1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan dalam beberapa dekade terakhir menjadi salah satu sumber konflik di Indonesia. Konflik sumberdaya hutan tersebut melibatkan berbagai aktor, baik antara masyarakat adat versus negara, masyarakat adat versus pengusaha (swasta), maupun antara negara dengan negara. Konflik terjadi karena kebijakan negara tentang hutan, baik untuk pelestarian maupun pemanfaatan hutan. Konflik sumberdaya hutan yang diakibatkan kebijakan negara tentang pelestarian hutan, antara lain contohnya: penyingkiran rakyat pesisir bukit karena pembangunan Taman Nasional Kerinci Seblat di Jambi; penutupan akses Masyarakat Desa Klakah dan Jurang Ombo di Boyolali Jawa Tengah untuk memanfaatkan Hutan Lindung Gunung Merapi; tersingkirnya kegiatan pertanian ladang oleh warga pedesaan di sekitar Hutan Lindung/ Hutan Wisata Kali Pancur di Salatiga; penyingkiran Masyarakat Suku Amungme karena pembangunan Taman Nasional Lorenz di Irian, konflik tanah Pulo Panggung di Lampung yang menyebabkan rakyat tersingkir karena lahan mereka dinyatakan sebagai hutan lindung dan suaka marga satwa; pemindahan Masyarakat Adat Katu dari dalam Taman Nasional Lore Lindu melalui proyek “the Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservation Project” (CSIADCP) (lihat Fuad dan Maskanah, 2000). Konflik akibat kebijakan pelestarian hutan tersebut selalu menghadapkan masyarakat dan negara. Konflik sumberdaya hutan yang diakibatkan karena kebijakan negara dalam pemanfaatan hutan melibatkan aktor pengusaha yang mendapatkan hak pemanfaatan hutan dari negara. Oleh karena itu, dalam kasus pemanfaatan hutan, konflik terjadi dalam dua level. Pada level kebijakan, konflik terjadi antara masyarakat dengan negara. Adapun pada level grassroot, konflik terjadi antara pengusaha dengan masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat non adat. Konflik sumberdaya hutan antara pengusaha dengan masyarakat adat, antara lain contohnya: konflik Masyarakat Tabbeyan dan Sentosa serta beberapa desa lain di Kecamatan Demta, Namboran, Bonggo, Urunumguay, dan Kaureh dengan PT. YLS yang memperoleh konsesi di wilayah mereka; tahun 1989-1990, konflik
1
terjadi antara masyarakat adat di Dusun Senaru, Desa Senaru Lombok Barat dengan PT. TBA yang mendapatkan izin pemanfaatan hutan (IPH) dan dilanjutkan dengan izin pengembangan hutan tanaman industri (HTI) seluas 500 hektar (ha); tahun 1992, konflik terjadi antara Masyarakat Dayak Bahau di Mutalibak Kecamatan Long Hubung Kutai Kalimantan Timur dengan PT. LPT yang membangun HTI di wilayah adat; tahun 1993 terjadi 2 (dua) kasus perlawanan yang dilakukan masyarakat terhadap HTI yakni Masyarakat Sugapa di Tapanuli Utara yang tanahnya diserobot oleh PT IIU, serta Masyarakat Jelmusibak di Kalimantan Timur; tahun 1994 terdapat 6 kasus yakni konflik yang melibatkan Masyarakat Benakat di Muara Enim dan Masyarakat Bayat di Musi Banyuasin, keduanya di Provinsi Sumatera Selatan; kasus Masyarakat Sandai, Empurang dan Semandang Kanan di Ketapang Provinsi Kalimantan Barat serta kasus Masyarakat Dayak Pasir di Kalimantan Timur; tahun 1995, terjadi 3 (tiga) kasus yakni konflik yang melibatkan Masyarakat Palawe di Musi Rawas, Masyarakat Babat dan Sungai Ibul di Muara Enim, keduanya di Sumatera Selatan serta kasus Kota Baro di Aceh Besar (lihat, Fuad dan Maskanah, 2000). Konflik sumberdaya hutan antara pengusaha dengan masyarakat non adat, antara lain contohnya: konflik akibat adanya klaim PT. SK terhadap sekitar 100 ha