1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wacana mengenai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang semakin mengarah pada kebijakan untuk menciptakan kawasan-kawasan terpadu sebagai cara untuk mempercepat perkembangan ekonomi (Porter, 2000; Pietrobelli dan Rabelloti, 2003). Kawasan terpadu dipandang sebagai kekuatan yang mampu mendorong ekspor, menarik investor, dan berfungsi sebagai katalisator pertumbuhan, karena itu beberapa negara merancang pembentukan kawasan terpadu sebagai prioritas program pengembangan wilayah yang berkesinambungan (Breschi dan Malerba, 2001). Pemberdayaan masyarakat sebagai landasan pengembangan wilayah diupayakan dengan cara meningkatkan produksi sumberdaya lahan pertanian, sehingga petani budidaya mendapatkan tambahan penghasilan dan perolehan nilai tambah secara nyata dari proses industri hasil pertanian. Peningkatan produksi budidaya yang mampu mendukung agroindustri dengan pasokan bahan baku dalam volume dan harga yang pasti akan mensinergikan usahatani dan agroindustri, meningkatkan nilai tambah dan efisiensi dari keseluruhan proses pengembangan kawasan pertanian. Pengelolaan agroniaga dalam pola Agroestat direkayasa dengan mengacu pada mekanisme pasar bebas yang berkeadilan (fair free trade). Melalui cara ini distribusi nilai tambah dapat berlangsung secara adil (fair) dan alami ke semua pihak (Lewis, 1966; Arsyad, 1999; Ary, 1999). Pasar yang tidak sempurna (imperfect markets), infrastruktur yang tidak efektif, sistem pendidikan yang buruk, dan sistem pemerintahan yang lemah menjadikan proses peralihan ke arah pasar dan persaingan bebas menyakitkan bagi perekonomian suatu negara (Stiglitz, 2002). Strategi industrialisasi pertanian merupakan cara yang paling tepat untuk mengembangkan kegiatan ekonomi yang menjadi tumpuan kehidupan sebagian besar rakyat. Ide dasar dari strategi ini adalah bahwa pembangunan agroindustri akan mampu meningkatkan produksi dan nilai tambah seluruh subsistem yang terkait di dalamnya, yaitu subsistem usahatani, agroindustri, agroniaga, dan usaha jasa/layanan pendukung (Saragih, 2001). Hal ini akan dicapai jika semua subsistem yang terlibat dapat tumbuh
1
dan berkembang secara proporsional dan fokus. Sebagai antisipasi dari globalisasi ekonomi dan dalam rangka peningkatan efektivitas sumberdaya yang ada di daerah otonom, harus diupayakan agar setiap wilayah (daerah otonom) menentukan komoditi unggulan yang menjadi spesialisasi kabupaten/kota. Pengembangan komoditi unggulan lokal akan berjalan secara konsisten, jika ditetapkan secara bersama sebagai pilihan masyarakat, sesuai dengan kondisi wilayah. Peningkatan produksi komoditi unggulan yang disepakati harus diupayakan melalui integrasi yang utuh (backward and forward linkage) dalam satu sistem kelola (manajemen). Pengembangan kawasan pertanian terpadu pada sentra-sentra budidaya pertanian yang mempunyai komoditi unggulan akan menjadikan struktur usahatani terintegrasi secara vertikal dengan agroindustri (Eriyatno et al., 1995; IBRD, World Bank, 2000; Haeruman, 2000; Haeruman dan Eriyatno, 2001; Sadjad et al., 2001). Pendekatan keterpaduan merupakan upaya pemberdayaan rakyat yang dapat menyesuaikan dan menyerap dinamika dan kemampuan masyarakat lokal dan desa-desa yang terdapat di sekitarnya, sehingga akan menghilangkan resiko banyaknya petani yang beralih pekerjaan dan bertambahnya buruh tani yang tidak mempunyai lahan (Hawiset, 1998; Zen, 1999). Keterkaitan ini didasarkan pada arahan untuk mewujudkan keterpaduan agroindustri dengan dukungan pertanian yang mantap (Lewis, 1966; Arsyad, 1999; Ary, 1999). Usahatani yang berada di wilayah perdesaan akan terhambat oleh rendahnya tingkat produksi dan nilai tambah jika tidak didukung oleh agroindustri. Oleh karena itu, peningkatan produksi usahatani melalui perbaikan infrastruktur pertanian harus dipikirkan secara menyeluruh, termasuk pasar untuk peningkatan hasil produksi petani yang sangat tergantung dari kelanggengan permintaan dari agroindustri. Keberhasilan suatu wilayah untuk menarik industri masuk ke wilayah budidaya di perdesaan merupakan tahap penting yang menentukan keberhasilan perkembangan suatu wilayah, khususnya untuk agroindustri yang memproses bahan baku pertanian menjadi produk konsumsi (material-oriented industries) (Carroll dan Stanfield, 2004). Semua negara di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang, saat ini sangat mengharapkan masuknya investasi asing ke daerahnya. Investasi modal asing (foreign direct investment) akan menciptakan tenaga kerja dan membawa berbagai
2
sumberdaya yang berguna bagi negara bersangkutan, khususnya daerah lokasi investasi, antara lain sumberdaya modal, teknologi, informasi, manajemen, serta jaringan pemasaran (Lee, 2005). Rekayasa sistem Agroestat merupakan pengembangan kawasan pertanian terpadu berbasis komoditi unggulan yang berdayasaing dengan konsep keterpaduan, bukan kemitraan, membutuhkan keterlibatan pemerintah (daerah) dalam bentuk subsidi tidak langsung (infrastruktur) dan regulasi penataan ruang. Pada hakekatnya rekayasa sistem Agroestat bersifat holistik, mencakup seluruh alur dari rangkaian nilai tambah (value chain) agribisnis, mulai tahap usahatani, agroindustri, dan agroniaga dalam lingkup regional, nasional, dan internasional (ekspor) (Carroll dan Stanfield, 2004). Sistem Agroestat
dirancang
untuk
dapat
memperoleh
manfaat
dari
adanya
saling
ketergantungan dan keterkaitan multi-dimensi (sosial, budaya, ekonomi) antar-sektor (pertanian, industri, dan perdagangan). Rekayasa ini dimaksud untuk menjadikan struktur sektor pertanian terintegrasi dalam satu manajemen (Brown, 1994; Lowe, 2001). Rekayasa kawasan pertanian terpadu dengan sistem Agroestat mengacu (benchmarking) pada tiga bentuk pola kemitraan dalam pengelolaan kawasan terpadu saat ini, yaitu: Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), Pola Agropolitan, dan Pola Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan (Eco-industrial Park). Masing-masing pola ini menggambarkan karakter kemitraan dan latar belakang kawasan terpadu yang spesifik. PIR dikembangkan Pemerintah sejak tahun 1977 untuk perkebunan kelapa sawit masih berjalan hingga saat ini. Pola ini dengan bentuk-bentuk derivatifnya, menganut sistem inti dan plasma yang diatur dalam suatu perjanjian kerjasama formal. Instansiinstansi Pemerintah (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten) ikut aktif sebagai lembaga sekunder dalam wadah Tim Koordinasi PIR (TK-PIR). Pembiayaan berasal dari kredit Bank atau dana Pemerintah yang berasal dari bantuan luar negeri dan APBN. Bentuk kedua yang sedang dikembangkan Pemerintah adalah Agropolitan dengan konsep pengembangan wilayah perdesaan yang terkait pada pembangunan perkotaan (urban development). Peran Pemerintah terbatas pada pembentukan unit pengembangan kawasan, dan secara berangsur pada tahap akhir hanya berperan pada sektor publik.
3
Bentuk ketiga merupakan kawasan komersial, dalam hal ini diambil contoh Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan atau Eco-industrial Park/ (EIP) atau Estate. Kawasan industri yang mulai dikembangkan sejak akhir abad ke-19 dengan pola komersial ini telah menghasilkan pengelolaan yang terorganisasi serta memenuhi harapan semua pabrik/industri yang menghuni. Pengembangan kawasan industri (komersial) dilandasi pemikiran untuk mendapatkan keuntungan dari pengurangan biaya infrastruktur serta manfaat-manfaat lainnya dari adanya economic of scale. EIP merupakan pengembangan kawasan industri terbaru, yang dirancang sebagai suatu keterpaduan bisnis, efisiensi usaha (pasar), waste exchange network, dan memfokuskan pada kelestarian lingkungan masyarakat sekitar. EIP mengembangkan upaya dan teknologi yang melibatkan dan memberikan manfaat kepada seluruh perusahaan penghuni yang berbeda kepemilikannya (tenants), bahkan mendorong timbulnya kerjasama Pemerintah dan Swasta (public-private partnership), sehingga tercipta manfaat langsung oleh masyarakat sekitar kawasan. Kemitraan akan berlangsung langgeng apabila distribusi keuntungan dilandaskan pada kontribusi dan kompetensi secara wajar dan dirasa adil oleh semua pelaku. Oleh karena itu, penambahan penghasilan petani sebagai salah satu tujuan dari rekayasa sistem Agroestat diupayakan melalui peningkatan produksi sumberdaya lahan sesuai dengan kompetensi petani. Selain itu juga diusahakan adanya perolehan nilai tambah secara nyata (riil) dari pengkayaan usaha petani dalam proses produksi hasil pertanian. Kebutuhan dana pinjaman menjadikan petani selalu pada posisi yang lemah (inferior) dalam tawar-menawar, sehingga tidak terjadi kesetaraan dalam mekanisme pasar bebas yang adil dan alami. Petani terpaksa berhutang kepada pelaku lainnya khususnya tengkulak, pedagang besar dan industri, dengan mengorbankan posisi tawarnya. Mata rantai ini harus dipecahkan dengan peningkatan penghasilan dan penyediaan paket-paket pinjaman khusus bagi petani lemah, demi terlaksananya kesetaraan dengan menjadikan petani sebagai pebisnis yang bermartabat. Pengertian ’berkesinambungan’ meliputi aspek ekonomi, sosial/budaya, dan ekologi. Dalam kaitan itu, obyek penelitian ini dipilih produk hortikultura yang merupakan usahatani yang sangat strategis di Indonesia, baik ditinjau dari jumlah petani, luas lahan yang digunakan, serta perannya dalam kehidupan masyarakat dan
4
perdagangan dalam negeri dan ekspor. Proses pemilihan komoditi unggulan secara bersama merupakan upaya pemberdayaan masyarakat, yang memperhatikan dinamika dan potensi masyarakat lokal (USAID, 2006). Perencanaan wilayah sistem Agroestat mengacu pada paradigma pembangunan berkelanjutan, dimana aspek ekologi dijadikan salah satu landasan utama dalam pengaturan tata guna lahan. Esensi pembangunan diarahkan pada internalisasi aspek lingkungan ke dalam perencanaan pembangunan (faktor penyebab) dan faktor ekologis yang terkait pada kemampuan alam untuk mendukung kegiatan pembangunan dihubungkan dengan dampak yang terjadi (faktor akibat).
