1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya dengan menyusun Agenda 21 nasional. Salah satu hal yang disoroti adalah pengelolaan sumberdaya alam yang meliputi konservasi keanekaragaman hayati, pengembangan teknologi dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan terpadu. Beberapa konsensus internasional terkait isu konservasi, yakni CBD (Convention on Biological Diversity), Ramsar Convention on Wetlands of International Importance, WHS (World Heritage Site) dan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species), termasuk kerja sama regional seperti Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) dan Bismarc Solomon Marine Ecoregion (BSME) telah diratifikasi. Meskipun kepentingan nasional terlihat lebih menonjol dalam percaturan di dunia internasional, kawasan konservasi pesisir dan lautan tidaklah bersifat sentralistik lagi oleh pemerintah pusat, melainkan mengalami perubahan menjadi desentralistik dengan ditandai adanya pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) oleh pemerintah daerah. Disamping hal tersebut, sistem penzonasian juga mengalami modifikasi, yakni adanya zona perikanan berkelanjutan dimana zona ini tidak dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Sistem penzonasian ini merupakan salah satu rujukan dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (kemudian dilakukan perubahan dengan diterbitkannya UU No. 45 Tahun 2009) dan PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Adapun penzonasian umum pada kawasan konservasi antara lain zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona inti diperuntukkan bagi perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, penelitian dan pendidikan. Zona perikanan berkelanjutan diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi ikan, penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan, budidaya ramah lingkungan, pariwisata dan rekreasi,
penelitian dan pengembangan serta pendidikan. Zona pemanfaatan diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi ikan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan pengembangan serta pendidikan. Zona lainnya merupakan zona di luar zona inti, zona perikanan berkelanjutan dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona perlindungan, zona rehabilitasi dan sebagainya. Perubahan-perubahan tersebut diharapkan dapat menghindari konflik kepentingan antara pemerintah dan masyarakat, khususnya bagi para nelayan yang berpandangan bahwa penzonasian pada kawasan konservasi dapat menghalangi akses nelayan terhadap sumberdaya, terutama zona inti sebagai zona larang ambil. Pada umumnya, zona inti suatu kawasan ditetapkan pada Daerah Perlindungan Laut (DPL), yaitu kawasan tersebut ditetapkan dan diatur sebagai daerah larang ambil, tertutup bagi berbagai aktivitas pemanfaatan yang bersifat destruktif, kecuali untuk kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata terbatas (snorkle dan menyelam). Pembentukan DPL tersebut merupakan suatu upaya perlindungan terhadap ekosistem terumbu karang. Mengingat saat ini kondisi terumbu karang di Indonesia berada dalam kondisi kritis, yaitu 5.47% sangat baik, 25.48% baik, 37.06% cukup baik dan 31.98% kurang baik (Suharsono 2008). Selain perbaikan ekosistem, upaya konservasi ini ditujukan untuk menunjang keberlanjutan produksi perikanan. Data yang dikumpulkan FAO (2007) dalam Satria et al. (2009) mengindikasikan telah terjadi gejala tangkap lebih (overfishing) pada skala internasional yang semakin meluas, yaitu 16% overexploited dan 44% fully exploited. Sedangkan di Indonesia, telah terjadi kenaikan produksi perikanan tangkap di laut sepanjang tahun 2000 hingga 2006 sebesar 2.74% (DKP 2007). Jika dibandingkan dengan jumlah tangkap yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5.12 juta ton, maka produksi tahun 2006 telah mencapai 87.27% dari JTB. Daerah Perlindungan Laut di Indonesia, pertama kali dikembangkan di Desa Blongko, Kecamatan Sinonsayang, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Pembentukan DPL di Desa Blonko diinisiasi oleh Pemerintah Pusat melalui Proyek Pesisir dan diharapkan keberlanjutan pengelolaan DPL dilaksanakan oleh masyarakat. DPL juga dikembangkan di Pulau Sebesi,