tanah warga di Kecamatan Dampelas Sojol yang telah ditanami coklat oleh masyarakat; konsesi perkebunan PT. H di Dataran Napu, Kabupaten Poso menyebabkan hilangnya tanah warga (masyarakat lokal) beberapa desa di sekitar daerah tersebut; perampasan tanah masyarakat oleh PT. PTPN XIV di Tomata; dan PT. HIP mencaplok lahan penduduk Desa Pomayagon di Kecamatan Momunu untuk dijadikan areal kelapa sawit (lihat Fuad dan Maskanah, 2000). Konflik antara pengusaha dengan masyarakat non adat umumnya terjadi karena adanya tumpang tindih klaim atas tanah yang diperuntukkan bagi perkebunan. Belajar dari pengalaman hasil penelitian sebelumnya, konflik sumberdaya hutan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Beberapa peneliti menyebutkan, antara lain: 1. Menurut Blaikie (1985) bahwa kebanyakan sistem pengelolaan hutan di dunia ketiga telah gagal mengatasi kemerosotan hutan maupun kemiskinan pedesaan. Beberapa sistem negara bahkan memperparah kemerosotan hutan
2
karena makin merunyamkan kemiskinan penduduk desa yang tinggal di pinggiran hutan. Hasil kontra-produktif demikian sebagian disebabkan oleh tata hukum dan keorganisasian gaya kolonial yang masih mendominasi pengelolaan hutan oleh negara. 2. Negara kolonial dan negara masa kini sering mengambil alih kawasan hutan yang luas untuk perkebunan, atau untuk proyek pembangunan besar yang merampas dan mencampakkan sistem hak-hak kepemilikan tanah yang sudah lebih dulu ada dan menetapkan aturan hukum yang baru untuk tata guna tanah dan sumberdaya. Sering kali pengambil-alihan ini diberi alasan pembenar dalam klaim bahwa perubahan itu demi kepentingan bersama bagi kemaslahatan sebesar-besarnya (lihat Peluso, 2006). 3. Menurut Gautam et al (2000) dan Sembiring (2002), bahwa hutan digunakan sebagai kendaraan politik. Konsesi hutan yang diberikan secara tidak transparan kepada sejumlah kecil perseorangan atau perusahaan yang sangat berpengaruh dan memiliki kedekatan dengan kekuasaan. 4. Hutan sebagai instrumen ampuh bertumbuhnya kekuasaan ekonomi dan politik di tangan sejumlah orang. Pada tahun 1998, 12 Perusahaan yang erat terkait dengan elit politik dan militer mengendalikan sekitar 60 juta hektar konsesi hutan di Indonesia (McCarthy, 2000a). 5. Tumpang tindih wilayah kebijakan hak pengusahaan hutan (HPH), dan izin penebangan skala 100 hektar. Tumpang tindih wilayah kebijakan tersebut terjadi karena kawasan hutan yang masih berkayu menjadi incaran para pemilik HPH, dan masuk dalam rencana tebang mereka, sementara izin penebangan skala 100 hektar juga memilih areal yang kayunya banyak, mudah dikeluarkan dan tidak jauh dari kawasan pemilik izin (lihat ContrerasHermosilla dan Fay, 2006). 6. Tumpang tindih antara areal hutan lindung dengan konsesi hutan HPH serta tarik menarik kepentingan antar instansi sektoral dalam menentukan peruntukkan suatu wilayah hutan. Contoh konflik yang terjadi di Sulawesi Tengah menunjukkan adanya tumpang tindih antara areal hutan lindung dengan konsesi hutan HPH serta tarik menarik kepentingan antar instansi sektoral dalam menentukan peruntukkan suatu wilayah hutan. Di Poso
3
