1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir memiliki karakteristik, stabilitas dan resiliensi yang berbeda dibandingkan dengan wilayah lainnya, namun demikian selama ini pengetahuan mengenai karakteristik wilayah pesisir masih kurang dipahami benar oleh para pemanfaatnya, sehingga pengelolaan, pola pembangunan, dan regulasi disusun sama dengan cara pandang kita terhadap pengelolaan wilayah daratan atau pulau besar (mainland). Wilayah pesisir adalah wilayah yang paling rentan terkena dampak buruk bencana atau perubahan ikim sebagai akumulasi pengaruh daratan dan lautan. Dua per tiga kejadian bencana di dunia terjadi di wilayah pesisir (IPCC 2007). Dengan posisi wilayah pesisir sebagai daerah peralihan daratan dan lautan, memungkinkan setiap kegiatan yang berlangsung di daratan dan lautan akan berdampak pada wilayah pesisir. Sistem pesisir (coastal system) memiliki sistem ekologi dan sistem sosial yang terkait sangat erat dan merupakan sebuah sistem terintegrasi. Keduanya memiliki kompleksitas dan terus berubah, sehingga pengelolaannya akan selalu dihadapkan pada persoalan ketidakpastian dan perubahan mendadak (Folke et al 2002). Semakin besarnya perubahan ekologis dan sosial
menyebabkan munculnya kejutan-kejutan dan ketidakpastian yang
makin tinggi. Oleh karena itu, maka pengelolaan terpadu dan terintegrasi merupakan pilihan pembangunan yang tepat dalam pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan, sehingga dibutuhkan pilihan dan aksi strategi pengelolaan yang menjamin konektivitas fungsi sumberdaya, fungsi ekologis dan sosial meningkat. Aksi strategis yang mengintegrasikan pemikiran bencana pesisir dalam ICZM harus dilakukan karena akan melindungi biodiversitas, integritas ekologis, mata pencaharian, serta menyelamatkan umat manusia (Thia Eng 2006). Persoalan utama dalam pengelolaan wilayah pesisir adalah penggunaaan asumsi respon ekosistem terhadap penggunaan sumberdaya alam oleh manusia yang bersifat linier, dapat diprediksi/dikontrol. Resiliensi merupakan strategi pengelolaan yang mengedepankan respon ekosistem.
2
Isu paling penting
yang berhubungan dengan perubahan iklim global
(climate change) yang relevan dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang masa depan adalah resiliensi ekosistem.
Hal ini sesuai dengan konsep
pengelolaan pesisir yang menekankan pada respon ekosistem. Resiliensi ekosistem merupakan satu-satunya upaya dalam pengelolaan terumbu karang yang terkait dengan perubahan iklim global (Bellwood et al. 2004; HoeghGuldberg et al. 2007; Nystrom et al. 2008). Pemahaman tersebut menyadarkan pentingnya teknik menilai resiliensi ekosistem terumbu karang pengembangan pendekatan
serta
yang dibutuhkan untuk beradaptasi. Adaptasi
merupakan kemampuan sistem ekologi dan sosial yang terkait sangat erat, untuk menghadapi situasi baru tanpa mengurangi kesempatan mendapatkan pilihan masa depan. Kunci untuk meningkatkan kapasitas adaptif ialah resiliensi yang merupakan strategi yang mulai dikembangkan (Folke et al 2002). Pengembangan konsep ini sejalan dengan pendapat Berkes and Seixas (2005) bahwa pengembangan pembangunan
sistem yang
resiliensi berkelanjutan,
ekologi-sosial namun
merupakan
pengembanganya
kunci di
bagi negara
berkembang masih sangat diabaikan, sementara resiliensi sangat sesuai digunakan untuk mengkaji pengelolaan wilayah pesisir, khususnya bila dikaji dari aspek perubahan mendadak (Holling 1973). Holling (2001) mendefiniskan resiliensi sebagai kapasitas keterkaitan sistem untuk mengabsorbsi gangguan dari perubahan yang bersifat mendadak, sehingga mampu mempertahankan struktur dan proses esensial serta menyediakan umpan balik. Selanjutnya Holling (2001), Gunderson and Holling (2002), Adger et al (2005) berpendapat bahwa resiliensi merupakan derajat kemampuan sistem kompleks yang adaptif untuk mengorganisisaikan diri secara mandiri, serta membangun kapasitas belajar dan beradaptasi. Dengan demikian maka resiliensi ekologi-sosial merupakan kemampuan sistem kompleks yang adaptif untuk mengabsorbsi gangguan, mengorganisasikan diri secara mandiri serta membangun kapasitas adaptasi dari perubahan yang bersifat mendadak, sehingga mampu mempertahankan struktur dan proses esensial serta menyediakan umpan balik. Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan bagi biota laut dan sebagai sumber
