1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembangunan
merupakan
suatu
proses
yang
berkesinambungan
(sustainable development) yang dilakukan secara berencana dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah telah membuat dan melaksanakan kebijakan-kebijakan dalam bidang perencanaan pembangunan sejak masa pembangunan. Tujuan dari setiap program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah dalam rangka untuk mencapai perubahan-perubahan ke arah yang positif. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya hal tersebut merupakan fenomena yang tidak sederhana karena terjadi interaksi antara faktor alam, sosial, ekonomi dan politik. Daerah-daerah dengan sumber daya yang relatif sedikit, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya biasanya memiliki pertumbuhan ekomomi yang cenderung lebih lambat bila dibandingkan dengan daerah-daerah yang memiliki sumber daya yang kaya dan beragam. Salah satu sumber ekonomi yang diharapkan dapat menolong bangsa ini keluar dari krisis ekonomi dan menghantarkan menjadi bangsa yang maju, adil dan makmur adalah sektor kelautan dan perikanan, seperti terlihat jelas selama masa krisis antara tahun 1997 sampai dengan 1999. Fakta menunjukkan selama krisis ada tiga permasalahan mendasar, yaitu (1) kurangnya sembilan bahan pokok dipasaran, (2) menurunnya kesempatan kerja yang mengakibatkan banyaknya proses PHK dan (3) menurunnya perolehan devisa. Ketiga permasalahan besar tersebut ternyata tidak terjadi pada sektor perikanan yang dibuktikan selama masa krisis ini, sektor perikanan masih menikmati pertumbuhan positif. Hal ini menunjukkan sektor perikanan sebenarnya merupakan sektor yang dapat diandalkan oleh bangsa Indonesia. Indonesia sesungguhnya memiliki potensi sumberdaya perikanan laut besar dan beragam dikarenakan total luas laut Indonesia adalah 5,8 juta km2. Menurut Aziz et al. (1998) potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia
1
adalah sebesar 6,18 juta ton per tahun, ikan demersal 1,78 juta ton per tahun, ikan karang konsumsi 75 ribu ton, udang penaid 74 ribu ton, lobster 4,80 ribu ton dan cumi-cumi 28,25 ribu ton. Melihat potensi yang sedemikian besar dan peran yang masih dapat diandalkan pada masa-masa yang akan datang, sektor perikanan ini sudah selayaknya diperhatikan. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan, khusunya sub sektor perikanan bertujuan diantaranya untuk: meningkatkan pendapatan nelayan, meningkatkan ketahanan pangan, meningkatkan produkproduk perikanan yang berdaya saing tinggi dan meningkatkan lapangan pekerjaan. Pembangunan perikanan tangkap pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan, serta untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan serta lingkungannya. Tujuan tersebut dewasa ini diperluas cakupannya, sehingga tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan, tetapi juga untuk meningkatkan konstribusi Sub Sektor Perikanan Tangkap terhadap perekonomian nasional, utamanya guna membantu mengatasi krisis ekonomi, baik dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, penerimaan devisa melalui ekspor, maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) (Manggabarani 2005). Oleh karena itu pembangunan perikanan tangkap Indonesia dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang begitu besar seperti disebutkan diatas seharusnya dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional Indonesia, terutama terhadap tiga komponen penting pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi, perluasan lapangan kerja, dan penurunan tingkat kemiskinan. Akan tetapi hal tersebut belum dapat dibuktikan oleh sektor perikanan terutama perikanan tangkap di Indonesia. Sebagai gambaran Departemen Kelautan dan Perikanan (2004) melaporkan, bahwa berdasarkan data Lembaga SMERU dan BPS tahun 2004, dari 8.090 desa pesisir di Indonesia yang notabene nya adalah masyarakat nelayan sebanyak
3,91 juta KK (16,42 juta jiwa)
penduduknya termasuk ke dalam peduduk miskin dengan Poverty Headcount Index (PHI) sebesar 0,32.
