1 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Usaha kecil dan menengah (UKM) memainkan peran yang sangat penting di
dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di negara-negara sedang berkembang tetapi juga di negara-negara maju. Kelompok usaha tersebut selain menyerap paling banyak tenaga kerja, juga paling besar kontribusinya terhadap pembentukan atau pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dibandingkan kontribusi dari usaha besar. Kurun waktu tahun 2010-2011, jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terdapat peningkatan sebesar 2.57 persen dari 53 823 732 unit pada tahun 2010 menjadi 55 206 444 unit pada tahun 2011. Seiring dengan peningkatan jumlah usaha UMKM, maka turut meningkatkan jumlah tenaga kerja yang diserap. Jumlah tenaga kerja yang diserap UMKM, terdapat peningkatan sebesar 2.33 persen dari 99 401 775 orang pada tahun 2010 menjadi 101 722 458 orang pada tahun 2011 (Kemenkop & UKM 2012). Kenyataanya, skala usaha besar pada tahun 2010 jumlahnya sekitar 4800 unit dengan sumbangan terhadap PDB sekitar 43.27 persen. Skala UMKM mencapai 53 juta unit dengan sumbangan terhadap PDB sebesar 56.73 persen serta tingkat penyerapan tenaga kerja di atas 97 persen menjadikan UMKM sebagai sektor yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia pada umumnya (Kemenkeu 2012). Kurun waktu tahun 2010-2011 jumlah PDB UMKM terdapat peningkatan sebesar 24.15 persen dari Rp3 466.39 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp4 303.57 triliun pada tahun 2011 (Kemenkop & UKM 2012). Tambunan (2007) menyatakan, bahwa UKM di negara-negara sedang berkembang seperti di Asia, Afrika, dan Amerika Latin juga berperan sangat penting. Khususnya dari perspektif kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi kelompok miskin, distribusi pendapatan dan pengurangan kemiskinan, dan pembangunan ekonomi pedesaan. Dilihat dari sumbangannya terhadap pembentukan PDB dan ekspor nonmigas khususnya produk-produk manufaktur, peran UKM di negara-negara sedang berkembang masih relatif rendah dan ini sebenarnya perbedaan yang
2
menyolok dengan UKM di negara-negara maju. Pertanyaannya, kenapa bisa demikian. Sumber terbesar dari sumbangan output UKM terhadap pembentukan PDB di negara-negara sedang berkembang, bukan produktivitas yang tinggi melainkan jumlah unit UKM jauh lebih banyak daripada usaha besar (Tambunan 2006). Selanjutnya, tingkat daya saing sangat dipengaruhi selain oleh banyak faktor lainnya juga oleh tingkat produktivitas (Tambunan 2008). Saat ini dalam menghadapi persaingan industri, suatu perusahaan dituntut untuk memiliki daya saing yang lebih baik dari perusahaan lainnya. Namun, tidak semua perusahaan memiliki daya saing tersebut. Daya saing merupakan suatu konsep yang dipercaya dapat membantu perusahaan untuk memenangkan persaingan tersebut. Kondisi dan alasan inilah, maka kebijakan promosi UKM di banyak negara baik kebijakan nasional maupun kebijakan dari lembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia (atau Bank Pembangunan Asia untuk wilayah Asia) dan UNDP, dalam beberapa tahun belakangan ini semakin fokus pada pengembangan UKM dalam rangka peningkatan daya saing. Menurut Darwin (2003), berbagai model pengembangan UKM telah dikembangkan di negara-negara maju. Jepang misalnya mengembangkan UKM melalui model ”sub-contracting” artinya perusahaan-perusahaan skala besar memberikan order kepada perusahaan-perusahaan skala menengah dan kecil untuk jenis-jenis pekerjaan yang tidak ditanganinya sendiri. Sebagai contoh, perusahaan raksasa mobil Toyota atau Mitsubishi hanya merakit mesinnya saja. Pengerjaan body mobil diserahkan kepada perusahaan subkontraktor skala menengah, dan pembuatan suku cadang disub-kontrakkan kepada perusahaan skala kecil. Model kemitraan ”sub-contracting” demikian, memungkinkan perusahaan besar, menengah dan kecil maju secara bersamaan. Model pengembangan UKM lainnya adalah melalui modal ventura. Model ini dikembangkan untuk membantu UKM yang baru tumbuh dan mempunyai prospek cerah, tetapi tidak mempunyai modal sendiri maupun akses terhadap perbankan untuk mengembangkan usaha karena ketiadaan agunan atau persyaratan administratif lainnya. Perusahaan modal ventura, dapat memperkuat
3
