1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga dari kelompok monokotil yang telah beradaptasi dengan lingkungan laut (Marlin 2011). Hartog (1970) in Dahuri (2003) menjelaskan bahwa lamun telah dapat beradaptasi dengan lingkungan laut dapat dilihat dari: (1) lamun dapat hidup pada media air asin, (2) mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, (3) mempunyai sistem perakaran yang berkembang dengan baik dan (4) mampu melaksanakan penyerbukan dan daur generatif dalam keadaan terbenam. Distribusi lamun secara geografis dapat dikelompokkan dalam dua bioregion yaitu: (1) bioregion temperate dan (2) bioregion tropis (Waycott et al. 2007). Berdasarkan bioregion tersebut distribusi lamun di perairan laut Indonesia termasuk dalam wilayah bioregion Indo-Pasifik. Selanjutnya distribusi lamun pada lingkungan laut dibatasi oleh kondisi lingkungan yaitu kondisi substrat dan sinar matahari.
Kiswara (1999) menyebutkan lamun dapat terdistribusi pada
kondisi substrat yang berlumpur, pasir berlumpur, pasir halus, pasir karang, puing karang mati dan tempat berbatu sampai kedalaman perairan yang masih dapat ditembus sinar matahari. Lamun di lingkungan laut memiliki fungsi sebagai sumber produktivitas primer dan habitat biota laut (Hemminga and Duarte 2000 in Waycott et al. 2007). Nienhuis et al. (2002) dan Jones et al. (2006) menjelaskan bahwa lamun dapat berfungsi sebagai tempat pemeliharaan ikan pada massa juvenil, tempat mencari makan dan berlindung dari predator. Beberapa jenis biota laut selain ikan yang berasosiasi dengan lamun adalah moluska, udang, kepiting dan tripang (Tsukamoto et al. (1997). Selanjutnya dari aspek lingkungan fisik lamun dapat berfungsi sebagai peredam energi gelombang dan arus yang sampai ke pantai (Willams et al. 2006). Keanekaragaman jenis ikan yang berasosiasi dengan lamun telah dinyatakan oleh Hutomo dan Martosewejo (1977), Hutomo (1985) dan Peristiwadi (1991) in Dahuri (2003) yaitu di Teluk Banten ditemukan 360 spesies ikan yang berasosiasi dengan lamun, di perairan Gusung Talang Selat Makasar ditemukan 27 spesies ikan dan di pantai Lombok Selatan ditemukan 85 spesies ikan dan 4 spesies yang khas hidup di padang lamun adalah jenis Syngnathoides biaculeatus, Novaculichthys, Acreichthys sp dan Centrogenys vaigiensis.
2 Keberadaan lamun yang cukup penting untuk keberlanjutan ikan dan lingkungan saat ini mendapat ancaman yang cukup serius akibat meningkatnya aktivitas penduduk di wilayah pesisir seperti pembangunan pelabuhan, alih fungsi lahan menjadi kawasan industri dan pemanfaatan areal lamun yang cendrung tidak ramah lingkungan (Dahuri 2003). Dampak langsung dari aktivitas pembangunan di wilayah pesisir seperti pelabuhan berakibat pada berkurangnya luas areal lamun mulai dari ukuran meter kuadrat sampai ratusan kilometer kuadrat (Willams et al. 2006). Kerusakan lamun selain dari aktivitas antropogenik dapat juga berasal dari alam seperti badai, vulkanik dan pemanasan global (Neckless and Frederick 1999). Kerusakan beberapa jenis lamun seperti jenis Syringodium isoetifolium dan Enhalus acoroides telah terjadi di Kepulauan Seribu, Pulau Pari
dan Teluk
Banten yang disebabkan oleh kekeruhan air akibat perputuran perahu nelayan (Kiswara 1999). Lebih lanjut disebutkan bahwa pada tegakan tunggal dari jenis Enhalus acoroides, dan tegakan campuran dari jenis Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Halophila uninervis dan Halophila ovalis telah hilang seluas 25 ha akibat reklamsi pantai di Teluk Banten. Selanjutnya Tomascik et al. (1997) menyebutkan bahwa kerusakan lamun di perairan Indonesia berasal dari: (1) aktivitas pembangunan di wilayah pesisir dan peningkatan jumlah penduduk, (2) eutrofikasi, (3) pembuangan limbah industri, (4) aquakultur dan (5) over fishing.