2
Paham kesejahteraan (welfare) sejalan dengan terma keadilan (equality) seperti dijelaskan Amartya Sen (1995) terkait penting dengan mengapa keadilan merupakan poin penting dalam peningkatan kesejahteraan dan keadilan terhadap apayang dimaksud dalam peningkatan kesejahteraan ini. Dua pertanyaan ini memang berbeda tetapi sebenarnya dua hal tersebut terkait satu sama lainnnya. Sen menyatakan bahwa kritik atau evaluasi terhadap suatu ketidakadilan tidak dapat dilakukan apabila kita tidak mengetahui secara tepat tentang apa yang dimaksud dengan ketidakadilan itu. Kritik terhadap keadilan lebih menyangkut pertanyaan kedua, yaitu keadilan terhadap apa. Misalnya, apakah keadilan terhadap pendapatan (income), kekayaan (wealths), kesejahteraan (welfare), kesempatan (opportunities), kesuksesan (achievement), kebebasan (freedoms) dan atau terhadap hak-hak (rights). Pendekatan umum yang dilakukan Sen (1995) dalam mengukur kesejahteraan adalah pengukuran atas jumlah orang miskin (poverty head count) dan secara agregat mengukur proporsi jumlah orang miskin terhadap total penduduk sebagai indeks kemiskinan (poverty indexs). Orang miskin itu sendiri dirumuskan sebagai mereka yang pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan (below poverty line), yang variasi ukurannya beraneka ragam tetapi orientasi pada dua variabel utama yaitu jumlah uang yang diperoleh atau asupan kalori perhari, artinya semakin besar jumlah penduduk miskin atau indeks kemiskinan semakin tidak sejahteran daerah itu. Pendekatan Sen yang menjadikan pengukuran atas jumlah orang miskin sebagi pengukuran kesejahteraan suatu daerah memberikan fakta bahwa Kabupaten Kepulauan Seribu adalah suatu contoh daerah dimana tingkat kesejahteraan masyarakatnya masih rendah. Padahal, wilayah ini memiliki potensi dan sumber daya alam laut yang cukup besar. Pada bulan Juli Tahun 2001, Presiden Republik Indonesia menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2001 (PP No 55/2001). Peraturan tersebut, berisi keputusan mengenai Pembentukan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta. Dengan demikian, Kepulauan Seribu, yang sebelumnya menjadi salah satu kecamatan di Kota Jakarta Utara, ditingkatkan statusnya menjadi kabupaten administrasi.
3
Melalui peningkatan status itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Administrasi Kepulauan Seribu diharapkan dapat meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Begitu juga dengan pengelolaan Kepulauan Seribu dalam segala aspek, antara lain kelestarian lingkungan, konservasi sumberdaya alam, ekonomi, kesejahteraan rakyat dan sosial budaya. Fakta di lapangan menunjukkan hingga enam tahun terbentuk, Kepulauan Seribu masih dihadapkan dengan berbagai keterbatasan sarana dan ketertinggalan pembangunan. Sampai saat ini, dilihat dari sisi sosial ekonomi, kesejahteraan masyarakat Kepulauan Seribu masih sangat rendah, diindikasikan dari 4.920 kepala keluarga masih terdapat 660 keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan atau sekitar 13,5 % (Soebagio 2005). Rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi, minimnya sarana dan prasarana serta persebaran penduduk yang tidak merata menjadi kendala yang mengakibatkan semua kelurahan di Kepulauan Seribu termasuk dalam kategori desa tertinggal. Beberapa contoh terbatasnya sarana dan prasarana yang ada di wilayah Kepulauan Seribu, antara lain fasilitas kesehatan dan pendidikan. Tabel 1 dibawah tampak menggambarkan bahwa pada periode 1996-2000 fasilitas kesehatan yang terdapat di wilayah Kepulauan Seribu masih sangat sedikit. Tabel 1. Fasilitas kesehatan di wilayah kepulauan seribu tahun 1996-2000 Fasilitas Kesehatan Tahun (1) 1996 1997 1998 2000
Rumah Sakit (2) -
Rumah Bersalin (3) -
Poliklinik
BKIA
Puskesmas
Pos KB
Posyandu
(4) 1 3 -
(5) 6 4 4 4
(6) 4 4 3 4
(7) 10 10 13 4
(8) 13 10 6 22
Sumber: Kota Jakarta Utara Dalam Angka 1996-2000, BPS
Seluruh desa/kelurahan yang ada di wilayah Kepulauan Seribu termasuk dalam kategori desa tertinggal (Tabel 2). Kondisi ini terlihat dari nilai indeks komposit seluruh desa/kelurahan di Kepulauan Seribu yang masih lebih rendah bila
dibandingkan
dengan
indeks
komposit
desa/kelurahan lain yang ada di wilayah DKI Jakarta.
