1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu
atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Nybakken (1982) mendeskripsikan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Bakosurtanal (2009) menyebutkan bahwa luas kawasan mangrove di Indonesia yang bervegetasi adalah sekitar 3.244.018,46 ha. Akan tetapi luas hutan mangrove tersebut telah banyak mengalami penurunan kualitas dan kuantitas yang dikarenakan kegiatan konversi (tambak, pemukiman, persawahan), penebangan kayu yang tidak bertanggung jawab (kayu bakar, pembuatan arang). Kecenderungan konversi hutan mangrove menjadi bentk penggunaan lahan lain semakin meningkat, yang didasari semata-mata kepentingan ekonomi dan kurang memperhatikan keberlanjutan kepentingan ekologi dan sosial. Luas hutan mangrove di wilayah Kamal dan Angke (Muara Angke) DKI Jakarta pada tahun 1990 sekitar 1.144 ha, namun karena kebijakan pemerintah sebagian besar kawasan mangrove dikonversi menjadi kawasan pemukiman. Pada saat ini kawasan mangrove Muara Angke tinggal tersisa 327,7 ha dengan status sebagai kawasan Hijau Lindung dan seluas 150 ha sebagai areal budidaya tambak. Selain mengalami penurunan kuantitas, kawasan mangrove Muara Angke juga terus mengalami tekanan berupa pencemaran limbah rumah tangga, limbah industri, penebangan liar, dan sampah padat. Tujuan ditetapkannya kawasan ini sebagai kawasan Hijau Lindung (hutan lindung, suaka margasatwa, hutan wisata, kebun bibit, dan jalur hijau) adalah untuk perlindungan kehidupan keanekaragaman jenis satwaliar (burung-burung air, mamalia, reptilia, dan biota perairan) beserta ekosistemnya, yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat pendidikan, penelitian, dan wisata alam. Akan tetapi kondisi lingkungan dan hutannya telah rusak akibat kegiatan pembangunan di
2 DKI Jakarta yang menimbulkan dampak negatif langsung dan tidak langsung terhadap keberlanjutan manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove. Kawasan mangrove Muara Angke merupakan kawasan ekosistem mangrove yang paling dekat dengan pusat pemukiman dan Ibukota Negara Republik Indonesia, memiliki aksesibilitas baik, masih mencerminkan ekosistem mangrove yaitu: air payau, terpengaruh pasang surut, keanekaragaman jenis burung cukup tinggi (burung air, burung dari daratan, burung endemik pesisir), terdapat populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang merupakan sisa-sisa populasi monyet asli Jakarta. Upaya pengelolaan terhadap kawasan hutan mangrove Muara Angke masih terbatas (dana, sumberdaya manusia, sarana prasarana, ketersediaan informasi), sehingga tidak mampu meningkatkan kualitas lingkungan hutan mangrove dan meningkatkan keberlanjutan fungsi dan manfaat kawasan. Bahkan timbul kesan dan persepsi masyarakat bahwa kawasan konservasi tersebut tidak terurus, sehingga kondisinya semakin menurun. Perubahan kebijakan pemerintah (pusat
dan daerah) turut
pula
mempengaruhi kondisi hutan mangrove di Muara Angke. Sejak perubahan tata ruang DKI Jakarta, dimana diterbitkannya ijin pembangunan perumahan dan rekreasi Pantai Indah Kapuk oleh Pemda DKI Jakarta, serta dikonversinya hutan mangrove (tukar kawasan hutan dari hutan mangrove menjadi hutan darat) seluas lebih kurang 831,63 ha menjadi kawasan pemukiman dan rekreasi, terjadilah perubahan bentang alam secara besar-besaran, sehingga hal tersebut ikut pula mempengaruhi kualitas lingkungan hutan mangrove di Muara Angke. Rencana reklamasi pantura DKI Jakarta diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap kelestarian fungsi ekosistem hutan mangrove di Muara Angke dan sekitarnya. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan kajian terhadap komponen lingkungan pembentuk hutan mangrove, komponen pengelolaan dan kebijakan, upaya-upaya rehabilitasi dan optimasi manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove dalam rangka memformulasikan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke untuk mempertahankan kelestarian ekosistem mangrove tersebutdi wilayah DKI Jakarta.
3 1.2
Rumusan Masalah Kondisi hutan mangrove Muara Angke saat ini telah mengalami
kerusakan, yang disebabkan oleh perubahan lingkungan di sekitarnya dan tekanan langsung dan tidak langsung terhadap keberadaan hutan mangrove itu sendiri. Kondisi pengelolaan (prasarana dan sarana, sumberdaya manusia, dana, data, dan informasi) juga sangat lemah. Hal ini mendorong persepsi masyarakat terhadap upaya pelestarian hutan mangrove yang rendah. Faktor-faktor yang mendorong kerusakan hutan mangrove berasal dari aktivitas manusia atau pembangunan di darat (industri, restoran atau hotel, pemukiman, dan pertanian) yang memberikan kontribusi tekanan berupa pencemaran (limbah cair), sedimentasi, dan kerusakan (sampah), serta aktivitas manusia di perairan laut (perhubungan, perikanan atau nelayan) yang memberikan dampak negatif (pencemaran minyak, abrasi) terhadap pantai. Faktor lain yang mendorong kerusakan hutan mangrove berasal dari aktivitas manusia pada hutan mangrove itu sendiri, berupa: budidaya tambak dan penebangan kayu bakau. Aktivitas semua pihak pada ketiga tempat tersebut (daratan atau hulu, hutan mangrove, dan perairan laut) telah menimbulkan dampak negatif terhadap keberadaan dan keberlanjutan fungsi hutan mangrove Muara Angke. Kebijakan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta ikut serta memberi peluang terhadap terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove Muara Angke, yaitu: konversi hutan mangrove (831,63 ha) menjadi wilayah pemukiman Pantai Indah Kapuk dan rencana reklamasi pantai. Lemahnya fungsi pengawasan terhadap kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan pencemaran (industri, restoran, dan perhotelan) juga ikut serta semakin meningkatnya intensitas pencemaran lingkungan, termasuk menurunnya kualitas lingkungan hutan mangrove Muara Angke. Di samping itu, status kawasan mangrove Muara Angke (hutan lindung, taman wisata alam, suaka margasatwa, lahan dengan tujuan istimewa dan arboretum, tambak) yang dikelola oleh Dinas Kelautan dan Pertanian, BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya Alam), PT. Murindra Karya Lestari, Badan Riset Kementrian Kelautan dan Perikanan telah mendorong tidak harmonisnya pengelolaan kawasan mangrove 477,7 ha. Lemahnya koordinasi dan tidak
4 berjalanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi pengelolaan telah menyebabkan pengelolaan kawasan mangrove dilakukan secara parsial dan tidak terpadu. Pengembangan pengelolaan hutan mangrove Muara Angke di DKI Jakarta sangat penting untuk mendukung sarana pendidikan lingkungan, penelitian, dan wisata alam bagi generasi muda dan masyarakat pada umumnya, serta sebagai ruang terbuka hijau dan meningkatkan kualitas kawasan lindung. Terbatasnya ruang untuk melakukan kegiatan di alam terbuka telah mendorong upaya pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat untuk kegiatan wisata alam (pemancingan, rekreasi, penelitian, dan pendidikan lingkungan). Berdasarkan kondisi dan permasalahan serta pengembangan pengelolaan kawasan lindung DKI Jakarta, maka pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta berkelanjutan perlu kajian yang meliputi: a.
Bagaimana kondisi lingkungan ekosistem mangrove di Muara Angke?
b.
Bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan mangrove Muara Angke?
c.
Sejauhmana status keberlanjutan pengelolaan mangrove di Muara Angke?
d.
Bagaimana arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke pada masa mendatang?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:
a. Mengidentifikasi kondisi lingkungan (biofisik) ekosistem mangrove Muara Angke b. Mengkaji kondisi sosial masyarakat di sekitar kawasan mangrove Muara Angke c. Menganalisis nilai ekonomi total kawasan mangrove Muara Angke d. Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke e. Merumuskan arah kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke yang berkelanjutan.
5 1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rumusan yang berguna
dalam upaya pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta berkelanjutan, yang meliputi: a. Bagi iptek adalah memperkaya khasanah pengetahuan dan gagasan di bidang pengelolaan mangrove secara berkelanjutan b. Bagi pengambil keputusan adalah tersedianya arahan kebijakan dan strategi pengelolaan mangrove berkelanjutan yang dapat diaplikasikan di Muara Angke Jakarta c. Bagi praktisi adalah tersedianya arahan dan strategi untuk praktek pengelolaan mangrove yang berkanjutan di Muara Angke.