Kiswara et al.
(1994) menyebutkan
kerusakan lamun di Teluk Gerupuk dan pantai Kute (Lombok Selatan) disebabkan oleh masyarakat yang memanfaatkan areal lamun dengan menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan. Sumber kerusakan lamun yang telah disebutkan di atas dapat berdampak pada menurunnya fungsi ekologi lamun untuk keberlanjutan ikan. Fungsi ekologi lamun tersebut adalah sebagai area pemijahan (spawning ground), area asuhan (nursery ground) dan area mencari makan. Selanjutnya berdasarkan potensi lamun yang cukup luas di perairan Indonesia dan fungsi vital lamun untuk keberlanjutan sumberdaya ikan saat ini menjadi salah satu objek dari sasaran konservasi perairan (DKP 2008). Indikator yang perlu dipertimbangkan dalam konservasi lamun adalah:
(1) pola
distribusi dan tipe komunitas lamun, (2)
dinamika perubahan secara spatial dan temporal, (3)
fungsi lamun sebagai
habitat bagi keanekaragaman jenis biota laut serta proses ekologi seperti tranfer energi melalui rantai makanan herbivora dan detritus serta (4) besarnya
3 kerusakan lamun akibat aktivitas masyarakat serta kerusakan lamun yang disebabkan oleh faktor alam (Thom et al. 2001). Kerusakan lamun yang dapat berdampak pada menurunnya fungsi lamun di lingkungan laut dapat direspon melalui konservasi lamun sebagai objek perlindungan laut. Beberapa contoh perlindungan laut atau konservasi laut yang berhasil dalam meningkatkan biomassa ikan adalah: (1) di Teluk Chesapeake USA, konservasi dan pengelolaan lamun dilakukan dengan menggunakan kriteria kualitas air, (2) di Great Barrier Reef Australia konservasi lamun dilakukan dengan perluasan areal perlindungan laut, kriterianya adalah jumlah jenis ikan terumbu karang yang bermigrasi ke padang lamun, (3) di Filipina dan Karibbia konservasi lamun diintegrasikan dalam program pengelolaan Marine Protected Area
(MPA) yang diperkuat oleh undang-undang, (4) di Mediterranean
konservasi lamun dilakukan melalui restorasi dengan cara rehabilitasi habitat (Kenworthy et al. 2000 in Larkum et al. 2006). Konservasi lamun di perairan Indonesia sebenarnya telah terintegrasi pada Kawasan Konservasi Taman Nasional Laut, Kawasan Konservasi Laut Daerah dan Kawasan Konservasi Taman Wisata Alam Laut. Adapun definisi dari tiap kawasan konservasi tersebut adalah: (1) Taman Nasional Perairan yang merupakan kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan berkelanjutan, wisata perairan dan rekreasi, (2) Suaka Alam Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu
untuk
tujuan
perlindungan
keanekaragaman
jenis
ikan
dan
ekosistemnya, (3) Taman Wisata Perairan, merupakan kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi dan (4) Suaka Perikanan adalah kawasan perairan baik air tawar, payau maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlidung dan berkembang biak jenis sumberdaya ikan tertentu yang berfungsi sebagai daerah perlindungan (PP No 60 Tahun 2007). Kriteria yang menjadi dasar penetapan kawasan konservasi perairan yaitu: (1) ekologi yang meliputi keanekaragaman hayati, kealamiahan, keterkaitan ekologis, keterwakilan, keunikan, produktivitas, daerah pemijahan ikan dan daerah pengasuhan, (2) sosial budaya meliputi tingkat dukungan masyarakat, potensi konflik kepentingan, potensi ancaman, kearifan lokal serta adat istiadat dan (3) ekonomi yang meliputi
4 nilai penting perikanan, potensi rekreasi dan parawisata, estitika dan kemudahan mencapai kawasan (DKP 2008). Lombok Timur memiliki luas laut 1.074, 33 km2 dan panjang pantai 85 km (Bappeda NTB, 2006). Di wilayah pesisir Lombok Timur memiliki potensi hutan mangrove 2.242,56 ha, terumbu karang 761,10 ha dan padang lamun (Lombok Timur dalam Angka 2008). Potensi lamun di areal pantai Lombok Timur dapat ditemukan di sepanjang pantai Pulau Lombok dan pantai pulau-pulau kecil. Namun demikian data tentang luasan
padang lamun belum tersedia.
Keberadaan padang lamun di wilayah pesisir Lombok Timur memiliki makna yang cukup penting, khususnya dalam mendukung produksi perikanan laut. Hal ini telah dinyatakan oleh Cullen dan Unsworth (2010) yang menyatakan bahwa padang lamun memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam mendukung produksi ikan baik secara langsung maupun tidak langsung dari fungsi lamun sebagai temapat pemeliharaan dan tujuan ikan bermigrasi. Kerusakan lingkungan di wilayah pesisir Lombok Timur dapat dilihat dari kerusakan mangrove sebesar 331,7 ha dan terumbu karang sebesar 45 % di Gili Maringkik dan Gili Petagan (Co-Fish Project 2001). Indikasi lain dari kerusakan lingkungan laut di wilayah pesisir Lombok Timur adalah menurunya produksi ikan yaitu pada tahun 2003 produksi ikan sebesar 16. 857,5 ton dan turun menjadi 15.995,7 ton pada tahun 2007 dan rata-rata penurunan produksi ikan dari tahun 2003 sampai 2007 sebesar 1,04 % (Lombok Timur dalam Angka 2008). Penelitian yang berkaitan dengan kerusakan lamun berdasarkan indikator ekologi
dan ekonomi di wilayah pesisir Tanjung Luar telah dilakukan oleh
(Syukur 2001). Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa sumber kerusakan yang berlangsung secara terus menerus berasal dari pemanfaatan areal lamun secara distruktif oleh masyarakat yang mencari sumberdaya yang bernilai ekonomi. Tanjung Luar secara administratif berada dalam
wilayah Kabupaten
Lombok Timur dan letak geografisnya yaitu pada posisi 116°. 37’ - 116°. 45’ bujur timur dan 8°17’- 8°18’ lintang selatan. Berkaitan dengan sumberdaya alam di wilayah pesisir Tanjung Luar, isu utama yang masih menjadi masalah adalah tentang kerusakan lingkungan laut. Salah satu ekosistem yang
mengalami
kerusakan adalah ekosistem padang lamun. Hasi identifikasi sumber kerusakan padang lamun di lokasi studi adalah: (1) pembangunan dermaga perikanan, (2) over-exploitasi sumberdaya yang bernilai ekonomi dari areal padang lamun dan
5 cara pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan, (3) kemiskinan, dan (4) jumlah penduduk yang cukup besar yaitu sebesar 24.018 jiwa dan yang berprofesi sebagai nelayan sebesar 6.037 orang (25,13%).