4
ketertinggalan
dari
desa-
Tabel 2 Indeks komposit ketertinggalan desa di wilayah kepulauan seribu Kode (1) 020 010 010 010 020 020
Kecamatan
Kode
(2) Kep. Seribu Utara Kep. Seribu Selatan Kep. Seribu Selatan Kep. Seribu Selatan Kep. Seribu Utara Kep. Seribu Utara
(3) 002 002 001 003 003 001
Indeks Komposit *) (5) 3.0526 3.1053 3.2105 3.2632 3.2632 3.3158
Desa (4) Pulau Harapan Pulau Pari Pulau Tidung Pulau Untung Jawa Pulau Kelapa Pulau Panggang
Sumber: Publikasi Identifikasi dan Penentuan Desa Tertinggal 2002, BPS. Keterangan: *) Besarnya angka indeks komposit tersebut masih berada di bawah indeks komposit desa/kelurahan lain di wilayah DKI Jakarta
Indeks ketertingalan desa/kelurahan untuk desa/kelurahan kepulauan Seribu sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan desa/kelurahan lain yang ada di wilayah DKI Jakarta (Tabel 3). Tabel 3. Indeks komposit ketertinggalan kelurahan di wilayah DKI Kode (1) 010 030 020 050 010
Kecamatan
Kode
(2) Jagakarsa ( Selatan ) Cipayung ( Timur ) Menteng ( Pusat ) Tambora ( Barat ) Penjaringan ( Utara )
(3) 003 005 003 010 001
Indeks Komposit *) (5) 3.8947 3.7895 3.8421 3.8421 3.7895
Desa/kelurahan (4) Ciganjur Setu Cikini Roa Malaka Kamal Muara
Sumber: Publikasi Identifikasi dan Penentuan Desa Tertinggal 2002, BPS. Keterangan: *) Besarnya angka indeks komposit terendah beberapa kelurahan yang berada di wilayah DKI Jakarta
Pada Tabel 4 dibawah ini digambarkan jumlah rumah tangga miskin dan anggota rumah tangga miskin yang mengalami kenaikan pada tahun 2008. Tabel 4 Perkembangan jumlah RT dan ART miskin kepulauan seribu Tahun NO
Kecamatan
(1) 1 2
(2) Kep.Seribu Selatan Kep Seribu Utara Total
2004
Peningkatan (%) 2005
RT mis
ART mis
RT mis
ART mis
RT mis
ART mis
(3) 185 267 452
(4) 761 1.099 1.860
(5) 386 656 1.042
(6) 1.462 2.373 3.835
(7) 108.65 145.69 130.53
(8) 92.12 115.92 106.18
Sumber : BPS (2007)
5
Seluruh rumah tangga miskin yang berada di wilayah Kabupaten Adm. Kepulauan Seribu mengalami peningkatan yang sangat signifikan jika dibandingkan antara tahun 2006 dan tahun 2007, yaitu meningkat sebesar 123,89 persen (Tabel 4). Sementara itu, apabila ditinjau per kecamatan dapat digambarkan bahwa pada tahun 2007 jumlah rumah tangga miskin yang terdapat di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara mengalami peningkatan, masing-masing sebesar 96,55 persen dan 142,41 persen jika dibandingkan dengan jumlah rumah tangga miskin yang terdapat di kedua kecamatan tersebut pada tahun 2006. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa hingga tahun 2007 jumlah rumah tangga miskin yang ada di Kabupaten Kepulauan Seribu semakin banyak. Tabel 5 Perbandingan jumlah dan persentase penduduk miskin
Kab/Kota (1) Kab. Adm. Kepulauan Seribu Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Timur Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Barat Kota Jakarta Utara Prop. DKI Jakarta Sumber ; BPS (2007)
Jumlah Penduduk Miskin (000)
Persentase Penduduk Miskin
2005 (2) 3.40 64.00 71.20 28.50 57.40 91.70
2006 (3) 3.20 76.30 85.10 43.60 89.50 109.40
2005 (4) 14.64 3.36 2.85 3.17 2.84 6.48
2006 (5) 16.64 3.74 3.55 4.92 4.22 7.58
316.20
407.10
3.61
4.57
Begitu pula apabila ditinjau dari segi penduduknya, menurut konsep kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan bahwa yang termasuk dalam
kategori
penduduk
miskin
adalah
penduduk
yang
memiliki
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar. Meskipun dari segi jumlah penduduk miskin yang berada di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2007 sedikit mengalami penurunan, akan tetapi bila dibandingkan dengan wilayah DKI Jakarta secara keseluruhan persentase penduduk miskin yang ada di wilayah tersebut mengalami peningkatan
6
sebesar 2,00 persen hingga mencapai angka 16,23 persen dari seluruh jumlah penduduk miskin yang ada di DKI Jakarta (Tabel 5). Angka kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu jauh diatas kota-kota lain yang ada di wilayah DKI Jakarta. Angka kemiskinan tersebut merupakan angka yang tertinggi di wilayah DKI Jakarta. Hal ini disebabkan antara lain karena tingkat kesejahteraan mereka yang semakin menurun. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 6 di bawah ini yang menggambarkan tahapan keluarga sejaktera di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2006. Tabel 6. Tahapan keluarga sejahtera Propinsi DKI Jakarta tahun 2006 Kab/Kota