Sulawesi Tengah tercatat adanya izin perkebunan seluas 8600 ha dari Pemerintah Daerah Kabupaten bagi PT SK, padahal kawasan tersebut merupakan hutan lindung (lihat Fuad dan Maskanah, 2000). 7. Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bahwa konflik yang terjadi di hutan juga melibatkan persoalan overlapingnya tata aturan kelembagaan yang ada dalam pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, antara lain: keberadaan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang sekarang sudah diperbaharui menjadi UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004) membuat pengelolaan sektor kehutanan menjadi semakin tidak jelas; sebuah keputusan presiden/Keppres (Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional) menetapkan bahwa urusan menyangkut penguasaan dan kepemilikan atas tanah berada di bawah kewenangan pemerintah pusat sementara UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan otonomi kepada kabupaten untuk membuat keputusan menyangkut urusan-urusan pertanahan, termasuk penyelesaian konflik (lihat Sembiring, 2002). 8. Memberikan Departemen Kehutanan kewenangan utama menetapkan batas, fungsi dan kawasan hutan. Tetapi, pemerintah daerah tidak selalu menghormati kewenangan tersebut, sebagian karena keputusan menteri tidak memiliki status hukum untuk mengubah keputusan-keputusan tingkat lokal (Effendi, 2002). Berdasarkan kasus-kasus konflik sumberdaya hutan di Indonesia dan pendapat para peneliti sebelumnya, maka penyebab konflik sumberdaya hutan antara lain karena: kebijakan negara dibidang kehutanan telah menegasikan keberadaan masyarakat lokal yang hidup di dalam dan sekitar hutan; tumpang tindih kepemilikan hutan negara dengan masyarakat; dan tumpang tindih kebijakan antar instansi sektoral dan tumpang tindih kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Konflik tersebut melibatkan banyak pihak dengan bnyak kepentingan. 1.2. Perumusan Masalah Dalam perspektif historis, periode waktu penguasaan kawasan hutan oleh negara tidaklah sama dengan periode waktu penguasaan kawasan hutan oleh 4
masyarakat. Negara sebagai sebuah entitas sosial politik, keberadaan dan eksistensinya secara resmi baru diakui sejak diproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada tahun 1945. Penetapan status kawasan hutan negara baru dilakukan pada tahun 1970 sejak diundangkannya secara resmi UndangUndang (UU) RI Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Sementara itu, keberadaan masyarakat khususnya masyarakat adat sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun hak penguasaan masyarakat adat atas tanah tersebut tidak diakui oleh negara karena tidak memiliki surat-surat resmi. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 mengatur bahwa semua tanah harus didaftarkan, dan lahan tanpa judul diasumsikan milik negara. Hal tersebut bermakna bahwa tanah tanpa surat-surat resmi diasumsikan menjadi milik negara. Sementara itu, hak-hak adat tradisional untuk mengontrol sumberdaya hanya diakui sejauh tidak bertentangan dengan hukum nasional. Hak masyarakat hukum adat (MHA) untuk mengelola sumberdaya hutan adalah hak yang menurut hukum nasional bersumber dari delegasi wewenang hak menguasai negara kepada masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Pasal 2 Ayat 4, bahwa: “Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah”. Namun demikian, Pasal 2 Ayat 4 tersebut tidak ditindak-lanjuti dengan peraturan yang lebih rendah untuk operasionalisasinya. Ketiadaan peraturan lebih lanjut dari Pasal 2 Ayat 4 UUPA tersebut berakibat pada keterbatasan hak dari MHA. MHA hanya diberikan hak untuk memanfaatkan sumberdaya hutan sebagaimana tertuang dalam Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Pasal 1 Keputusan Menteri Kehutanan No. 251/Kpts-II/93 tentang Ketentuan Hak Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat atau Anggotanya di dalam Areal HPH.
5
Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999, BAB IX tentang Masyarakat Hukum Adat, Pasal 67 bahwa: “Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak, yaitu: melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Selanjutnya, pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan peraturan daerah. Namun dalam prakteknya, hak-hak masyarakat adat ini menjadi tidak diakui manakala berbenturan dengan kepentingan negara. Hal ini tentu saja akan menempatkan negara dan masyarakat pada suatu kondisi konflik tenurial sumberdaya hutan. Konflik dan sengketa tenurial tersebut berkenaan dengan adanya perjuangan hak MHA dalam mengakses sumberdaya hutan, dan kepemilikan lahan. Secara de jure kawasan hutan berada dalam penguasaan negara, namun secara de facto masyarakat secara turun temurun tinggal dan menggantungkan hidupnya dari hutan dan hasil hutan. Pada saat negara (pemerintah) mengeluarkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, akan berhadapan dengan dilema dimana hutan juga menjadi sumber mata pencaharian masyarakat lokal. Isu-isu penggunaan lahan diantara banyak pihak, termasuk konsesi, perkebunan, kawasan lindung dan masyarakat subsisten, selalu berada pada situasi konflik. Banyak masyarakat adat menggantungkan hidupnya pada hutan, salah satu contohnya masyarakat yang bergantung pada hutan di pedalaman kalimantan secara kolektif disebut sebagai orang-orang Dayak (lihat mackinnon, Hatta, Halim, & Mangahik, 1997; Wadley, Pierce Colfer, & Hood, 1997). Penetapan aturan hukum yang baru untuk tata guna tanah dan sumberdaya hutan oleh negara (selaku pemegang kuasa hutan secara de jure) selain menegasikan keberadaan masyarakat lokal, juga menghadirkan keberadaan aktor lain (pengusaha), sehingga konflik sumberdaya hutan melibatkan banyak aktor dan kepentingan. Konflik tersebut bukan hanya terjadi karena benturan kekuasaan dan kewenangan atas penguasaan sumberdaya hutan, tetapi juga karena adanya
6
perbedaan interpretasi, pemahaman dan pemaknaan mengenai sumberdaya hutan di Indonesia antara berbagai aktor dan kepentingannya. Selanjutnya, perilaku setiap aktor yang berkepentingan terhadap hutan ditentukan oleh pemaknaan aktor tersebut terhadap hutan yang bersumber dari rasionalitas mereka. pemaknaan hutan oleh negara, berbeda dengan pemaknaan oleh pengusaha dan masyarakat lokal. Dalam memaknai hutan, negara dihadapkan pada dua kepentingan yang kontradiktif. Pertama, kedudukan negara (suatu birokrasi) akan makin canggung ketika ia juga masih dibebani mandat peningkatan kesejahteraan atau pembangunan sosial ekonomi (Bunker, 1985; Peluso, 2006). Kedua, mandat manapun yang dominan, birokrat dan petugas negara berkepentingan memelihara tatanan sosial yang secara ekonomis dan politis menguntungkan mereka (Skocpol, 1979; Robinson, 1986). Bagi Indonesia sendiri, peran negara dalam kehutanan diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8), yang selanjutnya diperbaharui dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8), yang selanjutnya diperbaharui dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Indonesia mengatur mengenai pengurusan hutan. Undang-undang tersebut mengamanatkan bahwa pengurusan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Pengurusan hutan tersebut dilaksanakan melalui berbagai bentuk kegiatan, yang mencakup: perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan pengawasan. Berdasarkan UU tersebut, negara memandang hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat bagi kehidupan dan penghidupan bangsa, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi.
