1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem mangrove berfungsi sebagai penjaga garis pantai dan muara sungai dari abrasi karena tiupan angin dan gelombang, sehingga kawasan pantai tetap stabil, sebagai penangkap zat-zat tercemar dan sebagai pagar hidup pencegah
intrusi air laut kedaratan. Secara biologis ekosistem mangrove
berfungsi sebagai daerah asuhan larva, tempat bertelur, memijah, dan mencari pakan berbagai organisme, khususnya ikan dan udang. Serta sebagai habitat bagi berbagai satwa liar, antara lain reptile, mamalia dan burung. Selain itu daerah pantai beserta vegetasinya juga mempunyai potensi bagi pengembangan ekonomi lainnya yang cukup tinggi. Semua ini mempunyai peluang yang cukup luas bagi peningkatan kesejahtraan masyarakat pantai khususnya nelayan dan petani ikan, yang pada saat ini merupakan kelompok masyarakat yang perlu mendapat perhatian khusus. Salah satu provinsi yang memiliki potensi sumberdaya hayati pesisir yang cukup dominan, khususnya mangrove adalah Kalimantan Barat, dengan panjang pantai 1.163,3 km yang menyusur dari utara ke selatan, dengan luas hutan bakau sekitar 40.000 hektar (DKP Prov. Kalbar 2007). Desa Dabong merupakan salah satu desa Di Provinsi Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas, dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) No. 259/kpts-II/2000 hutan mangrove di kawasan pesisir Desa Dabong telah ditetapkan menjadi hutan lindung mangrove seluas ±4.895,5 hektar dari 34.884 ha hutan lindung mangrove yang ada di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Walaupun hutan mangrove di Desa Dabong telah ditetapkan sebagai hutan lindung, akan tetapi tidak sepenuhnya dapat melindungi ekosistem mangrove tersebut dari kerusakan dan degradasi. Menurut Nugroho (2009) luas hutan mangrove Di Desa Dabong adalah 2.436,24 ha, dan telah mengalami kerusakan karena dikonversi menjadi tambak seluas 555,35 ha dan adanya aktivitas penebangan kayu untuk berbagai aktivitas pemanfaatan.
2
Pada Code of Conduct for Responsible Fisheries Artikel 10 manajemen integrasi perikanan terhadap wilayah
Mengenai
pesisir, FAO (1995)
mensyaratkan antara lain bahwa : 1) Pemerintah harus memfasilitasi masuknya penerapan teknokogi perikanan yang dapat menghindari konflik antara pengguna sumberdaya perikanan, dan diantara mereka, dan para pengguna lainnya di kawasan pesisir. 2) Pemerintah seharusnya mendorong inisiatif kepedulian masyarakat terhadap perlindungan ekosistem dan partisipasi dalam setiap proses pengelolaan ekosistem. Rehabilitasi terhadap kerusakan mangrove khususnya akibat pembukaan lahan tambak hendaknya menjadi perhatian kita bersama, pemerintah di daerah seharusnya dapat lebih mengarahkan masyarakat untuk tidak merusak hutan mangrove. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengajak masyarakat khususnya petambak berpartisipasi dalam melaksanakan rehabilitasi ekosistem mangrove, kegiatan tersebut dapat berupa penerapan teknologi silvofishery. Silvofishery adalah sistem pertambakan teknologi tradisional yang menggabungkan antara usaha perikanan dengan penanaman mangrove, yang diikuti konsep pengenalan sistem pengelolaan dengan meminimalkan input dan mengurangi dampak terhadap lingkungan (Folke and Kautsky, 1992 in Macintosh et al, 2002). Sistem ini telah banyak direkomendasikan secara nasional maupun internasiomal, namun penerapan sistem ini masih belum banyak diketahui oleh petambak sebagai sistem yang direkomendasikan atau dianjurkan untuk kegiatan usaha tambak yang dilaksanakan pada kawasan mangrove atau kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung, selain itu informasi detail mengenai teknik pelaksanaannya juga masih belum banyak diketahui oleh para petambak.
