1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna.
Mikrofauna berperan sebagai pengurai bahan-bahan anorganik
menjadi bahan-bahan organik yang banyak dimanfaatkan oleh biota-biota lain. Laevastu dan Hela (1981) menggambarkan bahwa mikrofauna sebagai awal terbentuknya mata rantai makanan bagi biota-biota laut lainnya.
Kesuburan
suatu perairan juga ditentukan oleh mikrofauna yang berada di dalam dasar perairan. Salah satu jenis makrofauna adalah ikan demersal.
Ikan demersal
mempunyai potensi yang seharusnya diperhitungkan dalam pengelolaan sumberdaya hayati laut yang berkelanjutan. Hal ini disebabkan
potensi
sumberdaya ikan demersal memberikan sumbangan terbesar ke dua setelah ikan pelagis untuk total produksi ikan di Indonesia. Selain itu ikan demersal memiliki nilai ekonomis penting, baik untuk di ekspor ke luar negeri maupun untuk konsumsi dalam negeri. Salah satu sumberdaya ikan demersal yang memiliki potensi yang cukup besar berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) III yaitu Perairan Laut Jawa dan sekitarnya, yaitu sebesar 431,20 x 103 ton/tahun namun baru 40,18 % tingkat pemanfaatnya. Menurut Boer et al (2001) sumberdaya ikan demersal di perairan ini masih memiliki peluang pengembangannya sebesar 49,82%. Penelitian mengenai ikan demersal itu sendiri telah dilakukan oleh ilmuan Jerman bekerjasama dengan ilmuan Indonesia dimulai tahun 1974 sampai 1979 (Widodo, 1980) dengan melakukan identifikasi jenis ikan yang tertangkap dan komposisinya. Setelah itu, dengan adanya pelarangan penggunaan alat tangkap trawl oleh pemerintah,
penelitian mengenai ikan demersal sempat terhenti.
Namun beberapa peneliti mencoba kembali melanjutkan penelitian tersebut, antara lain Sadhotomo (1990) melakukan penelitian mengenai Ordinasi Komunitas Ikan Demersal di Pantai Utara Jawa I, dimana terungkap bahwa ada dua populasi ikan demersal yang dibatasi oleh Tanjung Mandalika. Sumiono et al. (2002) juga telah melakukan survei trawl dengan kapal KM Mutiara IV pada bulan Juni 2000 di Perairan antara Semarang – Pekalongan dan Rembang –
2
Lasem yang menghasilkan tangkapan terbanyak adalah ikan pepetek, dengan rata-rata laju tangkapan 285 kg/jam. Penelitian-penelitian mengenai ikan demersal ini umumnya menggunakan metode swept area. Metode swept area memiliki beberapa kendala antara lain bukaan mulut jaring yang sering tidak optimal, diperlukan kapal yang berukuran besar, dan diduga menyebabkan kerusakan sumberdaya ikan, sebab alat ini memiliki selektivitas yang rendah. Melihat kendala yang dimiliki oleh metode ini maka perlu dipikirkan inovasi-inovasi baru untuk menjawab permasalahan yang ada, atau dikembangkan metode lain yang sanggup melakukan eksplorasi tanpa merusak sumberdaya ikan yang ada. Metode hidroakustik merupakan satu alternatif yang dapat dikembangkan untuk dapat memberikan informasi mengenai ikan tunggal, densitas dan keberadaan ikan. Metode ini dapat melakukan pendeteksian langsung kepada target ikan dari permukaan hingga dasar perairan.
Informasi yang diperoleh
nantinya dapat memberikan masukan baru dalam pemetaan sumberdaya ikan demersal di setiap perairan. Penggunaan teknologi hidroakustik semakin dikenal di dunia perikanan Indonesia, yaitu dengan adanya kerjasama antara Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) Jakarta bekerja sama dengan ORSTOM (Perancis) di bawah naungan Java Sea Pelagic Fisheries Assessment Project
dari tahun 1992
hingga 1997. Penelitian hidroakustik ini dilakukan di Perairan Laut Jawa namun masih terbatas dalam eksplorasi ikan pelagis. Di Indonesia sendiri klasifikasi mengenai dasar perairan masih relatif sedikit. Wyrtki (1961) telah mengklasifikasikan tipe substrat dasar di Laut Jawa, sedangkan di wilayah yang lebih luas dan perairan yang lebih dalam masih belum banyak dilakukan. Hal ini disebabkan metode yang dipergunakan masih menggunakan metode sampling yang menggunakan grab, yang memiliki kelemahan hanya dapat dipergunakan dalam wilayah yang terbatas dan dangkal dengan waktu yang lama. Dewasa ini sudah berkembang metode baru untuk mendapatkan informasi mengenai tipe dasar, sedimen dasar dan tanaman-tanaman laut dengan menggunakan echosounder dan pengolahan data secara digital. Perbedaan tipe dasar laut dapat digambarkan melalui kekasaran (roughness) dasar dan kekerasan dasar (hardness) dari batu, pasir, lumpur atau
3
campurannya. RoxAnn
TM
Beberapa program pengolahan data yang digunakan adalah
and QTC ViewTM systems.