Lampung. Kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Sebesi mengalami peningkatan dari tahun 2002 – 2005 setelah dibentuk DPL, antara lain indeks mortalitas karang keras mengalami penurunan dan keanekaragaman karang keras yang ditemukan mengalami peningkatan pada tahun 2005 yaitu 22 genus dari 19 genus pada tahun 2002 dengan karang genus Acropora mempunyai penyebaran yang merata di semua DPL (Muttaqin 2006). Sedangkan pembelajaran dari Philiphina, antara lain adanya peningkatan tutupan karang 119% dalam 5 tahun di Balicasag’s sanctuary (Christie et al. 2002), peningkatan biomassa ikan di luar DPL Pulau Apo dan peningkatan hasil tangkapan nelayan setelah 18 tahun DPL ditetapkan (Russ et al. 2004). Observasi Wantiez (1997) menunjukkan adanya peningkatan jumlah spesies, kepadatan dan biomassa ikan di 5 pulau di New Caledonia masing-masing sebesar 67%, 160% dan 246% setelah 5 tahun DPL dibentuk. Salah satu DPL di Indonesia yang dikembangkan antara lain DPL Desa Mattiro Deceng, Kecamatan Liukang Tuppabiring, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan. Pembentukan DPL ini diinisiasi oleh Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II atau yang lebih dikenal dengan COREMAP II (Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II). Salah satu kegiatan dalam program ini adalah pembentukan DPL untuk mendukung pembentukan KKLD. Desa ini terdiri dari dua pulau, yaitu Pulau Badi dan Pulau Pajjenekang. Desa Mattiro Deceng termasuk dalam kawasan Kepulauan Spermonde dan merupakan salah satu wilayah penyebaran terumbu karang yang secara administratif terbagi ke dalam 3 wilayah, yaitu Kotamadya Makassar, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) dan Kabupaten Barru. Pembentukan DPL di Desa Mattiro Deceng dikukuhkan dengan Peraturan Desa Mattiro Deceng No. 01 Tahun 2007 tentang Daerah Perlindungan Laut. Tujuan
pembentukan
DPL
adalah
untuk
(i)
menghentikan
dan/atau
menanggulangi pengrusakan terhadap biota perairan desa, (ii) menjamin dan melindungi
kondisi
lingkungan
dan
sumberdaya
perairan
desa
dan
(iii) meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat desa dalam menjaga dan memelihara sumberdaya perairan desa. Pembentukan DPL tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk (i) mempertahankan produksi ikan dalam
DPL, (ii) menjaga keanekaragaman sumberdaya hayati perairan desa, (iii) tempat satwa dan/atau spesies langka bertelur dan mencari makan, (iv) laboratorium alam untuk penelitian, (v) sarana pendidikan pelestarian sumberdaya perairan desa dan (vi) tujuan wisata. Studi baseline di DPL telah dilakukan sejak tahun 2008 oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Persentase tutupan karang hidup DPL Mattiro Deceng di Pulau Badi menunjukkan 42% dan termasuk kategori sedang atau cukup baik. Sedangkan ikan karang yang dijumpai adalah 61 spesies dari 14 famili. Untuk melihat keberhasilan kinerja DPL sejak pembentukannya, maka perlu dilakukan suatu kajian ekologi di lokasi DPL. Disamping untuk keberlanjutan keberadaan sumberdaya pesisir dan lautan, DPL diharapkan juga dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sekitar, antara lain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejauh mana dampak adanya DPL Desa Mattiro Deceng terhadap ekologi DPL dan masyarakat (ekonomi dan sosial) inilah yang perlu dikaji untuk kemudian DPL dapat dikelola secara berkelanjutan.
1.2 Perumusan Masalah Pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan yang tidak bijaksana dapat menjadi ancaman bagi ekosistem terumbu karang. Jika kerusakan tidak dapat diantisipasi, keberlanjutan sumberdaya perikanan dan kelautan tidak akan terwujud sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang. Di Desa Mattiro Deceng, kegiatan illegal fishing dan destructive fishing yang dilakukan oleh nelayan, baik oleh nelayan dari dalam maupun dari luar desa; penambangan karang untuk kebutuhan bahan pondasi rumah atau tanggul dan eksploitasi sumberdaya perikanan utamanya pada komoditas-komoditas yang memiliki nilai jual tinggi menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang. Permasalahan ini merupakan permasalahan yang umum terjadi di daerah pesisir. Bagaimana upaya untuk mengurangi tekanan terhadap ekosistem terumbu karang merupakan pertanyaan besar yang harus dijawab. Terjaganya terumbu karang akan mempengaruhi tingkat produktivitas perikanan dan dapat mempengaruhi perekonomian masyarakat, mengingat terumbu karang berpotensi sebagai habitat, nursery, feeding dan spawning grounds bagi biota laut.
