1
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Laju pertambahan penduduk Indonesia dinilai sudah sangat mengkhawatirkan,
bahkan Indonesia akan mengalami ledakan penduduk tak terkendali. Ledakan penduduk ini berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan transportasi masyarakat. Salah satu indikasi yang menunjukkan kurang pedulinya pemerintah dalam meyediakan angkutan umum yang nyaman bagi semua warga masyarakat adalah meningkatnya jumlah pengguna kendaraan pribadi dibanding dengan angkutan penumpang umum. Persoalan transportasi yang ada di wilayah perkotaan bukan persoalan yang semata-mata muncul karena perencanaan infrastruktur yang tidak memadai atau tidak berfungsinya jaringan transportasi publik. Tetapi juga disebabkan oleh faktor sosio ekonomi dan kultural. Dengan berintegrasinya kota Jakarta dengan kota-kota besar dunia, menyebabkan
perkembangan Jakarta menjadi lebih pesat dari yang
dibayangkan. Jakarta menjadi pusat pertumbuhan ekonomi nasional, dan hal ini terlihat dari pesatnya pembangunan dan pertumbuhan pusat keramaian, dan pusat niaga baru. Ini berdampak pada meningkatnya kebutuhan masyarakat pada transportasi yang cepat, dan sekaligus memuncullkan masalah transportasi. Kebutuhan masyarakat kota terhadap transportasi/angkutan yang nyaman, saat ini tidak dapat dilayani pemerintah sepenuhnya. Sebagian besar masyarakat memenuhi transportasinya secara pribadi dengan membeli/menggunakan mobil dan juga sepeda motor. Cara masyarakat untuk memenuhi kebutuhan transportasinya dengan menggunakan kendaraan pribadi merupakan salah satu ukuran dari inklusi dalam transportasi. Jika inklusi masyarakat semakin besar dalam transportasi tak terelakkan semakin besar pula dampak negatif yang muncul, berupa kepadatan kendaraan di jalan-jalan yang akhirnya menimbulkan kemacetan lalu-lintas.
1
Dalam satu dekade terakhir ini, sektor transportasi menjadi persoalan tersendiri bagi kota-kota besar, khususnya Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Sebagai ibukota negara, transportasi menjadi urat nadi DKI Jakarta. Terlebih Jakarta sering dijadikan barometer perkembangan ekonomi dan bisnis bagi daerah-daerah lainnya. Pergerakan ekonomi dan bisnis di Ibukota Negara ini perlu ditopang oleh sektor transportasi yang baik. Berawal dari sejak dihentikannya pengoperasian tram oleh Pemerintah DKI Jakarta pada era 1960-an, bus sudah menjadi sarana transportasi umum yang penting di samping sarana transportasi lainnya. Namun selama tiga puluh tahun lebih, bus tidak bisa menarik pengguna dari semua kalangan di masyarakat (Sutomo, 2007). Pemandangan kota Jakarta di pagi dan sore hari, pada ruas-ruas jalan raya utama, dipadati oleh kendaraan pribadi, baik mobil maupun sepeda motor, yang jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan kendaraan umum penumpang yang beroperasi, sehingga kemacetan lalu lintas tak terhindari. Buruknya pelayanan angkutan umum, masalah keamanan dan kebocoran dalam pengelolaan keuangan telah mengakibatkan pengoperasian bus-bus penumpang umum tidak bisa berjalan dengan baik. Bahkan menjadi semakin buruk. Bertolak dari kecenderungan demikian, masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk melakukan mobilitasnya daripada angkutan umum. Dalam persoalan ini masalah keterbatasan manajemen pelayanan transportasi umum juga menjadi penyebab banyaknya masyarakat terpaksa menggunakan angkutan umum dengan kondisinya apa adanya, tanpa dapat melakukan pilihan. Berbagai masalah transportasi yang ada mendorong Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengambil kebijakan dan tindakan untuk mengatasinya. Busway yang kemudian diberi nama Transjakarta dipilih sebagai bentuk representasi dari sebuah produk inovasi dalam pembangunan transportasi darat. Menggunakan teknologi Bus Rapid Transt (BRT), busway dirancang oleh pemerintah untuk memindahkan pengguna mobil pribadi yang ditengarai menjadi salah satu penyebab utama kepadatan jalan raya di Jakarta. Sebenarnya tidak hanya itu,
2
kehadiran BRT di negara berkembang sebagai salah satu bentuk terobosan dalam mengatasi persoalan dalam transportasi perkotaan yang sebelumnya difokuskan dalam pembangunan infrastruktur jalan (Hook 2006). Artinya, pembangunan transportasi cepat massal seperti bus Transjakarta merupakan strategi pemerintah untuk memfasilitasi kebutuhan moda transportasi masyarakat. Karenanya, seringkali disinyalir pembangunan bus Transjakarta sebagai salah satu bentuk keberpihakan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat. Kajian United Nation Environment Programme (UNEP, 2006) tentang transportasi di Jakarta dan hampir 16 juta perjalanan yang terjadi setiap hari ditengarai
menjadi
penyebab
tingginya
polusi
udara.
Untuk
itu
UNEP
merekomendasikan pentingnya mengembangkan kebijakan Bus Rapid Transit (BRT) di Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya. Ini memperjelas bahwa perkembangan kondisi transportasi Jakarta bertambah kompleks, dengan bertambahnya jumlah kendaraan yang juga akan diikuti meningkatnya jumlah perjalanan. Bagaimanapun transportasi kota dan isu motorisasi atau automobile dependence (mobilitas dengan menggunakan kendaraan bermotor) menjadi faktor kritis dalam isu keberlanjutan pembangunan dan kelayakan kehidupan masyarakat di kota yang menjadi salah satu isu dalam Global Warming dan Millenium Development Goals. Untuk memberikan legalitas yang kuat terhadap pembangunan bus Transjakarta, disusun Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta No. 12 tahun 2003 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai dan Danau serta Penyeberangan, yang di dalamnya memasukkan pasal-pasal tentang jalur khusus bus (busway) untuk perencanaan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian lalu lintas dan angkutan jalan di DKI Jakarta. Busway adalah penggunaan jalan yang hanya diperuntukkan khusus bagi bus (Petunjuk Teknis Sistem Transportasi Perkotaan, 1998:65-67). Dengan pertimbangan biaya yang lebih ekonomis, akhirnya pada tanggal 15 Januari 2004, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso meresmikan peluncuran perdana beroperasinya bus Transjakarta untuk Koridor Blok M - Kota. Melalui Transjakarta
3
ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berharap agar program BRT ini dapat menjadi titik awal dan embrio reformasi total angkutan umum yang nyaman, layak dan manusiawi di ibukota. Selain itu, program ini diharapkan dapat menarik minat pengguna kendaraan pribadi untuk beralih menggunakan kendaraan umum, dan dapat melayani kebutuhan seluruh masyarakat yang kesehariannya tergantung pada transportasi umum reguler. Manfaat praktis dan strategis dari bus Transjakarta tidak hanya mampu mengoptimalkan penggunaan jalan yang ada, tetapi juga dapat mengubah perilaku masyarakat dalam menggunakan angkutan umum. Dengan demikian, diharapkan terbangun suatu tatanan baru dalam praktik bertransportasi di masyarakat, dan juga dapat mencapai efisiensi dan efektivitas sistem transportasi di Provinsi DKI Jakarta. Layanan bus Transjakarta kerap mendapat keluhan dari penumpangnya, antara lain masalah kenyamanan, keselamatan dan kecepatan. Hal-hal yang menjadi perhatian penumpang yaitu soal panjangnya antrian penumpang di halte bus, sangat kurangnya informasi bagi penumpang, kekurangan frekuensi kedatangan bus dan kondisi dari halte bus. Ketidaknyamanan juga diakibatkan oleh kondisi lalu-lintas di simpang dimana bus Transjakarta terjebak sekitar 13,3-30% dari waktu perjalanannya di traffic lights. Hambatan di simpang dan tidak adanya sistem kendali operasional yang memadai, mengakibatkan pula terjadinya ketidak-teraturan jarak antara kedatangan bus. Kadang-kadang di halte transfer pada jam-jam sibuk terjadi penumpukan penumpang sehingga terasa sesak dan sangat tidak nyaman. Selain itu banyak orang mengeluh soal kebersihan dan pemeliharaan halte. Di sisi lain, pertumbuhan aktivitas transportasi perkotaan, berpadu dengan pertumbuhan populasi yang cepat berdampak pada kemacetan jalan. Kemudian mengarah pada keterlambatan waktu yang tidak produktif, tingginya kecelakaan di jalan raya dan meningkatnya konsumsi bahan bakar dan jumlah emisi gas buang. Hal ini dapat menyebabkan turunnya tingkat keselamatan di jalan raya sehingga akan berdampak pada turunnya produktivitas kerja masyarakat setelah tiba ditempat kerja.
4
Sepanjang tahun 2008, angka kecelakaan lalulintas di Jakarta Pusat meningkat tajam sekitar 10% dibanding tahun 2007 lalu. Data dari Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polres Metro Jakarta Pusat menyebutkan, mulai Januari – November terdapat 432 kasus kecelakaan dengan korban meninggal 510 orang, serta kerugian mencapai Rp. 732,3 juta ( www.beritajakarta.com tanggal 31 Des 2008 ). Menurut Dirjen Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja, bahwa 40% kecelakaan kerja terjadi di jalan raya yang juga merupakan kecelakaan lalu lintas. Hal in antara lain dikarenakan semakin banyaknya sepeda motor dan mudahnya mendapatkan Surat Ijin Mengemudi (SIM). Data dari Jamsostek menunjukkan pembayaran klaim kecelakaan kerja paling banyak diberikan karena kecelakaan di jalan raya. Masalah transportasi tidak hanya berdampak ke kegiatan ekonomi dan bisnis, tetapi juga memiliki peranan dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia. Konteks sosial, ekonomi dan politik lokal dan global menentukan regulasi dalam transportasi. Kondisi makro yang ada saat ini, dengan pengaruh iklim neoliberalisme/ globalisasi telah menempatkan persoalan transportasi menjadi layanan kebutuhan atau aksesibilitas yang harus disediakan oleh Negara. Aksesibilitas transportasi menjadi penting seiring dengan meningkatnya peradaban umat manusia. Secara empiris, perkembangan kehidupan manusia dan kemajuan teknologi transportasi berpengaruh pada perubahan sosial dan ekonomi regional. Perubahan gaya hidup, peningkatan pendapatan, dan kemajuan ekonomi dan peningkatan produksi industri otomotif sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Meski campur tangan pemerintah melalui berbagai kebijakan telah melahirkan persoalan sosial baru di kota berupa kemacetan. (Bolade 1991; Litman 2001; Abadi, 2005:117; Matsumoto 2006). 1.2
Permasalahan Pemerintah menyusun kebijakan pembangunan transportasi yang terkenal
dengan kebijakan transportasi berkelanjutan. Kebijakan ini bertujuan memberikan jaminan dan akses pada masyarakat tanpa tergantung pada kondisi sosial ekonomi (kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, kota atau desa). Tetapi dalam kenyataan,
5
implementasi kebijakan ini belum berjalan sepenuhnya. Hal ini berarti ada keterbatasan pemerintah untuk mewujudkan transportasi berkelanjuutan. Di balik keterbatasan itu, riset ini berusaha untuk mengungkapkan dan menjelaskan bagaimana keberadaan pembangunan bus Transjakarta bagi masyarakat. Transjakarta yang dioperasikan sejak 15 Januari 2004 memiliki fungsi sosiokultural/proyek social engineering. Bus Transjakarta direncanakan untuk mengatasi persoalan sosial dan teknis transportasi kota Jakarta. Karena itu, Transjakarta bukan hanya berfungsi untuk menjembatani kesenjangan aksesibiltas secara vertikal antara kelompok masyarakat yang dapat mengkases pada angkutan pribadi dan kelompok masyarakat yang hanya dapat mengakses pada angkutan umum. Kesenjangan aksesibilitas secara vertikal ini dapat diatasi dengan beroperasinya Transjakarta. Keberadaan bus Transjakarta sangat relevan dengan kebutuhan masyarakat perkotaan yang menginginkan mobilitas cepat. Transjakarta adalah angkutan umum yang sudah menerapkan teknologi modern dan canggih. Seiring dengan penerapan teknolgi itu, akan terbangun budaya baru dalam bertransportasi. Jadi, Transjakarta merupakan modal budaya untuk memunculkan praktik bertransportasi sesuai dengan norma standar atau nilai-nilai yang disepakati bersama, berupa keteraturan dan kedisiplinan. Persoalannya adalah bagaimana memperkuat keberadaan Transjakarta sebagai moda transportasi yang dapat mendukung kebutuhan mobilitas masyarakat secara optimal, sehingga berimplikasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat urban. Data statistik menunjukkan bahwa pengguna kendaraan sebanyak 98,5 persen atau setara 5,6 juta unit menggunakan kendaraan pribadi. Jumlah kendaraan umum hanya 1,5 persen dari 5,7 juta kendaraan di Jakarta. Sementara itu, 1,5 persen setara dengan 87.976 unit angkutan umum. Idealnya kendaraan umum mengangkut sekitar kurang 70 persen dari total 20,1 juta perjalanan per hari tersebut. Artinya, kemacetan di Jakarta semakin parah karena pertambahan ruas jalan tak seimbang dengan pertumbuhan kendaraan (Kompas, 10 April 2008).
6
Realitas transportasi sehari-hari Jakarta juga menunjukkan tingginya kecelakaan di jalan raya, dan hal ini berdampak kepada aspek sosial ekonomi, serta lingkungan (pemborosan waktu, biaya, bahan bakar, polusi udara). Kompleksnya persoalan transportasi yang dihadapi kota Jakarta, maka pembangunan Transjakarta tidak dapat dilakukan setengah-setengah. Perlu kesungguhan dari pemerintah untuk mewujudkan dan melayani kebutuhan transportasi masyarakat. Karena adanya perbaikan atau pembangunan dalam Transjakarta dengan sendirinya dapat berdampak positif pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Peningkatan kualitas hidup masyarakat merupakan hal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian dan perencanaan yang baik dari pemerintah. Karena pada saat masyarakat sudah sanngat tergantung pada angkutan umum, sementara kondisi angkutan umum yang ada masih jauh dari kondisi layak, maka hal itu menjadi masalah bagi masyarakat. Tidak saja waktu yang terbuang percuma, tetapi biaya sosial ekonomi menjadi lebih mahal dan besar. Sedangkan bagi masyarakat yang memiliki ketergantungan (tinggi) pada kendaraan pribadi, hal itu juga menimbulkan dampak negatif, pemborosan bahan bakar fosil dan polusi udara yang ditimbulkannya. Selain itu, kepadatan jalan raya semakin tinggi, dan ini menyebabkan kemacetan arus lalu-lintas. Dengan demikian, upaya Pemerintah DKI Jakarta untuk membangun dan meningkatkan pelayanan merupakan hal yang tidak bisa dipandang remeh. Karena pembangunan bus Transjakarta merupakan kebutuhan mendesak bagi masyarakat dan kota Jakarta. Di balik biaya investasi yang lebih murah dibanding pembangunan Mass Rapid Transit (MRT), tidak berarti pembangunan bus Transjakarta dapat dengan mudah diwujudkan dan mendekati ideal. Biaya investasi per kilometer untuk bus rapid transit berkisar 1-8 juta dolar AS, dibandingkan dengan light train (monorel) 10-30 juta dolar AS, metro 15-30 juta dolar AS untuk di permukaan, 30-75 juta dolar AS untuk layang, dan 60-180 juta dolar AS untuk bawah tanah (International Energy Agency, 2004:29). Kendati demikian, pemerintah juga membangun MRT sebagai cara untuk
mengatasi
permasalahan
transportasi
sekaligus
memenuhi
kebutuhan
transportasi masyarakat.
7
Sugihardjo (2005), mengkaji program Busway-Transjakarta, analisisnya menunjukkan bahwa Transjakarta telah memenuhi kriteria best practices sebagai terobosan solusi terhadap ruwetnya persoalan transportasi di DKI Jakarta. Kriteria best practices yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kriteria dari PBB atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (dalam Prasojo, 2004:4-10), dilengkapi kriteria best practices dari Patricia Keehley et.al (1997:25-30). Dalam perkembangannya, sambutan positif masyarakat terhadap Transjakarta menunjukkan kecenderungan menurun. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas awal Januari 2009 terhadap 255 responden (Kompas, 15/1/2009) terungkap tiga masalah dasar yang menyebabkan bus Transjakarta belum dapat mencapai tujuan utamanya, yaitu sedikitnya jumlah penumpang yang berasal dari pengguna kendaraan pribadi, kondisi yang tidak nyaman saat jam sibuk, dan waktu menunggu bus yang terlalu lama. Kenyataan ini semakin menguatkan fakta belum tercapai tujuan utama pelaksanaan program Transjakarta setelah lima tahun beroperasi, yaitu untuk memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke bus Transjakarta dan mengurangi kemacetan lalu lintas Jakarta (Kompas, 15/1/ 2009). Penelitian bus Transjakarta telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Di antara sekian banyak penelitian yang telah dilakukan, fokus penelitian pada umumnya lebih pada pemaparan fakta dan masalah yang melingkupi program Transjakarta, bukan pada solusi alternatif multidisiplin untuk pemecahan masalah sehingga diharapkan rekomendasi penelitian dapat dijadikan pembelajaran (lesson learn) bagi pengembangan di kota-kota besar lainnya di Indonesia yang sudah berencana untuk menerapkan program BRT.
8
2 2.1
TUJUAN DAN MANFAAT RISET
Tujuan Umum Pembangunan transportasi umum, idealnya mengakomodasi tuntutan dan
kebutuhan seluruh anggota masyarakat. Dengan meningkatnya kualitas kehidupan akibat dari meningkatnya pendapatan rumah tangga, menimbulkan kecenderungan besar untuk peningkatan perjalanan dan kepemilikan mobil, dengan konsekuensi bertambahnya permintaan untuk peningkatan kapasitas jalan raya. Tetapi hal ini tidak sejalan dengan paradigma pembangunan transportasi publik perkotaan. Karena pembangunan transportasi setidaknya menjadi suatu sistem transportasi yang humanis yang juga menjangkau kelompok masyarakat miskin kota dan yang berpenghasilan rendah sehingga memperoleh manfaat dalam kebijakan transportasi. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan alternatif pemecahan masalah transportasi melalui pembangunan angkutan umum cepat yang diasumsikan dapat memberi dampak positif bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. 2.2
Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi
dan
menganalisis
proses
social
engineering
dari
pembangunan bus Transjakarta dalam kerangka mengembangkan budaya baru dalam bertransportasi di masyarakat. 2. Menghasilkan suatu pedoman praktis dari aplikasi sistem BRT ke dalam bus Transjakarta, sehingga dapat menjadi pembelajaran kota-kota besar lainnya di Indonesia . 2.3
Manfaat
1. Menghasilkan analisis akademis dan pedoman praktis tentang cara mewujdukan praktik-praktik bertransportasi berdasar nila-nilai sosial atau kaidah-kaidah bertransportasi yang meletakkan nilai-nilai keselamatan, kenyamanan dan keamanan sosial.
9
2. Memberikan solusi praktis tentang cara meningkatkan kualitas layanan program Transjakarta melalui optimalisasi fungsi sarana dan prasarana, sehingga dapat memberikan kualitas layanan terbaik bagi pemangku kepentingan (stakeholder) serta dalam rangka meningkatkan efisiensi dari pemberian layanan. 3. Dengan tercapainya pengembangan nilai-nilai baru dalam betransportasi di masyarakat
melalui
bus
Transjakarta,
dimungkinkan
masyarakat
bisa
mempraktikkan budaya baru bertransportasi itu dalam hidup kesehariannya. Praktik bertransportasi yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan berlaku umum dalam Transjakarta dapat berdampak positif pada meningkatnya kualitas hidup masyarakat. Keberhasilan pembangunan budaya baru betransportasi melalui Transjakarta dapat menjadi pembelajaran kota-kota besar lainnya di Indonesia.
10
3 3.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pengantar Definisi dan aplikasi praktis sistem transportasi umum berbeda-beda perspektif
diantara berbagai negara didunia. Negara berkembang bisa saja mempunyai definisi yang berbeda dengan negara-negara industri. Definisi secara sederhana adalah transportasi penumpang berbentuk kolektif yang dapat diakses oleh semua, dimana jadwal, rute dan harga sudah ditetapkan serta tidak menggunakan kendaraan milik pribadi. (Dziekan, 2008). Sedangkan definisi Bus Rapid Transit (BRT), adalah sistem transportasi bus berkualitas tinggi yang cepat, nyaman dan efektif dalam biaya mobilitas urban, melalui prasarana yang terpisah/khusus, operasi yang cepat dan sering (frequent) serta layanan prima pada pasar dan konsumen.(BRT, Planning Guide, 2007) Kehadiran Transjakarta dalam sistem BRT, menjadi salah satu opsi terbaik pembangunan trasportasi untuk semua warga karena pertumbuhan kota Jakarta yang mengalami peningkatan kebutuhan perjalanan per hari dengan angkutan umum dari Bodetabek ke Jakarta dan sebaliknya. Pada tahun 2002, misalnya, tercatat 7,3 juta perjalanan per hari, tahun 2010 diperkirakan menjadi 9,9 juta perjalanan per hari, dan pada tahun 2020 meningkat menjadi 13 juta perjalanan setiap hari. Sementara itu, rasio jumlah kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum adalah 98 persen berbanding 2 persen. Besarnya volume kendaraan pribadi melampaui kapasitas infrastruktur yang ada, sehingga timbul berbagai dampak tak terelakkan, kemacetan lalu-lintas di semua jalan yang ada. Kemacetan juga disebabkan oleh pertambahan penduduk dan komuter sekitar 1,5 juta jiwa. Para kommuter datang dari Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi baik yang bekerja maupun sekolah. Data lain menunjukkan, Jakarta sesuai dengan prediksi BPS pada tahun ini berpenduduk 11 juta pada siang hari dan 9 juta pada malam hari.
11
Gambaran nyata tentang sinisme masyarakat pada angkutan umum yang beroperasi sampai saat ini benar-benar memberikan gambaran buruk. Representasi kondisi buruk angkutan umum terlihat dari ketidaklayakan dan ketidaknyamanan layanan yang disediakan oleh operator pemerintah dan swasta. Hal ini berdampak pada munculnya praktik otomobilitas. Fenomena otomobilitas merupakan pilihan masyarakat secara sadar dan rasional untuk memperoleh kenyamanan dan keselamatan untuk mencapai tempat tujuan. Bentuknya adalah dengan menggunakan kendaraan sendiri, baik kendaraan roda empat (mobil) maupun roda dua (sepeda motor). Dalam perspektif penggunaan ruang, dan bahan bakar, fenomena otomobilitas yang kini semakin umum sebagai hal yang tidak efisien, pemborosan bahan bakar fosil, dan juga waktu. 3.2
Kualitas Layanan Publik Reformasi pelayanan publik sendiri merupakan prime mover (penggerak
utama) yang dinilai strategis untuk memulai pembaharuan praktik governance (Dwiyanto, 2005 dalam Afrial, 2008 dan 2009). Reformasi pelayanan publik dinilai sebagai entry point dan penggerak utama karena upaya untuk mewujudkan nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik governance yang baik dalam pelayanan publik dapat dilakukan secara lebih nyata dan mudah. Selain itu, paradigma baru pemerintahan yang baik adalah dengan melakukan reinventing government (Osborne & Gaebler, 1999 dalam Sancoko, 2009 dan 2010). Prinsip reinventing government adalah mentrasformasi kinerja dunia usaha ke dalam kinerja birokrasi. Aparat pemerintah harus senantiasa bekerja keras untuk meningkatkan produktifitas sumber daya yang dimiliki pemerintah. Untuk mewujudkan kinerja birokrasi seperti kinerja dalam dunia swasta, Osborne & Gaebler mengemukakan sepuluh prinsip reinventing government (Thoha, 2008). Dalam konteks penelitian TranJakarta ini, salah satu dari sepuluh prinsip reinventing government adalah pemerintah harus berorientasi pelanggan. Artinya, pemerintah harus berupaya memberikan pelayanan berdasarkan harapan pengguna layanan publik - bukan berdasarkan apa yang ingin dilakukan oleh birokrasi pemerintah (Osborne & Gaebler, 2002). Konsep kualitas menjadi ukuran keberhasilan organisasi bukan saja pada organisasi bisnis tetapi juga pada organisasi
12
atau institusi pemerintah sebagai lembaga penyedia pelayanan publik. Pemerintah dituntut untuk senantiasa melakukan survey mengenai keinginan dan penilaian masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan. Terlebih, kualitas merupakan bahasan yang penting dalam penyelenggaraan pelayanan. Negara dan sistem pemerintahan menjadi tumpuan pelayanan warga negara dalam memperoleh jaminan atas hakhaknya, karenanya peningkatan kualitas pelayanan (quality of services) akan menjadi penting (Zauhar 2001, dikutip oleh Prasojo, Pradana dan Hiqmah, 2006). Dalam kaitannya dengan kualitas pelayanan, sejumlah ahli menjelaskan konsep ini dengan pengertian yang saling menguatkan sesuai dengan perspektif yang digunakan untuk menentukan ciri-ciri pelayanan yang spesifik (Afrial, 2009 dikutip dari Feigenbaum 1986; Lovelock 1994; Bahil dan Gising 1998; Goetsh dan Davis 1994 dikutip oleh Mulyawati 2003; WE. Deming dalam Sinambela dkk 2006). Menurut Groonroos’s, kualitas pelayanan merupakan perbandingan antara kenyataan atas pelayanan yang diterima dengan harapan atas pelayanan yang ingin diterima (Brady dan Conin, 2001). Pada awalnya, instrumen untuk mengukur kualitas pelayanan (service quality) dikembangkan oleh peneliti pemasaran untuk melakukan evaluasi terhadap kualitas pelayanan yang dapat memenuhi kepuasan pelanggan (Afrial, 2009 dalam Jiang, Kelin, dan Carr, 2002). Dalam kaitannya dengan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi, Lenvine (1990:188) memaparkan, produk dari pelayanan publik pada negara demokrasi paling tidak harus memenuhi tiga indikator, yakni responsiveness, responsibility, dan accountability. Sementara pandangan Albrecht dan Zemke (1990) melihat, kualitas pelayanan publik merupakan hasil interaksi dari tiga aspek, yaitu sistem pelayanan yang dibangun organisasi penyedia layanan, sumberdaya manusia pemberi pelayanan, strategi pelayanan, serta pelanggan atau pengguna layanan. Ketiga aspek tersebut saling terkait serta berinteraksi satu dengan yang lainnya dan direkatkan oleh suatu budaya organisasi yang diarahkan kepada kebutuhan pelanggan. Sedangkan Gibson, Ivancevic dan Donelly (1996) dalam Dwiyanto (2005:147) memasukkan dimensi waktu. Dalam hal ini, kinerja pelayanan publik terdiri dari aspek produksi, mutu, efisiensi, fleksibiltas, dan kepuasan untuk
13
ukuran jangka pendek; sedangkan persaingan dan pengembangan untuk jangka menegah; serta aspek kelangsungan hidup untuk jangka panjang. Selain itu, ukuran kualitas pelayanan ditentukan oleh banyak faktor yang bersifat intangible (tidak nyata/tidak berwujud) dan memiliki banyak aspek psikologis yang rumit untuk diukur (Zeithaml, Parasuraman dan Berry,1990). Idealnya pengukuran kualitas pelayanan dilakukan terhadap dua dimensi yang saling terkait dalam proses pelayanan yakni penilaian kepuasan pada dimensi pengguna layanan/pelanggan (service users) dan penilaian yang dilakukan pada penyedia pelayanan (service providers). Zeithamal dkk. (1990) kemudian mengembangkan service quality gap model kedalam suatu instrumen skala pengukuran multi dimensi yang dinamakan SERVQUAL. Dalam perkembangannya kesepuluh dimensi ini oleh Zeithamal, Parasuraman dan Bery kemudian di sederhanakan menjadi lima dimensi kualitas pelayanan (Zeithamal, 1990), yakni: Tangible (Nyata, Berwujud), Reliablility (Keandalan), Responsiveness (Cepat tanggap), Assurance (Jaminan) dan Emphaty (Empati). Pengukuran kualitas pelayanan dilakukan terhadap dua dimensi yang saling terkait dalam proses pelayanan yakni penilaian kepuasan pada dimensi pengguna layanan/pelanggan (service users) dan penilaian yang dilakukan pada penyedia pelayanan (service providers). Zeithamal dkk (1990) mengemukakan faktor kunci yang mempengaruhi harapan pengguna layanan yakni informasi yang diperoleh dari mulut kemulut, kebutuhan-kebutuhan personal pengguna layanan, komunikasi eksternal dan pengalaman masa lampau pengguna layanan, seperti terlihat dalam gambar model penilaian kualitas pelayanan (gambar 3.1).
14
Word of mouth
Personal needs
Dimensions of Service Quality
Expected Service (ES)
Reliability Responsiveness Assurance Empathy Tangibles
Past experiences
Perceived Service Quality 1. 2.
Perceived Service (PS)
Externals Communications
3.
Expectation exceeded ES < PS (Quality surprise) Expectation met ES = PS (Satisfactory quality) Expectation not met ES > PS (Unacceptable quaa lity)
Sumber: Zeithamal et.al. (1990: 23) Gambar 3.1 Model Penilaian Kualitas Pelayanan
Selain itu, Martilla dan James (1977) juga memperkenalkan metode Importance Performance Analysis (IPA) untuk mengukur hubungan antara persepsi konsumen dan prioritas peningkatan kualitas produk/jasa yang dikenal pula sebagai quadrant analysis (Setiawan, 2005 dalam Brandt, 2000 dan Latu & Everett, 2000). Seperti halnya Servqual, pada awalnya, metode IPA digunakan untuk penelitian pemasaran. Namun, IPA telah diterima secara umum dan dipergunakan pada berbagai bidang kajian karena kemudahan untuk diterapkan dan tampilan hasil analisa yang memudahkan usulan perbaikan kinerja (Martinez, 2003). IPA mempunyai fungsi utama untuk menampilkan informasi berkaitan dengan faktor-faktor pelayanan yang menurut konsumen sangat mempengaruhi kepuasan dan loyalitas mereka, dan faktorfaktor pelayanan yang menurut konsumen perlu ditingkatkan karena kondisi saat ini belum memuaskan. IPA menggabungkan pengukuran faktor tingkat kepentingan dan tingkat kepuasan dalam grafik dua dimensi yang memudahkan penjelasan data dan mendapatkan usulan praktis. Interpretasi grafik IPA sangat mudah, dimana grafik IPA dibagi menjadi empat buah kuadran berdasarkan hasil pengukuran importanceperformance sebagaimana terlihat pada Gambar 3.2.
15
Quadrant 4
Quadrant 1
CONCENTRATE HERE
KEEP UP THE GOOD WORK
High Importance
High Importance
Low Performance
High Performance
Quadrant 3
Quadrant 2
LOW PRIORITY
POSSIBLE OVERKILL
Low Importance
Low Importance
Low Performance
High Performance
Sumber: Martilla and James (1977) Gambar 3.2 Pembagian Kuadran Importance Performance Analysis
Berikut penjelasan untuk masing-masing kuadran (Brandt, 2000 dalam Setiawan, 2005). Pertama, Kuadran Pertama, “Pertahankan Kinerja” (high importance & high performance). Faktor-faktor yang terletak pada kuadran ini dianggap sebagai faktor penunjang bagi kepuasan konsumen sehingga pihak manajemen berkewajiban memastikan bahwa kinerja institusi yang dikelolanya dapat terus mempertahankan prestasi yang telah dicapai karenanya menjadi prioritas utama untuk perbaikan. Kedua, Kuadran Kedua, “Cenderung Berlebihan” (low importance & high performance). Faktor-faktor yang terletak pada kuadran ini dianggap tidak terlalu penting sehingga pihak manajemen perlu mengalokasikan sumber daya yang terkait dengan faktor-faktor tersebut kepada faktor-faktor lain yang mempunyai prioritas penanganan lebih tinggi yang masih membutuhkan peningkatan, semisal dikuadran keempat. Ketiga, Kuadran Ketiga, “Prioritas Rendah” (low importance & low performance). Faktor-faktor yang terletak pada kuadran ini mempunyai tingkat kepuasan yang rendah dan sekaligus dianggap tidak terlalu penting bagi konsumen, sehingga pihak manajemen tidak perlu memprioritaskan atau terlalu memberikan perhatian pada faktor –faktor tersebut. Keempat, Kuadran Keempat, “Tingkatkan Kinerja” (high importance & low performance). Faktor-faktor yang terletak pada
16
kuadran ini dianggap sebagai faktor yang sangat penting oleh konsumen namun kondisi pada saat ini belum memuaskan sehingga pihak manajemen berkewajiban mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk meningkatkan kinerja berbagai faktor tersebut. Faktor-faktor yang terletak pada kuadran ini merupakan prioritas untuk ditingkatkan. Terdapat dua macam metode untuk menampilkan data IPA (Martinez, 2003) yaitu: pertama, menempatkan garis perpotongan kuadran pada nilai rata-rata pada sumbu tingkat kepuasan dan sumbu prioritas penangganan dengan tujuan untuk mengetahui secara umum penyebaran data terletak pada kuadran berapa. Kedua, menempatkan garis perpotongan kuadran pada nilai rata-rata hasil pengamatan pada sumbu tingkat kepuasan dan sumbu prioritas penangganan dengan tujuan untuk mengetahui secara spesifik masing-masing faktor terletak pada kuadran berapa. Metode yang kedua lebih banyak dipergunakan oleh para peneliti. Dalam kaitannya dengan TransJakarta, sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi pelaksanaan program bus rapid transiti di Jakarta ini. Sugihardjo (2005) melakukan penelitian berdasarkan tujuan dari studi yang direncanakan (Whicker and Miller, 1998, Guba, 1990; Judd et al, 1991), yaitu untuk mengetahui faktor-faktor dominan dalam pelaksanaan program TransJakarta. Selain itu, Sugihardjo juga meneliti pengaruh dan hubungan antara Kebijakan Pemda (lihat : Osborne & Gaebler dan More, 1995), Manajemen Pengelolaan, Kepuasan Penumpang dan Kualitas Pelayanan; serta menjelaskan tahapan yang harus dilakukan dalam mereplika program TransJakarta dengan pendekatan benchmarking. Hasil penelitian tepat satu tahun setelah Busway-Transjakarta beroperasi ini, menunjukkan program TransJakarta telah memenuhi kriteria best practices sebagai terobosan solusi terhadap ruwetnya persoalan transportasi di DKI Jakarta. Kriteria best practices yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kriteria dari PBB atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (dalam Prasojo, 2004), dilengkapi kriteria best practices dari Keehley (1997). Namun sayangnya, setelah beroperasi selama lebih enam tahun, kini penilaian terhadap
kinerja
TransJakarta
semakin
memprihatinkan
(Kompas-Online,
17
23/11/2009), bahkan mendekati gagal (Kompas, 24/4/2010). Sistem busway dinilai hanya bisa membangun jalur dan menjalankan bus di atasnya. Padahal tujuan awal TransJakarta adalah pengurangan kendaraan pribadi dan penciptaan angkutan massal terintegrasi. Pengguna TransJakarta sendiri sudah nyaris skeptis terhadap perbaikan. Hasil survei Yayasan Layanan Konsumen Indonesia (YLKI) terhadap 3.000 pengguna bus transjakarta di delapan koridor pada pertengahan Maret 2010, menunjukkan 55,54 persen pengguna bus pengguna tidak yakin bahwa saran atau keluhan mereka ditindaklanjuti secara serius oleh pengelola (Kompas, 24/4/2010). Oleh karena itu, tujuan penelitian multidisiplin ini adalah untuk menghasilkan kajian kualitas layanan TransJakarta dari sistem bus rapid transit, yang dapat menjadi pembelajaran kota-kota besar lainnya di Indonesia. Mengingat, walaupun TransJakarta selalu menuai kritik, namun sejak diluncurkan tahun 2004, jumlah pengguna angkutan yang akrab disebut busway ini semakin meningkat. Tahun 2004 tercatat sebanyak 14.924.423 penumpang, tahun 2005 sebanyak 20.798.196 penumpang, tahun 2006 sebanyak 38.828.039 penumpang, tahun 2007 61.439.961 penumpang, tahun 2008 74.619.995 penumpang, sementara untuk tahun 2009, tepatnya sampai bulan Agustus 2009, total penumpang 54.213.836 penumpang. Sehingga total penumpang yang telah dilayani selama lima tahun mencapai 265.842.450 penumpang (beritajakarta.com, 29/5/2009). Dalam kaitan inilah, penelitian kualitas layanan pada Transjakarta ini menjadi salah satu bagian yang sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik TrasJakarta oleh Pemerintah DKI Jakarta dalam bidang transportasi massal. Terlebih, penelitian kualitas layanan merupakan bagian dari kajian multidisiplin rekayasa social (social engineering) dalam sistem angkutan cepat massal Transjakarta untuk pembebelajaran di kota-kota besar lainnya di Indonesia. 3.3
Pembangunan Aksesibilitas Transportasi untuk Semua Warga Aksesibilitas transportasi menjadi penting seiring dengan meningkatnya
peradaban umat manusia. Kemakmuran bagi masyarakat tidak hanya tercermin dari perkembangan ekonomi, namun juga dengan peningkatan kualitas hidup, reduksi atas ketidaksetaraan dan pengangguran, dengan memfasilitasi mobilitas semua kelompok dari populasi. Disini harus ditekankan bahwa sejumlah tipe akses lebih penting dari
18
pada yang lain. Adalah tugas pembuat kebijakan untuk melihat prioritas dan menggolongkan antara yang mendesak, ataupun yang opsional. Aksesibilitas transportasi adalah prioritas sebagai pendukung kegiatan ekonomi dan sosial, namun opsional dalam kualitas layanan. Namun kondisi prasarana dan sarana yang memadai akan menentukan kapasitas dan kualitas suatu perjalanan. Pembangunan aksesibilitas transportasi menjadi persoalan sosial ketika sarana dan prasarana transportasi yang dibangun dan disediakan oleh pemerintah justru tidak dapat memberikan manfaat secara sosial ekonomi bagi kehidupan masyarakat secara langsung. Kecenderungan ini merupakan salah satu masalah dimana pembangunan sarana dan prasarana transportasi ternyata menyebabkan terekslusinya masyarakat secara sosial. Masyarakat menjadi sulit untuk mengakses pada pembangunan sarana dan prasarana transportasi yang dibangun oleh pemerintah. kesulitan masyarakat untuk melakukan mobilitas (ketidakmampuan melakukan perjalanan jarak jauh dengan kendaraan atau kendaraan bermotor, berkurangnya aksesibilitas pada jejaring sosial dan fasilitas, terbatasnya pelayanan yang diperoleh dan barang-barang) merupakan salah satu indicator dari masyarakat yang mengalami eksklusi social. Eksklusi sosial terkait dengan aksesiblitas layanan transportasi publik merupakan suatu kondisi yang menyebabkan masyrakat mengalami kendala untuk mengakses moda transport itu. Ketidaklayakan dalam pelayanan transportasi acapkali memberi kontribusi pada terjadinya eksklusi sosial di masyarakat, terutama bagi kelompok masyarakat yang hidupnya tergantung pada angkutan umum dan secara fisik tak mampu (difabel), pendapatan rendah atau tidak mampu memiliki dan menggunakan mobil (Litman, 2002).1 Kendala-kendala dalam mengakses transportasi publik terdiri dari empat faktor: (1) ketersediaan moda transport yang layak, (2) moda transpor publik tidak dapat dijangkau dari aspek lokasi, (3) harga, (4) moda transpor 1
Tod Litman, Social Inclusion As a Transport Planning Goal in Canada, paper contribution to the FIA Foundation G7 Comparison, Victoria Transport Policy Institute, 3 March 2002.
19
publik tidak dapat diakses, dan tidak dapat memberikan pelayaan dengan cepat dan tepat waktu untuk mencapai lokasi kegiatan yang ingin diakses oleh masyarakat. Ini berlaku baik bagi orang yang terlibat secara sosial (social included people) maupun orang yang terpinggirkan secara sosial (social excluded people). Transportasi dapat disebut memadai melayani kebutuhan masyarakay apabila telah memenuhi empat kriteria, dan menjadi kurang memadai jika gagal memenuhi satu atau lebih kriteria. 3.4
Pembangunan Prasarana dan Sarana Menurut BRT Planning Guide (June, 2007), dalam menyusun sistem BRT
beberapa hal terkait infrastruktur (prasarana) adalah pemilihan koridor yang dipengaruhi oleh kebutuhan pengguna, karakteristik jalan,
karakteristik jaringan,
kemudahan implementasi, biaya serta pertimbangan politis dan sosial. Selain itu rancangan layanan dan jaringan, pemilihan sistem tertutup atau terbuka serta pemilihan konfigurasi trunk-feeder atau direct services. Kapasitas dan kecepatan dalam perspektif consumer adalah persaingan antara layanan transportasi publik dengan pribadi yaitu mencakup waktu perjalanan, kenyamanan, keamanan dan biaya. Saat ini kapasitas sistem BRT yang tertinggi adalah 45.000 penumpang per jam per arah (di Bogota). Sistem standar tanpa passing lane maksimum sekitar 13.000 penumpang per jam per arah. Sedangkan kecepatan komersial sekitar 23-30 kilometer per jam Jika arus lalu-lintas meningkat pada ruas jalan tertentu, waktu tempuh pasti bertambah karena kecepatan menurun (Tamin, 2003). Arus maksimum yang dapat melewati suatu titik tertentu biasa disebut arus jenuh. Sedangkan Kapasitas menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia, adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat bergerak stabil pada ruas jalan, pada kondisi tertentu (MKJI, 2007). Faktor kunci dalam merancang infrastruktur adalah biaya, atribut fungsional, iklim dan kondisi topologi, atribut estetika dan pilihan kultural (sesuai budaya setempat). Komponen prasarana atau infrastruktur mencakup busway, halte, terminal,
20
perkerasan jalan, sinyal lalu-lintas, pusat kendali, fasilitas integrasi serta fasilitas umum. 3.5
Budaya Ketergantungan Masyarakat pada Kendaraan Pribadi (Otomobilitas) Untuk
memenuhi
kebutuhan
mobiliitas,
warga
masyarakat
memilih
menggunakan kendaraan pribadi. Karena kendaraan penumpang umum dipandang tidak memberikan kenyamanan, dan keamanan. Bertolak dari sini kendaraan penumpang umum memiliki reputasi buruk dan karenanya distigma oleh masyarakat penggunanya. Masyarakat cenderung memandang keberadaan angkutan umum public sebagai tidak layak, tidak bersih, dan tidak nyaman (Harding, 2002; Lee, 2000 dikutip oleh Laffel 2006). Karena itu, masyarakat untuk berpergian cenderung memilih kebebasan dan fleksibilitas dari kendaraan pribadinya. Ini menyebabkan terus berkembangnya budaya otomobilitas. Otomobilitas merupakan infrasistem besar yang terdiri dari pengemudi, kendaraan, sistem bahan bakar, jasa, dan sebagainya. Mobil dan motor sebagai metafor total bagi kehidupan manusia masyarakat modern, sehingga pemilihan moda angkutan yang bersifat personal meligitimasi masyarakat antar gender, kelas, usia, dan sebagainya sebagai wacana utama yang dipertahankan untuk membangun citra kehidupan mapan dan yang dibenarkan dengan argumentasi untuk melancarkan mobilitas masyarakat (Ballard dikutip John Urry, 1995:6). Dalam hal ini, mobil dan/atau sepeda motor pribadi menjadi simbol kemajuan sosial. Budaya ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi menyebabkan inklusi masyarakat dalam transportasi semakin besar. Ketergantungan masyarakat pada kendaraan sebagai akibat dari ketidaklayakan layanan angkutan umum yang ada. Ini artinya, semkain buruk layanan angkutan umum berimplikasi secara sosial pada berkembangnya budaya ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi. Penggunaan kendaraan pribadi bertujuan melancarkan mobilitas. Masyarakat
21
perkotaan saat ini membutuhkan sarana mobilitas yang cepat, dan biaya perjalanan yang murah/terjangkau. Kekurangsungguhan pemerintah dalam membangun transportasi umum menjadi masalah bagi warga kota. Mobilitas penting untuk keperluan mengakses pada fasilitas sosial, dan sebagai hal yang tak dapat dielakkan. Orang-orang akan selalu mencari cara untuk melancarkan mobilitasnya. Karena tanpa mobilitas yang memadai, orang-orang tak dapat menjalankan aktivitas sosialnya. Jadi mereka akan kehilangan kesempatan
untuk
berpartisipasi
dalam
masyarakat.
Dalam
realitas
ada
kecenderungan yang menunjukkan bahwa kelompok masyarakat kaya secara ekonomi memiliki kesempatan lebih besar untuk mengakses pada layanan transportasi dibanding kelompok masyarakat yang secara ekonomi tidak mampu (Onnavong dan Nitta, 2005) 3.6
Keselamatan Keselamatan di jalan raya merupakan tanggung jawab kita semua, mulai dari
pejalan kaki, pengendara mobil, pengendara motor, pengendara angkutan umum, pemilik angkutan umum, dan pemerintah. Jika keselamatan di jalan raya dapat ditingkatkan maka kecelakaan diharapkan juga akan menurun. Kecelakaan akan menyebabkan kerugian-kerugian. Kerugian yang berkaitan dengan terjadinya kecelakaan pada manusia seperti: kematian, luka berat, patah tulang, atau cidera lainnya seringkali menjadi pusat perhatian. Namun kerugian dapat juga menimpa apa saja selain manusia seperti: kekayaan/ aset, kerusakan peralatan, kehilangan waktu kerja, berkurangnya kualitas kerja, hilangnya atau berkurangnya minat kerja, berkurangnya public image, atau bahkan sampai pada suatu kebangkrutan suatu perusahaan. Sebagaimana kejadian suatu penyakit akibat kerja, kecelakaan merupakan hasil dari serangkaian kejadian. Kecelakaan tidak terjadi karena hanya satu sebab, tetapi adalah karena banyak faktor yang tersusun kedalam suatu rangkaian kejadian. Sebab-sebab suatu kecelakan dapat dibagi sebagai: Pertama, penyebab langsung
22
dimana ia sangat dekat hubungannya dengan kejadian accident; Kedua, penyebab tidak langsung; dan Ketiga, penyebab dasar. Berikut Teori kecelakaan dari Frank Bird dan Loftus (1969) yang merupakan turunan dari Teori Domino (Heinrich, 1931), sebagai berikut:
LACK OF MANAGEMENT CONTROL Kelemahan fungsi-fungsi manajemen, Leadership, pengawasan, standard kerja, standard performance, correction error.
INDIRECT / Basic Cause Personal knowledge, skill, motivation, physical or capability work problems, physical and mental stress Job Factor inadequate leadership/supervision, engineering, purchasing, maintenance, tools, equipment, materials, Work standard design, abnormal use
DIRECT / Immediate Cause UNSAFE ACTS ; UNSAFE CONDITION
ACCIDENT L OS S Sumber : Diadopsi dari “Practical Loss Control Leadership, dari Bird and Germain, 1990, hal 37 Gambar 3.3 Teori Bird & Loftus
Kunci kejadian masih tetap sama seperti yang dikatakan oleh Heinrich, yaitu adanya unsafe act dan unsafe condition. Unsafe condition dapat terjadi akibat kurang memadainya perencanaan maupun pemeliharaan infrastruktur, sehingga pengguna harus selalu waspada ketika menggunakan suatu fasilitas. Bird dan Loftus tidak lagi melihat kesalahan terjadi pada manusia/pekerja semata, tetapi menyorot peran manajemen dalam pengendalian untuk menghindari terjadinya kecelakaan.
23
4
4.1
METODE RISET
Pendekatan dan Tipe Penelitian Penelitian ini menganalisis proses rekayasa sosial sistem angkutan cepat masal
(BRT) Transjakarta untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat urban, sehingga hasilnya dapat memberi solusi alternatif pemecahan masalah kebutuhan transportasi masyarakat. Karenanya, pendekatan yang digunakan adalah kuantitatif dan juga kualitatif. Dengan menggunakan pendekatan ini, riset dapat menjelaskan penyebab fenomena social masyarakat dalam bertransportasi, dilakukan menggunakan pengukuran objektif dan analisis numerik. Penemuan fakta sosial tidak berasal dari persepsi subjektif dan terpisah dari konteks.
Dengan pendekatan kuantitatif maka untuk menjaring data digunakan metode survey. Dengan cara ini representasi sampel diupayakan mendekati gambaran yang ada dalam populasi (pengguna bus Transjakarta). Dengan survei ini analisis dapat memperoleh ‘magnitude’ tentang suatu isu/fenomena dan atau kelompok masyarakat pengguna bus Transjakarta. Data dijaring dari sejumlah sumber data atau sampel yang dianggap mampu merepresentasikan
populasi. Sampel peneltian ini menjadi
parameter kecenderungan di tingkat populasi.
Target
data
dari
survei
ini
adalah
masyarakat
pengguna
layanan
BuswayTransjakarta meliputi pengukuran kualitas layanan, aspek sosial, aspek keselamatan, serta aspek layanan transportasi. Dalam survei ini,
populasi dalam
penelitian adalah seluruh pengguna Transjakarta yang ada dalam koridor-koridor yang
24
sudah beroperasi, dari titik pemberangkatan dan sepanjang perjalanan Transjakarta, pada Agustus sampai Desember tahun 2009. 4.2
Teknik Penarikan Sampel Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah teknik penarikan non probabilita,
yaitu kuota. Alasannya, peneliti tidak memiliki kerangka sampel dan data pengguna Transjakarta yang sifatnya heterogen, menyebar di lima wilayah Jakarta: Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Teknik yang paling tepat digunakan adalah kuota. Dengan teknik penarikan sampel ini, peneliti memformulasi beberapa model penelitian sebelumnya, yakni Service Quality (Lenna Ellitan dalam Usmara 2003:229-236; Zeithaml, Parasuraman, Leonard, 1995; Wyckof dalam Lovelock, 1988; Gotleb dkk, 1994), sehingga diharapkan penelitian tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi kota-kota lain. Jumlah sampel riset ini adalah 450 responden. Sedangkan untuk survey sarana dan prasarana, dilakukan pada semua koridor busway yang sudah beroperasi di DKI Jakarta, dengan menetapkan beberapa fasilitas (halte dan jembatan penyeberangan) sebagai tempat pengamatan dan membedakan antara kondisi jam sibuk dan jam lengang sebagai waktu pengamatan. 4.3
Variabel-variabel Penelitian a. Aspek aksesibilitas yang diukur dari kemampuan masyarakat untuk menggunakan pelayanan dalam keseluruhan sistem bus Transjakarta: kemampuan menjangkau halte,
penggunaan feeder, kemampuan
membayar, lamanya waktu tempuh untuk mencapai tempat tujuan, kemampuan menjangkau pusat-pusat pelayanan umum, manfaat yang diperoleh, dan kendala-kendala teknis dan sosial yang dialami masyarakat
ketika
tidak
dapat
menggunakan
palayanan
bus
Transjakarta. b. Kualitas pelayanan (Zeithamal dkk: 25-26), yakni: Tangible (Nyata, Berwujud), Reliablility (Keandalan), Responsiveness (Cepat tanggap), Assurance (Jaminan) dan Emphaty (Empati). Pengukuran kualitas
25
pelayanan dilakukan terhadap dua dimensi yang saling terkait dalam proses pelayanan yakni penilaian kepuasan pada dimensi pengguna layanan/pelanggan (service users) dan penilaian yang dilakukan pada penyedia pelayanan (service providers). c. Keselamatan, yaitu variabel penyebab kecelakaan yang mengacu pada teori Bird and Loftus, selain difokuskan pada variabel penyebab dasar kecelakaan (termasuk pekerja BLU Transjakarta serta jajaran manajemen), survei deskriptif terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat pengguna Transjakarta juga dilakukan. Untuk aspek keselamatan, variabel yang diteliti terdiri dari sembilan variabel, yaitu: pengetahuan pramudi Transjakarta dan pengguna jalan lain, sikap pramudi Transjakarta dan pengguna lain (unsafe act), kondisi jalur, kondisi bus (unsafe condition) dan pengawaan manajemen, SOP perusahaan, pelatihan, shift kerja, safety promotion (lack of Management). d. Kapasitas layanan transportasi publik yang terkait dengan kualitas sarana dan prasarana, termasuk kondisi halte dan jembatan penyeberangan, aksesibilitas, waktu tempuh perjalanan bus dan frekuensi kedatangan bus Transjakarta yang dinyatakan dalam headway, serta faktor keselamatan. 4.4
Metode Pengumpulan Data Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kuesioner dan
checklist. Kuesioner disusun sedemikian rupa, terstruktur (tertutup) dan juga menyediakan jawaban terbuka. Pengambilan data dilakukan di halte-halte bus Transjakarta, dan perkantoran. Selain itu, riset ini juga menggunakan teknik wawancara mandalam dan observasi langsung. Wawancara memdalam dilakukan pada pengelola layanan/BLU Transjakarta dan operator serta pramudi. Sedangkan observasi langsung dilakukan pada halte-halte bus Transjakarta tempat calon penumpang/pengguna bus Transjakarta mengantri dan menggunakan semmua fasilitas yang diperuntukannya. Tujuan observasi langsung adalah memperoleh gambaran
26
empiris dan akurat tentang bagaimana para pengguna bus Transjakarta menggunakan fasilitas, dan bagaimana mereka dapat mengakses pada halte dan bus Transjakarta. Survei terhadap ketersediaan dan kondisi infrastruktur untuk layanan dan aksesibiltas penumpang pada bus Transjakarta juga dilakukan untuk melengkapi data analisis riset ini. Untuk wawancara mendalam, subjek penelitian didasarkan pada pertimbangan atau kriteria tertentu dari peneliti. Adapun kriteria yang ditentukan oleh peneliti adalah pihak-pihak yang tahu dan mengerti
betul mengenai keselamatan dalam
bertransportasi. Berdasarkan kriteria tersebut, maka informan penelitian ini adalah pramudi Busway-TransJakarta sebanyak 15 informan. Manajemen BuswayTransjakarta, informan penelitian ini berjumlah 3 orang yaitu 1 orang dari pihak operator busway, 2 orang dari pihak Badan Layanan Umum Transjakarta (BLU). Infrastruktur atau prasarana busway sangat terkait dengan aspek aksesibilitas masyarakat ketika akan menggunakan bus Transjakarta, dan variabel kualitas pelayanan yang Tangible (berwujud/nyata). Oleh karena itu survei terhadap infrastruktur dilakukan dengan pengukuran dan pencatatan terhadap prasarana yang digunakan untuk layanan busway, seperti kondisi halte, kondisi Jembatan Penyeberangan Orang (JPO), dan sky walk (JPO yang menghubungkan halte berbeda koridor). Survai tidak dilakukan pada keseluruhan prasarana, tetapi pada beberapa halte sampel (kuota) pada koridor-koridor busway yang sudah beroperasi. Adapun halte yang terpilih untuk diamati sebagai berikut: •
Halte Dukuh Atas 1,
•
Halte Sarinah,
•
Helte Senen,
•
Halte Juanda,
•
Halte Jelambar,
•
Harmoni Central,
•
Halte UNJ (Universitas Negeri Jakarta),
•
Halte Dukuh Atas 2,
27
•
Halte Matraman 1,
•
Senen Central,
•
Halte Kuningan Timur,
•
Halte Halimun (saat laporan ini disusun, halte ini sudah tidak ada),
•
Halte R.S Harapan Bunda,
•
Halte Cililitan (Pusat Grosir Cililitan),
•
Halte Kedoya Green Garden dan
•
Halte Permata Hijau,
Ketersediaan kapasitas dan kondisi prasarana ini kemudian dapat dikaitkan dengan kualitas perjalanan Transjakarta yang dinyatakan dengan: (1) Waktu perjalanan, termasuk running time, boarding/alighting time dan delay time; (2) Headway, yaitu jarak waktu antar kedatangan bus yang terkait dengan frekuensi. Waktu perjalanan yang dapat diprediksi dengan menggunakan bus Transjakarta memudahkan pengguna/masyarakat untuk memprediksi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tempat tujuan. Harga tiket sebesar Rp 3.500 untuk mencapai tempat tujuan dan berlaku untuk semua koridor, dapat menjadi ukuran dalam penghematan biaya transportasi sehari-hari. Bus Transjakarta juga memberikan pelayanan yang jauh lebih aman dan nyaman daripada angkutan umum yang lain. Survey waktu perjalanan dilaksanakan dengan survei onboard, yaitu dengan menghitung waktu berjalan, waktu hambatan dan waktu untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Survey waktu perjalanan dilakukan di koridor 1 sampai dengan koridor 8 ditambah dengan rute tambahan seperti Pulo Gadung – Ragunan, Pulo Gadung – Kalideres, Cililitan PGC – Senen Sentral, Cililitan PGC – Ancol. Pelaksanaan survei travel time dilakukan pada hari kerja dan dua shift yakni shift pagi pada pukul 06.0010.00 dan shift sore pada pukul 16.00-20.00.
28
Kapasitas layanan Transjakarta ditentukan juga oleh headway atau jarak waktu antar keberangkatan, dimana menurut data, penumpang Transjakarta baru mencapai 230.000 penumpang per hari (Darmaningtyas,2009). Pengukuran headway dilakukan di 8 koridor busway, diamati dari beberapa halte yang ditentukan, dengan dua shift yakni pada shift pagi pukul 06.00-10.00 (waktu sibuk) dan shift siang pukul 10.0014.00 (waktu lengang). Waktu tempuh dan waktu kedatangan bus yang dapat diprediksi, biaya yang terjangkau, keamanan dan keselamatan yang lebih terjamin merupakan kebutuhan masyarakat urban saat ini. Singkatnya, masyarakat pengguna bus Transjakarta dapat memperoleh berbagai manfaat sosial ekonomi, sehingga hal ini dapat memberi dampak positif pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. 4.5
Analisis Data Analisis
dilakukan
secara
deskriptif
untuk
mengetahui
aspek-aspek
keselamatan dalam transportasi Transjakarta. Pemilihan desain ini didasarkan atas beberapa
pertimbangan,
diantaranya
penelitian
kualitatif
digunakan
untuk
mendeskripsikan latar dan interaksi yang kompleks dari informan dan juga memberikan informasi yang lebih mendalam sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih besar dibandingkan dengan teknik kuantitatif. Desain ini cocok untuk menggali informasi-informasi yang menjadi faktor penyebab kejadian. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan oleh peneliti dilakukan dengan dua metode yaitu observasi dan wawancara mendalam. Metode observasi penelitian dilakukan dengan meninjau secara langsung ke lapangan, lokasi observasi di jalur busway, sehingga didapatkan data yang sesuai kondisi sebenarnya di lapangan. Sedangkan metode wawancara dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam kepada informan yang mengerti dan tahu mengenai aspek keselamatan di dalam transportasi. Pengolahan data dilakukan dengan teknik analisis kualitatif. Teknik ini mentranskrip data yang didapat dari hasil wawancara terstruktur. Hasil penelitian ini
29
diperoleh dengan langkah sorting data (mengolah informasi yang diperoleh sehingga sistematis berdasarkan variabel yang diteliti), dan mengklasifikasikan informasi yang disusun sebelumnya agar dapat dibandingkan responden). Sedangkan untuk menganalisa data dipakai car content analysis (teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha untuk menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara objektif dan sistematis). Pengolahan data terkait kondisi layanan prasarana dan sarana dilakukan dengan pencatatan, statistik kuantitatif dan klasifikasi silang. Data prasarana dan sarana juga digunakan untuk pendukung analisis kualitas pelayanan, aksesibilitas dan keselamatan.
30
5
5.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengantar Pembangunan transportasi cepat dan massal di Jakarta dirancang untuk
memfasilitasi kebutuhan moda transportasi masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang kesehariannya bergantung pada transportasi umum. Karena itu, kehadiran angkutan cepat massal Transjakarta dapat membantu melancarkan mobilitas seluruh masyarakat, baik yang menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Strategi pemerintah untuk melayani kebutuhan angkutan masyarakat dengan membangun angkutan umum cepat massal (Bus Rapid Transit/BRT). Angkutan umum ini merupakan pilihan tepat untuk memecahkan persoalan transportasi, seperti kemacetan arus lalu-lintas, kesemrawutan pengguna jalan di perkotaan. BRT diwujudkan dalam bus Transjakarta. Transjakarta, dengan demikian dapat dipahami sebagai sebuah upaya dan proses untuk mengatasi persoalan sosial transportasi yang pada akhirnya dapat meningkatkan/memperbaiki kualitas hidup masyarakat perkotaan. Beberapa indikator digunakan untuk mengukur aksesibilitas masyarakat dan eksklusi sosial dari kebijakan angkutan umum cepat massal Transjakarta, dalam kerangka mencapai peningkatan kualitas hidup masyarakat. 5.2
Kebutuhan Masyarakat pada Angkutan Cepat Massal/Transjakarta Gambaran umum yang ada di masyarakat menunjukkan bahwa ada sebagian
besar masyarakat tidak mau menghabiskan banyak waktunya untuk mencapai suatu tempat tujuan dengan kendaraan umum, dan sebaliknya ada yang sangat tergantung pada kendaraan umum. Dalam level sadar, bagi masyarakat yang menggunakan
31
angkutan umum tetap memiliki kekhawatiran atas berbagai risiko besar yang muncul, seperti kecopetan, penodongan, kepanasan, sesak nafas, dan ketidaknyamanan secara mental dan psikologis. Kelompok masyarakat ini merupakan sebagian besar dari warga kota yang sangat membutuhkan transportasi yang nyaman, aman dan terjangkau. Hampir tidak ada pilihan untuk mennggunakan angkutan yang lainnya. Kebutuhan untuk terus menjalani kehidupan praktis sehari-hari di kota dengan angkutan umum untuk keperluan bekerja, mengunjungi pusat-pusat pelayanan social, dan keperluan social lainnya tidak diragukan lagi menjadi suatu alasan bagi masyarakat tenatang arti pentingnya sarana angkutan untuk memperlancar mobilitas. Betapapun buruknya kondisi angkutan umum itu, masyarakat umumnya bereaksi menyesuaikan diri terhadap risiko yang muncul, karena masyarakat tidak semuanya memiliki pilihan dan kemampuan untuk mengakses pada moda transportasi yang memberikan kenyamanan dan keamanan sosial. Ini merupakan persoalan besar dari transportasi yang ada di kota Jakarta dan kota besar lain di Indonesia. Masyarakat yang menggunakan angkutan umum bus, mikrolet dan angkutan umum lainnya bersedia menerima risiko social budaya yang sama, bahkan sampai berulang-ulang. Tetapi karena terbatasnya kemampuan mengakses pada angkutan lain yang memberikan kenyamanan, sehingga masyarakat itu tidak mampu memikirkan risiko yang muncul. Karena angkutan umum merupakan angkutan keseharianya. Ketika masyarakat itu berpikir risiko social budaya akibat penggunaan angkutan umum, maka kemungkinan mereka tidak dapat melakukan mobilitasnya. Dalam konteks ini diperlukan kemampuan adpatif yang baik. Pengalaman
dari
pengguna
angkutan
umum
terkait
dengan
nilai
ketidaknyamanan itu beragam, diantaranya pengalaman kecopetan, pelecehan seksual bagi perempuan, penjambretan, penodongan. Kendati mereka telah mengalami hal-hal itu pada saat menggunakan angkutan umum, tidak mungkin mereka dengan mudah beralih untuk menggunakan angkutan pribadi. Kemunginan untuk mengganti moda angkutan sering terpikir oleh mereka, tetapi tidak cukup kemampuan ekonomi untuk merealisasinya. Sehingga pengalaman kecopetan, penjambretan, dan lainnya terkait
32
dengan ketidaknyamanan bisa jadi terjadi berulang-ulang, dan mereka juga ketakutan untuk memikirkan risiko itu secara terus menerus. Pengalaman
dari
pengguna
angkutan
umum
terkait
dengan
nilai
ketidaknyamanan itu beragam, diantaranya pengalaman kecopetan, pelecehan seksual bagi perempuan, penjambretan, penodongan. Kendati mereka telah mengalami hal-hal itu pada saat menggunakan angkutan umum, tidak mungkin mereka dengan mudah beralih untuk menggunakan angkutan pribadi. Kemunginan untuk mengganti moda angkutan sering terpikir oleh mereka, tetapi tidak cukup kemampuan ekonomi untuk merealisasinya. Sehingga pengalaman kecopetan, penjambretan, dan lainnya terkait dengan ketidaknyamanan bisa jadi terjadi berulang-ulang, dan mereka juga ketakutan untuk memikirkan risiko itu secara terus menerus. Bagi kalangan masyarakat menengah atas yang sehari-harinya menggunakan mobil, justru merasa kegelisahan, ketidaknyamanan saat beralih menggunakan angkutan umum, atau motor. Pengalaman yang diprovokasi oleh kondisi nyata angkutan umum yang tidak nyaman, kotor, bau, panas, pengab, mogok dan kecelakaan motor yang berakibat pada cacat seumur hidup atau kematian penggunanya dianggap sebagai bahaya yang berkonsekuensi tinggi. Sehingga mereka tetap secara pragmatis sulit untuk berpindah ke angkutan umum. Bahkan mereka memiliki sinisme pada angkutan umum. Metropolitan Jakarta seperti halnya metropolitan lain di dunia, dan di Asia khususnya. Kota Seoul, Beijing, dan Bangkok merupakan kota besar dunia yang menghadapi persoalan transportasi. Persoalan transportasi di perkotaan Indonesia tercermin dari, tingkat kepadatan jalan yang tinggi, angkutan pribadi yang lebih menjadi preferensi masyarakat, kondisi layanan angkutan umum yang buruk dan pengembangan angkutan umum massal yang belum memadai, dan kebijakan transportasi yang belum berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Kebutuhan masyarakat di perkotaan terhadap angkutan yang nyaman dan aman merupakan hal yang tidak dapat diabaikan oleh pemerintah. Karena kondisi
33
empiris Jakarta sangat membutuhkan adanya transportasi cepat massal. Kebutuhan itu terkait dengan dinamika sosio ekonomi dan budaya Jakarta yang telah terintegrasi dengan kota-kota global dunia, dan nasional. Dalam konteks demikian ini, negara berperan untuk menyediakan layanan angkutan umum bagi semua warganya. Peran ini terwujud dalam kebijakan Pemerintah DKI untuk membangun transportasi umum massal yang tertuang dalam Pola Transportasi Makro. Mempertemukan kebutuhan masyarakat dengan lebih efektif melalui perbaikan pelaanan bus dan bentuk-bentuk transportasi yang ada, membangun rasa aman atau mengembangkan kenyamanan supaya akses terhadap pekerjaan dan pelayanan social lain menjadi lebih baik, khususnya hal-hal yang sangat penting yang dibutuhkan
masyarakat.
Pemerintah
mempunyai
tujuan
dalam
membangun
Transjakarta ini: a. Mengurangi perjalanan dengan mobil pribadi b. Meningkatkan aksesibilitas layanan transpor c. Memperbaiki kehandalan layanan angkutan umum d. Membangun budaya baru bertransportasi Pembangunan aksesibilitas transportasi bagi semua sangat dibutuhkan untuk mengatasi praktik bertrasportasi yang carut marut. Praktik bertransportasi masyarakat yang beragam itu antara lain, terlihat dari penggunaan ruang jalan yang berorientasi pada nilai-nilai/kepentingannya sendiri. Hal ini menjadi salah satu
pemicu
ketidakteraturan di ruang jalan. Persoalan ketidakteraturan masyarakat dalam menggunakan dan memaknai ruang jalan telah turut mempertajam kesenjangan dalam sistem transportasi yang menyangkut sistem aktivitas, sistem infrastruktur, sistem pergerakan seseorang dari suatu tempat ke tempat yang lain. Realitas perebutan ruang jalan antarpengguna angkutan dengan berbagai latarbelakang sosial budaya menyebabkan terjadinya praktik berlalu-lintas dan bertransportasi yang beragam. Keberagaman perilaku masyarakat bertransportasi merefleksikan nilai-nilai budayanya. Jalan untuk lalu-lintas kendaraan menjadi arena perebutan antarmoda, baik angkutan umum maupun pribadi. Hal ini merupakan suatu
34
indikasi bahwa pemerintah belum mampu mengakomodasi, dan mengartikulasi setiap kepentingan transportasi masyarakat. Kesenjangan dalam hal pergerakan seseorang ini membentuk polarisasi atau kastaisasi dalam transportasi, khususnya moda angkutan. Masyarakat kelas menengah ke bawah tidak dapat menempuh perjalanan dengan cepat, nyaman dan aman. Sedangkan masyarakat kelompok menengah atas dapat melakukan praktik mobilitas dengan nyaman, aman dan cepat. Hal ini terjadi karena perbedaan moda angkutan yang digunakan. Transjakarta
sebagai
bentuk
kreativitas
sosial,
karena
untuk
mengembangkan sistem angkutan umum yang berbasis teknologi BRT, pemerintah tidak hanya bertolak dari nilai-nilai keadilan, dan efisiensi, tetapi juga pemerataan akses angkutan untuk semua. Mewujudkan pemerataan dan keadilan sosial menuntut prioritas utama harus diarahkan pada transportasi umum, pejalan kaki, dan kendaraan tidak bermotor yang dapat digunakan oleh setiap orang, termasuk para penyandang cacat. Implikasinya, pilihan pemerintah untuk menerapkan BRT berupa bus Transjakarta sebagai bentuk kreativitas sosial (meminjam istilah Evers dan Korff), karena Transjakarta dibangun berdasar nilai-nilai kenyamanan, keselamatan sosial serta keterjanngkauan. Jadi, kreativitas sosial merupakan proses refleksi dan konseptualisasi dari kondisi-kondisi tempat berlangsungnya kegiatan transportasi. Karenanya, kehadiran Transjakarta diorientasikan peda pengurangan kesenjangan vertikal dalam hak akses ke angkutan umum. Transjakarta juga diharapkan dapat memperkecil perbedaan atau diferensiasi antar kelompok sosial yang memiliki nilainilai tertentu dalam bertransportasi. Meningkatnya otomobilitas pada saat ini juga disebabkan oleh kesenjangan yang bersifat vertikal semakin besar, dari moda transpor publik menjadi moda trasnport yang bersifat inidividual. Masyarakat lebih memilih motor atau mobil untuk mempercepat mobilitas geografisnya. Kebutuhan mobilitas yang cepat menandai adanya inklusi masyarakat dalam transportasi. Inklusi masyarakat ini terukur dari cara masyarakat menentukan, memilih sampai menggunakan moda transportasinya, dan
35
pemerintah tidak mencampurinya. Karena hal itu merupakan keputusannya yang bersifat individual bukan kolektif. Menghentikan laju inklusi bukan hal mudah, karena inklusi hanya dapat dikurangi apabila pemerintah memiliki kemauan kuat dan sungguh-sungguh dalam membangun angkutan umum massal. Jika tidak, maka inklusi semakin besar, dan yang patut disikapi oleh pemerintah dari fenomena kuatnya inklusi di tingkat individu dan masyarakat adalah risiko dari inklusi itu, berupa kepadatan lalu-lintas/kemacetan sekaligus ketidakteraturan pengguna jalan. Angkutan pribadi yang semakin banyak. Kegiatan ini berlangsung terus hingga saat ini, artinya partisipasi masyarakat untuk menentukan moda transpornya sendiri masih besar. Inklusi masyarakat belum bergerak menuju penggunaan transportasi publik, apalagi untuk merubah moda dengan cycling atau walking. Segmen-segmen atau strata tertentu yang menggunakan angkutan tertentu--angkutan sudah menjadi ideologi, dan hadir falam kehidupan masyarakat. Pembangunan transit publik yang bersifat massal yang seharusnya menjadi strategi inklusi ternyata berproses lama, tidak langsung mengenai sasaran, tetapi bukan berarti gagal. Tetapi memang tidak bisa menghentikan pertambahan inividu yang menggunakan mobil/sepeda motor dalam waktu dekat. Nilai-nilai keamanan, kenyamanan,
dan ketertiban didalam menggunakan
angkutan umum sehari-hari. Selain perubahan tersebut, ada realitas sosial lain yang tidak direncanakan, yaitu meningkatnya kemacetan lalu-lintas, pelayanan angkutan yang disediakan oleh operator buruk sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dan bahkan tiadanya jaminan keselamatan bagi masyarakat dalam menggunakan angkutan umum. Fenomena itu muncul akibat dari tereksklusinya masyarakat secara sosial dalam mengakses pada transportasi umum, selain belum adanya perhatian dari operator untuk meningkatkan kualitas layanan bagi masyarakat. Sehingga aspek keselamatan, kenyamanan selalu kurang diperhatikan didalam perumusan kebijakan transportasi umum.
36
5.2.1
Melepaskan Ketergantungan Masyarakat pada Kendaraan Pribadi Transjakarta dari awal dirancang sebagai angkutan cepat massal untuk
menggantikan fungsi kendaraan pribadi. Dalam perjalanannya sampai sekarang, Transjakarta belum dapat menjadi moda pengganti angkutan pribadi sepenuhnya. Kehadiran Transjakarta masih menghadapi kultural yang tidak mudah untuk diatasi hingga saat ini. Persoalan kultural itu terkait dengan meningkatnya mobilitas warga kota, dan keterbatasan sarana untuk melakukan mobilitas dengan angkutan umum. Hal ini menyebabkan masyarakat lebih memilih menggunakan angkutan pribadi daripada angkutan umum. Tanpa disadari,
penggunaan angkutan pribadi oleh masyarakat
berimplikasi pada munculnya budaya ketergantungan pada kendaraan pribadi tersebut. Besarnya ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi bukan persoalan yang berdiri sendiri. Pilihan rasional untuk menggunakan kendaraan pribadi atau kendaraan umum terkait dengan sifat yang melekat pada kendaraab tersebut. Kendaraan pribadi menawarkan kenyamanan, dan hal ini berbeda dengan karakteristik yang melekat pada kendaraan umum. Kendaraan umum melekat dengan ciri-ciri layanan yang murah, tetapi tidak memberikan kenyamanan, kondisi angkutan yang kotor, pengap, panas, bau serta tidak aman. Tabel 5.1 Data Volume Lalu-lintas di beberapa ruas jalan di DKI Jakarta
Sumber: Updating Data for SITRAMP, 2009 – (belum dipublikasikan)
37
Survey Dinas Perhubungan
DKI Jakarta menunjukkan, kemampuan
menambah ruas jalan semakin sulit dibanding dengan pendambahan kendaraan. Panjang jalan di Jakarta 7.651 km, dimana penambahan jalan kurang dari 1%, sedangkan penambahan kendaraan rata-rata 10-11% per tahun. Data 2008 memperlihatkan jumlah kendaraan pribadi telah mencapai 5.446.644 unit. Jumlah kendaraan ini belum termasuk kendaraan pribadi yang digunakan oleh komuter yang menjelajahi jalanan Jakarta. Masyarakat yang tidak memiliki akses pada penggunaan kendaraan pribadi (mobil) menjatuhkan pilihannya pada angkutan umum. Hal ini sebenarnya tidak tepat dikatakan sebagai sebuah pilihan masyarakat. Masyarakat tidak dapat memilih angkutan umum yang sesuai dengan preferensinya. Pemerintah DKI Jakarta telah menyediakan angkutan umum yang baik untuk masyarakat berupa bus Transjakarta. Tetapi dalam operasionalnya bus Transjakarta juga belum menjamin kenyamanan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat. Karena itu, dengan kurang terjaminnya nilai-nilai kenyamanan dalam bus Transjakarta dapat menimbulkan dampak negatif, yaitu masyarakat pengguna mobil yang telah menggunakan bus Transjakarta bisa beralih kembali untuk tidak menggunakan bus Transjakarta. Kenyamanan sosial dalam bus Transjakarta harus diperhatikan oleh pemerintah. Jika tidak, masyarakat tidak hanya memberi citra buruk pada bus transjakarta, tetapi masyarakat menjadi tidak berminat untuk menggunakan bus Transjakarta sebagai alat moblitasnya. Perubahan-perubahan di masyarakat dalam penggunaan/pemilihan moda angkutan merupakan proses sosial--proses afiliasi budaya. Seseorang yang melakukan perjalanan untuk berpindah tempat menggunakan kendaraan pribadi/mobil pribadi akan menemui perbedaan budaya dalam bingkai pluralitas pengguna jalan. Pluralitas budaya yang ada di jalan atau pada saat angkutan itu beroperasi di jalan, ada kecenderungan setiap orang mengkonstruksi ruang jalan secara kultural. Ada pengguna jalan yang berjalan tidak sesuai dengan kecepatan minimal melaju di jalan. Ada pengguna yang seringkali membunyikan klakson ketika ada deretan panjang
38
kemacetan. Pemandangan ini ada sepanjang hari di Jakarta. Pemandangan jalan raya seperti itu tidak hanya menghadirkan realitas kesemrawutan pengendara, tetapi juga ketidakteraturan sosial dalam betransportasi. Karena itu, kehadiran bus Transjakarta harus dapat merubah citra angkutan umum kota yang buruk, tidak nyaman, tidak aman.
5.2.2
Membangun Budaya Ketergantungan Masyarakat pada Transjakarta Perkembangan sosial budaya di masyarakat dicerminkan, dan juga diatur oleh
simbol-simbol urban, dan melalui aspek fisiknya, menambah kemapanan masyarakat kota yang terus menerus mengalami perubahan. Dunia simbolik di perkotaan terus berubah dengan cepat dari waktu ke waktu, baik menyangkut jumlah, variasi symbol, serta makna yang melekat pada symbol tersebut. Bisa dikatakan bahwa simbol-simbol urban tidak hanya berwujud gedung-gedung pencakar langit, yang semakin hari artinya semakin penting dalam pembangunan kota dan masyarakat. tetapi juga kehadiran moda transportasi yang modern, canggih, mempunyai daya angkut massal dan nyaman semakin menambah kemapanan suatu kota. Setiap angkutan atau moda transportasi yang digunakan manusia memiliki makna. Karena itu ia merupakan symbol. Di satu sisi, ada beberapa angkutan yang maknanya lebih penting dari moda transportasi lainnya. Di sisi lain, makna-makna simbolis yang terkandung pada tanda-tanda tertentu kehadirannya tidak dapat dielakkan dan bahkan diabaikan. Ada beberapa ranah yang dapat diidentifikasi dari Transjakarta: modern, massal, cepat, harga terjangkau. Ranah-ranah ini yang memberi makna pada moda transportasi umum di Jakarta dan menjadikannya sebagai symbol transportasi modern kota atau symbol urban Jakarta. Jakarta adalah kota yang penuh dengan symbol, terutama dari moda angkutan yang ada. Makna dari setiap moda angkutan sering tidak diingat atau salah ditafsirkan, seperti halnya bajaj, bus kota PPD, metromini, bemo roda tiga, bahkan sampai taksi, KRL, sepeda motor hingga mobil-mobil mewah. Moda-moda transportasi ini merupakan moda transportasi public dan privat (pribadi) yang selalu dikaitkan dengan aspek kegunaannya. Karena memiliki nilai guna bagi public dan
39
pribadi memungkinkan moda-moda tersebut berinteraksi satu sama lain di jalan, sehingga pada akhirnya memiliki nilai simbolis. Kota Jakarta lekat dengan ciri sebagai kota metropolitan di dunia yang memiliki persoalan seperti kota-kota besar lainnya dalam transportasinya, berupa kemacetan dan kesemrawutan. Kota Jakarta memiliki nilai simbolis kemacetan dan kekacauan lalu-lintas dan hal itu selalu diingat oleh setiap orang yang datang, dan menetap. Simbol kota metropolitan bukan lagi moda transportasi yang tidak nyaman, tidak manusiawi dan tidak layak. Jakarta memiliki moda transportasi baru yang modern yang dikenal dengan sebutan Transjakarta busway. Kehadiran Transjakarta membuat symbol-simbol transportasi modern relevan ada di kota Jakarta. Simbol ini dikatakan relevan karena kahadiran Transjakarta membantu mengkonstruksi citra social dari transportasi umum massal. Moda-moda transportasi umum lain yang telah lebh dulu sebelum Transjakarta adalah khas Jakarta. Kehadiran angkutan umum reguler, seperti bus PPD, Metromini, Kopaja, dan bemo roda tiga yang masih beroperasi di Jakarta Selatan melewati Jakarta Pusat, dengan rute Manggarai-Salemba merupakan symbol dan tanda transportasi konvensional yang memberikan pelayanan yang tidak nyaman, tidak cepat dan tidak aman. Kehadiran angkutan konvensional dan Transjakarta ini penunjuk identitas, sekaligus basis untuk mengkonstruksi citra angkutan kota modern, selain mobil-mobil mewah yang berseliweran di seluruh ruang jalan utama dan arteri kota hingga jalan kampung-kampung Jakarta, melewati jalan sempit maupun yang searah. Meski tidak ada feeder, masyarakat berusaha untuk memenuhi feedernya sendiri dengan berbagai moda angkutan yang ada, baik melalui ojek, menggunakan mobil atau motor yang dititipkan pada tempat penitipan maupun diantar oleh pihak keluarga. Gambaran hasil survey dapat dilihat sebagai berikut:
40
Gambar 5.1 Moda Kendaraan yang Digunakan Sebelum Naik Transjakarta di Koridor 1-8
41
Gambar 5.2 Moda Kendaraan yang Digunakan Setelah Turun dari Transjakarta di Koridor 1- 8
42
Legenda :
Gambaran hasil survey menunjukkan bahwa lebih dari 50% pengguna busway menggunakan angkutan umum bertrayek sebelum naik busway, bahkan di koridor 7 dan 8, prosentase ini mencapai 70%. Hanya di koridor 2, prosentase tsb kecil, yaitu 39%. Setelah turun dari busway, penggunaan angkutan umum sebagai transportasi lanjutan hanya 17% di koridor 4 dan prosentase terbesar 41% di koridor 2. Prosentase terbanyak justru berjalan kaki setelah turun dari bus Transjakarta, yaitu mencapai 56% di koridor 8, artinya mereka sudah dekat dengan lokasi tujuan. Walaupun secara sistem transportasi, belum ada angkutan feeder, tetapi angka-angka ini menunjukkan bahwa masayarakat pengguna busway sudah memperoleh cara untuk mengatasi kekurangan dalam sistem angkutan umum BRT ini. Fenomena ini dapat dipahami sebagai upaya masyarakat untuk membangun citra tentang moda yang digunakannya. Dan sebagai indikasi yang melepaskan makna simbolis dari kendaraan pribadi yang pernah digunakan untuk mobilitas sehariharinya. Tentang hal ini, tidak dapat diinterpretasi sebagai keterpaksaan dalam menggunakan busway. Karena mereka menyadari bahwa kemacetan adalah bukan kemacetan an sich. Tetapi suatu peristiwa yang muncul karena kuatnya kesadaran masyarakat tentang nilai-nilai kenyamanan dari kendaraan pribadi yang tidak dapat diganti oleh kendaraan umum. Data menunjukkan sebagian pengguna membutuhkan angkutan kota yang nyaman untuk memberikan kenyamanan dalam perjalanan dan mencapai tempat tujuan yang diinginkan. Inspirasi masyarakat untuk menggunakan Transjakarta sebagai moda angkutan sehari-hari merupakan tindakan bermakna. Tindakan seseorang menggunakan busway mengarahkan pada makna dalam arti tindakan itu terkait dengan reaksi orang lain atau
43
perilaku orang lain. Apabila masyarakat bersedia tertib antri untuk membeli tiket maupun masuk kedalam bus, maka orang yang lain juga akan melakukan tindakan serupa. Antri mempunyai makna atau nilai ketertiban, disiplin, keteraturan.
Struktur sosial dan budaya suatu masyarakat tercermin dari bentuk kotanya, tetapi
juga
dilihat
dari
kondisi
transportasinya.
Kondisi
transportasi
merepresentasikan peradaban suatu bangsa. Dalam konteks empirik, ini berarti citra transportasi kota menentukan struktur simbolis yang akan diingat, diperhatikan dan dipandang penting oleh masyarakat, baik oleh kelompok social ekonomi menengah atas maupun menengah bawah. Dari kecenderungan ini, pada akhirnya, symbolsimbol yang melekat pada moda transportasi menstabilkan bahkan menentukan pola mental urban. Bagi orang-orang yang telah menginternalisasi citra social angkutan umum yang nyaman dan cepat yang akan menggunakan angkutan Transjakarta. Orang-orang tersebut mampu menyelaraskan wawasannya dengan kebutuhan transportasi pada suatu kota yang mengalami kemacetan lalu-lintas yang parah. Bagi orang-orang yang tidak mampu menyelaraskan citra sosial Transjakarta akan terus mengalami kemacetan lalu-lintas. Hal ini berarti kemacetan secara spasial dan juga social.
Simbol-simbol modernitas yang melekat pada moda transportasi kini tidak hanya ada pada angkutan pribadi seperti mobil, tetapi juga pada angkutan umum. Transjakarta merupakan sarana angkutan umum yang nyata yang dapat memindahkan seseorang dari suatu tempat ke tempat lain dengan cepat. Transjakarta sebagai suatu moda transportasi yang berguna bagi kehidupan masyarakat banyak. Bentuk-bentuk kenyamanan yang ditawarkan, dengan tarif sebesar Rp 3.500,- dan koridor yang menghubungkan tempat-tempat strategis di Jakarta menjadi modal strategis yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Dengan bus Transjakarta, masyarakat tidak hanya dapat menghemat biaya untuk keperluan transportasi sehari-hari, tetapi juga waktu tempuh untuk mencapai tempat tujuan. Model aplikasi teknologi BRT Bogota di Jakarta dipercaya membuat
44
kemajuan dan perbaikan (reformasi) budaya transportasi masyarakat karena mengikuti kecenderungan (trend) perkembangan dunia. Hal ini tercermin dari data yang menunjukkan besarnya harapan masyarakat terhadap peningkatan layanan Transjakarta. Meskipun hal ini masih belum sepenuhnya ditanggapi oleh pemerintah umumnya dan BLU Transjakarta khususnya. Bagi masyarakat bukan pengguna Transjakarta, kehadiran angkutan cepat ini tidak dimaknasi positip sepenuhnya. Karena kelompok masyarakat ini masih memandang kehadiran bus Transjakarta menimbulkan kemacetan. Alasan yang mengedepan adalah bus Transjakarta beroperasi dengan mengambil jalur yang sudah ada.
Terlepas dari pemahaman masyarakat atas aspek positif dan negatif atas keberadaan bus Transjakarta, data dan pengamatan langsung menunjukkan sebagian besar masyarakat sangat bergantung pada bus Transjakarta. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Transjakarta sebagai bentuk kreativitas sosial pemerintah untuk melayani kebutuhan masyarakat luas. Tanpa itu, tidak dapat dibayangkan, kepadatan kendaraan yang mengisi setiap ruang jalan Jakarta. Sebagai bentuk kreativitas sosial, Transjakarta memenuhi tiga aspek: pertama, Transjakarta muncul dari gagasan dan kebutuhan masyarakat untuk memecahkan masalah transportasi Jakarta yang menampakkan keberpihakan kebijakan pemerintah pada pengembangan transportasi yang bersifat individual, tidak kolektif. Kedua, Transjakarta
merupakan upaya dalam kerangka menciptakan budaya baru
bertransportasi, dan strategi-strategi untuk mengatasi ketidakteraturan yang telah menjadi budaya bertransportasi masyarakat. Sebagai kreativitas sosial, maka Transjakarta dapat menghasilkan orang-orang yang bereaksi, beradaptasi dengan perubahan pola transportasi di kota dan menciptakan sesuatu yang baru dengan reaksi dan adaptasinya. Sehingga, kehadiran bus Transjakarta dapat dipahami dengan baik, bukan sebagai kebijakan yang menyimpang dari kebutuhan masyarakat luas. Tetapi sebaliknya, dapat membangun budaya baru bertransportasi. Bus Transjakarta menetapkan nilai-nilai sosial atau kaidah tertentu yang mengikat semua penggunanya tanpa kecuali.
45
Nilai-nilai sosial atau kaidah-kaidah sosial yang ada dalam sistem Transjakarta dapat menjadi arahan masyarakat dalam bertransportasi. Nilai-nilai itu merupakan pedoman yang menghantarkan masyarakat pada perilaku tertib, teratur dan nilai-nilai sosial lainnya yang tidak ada dalam angkutan reguler. Nilai-nilai itu harus dijalankan, dipraktikkan, dan bila nilai-nilai itu dipratikkan secara terus menerus maka nilai itu dapat menjadi suatu ideologi transportasi baru bagi masyarakat. Masyarakat akan memiliki pemahaman yang baik dan benar tentang tata cara menggunakan angkutan umum atau tata cara bertransportasi yang manusiawi. Mematuhi semua nilai-nilai yang ada dalam sistem bus Transjakarta sangat membantu terciptanya ketertiban dan keteraturan dalam bertransportasi. Jika dicermati nilai-nilai yang ada pada angkutan reguler, meski dalam pelayanan bus-bus itu sudah menggunakan pendingin (AC), tetapi fasiltas AC yang terdapat dalam angkutan reguler itu tidak membangun apapun terkait dengan budaya betransportasi. Pengemudi yang masih sering nampak menroko, membunyikan musik keras, masih membolehkan pengamen dan pedagang asongan masuk ke dalam bus, dan kecenderungan bus untuk berhenti di sembarang tempat, menaikkan maupun menurunkan penumpangnya. Artinya, angkutan non Transjakarta tidak memberikan nilai-nilai budaya transportasi yang beradab. Berbeda lagi dengan pelayanan yang ditawarkan oleh operator angkutan umum bus non-AC (Metromini, Kopaja, Kopami dan lainnya), umumnya dipadati oleh penumpang yang memiliki keterbatasan pendapatan. Keterbatassan ekonomi ini menyebabkan penumpang bus-bus non-AC tidak dapat memperoleh kenyamanan dan keamanan. Berdesak-desakan dalam bus yang panas, kotor, dan bau serta tidak layak secara fisik merupakan hal yang biasa. Tiada pilihan lain yang dapat mengantarkannya untuk mengganti moda transportasi yang lebih baik. Ini merupakan suatu kenyataan bahwa keterbatasan pendapatan masyarakat berimplikasi pada keterbatasan untuk mengakses pada pelayanan transportasi yang nyaman, dan aman. Data menunjukkan bahwa besar masyarakat yang memiliki keterbatasan penghasilan merasa terbantu dengan adanya bus Transjakarta. Sehingga mereka
46
tergantung pada Transjakarta. Ketergantungan tersebut bukan hanya pelayanan yang diberikan Transjakarta telah memberikan kenyamanan dan keamanan, tetapi harga tiket yang terjangkau. Sebagian besar responden 46% menyatakan bahwa Transjakata cukup kuat merubah perilaku masyarakat dalam bertransportasi. Sementara yang lain berpendapat cukup kuat 31,1%. Ini berarti, pengguna bersedia untuk mengantri tertib di loket, untuk membeli tiket maupun untuk masuk ke dalam bus.
Kehadiran Transjakarta
ternyata dipahami masyarakat 64,6% telah
menerapkan nilai-nilai angkutan umum cepat massal, bagi pramudi dan juga penggunanya. Ini mengindikasikan bahwa pramudi telah menjalankan perannya dalam menciptakan kenyamanan, keamanan. Begitu pula pengguna telah merasakan aplikasi dari teknologi BRT.
Tabel 5.2 Kekuatan TJ merubah perilaku bertransportasi masyarakat
Frequency 41
Valid 26 A B
1
Percent 8.7 .2
Valid Percent 8.7
Cumulative Percent 8.7
.2
8.9
39
8.3
8.3
17.2
217
46.0
46.0
63.1
C D
147
31.1
31.1
94.3
27
5.7
5.7
100.0
Total
472
100.0
100.0
Pengguna Transjakarta sebagian besar 57,6% berpendapat bahwa isu-isu kenyamanan, keamanan, keterjangkauan di dalam pelayanan Transjakarta relevan dengan citra/gambaran dari
angkutan umum kota yang baik. Pembangunan
aksesibilitas bagi masyarakat merupakan hal penting pada saat ini. Data menunjukkan bahwa masyarakat masih memandang bahwa Transjakarta belum melayani kebutuhan masyarakat dengan memadai untuk moblitas sehari-hari. Hal ini ditunjukkan oleh data 58,7% yang berpendapat tidak ada perubahan dalam layanan, dan hanya 26,3% yang menyatakan Transjakarta semakin membaik, dan ada yang mengatakan semakin buruk sebsar 2,3 %. Data riset ini juga menunjukkan bahwa pengguna Transjakarta
47
yang rutin, memandang kehadiran transjakarta telah mendorong perbaikan perjalanan masyarakat secara langsung, ada 70,1%.
5.2.3
Antara Pilihan dan Keterbatasan Meningkatnya ketergantungan masyarakat pada bus Transjakarta masih
menyisakan persoalan yang belum juga dapat ditangani oleh pemerintah/BLU Transjakarta. Dalam jam-jam sibuk, pagi dan sore hari calon-calon penumpang berjejal dalam halte dan tidak terangkut dengan bus yang ada. Padahal dengan berjejalnya penumpang didalam bus (kadangkala melampaui kapasitas angkutnya, mengangkut lebih dari 85 penumpang), dapat diinterpretasi sebagai budaya ketergantungan masyarakat pada bus Transjakarta. Terlepas dari persoalan tiada pilihan bagi pengguna. Tetapi pelayanan bus Transjakarta masih dalam keterbatasan.
“…Jika berangkat dari kondisi ideal…tidak pernah berhasil. Penting sekali membangun perilaku atau budaya user. Perilaku user dibentuk oleh situasi, perilaku yang baik, positif jika situasi dan kondisi baik. Pengambil kebijakan yang ambil solusi, masyarakat yang memilih. Pada intinya, busway untuk meningkatkan pelayanan umum…Persoalannya sekarang adalah bagaimana busway itu berguna dan masih menjadi yang terbaik dibanding angkutan umum yang ada. Persoalan tentang pengadaan kendaraan idealnya ditambah, harus dipertemukan antara: semakin banyak armada bis, semakin nyaman (ada keteraturan headway), tiap 10 menit sekalli atau 5 menit sekali, di angka berapa yang bisa mewakili”. 2
Tingginya tingkat mobilitas warga kota Jakarta yang menggunakan transportasi umum karena dipandang paling mudah, murah, dan efisien, baik untuk keperluan bekerja, maupun sekadar jalan-jalan. Tetapi ada kelemahan dari segala kebijaksanaan pemerintah kota Jakarta ini, karena masyarakat masih juga menggunakan mobil dan motor pada saat TJ sudah tidak lagi memberikan kenyamanan. Akses untuk mencapai halte tidak praktis, akses jembatan menuju halte 2
Wawancara dengan mantan Kepala BLU Transjakarta sebelum yang sekarang.
48
tidak efisien, armada kurang banyak, armada TJ seringlama, antrian panjang, belum terwujudnya feeder dari lingkungan perumahan menuju helte terdekat, masih banyak daerah yang belum dijangkau TJ, dan sebagainya.
“…Bagaimanapun busway adalah proses pembelajaran, perlu waktu: pembelajaran budaya tertib, terbiasa naik turun di tempat yang ditentukan, tidak sembarangan—bagian dari budaya bertransportasi… Busway adalah program unggulan Pemda dan jalan tengah—pelayanan yang diupayakan ditingkatkan. Kunci kesuksesan adalah political will atau komitmen semua pihak (dari semua stakeholder), ya masyarakat, BLU termasuk didalamnya adalah
polisi.
Memecahkan
masalah
kemacetan:
bikin
jalan
baru,
menghilangkan satu lajur, sedangkan mobil pribadi terus meningkat, jika busway kelamaan atau interval kelamaan orang akan kembali untuk pakai mobil pribadi lagi…” 3 Semakin hari semakin besar ketergantungan masyarakat untuk menggunakan Transjakarta, tetapi pelayanan yang diberikan oleh pemerintah belum memadai atau menjadi lebih baik. Pemahaman ini didasarkan pada realitas dan data yang ada, dimana Transjakarta terlihat semakin menjauh dari rumusan normatifnya, yaitu sebagai subsistem yang merupakan bagian dari sistem perkotaan, yang berfungsi memenuhi kebutuhan masyarakat dan perkembangan kota. Dalam konteks demikian, tidak diragukan bahwa Transjakarta sebagai tulang punggung sistem angkutan umum massal kota Jakarta sebelum angkutan massal lain beroperasi. Eksistensi Transjakarta yang mengisi ruang jalan pada dasarnya tidak terlepas dari kontrol dan pengaturan pemerintah, terutama dalam menentukan peruntukan ruang jalan itu bagi kepentingan public. Karena ruang tidak pernah bebas dari identitas, artinya dalam ruang selalu memiliki identitasnya. Tetapi dalam kenyataan ruang khusus Transjakarta seringkali dimasuki oleh angkutan nonTransjakarta. Jalur khusus Transjakarta menjadi tidak steril. Hal ini telah
3
Wawancara dengan salah satu Direktur Operator Konsorsium non tender 7 Januari 2010.
49
menyebabkan ketidaknyamanan bagi pengguna Transjakarta. Karena tidak saja arus Transjakarta menjadi terganggu, tidak lancar karena jalurnya diserobot dan digunakan oleh angkutan yang lain, tetapi juga dengan jalur yang tidak steril telah menyebabkan terjadinya kecelakaan.
Tabel 5.3 Penumpang bus Transjakarta tahun 2009 Penumpang 2009 Bulan
Koridor I
Januari
2.099.889
853.949
877.276
565.013
869.529
592.633
430.414
Februari
1.979.730
796.356
786.306
537.643
754.419
561.265
388.265
71.252 5.875.236
Maret
2.195.541
908.401
916.504
600.010
875.348
629.961
454.100
343.470 6.923.335
April
2.071.487
868.487
865.716
594.661
842.181
628.332
436.878
345.017 6.652.759
Mei
2.199.648
928.979
934.276
623.491
895.900
660.319
467.621
378.634 7.088.867
Juni
2.250.011
947.057
959.211
630.581
902.633
689.345
479.750
409.411 7.267.999
Juli
2.173.362
957.485
966.817
613.573
881.147
657.934
465.677
427.081 7.143.076
Agustus
Koridor II
Koridor III
Koridor IV
Koridor V
Koridor VI
Koridor VII
Koridor VIII
TOTAL
-
6.288.703
2.135.571
914.402
934.359
607.080
855.307
631.171
460.572
435.454 6.973.896
September 1.895.355
827.792
885.059
563.401
858.908
568.870
469.732
405.130 6.474.247
Oktober
2.154.283
926.914
970.517
689.976
934.064
676.164
516.179
480.588 7.348.687
November
2.118.699
897.494
959.181
644.457
904.176
633.770
502.282
462.003 7.122.062
Desember
2.110.146
922.011
971.044
633.329
932.341
643.509
529.998
476.406 7.218.784
TOTAL
25.383.722 10.749.327 11.026.266 7.303.215 10.505.953 7.573.273 5.601.468 4.234.446 82.377.670
Sumber: BLU Transjakarta © 2009
Habitus yang digunakan masyarakat Jakarta sudah menjadi sebuah struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Karena itu, praktik atau kebiasaan masyarakat untuk berperilaku tertentu saat berada di ruang jalan atau pada saat menjalankan kendaraannya sampai akhirnya menimbulkan kemacetan sebagai akibat dari dialektika internalisasi dari eksternalitas dan eksternalitas dari internalitas (Bourdieu 1977). Karena itu, untuk mengatasi persoalan terkait dengan transportasi di Jakarta tidak hanya dengan menambah terus jumlah peraturan tetapi juga dengan cara membangun habitus. Jadi, keteraturan, ketertiban bagi semua pengguna jalan bisa dicapai dengan tindakan atau praktik yang membentuk habitus, dan habitus itu menjadi penyatu dan menghasilkan tindakan yang tertib dan mengikuti aturan yang ada. Hal ini bisa dicapai dengan pengembangan bus Transjakarta.
50
Dengan
menggunakan
bus
Transjakarta
dapat
mengurangi
risiko
berkendaraan, yang secara umum diterima oleh masyarakat sebagai risiko yang muncul dalam keterkaitan dengan penggunaan sepeda motor. Upaya-upaya masyarakat mengendarai motor, atau angkutan umum adalah usaha berisiko tinggi yang dijalankan dalam budaya keseharian masyarakat kelas menengah bawah. Sejauh mana individu di Jakarta dan kota-kota besar lainnya (kommuter) disiapkan untuk menanamkan kepercayaan terhadap preskripsi berkendaraan/bertransportasi yang menjamin kenyamanan, keamanan dan juga keselamatan. Risiko dan rasa aman dari setiap inidividu berbeda. Risiko-risiko dalam memilih dan menggunakan kendaraan itu merasuk kedalam keyakinan terhadap sistem bertransportasi, sehingga menimbulkan rasa aman, selamat, dan juga nyaman. Fakta bahwa setiap orang tidak memilih risiko. Kebanyakan orang tidak mau menghabiskan banyak waktunya untuk mencapai suatu tempat dengan kendaraa umum. Dalam level sadar, mereka pengguna angkutan umum mengkhawatirkan berbagai resiko besar yang muncul, seperti kecopetan, penodongan, kepanasan, sesak nafas, dan ktidaknyamanan secara mental dan psikologis. Kebutuhan untuk terus menjalani kehidupan praktis sehari-hari di kota dengan angkutan umum untuk keperluan bekerja, mengunjungi pusat-pusat pelayanan social, dan keperluan social lainnya tidak diragukan lagi menjadi suatu alasan bagi masyarakat tenatang arti pentingnya sarana angkutan untuk memperlancar mobilitas. Betapapun buruknya kondisi angkutan umum itu, masyarakat umumnya bereaksi adaptif terhadap risiko itu. Dibandingkan dengan angkutan umum reguler, bus Transjakarta dapat mengurangi risiko yang bersifat pragmatis (biaya sosial). Masyarakat yang menggunakan angkutan umum bus, mikrolet dan angkutan umum lainnya bersedia menerima risiko social budaya yang sama, bahkan sampai berulang-ulang. Tetapi karena terbatasnya kemampuan mengakses pada angkutan lain yang memberikan kenyamanan, sehingga masyarakat itu tidak mampu memikirkan risiko yang muncul karena angkutan umum merupakan angkutan keseharianya. Berkurangnya risiko
51
sosial berbeda saat menggunakan bus Transjakarta, masyarakat berpikir risiko social budaya lebih kecil meski kemungkinan kecopetan, berdesak-desakan di halte dan lainnya masih ada. Pengalaman
dari
pengguna
angkutan
umum
terkait
dengan
nilai
ketidaknyamanan itu beragam, diantaranya pengalaman kecopetan, pelecehan seksual bagi perempuan, penjambretan, penodongan. Kendati mereka telah mengalami hal-hal itu pada saat menggunakan angkutan umum, tidak mungkin mereka dengan mudah beralih untuk menggunakan angkutan pribadi. Kemunginan untuk mengganti moda angkutan sering terpikir oleh mereka, tetapi tidak cukup kemampuan ekonomi untuk merealisasinya. Sehingga pengalaman kecopetan, penjambretan, dan lainnya terkait dengan ketidaknyamanan bisa jadi terjadi berulang-ulang, dan mereka juga ketakutan untuk memikirkan risiko itu secara terus menerus. Responden riset pengguna mobil pribadi menyatakan bahwa: ”Transportasi sepeda motor merupakan alternatif untuk memperoleh kecepatan dalam waktu diperjalanan serta hemat, hal ini sangat penting untuk masyakarakat terutama bagi mereka yang berpenghasilan terbatas”. Sementara itu, responden lainnya menegaskan bahwa: ”...memperhatikan besarnya risiko berkendaraan saat ini, maka pemerintah perlu menertibkan semua pemakai jalan yang tidak mematuhi aturan dan etika di jalan raya. Perlu ada pendidikan tentang penggunaan jalan milik bersama kepada pemakai mulai dari tingkat RT/RW?Kelurahan maupun tingkat sekolah atau kantor. Pengguna jalan harus mematuhi rambu-rambu lalulintas...”(kuesioner no. 36).
5.2.4
Membangun Budaya Ketergantungan pada Bus Transjakarta Implikasi dari pesatnya pertambahan penggunaan kendaraan pribadi,
menyebabkan pengendara setiap harinya disuguhi dengan kemacetan yang tidak mengenal waktu. Tidak jarang pengguna kendaraan bersikap brutal satu sama lain, hal
52
ini menambah juga efek kemacetan, dan semakin bertambah pengendara yang stress karena tidak mampu menerima beban dan terus menerus adaptif dengan kemacetan yang semakin meningkat. Perilaku brutal atau kekerasan terjadi tanpa disadari pada pengendara, dan ini semakin meningkat. Masyrakat yang menjadi stress akibat kemacetan
semakin
meningkat,
kecelakaan
akibat
ketidakpedulian
dan
ketidaksantunan (etika) menggunakan jalan raya juga semakin tinggi, kesemrawutan tata-atur lalulintas juga memberi peran besar pada terjadinya pemampatan arus lalulintas. Sebagaimana telah dibahas di depan, terkait dengan posisi strategis Jakarta, maka Jakarta memerlukan angkutan massal yang dapat mendukung sepenuhnya aktivitas masyarakat dan pembangunan kota. Untuk mencapai tujuan itu, tidak mudah, karena masyarakat masih malu dan gengsi untuk menggunakan angkutan umum. Pendapat salah seorang responden tentang pengguna motor yang tidak mengindahkan nilai-nilai keselamatan social dan ketertiban: ”Sangat-sangat menggangu keamanan dan kenyamanan yang berperan dalam hal ini adalah pengendara motor itu sendiri, harus lebih mengerti tata tertib berlalu lintas dan penegak hukum, dalam hal ini polisi harus tegas menindak pengendara motor yang ugal-ugalan.” Sementara itu bagi responden yang lain, pendapatnya adalah: ”Bagi pengendara sepeda motor sebetulnya memang kurang aman dengan cara menyalip dan kebut-kebutan tapi asalkan hati-hati dan tidak menyalahi aturan lalu lintas saya rasa tidak apa-apa. Sedangkan bagi sopir angkutan umum itu sangat merugikan apabila sampai kurang penumpangnya...” (kuesioner no.35). Pendapat serupa dikemukakan oleh responden yang lain: ”Sangat tidak bertanggung jawab karena apa yang mereka lakukan tidak hanya dapat membahayakan diri sendiri tetapi juga dapat membahayakan keselamatan rang lain disekitarnya.” Pendapat ini juga diperkuat dengan pendapat responden yang lain:”Sangat membahayakan, pelayanan angkutan umum lebih ditingkatkan supaya jumlah pengendara sepeda motor dapat berkurang dan diaktifkan ke angkutan umum Kurang disiplin, kurangnya kesadaran terhadap pentingnya mematuhi peraturan lalu lintas, rawan kecelakaan, dan saat ini peraturan lalu lintas perlu lebih diperketat lagi. (Kuesioner no.35).
53
Kehadiran Transjakarta dapat dijadikan model bagi masyarakat urban untuk membangun budaya baru transportasi. Pembangunan budaya bertransportasi yang beradab, yang lebih baik, dibangun atas nilai-nilai keteraturan, ketertiban, kenyamanan, keamanan, disiplin, yang sama sekali berbeda dengan kultur bertransportasi yang ada di luar Transjakarta atau angkutan umum lainnya. Kenyamanan dan keamanan merupakan isyu sangat penting dalam pemilihan moda angkutan yang digunakan. Sebagian besar responden 85,5% menyatakan pelayanan angkutan umum yang ada selama ini buruk. Ciri-ciri yang melekat pada angkutan umum: panas, kotor, banyak pengamen, berjejalan, supir ugal-ugalan dan mogok bahkan penumpang sering diturunkan di sembarang tempat (angkutan tidak melewati rute yang seharusnya).
Tabel 5.4 Isu Penting dalam Mengguinakan Moda Transportasi Frequency 42
Valid 22
Valid Percent 8.9
Cumulative Percent 8.9
1
.2
.2
9.1
A
405
85.8
85.8
94.9
B
18
3.8
3.8
98.7
C
6
1.3
1.3
100.0
472
100.0
100.0
Total
5.2.5
Percent 8.9
Kebutuhan Masyarakat pada Angkutan yang Nyaman dan Aman Buruknya layanan umum di bidang transportasi telah menyebabkan angkutan
umum distigma oleh masyarakat. Hal in berimplikasi pada berubahnya orientasi masyarakat untuk menggunakan mobil dan motor. Kehadiran mobil dan motor sesungguhnya sebagai metafor bagi kehidupan manusia di era modern. Sehingga pemilihan moda angkutan yang bersifat personal meligitimasi masyarakat antar gender, kelas, usia, dan sebagainya sebagai wacana utama yang dipertahankan untuk membangun citra kehidupan mapan dan yang dibenarkan dengan argumentasi untuk melancarkan mobilitas masyarakat
54
Pada saat pemerintah tidak mampu menjawab persoalan dari hokum besi urbanisasi maka masyarakat melakukan inklusi untuk memenuhi kebutuhan angkutannya. Karena hukum besi urbanisasi tidak dapat tidak membutuhkan perbaikan pada angkutan umum massal (mass transit). Meski pada awalnya inklusi memiliki potensi positif untuk memecahkan persoalan transportasi, dalam perkembangannya, inklusi yang terjadi dalam masyarakat di perkotaan telah meningkatkan perkembangan penggunaan motor sebagai moda untuk mobilitas personal warga. Lebih mudah untuk melakukan mobilitas jarak pendek dengan motor daripada moda transportasi publik seperti bus.
Tabel 5.5 Nilai-nilai Sosio Ekonomi Transjakarta Frequency 41
Valid
Percent 8.7
Valid Percent 8.7
Cumulative Percent 8.7
27
1
.2
.2
8.9
A
27
5.7
5.7
14.6
B
305
64.6
64.6
79.2
C
77
16.3
16.3
95.6
D
12
2.5
2.5
98.1
E
7
1.5
1.5
99.6 100.0
f Total
2
.4
.4
472
100.0
100.0
Berbeda dengan pengguna angkutan umum, pilihan menggunakan bus atau mikrolet karena keyakinan dan rasionalitasnya bahwa di tengah carut marut kondisi jalanan ibu kota, mengendarai motor itu berisiko tinggi, kecelakaan, cacat seumur hidup bahkan kematian. Sehingga betapapun buruk pelayanan angkutan umum Transjakarta, masyarakat tetap menggunakannya, karena risiko kecelakaan dan ketidakselamatan lebih kecil kemungkinan terjadinya. Karena itu, mereka terus menggunakan angkutan umum Transjakarta. Gagasan ideal untuk memutuskan moda angkutan yang digunakan memiliki kedekatan dengan strategi pilihan risiko dan optimisme yang abadi. Bagi kalangan masyarakat menengah atas yang sehari-harinya menggunakan mobil, justru merasa kegelisahan, ketidaknyamanan saat beralih menggunakan
55
angkutan umum, atau motor. Pengalaman yang diprovokasi oleh kondisi nyata angkutan umum yang tidak nyaman, kotor, bau, panas, pengab, mogok dan kecelakaan motor yang berakibat pada cacat seumur hidup atau kematian penggunanya dianggap sebagai bahaya yang berkonsekuensi tinggi. Sehingga mereka tetap secara pragmatis sulit untuk berpindah ke angkutan umum. Bahkan mereka mengembangkan sinisme pada angkutan umum. Kecenderungan sikap masyarakat seperti itu terkait dengan kurangnya kesungguhan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan bus Transjakarta sebagai angkutan umum cepat. Ini terlihat dari pendapat pengguna Transjakarta yang mengusulkan kepada BLU Transjakarta beberapa hal: (1) untuk membatasi penumpangnya sehingga bus tidak terlalu penuh dan berdesak-desakan; (2) halte bus tidak panas dan pengab, bisa diberikan pendingin udara/AC untuk memberikan kenyamanan; (3) pada saat naik busway dalam kondisi penumpang yang banyak dan berdesak-desakan, bus tidak terburu-buru meninggalkan halte karena ini menyangkut keselamatan penumpang; (4) pramudi, petugas penjual karcis hendaknya tidak banyak cakap/ngobrol; (5) busway yang sudah bobrok diganti (diremajakan); (6) Penambahan armada Transjakarta pada jam-jam sibuk (pagi dan sore), pengaturan menaikkan dan memberhentikan penumpang di halte-halte tertentu pada jam-jam sibuk sehingga penumpang dapat naik Transjakarta dan tidak menunggu sampai berjam-jam karena Transjakarta yang lewat telah terisi penuh.
5.2.6
Kendala Dalam Mengakses Transjakarta Sebagian besar masyarakat memandang masih adanya keterbatasan untuk
mengakses Transjakarta 60,6%. Hal ini disebabkan masih kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap kebutuhan angkutan umum kelompok masyarat lapisan bawah, 53,2%. Implikasi dari hal ini adalah meningkatnya inklusi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan transportasinya sendiri, dengan membeli sepeda motor, 61 %. Dalam kondisi ketergantungan terhadap bus Transjakarta berdesakan dalam bus bagi penumpang tidak lagi menjadi hal utama. Meski ini sebenarnya merupakan salah satu indikasi dari bentuk keterbatasan dalam mengakses bus. Nilai-nilai
56
kenyamanan tidak lagi menjadi ukuran dari kelayakan sebuah angkutan yang dirancang sebagai angkutan modern, dan canggih yang siap melayani mobilitas masyarakat. Transjakarta bagaimanapun tetap berciri sebagai angkutan umum yang tidak berbeda dengan angkutan reguler konvensional dalam memperlakukan penumpanngya. Tabel 5.6 Keterbatasan kelas sosial bawah mengakses Transjakarta
Frequency 52
Percent 11.0
Valid Percent 11.0
Cumulative Percent 11.0
1
286
60.6
60.6
71.6
2
132
28.0
28.0
99.6
1 1
.2
.2
99.8
.2
.2
100.0
472
100.0
100.0
Valid
28 A Total
Tabel 5.7 Perhatian Pemerintah terhadap Kebutuhan Transportasi Masyarakat
Frequency 53
Percent 11.2
Valid Percent 11.2
Cumulative Percent 11.2
1
251
53.2
53.2
64.4
2
166
35.2
35.2
99.6
29
1
.2
.2
99.8
A Total
1
.2
.2
100.0
472
100.0
100.0
Valid
Tabel 5.8 Kemampuan Inklusi Masyarakat Menyediakan Angkutan
Valid 1 1/2 2 30 A Total
Frequency 52
Percent 11.0
Valid Percent 11.0
Cumulative Percent 11.0
288
61.0
61.0
72.0
1
.2
.2
72.2
129
27.3
27.3
99.6
1
.2
.2
99.8
1 472
.2
.2
100.0
100.0
100.0
57
5.3
Dimensi Kepuasan dan Kualitas Pelayanan Publik Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan kuantitatif-positivistik (Newman, 1997). Arah dan fokus penelitian ditujukan untuk menguraikan dan menggambarkan secara obyektif dan logis sifat-sifat dari fenomena atau gejala sosial yang diteliti - dalam hal ini adalah adalah kualitas pelayanan publik Transjakarta. Dalam penelitian ini desain penelitian (seperti besaran populasi, sample dan instrumen yang terstruktur) ditetapkan sejak awal dan pemerolehan data harus mampu menjaga objektivitas. Penelitian dengan populasi seluruh penumpang Transjakarta dari delapan koridor ini, dilakukan dengan metode survey (Sekaran, 2003) sejak bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Maret 2010. Sampel yang diperoleh berasal dari anggota masyarakat
pengguna
layanan
Transjakarta,
pekerja layanan
Transjakarta,
manajemen Transjakarta, operator/konsorsium Transjakarta dan Pemerintah DKI Jakarta. Data dikumpulkan langsung dari 450 responden (end user) dengan menggunakan instrumen kuesioner kualitas layanan publik Transjakarta, 40 orang pengguna mobil pribadi serta masing-masing 50 orang pengguna sepeda motor dan bus umum bukan Transjakarta. Wawancara juga dilakukan terhadap beberapa orang pramudi bus Transjakarta serta manajemen Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta. Selain itu, dalam penelitian multidisiplin ini, kuesioner juga menyertakan pertanyaan lainya untuk instrumen aksesibilitas, eksklusi dan inklusi sosial, kuantitas layanan sarana dan prasarana, representasi dan otomobilitas, serta keselamatan. Survei atau data dijaring melalui wawancara berstruktur dan sebagai data penunjang juga dikumpulkan data melalui teknik wawancara mendalam dan wawancara open-ended Pada penelitian ini pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengukur dan menganalisis ada tidaknya kesenjangan (gap) antara kualitas pelayanan publik Transjakarta yang diharapkan dengan kualitas pelayanan publik Transjakarta yang diterima oleh masyarakat pengguna layanan sebagai end user dengan dimensi dan indikator pada dapat dibaca pada Tabel 5.9.
58
Setelah data terkumpul maka dilakukan analisis data dengan ImportancePerformance Analysis/IPA (Martila dan James 1977, dalam Setiawan 2005) untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara kualitas pelayanan publik Transjakarta yang diharapkan (yang disebut sebagai tingkat kepentingan) dengan kualitas pelayanan publik Transjakarta yang diterima oleh masyarakat pengguna layanan sebagai end user (yang disebut sebagai tingkat kinerja). Setelah data kuantitatif hasil kuesioner diolah dan dianalisis dapat didentifikasi atribut-atribut pelayanan publik yang menentukan kinerja kualitas pelayanan Transjakarta, termasuk atribut pelayanan yang mencerminkan permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh Transjakarta untuk dapat menghasilkan kualitas pelayanan yang optimal. Perhitungan pembobotan setiap indikator dituangkan dalam tabel frekuensi untuk seluruh 40 indikator kualitas pelayanan, baik untuk indikator kinerja maupun indikator kepentingan pelayanan. Kualitas pelayanan ditentukan oleh tingkat kesesuaian antara pelayanan yang diharapkan (expected service) dengan pelayanan yang diterima masyarakat (percieved service). Dengan demikian tingkat kesesuaian ini adalah rasio antara tingkat kinerja dengan tingkat kepentingan. Uji Validitas dan Realibilitas Hasil analisa validitas dan reliabilitas mengindikasikan bahwa semua butir pertanyaan kuesioner yang diuji adalah valid dan reliable seperti terlihat pada Tabel 5.9.
Dimensi
Tabel 5.9 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Harapan dan Kenyataan Harapan
No
Indikator
Tangible
Halte bebas dari kotoran (termasuk debu, 1
sampah, dan bau). Lantai halte maupun interior ruang halte
2
bersih. Jendela, dinding, pintu dan atap atau plafon
3
halte bersih. Suhu di dalam Halte sesuai dengan standar
4
/Kinerja
nilai corrected
nilai corrected α
itemtotal
itemtotal
0.702
0.925
0.512
0.88
0.75
0.925
0.531
0.879
0.754
0.925
0.564
0.878
0.736
0.925
0.469
0.881
59
yang ditetapkan (tidak panas dan tidak dingin) Penerangan di dalam Halte sesuai dengan standar yang ditetapkan (tidak silau dan tidak 5
0.774
0.925
0.367
0.883
0.733
0.925
0.529
0.879
gelap) Bus bebas dari kotoran (termasuk debu,
6
sampah, dan bau).
7
Lantai bus Transjakarta bersih
0.744
0.925
0.425
0.882
8
Interior Bus Transjakarta bersih
0.761
0.925
0.472
0.881
9
Eksterior Bus Transjakarta bersih
0.77
0.925
0.485
0.88
0.773
0.925
0.391
0.883
0.758
0.925
0.353
0.883
0.769
0.924
0.529
0.879
0.755
0.924
0.508
0.88
0.804
0.924
0.413
0.882
0.786
0.924
0.57
0.878
0.806
0.924
0.542
0.879
0.31
0.943
0.534
0.879
0.61
0.928
0.554
0.879
Suhu di dalam Bus Transjakarta sesuai dengan standar yang ditetapkan (tidak panas dan tidak 10
dingin) Penerangan / kekuatan cahaya di dalam Bus Transjakarta sesuai dengan standar yang
11
ditetapkan (tidak silau dan tidak gelap) Penumpang dalam Halte sesuai dengan
12
kapasitas maksimum Penumpang dalam Bus sesuai dengan
13
kapasitas maksimum Penumpang /calon penumpang mudah untuk menuju Halte Transjakarta, baik saat menggunakan kendaraan pribadi maupun sarana
14
transportasi umum (angkot/bus/kereta/taxi) Lantai jembatan penyeberangan/skywalk
15
bersih Tangga, penutup atap, dan bagian
16
jembatan/skywalk lainnya tampak bersih Tidak terdapat kerusakan pada bagian
17
jembatan/skywalk Tempat parkir motor/mobil cukup untuk
18
menampung kendaraan yang akan parkir
19
Lokasi parkir aman, nyaman dan teduh
0.591
0.928
0.601
0.877
20
Biaya parkir murah
0.599
0.928
0.565
0.879
0.599
0.928
0.539
0.88
0.834
0.942
0.479
0.772
0.868
0.938
0.595
0.744
Lokasi parkir (park and ride) dari atau menuju
Reliability
21
halte busway mudah dijangkau Bus Transjakarta memiliki ketepatan jeda waktu keberangkatan antar bus dari yang
1
sudah ditetapkan.
Waktu yang dibutuhkan Bus Transjakarta 2
untuk menurunkan penumpang dari bus ke halte dan menaikkan penumpang dari halte ke bus
60
sudah sesuai Jarak celah antara pintu bus dan pintu halte pada saat naik turun penumpang cukup dekat 3
0.938
0.511
0.764
0.877
0.937
0.591
0.745
0.798
0.946
0.537
0.758
0.835
0.942
0.528
0.761
0.915
0.948
0.605
0.738
0.926
0.944
0.52
0.778
0.856
0.965
0.633
0.723
0.93
0.943
0.646
0.717
sehingga tidak menyulitkan Perjalanan Bus Transjakarta dari terminal awal
4
ke terminal akhir sudah tepat waktu
5
Bus Transjakarta laik jalan Jam buka dan tutup loket Bus Transjakarta
6
tepat waktu
1
mendapatkan Informasi tentang Transjakarta
Penumpang/calon penumpang mudah untuk
Responsiveness
0.863
Penumpang/calon penumpang tidak memerlukan waktu yang lama untuk 2
membeli tiket di Halte Transjakarta Penumpang/calon penumpang mudah dalam melaporkan kehilangan atau melaporkan
3
menemukan barang Penumpang /calon penumpang mudah
Assurance
menyampaikan pengaduan atau memberikan 4
saran
1
Keamanan di Halte Transjakarta terjamin
0.818
0.954
0.653
0.804
2
Keamanan di dalam Bus Transjakarta terjamin
0.921
0.922
0.749
0.762
0.915
0.923
0.681
0.791
0.869
0.937
0.605
0.824
0.906
0.962
0.612
0.8
0.908
0.962
0.64
0.792
0.903
0.963
0.64
0.792
0.92
0.96
0.629
0.796
0.918
0.961
0.614
0.8
Keselamatan di dalam Bus Transjakarta 3
terjamin Keselamatan di sepanjang jalur busway
4
terjamin
1
penumpang/calon penumpang
Petugas kasir ramah dan memperhatikan
Empathy
Petugas karcis ramah dan memperhatikan 2
penumpang/calon penumpang Satgas/satpam ramah dan memperhatikan
3
penumpang/calon penumpang Kondektur ramah dan memperhatikan
4
penumpang / calon penumpang Pramudi/sopir ramah dan memperhatikan
5
penumpang/calon penumpang
Sumber : Pengolahan data penelitian multidisiplin, 2010
61
5.3.1
Analisis Kualitas Pelayanan Transjakarta Penilaian 430 responden terhadap kualitas pelayanan Transjakarta dalam
bentuk skala sikap responden terhadap tingkat kinerja dan tingkat kepentingan dari seluruh indikator atau atribut dikelompokkan kedalam lima dimensi yaitu Tangibles (Fisik), Dimensi Realibility (Kehandalan), dimensi Responsiveness (Kepekaan), dimensi Assurance (Jaminan) dan dimensi Emphaty (Empaty). Hasil perhitungan skala sikap responden terhadap tingkat kinerja dan tingkat kepentingan setiap atribut Transjakarta pada lima dimensi sebagaimana dituangkan dalam tabel 5.10 Tabel 5.10 Penilaian Tingkat Kinerja dan Tingkat Kepentingan Atribut-Atribut Pelayanan
Dimensi
No
Reliability
Tangible
Indikator 1
Tingkat Kinerja / Kenyataan
TingkatKepentingan / Harapan
TR
STB
TB
B
SB
Bobot
TR
STP
TP
P
SP
Bobot
0.93
9.77
53.26
33.72
2.33
226.74
1.40
0.93
2.79
30.93
63.95
355.12
2
1.40
11.16
51.86
32.56
3.02
224.65
1.63
1.16
2.79
32.33
62.09
352.09
3
0.70
10.93
52.09
32.09
4.19
228.14
1.16
0.93
2.79
35.12
60.00
351.86
4
0.93
14.42
49.07
31.86
3.72
223.02
0.93
1.16
3.49
36.28
58.14
349.53
5
1.86
7.21
25.12
61.40
4.42
259.30
1.63
1.16
1.63
39.53
56.04
347.18
6
0.70
6.98
41.63
46.05
4.65
246.98
0.93
0.70
3.02
28.14
67.21
360.00
7
1.63
3.72
36.05
51.63
6.98
258.60
1.86
0.93
1.40
33.26
62.56
353.72
8
1.40
2.09
31.40
59.77
5.35
265.58
1.40
1.63
2.09
32.33
62.56
353.02
9
4.19
3.26
40.23
48.84
3.49
244.19
2.32
0.93
1.40
37.67
57.67
347.44
10
1.63
4.19
35.12
51.39
7.67
259.29
1.16
0.93
3.26
35.12
59.53
350.93
11
1.63
3.02
19.53
66.74
9.07
278.60
0.70
0.70
2.79
35.35
60.47
354.19
12
1.86
20.47
58.14
18.14
1.40
196.74
1.16
1.86
5.58
28.14
63.26
350.47
13
3.26
22.09
55.35
18.14
1.40
192.79
2.09
2.09
3.72
29.30
62.79
348.60
14
2.09
2.09
3.72
29.30
62.79
348.60
0.93
1.16
3.02
35.35
59.53
351.40
15
3.02
14.65
54.19
25.35
2.79
210.23
1.86
1.16
3.72
32.56
60.70
349.07
16
2.09
16.28
55.12
24.42
2.09
208.14
1.40
0.93
4.65
32.33
60.70
350.00
17
3.02
20.00
55.12
20.00
1.86
197.67
2.33
1.16
4.65
28.84
63.02
349.07
18
40.46
7.67
21.86
28.37
1.62
142.98
25.11
1.1
4.65
24.65
44.41
261.99
19
40
5.81
26.97
23.95
2.32
140.889
24.41
0.69
2.55
23.95
48.37
271.12
20
40.23
6.97
22.55
27.9
2.32
145.05
40.23
0.69
3.72
21.16
49.76
270.65
21 1
40.23
4.65
24.41
28.13
2.55
148.06
24.88
0.69
4.18
22.09
48.13
267.84
1.39
14.18
55.58
27.2
1.62
213.42
1.39
1.39
1.86
32.09
63.25
205.38
2
1.39
7.2
40.23
47.67
3.4
244.27
1.62
1.39
2.32
34.41
60.23
350.18
3
0.93
7.2
39.53
49.3
3.02
246.24
1.16
0.93
1.86
36.74
59.3
352.07
4
1.395
12.09
55.81
27.44
3.25
219.03
1.395
1.86
5.34
32.09
59.3
346.01
62
Responsiveness Assurance Empathy
5
2.09
4.41
18.37
67.44
7.67
274.15
1.62
0.69
3.25
31.86
62.55
352.97
6
2.09
4.88
12.09
72.32
8.6
280.42
0.93
2.09
2.32
33.72
60.93
351.61
1
1.16
4.88
29.76
57.67
6.51
263.45
0.93
0.69
3.48
35.58
59.3
351.59
2
1.16
5.11
21.39
65.58
6.74
271.59
1.162
1.39
3.95
33.02
60.46
350.19
3
2.32
6.74
34.65
52.09
4.18
249.03
1.162
0.93
3.48
33.35
61.16
352.58
4
2.09
6.04
38.13
49.76
3.95
247.38
0.93
0.23
4.65
34.88
59.3
351.37
1
2.55
7.67
42.09
44.18
3.48
238.31
2.09
0.46
3.72
31.86
61.86
350.92
2
1.16
6.97
44.65
43.95
3.25
241.12
0.93
0
4.18
32.7
62.09
354.82
3
1.39
6.04
39.53
49.3
3.72
247.88
0.93
0.46
3.95
32.09
62.55
354.83
4 1
1.62
9.53
41.62
44.18
3.02
237.39
0.69
3.95
33.25
60.46
3.02
263.91
0.93
8.37
40.23
46.51
3.95
244.16
0.93
1.39
3.02
32.32
62.32
353.67
2
1.16
6.04
30.69
56.51
5.58
259.27
0.93
1.16
1.62
38.13
68.13
391.31
3
0.93
7.44
33.25
54.65
3.72
252.77
0.93
1.16
2.32
38.13
57.44
349.95
4
1.16
7.9
35.34
53.02
2.55
247.84
1.39
0.93
2.55
36.74
58.37
349.73
5
1.16
7.2
34.65
54.18
2.79
250.2
1.16
2.09
1.62
37.2
57.9
348.53
Sumber : Pengolahan Data Peneliti MultiDisiplin, 2010 Catatan : TR: Tidak Relevan; STB: Sangat Tidak Baik; Baik
TB:Tidak Baik;
B:Baik;
SB:Sangat
TR: Tidak Relevan; STP: Sangat Tidak Penting; TP:Tidak Penting; P: Penting; SP:Sangat Penting
Hasil perhitungan skala sikap responden terhadap tingkat kepentingan atau harapan dimensi tangible (fisik, nyata, berwujud) menunjukkan bahwa atribut nilai tertinggi terdapat pada bus bebas dari kotoran - termasuk debu, sampah, dan bau (bobot 360.00). Hal ini tergambar dari pendapat reponden : “Fasilitas tidak harus terlihat menarik, tapi harus bersih dan rapih.” Sebaliknya harapan terendah (262.09) terdapat pada atribut tempat parkir motor/mobil cukup untuk menampung kendaraan yang akan parkir. Rendahnya harapan pengguna terhadap atribut ini, disamping karena jumlah park rider yang terbatas
- hanya Terminal Taman Margasatwa
Ragunan di Jakarta Selatan, Terminal Kalideres di Jakarta Barat dan Terminal Kampung Rambutan di Jakarta Timur (okezone.com, 3/7/2009), alasan yang paling utama karena sebagian besar pengguna menggunakan kendaraan umum atau antarjemput - sebagai pengumpan menuju lokasi halte TransJakarta. Terlihat juga, dari jawaban yang tidak relevan sebesar 40,5%. Artinya sebanyak 40.5% renponden tidak memberikan jawaban karena mereka tidak menggunakan layanan park rider. Fakta ini diperkuat dengan perhitungan tingkat kinerja atau kenyataan tertinggi pada dimensi
63
tangible adalah penumpang/calon penumpang mudah untuk menuju Halte Transjakarta, baik saat menggunakan kendaraan pribadi maupun sarana transportasi umum seperti angkot/bus/ kereta/taxi (bobot 348,60); serta diperkuat perhitungan kinerja tangible terendah juga pada atribut tempat parkir motor/mobil yang cukup untuk menampung kendaraan yang akan parkir (bobot 143.02). Untuk dimensi reliablility (keandalan), menunjukkan bahwa atribut ketepatan jeda waktu keberangkatan antar bus dari yang sudah ditetapkan memperoleh nilai tertinggi untuk tingkat kepentingan atau harapan pengguna Transjakarta (bobot 354.43). Hasil survey dan analisis terhadap headway atau ketepatan jeda waktu keberangkatan dapat dibaca pada sub bab 5.7. Ternyata, atribut ini juga menempati penilaian terendah untuk tingkat kinerja atau kenyataan dari pengguna Transjakarta, yaitu sebesar 213.50. Untuk nilai harapan terendah pada atribut perjalanan Transjakarta dari terminal awal ke terminal akhir sudah tepat waktu (bobot 346.03). Untuk tingkat kinerja atau kenyataan yang tertinggi untuk dimensi reliablility ada pada atribut bus Transjakarta laik jalan dan jam buka dan tutup loket Transjakarta tepat waktu (bobot 280.45). Sementara pada dimensi pada responsiveness (cepat tanggap), menunjukkan nilai tertinggi untuk tingkat kepentingan atau harapan pengguna TransJakarta terdapat pada atribut penumpang/calon penumpang mudah dalam melaporkan kehilangan atau melaporkan menemukan barang (352,33). Sebaliknya, nilai harapan terendah pada atribut penumpang/ calon penumpang tidak memerlukan waktu yang lama untuk membeli tiket di halte Transjakarta (350.24). Untuk tingkat kinerja atau kenyataan pada dimensi responsiveness (cepat tanggap), maka nilai tertinggi pada : penumpang/calon penumpang tidak memerlukan waktu yang lama untuk membeli tiket di halte Transjakarta (271.62). Nilai kenyataan terendah ada pada atribut penumpang /calon penumpang mudah menyampaikan pengaduan atau memberikan saran (247.44) Dimensi keempat, assurance (jaminan), memperlihatkan nilai tertinggi untuk tingkat kepentingan atau harapan pengguna Transjakarta terdapat pada atribut
64
keamanan di dalam Bus Transjakarta terjamin (355.12), nilai terendah pada atribut keselamatan di sepanjang jalur busway terjamin (350.23). Sementara pada tingkat kinerja atau kenyataan dimensi assurance (jaminan), maka nilai tertinggi pada atribut : keselamatan di dalam Bus Transjakarta terjamin (bobot 247.91). Sebaliknya nilai harapan terendah sama dengan harapan pengguna, yaitu atribut keselamatan di sepanjang jalur busway terjamin (bobot 237.24). Terakhir, perhitungan skala sikap responden terhadap tingkat kepentingan atau harapan yang memperoleh nilai tertinggi pada dimensi emphaty (empati) terlihat pada atribut petugas kasir ramah dan memperhatikan penumpang/calon penumpang (353,75). Ternyata, atribut ini juga menempati penilaian tingkat kinerja atau kenyataan terendah dari pengguna Transjakarta, yaitu sebesar 244.16. Kenyataan ini diperkuat dengan wawancara dengan pengguna : “penampilan fisik bisa dibenahi yang penting pelayanan yang cepat dan ramah.” Untuk tingkat kepentingan atau harapan terendah ada pada atribut pramudi/sopir yang ramah dan memperhatikan penumpang/calon penumpang (bobot 348.62). Rendahnya nilai pada pramudi karena pramudi adalah petugas yang paling sedikit (bahkan tidak boleh) berinterkasi dengan pengguna, jika sedang menjalankan tugasnya mengendarai TransJakarta. Sementara tingkat tingkat kinerja atau kenyataan tertinggi ada pada atribut 37. Artinya, kepuasan tertinggi pada dimensi emphaty ini ada pada atribut petugas karcis ramah dan memperhatikan penumpang/calon penumpang (bobot, 259.30).
5.3.2
Analisis Tingkat Kepentingan Kinerja Transjakarta Tabel 5.11 menunjukkan hasil perhitungan IPA (Importance-Performance
Analysis) yang terdiri dari perhitungan indeks kinerja, indeks kepentingan, tingkat kesenjangan dan tingkat kesesuaian antara kinerja dengan kepentingan responden. Atau dengan kata lain, kesesuaian antara persepsi dengan harapan responden untuk masing-masing atribut-atribut pelayanan Transjakarta. Tabel 5.11 Perhitungan Tingkat Kesesuaian antara Persepsi dengan Harapan Responden (Kinerja dengan Kepentingan) Atribut-Atribut Pelayanan Transjakarta
65
Penilaian
Indeks
Kesenjangan
Tingkat
Kinerja
Kepentingan
Kinerja
Kepentingan
1
226.74
355.12
0.53
0.83
-0.30
63.85
2
224.65
352.09
0.52
0.82
-0.30
63.80
3
228.14
0.82
-0.29
64.84
4
351.86 349.53
0.53
223.14
0.52
0.81
-0.29
63.84
5
259.3
355.58
0.60
0.83
-0.22
72.92
6
246.98
360.00
0.57
0.84
-0.26
68.61
7
258.6
353.72
0.60
0.82
-0.22
73.11
8
265.58
353.02
0.62
0.82
-0.20
75.23
9
244.19
347.44
0.57
0.81
-0.24
70.28
10
259.29
350.93
0.60
0.82
-0.21
73.89
11
278.6
354.19
0.65
0.82
-0.18
78.66
12
198.74
350.47
0.46
0.82
-0.35
56.71
13
192.79
348.60
0.45
0.81
-0.36
55.30
14
348.6
351.40
0.81
0.82
-0.01
99.20
15
210.23
349.07
0.49
0.81
-0.32
60.23
16
208.14
350.00
0.48
0.81
-0.33
59.47
17
197.67
349.07
0.46
0.81
-0.35
56.63
18
143.02
262.09
0.33
0.61
-0.28
54.57
19
144.66
271.15
0.34
0.63
-0.29
53.35
20
145.15
270.70
0.34
0.63
-0.29
53.62
21
148.15
267.91
0.34
0.62
-0.28
55.30
1
213.5
354.43
0.50
0.82
-0.33
60.24
2
244.64
350.24
0.57
0.81
-0.25
69.85
3
246.25
352.07
0.57
0.82
-0.25
69.94
4
219.07
346.03
0.51
0.80
-0.30
63.31
5
280.45
351.63
0.65
0.82
-0.17
79.76
0.65
0.82
-0.17
79.76
1
280.45 263.49
351.63 351.63
0.61
0.82
-0.20
74.93
2
271.62
350.24
0.63
0.81
-0.18
77.55
3
249.67
352.33
0.58
0.82
-0.24
70.86
4
247.44
351.37
0.58
0.82
-0.24
70.42
1
238.38
350.93
0.55
0.82
-0.26
67.93
2
241.16
355.12
0.56
0.83
-0.27
67.91
3
247.91
354.88
0.58
0.83
-0.25
69.86
4
237.24
350.23
0.55
0.81
-0.26
67.74
1
244.16
353.75
0.57
0.82
-0.25
69.02
2
259.30
351.40
0.60
0.82
-0.21
73.79
3
252.79
350.00
0.59
0.81
-0.23
72.23
Reliability
Tangible
Indikator
Responsiveness
No
Assurance
Dimensi
Empathy
6
Kesesuaian
66
4
247.91
349.75
0.58
0.81
-0.24
70.88
5
250.24
348.62
0.58
0.81
-0.23
71.78
0.62
0.89
-0.27
78.77
rata-rata seluruh 40 atribut
Sumber : Pengolahan Data Peneliti MultiDisiplin, 2010
Kesenjangan tertinggi pada dimensi tangible (fisik) ada pada atribut penumpang dalam halte sesuai dengan kapasitas maksimum dan penumpang dalam bus sesuai dengan kapasitas maksimum (nilai -0,36). Tingginya kesenjangan ini menunjukkan paling buruknya pelayanan Transjakarta pada kapasitas maksimum, baik pada halte maupun bus. Sebaliknya, nilai kesenjangan terrendah terletak pada atribut : penumpang/ calon penumpang mudah untuk menuju halte Transjakarta, baik saat menggunakan kendaraan pribadi (nilai -0.01). Artinya, analisis tingkat kepentingan kinerja Transjakarta terbaik ada pada atribut ini. Hasil ini sejalan dengan hasil perhitungan service quality tingkat kinerja atau kenyataan tertinggi pada dimensi tangible (lihat : tabel 4.10 atribut 14) adalah penumpang /calon penumpang mudah untuk menuju Halte Transjakarta. Ini berarti, walaupun belum ada sistem angkutan pengumpan (feeder) yang memungkinkan masyarakat mudah mencapai halte busway (vivanews.com,23/9/2009), namun pengguna menilai bahwa atribut ini justru atribut yang memiliki nilai kinerja terbaik dari seluruh atribut pada dimensi tangible. Pada kenyataannya, analisis tentang moda yang digunakan sebelum naik bus Transjakarta menunjukkan bahwa lebih dari 50% sampai 70% menggunakan angkutan umum bertrayek (resmi) yang beroperasi secara rutin.(Lihat gambar2 grafik di sub bab 4.3). Dan ketika tiba di tujuan, lebih dari 50% pengguna Transjakarta berjalan kaki. Artinya, pengguna busway adalah mereka yang mempunyai tujuan di dalam koridor busway. Terlebih, sejumlah pihak (baca: angkutan kota) justru merasa terancam mata pencahariannya dengan pengoperasiaan feeder Transjakarta. Sebagai contoh, ribuan sopir angkutan kota (angkot) di Kota Tangerang Selatan mengancam akan mogok massal dan melakukan tindakan anarkistis bila Pemerintah Kota (Pemkot) Tangsel tetap mengoperasikan feeder Transjakarta di wilayah tersebut (Sinar Harapan, 17/5/2010). Akibat besarnya gelombang penolakan dari para sopir, rencana Pemkot
67
Tangsel untuk pengoperasial feeder itu terpaksa diundur oleh Pemkot Tangsel hingga batas waktu yang belum ditentukan. Untuk dimensi reliablility (keandalan), menunjukkan bahwa atribut ketepatan jeda waktu keberangkatan antar bus memperoleh nilai kesejangan tertinggi pada nilai tingkat kepentingan kinerja TransJakarta (nilai -0,33). Artinya, kesenjangan terbesar pada dimensi ini ada pada waktu keberangkatan bus. Sebaliknya, nilai kesenjangan terendah ada pada atribut atribut bus Transjakarta laik jalan dan jam buka dan buka tutup loket Transjakarta tepat waktu (-0.17). Hasil penelitian ini, memperkuat hasil perhitungan analisis kualitas pelayanan sebelumnya, baik perhitungan tingkat kepentingan maupun tingkat kinerja (lihat tabel 5.10 atribut 22, 26 dan 27). Dimensi responsiveness (cepat tanggap), menunjukkan nilai kesenjangan tertinggi pada atribut penumpang/calon penumpang mudah dalam melaporkan kehilangan atau melaporkan menemukan barang; serta mudah menyampaikan pengaduan atau memberikan saran (nilai -0.24). Tingginya kesenjangan ini menunjukkan paling buruknya pelayanan Tranjakarta pada atribut penumpang/calon penumpang mudah dalam melaporkan kehilangan atau melaporkan menemukan barang. Hasil ini sesuai dengan hasil survei Yayasan Layanan Konsumen Indonesia tentang pelayanan transportasi transjakarta, menunjukkan mayoritas pengguna tidak yakin bahwa saran atau keluhan mereka ditindaklanjuti secara serius oleh pengelola (Kompas.com, 24/4/2010). Sedangkan untuk nilai kesenjangan terendah, terdapat pada atribut atribut penumpang/calon penumpang tidak memerlukan waktu yang lama untuk membeli tiket di Halte Transjakarta. Artinya, penumpang tidak memerlukan waktu yang lama untuk membeli tiket di Halte Transjakarta. Sekali lagi, hasil perhitungan ini memperkuat analisis hasil perhitungan analisis kualitas pelayanan sebelumnya, baik perhitungan tingkat kepentingan maupun tingkat kinerja (lihat tabel 5.10 atribut 29 dan 30). Untuk dimensi keempat, yakni assurance (jaminan), memperlihatkan hasil perhitungan tingkat kesenjangan tertinggi pada atribut keamanan di dalam Bus Transjakarta terjamin (-0.27). Artinya, atribut keamanan di dalam Bus Transjakarta
68
menunjukkan kesenjangan kualitas pelayanan TranJakarta yang atau gap tertinggi. Sebaliknya, atribut terjaminnya keselamatan di dalam Bus Transjakarta memiliki gap terendah (nilai -0.25). Artinya, pengguna menilai bahwa keselamatan di dalam Bus Transjakarta adalah kesejangan terendah. Hasil ini memperkuat analisa kualitas pelayanan atau SERVQUAL pada tabel 5.10 bahwa atribut keamanan di dalam Bus Transjakarta dianggap paling terbaik. Terakhir, perhitungan tingkat kesenjangan untuk dimensi emphaty (empati) tertinggi kesenjangannya terlihat pada petugas kasir (nilai -0.25). Pengguna TransJakarta menilai. Petugas kasir tidak ramah dan tidak memperhatikan penumpang/calon penumpang. Sebaliknya, penilaian pengguna terhadap kesenjangan paling rendah terletak pada atribut petugas karcis ramah dan memperhatikan penumpang/calon penumpang (-0.21). Hasil ini juga semakin memperkuat analisa kualitas pelayanan atau SERVQUAL pada tabel 5.10 bahwa petugas karcis yang ramah dan memperhatikan penumpang/calon penumpang dianggap yang paling terbaik dibanding petugas lainnya, seperti petugas kasir, petugas satgas/satpam, kondektur dan pramudi/salon. Untuk tingkat kesesuaian tertinggi ada pada atribut pada dimensi tangible, yakni penumpang/calon penumpang mudah untuk menuju Halte Transjakarta, baik saat menggunakan kendaraan pribadi maupun sarana transportasi umum seperti angkot/bus/kereta/ taxi. Artinya, sebanyak 99,20%, pengguna Transjakarta puas dengan atribut ini. Sementara penilaian tingkat kesesuaian paling rendah pada semua atribut adalah pada atribut lokasi parkir aman, nyaman dan teduh sebesar 53,35%. Rendahnya tingkat kesesuaian terhadap atribut ini, disamping karena jumlah park rider yang terbatas (hanya di Ragunan dan Lebak Bulus), alasan yang paling utama karena sebagian besar pengguna menggunakan kendaraan umum atau antar-jemput sebagai pengumpan menuju lokasi halte Transjakarta.
69
5.3.3
Diagram Kartesius Pelayanan Transjakarta Dalam diagram kartesius sumbu mendatar (X) akan diisi oleh indeks kinerja
atau nilai rata-rata skor tingkat kinerja setiap indikator sedangkan sumbu vertikal (Y) akan diisi oleh indeks kepentingan atau nilai rata-rata skor tingkat kepentingan setiap indikator. Seluruh indeks kinerja dan indeks kepentingan dari 40 atribut kualitas pelayanan tersebut kemudian dituangkan kedalam suatu empat kuadran dalam diagram Kartesius (gambar 5.3). Kuadran 1 menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan Jasa Transjakarta, termasuk kategori pelayanan dianggap penting oleh
masyarakat
pengguna
layanan
namun
pelaksanaan
pelayanan
TransJakarta belum atau tidak memuaskan bagi masyarakat pengguna pelayanan, sehingga menjadi prioritas utama untuk perbaikan. Indikator atau atribut yang termasuk dalam kuadran ini adalah: atribut 37, yakni Petugas karcis (harus) ramah.
Sumber : Pengolahan Data Peneliti MultiDisiplin, 2010 Gambar 5.3. Diagram Kartesius Pelayanan Transjakarta
70
Untuk kuadran 2 ,menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan jasa TransJakarta, termasuk kategori pelayanan dianggap penting oleh masyarakat pengguna layanan dan pelaksanaan pelayanan TransJakarta sudah sangat memuaskan sehingga keberadaanya perlu dipertahankan. Dalam hal ini, belum ada indikator yang berada dalam kuadran 2, hal ini menunjukkan bahwa kualitas pelayanan jasa Transjakarta belum ada yang benar-benar memuaskan bagi penggunanya. Sementara
pada
kuadran
3
menunjukkan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kualitas pelayanan jasa TransJakarta, termasuk kategori pelayanan dianggap kurang penting bagi pengguna layanan dan pelaksanaan pelayanan TransJakarta dinilai biasa atau bahkan kurang memuaskan bagi masyarakat pengguna, sehingga belum atau tidak menjadi prioritas untuk perbaikan. Atribut yang termasuk dalam kuadran ini adalah (lihat tabel 5.9), yakni : atribut 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 39, dan 40. Terakhir, kuadran 4 menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan jasa TransJakarta, termasuk kategori pelayanan dianggap tidak atau kurang penting bagi pengguna namun pelaksanaan pelayanan dilakukan dengan sangat baik oleh Manajemen/ BLU TransJakarta sehingga memuaskan masyarakat pengguna pelayanan. Atribut-atribut dalam kuadran ini dinilai melebihi harapan masyarakat pengguna TransJakarta, sehingga terkesan seolah-olah atribut ini tidak terlalu penting diperhatikan. Atribut yang termasuk dalam kuadran ini adalah penerangan di bus sesuai standar (atribut 11), penumpang mudah menuju halte (atribut 14), lantai jembatan/ skywalk bersih (atribut 15), tidak terdapat kerusakan pada skywalk (atribut 17), bus laik jalan (atribut 26), jam buka/ tutup loket tepat waktu (atribut 27), penumpang mudah mendapatkan informasi (atribut 28) dan atribut penumpang tidak memerlukan waktu yang lama untuk membeli tiket (atribut 290).
71
5.3.4
Tingkat Prioritas Kualitas Layanan menurut Presepsi Pengguna Trans Jakarta Pada penilaian akhir, responden memberikan nilai kepada setiap dimensi berdasarkan tingkat prioritas kualitas pelayanan berdasarkan presepsi pengguna Trans Jakarta. Berdasarkan penilaian tingkat prioritas kualitas pelayanan yang diberikan reponden, tergambar pada tabel 5.12. di bawah ini. Tabel 5.12 Rata-Rata Penilaian Tingkat Prioritas Kualitas Layanan Berdasarkan Presepsi Pengguna TransJakarta
Rangking
Dimensi
Nilai
Rata-rata (%)
1
Empathy
10538
24,5 %
2
Realibility
8793
20,44 %
3
Assurance
8253
19,19 %
4
Responsiveness
7523
17,51 %
5
Tangible
7414
17,24 %
Sumber : Pengolahan Data Peneliti Multidisiplin, 2010 Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata pengguna TransJakarta memberikan tingkat prioritas kualitas pelayanan tertinggi pada dimnensi emphaty (empati) - adalah yakni mengukur sikap, perhatian dan kepedulian penyedia pelayanan kepada penerima jasa/masyarakat pelanggan, yaitu sebesar 24,5%. Hasil ini memperkuat hasil pengukuran tingkat kesesuaian yang merupakan rasio perbandingan antara tingkat kinerja (percieved service) dengan tingkat kepentingan (expected service) (lihat tabel 5.11), yaitu prosentase tertinggi tingkat kesesuaian terdapat pada emphaty (empati), yaitu sebesar 87,54%. Sebaliknya, penilaian tingkat prioritas kualitas pelayanan terendah terdapat pada dimensi tangible (nyata, wujud) - mengukur kualitas sarana fisik yang dimiliki TransJakarta dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, yaitu 17,24%. Hasil ini memperkuat hasil pengukuran tingkat kesesuaian
72
(expected service) (lihat tabel 5.11), yaitu prosentase tingkat kesesuaian paling rendah terdapat pada tangible (nyata, wujud) sebesar 63,47%. Kenyataan ini semakin menunjukkan bahwa ternyata pengguna TransJakarta memberikan penilaian paling rendah pada dimensi tangible (nyata, wujud). Atau dengan kata lain, dimensi tangible (nyata, wujud) yang ‘dinilai’ memiliki prioritas paling rendah dibanding dimensi lain. 5.4
Dimensi Keselamatan: Risiko dan Perbedaan Rasa Aman dalam Individu Risiko-risiko dalam memilih dan menggunakan kendaraan itu merasuk
kedalam keyakinan terhadap sistem bertransportasi, sehingga menimbulkan rasa aman, selamat, dan juga nyaman. Fakta bahwa setiap orang tidak memilih risiko. Kebanyakan orang tidak mau menghabiskan banyak waktunya untuk mencapai suatu tempat dengan kendaraa umum. Dalam level sadar, mereka pengguna angkutan umum mengkhawatirkan berbagai resiko besar yang muncul, seperti kecopetan, penodongan, kepanasan, sesak nafas, dan ketidaknyamanan secara mental dan psikologis.
5.4.1
Hasil Data Kecelakaan
Gambar 5.4 Grafik data kecelakaan di jalur Buswai periode 2004-2009
Sumber : Data sekunder BLU Transjakarta, 2009
73
Dari gambar di atas, terlihat bahwa tahun 2009 merupakan tahun terbanyak jumlah kasus kecelakaan pada Busway. Berikut rinciannya berdasarkan bulan: Tabel 5.13 Data Kecelakaan Busway Berdasarkan Bulan Tahun 2009 Jumlah Kasus kejadian Meninggal dunia Luka berat Luka ringan kerugian materi
Jan
Feb
Mar
April
Mei
Juni
Juli
Agust
Sept
Okt
Nov
Des
Jumlah
20
14
16
18
19
17
22
39
23
39
39
37
303
3
2
3
2
1
1
13
2
40
46
305
1 3
1
3
1
5
2
5
12
5
1
17
12
13
14
12
10
13
27
25
56
60
Sumber : Data sekunder BLU Transjakarta, 2009
5.4.2
Hasil Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Pengguna
Bus
Transjakarta A.
Kategori Pengetahuan Tabel 5.14 Hasil Gambaran Pengetahuan Pengguna Busway-Transjakarta
Kategori
Frekuensi
%
Baik
258
59.6
Kurang
162
37.4
Total
420
97.0
Kosong
13
3.0
Total
433
100
Pengetahuan
Dari data yang diperoleh dari kuesioner dengan 10 pertanyaan dan dengan jumlah responden (dalam hal ini adalah pengguna jasa transportasi BuswayTransjakarta) seluruhnya berjumlah 433 orang maka diketahui bahwa pengguna jasa transportasi Busway-Transjakarta yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik
74
adalah sebanyak 258 orang atau sebsesar 59.6% sedangkan pengguna jasa transportasi Busway-Transjakarta yang memiliki tingkat pengetahuan yang kurang adalah sebanyak 162 orang atau sebsesar 37.4%. Pengetahuan yang dimiliki oleh pengguna jasa transportasi BuswayTransjakarta dalam keselamatan transportasi yaitu berdasarkan hasil tahu mereka mengenai tindakan yang aman yang dapat dilakukan ketika bertransportasi.. Proses hasil tahu mengenai keselamatan bertransportasi dapat berasal dari informasi yang telah diberikan melalui media masa, eleltronik dan dapat juga berasal dari pengalaman pengguna jasa transportasi Busway-Transjakarta itu sendiri di dalam mengalami kejadian kecelakaan transportasi. Dari hasil jawaban kuesioner yang diperoleh, pengguna jasa transportasi Busway-Transjakarta sudah mengerti dan memahami mengenai tindakan-tindakan yang selamat ketika akan bertransportasi, seperti akan selalu berhati-hati ketika akan naik transjakarta, mengerti dengan benar apa yang mesti dilakukan ketika terjadi keadaan darurat di dalam Transjakarta, dan memahami dengan benar kelengkapan keselamatan di dalam bus transjakarta. B.
Kategori Sikap Tabel 5.15 Hasil Gambaran Sikap Pengguna Busway-Transjakarta
Kategori Sikap
Frekuensi
%
Baik
266
61.4
Kurang
151
34.9
Total
417
96.3
Missing system
16
3.7
Total
433
100
Dari data yang diperoleh dari kuesioner dengan 10 pertanyaan dan dengan jumlah responden (dalam hal ini adalah pengguna jasa transportasi BuswayTransjakarta) seluruhnya berjumlah 433 orang maka diketahui bahwa pengguna jasa
75
transportasi Busway-Transjakarta yang tergolong memiliki sikap yang baik adalah sebanyak 266 orang atau sebsesar 61.4% sedangkan pengguna jasa transportasi Busway-Transjakarta yang memiliki sikap yang kurang adalah sebanyak 151 orang atau sebesar 34.9%. Menurut Newcomb salah seorang psikologis sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak. Sikap bukan merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sedangkan menurut Robbins, Stephen P (1996) sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan mengenai sesuatu. Sikap yang benar yang dapat dilakukan ketika bertransportasi menggunakan Busway-Transjakarta adalah dengan selalu bersikap hati-hati ketika akan menaiki Busway-Transjakarta. Sikap yang aman yang dilakukan oleh para pengguna jasa tersebut akan menghasilkan suatu perilaku yang aman pula. Sikap seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berkaitan dengan pribadi orang itu sendiri. Faktor internal yang mempengaruhi sikap pengguna jasa Transjakarta meliputi antara lain: kebutuhan (need), pengetahuan, motivasi, dan juga persepsi. Faktor eksternal yang mempengaruhi sikap pengguna jasa Transjakarta merupakan faktor yang berasal dari luar diri seseorang atau dari lingkungan. Faktor eksternal yang mempengaruhi sikap pengguna jasa Transjakarta antara lain seperti orang lain (kawan), lingkungan, organisasi, masyarakat, peraturan. Pengetahuan yang baik mengenai keselamatan bertransportasi yang dimiliki oleh pengguna jasa Transjakarta turut serta mempengaruhi sikap yang terdapat pada pengguna jasa transportasi yang sudah tergolong baik. Hal ini dikarenakan termotivasinya para pengguna jasa transportasi Transjakarta akan pemenuhan kebutuhan akan rasa aman dan bebas dari bahaya. Sehingga sikap mereka cenderung untuk perduli/ bersikap selamat. C.