Penelitian mengenai klasifikasi akustik dasar dari habitat laut di perairan subtropis sudah dilakukan Freitas et al. (2003) di daerah pesisir barat Portugal, dengan menggunakan program QTC View dan RoxAnn yang memberikan hasil bahwa ada tiga kelas akustik yang teridentifikasi yaitu pasir dengan campuran sedikit lumpur dan liat, pasir halus dan Lumpur dan tiga kelompok biota bentik dengan indek keragaman dan kelimpahan yang berbeda. Siwabessy (2001) juga telah melakukan penelitian untuk melihat hubungan tipe substrat dan biota bentik, bento pelagik dengan metode akustik yang dilengkapi program ECHO.
Hasil yang diperoleh adanya empat tipe
substrat yang diklasifikasikan sebagai substrat lembut halus, keras halus, keras kasar dan lembut kasar dan di temukan juga empat kelompok berdasarkan komposisinya. Alat yang dipergunakan dalam penelitian Siwabessy (2001) adalah echosounder Simrad EK-500 dengan frekuensi 12, 38, 120 KHz. Freitas et al. (2003) menggunakan frekuensi 20 dan 5000 KHz. Penggunaan alat dengan frekuensi tinggi ini karena lokasi penelitian di lokasi dangkal.
Namun
berdasarkan informasi dari SIMRAD (2006), frekeunsi 12 KHz sanggup untuk mendeteksi hingga kedalaman 11.000 m. Dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk melakukan penelitian untuk dapat mengklasifikasikan tipe substrat dasar perairan dan sumberdaya ikan demersal dengan akurasi yang tinggi, yaitu dengan metode hidroakustik dan di verifikasi dengan data hasil sapuan trawl dan pengambilan contoh dengan grab di perairan dangkal di daerah tropis, dengan menggunakan peralatan Simrad EY500 (38 KHZ), EY-60 dan EK-60 (120 KHz) serta program EP-500 dan Echo View.
Hasil penelitian ini juga menjawab apakah faktor abiotik memiliki
hubungan dengan komunitas ikan demersal di lokasi penelitian. Substrat dasar secara hidroakustik adalah substrat yang terintegrasi pada kedalaman 0,2 m dari permukaan dasar perairan. Densitas ikan demersal ini dianalisis dan dihubungkan dengan kondisi substrat dasar serta faktor oseanografi. Ikan demersal yang terdeteksi adalah ikan-ikan yang ada di kolom perairan dekat dasar dengan ketebalan lapisan air untuk integrasi 1,2 m dari permukaan dasar laut.
4
1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Menganalisis nilai hambur balik dasar perairan dari berbagai tipe substrat dan mengklasifikasinya serta menerapkan nilai tersebut untuk mengestimasi tipe substrat dasar perairan di lokasi lain.
2.
Menganalisis faktor abiotik (parameter oseanografi) dari setiap habitat ikan demersal.
3.
Menganalisis nilai target strength dan densitas ikan demersal hasil deteksi hidroakustik di setiap habitat.
4.
Menganalisis hasil tangkapan ikan demersal dengan trawl untuk mengetahui keberadaan komunitas ikan demersal di setiap habitat.
5.
Mencari hubungan antara keterkaitan faktor abiotik yaitu tipe substrat dasar
dan
parameter
oseanografi
terhadap
keberadaan
ikan
demersal.
1.3 Hipotesis (1)
Nilai hambur balik dasar perairan yang dimiliki oleh karang, pasir, dan lumpur sangat berbeda. Nilai hambur balik ini dipengaruhi oleh besarnya butiran partikel dari subtrat dasar perairan itu sendiri,
(2)
Faktor abiotik mempengaruhi keberadaan komunitas ikan demersal.
1.4 Kerangka Pemikiran Penentuan klasifikasi substrat dasar perairan dan sebaran sumberdaya ikan demersal dengan akurasi yang tinggi sangat di butuhkan dalam dunia kelautan dan perikanan. Hal ini di sebabkan substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna, dimana mikrofauna berperan sebagai pengurai bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik yang banyak dimanfaatkan oleh biota-biota lain. Salah satu jenis makrofauna yang memiliki nilai ekonomis adalah ikan demersal. Sumberdaya ikan demersal memberikan sumbangan terbesar kedua setelah ikan pelagis untuk total produksi ikan di Indonesia.