Dampak dari kerusakan
lingkungan dan tingginya laju eksploitasi sumberdaya ikan diduga sebagai penyebab menurunya produksi ikan hasil tangkapan nelayan. Salah satu jenis ikan yang produksinya cukup menurun dan memiliki ketergantungan cukup tinggi terhadap lamun
dalam siklus hidupnya adalah ikan baronang. Selain ikan
baronang produksi beberapa jenis ikan lain juga mengalami penurunan. Adapun produksi beberapa jenis ikan tersebut adalah ikan baronang dari 3,4 ton pada tahun 2005 turun menjadi 1,4 ton tahun 2009, ikan belanak dari 14,1 ton pada tahun 2006 turun menjadi 7,6 ton tahun 2009 dan ikan tengiri dari 24,8 ton tahun 2006 turun menjadi 5,2 ton tahun 2009 (BPS, NTB 2009). Potensi lamun di lokasi studi cukup luas dan tersebar pada beberapa lokasi seperti di intertidal pantai Gili Kere, Gili Maringkik, Gili Bembek, Kampung Baru, Lungkak dan Poton Bakau. Keberadaan padang lamun tersebut tentu memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap keanekaragaman jenis ikan di lokasi penelitian. Beberapa penelitian lain yang berkaitan dengan potensi ikan pada padang lamun seperti yang telah dilakukan oleh Bell et. al (2007) di Taman Nasional Wakatobi, Supriyadi (2009) di areal padang lamun Teluk Kotania dan Pelita Jaya, Marasabessy (2010) di Pulau-Pulau Derawan Kalimatan Timur. Berkaitan dengan peran lamun yang cukup penting untuk keanekaraman jenis ikan yang berasosiasi dengan lamun, potensi lamun serta bentuk aktivitas masyarakat yang dapat menyebabkan kerusakan lamun di lokasi belum dilakukan penelitian. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang potensi, kondisi lamun, potensi ikan, fungsi ekologi lamun terhadap ikan dan sumber ancaman kerusakan lamun untuk keberlanjutan sumberdaya ikan. Selanjutnya dari parameter tersebut digunakan sebagai kriteria dalam desain konservasi lamun dan strategi pengelolaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan di lokasi studi. 1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis potensi lamun dan sumber ancaman kerusakan lamun. 2. Menganalisis keragaman ikan yang berasosisai dengan lamun.
6 3. Menganalisis pengetahuan ekologi masyarakat lokal dan kearifan lokal masyarakat yang memiliki relevansi dengan konservasi lamun. 4. Merumuskan kriteria dan indikator ekologi sebagai dasar desain konservasi lamun dan strategi pengelolaan 1.3 Kerangka Berpikir Potensi padang lamun di lokasi studi cukup besar dan tersebar pada beberapa lokasi yaitu di intertidal pantai Tanjung Luar (Kampung Baru, Lungkak dan Poton Bakau dan di intertidal pulu kecil (gili) seperti di Gili Kere, Gili Maringkik dan Gili Bembek. Isu utama yang menjadi permasalahan berkaitan dengan keberadaan lamun di lokasi studi adalah kerusakan lamun yang disebabkan oleh tingginya intensitas pemanfaatan oleh nelayan tradisional dan pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan oleh masyarakat. Kerusakan lamun di lokasi studi dapat berdampak negatif khususnya ikan yang memanfaatkan padang lamun sebagai habitat agar sukses dalam tahapan vital dari siklus hidupnya. Oleh karena itu untuk menilai keberadaan lamun di lokasi studi dapat mengguankan beberapa indikator seperti kondisi lamun berdasarkan parameter jumlah jenis lamun, kerapatan lamun, penutupan lamun dan biomasa lamun. Selain itu indikator lain yang cukup penting berkaitan dengan keberadaan lamun adalah bentuk aktiviatas masyarakat dalam memanfaatkan areal padang. Penilaian bentuk aktivitas masyarakat tersebut dapat menjelaskan tentang manfaat lamun bagi masyarakat lokal. Namun demikian pemanfaatan tersebut sering berdampak negatif terhadap lamun. Hal tersebut disebabkan karena cara pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan. Kerusakan lamun akibat perubahan kondisi lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas masyarakat maupun faktor alam dapat dinilai dari perubahan struktur komunitas dan populasi dari biota yang berasosiasi dengan lamun (Coles et al. 1996). Konservasi lamun di lokasi studi sebagai strategi pengelolaan sumberdaya ikan bersumber hasil penilaian pada aspek nilai lingkungan lamun, sumber kerusakan lamun dan keanekaragaman ikan yang berasosiasi dengan lamun. Oleh karena itu desain konservasi lamun di lokasi studi sasaran utama dalam pengelolaanya adalah: (1) melindungi fungsi ekologi lamuan dalam mendukung keberlanjutan sumberdaya ikan dan (2) mengendalikan cara-cara pemanfaatan untuk
mencegah
kerusakan
lamun,
sehingga
terjamin
kelestarian
dari
sumberdaya ikan dan biota lain yang berasosiasi dengan lamun. Oleh karena itu
7 untuk mencapai sasaran tersebut selain aspek ekologi aspek sosial yang meliputi peran serta masyarakat lokal dan pengetahuan ekologi masyarakat lokal adalah faktor penting yang harus di integrasikan dalam sistem pengelolaanya (Bianchi et al. 2009) Desain konservasi lamun untuk keberlanjutan sumberdaya ikan di lokasi studi meliputi dua aspek yaitu: (1) menetapkan kriteria ekologi sebagai instrumen atau parameter yang digunakan sebagai indikator dalam monitoring dan evaluasi terhadap potensi lamun, kondisi lamun, peran ekologi lamun untuk mendukung keberlanjutan
sumberdaya
ikan
dan
perubahannya
akibat
eksploitasi
sumberdaya yang bernilai ekonomi di padang lamun, (2) pengelolaan yang berbasis konservasi ekosistem padang lamun untuk mengurangi atau mencegah kerusakan lamun dan lingkungannya. Berkaitan dengan kedua aspek tersebut kriteria ekologi sebagai instrumen dalam desain konservasi lamun untuk keberlanjutan sumberdaya ikan yaitu: potensi lamun (luas areal lamun dan jumlah jenis lamun), kondisi lamun (kerapatan lamun, penutupan lamun dan biomassa lamun), komunitas ikan yang berasosiasi dengan lamun (keanekaragaman ikan, kelimpahan dan kekayaan jenis ikan), fungsi ekologi lamun terhadap ikan (struktur komunitas ikan berdasarkan ukuran dan padang lamun sebagai tempat ikan mencari makan) dan sumber ancaman kerusakan lamun (kelompok nelayan yang memanfaatkan padang lamun sebagai tempat mencari ikan dan masyarakat non nelayan yang mencari sumberdaya yang bernilai konsumsi dan ekonomi). Selanjutnya pada aspek pengelolaan parameter ekologi, sosial (pengetahuan ekologi masyarakat lokal dan kearifan lokal) dan kelembagaan. Oleh karena itu penerapan kriteria dalam pengelolaan padang lamun di lokasi studi secara spatial di buat dalam zona pengelolaan berdasarkan nilai sumberdaya pada tiap lokasi padang lamun. Secara garis besar kerangka berpikir dari desain konservasi lamun di lokasi studi seperti pada (Gambar 1).
8
Lamun (Seagrass) di Wilayah Pesisir Tanjung Luar
Areal tangkapan nelalayan dan pemanfaatan secara distruktif oleh masyarakat
Degradasi fungsi lamun sebagai habitat ikan
Perubahan kondisi lamun, struktur komunitas ikan dan aspek sosial masyarakat berkaitan dengan manfaat lamun dan keberlanjutan sumberdaya ikan Analisis dan Sintesis
Potensi lamun, kondisi lamun, struktur komunitas ikan dan fungsi ekologi lamun terhadap ikan (tempat pembesaran dan mencarai makan)
Kriteria desain Konservasi lamun Zonasi dan pencegahan pemanfaatan distruktif
Monitoring dan evaluasi perubahan kondisi lamun dan struktur komunitas ikan
Pengelolaan padang lamun untuk keberlanjutan sumberdaya ikan
Gambar 1 Kerangka berpikir
9 1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitiaan ini diharapkan dapat menambah referensi berkaitan dengan masalah degradasi lingkungan di wilayah pesisir serta menjadi strategi dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan. Selain itu hasil penelitian ini dapat menjadi dasar dalam mengembangkan konsep pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis konservasi ekosistem.