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah rekayasa sistem Agroestat sebagai bentuk pengembangan kawasan pertanian secara berkesinambungan yang dapat meningkatkan penghasilan petani, dengan pendekatan keterpaduan wilayah berbasis komoditi hortikultura unggulan lokal yang berdaya saing. Rekayasa ini dijabarkan melalui tahapan-tahapan penelitian sebagai berikut: 1) Analisis kebutuhan elemen-elemen stakeholders dalam wilayah pengembangan. 2) Analisis potensi komoditi hortikultura unggulan lokal yang dapat dikembangkan di daerah penelitian, sebagai landasan strategi pengembangan wilayah yang mampu mengundang, mendukung dan mendorong agroindustri dengan prinsip mekanisme pasar bebas yang berkeadilan (fair free trade). 3) Sintesa untuk menciptakan kesetaraan posisi tawar elemen-elemen stakeholders, khususnya petani, dalam mekanisme agroniaga produk hortikultura (sesuai sifatsifat khas dari komoditi) yang berlangsung secara alami, adil dan langgeng. 4) Perumusan peran Pemerintah dalam kerangka otonomi daerah, pada peran koordinasi dan fasilitasi, terutama melalui kebijakan pewilayahan, tata ruang (tata guna lahan), bentuk-bentuk subsidi tidak langsung dalam bentuk pengadaan infrastruktur (sesuai kebutuhan), serta unit kerja atau lembaga koordinasi untuk meyakinkan berlangsungnya pengelolaan agroestat yang profesional. 5) Aplikasi soft system methodology untuk rekayasa Model Konseptual Agroestat (soft system) dan Sistem Penunjang Keputusan (hard system) yang efektif.
5
1.3 Manfaat Penelitian Rancangan pola Agroestat sebagai hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberikan beberapa manfaat, sebagai berikut: 1) Menyelaraskan kepentingan dan saling ketergantungan para pelaku dalam sistem agribisnis, khususnya dalam upaya mengembangkan agroindustri di sentra budidaya hortikultura serta meningkatkan penghasilan dan kesetaraan petani. 2) Perumusan pola Agroestat sebagai bahan penunjang keputusan bagi: a. Para pengambil keputusan (Pemerintah) dalam perumusan kebijakan di sektor pertanian, perdagangan, perijinan dan penentuan tata ruang. b. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam implementasi UU No. 32/2004 dan No. 33/2004 menuju pola pengembangan wilayah secara nyata dan bertanggungjawab. c. Para peneliti untuk landasan penelitian pengembangan wilayah khususnya untuk daerah perdesaan. d. Para pengembang, pelaku agro-industri, dan penyandang dana, sebagai kerangka dasar usaha kerjasama lintas sektoral. 3) Sumbangan pemikiran untuk pengembangan model konseptual agroindustri melalui aplikasi teori perumusan kebijakan dengan pendekatan sistem.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada beberapa ruang lingkup yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, sebagai berikut: 1) Sistem Agroestat mencakup seluruh proses agribisnis, mulai tahap usahatani, agroindustri, dan agroniaga (perdagangan/distribusi) dalam lingkup regional, nasional dan internasional (ekspor). 2) Sistem Agroestat dirancang khusus untuk dan sesuai dengan karakteristik khas komoditi hortikultura sebagai komoditi unggulan daerah. 3) Pewilayahan Agroestat dirancang berdasarkan kondisi infrastruktur pertanian, serta perkembangan ekonomi di lokasi pengembangan. 4) Identifikasi bentuk peranan Pemerintah, terbatas pada subsidi tidak langsung dan
6
regulasi, guna memfasilitasi pengembangan sektor pertanian dalam kerangka pewilayahan (planning region), penataan ruang (spatial planning), lingkungan (ecology), infrastruktur, agribisnis (business), pembiayaan, dan pengelolaan kawasan. 5) Pengembangan Agroestat didasarkan konsep keterpaduan antara budidaya dan agroindustri serta agroniaga dalam kerangka mekanisme pasar bebas yang adil dan alami, dengan keberpihakan kepada petani sebagai pelaku sektor pertanian yang paling lemah.
7