permodalan UKM melalui penyertaan saham sementara. Setelah UKM berkembang dan mampu ”go public”, maka perusahaan modal ventura melakukan divestasi atau menarik kembali sahamnya. Pengembangan UKM juga dapat dilakukan melalui model inkubator. Model ini, UKM diberdayakan dari aspek teknologi atau kemampuan bisnisnya untuk jangka waktu tertentu sampai tiba saatnya dilepaskan untuk dapat bersaing secara bebas di pasar. Model yang diperkenalkan di Amerika Serikat ini telah diterapkan di China dan berhasil dengan baik. Sementara itu ”community based development” yakni pengembangan UKM berdasarkan daya dukung masyarakat, dikembangkan dengan sangat berhasil di Taiwan. Dalam hal ini masyarakat atas inisiatifnya sendiri atau inisiatif pihak pembina masyarakat di suatu lokasi atau daerah tertentu, kemudian pemerintah akan mendukung dengan berbagai fasilitas yang diperlukan baik infrastruktur maupun akses terhadap permodalan. Salah satu strategi pengembangan UKM yang sangat baik untuk diterapkan di negara-negara berkembang adalah pengelompokan (clustering). Tambunan (2002) menyatakan, kerja sama dan sekaligus persaingan antar sesama UKM di subsektor yang sama di dalam suatu kelompok (klaster/sentra) akan meningkatkan efisiensi bersama (collective efficiency) dalam proses produksi, spesialisasi yang fleksibel (flexible specialization), dan pertumbuhan yang tinggi. Pengembangan klaster (sentra) di beberapa negara, telah menjadi contoh terbaik atau best practices dalam meningkatkan daya saing UKM. Di Italia, khususnya di Italia bagian tengah-utara sebagai pusat pergerakan jejaring klaster UKM. Menurut Hatch (2000), bahwa pada awal tahun 1980-an pusat pertumbuhan yang pesat di daerah Emilia-Romagna dan sekitarnya menjadi perhatian para pakar di kawasan Eropa dan Amerika. Hasil studi menunjukkan pertumbuhan yang pesat di daerah ini terjadi karena kerja sama yang kuat antara asosiasi bisnis, dukungan teknologi, dan keinginan belajar dari pengalaman kerja sama dalam jejaring melalui klaster UKM yang telah mendukung keberhasilan tersebut. Keberhasilan di bagian tengah-utara Italia, telah mendorong para pakar untuk melakukan kajian dalam pengembangan jejaring UKM melalui klaster.
4
Denmark diantaranya telah mengambil konsep Italia, untuk diterapkan dalam proyek pengembangan UKM pada tahun 1989 melalui pendekatan klaster. Pendorong keberhasilan pengembangan jejaring bisnis melalui klaster UKM di Denmark adalah peran dari ”the Danish Technological Institute”. Secara prinsip, program pengembangan jejaring bisnis dilakukan secara transparan melalui media massa (cetak dan elektronik). Program pengembangan ini juga mengajak pelaku bisnis sukses dan tentunya dukungan pemerintah dalam bentuk hibah untuk pengembangan jejaring produk baru atau memasuki pasar baru, dan program pelatihan bagi pialang jejaring bisnis guna mendorong kerja sama diantara UKM. Salah satu proyek jejaring bisnis dengan pendekatan klaster yang juga sangat penting di Chile adalah proyek yang dikembangkan oleh ”the Chilean SME Assistance Agency, SERCOTEC” pada akhir tahun 1990. Proyek ini disebut ”Chile’s Proyectos de Fomento or PROFO program”, dan ditujukan untuk mengorganisasikan 10 sampai 30 UKM dalam kelompok untuk mendorong kerja sama dan menstimulus permintaan layanan SERCOTEC. Dalam rangka memfasilitasi UKM, SERCOTEC menunjuk dan membayar penuh manajer yang melayani setiap kelompok. Tugas manajer adalah mengkoordinasikan layanan dari business development service (BDS) providers, aktivitas kelompok seperti kunjungan ke salah satu pabrik dan transportasi ke pameran dagang, serta promosi aktivitas bisnis kelompok (klaster). Proyek ini sudah berkembang 16 sentra/klaster PROFO, sampai dengan tahun 2000. Pengembang sentra/klaster di India yaitu Development Alternatives Inc. (DAI), melalui bantuan USAID dengan proyek Microenterprise Best Practice telah mengembangkan program kaji tindak yang melibatkan klaster perusahaan kecil-kecil di bagian utara kota-kota dan desa-desa di India. Upaya ini, ditujukan untuk membangun jejaring yang efektif antara usaha mikro, kecil, dan menengah. Selanjutnya seperti di negara-negara lain, pendekatan pengembangan jejaring UKM dengan klaster juga melibatkan pialang bisnis, BDS Providers, dan dana padanan untuk memacu percobaan produk dan pasar baru. Kepercayaan antar pengusaha dan adanya kemauan yang keras untuk bekerja sama, menjadi kunci penting bagi suksesnya pengembangan klaster UKM untuk mendorong terjadinya jejaring bisnis.