3
plasma nutfah. Terumbu karang juga merupakan sumber makanan dan bahan baku substansi bioaktif yang berguna dalam farmasi dan kedokteran. Selain itu, terumbu karang juga mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai pelindung pantai dari degradasi dan abrasi. Semakin bertambahnya nilai ekonomis maupun kebutuhan masyarakat akan sumberdaya yang ada di terumbu karang seperti ikan, udang lobster, teripang dan molluska dan sumberdaya lainnya, maka aktivitas yang mendorong masyarakat untuk memanfaatkan potensi tersebut semakin besar pula. Dengan demikian tekanan sosial terhadap ekosistem terumbu karang berikut flora dan fauna yang berasosiasi denganya juga akan semakin meningkat. Rusaknya ekosistem terumbu karang berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan untuk sumberdaya ikan karang serta abrasi pantai, sehingga terjadi kerusakan tempat pemijahan dan daerah asuhan ikan, dan menurunya produktivitas tangkap serta berbagai kerusakan ekosistem lainnya.
Semua
kerusakan biofisik lingkungan tersebut adalah gejala yang terlihat dengan kasat mata dari hasil interaksi antara manusia dengan sumberdaya terumbu karang yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian dan resiliensi lingkungannya. Persoalan yang mendasar adalah mekanisme pengelolaan ekosistem terumbu karang tidak efektif memberi kesempatan kepada sumberdaya ekosistem terumbu karang yang dimanfaatkan untuk pulih kembali atau pemanfaatan sumberdaya non-hayati disubtitusi dengan sumberdaya alam lain dan mengeliminir faktorfaktor yang menyebabkan kerusakannya. Pada sisi yang lain, terumbu karang memiliki tingkat kemampuan untuk pulih yang semakin lama semakin menurun seiring dengan makin meningkatknya upaya ekstraksi dan eksploitasi yang dilakukan pada ekosistem terumbu karang, kondisi ini berakibat menurunya kualitas lingkungan perairan dan degradasi terumbu karang. Selain itu, pemucatan karang (coral bleaching) oleh kenaikan suhu permukaan air laut akibat dampak pemanasan global merupakan faktor yang sangat berperan dalam menurunkan resiliensi terumbu karang. Pemucatan karang adalah terputusnya hubungan simbiotik antara zooxanthellae dengan karang yang menjadi inangnya (Brown 1997). Jika pemucatan berlangsung lama atau bersifat akut, maka karang akan mati secara masal dan kerangkanya yang awalnya putih
4
segera berubah redup akibat alga yang tumbuh di karang mati tersebut. Di masa depan, terumbu karang diduga akan lebih sering mengalami kerusakan akibat pemanasan global. Upaya mengurangi dampak fenomena alam seperti dampak perubahan iklim yang berpengaruh terhadap eksistensi terumbu karang guna meningkatkan daya resiliensi terumbu karang merupakan hal penting yang perlu dilakukan sebagai langkah antisipatif dalam menjamin kelestarian ekosistem terumbu karang yang sustainable. Resiliensi merupakan pendekatan yang berbasis ekosistem. Pendekatan yang berbasis ekosistem dalam pengelolaan ekosistem kompleks perlu menyertakan masyarakat dalam konsep ekosistem (McLeod dan Leslie 2009 dalam Shackeroff, J.M. et al. 2011). Oleh sebab itu, perlu dicari strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir dengan harapan masyarakat memperoleh manfaat dari strategi pengelolaan tersebut, dan rancangan untuk membangun model pengelolaan yang berbasis kepada resiliensi ekologi-sosial terumbu karang merupakan strategi yang relevan untuk menjawab permasalahan degradasi ekosistem terumbu karang yang setiap saat rentan terhadap perubahan iklim global. Pengembangan sistem resiliensi ekologi-sosial (eko-sosio) terumbu karang harus segera dilakukan mengingat kerusakan ekosistem (degradasi) terumbu karang
serta
resiko-resiko
bencana
(disaster)
yang
tinggi.