1.2. Perumusan Masalah Kawasan hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat termasuk diantaranya hutan mangrove yang ada di Desa Dabong berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 259/kpts-II/2000 telah ditetapkan statusnya sebagai Hutan Lindung Berdasarkan SK tersebut maka wewenang
3
pengelolaan hutan lindung mangrove di Desa Dabong berada pada pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kubu Raya. Meskipun kawasan tersebut telah ditetapkan statusnya sebagai Kawasan Hutan Lindung, akan tetapi tidak sepenuhnya dapat melindungi ekosistem mangrove ini dari kerusakan dan degradasi. Sampai dengan tahun 2011 tercatat sekitar 555,35 hektar area hutan lindung mangrove Di Desa Dabong telah dikonversi menjadi lahan tambak oleh masyarakat setempat, tanpa adanya proses pelepasan kawasan hutan terlebih dahulu. Konversi hutan manggrove menjadi lahan tambak telah terjadi sejak tahun 1991 dan berkembang sampai tahun 2009. Perkembangan tambak didalam kawasan hutan lindung mangrove ini tidak terlepas dari adanya Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan (Protekan) tahun 1998-1999 dari Dinas Perikanan Kabupaten Pontianak (saat itu) dan Program Pembinaan Budidaya Air Payau oleh Dinas Perikanaan dan Kelautan Provinsi Kalbar (2002-2006), sehingga mendorong pembukaan lahan tambak udang di area yang ternyata merupakan kawasan hutan lindung mangrove. Sehingga hampir semua petambak Di Desa Dabong pada awalnya merupakan binaan dari Dinas Perikanan dan Kelautan, sehingga beberapa petambak memiliki Izin Usaha Perikanan (IUP) dan Surat Pembudidayaan Ikan (SBI). Hal ini menunjukan adanya ketidakjelasan kebijakan dan kurangnya koordinasi antara instansi yang ada sehingga menyebabkan munculnya areal tambak didalam hutan lindung mangrove. Saat ini pengelola kawasan belum mampu menyelesaikan konflik pemanfaatan ruang yang terjadi dengan masyarakat termasuk dengan petambak, yaitu antara lain adanya tuntutan ganti rugi/ kompensasi karena masuknya sebagian besar lahan mereka seperti lahan tambak, lahan pertanian dan pemukiman ke dalam kawasan hutan lindung mangrove. Ketidakmampuan tersebut disebabkan tingginya biaya yang diperlukan untuk melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum terhadap status kawasan yang ada. Kondisi diatas sesuai pendapat Yaffee et al. (1996) bahwa dalam pelaksanaannya, implementasi pengelolaan ekosistem akan menghadapi berbagai macam rintangan seperti sengketa lahan, birokrasi yang buruk dan kebijakan publik yang kurang berpihak pada upaya konservasi. Lemah dan buruknya dalam
4
perencanaan dan pelaksanaan sistem pengelolaan sumberdaya hutan mangrove dapat memberikan dampak negatif seperti degradasi lingkungan dan buruknya kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan. Mengatasi berbagai rintangan pada pengelolaan ekosistem, maka hendaknya dilakukan pengelolaan yang adaptip, untuk mencapai hal ini, maka diperlukan keterpaduan yang efektif dari para praktisi, peneliti dan berbagai stakeholder untuk berbagi pandangan, pengetahuan dan pengalamannya. Untuk itu diperlukan alternatif solusi yang dapat menjembatani antara kepentingan ekologi (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat yang sudah lama bermukim di kawasan tersebut sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung mangrove, sehingga selanjutnya dapat dicari alternatif kebijakan pengelolaan yang tepat. Seperti kita ketahui bahwa sistem silvofishery telah banyak dijadikan alternatif dan solusi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di beberapa kawasan. Sehingga dengan penerapan sistem ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan tersebut diatas, terutama terhadap adanya degradasi ekosistem mangrove akibat pembukaan lahan tambak oleh masyarakat. Selain itu dalam kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove penerapan sistem silvofishery merupakan teknik yang telah banyak direkomendasikan, namun masih sering menemui kendala pada tingkat pelaksanaannya. Untuk itu diperlukan suatu kajian sebelum sistem silvofishery ini diterapkan, analisis terhadap kondisi bioteknik, sosial, kelembagaan dan ekonomi sangat diperlukan untuk mengidentifikasi kebijakan dan tahap pelaksanaannya yang paling tepat, Analisis diarahkan pada upaya menggabungkan tujuan pokok yaitu rehabilitasi lahan mangrove yang telah rusak, dengan tetap memberikan ruang terhadap pemanfaatan untuk aktivitas masyarakat terutama para petambak yang ada saat ini. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi mengenai tahapan dan arah kebijakan yang diperlukan dalam penerapan silvofishery, dalam upaya mewujudkan pengelolaan ekosistem mangrove dengan performance yang lebih baik (lestari, terpadu dan berkelanjutan) Di Desa Dabong.
5
1.3 Tujuan Penelitian Adapun penelitian ini bertujuan untuk: 1) Melakukan analisis bioteknik, sosial, ekonomi, dan kelembagaan untuk penerapan silvofishery, berdasarkan kondisi existing tambak dan kondisi pengelolaan ekosistem mangrove saat ini. 2) Merumuskan formulasi kebijakan dan tahapan penerapan sistem silvofishery, sebagai upaya pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi stakeholders yang ada, untuk: 1) Memberikan informasi mengenai kesesuaian kondisi bioteknik, sosial, ekonomi, dan kelembagaan untuk penerapan sistem silvofishery Di Desa Dabong. 2) Adanya formulasi kebijakan dan tahapan penerapan sistem silvofishery, sebagai upaya pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan.