1.5 Kebaruan (Novelty) Penelitian Konservasi lamun didesain berdasarkan kriteria yang dapat menyebabkan perubahan pada kondisi lamun dan biota asosiasinya. Konservasi lamun di Kuraburi (Thailand selatan) dengan konsep kerjasama multi-stakehouldres (Suksa-ard et al.2010). Hal tersebut disebabakan karena kerusakan lamun yang mencapai 80 % akibat tsunami tahun 2004, penangkapan ikan yang distruktif dan rendahnya pengetahuan masyarakat lokal tentang kesehatan lamun. Selanjutnya desain konservasi lamun di Teluk Florida dengan menggunakan kriteria kualitas air. Kriteria kualitas air tersebut digunakan untuk menegelola tingkat sedimentasi dan nutrien yang dapat berdampk negatif terhadap pertumbuhan dan survive lamun. Konservasi lamun di Mediterranean menggunakan kualitas air untuk memonitoring tingkat pencemaran akibat limbah induistri, selanjutnya pada areal yang sudah tidak ada lamun tetapi sebelumnya ada lamun dilakukan melalui restorasi. Metode dan pendekatan konservasi lamun di Australia yaitu di sekitar Great Barrier Reef menggunakan indikator keragaman jenis ikan karang yang bermigrasi ke lokasi padang lamun. Keragaman jenis ikan karanag yang berasosiasi dengan lamun tersebut dimanfaatkan oleh nelayan lokal sebagai areal tangkapan. Kondisi tersebut dapat berdampak negatif terahadp kelestarian sumberdaya ikan pada areal konservasi Great Barrier Reef. Oleh karena itu pendekatan dan metode yang digunakan dalam konservasi lamun adalah melalui penambahan luas areal konservasi Great Barrier Reef sampai areal padang lamun. Selanjutnya pendekatan dan metode konservasi lamun di Filipina dan Karibbia di integrasikan dalam sistem pengelolaan MPA. Hal tersebut dilakukan karena keberadaan padang lamun secara ekologi merupakan satu kesatuan sistem secara fungsional dengan sistem lain dalam mendukung keberlanjutan sumberdaya ikan (Kenworthy et al. 2000 in Larkum et al. 2006). Keberadaan lamun yang cukup vital untuk keberlanjutan sumberdaya ikan menjadi salah satu objek konservasi lamun sumberdaya ikan di perairan laut
10 Indonesia. Konservasi lamun di perairan Indonesia dilakukan pada sistem pengelolaan kawasan konservasi perairan Taman Nasional Konservasi Laut, Konservasi Laut Daerah dan Konservasi Taman Wisata Laut (DKP 2008) Kriteria dan indikator desain konservasi lamun untuk keberlanjutan sumberdaya ikan di lokasi studi bersumber dari hasil analisis dan sintesis pada beberapa parameter seperti: potensi lamun, kondisi lamun, sumber ancaman kerusakan lamun, keragaman ikan yang berasosiasi dengan lamun dan nilai lingkungan lamun yang dibutuhkan ikan untuk survive. Kriteria dan indikator ekologi tersebut berfungsi untuk mencegah kerusakan lamun sebagai habitat ikan dan sebagai alat untuk melakukan monitoring dan evaluasi perubahan potensi lamun dan kondisi lamun akibat over-ekploitasi dan pemanfaatan areal lamun dengan cara tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu “kebaruan” dari penelitian ini adalah pencegahan dan pembatasan dalam pemanfaatan dengan indikator potensi dan kondisi lamun serta struktur komunitas ikan khususnya yang memiliki kelimpahan tinggi baik secara spatial dan temporal seperti Plectorhinchus flavomaculatus, Upeneus vittatus dan Archamia goni.