7
Selanjutnya menurut Pasal 18 PP No. 6 Tahun 2007 disebutkan bahwa hutan dapat dimanfaatkan dan bahwa pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan kecuali pada kawasan cagar alam, zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Selanjutnya berdasarkan pasal 31 ayat (2) bahwa pemanfaatan hutan pada hutan produksi dapat berupa pemanfaatan hasil hutan kayu. Dengan PP Nomor 6 Tahun 2007 tersebut memberi ruang bagi negara untuk memanfaatkan hutan sebesar-besarnya bagi peningkatan ekonomi, sebagai wujud sumbangsih subsektor kehutanan terhadap pembangunan bangsa, yang dinilai berdasarkan berapa besar sumbangan subsektor ini dalam pembangunan nasional, khususnya bagi peningkatan ekonomi. Selain aktor negara, ada juga kelompok yang melulu berkepentingan dengan hutan sebagai sumber ekonomi, antara lain pengusaha pemegang hak penguasaan hutan (HPH) dan industriawan kayu, pejabat pemerintah yang mengelola instansi perindustrian, perdagangan, pertambangan, transmigrasi, pemukiman penduduk dan mereka yang ingin mengeksploitasi hutan demi kayu, tanah atau bahan mineral di bawahnya. Kelompok ini memaknai hutan sebagai komoditas ekonomi dan alat perjuangan politik. Beberapa pengusaha memperoleh hak penguasaan hutan karena memiliki keterkaitan politik dengan pemerintah pusat yang berkuasa. Dalam prakteknya, hukum dan peraturan yang berlaku menjadi diabaikan. Ada bukti yang menunjukkan bahwa 84% konsesi hutan telah melanggar berbagai hukum yang berlaku sepanjang pertengahan 1990-an dan pembalakkan liar secara sistematik terjadi bahkan di kawasan-kawasan Taman Nasional terkemuka – Gunung Leuser, Tanjung Puting dan Kerinci Seblat – tanpa tindakan hukum yang jelas terhadap pelanggarnya (Environmental Investigation Agency, 1999; Environmental Investigation Agency dan Telapak Indonesia 2001; Barber dan Schweithelm 2000; World Bank 2001). Sepanjang tahun-tahun tersebut, sekitar 70% hasil hutan adalah hasil kegiatan illegal dan deforestasi telah menyapu sekitar 65 juta hektar – 2,2 kali luas Italia (World Bank 2001; FAO 2001; FWI/GFW 2002). Dapat dikatakan, perkiraan laju deforestasi sepanjang 19941997 adalah 1,7 juta hektar per tahun (FWI/GFW 2002). Begitu kayu yang berharga diekspolitasi, tanah yang ditinggalkan berikut sumberdaya hutannya diklasifikasikan sebagai hutan yang telah rusak yang dapat digunakan untuk
8
perkebunan skala besar atau tujuan penggunaan lainnya. Fenomena tersebut merupakan senyawa ampuh dalam mendorong deforestasi dan degradasi hutan (Barber, Johnson dan Hafild 1994). Lain lagi dengan kelompok yang berkepentingan dengan kelestarian hutan. Kelompok tersebut antara lain: para pemeduli keanekaragaman hayati, pengelola jamu dan obat-obatan, pengelola banjir, air tanah dan pencegah erosi, pemeduli ekoturisme, pejabat instansi lingkungan hidup, departemen kesehatan, para peneliti atau umumnya mereka yang memetik manfaat dari hutan yang utuh. Selanjutnya, ada aktor masyarakat lokal yaitu kelompok yang berkepentingan dengan hutan sebagai habitat tempat hidup, tempat berburu, tempat bercocok tanam secara alami dan sumberdaya kehidupan spiritual. Hutan memberi masyarakat lokal makanan alami, lapangan pekerjaan dan sumber kehidupan. Hutan diolah di bawah ambang batas kemampuan pembaharuan diri hutan sebagai sumber alam yang bisa diperbaharui. Masyarakat lokal yang hidup di sekitar hutan umumnya memiliki tradisi dan adat yang khas berkenaan dengan pengaturan hutan. Selanjutnya dalam tulisan ini disebut masyarakat adat. Beberapa studi mengenai masyarakat adat menunjukkan adanya pemaknaan yang khas atas hutan. Misalnya studi yang dilakukan oleh Pandya dalam Dentan (1994) pada Masyarakat Andaman, bahwa Masyarakat Andaman memaknai lingkungan dan sikap mereka terhadap lingkungan berdasarkan pada keberadaan ritual Ongee, yaitu menghubungkan keberadaan manusia dengan dunia kebaikan dan kejahatan roh leluhur. Roh dan manusia adalah bagian dari sebuah siklus. Orang-orang berkomunikasi dengan roh-roh melalui ritual “Ongee” Ritual Ongee tersebut menunjukkan adanya pemaknaan budaya atas lingkungan alam, sehingga pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan harus sejalan dengan nilai budaya yang didasarkan atas keberadaan roh nenek moyang. Selain itu, pada setiap masyarakat adat, memiliki pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang berkenaan dengan pelestarian nilai-nilai ekologis. Misalnya
Rathakette
et
al.