5
Namun untuk mendapatkan atau menentukan jenis subsrat dasar di suatu perairan mengalami kendala yang disebabkan metode yang selama ini dipergunakan (metode grab) belum mampu memberikan informasi mengenai pemetaan dasar secara luas dan jelas.
Selain itu penelitian mengenai
pemetaan dasar perairan belum dikaji lebih lanjut hubungannya dengan biotabiota yang ada di dalamnya. Berdasarkan permasalahan di atas, perlu dilakukan pengkajian mengenai habitat dan sumberdaya ikan demersal dengan pendekatan terpadu yaitu metode hidroakustik, dilengkapi hasil sapuan trawl, sampling grab dan parameter oseanografi. Data sapuan trawl dan grab dipergunakan sebagai verifikasi data yang diperoleh integrasi hidroakustik.
Metode hidroakustik akan memberikan
informasi mengenai nilai hambur balik substrat dasar perairan beserta target strength dan densitas ikan demersal.
Hasil sapuan trawl akan memberikan
informasi mengenai densitas dan komposisi ikan demersal, grab akan memberikan informasi mengenai tipe substrat dasar perairan, dan parameter oseanografi akan memberikan informasi mengenai penyebaran suhu, salinitas dari habitat ikan.
Semua itu nantinya akan memberikan informasi mengenai
faktor abiotik dan komunitas ikan demersal dan selanjutnya akan dicari hubungan antara faktor abiotik terhadap komunitas sumberdaya ikan demersal Gambar 1.
Tahapan yang akan dilakukan untuk menjawab permasalah di atas adalah: Tahap I. Analisis dugaan tipe substrat dasar perairan berikut sebarannya berdasarkan hasil deteksi hidroakustik. Dugaan tipe substrat dasar perairan di lokasi penelitian diperoleh dengan menggunakan nilai hambur balik dasar perairan hasil pengolahan data hidroakustik dengan program
EP-500 dan Echo
view. Data ini akan di analisis untuk mengetahui tipe-tipe substrat dasar perairan secara hidroakustik dan selanjutnya dipetakan untuk mendapatkan penyebarannya.
Tahap II. Analisis Faktor Oseanografi-grab dari dasar Perairan Tahapan ini menganalisis data oseanografi (suhu, salinitas, arus) untuk mengetahui penyebaran parameter oseanografi di wilayah studi.
6
Tahap III. Estimasi target strength dan densitas Ikan demersal Tahapan ini dilakukan dengan pengambilan data di lapangan dengan menggunakan peralatan Split Beam Acoustic System model EY-500 dan EY-60 sepanjang lintasan kapal.
Selanjutnya, data yang
diperoleh diolah dengan menggunakan program EP-500 dan BI, kemudian dilakukan analisis untuk memetakan densitas dan target strength ikan.
Tahap IV. Identifikasi kawanan ikan demersal hasil sapuan trawl Tahapan ini dilakukan pengoperasian alat tangkap trawl, kemudian hasil tangkapan dipisah-pisahkan sesuai jenisnya dan dilakukan identifikasi.
Selain itu dilakukan penimbangan untuk mengetahui
berat total setiap jenis, selanjutnya dilakukan pengambilan contoh dari setiap jenis/spesies yang ada kemudian diukur panjang dan berat dari masing-masing contoh. hidroakustik
yang
Data ini digunakan sebagai verifikasi data
diperoleh
dengan
alat
akustik
split
beam
transducer. Tahap V. Keterkaitan faktor abiotik dan komunitas ikan demersal Tahapan ini merupakan upaya untuk mencari hubungan faktor abiotik (tipe substrat dasar perairan komunitas ikan demersal.
dan parameter oseanografi) dengan
7
Penentuan tipe substrat dasar perairan dan sebaran SDI demersal dengan akurasi yang tinggi Permasalahan Utama Dasar perairan merupakan habitat bagi fauna dan flora yang keberadaannya dipengaruhi oleh tipe substrat
Data substrat dasar perairan sangat terbatas, sehingga sulit mengkaitkan tipe substrat dasar dengan keberadaan fauna bentik (khususnya SDI demersal)
Saran Pemecahan perlu dilakukan pengkajian mengenai tipe substrat dasar sebagai habitat ikan demersal dan SDI demersal
Pemecahan Masalah: Pendekatan terpadu yang melibatkan metode hidroakustik, swept area dan sampling grab
Trawl
Grab
hidroakustik
Jenis, Komposisi ikan demersal Densitas
SV, TS
SV bottom
SDI demersal
Hasil
Hubungan antara faktor abiotik terhadap komunitas SDI demersal
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Substrat dasar
CTD
Suhu, Salinitas arus
Faktor Abiotik