5
Peranan BDS Providers disisi lain juga sangat penting, oleh karena itu setiap BDS Providers harus menguasai operasionalisasi bisnis secara rutin. Selanjutnya secara konsepsi disadari, bahwa pemanfaatan layanan BDS secara bersama dalam kelompok menjadi semakin ringan apabila jumlah UKM dalam sentra atau klaster semakin besar. Belajar dari pengalaman negara lain, tim studi JICA yang dipimpin oleh Hajime (2003) telah melakukan kajian selama dua tahun di Indonesia (2002-2003) tentang ”Strengthening Capacity of SME Cluster”. Tim studi JICA ini mengusulkan ”Master Concept and Strategy for SME Cluster Development from Lessons Learnt”. Tim ini telah mengkaji 10 sentra UKM di Jawa yaitu 1) sentra logam di Tegal, Sukabumi, dan Sidoarjo; 2) sentra furniture kayu di Klaten; 3) sentra gambir di Harau-50 Kota; 4) sentra minyak atsiri (vetiver) di Garut; 5) sentra pandai besi pembuatan alat-alat pertanian (blacksmith) di Tanjung Batu; 6) sentra tahu dan tempe di Mampang-Jakarta dan Bekasi; dan 7) sentra batu bata dan genteng di Kebumen. Berdasarkan sepuluh sentra di atas, selanjutnya tim studi JICA memilih tiga sentra yaitu sentra logam di Sidoarjo, sentra furniture kayu di Klaten, dan sentra batu bata dan genteng di Kebumen untuk dikaji dan diamati secara rutin dan seksama. Hasil kajian didapatkan bahwa dalam rangka memperkuat klaster UKM, maka perlu membangun kerja sama dengan prinsip 3 C (competition/persaingan, cooperation/kerja sama, dan concentration/pemusatan). Competition diharapkan untuk transparansi pemanfaatan informasi, masalah aspek legal, dan pengembangan model yang dinamis, dan penguatan kapasitas. Berdasarkan pendekatan ini, maka masa depan sentra/klaster akan menjadi acuan dalam membangun daya saing UKM. Cooperation ditujukan untuk meningkatkan kerja sama yang lebih selektif dan efektif, pendidikan dengan pendekatan model bisnis yang dinamis, dan kemitraan antara pemerintah, akademisi dan bisnis yang lebih erat. Concentration ditujukan agar pengembangan sentra/klaster dilakukan dengan kerja keras, dan pendekatan lebih fokus pada sektor yang memberikan pengaruh ganda (multiplier effect) yang lebih besar. Sentra UKM perikanan di Indonesia hampir semuanya merupakan sentra UKM tradisional, dimana sentra ini terdiri dari unit usaha inti yaitu produsen
6
produk utama sentra dan usaha penunjang seperti pemasok bahan baku, subkontraktor dan pedagang perantara. Pembentukan sentra UKM merupakan salah satu kebijakan yang diterapkan pemerintah untuk dapat memajukan UKM. DKP (2006) menyatakan, bahwa sentra industri pengolahan hasil perikanan merupakan kumpulan dari beberapa unit pengolahan ikan (UPI) yang berada pada posisi yang sama dalam mata rantai nilai. Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM, telah menjadikan pengembangan
sentra
sebagai
kebijakan
dan
program
strategis
dalam
pemberdayaan UKM. Taufik (2004) menyatakan, bahwa sampai tahun 2004 melalui fasilitasi Kementerian Koperasi dan UKM telah dikembangkan sebanyak 1006 sentra UKM yang bergerak di berbagai sektor. Bertitik tolak dari karakteristik dan kelemahan dari usaha UKM, maka pemerintah dalam mengembangkan sentra juga mengembangkan business development services provider (BDSP) serta fasilitasi pembiayaan bagi UKM melalui pengembangan sistem pembiayaan dana bergulir yang disalurkan oleh lembaga koperasi simpan pinjam (KSP) atau unit simpan pinjam koperasi (USP). Ketiga komponen ini yaitu sentra, BDS, dan KSP/USP dikembangkan secara terintegrasi untuk memberdayakan UKM, dimana strategi ini dikenal dengan istilah pemberdayaan UKM berbasis sentra. Pengembangan sentra ini, tentu menjadi bagian penting dari upaya memberdayakan UKM lebih lanjut menuju bentuk klaster. Sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan aktivitas bisnis dalam sentra, usaha-usaha baru dengan berbagai cakupan bisnis yang menunjang aktivitas sentra akan berkembang. Selanjutnya, untuk sentra yang prospektif akan membutuhkan aktivitas usaha di sektor penyedia bahan baku, pemasaran, penelitian dan pengembangan, pengujian mutu, asuransi, dan lain sebagainya sebagai bentuk dari sebuah klaster. Sejauh ini keberadaan klaster yang ideal di tanah air, utamanya yang melibatkan UKM masih belum berkembang. Pendekatan pengembangan sentra secara terintegrasi dengan pelayanan keuangan melalui koperasi serta layanan konsultasi manajemen, diharapkan pola pemberdayaan UKM seperti ini dapat menjadi penggerak tumbuhnya berbagai kegiatan usaha dalam suatu kawasan
7
menuju tumbuhnya klaster. Model klaster yang ideal adalah sinergi beberapa aktivitas usaha UKM yang saling terkait, baik dari aspek proses produksi yang melibatkan UKM di sektor hulu sampai hilir, maupun usaha jasa yang dikembangkan oleh UKM sebagai penunjang aktivitas bisnis dalam klaster. Unit usaha sentra di Desa Kenanga Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat, merupakan wilayah sentra produksi pembuatan kerupuk ikan dan udang. Unit usaha sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang tersebut, merupakan unit usaha inti dalam sentra industri pengolahan kerupuk. Menurut DKP (2008) bahwa pengembangan unit usaha inti dalam sentra, diharapkan akan mampu meningkatkan kapasitas usaha berskala ekonomi dengan kelembagaan yang kuat serta dikelola secara profesional dengan akses dan penetrasi pasar yang kuat dan berdaya saing, serta mampu berproduksi lebih efisien dalam kawasan pengembangan. Kerupuk ikan dan udang merupakan makanan kering dengan bahan baku ikan dicampur dengan tepung tapioka dan bumbu yang sangat digemari masyarakat, karena mengandung nilai gizi yang tinggi. Makanan ini sering digunakan sebagai pelengkap ketika bersantap, ataupun sebagai makanan ringan/ camilan. Bahkan untuk jenis makanan khas tertentu selalu dilengkapi dengan kerupuk. Makanan ini menjadi kegemaran masyarakat dikarenakan rasanya yang enak, gurih, dan renyah. Selain rasa yang enak tersebut, menurut Saraswati (1986) kerupuk ikan dan udang juga memiliki kandungan zat-zat kimia yang diperlukan oleh tubuh manusia. Komposisi zat kimia dalam kerupuk ikan dan udang disajikan dalam Tabel 1. Menurut Saraswati (1986) kandungan protein kerupuk ikan dan udang tidak jauh berbeda, sedangkan kandungan vitamin pada kerupuk ikan lebih rendah dibanding kerupuk udang. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan protein pada ikan tidak banyak yang hilang setelah mengalami pengolahan, jika dibandingkan dengan kerupuk udang, dan kerupuk udang lebih kaya kandungan dalam semua unsur kimia yang diperlukan oleh tubuh manusia.
8
Tabel 1 Komposisi kerupuk ikan dan udang (per 100 gram) Komponen
Kerupuk Ikan Kerupuk Udang
Karbohidrat (%)
65.6
68.0
Air (%)
16.6
12
Protein (%)
16
17.2
Lemak (%)
0.4
0.6
Kalsium (mg/100 gram)
2
3.3
Fosfor (mg/100 gram)
20
33.7
Besi (mg/100 gram)
0.1
1.7
Vitamin A (mg)
-
50
Vitamin B (mg)
-
0.04
Sumber: Saraswati (1986)
Kerupuk ikan dan udang merupakan produk yang dijadikan sebagai salah satu produk unggulan Kabupaten Indramayu, dan sampai saat ini masih terus berkembang sebagai salah satu satu penghasil kerupuk ikan dan udang terbesar di Indonesia. Usaha pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, banyak tersebar di wilayah sentra industri pengolahan kerupuk di Desa Kenanga Blok Dukuh, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Saat ini jumlah pengolah kerupuk ikan dan udang di Indramayu sebanyak 34 unit pengolahan ikan (UPI), yang terdiri dari 26 UPI skala usaha kecil dan 8 UPI skala usaha menengah. Total produksi kerupuk mencapai 1005-1240 ton per bulan atau 40-50 ton per hari. Proses pembuatan kerupuk ikan dan udang, sangat sederhana dan mudah diusahakan. Pengolahan kerupuk ini, disamping dapat diusahakan dengan peralatan modern, juga dapat dijalankan dengan peralatan sederhana/tradisional. Berdasarkan skala usaha, industri pengolahan kerupuk ikan dan udang dapat dilakukan oleh skala usaha besar, menengah, kecil, maupun mikro. Perbedaan utama dari skala usaha tersebut adalah pada teknologi dan pangsa pasarnya. Perusahaan skala usaha besar dan menengah, dalam proses produksinya menggunakan peralatan dengan teknologi modern dan semi modern dengan pangsa pasar tersebar baik di daerah lokal maupun daerah lain bahkan ekspor.
9
Berbeda dengan perusahaan skala usaha kecil dan mikro, sebaian besar menggunakan peralatan dengan teknologi sederhana/tradisional dan pangsa pasar yang masih terbatas pada pasar lokal. Bank Indonesia (2007) menyatakan bahwa dilihat dari aspek ekonomi, usaha pengolahan kerupuk ikan dan udang merupakan bisnis yang menguntungkan. Peluang pasar dalam negeri, maupun ekspor untuk komoditi ini masih sangat terbuka. Hal ini dikarenakan kerupuk ikan dan udang merupakan konsumsi seharihari masyarakat, sehingga permintaan untuk kerupuk ikan dan udang relatif stabil bahkan cenderung mengalami peningkatan. Selain mampu meningkatkan pendapatan bagi pengusaha, usaha ini juga mampu membantu meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar yang akhirnya berpengaruh pada perekonomian daerah. Usaha pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dilihat dari aspek sosial, mempunyai dampak sosial yang positif. UKM sentra industri ini mampu menyerap tenaga kerja dari lingkungan sekitar unit pengolahan. Secara tidak langsung, hal ini merupakan upaya penciptaan lapangan kerja yang mengurangi jumlah pengangguran di wilayah Indramayu. Seiring dengan perkembangan usahanya, UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu banyak mengalami permasalahan sehingga mengakibatkan daya saingnya rendah. Permasalahan yang sering dijumpai adalah penurunan produksi kerupuk pada saat musim hujan, ditambah dengan keterbatasan modal usaha, teknologi, dan akses pasar merupakan kelemahan yang mendasar. Kondisi tersebut, selaras dengan beberapa hasil kajian atau penelitian. Hasil kajian BPS (2008) mengemukakan, permasalahan UKM yaitu masih rendahnya produktivitas karena tingkat keterampilan dan teknologi yang digunakan pada keseluruhan proses usaha masih sederhana. Kemeneg Kop dan UKM (2004) menyatakan, hambatan yang selalu membelenggu kemajuan UKM adalah lemahnya kemampuan untuk mengelola dan mengakses ke berbagai sumber daya produktif (sumber informasi, pangsa pasar, penguasaan dan pemanfaatan teknologi, dan mengembangkan organisasi dan manajemen).