1.5
Kerangka Pikir Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang
penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia hara bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan angin dan tsunami, penyerap limbah, dan pencegah intrusi air laut, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan fungsi sosial sebagai lahan interaksi bagi masyarakat. Kebijakan pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) yang mengkonversi kawasan mangrove seluas 831,63 ha telah menyebabkan penurunan nilai dan fungsi kawasan mangrove. Di samping itu kebijakan penetapan status kawasan mangrove (hutan lindung, taman wisata alam, suaka margasatwa, arboretum, lahan dengan tujuan istimewa, tambak) telah mendorong pengelolaan kawasan berjalan secara parsial dan tidak terpadu. Kondisi ini didorong oleh rendahnya kesadaran masyarakat dan rendahnya komitmen pemerintah dan pemerintah Propinsi DKI Jakarta, telah mendorong semakin rusaknya ekosistem mangrove Muara Angke. Pelaksanaan otonomi daerah mendorong daerah untuk mengambil kewenangan pengelolaan mangrove melalui eksploitasi yang berlebihan untuk kepentingan ekonomi. Konflik kepentingan antar sektor seperti: Kementrian
6 Kehutanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kementrian Pekerjaan Umum maupun antar wilayah seperti antara Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten merupakan faktor lain yang menyebabkan degradasi kuantitas (kerapatan dan luas) maupun kualitas (komposisi jenis dan proporsi) mangrove di Muara Angke semakin dipercepat. Ancaman kerusakan bagi kawasan mangrove sebagian besar berasal dari aktivitas manusia yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Secara sederhana penyebab kerusakan mangrove dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung melalui: alih fungsi atau konversi, pencemaran, abrasi, dan sedimentasi. Secara tidak langsung melalui fenomena alam seperti: meningkatnya muka air laut, banjir (rob). Banyak kawasan mangrove hancur akibat alih fungsi mangrove untuk tambak, industri, dan permukiman tanpa mengindahkan kaidah konservasi lingkungan (Wartaputra 1990; Kusmana 2002). Perubahan hutan mangrove menjadi tambak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan terutama jika terjadi pembukaan berlebihan yang menyebabkan oksidasi pirit dan intrusi serta abrasi gelombang laut, sehingga tanah menjadi irreversible, tidak produktif dan sangat sulit direhabilitasi (Naamin 2002; Soedharma et al. 1990). Kerusakan sumberdaya mangrove juga terjadi karena ekstensifikasi yang berlebihan untuk perluasan wilayah tambak tanpa memperhitungkan kualitasnya, serta adanya pembabatan habis untuk kebutuhan kayu bakar masyarakat. Perbedaan persepsi dari cara pandang antara peran mangrove terhadap lingkungan dan alih fungsi menyebabkan konflik yang tidak mudah dipecahkan, seperti kasus Muara Angke. Kemampuan tawar sektor ekonomi yang lebih kuat dibandingkan sektor lingkungan menyebabkan pembabatan mangrove sulit dikendalikan. Tingkat kerusakan mangrove yang makin luas menyebabkan multifungsi mangrove secara spasial dan temporal merosot tajam, sehingga daya dukungnya terhadap budidaya kawasan pesisir sangat rendah. Kerusakan mangrove ini perlu dicari solusinya agar dapat dirumuskan kebijakan dan strateginya untuk menciptakan kelestarian ekosistem mangrove dengan tetap dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.