Kategori Perilaku Tabel 5.16 Hasil Gambaran Perilaku Pengguna Busway-Transjakarta
76
Kategori Perilaku
Frekuensi
%
Baik
287
66.3
Kurang
131
30.3
Total
418
96.5
Missing system
15
3.5
Total
433
100
Dari data yang diperoleh dari kuesioner dengan 10 pertanyaan dan dengan jumlah responden (dalam hal ini adalah pengguna jasa transportasi BuswayTransjakarta) seluruhnya berjumlah 433 orang maka diketahui bahwa pengguna jasa transportasi Busway-Transjakarta yang tergolong memiliki perilaku yang baik adalah sebanyak 287 orang atau sebsesar 66.3% sedangkan pengguna jasa transportasi Busway-Transjakarta yang memiliki perilaku yang kurang adalah sebanyak 131 orang atau sebesar 30.3%. Sama juga halnya dengan sikap, perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Berdasarkan uraian pembahasan sebelumnya mengenai sikap sudah terlihat bahwa pengguna memiliki sikap yang baik, sikap tersebut mereka wujudkan dengan berperilaku yang baik pula. D.
Gambaran Implementasi Keselamatan Bertransportasi di Tingkat Operator dan BLU Setelah dilakukan wawancara yang mendalam terhadap pramudi busway-
Transjakarta, dan wawancara mendalam tersebut berisikan hal-hal mengenai kerjasama, kompetensi dan pelatihan, tipe manajemen, perubahan manajemen, kebijaksanaan perusahaan tentang keselamatan dan kesehatan kerja. Wawancara tersebut dilakukan terhadap 15 pramudi busway-Transjakarta yang dilakukan di beberapa koridor busway maka akan tergambarkan bagaimana implementasi keselamatan bertransportasi di tingkat operator/pramudi dan BLU.
77
Sebagai
wujud
implementasi
keselamatan
bertransportasi
di
tingkat
operator/pramudi berupa dilaksanakannya briefing setiap hari setiap akan mulai beroperasi. Pramudi selalu diingatkan untuk selalu mengecek kendaraan yang akan digunakan, seperti mengecek pintu-pintu agar tetap berfungsi dengan baik, mengecek ban kendaraan , dan mengecek alat komunikasi jarak jauh (radio HT) agar selalu berfungsi. Pihak manajemen menargetkan 8 jam kerja dan 5 ritase dalam sehari yang wajib dipenuhi oleh tiap-tiap pramudi. Para pramudi selalu mendapat pengarahan mengenai keselamatan dan informasi melalui HT berupa himbauan untuk jaga jarak, untuk tidak mengebut, dan selalu mematuhi peraturan lalu lintas. Berdasarkan teori Bird and Loftus yang menjelaskan bahwa kunci kejadian kecelakaan masih tetap sama seperti yang dikatakan oleh Heinrich, yaitu adanya unsafe act dan unsafe condition. Unsafe condition dapat terjadi akibat kurang memadainya perencanaan maupun pemeliharaan infrastruktur. Bird dan Loftus tidak lagi melihat kesalahan terjadi pada manusia/pekerja semata, tetapi dia lebih menyorot bagaimana manajemen lebih mengambil peran dalam melakukan pengendalian agar tidak terjadi kecelakaan. Pihak manajemen busway dalam mengambil peran untuk melakukan pencegahan dan pengendalian agar tidak terjadi kecelakaan telah melakukan hal-hal seperti partisipasi aktif pimpinan dalam mengikuti setiap pertemuan dan acara-acara yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja, pemberian briefing mengenai masalah K3, melakukan inspeksi keselamatan secara berkala, serta mengikutsertakan pekerja di dalam setiap masalah/ hal yang berhubungan dengan K3. Salah satu bentuk inspeksi yang biasa diterapkan di salah satu operator busway (PT X) antara lain berupa selalu memonitor penggunaan radio operasional (HT) pada setiap busway yang akan di operasionalkan dan inspeksi tersebut dilakukan sendiri oleh manajer yang bersangkutan. Apabila radio operasional yang digunakan oleh pramudi tidak nyala atau bahkan tidak dinyalakan maka oleh pihak manajemen akan memberikan perintah kepada pramudi tersebut untuk memberhentikan busway dan segera menyalakan radio operasional tersebut. Namun hal tersebut tidak dilakukan
78
oleh semua pihak Operator. Masih terdapat operator (PT.Y) yang sama sekali tidak pernah melakukan inspeksi keselamatan secara berkala. Pemberian kompetensi dan pelatihan bertujuan untuk memberikan lesson learning kepada seluruh karyawan busway agar pekerja mampu mengatasi masalah keselamatan dan kesehatan kerja. Pihak manajemen menjamin kemampuan semua karyawan dalam hal keselamatan dan kesehatan kerja. Kemampuan pramudi akan keselamatan dan kesehatan kerja didapat dari pelatihan-pelatihan yang telah diselanggarakan pihak manajemen dan pelatihan-pelatihan tersebut mendukung pekerjaan mereka. Bentuk pelatihan yang sudah dijalankan oleh beberapa Operator busway antara lain berupa pelatihan pemadam kebakaran bila terjadi di kebakaran di kantor, dan bila terjadi kebakaran di kendaraan. Serta pelatihan cara mengendarai kendaraan secara selamat (safety driving). Manajemen operator cukup terbuka terhadap masukan dari karyawannya mengenai hal-hal yang menyangkut masalah keselamatan dan kesehatan kerja namun masukan tersebut hanya sebatas ditampung saja tidak ada tidak lanjut dari masukan tersebut. Ini merupakan kelemahan yang terdapat di manajemen busway. Banyaknya kasus kecelakaan yang pernah terjadi tidak pernah dilakukan investigasi kecelakaan lebih mendalam dan pihak manajemen tidak melakukan tindakan pengendaliaan terhadap setiap kejadian yang ada tersebut. Perubahan manajemen di dalam manajemen tranportasi busway ini membawa ke arah yang lebih baik, dan pekerja pun dapat segera beradaptasi dengan perubahan tersebut. Perubahan yang dilakukan oleh pihak manajemen merupakan perubahan yang efisien. Sebagai bentuk perwujudan komitmen dan kebijakan pihak perusahaan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja adalah melakukan pemberian asuransi kecelakaan serta asuransi kesehatan bagi pekerja, serta pemberian pelatihan-pelatihan mengenai keselamatan kerja dan keselamatan bertrasnportasi di jalan raya.
79
5.5
Dimensi Infrastruktur Busway dan Transjakarta Pada umumnya
material yang digunakan pada setiap halte Transjakarta
umumnya sama yakni terdiri dari bahan-bahan praktis (aluminium, kaca, seng, besi dan sejenisnya) yang dirangkai bersama, namun luasannya (daya tampung penumpang) berbeda tergantung lokasi masing-masing halte. Hasil survey prasarana lainnya yaitu Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) dan Skywalk (JPO yang menghubungkan halte pada koridor yang berbeda) dapat dilihat pada Tabel 4.17. Pada Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) ada dua macam jenis tangga yang digunakan, yaitu ada yang berundak dan yang berupa ramp. Ramp adalah suatu bidang miring yang menghubungkan dua ketinggian yang berbeda dengan sudut kemiringan tertentu (lebih landai dari kemiringan tangga). Pada dasarnya, ramp dibuat untuk kemudahan akses bagi kaum difabel. Jika memang diperuntukan bagi kaum difabel maka kemiringan ramp tersebut harus disesuaikan karena masih terlalu terjal. Misalnya ada seseorang yang menggunakan kursi roda dan hendak naik bus Transjakarta. Ketika mendaki ramp, ternyata kemiringannya terlalu besar, sehingga kursi roda tersebut tidak dapat mendaki. Jika calon pengguna bus tersebut sendirian, dan tidak ada yang menolongnya, maka ramp yang seharusnya mempermudah akses justru menjadi penghalang akses. Ramp tidak hanya disediakan bagi para kaum difabel tetapi untuk semua orang yang pengguna fasilitas busway. Survey ini juga mengukur kemiringan Ramp. Material yang digunakan pada prasarana JPO busway yakni pada penutup atap terbuat dari bahan polycarbonate. Rangka kuda-kuda terbuat dari pipa besi dengan finishing galvanis (pada beberapa tempat ada yang finishing cat putih), sedangkan lantainya terbuat dari plat baja, dan beberapa dari beton. Kondisi JPO umumnya masih cukup baik dan memadai tetapi ada beberapa kerusakan seperti lampu pada JPO sebagian tidak ada lampunya dan penutup pada lampu lepas. Lapisan plat baja ada beberapa yang terlepas/ terkelupas karena baut-bautnya banyak yang lepas. Dan contoh lain terdapat pada JPO Jelambar pada lantainya ada genangan air dan banyak sampah. Beberapa foto hasil survey dapat dilihat sebagai berikut:
80
Gambar 5.5. Kondisi JPO Jelambar yang kotor
Gambar 5.6. Penutup lampu yang lepas
Waktu perjalanan orang menuju halte menurut Standar Pelayanan Minimum adalah lebih kecil dari 5 menit. Waktu perjalanan melalui JPO dengan kecepatan biasa (floating- sesuai dengan irama perjalanan pengguna lainnya), paling lama 2 menit 44 detik di JPO Dukuh Atas, paling cepat di JPO halte Rumah Sakit Harapan Bunda , koridor 7 yaitu 1 menit 15 detik. Waktu perjalanan orang di Skywalk dengan metoda survey yang sama, paling lama di Skywalk Dukuh Atas yang menghubungkan koridor 1 dengan koridor 6, yaitu selama 4 menit 6 detik. Dengan demikian tingkat pelayanan prasarana yang ada saat ini masih memenuhi Standar Pelayanan Minimum.
81
Gambar 5.7. Kondisi JPO di R.S Harapan Bunda
Gambar 5.8. Kondisi JPO di Kedoya Green Garden
82
Tabel 5.17 Hasil Survey Prasarana JPO
1
1
3
3
(Blok M – Kota)
(Blok M – Kota)
(Kalideres – Pasar Baru)
(Kalideres – Pasar Baru)
KORIDOR
4
5
(Pulo Gadung –
Ancol- Kamp.
Dukuh Atas)
Melayu)
Universitas Negeri
Halte
Dukuh Atas
Sarinah
Halte Jelambar
Harmoni
JPO
Dukuh Atas
Sarinah
Jelambar
Harmoni
Jenis tangga JPO
Ramp
Berundak
Berundak dan Ramp
Berundak dan Ramp
Ramp
Tangga
Kelandaian Maksimum tangga
12%
28.35%
22.27%
16.90%
30%
20.51%
Lebar landasan, tangga dan
1.5 m, 1.5 m dan
1.5 m, 1,5 m dan 2
jalur berjalan
2m
m
1.5 m, 3 m dan 3 m
1.5 m, 1 m dan 2 m
1,5 m
1,25 m , 3 m
Kerusakan pada jembatan
Tidak ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Tidak ada
Lampu JPO
Lantai (Jalur Berjalan)
Jalur Berjalan
Penutup lampu
Sebagian tidak ada
Ada genangan air dan
Lapisan Terlepas /
Banyak yang hampir
lampunya
banyak sampah
terkelupas
lepas
Lokasi Pengamatan
Bagian Jembatan Jenis kerusakan Kerusakan
Jakarta
Matraman 1
Paku-paku di lantai
Jenis kerusakan
Jembatan ke Halte
Universitas Negeri
Matraman 1
Lantai
Bagian Jembatan
Travel Time dari awal
Jakarta
banyak yang hilang 2 menit 44 detik
2 menit
2 menit 17 detik
2 menit
1 menit 43 detik
1 menit 50 detik
83
KORIDOR
6
7
7
8
(Ragunan –
(Kp. Melayu –
(Kamp.Rambutan-
(Lebak Bulus –
Kuningan)
Kp. Rambutan)
Kamp.melayu)
Kalideres)
Halte Kuningan Lokasi
Cililitan
8 (Harmoni – Kalideres)
RS. Harapan Bunda
Permata Hijau
Kedoya Green Garden
Halte
Timur
JPO
Kuningan Timur
Cililitan
RS. Harapan Bunda
Permata Hijau
Kedoya Green Garden
Jenis tangga JPO
Berundak dan Ramp
Ramp
Tangga
Ramp
Ramp
Kelandaian Maksimum tangga
40.45%
26%
40%
31.45%
60%
Pengamatan
1.5 m, 1.5 m dan 3
Lebar landasan, tangga dan jalur berjalan
1.5 m, 2 m dan 2 m
1,5m -2 m
1m
m
1.5 m, 1 m dan 2 m
Kerusakan pada jembatan
Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
2 menit
1 menit 15 detik
2 menit 23 detik
2 menit
Kerusakan
Bagian Jembatan
Atap
Jenis kerusakan
Terlepas/ Tebuka
Travel Time dari awal Jembatan ke Halte
1 menit 40 detik
84
Tabel 5.18 Hasil survey Prasarana Skywalk KORIDOR
1
5
5
Lokasi Pengamatan
Dukuh Atas
Senen
Matraman
Jenis Sky Walk
Tangga dan Ramp
Tangga dan Ramp
Tangga dan Ramp
1,25 m dan 3 m
1 m, 1,5 m, dan 3 m
2,5 m
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
4 menit 6 detik
3 menit 15 detik
2 menit 10 detik
Lebar landasan, tangga dan jalur berjalan Kerusakan pada jembatan Waktu Jalan sepanjang Sky Walk
Sumber: Hasil Survey Riset Multidisiplin UI, 2010
Untuk fasilitas pendukung dan perlengkapan yang ada pada halte antara lain tempat duduk, informasi peta rute Transjakarta, penunjuk arah, Tabung pemadam kebakaran, lampu penerangan dan exhaust fan, kamera CCTV, Rolling Door, jam digital dan juga terdapat LCD TV, advertising, softdrink stall yang ada hanya pada halte-halte tertentu seperti halte Blok M, Sarinah, Juanda, UNJ, Dukuh Atas 2, Matraman 1, dan Central Senen. Jumlah serta keberadaan fasilitas dan perlengkapanperlengkapan tersebut tidak sama untuk setiap halte. Kerusakan-kerusakan pada fasilitas dan perlengkapan tersebut juga ada antara lain jam digital pada halte Blok M rusak, pada lantai haltenya terdapat lubang-lubang kecil, dan pembatas antrian tidak berfungsi (patah). Di halte Kuningan Timur pintu masuk haltenya rusak. Pada Halte Sarinah tidak terdapat tabung pemadam kebakaran, dan pada langit-langit beberapa plafond yang tidak terpasang. Beberapa materi langit-langit yang tidak terpasang juga terdapat di halte Juanda ditambah lagi ada kaca yang hampir pecah. Pada halte Senen satu buah tabung pemadam kebakaran dan kamera CCTV rusak. Keberadaan lampu penerangan pun tidak berfungsi semuanya seperti pada halte UNJ, dari 23 buah lampu yang ada 16 buah lampu tidak menyala. Di halte R.S Harapan Bunda dari 36 buah lampu 16 diantaranya juga tidak menyala. Pada halte Kuningan Timur pembatas pintu masuk tidak berfungsi. Pada halte Cililitan yakni rolling door macet (agak macet ketika dibuka dan ditutup) dan kotak saran tidak ada penutupnya.
85
Beberapa foto dibawah ini menunjukkan kondisi prasarana busway di Jakarta.
Gambar 5.9. Kondisi plafond yang tidak terpasang di halte Sarinah
Gambar 5.10. Kondisi kaca yang hampir pecah di halte Juanda
86
Gambar 5.11. Pintu masuk halte yang rusak di halte Kuningan TImur
Selain fasilitas fasilitas yang terdapat pada halte, bagian yang tidak kalah penting dan menyangkut keselamatan penumpang adalah jarak (celah) antara lantai bus Transjakarta dengan lantai pintu masuk/keluar halte. Sesuai dengan standar pada draft SPM (Standar Pelayanan Minimum), deviasi jarak celah antara pintu bus dan halte pada saat menaikan/menurunkan penumpang secara lateral harus lebih kecil dari 15 cm, secara vertikal harus lebih kecil dari 5 cm dan jarak longitudinal harus lebih kecil dari 10 cm. Jarak atau gap ini juga dipengaruhi oleh kemampuan pramudi ( pengemudi Transjakarta) dalam mengemudikan/menghentikan busdi halte.. Setelah dilakukan survei, kondisi di lapangan jarak dari pintu halte ke pintu bus Transjakarta juga bervariasi untuk tiap jarak antara lantai bus dan tiap lantai pintu halte. Untuk jarak lateral (celah antara pintu halte dan bus) 56,58% hasil survai pada halte tertentu yakni masing-masing koridor (koridor 1-8) disurvai dua halte, mempunyai jarak yang cukup (sekitar 5-10 cm), 32,89% menunjukkan jarak yang jauh (sekitar 10-15 cm), sedangkan 10,53% menunjukkan jarak yang membahayakan (>15 cm). Sedangkan untuk jarak vertikal (beda tinggi antara lantai halte dan lantai bus Transjakarta) sekitar 93,75% mempunyai jarak yang cukup (<5 cm), jarak yang jauh 0 % dan jarak yang bahaya 6,25 %.
87
Gambar 5.12 Gambaran Statistik Hasil Survey
Walaupun hasil pengukuran menunjukkan jarak/ gap yang cukup, tetapi untuk keselamatan penumpang, seharusnya tidak ada jarak/gap yang membahayakan. Pelatihan kepada Pramudi (Safety Riding) harus terus menerus dilakukan agar kemampuan mengendalikan bus ketika berhenti di halte menjadi sempurna. Beberapa gambar/foto hasil survey lapangan dapat dilihat sebagai berikut:
Gambar 5.13. Jarak celah antara pintu dan halte Trans-Jakarta di Halte RS. Harapan Bunda
88
Gambar 5.14. Jarak celah antara pintu dan halte Trans-Jakarta di Halte Senen
Gambar 5.15. Jarak celah antara pintu dan halte Trans-Jakarta di Halte Senen
89
5.6
Analisis Waktu Tempuh Perjalanan (Travel Time) Transjakarta
Survey waktu tempuh perjalanan dilakukan di koridor 1 sampai dengan koridor 8 ditambah dengan rute tambahan seperti Pulo Gadung – Ragunan, Pulo Gadung – Kalideres, Cililitan PGC – Senen Sentral, Cililitan PGC – Ancol. Pelaksanaan survei travel time dilakukan pada hari kerja dan dua shift yakni shift pagi pada pukul 06.00-10.00 dan shift sore pada pukul 16.00-20.00 dengan mencatat waktu delay (hambatan) dan travel time. Waktu tempuh perjalanan termasuk Running Time, waktu untuk menaikkan dan menurunkan penumpang (boarding and alighting) serta waktu terjadinya hambatan karena kodisi perjalanan. Running Time digunakan juga untuk mengetahui kecepatan rata-rata bus Transjakarta, dimana kehandalan pelayanan tercapai jika kecepatan perjalanan tertinggi adalah 30 km/jam, dan terendah adalah 18 km/jam.
Gambar 5.16 Skema Travel Time
Gambar grafik hasil survey waktu tempuh perjalanan untuk semua koridor dapat dilihat pada Lampiran 3
90
Tabel 5.19 Waktu Tempuh Perjalanan (Running Time) rata-rata observasi pada jam sibuk pagi dan observasi pada jam sibuk sore
Waktu Tempuh Perjalanan Koridor 1- Running Time (jam) Trip 1 Trip 2 Trip 3 Trip 4 Trip 5 sibuk pagi sibuk sore
Blok M - Kota Kota- Blok M Blok M - Kota
Kota- Blok M
0.52 0.47 0.44 0.40
0.42 0.57 0.43 0.39
0.53 0.34 0.45 0.49
0.38 0.50 0.50 0.38
0.41
Rata-rata 0.45 0.47 0.45 0.41
0.46 0.43
Rata-rata waktu sibuk
0.45
Tabel 5.20 Waktu Tempuh Perjalanan Total rata-rata observasi pada jam sibuk pagi dan observasi pada jam sibuk sore Waktu Tempuh Perjalanan Koridor 1- Total (jam) sibuk pagi sibuk sore
Blok M - Kota Kota- Blok M Blok M - Kota Kota- Blok M
Trip 1
Trip 2
0.63 0.69 0.74 0.72
0.68 0.66 0.91 0.67
Trip 3
Trip 4
Trip 5
Rata-rata
0.66 0.65 0.63 0.65 0.87 0.83 0.76 0.84 0.74 0.81 0.86 0.77 0.75 Rata-rata total waktu sibuk
0.71 0.78 0.74
Koridor 1 adalah koridor steril tanpa gangguan lalu-lintas moda kendaraan lainnya, namun dengan panjang koridor 12,9 km, maka kecepatan kendaraan pada Running time tanpa memperhitungkan waktu terhambat dan waktu untuk menaikkan dan menurunkan penumpang adalah 28,81 km/jam. Namun kualitas pelayanan dapat dinyatakan dengan fungsi supply, diantaranya waktu perjalanan total. Maka kecepatan Transjakarta di koridor 1 dihitung sebesar 17,31 km/jam, masih dibawah kecepatan minimal untuk kehandalan pelayanan bus Transjakarta. Tetapi untuk dimensi keandalan, pengguna bus Transjakarta lebih memilih atribut ketepatan jeda waktu pemberangkatan bus (headway) dari pada kecepatan perjalanan. Gambar grafik hasil survey waktu tempuh perjalanan serta analisis koridor lainnya dapat dilihat pada Lampiran.
91
5.7
Analisis dan Pembahasan Tentang Headway Sarana Bus Transjakarta Pada pengukuran kualitas pelayanan untuk dimensi reliablility (keandalan),
menunjukkan bahwa atribut ketepatan jeda waktu keberangkatan atau headway antar bus dari yang sudah ditetapkan memperoleh nilai tertinggi untuk tingkat kepentingan atau harapan pengguna Transjakarta. Headway yang sesuai dengan harapan pengelola dan operator Transjakarta dapat menentukan kapasitas operasi setiap rit perjalanan. Headway menjadi salah satu indicator Standar Pelayanan Minimum terhadap Transjakarta, yaitu : Penetapan Headway di halte ujung pada saat peak < 5 menit dan off peak < 10 menit, sedangka deviasi Deviasi terhadap headway rencana diukur dengan standar deviasi (dalam %) realisasi headway adalah 50% pada jam sibuk dan 40% pada jam lengang untuk target pencapaian tahun 2010. Ditargetkan pada tahun pelayanan 2013, deviasi ini berkurang menjadi 20% pada jam sibuk serta 10% pada jam lengang. Pengukuran headway dilakukan pada jam sibuk (06.00-10.00) dan jam lengang (10.00-14.00) pada halte tertentu untuk kedua arah, disemua koridor busway.Ringkasan hasil survey dapat dilihat pada Tabel 4.21 sedangkan data lengkap dapat dilihat pada lampiran 4
Headway rata-rata dari data seluruh koridor 1 s/d 8 hanya 2 menit 42 detik, masih memenuhi standar pelayanan minimum yang ditetapkan. Headway rata-rata terbaik terbukti terjadi di Koridor 1 Blok M - Kota, yaitu < 2 menit dan maksimum headway 12 menit terjadi pada waktu lengang. Tetapi headway maksimum selama 38 menit terjadi di koridor 8 rute Harmoni Lebak Bulus pada jam sibuk pagi. Dengan demikian headway yang terlalu lama, dengan deviasi > 50% , jauh diatas Standar Pelayanan Minimum pada jam sibuk. Koridor sepanjang 26 km ini jelas sekali mengalami kekurangan bus.