1.5 Kerangka Pemikiran Keberadaan ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting sebagai penyangga kehidupan di wilayah pesisir dan laut, baik sebagai fungsi ekologi maupun fungsi sosial ekonomi. Beberapa kegiatan pemanfatan telah dilakukan oleh masyarakat terhadap ekosistem mangrove yang ada, antara lain adalah pembukaan untuk lahan pemukiman, pembukaan lahan tambak udang, pengambilan kayu untuk bahan bangunan dan sebagai kayu bakar, pengambilan kepiting dan kerang, dan adanya. Pemanfaatan tersebut dilakukan secara individu sesuai kebutuhan dan manfaat yang ingin dicapai, tanpa ada koordinasi ataupun pengaturan yang jelas sehingga masing-masing kegiatan bisa saling mengganggu dan berpotensi munculnya konflik. Kegiatan pada ekosistem mangrove pada kondisi ketidakteraturan seperti ini dapat menyebabkan kerusakan tersendiri pada ekosistem tersebut, baik dimasa kini ataupun masa yang akan datang. Setiap aktivitas masyarakat hendaknya tetap menjamin kondisi ekosistem yang tetap pada kondisi baik, sehingga manfaatnya dapat terus dirasakan.
6
Pemanfaatan ekosistem mangrove sering kali rawan terhadap konflik kepentingan, kerusakan mangrove akan membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat, baik dari sisi ekologi maupun sosial ekonomi. Kondisi tersebut terjadi karena keberadaan ekosistem mangrove teresbut belum dikelola secara optimal, sehingga belum memberikan peningkatan nilai manfaat bagi masyarakat. Sebagai upaya perlindungan ekosistem mangrove, maka pemerintah telah menetapkan sejumlah lahan di kawasan pesisir Desa Dabong menjadi Hutan Lindung Mangrove berdasarkan SK Menhut No 259/kpts-II/2000. Namun penetapan kawasan tersebut tidak didukung dan diakui oleh masyarakat setempat, karena SK tersebut dianggap banyak merugikan pihak masyarakat. Hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi rencana penetapan kawasan menjadi hutan lindung mangrove, dan kurangnya keterlibatan dalam proses penyusunan peraturan tersebut Adanya tambak udang, pemukiman dan lahan garapan masyarakat di dalam kawasan hutan lindung mangrove serta kegiatan pengambilan kayu mangrove secara liar pada dasarnya merupakan bentuk dari lemah atau kurang efektifnya institusi/ kelembagaan pengelolaan hutan mengrove di daerah tersebut. Institusi pengelolaan yang ada saat ini masih belum mampu mengatur dan mengendalikan prilaku dan berbagai pihak (masyarakat) untuk melestarikan dan tidak merusak hutan mangrove. Hal ini menyebabkan performance pengelolaan yang buruk, baik dari sisi ekologi (konservasi) maupun sosial ekonomi masyarakat. Pemanfaatan ekosistem mangrove menjadi lahan pertambakan sebagai salah satu bentuk usaha yang dilakukan masyarakat, keberadaanya sering memberikan banyak dampak negatif
berupa kerusakan lingkungan. Penggunaan teknologi
yang tepat dengan mengedepankan aspek lingkungan tentu saja dapat dijadikan alternatif, sehingga kerusakan yang timbul tidak akan terlalu besar dan manfaat ekonomi juga dapat ditingkatkan. Teknologi tambak pada ekosistem mangrove yang mengedepankan aspek lingkungan adalah teknologi silvofishery. Namun pengetahuan masyarakat ataupun petani ikan tentang sistem tambak ini sangatlah kurang, sehingga diperlukan adanya penyuluhan, pembuatan desain dan pembuatan lahan ataupun kawasan silvofishery sebagai lahan percontohan.
7
Dengan tahapan tersebut masyarakat akan lebih mudah mengerti dan memahami manfaat dari teknologi tambak yang ramah lingkungan tersebut. Perlunya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian ekosistem mangrove dan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan pengelolaan pada ekosistem mangrove, merupakan harapan untuk menjadikan ekosistem mangrove ini tetap terjaga. Dengan adanya pengelolaan ekosistem mangrove berbasis silvofishery yang sesuai dengan kondisi ekologi dan sosial ekonomi masyarakat. Kerangka pikir tersebut dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.
Kegiatan Pemanfaatan Oleh Masyarakat
EKOSISTEM MANGROVE DESA DABONG
Pembukaan Lahan Tambak (Sebelum dan sesudah penetapan hutan lindung) Diperlukan Rekayasa kelembagaan dengan Partisipasi Aktif
Program Perlindungan Pemerintah
Pengelolaan kawasan dan Perlindungan (SK Menhut No.259/kpts-II/2000
Degradasi Ekosistem Mangrove
PENERAPAN SISTEM SILVOFISHERY Diperlukan Analisis: Kesesuaian Bioteknik Persepsi Petambak dan Dukungan Stakeholders Kelembagaan Kelayakan Ekonomi
Formulasi Kebijakan dan Tahapan Penerapan Silvofishery
Performance yang baik: Kelestarian ekosistem mangrove Penyelesaian konflik sosial Peningkatan ekonomi petambak/masyarakat
Penerapan sistem silvofishery termasuk upaya rehabilitasi 80% mangrove pada lahan tambak
Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian Penerapan Silvofishery Untuk Rehabilitasi Ekosistem Mangrove.