Kegagalan
mengembangkan resiliensi akan menyebabkan frekuensi bencana regional yang makin meningkat (IPPC 2001). Bedasarkan alasan-alasan diatas maka kajian pengelolaan terumbu karang dengan pendekatan sisitem resiliensi ekologi-sosial (resiliensi eko-sosio system) sebagai dasar pengelolaan ekosistem terumbu karang, perlu segera dilakukan. 1.2. Perumusan Masalah Perubahan iklim telah menyebabkan memburuknya kondisi ekologi yang berkelanjutan, hilangnya keanekaragaman hayati global yang berpotensi mengakibatkan meningkatnya jumlah gangguan dan guncangan terhadap sistem ekologis-sosial (Millenium Ecosystem Assessment 2005, IPCC 2007, Balmford et al. 2009, Rockstrom et al. 2009). Teluk Kotania yang secara administratif terletak di Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, merupakan kawasan pesisir
5
dan pulau-pulau kecil dengan ekosistem utama terumbu karang, mangrove dan padang lamun.
Ekosistem terumbu karang di teluk ini mengalami tekanan
degradasi lingkungan yang sangat tinggi akibat aktivitas pemanfaatan dan eksploitasi yang sangat berlebihan dilakukan oleh masyarakat di sekitar kawasan. Secara alami, terumbu karang memiliki resiliensi yang tinggi terhadap setiap gangguan yang ada (Done 1992; Connell 1997), sehingga telah mampu bertahan selama ratusan juta tahun (Grig 1994). Namun dampak negatif kehadiran manusia di bumi dalam dua abad terakhir telah menyebabkan daya resiliensi terumbu karang terhadap gangguan yang ada semakin kecil (Jackson 1997; Jackson et al. 2001).
Fenomena ini juga terjadi di Teluk Kotania dan telah memberikan
sumbangan yang cukup besar dalam menciptakan tekanan yang serius terhadap menurunya resiliensi terumbu karang. Menurunya resiliensi terumbu karang merupakan gangguan dan goncangan besar bagi sektor pariwisata bahari seperti yang terjadi di Great Barrier Reef Australia (Biggs D. 2011). Untuk itu, kajian resiliensi sistem ekologi-sosial bagi keperluan pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan sangat penting (Hughes et al. 2005, Lebel et al. 2006). Rendahnya tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat di Teluk Kotania akan pentingnya fungsi terumbu karang, ditambah lagi tidak mudahnya mencari alternatif pekerjaan menambah tekanan terhadap terumbu karang semakin tinggi dan kompleks. Rusaknya terumbu karang dapat mengakibatkan terganggunya fungsi-fungsi ekologis terumbu karang yang sangat penting, yaitu (1) hilangnya habitat tempat memijah, tempat berkembangnya larva (nursery), dan tempat mencari makan bagi banyak sekali biota laut yang sebagian besar mempunyai nilai ekonomis tinggi dan (2) hilangnya pelindung pulau dari dampak kenaikan permukaan laut. Jika tidak ada karang batu yang menghasilkan sedimen kapur, maka fungsi terumbu karang sebagai pemecah ombak akan berkurang. Cara pemanfaatan yang tradisionalpun, misalnya pemakaian bubu di beberapa tempat karena dipakai dalam jumlah yang banyak telah menyebabkan kerusakan terumbu karang dalam skala yang relatif luas. Disamping itu, adanya kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan disertai dengan tidak adanya peraturan perikanan dan turunannya dalam pengelolaan lingkungan sumberdaya alam, semakin menambah tingkat
6