PS
%
KS-1
%
KS-2
%
KS-3
%
KS-3+
%
Jlh
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
205
0.06
52.293
15.9
92.234
28.2
133.314
40.7
49.570
15.1
327.616
8.757
1.9
103.086
22.7
156.289
34.5
147.860
32.6
37.331
8.2
453.323
Jakarta Pusat
127
0.07
54.974
31.6
58.286
32.4
48.194
27.7
14.403
8.3
173.984
Jakarta Barat
1.208
0.4
71.006
21.4
115.462
34.7
108.093
32.5
36.554
11.0
332.323
Jakata Utara
11.825
4.2
54.153
19.4
100.003
35.9
87.929
31.6
24.616
8.8
278.526
Kep. Seribu
797
15.3
1.524
29.3
2.270
43.6
556
10.7
65
1.3
5.212
Jakarta Selatan Jakarta Timur
Sumber : BPS (2007)
Selain dengan pendekatan rumah tangga dan penduduk, untuk melihat kondisi kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Seribu dapat dilakukan dengan
menggunakan
pendekatan
jumlah
keluarga.
Menurut
BKKBN,
berdasarkan pendekatan keluarga tersebut terdapat beberapa tahapan keluarga sejahtera, yaitu keluarga pra sejahtera (miskin), keluarga sejahtera 1 (KS-1), keluarga sejahtera 2 (KS-2), keluarga sejahtera 3 (KS-3), dan keluarga sejahtera 3 plus (KS-3+). Tabel 6 di atas dapat tampak bahwa berdasarkan tahapan keluarga sejahtera pada tahun 2008 terdapat 782 keluarga miskin (pra sejahtera) di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu, yaitu mencakup sekitar 15,1 persen dari jumlah seluruh keluarga yang terdapat di wilayah tersebut. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan daerah lain di wilayah DKI Jakarta yang rata-rata di bawah 5 %.
7
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu dapat dikatakan cukup tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya yang tepat dalam rangka untuk menanggulangi kemiskinan di wilayah tersebut. Apabila ditinjau dari segi potensinya, dapat diketahui bahwa Kepulauan Seribu memiliki potensi wilayah yang cukup besar untuk dapat dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan masyarakatnya. Dengan luas wilayah kurang lebih hampir 11 kali luas daratan Jakarta, yaitu luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan Kepulauan Seribu mencapai 6.997,50 km2, kondisi ini merupakan salah satu potensi yang menguntungkan bagi daerah tersebut yang dapat digunakan sebagai modal pembangunan daerah setempat apabila mampu dimanfaatkan dengan optimal. Akan tetapi, pada kenyataannya sampai saat ini masyarakat Kepulauan Seribu belum semaju yang dibayangkan bila dibandingkan dengan masyarakat yang ada di wilayah DKI Jakarta lainnya, sehingga hal ini menimbulkan adanya dugaan bahwa sumber daya yang dimiliki belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Kondisi ini mengharuskan pemerintah daerah untuk cermat dalam merumuskan dan menetapkan setiap kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan sektor perikanan tangkap di Kepulauan Seribu. Kebijakan pemerintah dibidang perikanan tangkap yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah misalnya, bisa berakibat kontra produktif terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan bila tidak dirumuskan dengan pertimbangan dan analisa yang komprehensif terhadap potensi, kebutuhan dan karakteristik sosial ekonomi. Fenomena kemiskinan nelayan tersebut juga dikemukanan oleh Fauzi (2005), bahwa sebagian besar nelayan Indonesia, yaitu pelaku perikanan tangkap berskala kecil (perikanan pantai) masih tergolong masyarakat miskin dengan pendapatan kurang dari US$ 10 per kapita per bulan. Apabila dikaitkan dengan Tujuan Pembangunan Milineum atau Millenium Development Goals (MDGs) pendapatan sebesar US$ 10 per kapita per bulan sudah termasuk ke dalam extreme poverty, karena lebih kecil dari US$ 1 per hari. Kondisi seperti demikian menggambarkan bahwa potensi sumberdaya kelautan dan perikanan belum dapat
8
dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, sehingga belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan. Kemiskinan, ternyata juga telah menyebabkan rendahnya kapasitas masyarakat pesisir khususnya nelayan. Rendahnya kapasitas masyarakat nelayan, dapat dilihat dari kegiatan ekonomi yang mereka lakukan.