Upaya untuk melindungi ekosistem, khususnya terumbu karang di Desa Mattiro Deceng dilakukan melalui pembentukan DPL yang diinisiasi oleh pemerintah melalui COREMAP II. Pengelolaan DPL kedepan diharapkan dapat dilanjutkan oleh masyarakat untuk menunjang keberhasilan pengelolaan DPL sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat adanya DPL tersebut. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang keberhasilan
pengelolaan DPL adalah
melihat bagaimana implementasi
pengelolaannya. Implementasi ini dapat dilihat dari proses awal pembentukan dan proses keterlibatan masyarakat serta dampak/manfaat DPL terhadap lingkungan dan
masyarakat.
Pengelolaan
sumberdaya
yang
ada
diharapkan
dapat
berkelanjutan baik dari aspek ekologi, ekonomi maupun sosial. Ketiga aspek ini merupakan bagian dari Segitiga Keberlanjutan (sustainability triangle) yang digambarkan oleh Charles (1994). Setiap aspek tersebut dilihat sebagai komponen dalam menentukan keberhasilan pengelolaan dengan mempertimbangkan dampak suatu aspek terhadap aspek lainnya. Manfaat keberhasilan pengelolaan dapat dilihat secara utuh dari aspek-aspek tersebut, bukan secara terpisah. Berdasarkan penjelasan di atas, permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: 1.
Kegiatan illegal fishing dan destructive fishing, penambangan karang dan eksploitasi
sumberdaya
perikanan
menyebabkan
kerusakan
terhadap
ekosistem terumbu karang. 2.
Belum diketahuinya keberhasilan pembentukan DPL sejak tahun 2007 dilihat dari indikator ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat.
3.
Keberlanjutan pengelolaan DPL di masa yang akan datang apabila COREMAP II berakhir, mengingat saat ini pengelolaan DPL masih dibiayai oleh pemerintah pusat yang bersifat on granting kepada pemerintah daerah dan dana APBD.
1.3 Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1.
Untuk menggambarkan implementasi DPL dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.
2.
Untuk mengetahui dampak adanya DPL terhadap ekosistem terumbu karang dan ekonomi masyarakat.
3.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam pengelolaan DPL.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1.
Memberikan informasi kepada pihak yang membutuhkan tentang dampak pengelolaan DPL.
2.
Memberikan bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam menentukan arah pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat dengan memperhatikan nilai ekologi, sosial, ekonomi dan budayanya.
1.5 Kerangka Pemikiran Salah satu model pengelolaan pesisir dan lautan adalah DPL. Pengelolaan ini akan memberikan dampak terhadap ekologi (kondisi lingkungan), ekonomi dan sosial masyarakat. Ketiga aspek tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Untuk mengetahui sejauh mana dampak DPL tersebut dilakukanlah serangkaian kajian terhadap aspek ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat. Dampak DPL terhadap ekologi diharapkan dapat mempertahankan bahkan memperbaiki kondisi lingkungan, dalam hal ini kondisi ekosistem terumbu karang. Dampak DPL terhadap ekonomi dapat dilihat dari pendapatan dan hasil tangkapan penduduk. Dampak DPL terhadap sosial masyarakat nantinya dituntut untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan dan penguatan kelembagaan. Untuk mengetahui dampak pengelolaan terhadap sosial masyarakat dilakukan kajian tentang persepsi masyarakat terhadap sumberdaya dan DPL, partisipasi masyarakat dan peran pemerintah serta kajian stakeholder yang berperan dalam pengelolaan DPL di Desa Mattiro Deceng. Keterkaitan ketiga aspek, yaitu ekologi, ekonomi dan sosial tersebut diharapkan dapat menyokong keberhasilan
pengelolaan DPL dan lebih jauh pengelolaan dapat berjalan secara berkelanjutan. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Desa Mattiro Deceng
Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Deceng
Fungsi Ekologi
Kajian ekologi
- Kondisi karang - Ikan Karang
Fungsi Ekonomi dan Sosial Kajian persepsi masyarakat terhadap aspek ekonomi dan sosial - Pendapatan dan hasil tangkap - Persepsi masyarakat terhadap sumberdaya dan DPL - Partisipasi masyarakat - Peran Pemerintah - Stakeholder
Keberhasilan Pengelolaan DPL
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang Berkelanjutan Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian