1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau Lombok, Sumbawa, Flores, dan Sumba). Pulau Timor memiliki 28 spesies burung endemik Nusa Tenggara dan dari jumlah tersebut terdapat tujuh jenis burung endemik Pulau Timor (Noske & Saleh 1997). Menurut Sujatnika et al. (1995), Trainor (2002), dan Alves (2007) di Pulau Timor terdapat enam jenis burung endemik dan salah satu jenis burung endemik tersebut adalah burung Cikukua timor (Philemon inornatus, G.R.Gray. 1846) yang merupakan anggota suku Meliphagidae. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, semua jenis dari famili Meliphagidae tergolong dalam status dilindungi. Cikukua timor juga dikategorikan sebagai burung sebaran terbatas (Restricted Range/RR), artinya burung yang memiliki distribusi secara global di alam kurang dari 50.000 km2. Populasi Cikukua timor di lanskap Camplong diduga terus menunjukkan penurunan populasi dalam enam tahun terakhir (2006-2011). Indikasi ini dapat diketahui dari semakin berkurangnya tingkat perjumpaan Cikukua timor di alam, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Taman Wisata Alam (TWA) Camplong. Sebelum tahun 1990-an burung ini merupakan burung yang umum ditemukan. Menurut Henriques dan Narciso (2010) Cikukua timor di Timor Leste merupakan salah satu dari beberapa spesies yang terancam punah (endangered). Menurut Sujatnika et al. (1995) hutan gugur-daun di TWA Camplong telah mengalami proses kerusakan dan gangguan, sedangkan Noske dan Saleh (1996) mengatakan bahwa faktor keterancaman utama burung-burung hutan di Timor berasal dari kerusakan habitat, tekanan perburuan, dan mungkin dari tekanan penggembalaan. Beberapa faktor penyebab kerusakan habitat yaitu; praktek illegal loging, kebakaran hutan, penggembalaan ternak secara liar, pembukaan dan pelebaran jalan dalam kawasan TWA Camplong, praktek pembukaan lahan budidaya pertanian dengan pembakaran. Berbagai aktivitas tersebut telah
2
mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk lanskap kawasan sehingga kualitas maupun kuantitas habitat Cikukua timor di lanskap Camplong semakin berkurang. Kumara (2006), menjelaskan bahwa perubahan suatu lanskap kawasan dapat diketahui dengan kuantifikasi pola spasial lanskap yang merupakan hal penting dalam pengelolaan kawasan. Pada bentuk lanskap yang berubah, setiap spesies termasuk Cikukua timor akan mencari patch-patch habitat yang memiliki karakteristik habitat tertentu untuk mendapatkan kebutuhan hidup agar tetap bertahan hidup (survive) dan bereproduksi. Oja et al. (2005) dan Nursal (2007) menyatakan bahwa habitat yang sesuai bagi suatu spesies dicirikan oleh kehadiran spesies tersebut serta tersedianya kebutuhan untuk mampu bertahan hidup dan berhasil bereproduksi dalam jangka waktu yang cukup lama. Menurut Sujatnika et al. (1995), kegiatan survei dan inventariasi tentang status habitat dan spesies satwaliar di Timor dan Wetar belum banyak diketahui. Hingga tahun 1995 tidak ada studi ekologi yang telah dilakukan untuk mendata burung-burung hutan di Timor (Noske & Saleh 1996). Khusus informasi mengenai habitat Cikukua timor hingga tahun 2011 masih terbatas pada sebaran berdasarkan altitude dan tipe hutan (Trainor 2002; 2008). Menurut Aarts (2008), pengelolaan dan konservasi populasi satwa membutuhkan informasi tentang dimana dan mengapa satwa tersebut ada, serta dimana lagi mereka mampu hidup. Informasi ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan data penggunaan ruang, hubungan data posisional untuk kondisi umum lingkungan dan memanfaatkan hasil model statistik untuk memprediksi penggunaan wilayah geografis lainnya. Pencapaian tujuan tersebut dapat ditempuh melalui kajian spasial berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Kajian spasial merupakan salah satu kegiatan penting untuk memahami karakteristik faktor-faktor habitat baik fisik (abiotik) maupun biotik yang dibutuhkan oleh Cikukua timor. Indrawan et al. (2007) menyatakan bahwa pendekatan SIG dapat mengungkapkan berbagai hubungan antara faktor biotik dan abiotik dari suatu bentang alam serta membantu proses perancangan kawasan agar mewakili komunitas hayati yang ada, bahkan menampilkan kawasankawasan yang berpotensi untuk mencari spesies langka maupun dilindungi.