Usaha nelayan
biasanya bersifat individual, tradisional, dan biasanya hanya terpaku pada kegiatan penangkapan ikan saja, yaitu berupa
ikan segar hasil tangkapan.
Sedangkan kegiatan pasca-panen yang dapat menghasilkan nilai tambah justru dilakukan oleh pedagang dan pengolah ikan yang mengambil alih tugas-tugas peningkatan nilai tambah melalui perubahan bentuk produk (proses pengolahan), perubahan waktu penjualan (proses penyimpanan), dan perubahan tempat penjualan (proses transportasi). Akibatnya porsi nilai tambah yang didapatkan oleh nelayan relatif kecil. Dalam rangka mengatasi permasalahan-permasalahan tadi, sebenarnya pemerintah telah banyak melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan mengentaskan kemiskinan. Berbagai kebijakan pembangunan yang telah dilaksanakan diduga belum mampu menjadi pembangkit kinerja pembangunan perikanan tangkap yang berada di wilayah Kepulauan Seribu. Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka penelitian mengenai kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan dan kaitannya dengan variabelvariabel yang mempengaruhinya penting untuk dilakukan. Penelitian ini berjudul “Analisis Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu”.
1.2 Perumusan Masalah Amartya Sen (1999), saat menerima hadiah nobel di Stockholm tanggal 8 Desember 1998, mengatakan “a camel is a horse designed by a committe”. Sen mengatakan onta (camel) tentu bukanlah kuda (horses), tetapi para pengembil keputusan dalam suatu negara yang ingin mendesain “kuda” akhirnya tidak dapat mengelak kemungkinan hasilnya menjadi “onta” dikarenakan harus mengayomi
9
berbagai perbedaan kepentingan dalam praktek kenegaraan. Sen mengatakan bahwa perumusan suatu pilihan sosial kemasyarakatan (social atau public choice) seperti tujuan suatu negara, daerah atau komunitas dapat menjadi sangat abstrak dikarenakan banyaknya kepentingan dalam pembuatan suatu kebijakan. Seringkali rumusan suatu kebijakan menjadi tidak berarti (negative definition) atau gagal pada saat diimplementasikan. Hal ini mencerminkan kegagalan para perumus kebijakan ketika membuat suatu kebijakan. Kesulitan merumuskan suatu pilihan atau tujuan suatu kebijakan dijelaskan oleh Kennneth Arrow (1950;1951) dalam teori kemustahilannya (impossibility theorem). Dalam pandangan Arrow, rasionalitas, konsistensi dan kebenaran tidak menjadi penting dalam suatu pilihan suatu kebijakan, tetapi kekuasaan lebih menjadi faktor yang paling dominan. Arrow menjelaskan dengan prinsip majority rule yaitu suatu pilihan atas suatu keputusan akan tetap disebut “benar” bila didukung suara mayoritas. Oleh karena itu faktor politik sangat berpengaruh dalam pembuatan suatu kebijakan. Rawls (1971) mendefinisikan kesejahteraan terkait dengan pemerataan pendapatan (equitable distribution of income). Menurut Rawls suatu ketidak adilan (inequality) atau mungkin lebih tepat disebut kesenjangan pendapatan (income gap) dapat dibenarkan sepanjang mereka yang paling miskin (the most poor people) dalam suatu masyarakat tetap memperoleh suatu jaminan sosial. Karena itu baginya kesejahteraan lebih diukur dari sejauh mana kebijakan yang dibuat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu dibuat. Justifikasi penelitian ini secara praktek bertujuan menganalisis kebijakan yang dibuat pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan yang bertujuan meningkatkan kemandirian masyarakat pesisir melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penguatan modal dan penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat pesisir. Justifikasi penelitian secara konseptual berdasarkan konsep teori kesejahteraan menurut Gunawan (2007) yaitu upaya penanggulangan kemiskinan yang merupakan prioritas yang perlu diterapkan dalam setiap pelaksanaan program pembangunan. Kebijakan khusus berhubungan dengan peningkatan
10