degradasi dan menurunkan tingkat resiliensi terumbu karang di Teluk Kotania. Kegiatan penangkapan dengan alat tangkap tradisionalpun seperti panah ikan, kalawai, jaring dasar, dan bubu yang disertai dengan budaya bameti/mameti (mengambil biota yang terdapat disekitar terumbu karang dengan jalan mengangkat, mencungkil, memindahkan dan menghancurkan terumbu karang) yang dilakukan di suatu kawasan terumbu karang secara kontinyu semakin mempercepat laju degradasi terumbu karang. Kondisi ini bila tidak dibarengi dengan pengembangan nilai-nilai sosial dan budaya seperti sasi yang merupakan kearifan lokal (local wisdom) masyarakat setempat, maka dikuatirkan akan mengancam keberadaan ekosistem terumbu karang karena ambang batas resiliensi terumbu karang dilampaui, sehingga dapat menjurus pada hilangnya ekosistem tersebut di Teluk Kotania. Beberapa hambatan yang ditemui yaitu; 1) kesulitan memperoleh teknologi ramah lingkungan dalam kegiatan pemanfaatan jenis produk sumberdaya ekosistem terumbu karang, 2) ketergantungan pada ekosistem terumbu karang sebagai lokasi aktivitas perikanan guna memenuhi desakan sosial dan ekonomi,dan 3) kurangnya kesadaran dan pemahaman pengelolaan lingkungan. Selain itu, kawasan ekosistem terumbu karang saat ini dimanfaatkan untuk areal penangkapan ikan, fasilitas pelabuhan, konservasi, jasa pariwisata dan areal
pemukiman
penduduk
yang
sering
menimbulkan
konflik
sosial.
Kompleksitas permasalahan pengelolaan ekosistem terumbu karang yang terjadi di Teluk Kotania perlu dikelola secara baik. Pemahaman terhadap resiliensi ekologi-sosial terumbu karang secara baik merupakan dasar bagi upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara terpadu dan berkelanjutan. Hambatan pengelolaan ekosistem terumbu karang di atas melengkapi beberapa kendala dalam pengelolaan terumbu karang di Teluk Kotania. Segenap kendala tersebut bukan berarti ekosistem terumbu karang tidak dapat di kelola atau dikembangkan, melainkan pola pengelolalaannya harus mengikuti kaidahkaidah ekologis-sosial dan harus memenuhi skala ekonomi yang optimal. Pola pengelolaan yang kompleks seperti ini harus dilakukan secara hati-hati dan sistimatis. Untuk itu, penerapan konsep resiliensi ekologi-sosial relevan untuk pola pengelolaan tersebut, hal ini sesuai dengan pendapat (Holling 1973, Holing
7
2001, Carpenter et al 2004, Gunderson and Pritchard 2002) bahwa resiliensi merupakan konsep yang sesuai bagi penilaian ekosistem yang bersifat kompleks.. Kajian tentang resiliensi yang dilakukan oleh beberapa peneliti masih terpusat pada resiliensi sosial-ekologi secara umum dan khusus untuk terumbu karang masih beriorientasi pada resiliensi ekologi terumbu karang. Penerapan konsep resiliensi ekologi-sosial lebih menitikberatkan pada kaidah-kaidah ekologi yang dominan dibanding sosial. Pendekatan kerentanan dan daya dukung yang selama ini digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang cenderung terfokus pada masalah sektoral dan bersifat parsial tanpa melihat kemampuan resiliensi ekologi-sosial
(eko-sosio)
terumbu
karang
untuk
mempertahankan
dan
mereorganisasikan dirinya dari tekanan lingkungan baik yang bersifat eksogen maupun endogen. Dilain pihak, pemahaman resiliensi ekosistem terumbu karang menjadi faktor penentu kajian kerentanan maupun daya dukung, namun kajian tentang resiliensi ekosistem terumbu karang belum menjadi prioritas dalam setiap pengelolaan ekosistem terumbu karang. Walaupun semua defenisi resiliensi dapat menjelaskan arti dari resiliensi, namun teori resiliensi belum dapat digunakan di dalam pengelolaan terumbu karang (Nystrom et al. 2008). Pada saat ini pengetahuan tentang resiliensi terumbu karang seharusnya sudah cukup untuk melakukan sesuatu (Nystrom et al. 2008), sehingga teori resiliensi segera dapat digunakan di dalam praktek pengelolaan terumbu karang. Dengan demikian maka pemahaman resiliensi ekologi-sosial (eko-sosio) secara holistik sebagai dasar pengelolaan ekosistem terumbu karang mutlak diperlukan. Namun, menurut Berkes and Seixas (2005) bahwa permasalahan pengembangan resiliensi serupa pada analisis indikator keberlanjutan atau indikator kinerja sumberdaya alam.
