1
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta telah dikategorikan ke dalam status konservasi “Terancam Kepunahan” berdasarkan pada penurunan populasinya yang melebihi kisaran 80% dalam tiga generasi terakhir (IUCN 2004). Populasi dan penyebaran banteng saat ini semakin terbatas karena terdesak oleh aktivitas manusia yang jumlahnya terus meningkat, sehingga menyebabkan kerusakan dan perubahan habitat banteng. Hoogerwerf (1970) mengemukakan bahwa wilayah penyebaran banteng di Indonesia meliputi Pulau Kalimantan dan Jawa dengan populasi pada tahun 1940 sekitar 2000 ekor, yang sebagian besar terdapat dalam kawasan perlindungan di dataran rendah sebelah selatan Jawa. Populasi tersebut terus menurun dari tahun ke tahun hingga pada tahun 1978 populasi banteng yang ada di Pulau Jawa diperkirakan tidak lebih dari 1500 ekor. Alikodra (1983) mengemukakan bahwa banteng di Pulau Jawa hanya dapat ditemukan di kawasan pelestarian alam seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Suaka Margasatwa Cikamurang, Suaka Margasatwa Cikepuh, Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Cagar Alam Leuweung Sancang, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri, akan tetapi menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 58 tahun 2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng Tahun 2011-2020 saat ini daerah penyebarannya hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran. Penyebab terus menurunnya populasi dan habitat banteng disebabkan pula oleh beberapa faktor, seperti kerusakan dan konversi habitat serta adanya predator seperti ajag (Cuon alpinus) yang juga termasuk satwa terancam punah yang terjadi di Taman Nasional Alas Purwo (Pudyatmoko et al. 2007), perburuan liar di Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran (Suhadi 2009). Alikodra (1983) dan Tiuria et al. (2008) juga menduga adanya penyakit dan hibridisasi dengan sapi ternak, seperti infeksi cacing Fasciola spp dan cacing
2
Paramphistomum spp, selain itu terdapat pula adanya dugaan kompetisi ekologi dengan niche pakan badak jawa dan banteng di Taman Nasional Ujung Kulon (Muntasib et al. 2000; YMR 2002; Effendy et al. 2004). Kepunahan banteng di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang diperkirakan terjadi karena beberapa faktor, seperti rusaknya padang rumput akibat telah berubah fungsinya menjadi ladang garapan petani yang menyebabkan berkurangnya ketersediaan pakan banteng sehingga membuat kondisi populasi dan penyebarannya mengalami perubahan dan berakibat adanya perburuan liar (Mardi 1995; Subroto 1996; Jenuyanti 2002). Kondisi demikian, menyebabkan populasi banteng setiap tahunnya mengalami fluktuasi sejak tahun 1970 (100 ekor), 1980 (kurang dari 100 ekor), 1996 (12 ekor) dan tahun 2003 adalah nol. Peraturan Menteri Kehutanan No. 58 tahun 2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng Tahun 2011-2020 pada akhirnya menyatakan bahwa populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang telah punah karena tidak pernah ditemukan lagi. Kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 370/Kpts/Um/6/1978 tanggal 9 Juni 1978 tentang Penegasan Kembali Batas-Batas Cagar Alam Leuweung Sancang sebagaimana Dimaksud dalam SK Menteri Pertanian No.116/Um/59 jo. SK. Menteri Pertanian No.9470/SK/M tanggal 25 Oktober 1960 dengan luasan 2.157 ha dan pada tahun 1990 mengalami penambahan luas sebesar 1150 ha di bagian selatan sebagai cagar alam laut dengan nama Cagar Alam Laut Sancang berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 682/Kpts-II/1990 tanggal 17 Nopember 1990 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 92/Kpts-II/1990 tentang Penunjukkan Perairan Pantai di sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang yang Terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Garut, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat Seluas ± 683 ha sebagai Cagar Alam laut (BBKSDA 2007). Intensitas pengelolaan cagar alam secara umum relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan taman nasional. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengelola, kelengkapan sarana dan prasarana pengelolaan dan alokasi anggarannya. Kawasan Cagar Alam leuweung Sancang merupakan salah satu cagar alam yang memiliki keanekaragaman hayati sangat penting dan sebagai salah satu
3
keterwakilan ekosistem dataran rendah yang kaya akan jenis flora dan fauna di Pulau Jawa. Salah satu jenis yang dikelola adalah banteng yang saat ini telah dinyatakan punah. Kepunahan banteng tersebut perlu suatu kajian mengenai faktor-faktor yang menjadi penyebab kepunahannya, seperti kondisi populasi, penyebaran, habitat, kegiatan sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan dan sistem pengelolaan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang sehingga dapat merumuskan faktor- faktor penyebab kepunahan banteng tersebut. Kajian terhadap kepunahan ini sangat penting sebagai pembelajaran bagi pengelolaan populasi banteng di kawasan konservasi lainnya agar tidak mengalami hal yang sama.
