumnya berupa biji dan dikembangbiakkan di kebun raya (Müller and Wille 2001). Sejak itu, kegiatan dan penelitian kebun raya diarahkan kepada
5
berbagai kepentingan dasar manusia seperti pengobatan berdasarkan tumbuhtumbuhan
yang
penting.
(Donaldson
2009).
Dalam
perkembangannya
pengetahuan tumbuhan obat saat ini di beberapa kebun raya seringkali diabaikan (Crane et al. 2009), padahal secara historis tumbuhan obat adalah bagian penting dari suatu kebun raya (Shan-an and Zhong-ming 1991). Konservasi tumbuhan obat Indonesia adalah suatu hal yang tidak bisa ditunda lagi. Sebagai lembaga konservasi ex situ, KRB berkewajiban melestarikan dan mengembangkan koleksi tumbuhan obatnya. Kompetensi KRB dalam konservasi tumbuhan secara umum adalah menyiapkan bahan perumusan kebijakan tentang konservasi ex situ tumbuhan tropika, pengembangan kawasan konservasi ex situ dan model konservasi tumbuhan langka, pelaksanaan penelitian konservasi dan pendayagunan tumbuhan, reintroduksi dan pemulihan jenis-jenis tumbuhan tropika, serta pengembangan pendidikan lingkungan (LIPI 2002). Agar kompetensi ini dapat terlaksana dengan baik, maka mutlak dibutuhkan data dasar yang memadai. Dalam hal ini data dasar seperti jumlah koleksi tumbuhan obat yang dimiliki, informasi khasiat dan bagian tumbuhan yang digunakan dari koleksi
tersebut,
serta
aspek-aspek
konservasi
koleksi
tumbuhan
obat
bersangkutan seharusnya tersedia dengan baik. Tumbuhan obat tidak sekedar menjadi koleksi yang dilindungi tetapi seharusnya memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Apa yang diharapkan masyarakat terhadap KRB tentunya perlu dijadikan dasar dalam menentukan program dan kebijakannya dalam pelestarian tumbuhan obat. Belum terwujudnya tujuan konservasi tumbuhan obat di KRB secara kongkrit diduga dikarenakan belum sejalannya antara program kegiatan KRB dengan harapan masyarakat. Pendayagunaan
koleksi terutama koleksi tumbuhan obat belum optimal
dikarenakan KRB belum memiliki data secara lengkap dan akurat, terutama mengenai kepastian bahwa suatu koleksi merupakan tumbuhan obat dan bagaimana kategori kelangkaannya, serta belum menentukan prioritas spesies tumbuhan obat yang dapat menuntun aksi konservasinya ke arah yang lebih efektif dan komprehensif sesuai dengan kompetensi KRB dan harapan masyarakat.
6
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Mengkaji kondisi terkini koleksi spesies tumbuhan obat di KRB, pemanfaatan, kategori kelangkaan, dan spesies prioritasnya. 2. Menggali harapan masyarakat terhadap peran KRB dalam konservasi ex situ tumbuhan obat. 3. Mengkaji apakah program konservasi tumbuhan obat di KRB sudah sesuai dengan harapan masyarakat dalam rangka penyusunan aksi konservasi pada masa yang akan datang.
1.4. Manfaat Penelitian Keakuratan data dan informasi ilmiah mengenai potensi koleksi tumbuhan obat yang dimiliki KRB sangat bermanfaat bagi KRB dan
masyarakat luas.
Rancangan aksi konservasi tumbuhan obat yang sudah disusun dapat dijadikan rujukan bagi tindakan konservasi tumbuhan obat di KRB maupun di lembaga konservasi lainnya pada masa yang akan datang. Rancangan aksi ini juga dapat diadopsi untuk kelompok tumbuhan lainnya.