Untuk itu, identifikasi indikator atau
parameter untuk mengembangkan resiliensi ekologi-sosial (eko-sosio) terumbu karang pada tingkat lokal merupakan langkah awal yang penting untuk membantu memahami bentuk resiliensi eko-sosio terumbu karang. Kajian beberapa model resiliensi terumbu karang sangat terbatas dan yang selama ini dilakukan belum secara tuntas menjawab permasalahan resiliensi ekologi-sosial terumbu karang karena masih terfokus pada resiliensi ekologi
8
terumbu karang saja. Bachtiar (2011) memperkenalkan model indeks resiliensi ekologi terumbu karang yang dimodifikasi dari model matematik indeks resiliensi tanah yang dikembangkan oleh Orwin dan Wardle (2004). Pada saat ini terdapat dua metode penilaian resiliensi terumbu karang yang dikenal secara luas yaitu pertama Obura dan Grimsditch (2009) yang memperkenalkan panduan penilaian resiliensi terumbu karang yang telah di publikasikan oleh IUCN (the International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources), dan yang kedua oleh Maynard et al (2010) juga mengembangkan metode penilaian resiliensi terumbu karang. Kedua metode tersebut masih sulit diterapkan di Indonesia karena membutuhkan dukungan finansial dan kepakaran yang memadai. Selain itu, kajian yang dilakukan para
peneliti tersebut masih terfokus pada faktor
ekologi semata dalam menilai tingkatan resiliensi ekologi terumbu karang. Desain metode pengelolaan yang secara jelas dapat digunakan secara praktis dan murah sangat dibutuhkan dalam melihat tingkatan resiliensi ekologisosial terumbu karang secara cepat sampai sejauh ini belum tersedia. Sementara rancangan tersebut sangat penting dan perlu dilakukan guna penilaian dan estimasi tingkat resiliensi ekologi-sosial terumbu karang secara kontinyu. Selain itu,
pengembangan
model
resiliensi
ekologi-sosial
hendaknya
mampu
mengestimasi dan memprediksi tingkat resiliensi serta sedapat mungkin dikombinasikan dengan strategi adaptasi sehingga prinsip-prinsip resiliensi ekologi-sosial terpenuhi. Penggabungkan konsep resiliensi dengan teknologi sistem informasi untuk menghasilkan tools yang dapat digunakan dalam mengestimasi dan memprediksi tingkat resiliensi merupakan sesuatu yang perlu dicoba guna mempermudah penilaian resiliensi terumbu karang secara cepat dan akurat. Langkah ini juga sekaligus untuk menguji sensitivitas dan validatas model yang dibuat sehingga sesuai dengan kondisi lapang. Dari beberapa kajian resiliensi, sampai sejauh ini belum ditemukan tools bagi penilaian resiliensi ekologi-sosial secara spasial-dinamik. Desain atau rancang bangun model pengelolaan terumbu karang di Teluk Kotania dengan kajian resiliensi ekologi-sosial, merupakan suatu desain pengelolaan yang mempertimbangkan multi faktor dan multi stakeholders dengan kepentingan yang beragam. Kompleksitas masalah seperti ini membutuhkan
9
pendekatan yang bersifat holistik dengan harapan dapat membantu memecahkan masalah secara komprehensif. Untuk itu, penggunaan pendekatan sistem (system approach) relevan diterapkan dalam penelitian guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan desain model pengelolaan terumbu karang berdasarkan resiliensi ekologi-sosial. Tujuan tersebut dicapai melalui tahapan penelitian : a. Identifikasi dan menganalisis parameter resiliensi ekologi-sosial (eko-sosio) terumbu karang b. Memformulasikan model indeks resiliensi eko-sosio terumbu karang c. Estimasi tingkat resiliensi eko-sosio terumbu karang di Teluk Kotania d. Menyusun strategi adaptasi pengelolaan terumbu karang berdasarkan resiliensi eko-sosio di Teluk Kotania e. Mendesain