3 Aplikasi SIG akan mampu memberikan informasi ilmiah tentang tipe habitat dan karakteristik atribut-atribut habitat yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup dan keberhasilan reproduksi Cikukua timor. Data dan informasi ini diharapkan dapat membantu pengelola merancang strategi pengelolaan untuk menjamin suksesnya konservasi in-situ Cikukua timor pada masa mendatang di lanskap Camplong. 1.2. Perumusan Masalah Lanskap Camplong merupakan salah satu habitat penting Cikukua timor di Pulau Timor. Wilayah tutupan hutan alam yang cukup luas hanya dijumpai di dalam kawasan TWA Camplong. Taman Wisata Alam Camplong ditetapkan sebagai hutan wisata Tanggal 12 Desember 1983 oleh Menteri Pertanian melalui Keputusan Nomor: 89/Kpts/UMK/83 berdasarkan hasil Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan luas 696,60 ha. Aktivitas masyarakat di dalam (enclave) maupun di luar kawasan TWA Camplong diduga memberikan tekanan terhadap keutuhan kawasan dan berpotensi mengubah bentuk lanskap yang ada di ekosistem hutan. Habitat berpotensi secara kualitas dan kuantitas untuk burungburung endemik termasuk Cikukua timor akan berkurang. Akibatnya beberapa komponen habitat fisik dan biotik tidak mampu menyediakan kebutuhan hidup yang optimal untuk survive dan bereproduksi dalam jangka waktu yang lama. Kondisi ini dapat pula berdampak pada penurunan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong. Satwa yang hidup pada habitat yang terbatas akan memilih karakteristik habitat tertentu yang sesuai bagi kelangsungan hidupnya. Moris (1987) menyatakan pemilihan habitat merupakan suatu hal penting bagi satwa liar, karena mereka dapat bergerak secara mudah dari suatu habitat ke habitat lainnya untuk mendapatkan makanan, air, reproduksi dan menempati tempat baru yang menguntungkan. Berdasarkan permasalahan di atas, beberapa rumusan pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan upaya pelestarian Cikukua timor di lanskap Camplong dapat dirangkai sebagai berikut ; 1.
Apa faktor-faktor dominan komponen habitat (fisik/abiotik dan biotik) yang berpengaruh terhadap karakteristik habitat Cikukua timor?
2.
Berapa dugaan kepadatan populasi Cikukua timor pada saat dilakukan penelitian ini?
4
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan data dan informasi tentang: 1. Karakteristik habitat Cikukua timor berdasarkan faktor-faktor (peubah) dominan komponen habitat fisik dan biotik yang berpengaruh terhadap keberadaan Cikukua timor. 2. Menduga kepadatan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong pada saat dilakukan penelitian ini. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa ketersediaan data dan informasi karakteristik habitat dan dugaan populasi Cikukua timor sehingga dapat membantu pengelola dalam merancang strategi konservasi in-situ di lanskap Camplong. 1.5. Kerangka Pemikiran Cikukua timor merupakan salah satu dari enam jenis burung endemik Timor yang dapat dijumpai di kawasan TWA Camplong dan sekitarnya yang tergabung dalam lanskap Camplong. Diduga populasi dan sebaran Cikukua timor di lanskap Camplong hingga tahun 2011 terus mengalami penurunan akibat berbagai tekanan perubahan lanskap dan habitat serta aktivitas perburuan illegal. Lanskap Camplong memiliki berbagai tipe ekosistem penting bagi kehidupan Cikukua timor. Berbagai tipe ekosistem tersebut sebagian besar berada di dalam kawasan TWA Camplong. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Kawasan TWA Camplong hanya memiliki luas 696,6 ha, namun di dalamnya terdapat tipe-tipe ekosistem penting. Beberapa tipe ekosistem tersebut yaitu; hutan selalu hijau, hutan gugur daun (deciduous forest), savana yang didominasi tegakan kayu putih (Eucalyptus alba), hutan tanaman jati Tectona grandis, flamboyan Delonix regia, johar Cassia siamea, plot percontohan jambu mete, dan mamar (hutan adat). Secara umum lanskap Camplong terbagi dalam tiga tipe ekosistem hutan yaitu ekosistem hutan musim