kesejahteraan merupakan bagian integral pembangunan nasional yang seharusnya mempunyai arah pembangunan yang jelas. Arah tersebut ditindaklanjuti melalui strategi peningkatan kesejahteraan dan dijabarkan melalui kebijakan peningkatan kesejahteraan sebagai berikut : (1) modal usaha dan kewirausahaan, (2) pemberdayaan sumberdaya manusia, (3) prasarana, sarana dan sistem informasi, serta (4) penguatan kelembagaan. Walaupun banyak variabel yang dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat,
kebijakan
pembangunan
perikanan
tangkap
dalam
rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan dalam penelitian dibatasi dan diasumsikan dipengaruhi oleh tiga faktor utama sesuai dengan konsep kebijakan dari Departamen Kelautan dan Perikanan serta beberapa konsep secara teoritis , yaitu 1) penguatan kelembagaan, 2) pemberdayaan sumberdaya manusia, dan 3) kewirausahaan. Dari ketiga faktor yang diasumsikan mempengaruhi kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil tersebut, sampai saat ini belum diketahui secara pasti sejauhmana faktor-faktor tersebut mempengaruhi peningkatan kesejahteraan nelayan tangkap skala kecil. Mencermati rangkaian masalah tersebut, diperlukan model kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan skala kecil Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang dapat menjawab permasalahan penelitian sebagai berikut: (1)
Apakah faktor penguatan kelembagaan mempengaruhi kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang paling berpengaruh serta apa yang diperlukan dalam penguatan kelembagaan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil?
(2)
Apakah
faktor
pemberdayaan
sumberdaya
manusia
mempengaruhi
kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang paling berpengaruh, serta apa yang diperlukan terhadap kebijakan yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil? (3)
Apakah faktor kewirausahaan mempengaruhi kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang paling berpengaruh, serta apa yang diperlukan dalam aspek kewirausahaan yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil?
11
1.3
Tujuan Penelitian Secara umum, tujuan penelitian ini adalah:
(1)
Menganalisis dan membahas pengaruh faktor penguatan kelembagaan terhadap kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang paling berpengaruh serta apa yang diperlukan dalam penguatan kelembagaan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil
(2)
Menganalisis dan membahas pengaruh faktor pemberdayaan sumberdaya manusia terhadap kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang paling berpengaruh, serta apa yang diperlukan terhadap kebijakan yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil.
(3)
Menganalisis dan membahas pengaruh faktor kewirausahaan terhadap kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang paling berpengaruh, serta apa yang diperlukan dalam aspek kewirausahaan yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil.
Tujuan operasional dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh (effects) dan interaksi dari berbagai komponen yang berinteraksi dalam kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan skala kecil Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, sehingga dapat diperoleh masukan bagi para perumus kebijakan, para implementor, dan evaluator kebijakan ketika mereka berencana untuk merumuskan strategi pengelolaan atau bahkan hendak mengkaji kembali kebijakan peningkatan kesejahteraan yang ada agar lebih bernilai strategis di masa mendatang.
1.4 Manfaat Penelitian (1)
Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini menjadi masukan dalam penyusunan kebijakan publik tentang peningkatan kesejahteraan nelayan kecil.
12
(2)
Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini menjadi bahan studi lanjutan bagi pengembangan model peningkatan kesejahteraan nelayan skala kecil.
(3)
Bagi masyarakat pesisir (nelayan), hasil penelitian ini sebagai informasi tentang
model
yang
paling
sesuai
dalam
rangka
meningkatkan
kesejahteraan nelayan skala kecil.