model
resilliensi
ekologi
sosial-coral
reef
management
(MORESIO-CRM). Penelitian ini menghasilkan model pengelolaan ekosistem terumbu karang secara terpadu dan berkelanjutan berdasarkan RES (Resiliensi Ekologi-Sosial) dengan pendekatan sistem spasial-dinamik. Rancangan model pengelolaan yang dihasilkan dijadikan sebagai Decision Suport System (DSS) dan dikenal sebagai Model Resiliensi Ekologi Sosial-Coral Reef Management (MORESIO-CRM). Untuk itu, manfaat dari penelitian ini adalah : - Manfaat praktis: Penelitian ini adalah untuk memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan dibidang pengelolaan ekosistem terumbu karang, sehingga dapat mengambil kebijakan secara cepat, tepat dan akurat. - Manfaat teoritis akademis : Dari segi teoritis akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan rujukan bagi para peneliti lain yang akan melakukan pengkajian pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan tolok ukur Indeks Resiliensi Ekologi-Sosial (IRES).
10
1.4. Kerangka Pemikiran Keragaman hayati, sumberdaya perikanan, dan nilai estetika yang tinggi merupakan nilai lebih ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, pesisir dan pulau-pulau kecil juga memberikan jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya
dan
sekaligus
sebagai
kawasan
berlangsungnya
kegiatan
kepariwisataan. Disinilah ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi, seperti terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan rumput laut serta beragam biota ditemukan. Namun di antara ekosistem tersebut ternyata terumbu karang memiliki daya pulih (recovery) yang sangat rendah jika terjadi tekanan lingkungan. Pada beberapa wilayah pesisir, terumbu karang mendapat tekanan lingkungan yang sangat tinggi dibanding ekosistem lainnya. Model pengelolaan terumbu karang saat ini cenderung tidak memberikan kesempatan yang cukup bagi terumbu karang dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, untuk itu diperlukan konsep dan model pengelolaan yang dapat menjamin keberlanjutannya. Penelitian ini mengkaji resiliensi terumbu karang di Teluk Kotania dari aspek ekologi-sosial. Dengan mengadopsi konsep resiliensi dari Holling dan Gunderson (2002), Folke et al (2004) dan Hughes et al (2007), maka resiliensi ekologi-sosial terumbu karang dalam penelitian ini dimaknai sebagai kemampuan sistem ekologi-sosial untuk menghadapi gangguan, memelihara, melakukan reorganisasi dan pembentukan manajemen adaptasi serta menyediakan umpan balik. Dengan demikian, maka penerapan konsep resiliensi eko-sosio terumbu karang memiliki peluang yang sangat potensial guna membangun tata kelola ekosistem terumbu karang yang lebih stabil. Berdasarkan pemahaman resiliensi ekologi-sosial (eko-sosio) terumbu karang yang telah dikemukakan, maka kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian dapat ditampilkan pada Gambar 1. Konsep resiliensi eko-sosio yang dikembangkan dapat dikelommpokan kedalam tiga model yaitu; model system, model resiliensi, dan model spasial-dinamik.
11
Gambar 1. Kerangka pemikiran kajian resiliensi eko-sosio terumbu karang
Model rancangan pendekatan yang relefan untuk mengkuantifikasi seluruh aspek tersebut adalah MORESIO-CRM (Model Resiliensi Ekologi Sosial-Coral Reef Management).