(1984)
dalam
penelitiannya
di
Thailand
mengemukakan bahwa masyarakat lokal dan aturan tabu berkenaan dengan hutan keramat yang dipercaya sebagai tempat hunian makhluk halus pelindung desa (Phipulu), sehingga terlarang untuk dieksploitasi memberikan dampak positif
9
pada konservasi dan pelestarian hutan. Atmadja (1993) juga menemukan fenomena yang sama di Bali, di mana desa adat dengan seperangkat kepercayaan masyarakatnya berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial untuk tetap menjamin kelestarian sumberdaya di kawasan hutan wisata Sangeh. Baik Rathakette et al. (1984) maupun Atmadja (1993) melihat aspek kepercayaan masyarakat sebagai variabel yang determinan terhadap perilaku mereka dalam mengelola dan memanfaatkan hutan (lihat Rahmawati, 2007a). Studi-studi di atas menunjukkan adanya pemaknaan hutan sebagai nilai budaya yang bersifat ekologis. Melalui kepercayaan terhadap hal-hal gaib dan roh nenek moyang inilah, masyarakat adat melestarikan hutannya. Studi yang dilakukan oleh Huber dan Zent di Venezuela Timur, Edel Man di Kosta Rika, Jones di Bolivia, dan Reed di Paraguay dalam Mitchell (1996) menunjukkan bahwa penduduk asli (indigineous people) adalah orang-orang yang hanya untuk hidup dalam harmoni dengan lingkungan alam. Bedoya dan Durham dalam Mitchell (1996) membandingkan tiga kelompok adat dari Peru timur dengan tingkat deforestasi yang bervariasi. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun laju kehilangan tanah tradisional untuk pemukiman merupakan faktor penting, masing-masing kelompok juga memiliki sejarah yang berbeda dari keterlibatan dengan uang tunai, upah buruh, dan pembelian komoditas. Reed dalam
Mitchell
(1996)
memberikan
contoh
yang
mencolok
tentang
keanekaragaman tersebut. Sekalipun masyarakat tersebut sering dipandang sebagai pemburu dan peramu, namun mereka mengambil bagian dari sejarah sebagai petani. Dengan membandingkan keberadaan masyarakat non adat dan adat, baik di Venezuela, Paraguay, sebelum atau dalam penjajaran Indian Maya di Guatemala dengan petani mestizo di Honduras dan Kosta Rika, Mitchell (1996) menunjukkan bahwa masyarakat adat tersebut memandang pentingnya melindungi hutan dan menjamin kelangsungan hidup ekonomi dan budaya kelompok-kelompok adat. Dengan demikian lingkungan (sumberdaya hutan) memiliki makna yang beragam bagi masyarakat (khususnya masyarakat adat) yaitu makna ekonomi, budaya dan ekologis.