1.5 Kerangka Pikir Penelitian Berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Campbell (2000) tentang mata pencaharian yang berkelanjutan (the sustainable livelihoods framework), setiap kebijakan peningkatan kesejahteraan masyarakat perikanan disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan potensi sumberdaya perikanan yang tersedia. Konsep tersebut mengemukakan bahwa untuk membangun mata pencaharian yang berkelanjutan perlu memperhatikan aset-aset yang dimiliki oleh masyarakat pesisir (nelayan), yaitu diantaranya (1) human assets, meliputi pengetahuan, kecakapan dan kemampuan; (2) natural assets, aset sumberdaya yang ada di sekitarnya; (3) social assets, dukungan yang didapat dari masyarakat sekitar dan keluarga; (4) physical assets, infrastruktur yang dapat dimanfaatkan, serta (5) financial assests, modal yang dapat diperoleh untuk aktivitas usaha yang dijalankan Berdasarkan konsep tersebut yang dihubungkan dengan kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, serta asumsi bahwa keberhasilan kebijakan peningkatan kesejahteraan akan dipengaruhi oleh ada tidaknya potensi ekonomi di wilayah kepulauan seribu. Potensi ini akan coba di potret dengan melihat PDRB, pertumbuhan ekonomi dan Struktur ekonomi yang dilanjutkan dengan melihat sektor unggulan yang ada dengan menggunakan analisis Location Quotient (LQ) dan analisis shift share. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui sejauh mana potensi ekonomi terutama sektor perikanan selama ini. Karena pada dasarnya kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan sangat didukung terlebih dahulu dengan potensinya sendiri. Selanjutnya, dengan asumsi bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil adalah
13
pemberdayaan SDM, kewirausahaan, dan penguatan kelembagaan, maka penelitian ini akan menelaah masing-masing faktor baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Selain mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh, dianalisis juga variabel-variabel yang mempengaruhi faktor-faktor tersebut. Analisis selanjutnya adalah mengetahui hubungan dari masing-masing variabel apakah hubungan tersebut bersifat sinergis (saling memperkuat) atau antagonis (saling melemahkan). Untuk mengetahui keterkaitan variabel-variabel penting yang berpengaruh dan saling mempengaruhi peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil tersebut dilakukan dengan menggunakan metode analisis Structural Equation Modeling (SEM), seperti yang dijelaskan oleh Ghozali dan Fuad (2005). Berdasarkan hasil analisis SEM kemudian disusun strategi peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil melalui perbaikan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Dari serangkaian analisis tersebut diharapkan dapat diketahui sejauhmana perikanan tangkap di Kepulauan Seribu berada pada tingkat yang optimum dan sejauhmana faktor-faktor pembedayaan SDM, kewirausahaan dan kelembagaan mempengaruhi peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil. Setelah
mendapatkan
faktor
yang
paling
berpengaruh
terhadap
peningkatakan kesejahteraan nelayan analisis dilanjutkan dengan menggunakan SWOT guna mencari alternatif kebijakan yang paling mungkin diterapkan guna meningkatkan kesejahteraan nelayan Kepulauan Seribu. Skema pada Gambar 1 menjelaskan bahwa penelitian ditujukan untuk mengkaji model peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil yang
difokuskan
pada
faktor
kelembagaan,
pembedayaan
SDM,
dan
kewirausahaan terhadap kondisi nelayan dan sumberdaya saat ini sebagai suatu pengembangan model pemberdayaan nelayan, yang hasilnya digambarkan sebagai kinerja pembangunan perikanan tangkap skala kecil yang konprehensif, berkelanjutan, dan meningkatkan kesejahteraan nelayan.
14
Era OTDA: 33 Provinsi 480 Kab/Kota
Kab.Adm Kepulauan Seribu (Kab. Baru)
Permasalahan: 1. Sebagian besar desa/kelurahan termasuk desa tertinggal; 2. Tingginya jumlah rumah tangga miskin dan penduduk miskin dari tahun ke tahun; 3. Rendahnya sumberdaya manusia nelayan 4. Produktivitas Ekonomi Kelautan Rendah; 5. Rendahnya jiwa kewirausahaan pada nelayan
Analisis Potensi Ekonomi Daerah dan Sektor Unggulan (Guna melihat peran sektor Perikanan)
PENGUATAN KELEMBAGAAN
Model Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan skala kecil
Kebijakan Pemerintah Berkaitan dengan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan
PEMBERDAYAAN SDM NELAYAN
KEWIRAUSAHAAN
Gambar 1 Diagram kerangka pikir peningkatan kesejahteraan nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
15