MORESIO-CRM dilakukan dengan pendekatan sistem
spasial (spacial system approach) dan sistem dinamik (dinamic system approach) dengan menggunakan Software Arc-Gis 9.3 dan Matlab 7. Penelitian ini dilakukan melalui kajian secara terpadu terhadap persoalanpersoalan yang berkembang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Kotania. Kajian aspek ekologi dilakukan secara terintegrasi dengan aspek sosial serta disimulasikan menurut dimensi waktu pengelolaan. Secara keseluruhan, penelitian ini di desain untuk membangun sistem pengelolaan sumberdaya terumbu karang dalam rangka mencapai keseimbangan antara peningkatan kualitas lingkungan ekologi, perbaikan status sosial dan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Sebagai bagian tak terpisahkan dari kerangka Integrated Coastal Zone Management (ICZM), penelitian ini memberikan sumbangan kecil bagi upaya pengelolaan berbagai issue global, terutama yang berkaitan dengan masalah Resiliensi Ekologi-Sosial (RES) terumbu karang.
12
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini terfokus pada estimasi kondisi resiliensi dengan formulasi indeks resiliensi ekologi-sosial (eko-sosio) terumbu karang secara spasial-dinamis dengan penggunaan beberapa tools analisis dan aplikasi system dalam mewujudkan penilaian resiliensi terumbu karang secara cepat. Penelitian ini juga menghasilkan sebuah tools sederhana system pengambilan keputusan (Decision Suport System/DSS) yang diberi nama Model Resiliensi Eko-sosio Coral Reef Management (MORESIO-CRM). Gambaran ruang linngkup penelitian dituangkan dalam bentuk bagan alir rancangan penelitian pada gambar berikut;
Gambar 2. Ruang lingkup penelitian resiliensi eko-sosio terumbu karang
13
1.6. Kebaharuan (Novelty) Secara umum, kebaharuan penelitian ini adalah digunakannya konsep sistem resiliensi ekologi-sosial untuk mengelola ekosistem terumbu karang di Teluk Kotania yang baru pertama kali dilakukan di Indonesia, sehingga dapat dihasilkan model-model pengelolaan terumbu karang yang bisa di aplikasikan oleh berbagai pihak. Pada umumnya pengelolaan terumbu karang didasarkan hanya semata pada kerentanan dan daya dukung saja, namun tidak melihat daya resiliensi ekosistem terumbu karang dalam menyerap berbagai gangguan dan tekanan, sehingga ekosistem bisa beradaptasi seraya memulihkan dirinya dari tekanan dan gangguan lingkungan. Secara khusus, kebaharuan dari penelitian ini adalah : a) Formula indeks resiliensi ekologi-sosial terumbu karang yang terdapat dalam penelitian ini merupakan rumus yang baru dikembangkan dalam menilai resiliensi ekologi-sosial terumbu karang. b) Penggunaan formula Indeks Resiliensi Ekologi-Sosial Coral Reef Management (IRES) dalam memprediksi laju resiliensi secara spasialdinamik belum pernah dilakukan sebelumnya. c) Formula indeks resiliensi hasil modifikasi yang dikembangkan dari persamaan Ostrom (1990) merupakan rumus penilaian resiliensi yang baru yang memiliki karakteristik ambang batas resiliensi yang berbeda dari rumus awalnya. d) Pemberian bobot dan skoring terhadap parameter-parameter yang dijadikan indikator resiliensi ekologi-sosial terumbu karang yang digunakan di dalam indeks juga belum pernah dilakukan oleh para peneliti lain. e) Rancangan software MORESIO-CRM dengan menggunakan formula IRES dalam menilai laju resiliensi eko-sosio terumbu karang secara spasial-dinamik, merupakan temuan baru yang dapat digunakan sebagai sistem pengambilan keputusan dalam penilaian resiliensi terumbu karang secara cepat, akurat dan mudah.