7 Persepsi masyarakat terhadap mangrove juga merupakan salah satu yang mendorong kerusakan ekosistem mangrove. Salah satu bentuknya adalah pengembangan tambak ekstensif yang tidak mengindahkan kaidah lingkungan. Supriharyono (2000) menyatakan kerusakan hutan mangrove terutama disebabkan oleh banyaknya konversi hutan mangrove yang dijadikan tambak. Budhisantoso (1998) menyebutkan bahwa permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan pengembangan kawasan pesisir adalah menyusutnya persediaan sumberdaya, khususnya hutan mangrove, dan merosotnya mutu lingkungan. Oleh karenanya, pengelolaan kawasan pesisir tidak terbatas pada pembinaan kelestarian alam, melainkan juga upaya pemberdayaan penduduk secara perseorangan maupun kolektif. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang lingkungan hidup mutlak diperlukan karena perusakan terhadap sumberdaya mangrove masih terus terjadi. Dalam pelaksanaannya diperlukan pendekatan partisipatif, yakni masyarakat lokal dilibatkan dalam proses pengelolaan kawasan mangrove. Hambatan dan gangguan dalam pengelolaan hutan mangrove yang mencerminkan kaidah-kaidah perlindungan ekosistem di Indonesia, antara lain adalah benturan kepentingan pihak yang berkompeten, lemahnya informasi ekosistem hutan mangrove, kelemahan di aspek pemanfaatan, masalah sosial ekonomi masyarakat, sisitem silvikultur hutan mangrove, dan aspek hukum dan kelembagaan (Machfuddin dan Nasendi 1997). Kebijakan mengenai konversi lahan mangrove secara berlebihan menyebabkan rusaknya kawasan pesisir. Terjadinya kerusakan wilayah pesisir akibat pembukaan hutan yang berlebihan, mengakibatkan kualitas, dan kelestarian sumberdaya mangrove mengalami ancaman dari berbagai pemangku kepentingan. Terdapat tiga kelompok stakeholder kunci dalam pembangunan wilayah pesisir yakni pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Ketiga kelompok ini memiliki motif yang berbeda dalam pemanfaatan hutan mangrove. Apabila kebijakan pemanfaatan hutan mangrove tidak sesuai dengan kesepakatan ketiganya, maka kerusakan hutan mangrove akan terus berlanjut. Dengan demikian, kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan hutan mangrove perlu dipertimbangkan sehingga terjadi sinergi dalam pemanfaatan secara lestari.
8 Perbedaan kepentingan antar stakeholder terhadap pemanfaatan hutan mangrove, seperti antara sektor kehutanan, perikanan, pertanian, pertambangan, transmigrasi, perhubungan, pariwisata, dan sektor perindustrian, menimbulkan tekanan yang beragam terhadap keberadaan hutan mangrove. Terjadinya degradasi hutan mangrove juga disebabkan oleh pencurian dan penebangan yang tidak terkendali dan pemanfaatan yang melebihi daya dukung. Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove belum sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Agar permasalahan pengelolaan mangrove dapat direpresentasikan, maka perlu pemahaman mengenai faktor-faktor penentu keberhasilan pengelolaan mangrove. Dalam hal ini perlu disusun alat bantu pengambilan keputusan kebijakan pengelolaan mangrove sesuai kebutuhan stakeholder dan peraturan perundangan yang ada, sehingga konsep perencanaan dan pemanfaatan mangrove dapat berkelanjutan. Dalam hal studi kasus Muara Angke, maka diperlukan pemahaman tentang kondisi ekosistem mangrove yang ada saat ini, evaluasi kebijakan pemanfaatan mangrove di Muara Angke, dan analisis kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan mangrove di masa mendatang. Pemahaman terhadap ketiga hal tersebut merupakan masukan dalam penyusunan strategi pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan di Muara Angke. Sistem pengambilan keputusan yang mendukung upaya ini perlu dirumuskan dengan pendekatan yang komprehensif. Rumusan hasil keputusan ini merupakan rekomendasi untuk kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke - Jakarta yang berkelanjutan. Secara rinci kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
9 Kebijakan pembangunan wilayah pesisir
Kebijakan pengelolaan mangrove
Kondisi biofisik ekosistem mangrove
Kondisi sosial ekonomi masyarakat
Perubahan luas lahan mangrove
Nilai ekonomi mangorve
Pola pemanfaatan oleh stakeholder
Faktor-faktor penentu keberlanjutan pengelolaan mangrove
Kepentingan masyarakat dan pengusaha
Arahanpengelolaan kebijakan Strategi dan Strategi mangrove pengelolaan berkelanjutan mangrove berkelanjutan
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian. 1.6
Novelty Kebaruan dari penelitian ini adalah pendekatan baru dalam merumuskan
‘Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Berkelanjutan di Muara Angke DKI Jakarta berdasarkan kajian Aspek Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi Masyarakat’.