5 yang dicirikan oleh pepohonan yang tidak tinggi (15-20 m) dan memiliki banyak percabangan, ekosistem hutan savana dan ekosistem hutan tanaman. Karakteristik tipe habitat yang demikian dapat merepresentasikan karakteristik habitat yang dibutuhkan Cikukua timor untuk tetap survive dan bereproduksi ke generasi selanjutnya di Pulau Timor. Kekhasan ekosistem seperti ini berperan penting untuk mendukung keberadaan satwa seperti Cikukua timor dan berbagai jenis burung lainnya. Wilayah berhutan yang berpotensi sebagai habitat Cikukua timor sangat terbatas di lanskap Camplong. Beberapa tahun terakhir hingga 2011, beberapa tipe habitat yang berpotensi bagi Cikukua timor di lanskap Camplong telah mengalami perubahan tipe tutupan lahan. Diduga beberapa tutupan lahan berhutan dan savana telah berubah menjadi tutupan lahan semak dan belukar yang didominasi oleh vegetasi invasi yaitu Chromolaena odorata. Perubahan tutupan lahan yang potensial bagi satwa berdampak mengurangi ketersediaan tipe habitat sebagai tempat mencari makan (foraging site) dan cover. Perubahan tutupan lahan dapat mendorong satwa seperti Cikukua timor untuk berada pada titik-titik konsentrasi tertentu, sehingga memudahkan pemburu dalam melakukan aktivitas berburu secara liar (illegal hunting) di dalam dan di luar kawasan hutan. Kondisi demikian berkontribusi terhadap trend penurunan pertumbuhan dan perkembangan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong. Keberadaan ekosistem hutan di lanskap Camplong sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim (terutama angin dan curah hujan), geologi dan tanah. Vegetasi umumnya tumbuh di atas tanah yang bersolum dangkal dan di celah-celah batu yang didominasi bebatuan karang. Iklim sangat kering, angin bertiup kencang, topografi berbukit-bukit curam, dan sumber air tanah terbatas. Faktor-faktor tersebut merupakan unsur pendorong praktek pertanian tebas bakar oleh masyarakat setempat dan masyarakat Timor pada umumnya. Kondisi ini mempengaruhi kestabilan ekosistem hutan, savana, semak, belukar dan lahan budidaya setempat sebagai habitat Cikukua timor. Alikodra (2002) menjelaskan bahwa pada dasarnya pengelolaan habitat merupakan inti dari pelestarian satwaliar. Di alam, satwaliar akan melakukan tindakan untuk memilih karakteristik habitat yang sesuai untuk memperoleh serangkaian kondisi yang menguntungkan
6
bagi keberhasilan reproduksi dan kelangsungan hidupnya. Karakteristik habitat yang dibutuhkan dapat dihasilkan melalui kajian spasial dengan memanfaatkan perangkat SIG. Sinclair et al.(2006) menjelaskan bahwa SIG memungkinkan pengguna untuk mengidentifikasi dan mengukur hubungan timbal balik spasial antara variabel yang sangat sulit untuk tampil di lapangan. Kombinasi kompleks variabel kategori dan kontinu dapat segera diakomodasi menggunakan metode ini. SIG dapat digunakan untuk mencari, memanipulasi, dan menganalisis data habitat yang disukai. SIG merupakan terobosan teknologi dalam analisis kebutuhan habitat satwaliar yang mengubah cara kita berpikir tentang konservasi dan isu-isu manajemen. Hal ini menjadi dasar pelaksanaan penelitian karakteristik habitat Cikukua timor di lanskap Camplong. Gambar kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1. Cikukua timor Populasi dan sebaran menurun Perubahan lanskap dan habitat
Identifikasi Presence Cikukua timor Identifikasi komponen habitat (makro) dan komponen habitat (mikro)
Biotik
Abiotik
Air
Vegetasi
Topografi
Manusia
Jarak dari beberapa tipe ekosistem
Spesies Lain
Analisis SIG Karakteristik habitat Cikukua timor
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.