14
Di luar Teluk Kotania, kajian-kajian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini dan telah dilakukan di Indonesia dan mancanegara antara lainnya adalah : 1). Walker et al (2002) telah mengkaji tentang managemen resiliensi sosialekologi sistem, sebuah hipotesis pendekatan partisipatif (Participatory Approach). Hasil kajian menunjukkan bahwa terdapat empat tahap dalam melakukan analisis resiliensi sistem sosial-ekologi yang dapat digunakan sebagai pendekatan dalam memprediksi sistem resiliensi sosial-ekologi pada masa depan. 2). Perrings (1998) telah mengkaji dinamika resiliensi dalam sistem ekonomilingkungan. Hasil kajian ini menunjukan bahwa penggunaan kolaborasi antara konsep ekologi dan konsep ekonomi dalam penerapan konsep resiliensi dapat digunakan untuk mengukur tingkat resiliensi yang kaitannya dengan keadaan yang terjadi di alam. Kajian ini mengadopsi konsep dari Pimm (1984) dan Holling (1973) untuk mengukur resiliensi sosial-ekologi dari waktu yang digunakan dan faktor penyebabnya serta besarnya gangguan yang diserap sebuah sistem beserta penyebabnya. 3). Clanahan et al (2002) telah mengkaji status ekologi dalam menilai resiliensi terumbu karang. Hasil kajian ini merekomendasikan beberapa variabel ekologi yang dapat digunakan sebagai indikator resiliensi ekosistem terumbu karang seperti keanekaragaman jenis, keystone species dan redundancy, predator, konektivitas, dan degradasi ekosistem. 4. Nystrom and Folke (2001). Telah mengkaji tentang resiliensi spasial terumbu karang. Kajian terfokus pada interaksi antara resiliensi ekosistem terumbu karang dengan gangguan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Hasil kajian merokemendasikan faktor resiliensi spasial dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti memori ekologi (warisan biologis, mobile link spesies, dan dukungan daerah), fungsi keanekaragaman ekosistem terumbu karang sebagai seascapes (pemandangan laut) dan manajemen pengelolaan.
15
5. Hughes et al (2007). Telah mengkaji peranan ikan herbivor terhadap resiliensi terumbu karang. Kajian terfokus peran serta ikan-ikan herbivore, tahap pergeseran, dan daya resiliensi terumbu karang terhadap perubahan iklim. 6. Bachtiar I (2011). Melakukan penelitian tentang resiliensi terumbu karang. Kajian terfokus pada pengembangan indeks resiliensi terumbu karang yang dimodifikasi dari indeks resiliensi komunitas tanah dari Orwin dan Wardle (2004). Sedangkan beberapa kajian yang telah dilakukan di Teluk Kotania yang terkait dengan penelitian ini adalah : 1) Sangaji (2003). Telah mengkaji zonasi ekosistem terumbu karang di Teluk Kotania berdasarkan indeks kepekaan lingkungan dengan pendekatan Cell Based Modelling (CBM) citra satelit dan SIG. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa kelas arahan zonasi pengelolaan ekosistem terumbu karang, kajian ini menggunakan faktor biofisik sebagai indikator penentuan zonasi. Kelas kesesuain zonasi juga ditentukan oleh aktifitas masyarakat dan jarak ekosistem terumbu karang dengan perkampungan pesisir. Semakin jauh jarak maka kelas zonasi ekosistem terumbu karang semakin baik dan tingkat aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan ekosistem terumbu karang semakin kecil. 2). Siahanenia (1994). Telah mengkaji penyebaran dan sifat-sifat terumbu karang di Teluk Kotania. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebaran terumbu karang umumnya
memiliki
presentase
lebih
besar
pada
pulau-pulau
kecil
dibandingkan dengan di pesisir Teluk Kotania. Dan umumnya sifat sebaran terumbu karang dipengaruhi oleh kondisi karakteristik perairan dan aktifitas masyarakat di sekitar ekosistem terumbu karang. 3). I Nyoman Sutarna dan O.K. Sumadiharga (1985). Telah melakukan kajian keanekaragaman jenis dan kondisi karang batu di Teluk Kotania, Seram Barat. 4). S. Wouthuyzen dan D. Sahetapy (1993). Melakukan kajian tentang ekosistem terumbu karang di Kotania Seram barat. 5). D. Sahetapy (1993). Melakukan kajian tentang struktur komunitas karang di Teluk Kotania, Seram Barat.