10
Studi Rathakette et al. (1984) di Thailand, Atmadja (1993) di Bali (hutan Sangeh), Huber dan Zent di Venezuela Timur, Edel Man di Kosta Rika, Jones di Bolivia, dan Reed di Paraguay menunjukkan bahwa ketika masyarakat adat masih memegang teguh nilai-nilai adat, maka hutan relatif lestari. Kepentingan masyarakat adat untuk memanfaatkan hutan sebagai nilai ekonomi masih terbatas hanya sekedar untuk bertahan hidup bukan untuk mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya. Sekalipun hutan dianggap sebagai basis livelihood, namun keberadaan hutan untuk tetap lestari tetap yang utama. Pentingnya hutan bagi masyarakat adat dapat dilihat dari penjelasan mccarthy (2000b) yang menyatakan bahwa pengaturan adat yang berkaitan dengan sumberdaya lokal memberikan kerangka untuk transformasi konversi hutan-hutan asli menjadi kebun bukit di perbatasan hutan. Dengan pentingnya kebun tetap meningkatkan produksi tanaman dari waktu ke waktu, aturan adat telah berfokus pada melindungi hak-hak petani miskin di kebun. Namun pada saat yang sama, hutan di sekitarnya tetap penting untuk mata pencaharian desa, yang merupakan cadangan lahan pertanian yang tersedia untuk generasi masa depan petani dan menyediakan produk-produk hutan yang berharga. Penjelasan ini menunjukkan bahwa fungsi hutan bagi masyarakat adat merupakan basis nafkah (livelihood) mereka dimana hutan dapat dikonversi menjadi kebun, namun hutan juga
tetap
dijaga
kelestariannya
untuk
digunakan
bagi
kemanfaatan
masyarakatnya. Namun demikian, dalam memanfaatkan hutan, masyarakat adat tidak memandang hutan sebagai komoditas, melainkan hanya digunakan untuk kepentingan sendiri yang kehidupannya serba terbatas. Pemaknaan masyarakat adat atas hutan menunjukkan adanya dua katagori, yaitu masyarakat yang masih memaknai hutan sebagai makna budaya dan ekologis (sekalipun ada juga makna ekonomi tapi sifatnya terbatas) dan masyarakat yang nilai-nilai budaya ekologisnya sudah tergerus digantikan dengan budaya materialis yang memandang hutan sebagai makna ekonomi. Penggerusan nilai-nilai adat masyarakat adat tersebut disebabkan adanya benturan dengan pemaknaan hutan oleh negara dan swasta. Dengan melihat berbagai pandangan peneliti sebelumnya, dapat dikatakan bahwa hutan hari ini dimaknai dalam beberapa kerangka rasionalitas, yaitu:
11
politik, ekonomi, kesehatan/ lingkungan dan sosial budaya oleh para aktor. Masing-masing aktor mempunyai pemaknaan masing-masing, dimana masyarakat mempunyai pemaknaan hutan sebagai nilai-nilai sosial budaya dan sumber ekonomi subsisten dimana keberadaan masyarakat lokal tersebut sangat tergantung dari ketersediaan sumberdaya hutan. Negara memiliki pemaknaan politik dan ekonomi kapitalis yang bermuara pada kepentingan pasar, sedangkan pengusaha memandang hutan sebagai komoditas yang bernilai ekonomis yang berorientasi profit atas desakan pasar kapitalis. Konflik sumberdaya hutan terjadi karena perbedaan pemaknaan atas hutan, baik konflik sumberdaya hutan antara negara dengan masyarakat, atau negara dengan negara yang melibatkan pemerintah daerah atau negara dengan negara yang melibatkan pihak perusahaan swasta atau antara perusahaan swasta yang dibackup oleh negara melawan masyarakat. Konflik tersebut selalu berujung pada pelumpuhan masyarakat yang hidup dan tergantung pada hutan tersebut sejak lama, jauh sebelum ada kebijakan negara tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Kasus-kasus konflik sumberdaya hutan banyak terjadi di Indonesia baik karena kebijakan negara tentang pelestarian hutan, maupun karena kebijakan negara untuk pemanfaatan hutan. Konflik terjadi karena Indonesia sebagai negara yang kaya dengan hutan juga memiliki berbagai macam masyarakat adat yang hidup di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Dari sekian banyak mayarakat adat yang sedang menghadapi konflik sumberdaya hutan, Masyarakat Kasepuhan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menjadi salah satu contoh masyarakat adat yang sampai saat ini sedang dalam kondisi konflik tenurial kawasan hutan menghadapi negara dalam konteks pelestarian hutan, sementara itu Masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik Putussibau Kapuas Hulu Kalimantan Barat menjadi salah satu contoh konflik masyarakat dengan negara yang melibatkan pengusaha dalam konteks pemanfaatan hutan. Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah digambarkan di atas dan dengan mengambil teladan kasus Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) kebijakan pemerintah dibidang kehutanan baik untuk pelestarian hutan
12
maupun pemanfaatan hutan telah menegasikan keberadaan hak hidup masyarakat adat, menempatkan masyarakat adat pada kondisi konflik, baik konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah, maupun konflik antara masyarakat adat dan pengusaha; (2) konflik sumberdaya hutan terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dan pemaknaan atas sumberdaya hutan antara berbagai aktor; (3) konflik yang terjadi antara berbagai pihak (pemerintah, pengusaha dan masyarakat) telah menyebabkan guncangan yang cukup hebat bagi masyarakat terutama mengancam livelihood mereka di satu sisi, dan terjadinya deforestasi di sisi yang lain. sementara itu perubahan nafkah, kelembagaan, norma, pengetahuan dan budaya hingga tatanan kependudukan menyertai terjadinya perubahan tersebut. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana masyarakat adat tersebut merespon konflik sumberdaya hutan yang menghilangkan akses mereka terhadap sumberdaya hutan sebagai sumber livelihood mereka dan tetap bertahan dalam kondisi konflik. 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk
menganalisis
konflik
sumberdaya
hutan
yang melibatkan
masyarakat adat, negara (baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) dan pengusaha (yang terlibat akibat kebijakan pemerintah pusat maupun kebijakan pemerintah daerah). 2. Untuk mengetahui dan menganalisis dinamika kelembagaan adat dalam memperjuangkan kepentingannya terhadap sumberdaya hutan. 1.4. Manfaat Penelitian Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjang pengembangan ilmu sosiologi, khususnya menyangkut pengayaan teori konflik dalam sistem sosioekologi hutan. Selain kegunaan teoritis, penelitian ini juga diharapkan dapat memberi sumbangan praktis bagi pemerintah selaku pemegang kebijakan untuk dapat memahami masyarakat adat sekitar hutan dengan berbagai kelembagaan tata kelola hutannya, sehingga kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang dibuat oleh pemerintah dapat sinergis dengan kepentingan dan kelembagaan tata kelola hutan menurut masyarakat adat yang
13
sudah ada sejak dulu, sehingga kebijakan pemerintah (kepentingan pemerintah) untuk mengelola dan memanfaatkan hutan tidak bertentangan dengan kepentingan dan kelembagaan Masyarakat lokal dalam mengelola dan memanfaatkan hutan. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Untuk memfokuskan analisis dan pembahasan kajian konflik antara kelembagaan adat dan negara dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan yang memiliki dimensi luas, maka ditetapkan batas-batas analisis sebagai berikut: 1. Konflik sumberdaya hutan antara berbagai aktor (masyarakat adat, negara dan pengusaha) dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. 2. Dinamika kelembagaan adat dalam merespon kebijakan negara tentang pengelolaan dan pemanfatan hutan. Berdasarkan ruang lingkup tersebut maka outline disertasi ini dirancang sebagai berikut: BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
KERANGKA TEORI
BAB 3
METODOLOGI
BAB 4
PROFIL SISTEM SOSIAL
BAB 5
KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN
BAB 6
DINAMIKA KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN
BAB 7
REFLEKSI TEORITIK TENTANG KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN
BAB 8
14
SIMPULAN DAN IMPLIKASI