92
Tabel 5.21 Hasil Survey Headway Waktu Survey 06.00-10.00 10.00-14.00
1
06.00-10.00 10.00-14.00
2
06.00-10.00 10.00-14.00
3
06.00-10.00 10.00-14.00
4
06.00-10.00 10.00-14.00
5
06.00-10.00 10.00-14.00
6
06.00-10.00 10.00-14.00
7
06.00-10.00 10.00-14.00
Rata-Rata Headway
Max. Headway
Blok M - Kota
0:01:30
0:08:41
Kota - Blok M
0:01:26
0:07:11
Blok M - Kota
0:01:39
0:10:40
Kota - Blok M
0:01:44
0:12:09
Pulo Gadung - Harmoni
0:01:43
0:07:12
Harmoni - Pulo Gadung
0:01:42
0:08:28
Pulo Gadung - Harmoni
0:01:29
0:09:45
Harmoni - Pulo Gadung
0:01:55
0:09:27
Kali Deres - Pasar Baru
0:01:53
0:06:43
Pasar Baru - Kali Deres
0:02:18
0:12:26
Kali Deres - Pasar Baru
0:02:33
0:08:18
Pasar Baru - Kali Deres
0:02:10
0:13:28
Pulo Gadung - Dukuh Atas 2
0:02:45
0:08:00
Dukuh Atas 2 - Pulo Gadung
0:03:01
0:20:00
Pulo Gadung - Dukuh Atas 2
0:03:51
0:17:18
Dukuh Atas 2 - Pulo Gadung
0:03:24
0:14:16
Kp. Melayu - Ancol
0:01:43
0:12:25
Ancol - Kp. Melayu
0:01:46
0:08:50
Kp. Melayu - Ancol
0:02:30
0:16:06
Ancol - Kp. Melayu
0:02:30
0:12:32
Ragunan - Dukuh Atas 2
0:02:26
0:15:15
Dukuh Atas 2 - Ragunan
0:02:42
0:16:33
Ragunan - Dukuh Atas 2
0:03:09
0:13:07
Dukuh Atas 2 - Ragunan
0:03:09
0:15:59
Kp. Rambutan - Kp. Melayu
0:01:50
0:09:14
Kp. Melayu - Kp. Rambutan
0:02:08
0:13:35
Kp. Rambutan - Kp. Melayu
0:02:31
0:10:42
Kp. Melayu - Kp. Rambutan
0:02:05
0:07:28
Lebak Bulus - Harmoni
0:06:51
0:23:59
Harmoni - Lebak Bulus
0:05:11
0:38:00
Lebak Bulus - Harmoni
0:04:30
0:22:57
Harmoni - Lebak Bulus
0:06:08
0:34:02
Rata-rata seluruh koridor
0:02:42
KORIDOR
8
Maximum dari maximum seluruh koridor
0:38:00
Rata-rata jam 06.00-10.00 (jam sibuk pagi)
0:02:33
Rata-rata jam 10.00-14.00 (jam lengang)
0:02:50
Maximum pada jam sibuk pagi
0:38:00
Maximum pada jam lengang
0:34:02
93
6
6.1
KESIMPULAN
Kesimpulan
1. Transjakarta sebagai tulang punggung sistem angkutan umum massal kota Jakarta sebelum angkutan massal lain beroperasi. Kehadiran bus Transjakarta dapat diinterpretasi sebagai fenomena perubahan social yang direncanakan dalam kerangka untuk membangun nilai-nilai keteraturan bertransportasi masyarakat/budaya baru bertransportasi. Layanan bus Transjakarta memuat nilai-nilai yang mengikat semua penggunanya dan juga non penngguna. Jalur khusus (busway) yang tidak boleh digunakan oleh angkutan lain, dan pengguna yang dituntut untuk menggunakan bus sesuai dengan aturan yang ada. 2. Keseluruhuan nilai-nilai baru bertransportasi yang ada dalam Transjakarta memberi arah tentang tata cara bertransportasi yang memberikan kenyamanan, kemudahan, kecepatan, keselamatan. Nilai-nilai itu juga berfungsi menjadi acuan masyarakat untuk menggunakan bus tersebut. Nilai-nilai itu bersifat mengikat dan menjadi tata cara atau kaidah baru masyarakat dalam bertransportasi, sehingga siapapun yang akan menggunakan bus transjakarta diwajibkan untuk mematuhi semua nilai itu tanpa kecuali. 3. Nilai-nilai baru dalam bertransportasi jika dipraktekkan secara terus menerus dapat menjadi budaya dan ideologi dalam bertransportasi. Masyarakat akan meyakini dan mempraktikan nilai-nilai itu dalam kesehariannya. Sehingga hal ini dapat memberikan manfaat positif pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. 4. Kehadiran bus Transjakarta merupakan salah satu cara mengatasi kesenjangan vertikal dalam transportasi. Masyarakat tidak dapat selalu melayani dan atau memecahkan persoalan atas kebutuhan transportasi secara individual. Karena hal ini dapat memperlebar kesejangan vertikal dalam transportasi. Artinya kehadiran bus Transjakarta dapat mengurangi terjadinya eksklusi sosial dan inklusi sosial dalam transportasi. Sebagai komoditas kolektif, transportasi umum
94
cepat bus Transjakarta membutuhkan kesungguhan dari pemerintah dan semua stakeholders yang terlibat untuk bersinergu membangun bus Transjakarta. 5. Kebutuhan transportasi cepat masalah yang diwujudkan kedalam bus Trasjakarta dapat membangun budaya baru bertransportasi di masyarakat. Hal ini bisa dipastikan dapat mengurangi budaya ketergantungan pada kendaraan pribadi. 6. Hasil perhitungan kualitas pelayanan menurut presepsi pengguna Transjakarta menunjukkan bahwa tidak seluruh pelayanan Transjakarta gagal. Berdasarkan hasil perhitungan tingkat kualitas pelayanan dengan tingkat kesesuaian pada semua dimensi antara kualitas pelayanan publik Transjakarta yang diharapkan dengan kualitas pelayanan publik Transjakarta yang diterima oleh masyarakat pengguna pelayanan sebagai end user, saling menguatkan. Perhitungan ini memiliki kesamaan pada nilai terendah dan tertinggi, baik pada hasil perhitungan tingkat prioritas kualitas pelayanan, hasil kualitas pelayanan dengan penilaian tingkat kesenjangan indeks kinerja dan indeks kepentingan maupun penilaian tingkat kesesuaian antara kualitas pelayanan publik dengan menggunakan Importance-Performance analysis/IPA. 7. Tingkat prioritas kualitas pelayanan tertinggi terdapat pada dimensi emphaty (empati), dan sebaliknya, penilaian tingkat prioritas kualitas pelayanan terendah terdapat pada dimensi tangible (nyata, wujud). Artinya, pengguna TransJakarta memberikan prioritas penilaian kualitas pelayanan paling tinggi pada dimensi emphaty (empati), dan paling rendah pada dimensi tangible (nyata, wujud). 8. Hasil kesenjangan tertinggi pada dimensi tangible (fisik), yaitu: atribut penumpang dalam halte sesuai dengan kapasitas maksimum dan penumpang dalam bus sesuai dengan kapasitas maksimum (nilai -0,36). Tingginya kesenjangan ini menunjukkan paling buruknya pelayanan Tranjakarta pada kapasitas maksimum, baik pada halte maupun bus. Sebaliknya, nilai kesenjangan terendah terletak pada atribut: penumpang/ calon penumpang mudah untuk menuju halte Transjakarta, baik saat menggunakan kendaraan pribadi maupun sarana transportasi umum lainnya (nilai 0.01). Artinya,
95
pengguna Transjakarta menilai kesenjangan terendah mereka pada atribut kemudahan untuk menuju halte Transjakarta 9. Trend angka kecelakaan pada Transjakarta dari tahun ke tahun
cenderung
meningkat. Kecelakaan yang terjadi pada busway tersebut mengakibatkan kerugian materi yang begitu banyak, kerusakan properti serta banyaknya korban jiwa baik itu yang mengalami luka-luka maupun yang meninggal dunia. Berdasarkan uraian pembahasan di atas mengenai gambaran pengguna Transjakarta dilihat dari tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku nya sudah dapat dikategorikan baik. 10. Pihak manajemen bus Transjakarta dalam mengambil peran untuk melakukan pencegahan dan pengendalian agar tidak terjadi kecelakaan telah melakukan hal-hal seperti partisipasi aktif pimpinan dalam mengikuti setiap pertemuan dan acara-acara yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja, pemberian briefing mengenai masalah K3, melakukan inspeksi keselamatan secara berkala, serta mengikutsertakan pekerja di dalam setiap masalah/ hal yang berhubungan dengan K3. Sebagai bentuk perwujudan komitmen dan kebijakan pihak perusahaan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja adalah melakukan pemberian asuransi kecelakaan serta asuransi kesehatan bagi pekerja, serta pemberian pelatihan-pelatihan mengenai keselamatan kerja dan keselamatan bertrasnportasi di jalan raya. 11. Tingkat pelayanan prasarana bus Transjakarta yang dinyatakan dalam kondisi infrastruktur halte, Jembatan Penyeberangan Orang dan Skywalk, masih perlu diperhatikan dalam hal pemeliharaan, walaupun pada beberapa kondisi masih baik. Tetapi waktu perjalanan orang menuju halte bus Transjakarta masih memadai sehingga kondisi infrastruktur tidak menjadi kendala bagi pengguna bus Transjakarta. 12. Waktu tunggu pengguna busway yang dinyatakan dalam jeda kedatangan bus, atau headway pada koridor 8 masih jauh diatas Standar Pelayanan Minimum, walaupun untuk koridor 1 yang terbaik, headway rata-rata maupun maksimum masih dapat diterima.
96
6.2
Rekomendasi Riset ini merumuskan beberapa rekomendasi praktis dan kebijakan yang
bermanfaat bagi keerlanjutan pembangunan bus Transjakarta. 1. Untuk keberlanjutan pembangunan bus Transjakarta, seyogianya pemerintah tidak melepaskan perspektif pembangunan sistem transportasi berkelanjutan. Karena bus Transjakarta berpotensi untuk menjadi angkutan yang dapat berkembang menjadi gaya hidup masyarakat urban. Gaya hidup masyarakat urban dipahami sebagai keseluruhan selera, kepercayaan dan praktik sistematis menjadi ciri suatu kelompok masyarakat tertentu. Tidak relevan lagi untuk mempertanyakan kembali untuk siapa sebenarnya bus Transjakarta? Transjakarta adalah untuk semua, karena bus Transjakarta memenuhi ciri keyakinan masyarakat tentang nilai-nilai kenyamanan, keamanan, keselamatan dan keterjangkauan, dan nilai-nilai ini semuanya terkait dengan selera dan budaya masyarakat urban. 2. Pengaruh Transjakarta - sebagai inisiatif kebijakan publik - terhadap terhadap standar hidup DKI Jakarta, terutama berkurangnya kemacetan lalu lintas dan dampak kesehatan kualitas udara? Apakah berpengaruh sigifikan seperti di Bogota Colombia setelah dilaksanakannya program TransMilenio - sebagai benchmark TransJakarta? (Cardenas dan Gomez-Lobo, 2005). Mengingat pertimbangan ini adalah pertimbangan utama dari pelaksanaan program Transjakarta. 3. Penilaian kinerja BLU Transjakarta dengan menggunakan pengukuran kinerja organisasional Service Quality dan Importance-Performance Analysis. Dengan menggunakan konsep yang saat ini banyak digunakan baik di organisasi privat maupun publik ini, maka peneliti kelak dapat melihat berbagai aspek dari kinerja BLU TransJakarta. Artinya, selain mengetengahkan pengukuran kinerja nonfinancial, maka BSC ini juga dapat mengukur kinerja keuangan– dimana hal ini menjadi sorotan tajam dalam pengolaan BLU TransJakarta. Khusus berkaitan dengan masalah keuangan, Niven (2003) menjelaskan bahwa dalam organisasi publik dan non-profit, tujuan ukuran kinerja keuangan berbeda. Mengingat kedua organisasi tidak berorientasi pada laba, maka penekanannya akan lebih mengacu
97
pada bagaimana dana digunakan secara efisien dan efektif, atau seberapa jauh pemborosan dapat ditekan, dan seberapa jauh kemampuan pendanaan organisasi secara berkelanjutan ke depan. 4. Pengaruh political will Gubernur DKI Jakarta sekarang terhadap keberlangsungan TransJakarta dan kualitas pelayanan TransJakarta. Karena berdasarkan hasil penelitian 2005, menunjukkan adanya pengaruh kepemimpinan Sutiyoso, sebagai Gubernur DKI Jakarta terhadap keberhasilan implementasi program Transjakarta. Bell menjelaskan bahwa people leadership menjadi sangat efektif jika terjadi bauran yang tepat antara organizational leadership dan operational leadership pada setiap tingkat kepemimpinan organisasi (Bell, 2006). 5. Menyusun SOP yang komprehensif yang mencakup segala aspek keselamatan 6. Menciptakan kondisi komunikasi yang baik antara pemimpin dengan seluruh karyawan dalam setiap permasalahan yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja. 7. Melakukan investigasi dan pendokumentasian secara baik dan benar sehingga ditemukannya faktor penyebab kecelakaan, yang nantinya bisa dijadikan acuan bagi manajemen untuk mencegah terjadinya kecelakaan Bagi Operator 1. Mengadakan Safety Induction setiap hari sebelum beroperasi bagi pramudi. 2. Memberikan kompetensi dan pelatihan kepada karyawan yang bertujuan untuk memberikan lesson learning karyawan mampu mengatasi masalah keselamatan dan kesehatan kerja. 3. Mengingatkan dan memberi pengarahan kepada pramudi untuk mengecek kendaraan yang akan digunakan, seperti mengecek pintu-pintu agar tetap berfungsi dengan baik, mengecek ban kendaraan, dan mengecek alat komunikasi jarak jauh (radio HT) agar selalu berfungsi. Bagi Pramudi 1. Berpartisipasi dalam pelatihan mengenai keselamatan dan Kesehatan Kerja.
98
2. Selalu mengaplikasikan keselamatan dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan SOP dan peraturan yang berlaku yang berlaku Bagi Penumpang 1. Bersikap aman dan hati-hati sesuai dengan peraturan Keselamatan dalam menggunakana jasa bus Transjakarta
99
DAFTAR PUSTAKA Afrial, Rozy J. 2008, Kualitas Pelayanan Publik Kecamatan Setelah Perubahan Kedudukan dan Fungsi Camat Sebagai Perangkat Daerah (Studi Perbandingan Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung dan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor), Tesis Program Pasca Sarjana Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia, Belum Dipublikasikan, Jakarta Agere, Sam, 2000, Promoting Good Governance, Principles, Practices and Perspectives. Management and Training Services Division. Commowealth Secretariat, London, United Kingdom Albrecht, and Ron Zemke. 1990. Service America! Doing Business in the New Economy, Homewood, Illinois: Dow Jones-Erwin Albrecht, Karl. 1985. Service within: Solving the Middle management Leadership Crisis, Homewood, IL: Dow Jones-Irwin. --------- and Ron Zemke. 1990. Service America! Doing Business in the New Economy, Homewood, Illinois: Dow Jones-Erwin --------,
and P. Plasterik, 1996. Banishing Bureaucracy, the Five Strategy Reinventing Government: Persus Books Publishing.
Bahill, A.T. and Gissing B. 1998. Re-evaluating systems engineering concepts using systems thinking, IEEE Transactions on Systems, Man and Cybernetics, Part C: Applications and Reviews, Volume 28, Number 4, pp. 516-527, November Bell, Antony, 2006, Great Leadership What it is and What it Takes in a Complex World, Davies-Black Publishing. Bird and Germain, 1990, Practical Loss Control Leadership, International Loss Control Institute, Georgia, USA Black, Alan. (1995) Urban Mass Transportation Planning, New York, McGraw-Hill Book,Co. Brady, Michael K and J. Joseph Cronin Jr. 2001. Some New Though on Conceptualizing Perceived Service Quality: A Hierarchical Approach. Journal of Marketing, Vol. 65, No. 3 July Boer Enne de. (ed.). (1986). Transport Sociology: Social Aspects of Transport Planning, Oxford, Pergamon Press.
100
Bolade, Tunji A. tanpa tahun, ‘Managing and Finacing Urban Mass Transportation Systems in Nigeria’, dalam Urban Transport in Developing Countries: Lesson in Innovation, Margaret Heraty (ed.), A Compilation of major papers selected from PTRC’s Summer Annual Meetings 1985-1990, Perspective 1, hal. 62. Camp, Robert C. 1989. The Search For Industry Best Practices That Lead To Superior Performance. Oregon USA : American Society for Quality Control Press Cardenas S., Mauricio and Gomez-Lobo, Andres., 2005, The Economics of Transmilenio a mass Transit System of Bogota, Economía - Volume 5, Number 2, Spring 2005, 189-194, The John Hopkins University Press, Baltimore, Maryland Dant, Tim. (1999) (Menchester Metropolitan University), dan Peter J. Martin (Universty of Manchester), By Car: Carrying Modern Society, paper, Manchester Metropolitan University, England. Departemen Pekerjaan Umum (1999), Pedoman Perencanaan Jalur Pejalan Kaki pada Jalan Umum, No. 032/T/BM/1999. Denzin, Norman K and Yvonna S.(editor). 2005. Handbook of Qualitative Research. California : Sage Publication, Inc Ditjen Perhubungan Darat, 1998, Petunjuk Teknis Sistem Transportasi Perkotaan Dwiyanto, Agus, dkk. 2005. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Fiegenbaum, A. and Thomas H. 1986. Dynamic and Risk Measurement Perspectives of Bowman's Risk-Return Paradox, Strategic Management Journal, Vol. 7, No. 5, Sep-Oct 1986, p. 395-409, 1986 Fitriati, Rachma, 2009. Quo Vadis Keberlangsungan Program Bus TransJakarta. Jurnal Forum Ilmiah Indonusa, Vol 6 No. 2 Mei, h.108-116, Jakarta : Penerbit Pusat Pengelola Jurnal Ilmiah Universitas Indonusa Esa Unggul Gilbert, Alan, 2008, Bus Rapid Transit: Is Transmilenio a Miracle Cure?, Transport Journal Reviews, Volume 28, Issue 4 July 2008, pages 439 – 467, Department of Geography, University College London, London, UK
101
Haglund, Lars, and Stalhammar, Anna, 2001, Market and Service Orientation in Public Transportation, Karlstad : Karlstad University Studies. International Energy Agency, 2002, Bus Systems for The Future, Paris:Publications Service DECD/IEA. Jiang, James J., Garry Klein L. Christopher. Carr. 2002. Measuring Information System Service Quality: SERVQUAL from the Other Side. MIS Quartely, Vol. 26, No. 2 Juni Jones, P.M. (1974). New Approaches to Understanding Travel Behavior dalam In Behavioural Travel Modeling, D. A. Henshers & P. R. Stopher (eds.), Croom Helm, London. J.G Ballard (1995), dalam makalah berjudul ‘Crash’ (1995:6) dikutip oleh John Urry dalam Automobile, Car Culture and Weightless Travel, Paper, Department of Sociology, Univ.of Lancaster, 6 January 1999. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta I, Tesis Program Pasca Sarjana Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia, Belum Dipublikasikan, Jakarta Keehley, Patricia et al., 1997, Bencmarking for Best Practices in The Public Sector, California: Jossey Bass Publishers Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 110 Tahun 2003, tentang Pembentukan Badan Pengelola TransJakarta --Busway Propinsi DKI Jakarta -------, 2009, Kualitas Pelayanan Publik Kecamatan Setelah Perubahan Kedudukan dan Fungsi Camat Sebagai Perangkat Daerah, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi : Bisnis & Birokrasi Volume 16 No. 2 Mei, Penerbit Pusat Kajian Administrasi FISIP UI Lenvine, Charless H, et al. 1990. Public Administration: Chalenges, Choice, Consequences. Illinois, Scot Foreman Litman, Tod. (2002). Social Inclusion As a Transport Planning Goal in Canada, paper contribution to the FIA Foundation G7 Comparison, Victoria Transport Policy Institute, 3 March. ___________. (2006). Mobility As A Positional Good: Implications for Transport Policy and Planning (Victoria Transport Policy Institute): A Paper presented at Auto Consequences: Automobilization and Its Social Implications, Victoria, 6 October, Vancouver, Canada.
102
Litman, Tod, and David Burwell.(2006). Issues in Sustainable Transportation, International Journal Global Environmental Issues, Vol.6, No.4, h. 331347. Lovelock, Christhoper 1994. How Product + Service = Competitive Advantage: McGRAW-HILL Book Co-Singapore Martilla, John A. and James, John C. Importance-Performance Analysis, The Journal of Marketing, Vol. 41, No. 1 (Jan., 1977), pp. 77-79 (article consists of 3 pages), Published by: American Marketing Association, Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1250495 Martinez, C.L., 2003, Evaluation Report: Tools Cluster Networking Meeting #1,CenterPoint Institute, Inc., Arizona. Mendoza, Magdalena. L,, 2000, Measuring Good Governance in Philippines. Development Academy of The Philippines. Morichi, Shigeru. (2005), Keynote Lecture at the 6th International Conference of EASTS September 21 to 24, 2005 - Bangkok, Thailand, Long Term Strategy for Transport System In Asian Megacities, Journal of the Eastern Asia Society for Transportation, Vo.6, h.1-22. Naoko Matsumoto (2006).Analysis of policy Processes to Introduce Bus Rapid Transit Systems in Asian Cities from the Perspective of Lesson-Drawing: Cases of Jakarta, Seoul, and Beijing, makalah dipresetasikan di Yogyakarta, 15 Desember 2006. Neo, Boon Siong; Chen, Geraldine, 2007, Dynamic Governance : Embedding Culture, Capabilities and Change in Singapore,Singapore :World Scientific Publising Co. Pte. Newman, Willam Lawrence, 1997. Sosial Research Methods, Qualitative and Quantitative Approach 3rd , Allyn and Bacon,USA OECD, 2002, Benchmarking Intermoda /FREIGHT TRANSPORT, Paris:Centre francais d'exploitation du droit de copie (CFC). Onnavong, Bounta dan Yasutsugu Nitta Polzin.(2005). Identifying of Transportation Mobility: Developed Country Vs Developing Country, Journal of the Eastern Asia Society for Transportation, Vo.5, h.1065-1080. Petunjuk Teknis Sistem Transportasi Perkotaan, 1998 ----------, 2010. Pengaruh Remunerasi Terhadap Kualitas Pelayanan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta I, Jurnal Ilmu Administrasi dan
103
Organisasi: Bisnis & Birokrasi Volume 17 No. 1 Januari, Penerbit Pusat Kajian Administrasi FISIP UI Prasojo, Eko, Aditya Perdana dan Nor Hiqmah, 2006. Kinerja Pelayanan Publik, Persepsi Masyarakat Terhadap Kinerja, Keterlibatan dan Partispasi Masyarakat Dalam Pelayanan Bidang Pendidikan, Kesehatan dan Kependudukan, Jakarta : YAPPIKA Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan, dan Azwar Hasan, 2004, Reformasi Birokrasi dalam Praktek Kasus di Kabupaten Jembrana, Depok: Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota FISIP UI. Ratna Yunita, 2008, Transjakarta : Putting on Lipstick While Running to Catch the Bus, Sustainable Transport, publikasi Institute for Transportation and Development Policy (ITDP). Sancoko, Bambang. 2008. Pengaruh Remunerasi Terhadap Kualitas Pelayanan Schipper, Lee (2002). Sustainable Urban Transport in the 21st Century: Chalenges for the Developing World, h. 11-41, dalam Geetam Tawari (ed.), Urban transport for Growing Cities: High Capacity Bus Systems, McMillan India. Sekaran, Uma. 2003. Research Methods for Business: A Skill Building Approach, 4th Edition, John Wiley & Sons, Inc Setiawan, Rudy. 2005. Analisa Tingkat Kepuasan Pengguna Kereta Api Komuter Surabaya – Sidoarjo, Simposium VIII FSTPT, Universitas Sriwijaya, 5-6 Desember Sinambela, Lijan P., dkk, 2006. Reformasi Pelayanan Publik : Teori, Kebijakan dan Implementasi , Jakarta : Bumi Aksara Soemantri, Gumilar Ruslliwa. (1995). Migration Within Cities, Disertation for Sociology, Universitas Bielefeld. Steven E. and Michael R. Baltes. (2002). Bus Rapid Transit: A Viable Alternative? Journal of Public Transportation, Volume 5, No. 2, ISSN 1077-291X, h. 4770. Center for Urban Transportation Research University of South Florida. Stuart, 2001, Applied Transport Economic, Police, Management and Decision Marketing, Second Edition, London : Kogan Page Limited
Sugihardjo, 2005, Evaluasi Program Busway di DKI Jakarta, Tesis Program Pasca Sarjana Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia, Belum Dipublikasikan, Jakarta 2005.
104
Supranto J. 2007. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan, Untuk Menaikkan Pangsa Pasar, Jakarta : Rineka Cipta Cetakan ke-3 Spendolini, Michael J, 1992, The Benchmarking Book, New York : Amazon Tawari, Geetam (ed.). (2002), Urban Transport for Growing Cities: High Capacity Bus Systems, India, McMillan.
Tamin, Ofyar Z 2003, Perencanaan dan Pemodelan Transportasi: contoh soal dan aplikasi, - Penerbit ITB, Bandung Thoha, Miftah, 2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Jakarta : Kencana Prenada Media Group Transjakarta Bus Rapid Transit System Technical Review, Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), Laporan Riset, Desember 2003. Tulus Abadi.(2005).“Kasus Buruknya Transportasi Publik di Indonesia,” Jurnal Wacana, INSIST, Yogyakarta, Edisi 22, h.124. Urry, John.(1999). Automobile, Car Culture and Weightless Travel, Paper, Department of Sociology, Univ.of Lancaster, 6 January. Wickham, James. 2 Juni 2004. Public Transportation and Urban Citizenship, Working Paper, The Policy Institute at Trinity College Dublin. Whicker, Maria L dan Miller, Geral J. 1998. Handbook of Research Methods in Public Administration. New York : Marcel Dekker AG. William R, Black. (2000). Social Change and Sustainable Transport: A Summary of Workshop and Conference Activities, Research Needs and Future Directions, Indiana Univ. Wright, Hook (editor) 2007, Bus Rapid Transit Planning Guide, published by Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), New York. Zeithaml, Valarie, A.; Parasuraman, A; Berry, Leonard, L, 1995, Delivering Quality Service, Balancing Customer Perceptions and Expectations, New York : The free Press, Macmillan Inc. Zhang, Junyi dan Akimasa Fujiwara (2005). Comparative Analysis of Travel Patterns in the Developimg Cities on a Hybrid Model, Journal of the Eastern Asia Society for Transportation Studies, Vol.6, h. 4333-4348.
105
Surat Kabar: “Agar Steril, Portal Busway akan Ditambah”, http://regional.kompas.com, 4/1/2010, diunduh 14 Mei 2010 “Angkot Tangsel Tolak ‘Feeder” TransJakarta, Sinar Harapan, 17/5/2010 "Busway" Butuh Mikrobus Ber-AC untuk "Feeder". http://megapolitan.kompas.com, 22 Juli 2009 diunduh 14 Mei 2010 Busway Mendekati Gagal, Kompas, 24 April 2010 Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2003, tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai dan Danau serta Penyebrangan di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Forum Dialog Konsumen Bus Transjakarta, 2010. YLKI serta Institute for Transportation Development Policy (ITDP), Jakarta Kompas, 10 April 2008. Koran Jakarta, 17 Juli 2008 “Layanan Busway di DKI Kian Buruk”, http://regional.kompas.com, 23/11/2009, diunduh 14 Mei 2010 Martilla, John A. and James, John C. Importance-Performance Analysis, The Journal of Marketing, Vol. 41, No. 1 (Jan., 1977), pp. 77-79 (article consists of 3 pages), Published by: American Marketing Association, Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1250495 Mayoritas Tak Percaya Pengelola Busway, http://megapolitan.kompas.com, 24 April 2010 diunduh 14 Mei 2010 “Park And Ride Busway akan Ditambah”, http://news.okezone.com, 3 Juli 2009 diunduh 14 Mei 2010 “Rapor Merah Bus Transjakarta”, Kompas, 17/11/2008 5 Tahun Transjakarta : Tujuan Utama Belum tercapai”, Kompas, 15/1/2009 “21,2% Pengguna Kendaraan Pribadi Beralih Ke Busway”, http://www.beritajakarta. com/2008, diunduh tanggal 20 mei 2010
25/9/09
106
Laporan Riset: Making Transit Work: Insight from Europe, Canada and the United States, Transportation Research Board, National Research Council, Special Report 257. Bus Rapid Transit and Pedestrian Improvement in Jakarta, United Nations Environment Programme (UNEP), Project Brief, June 2006. Dziekan, Katrin 2008. Ease-of-Use in Public Transportation – A User Perspective on Information and Orientation Aspects, Doctoral Thesis in Traffic and Transport Planning, Royal Institute of Technology KTH, Stockholm Sweden
107