1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor penyebab kepunahan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang yang dilakukan melalui kajian terhadap: 1. Perkembangan populasi, penyebaran dan habitat banteng dari waktu ke waktu. 2. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan. 3. Kondisi pengelolaan kawasan.
1.3 Manfaat Manfaat penelitian ini antara lain: 1. Memperkaya ilmu pengetahuan faktor-faktor penyebab kepunahan suatu spesies dan memperoleh suatu pembelajaran mengenai faktor-faktor penyebab kepunahan banteng sehingga dapat dikembangkan untuk konservasi banteng maupun spesies lainnya. 2. Merekomendasikan pentingnya dilakukan rehabilitasi habitat agar lebih mendukung populasi di dalam kawasan konservasinya. 3. Menjadi rujukan pengelolaan banteng dan habitatnya sehingga keberadaan populasi banteng tetap lestari.
4
1.4 Kerangka Pemikiran Soemarwoto (1997) menyatakan bahwa kepunahan spesies disebabkan oleh pertumbuhan populasi dan aktivitas manusia yang sangat tinggi sehingga menyebabkan kerusakan habitat akibat adanya eksploitasi terhadap sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Nursahid (1999) menambahkan bahwa kegiatan manusia tersebut, yaitu pertambangan, perburuan, pertanian, perumahan hingga industri. Indrawan et al. (2007) menambahkan bahwa selain kegiatan manusia tersebut juga diakibatkan adanya invasi spesies-spesies asing dan meningkatnya penyebaran penyakit serta sinergi dari faktor-faktor tersebut. Alikodra (2010) menyatakan bahwa faktor utama penyebab kepunahan adalah penyempitan dan kerusakan habitat, pemburuan tidak terkendali, dan pencemaran lingkungan. Kepunahan tersebut akan terjadi pada suatu spesies jika populasi spesies tersebut telah mengalami pengurangan jumlah yang sangat tajam dan menyebabkan kematian. Alikodra (2002) menyatakan bahwa kematian pada spesies disebabkan oleh beberapa faktor, seperti keadaan alam, kecelakaan, perkelahian, dan adanya aktivitas manusia. Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa populasi banteng di Indonesia tertekan oleh kerusakan habitat dan tidak terkontrolnya perburuan. Alikodra (1983) menyatakan bahwa penurunan populasi banteng di Taman Nasional Ujung Kulon disebabkan penurunan jumlah dan luas kawasan padang penggembalaan, adanya pemangsaan yang intensif terutama terhadap anak banteng dan angka kelahiran yang rendah dan kematian banteng yang disebabkan oleh penyakit, parasit, diburu, kaeracunan, pemangsaan dan mati karena umur tua. MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa untuk mencegah kepunahan suatu spesies yang berada di dalam cagar diperlukan suatu pengelolaan yang intensif dan dilakukan secara berkala, seperti kegiatan monitoring habitat, pengamanan kawasan, penyuluhan masyarakat dan sebagainya. Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut diperkirakan mempengaruhi terhadap keberadaan populasi banteng di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, sehingga penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis kondisi habitat, sosial ekonomi masyarakat dan pengelolaan kawasan. Hal demikian dilakukan agar dapat merumuskan
faktor-faktor
penyebab
kepunahan
banteng
yang
dapat
5
merekomendasikan pengelolaan banteng dan pengelolaan kawasan yang merupakan habitat banteng di kawasan konservasi lainnya sehingga keberadaan banteng akan tetap lestari. Kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Kepunahan Banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang
Kondisi Ekologis
- Habitat (pakan, air, pelindung/cover) - Populasi & Penyebaran - Jejak Banteng
Aktivitas Masyarakat
- Pendapatan - Persepsi (terhadap keberadaan banteng dan keberadaan kawasan) - Interaksi
Habitat Banteng
Pengelolaan Kawasan
- Kualitas Sumber Daya Manusia - Status & Tata Batas Kawasan - Kegiatan Patroli Monitoring dan Patroli
Analisis GIS, Analisis Kualitatif dan Analisis Kuantitatif
Populasi dan Penyebaran Banteng
Merumuskan Faktor Penyebab Kepunahan Banteng
Rekomendasi Pengelolaan
Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran studi kepunahan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang (Modifikasi dari Hoogerwerf 1970; Alikodra 1983, 2010; MacKinnon et al. 1990; Nursahid 1999; Soemarwoto 2004; Indrawan et al. 2007).
6