10
Persoalan yang dihadapi UKM menurut Riyadi (2001) antara lain 1) rendahnya produktivitas, sumber daya manusia dan manajemen yang belum profesional, kurang tanggap terhadap perubahan teknologi dan kurangnya permodalan; dan 2) akses pasar yang belum memadai, termasuk di dalamnya jaringan distribusi yang berfungsi sebagai jalur pemasaran belum berjalan efisien. Supraptini (2011) menyatakan, bahwa UKM menghadapi permasalahan dalam membangun kemampuan inovasi karena penguasaan keterampilan dan adopsi teknologi yang kurang memadai bagi efektivitas dan efisiensi proses bisnisnya. Kelemahan substansial yang dimiliki adalah proses pembelajaran dalam mengadopsi keterampilan dan teknologi baru. Sebagian persoalan tersebut, sebenarnya tidak terlepas dari kendala internal yang dihadapi. Terbatasnya kompetensi sumber daya manusia, akses permodalan, dan teknologi merupakan kelemahan utama. Berdasarkan hasil pengamatan Hoesada (2008), terdapat beberapa hal yang menghambat pembinaan UKM di Indonesia. Penghambat yang dialami UKM umumnya bersifat internal, yaitu kualitas sumber daya manusia yang masih rendah, kelemahan dalam struktur permodalan, dan kelemahan dalam mengakses permodalan, termasuk dalam manajemen modal kerja. Dalam rangka menghadapi permasalahan tersebut dan untuk meningkatkan daya saing melalui sumber daya yang dimilikinya, maka UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu perlu membuat strategi pengembangan yang komprehensif, integratif, dan fleksibel agar mampu bertahan dalam memenangkan persaingan usaha di masa yang akan datang. Dunia usaha saat ini, menghadapi lingkungan persaingan yang sangat kompleks dan sangat bergejolak yang digambarkan sebagai lingkungan di mana produk baru, teknologi baru, dan pesaing baru secara konstan mengancam stabilitas pasar (Hooley et al. 2000). Kondisi persaingan seperti ini, pelanggan sangat menuntut untuk memperoleh tingkat kualitas yang tinggi dengan harga murah. Selanjutnya, pengusaha dituntut untuk mengembangkan orientasi pasar agar dapat bertahan dalam lingkungan yang dinamis dan bergejolak tersebut. Perkembangan dunia usaha dalam bidang perusahaan industri yang berubah dengan cepat, memerlukan metode perencanaan strategis yang memberikan
11
perhatian besar dalam mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi di masa depan. Penerapan perencanaan strategis merupakan suatu kebutuhan yang mendesak dan harus dilaksanakan semaksimal mungkin, mengingat lingkungan juga selalu berubah dan masa depan kian sulit diprediksikan. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka saat ini dan di masa depan pengembangan UKM dalam rangka mendukung daya saing menjadi sesuatu yang sangat penting bagi UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Daya saing sendiri adalah suatu konsep yang merujuk pada komitmen terhadap persaingan pasar dalam kasus perusahaan atau industri, dan keberhasilan dalam persaingan internasional dalam kasus negara atau daerah. Menurut Meso dan Smith (2000), diacu dalam Fitriati (2012) dalam kasus perusahaan, daya saing sering digunakan sebagai aset strategik yang menghalangi perusahaan lain untuk dapat memasuki pasar dengan produk atau keunggulan yang sama. Pada level perusahaan, daya saing dapat dilihat berdasarkan (1) pandangan berbasis pasar atau market based view (MBV); dan (2) pandangan berbasis sumber daya atau resource based view (RBV). Perspektif MBV dan RBV ini, merujuk pada keunggulan kompetitif berkelanjutan bagi perusahaan (Roquebert et al. 1996, Makhija 2003, diacu dalam Fitriati 2012). Pemaknaan daya saing pada tiap tingkatan, saling terkait secara erat. Selanjutnya, penelitian ini menggunakan pendekatan riset tindakan (action research) berbasis soft system methodology (SSM) yang melihat fakta lapangan (real world) sebagai sistem yang terdiri dari sub sistem yang saling berhubungan satu sama lain (interconnected dan interrelated). Checkland (1988) menyatakan, SSM merupakan alat untuk mengamati fakta lapangan yang tidak beraturan (messy), rumit (complex), misterius, dan holons, dan kemudian menganalisa, serta membuat kesimpulan terhadap apa yang diamati. Holon itu sendiri merupakan serba sistem aktivitas manusia (human activity systems), yang ditentukan sebagai cara yang membuat mereka menemukan karakteristik dari keseluruhan yang dikembangkan melalui berpikir serba sistem (system thinking). Pendekatan yang melihat fakta lapangan sebagai sistem, menjelaskan bahwa kehadiran berbagai sistem/subsistem dalam fakta lapangan, terbentuk karena aktor-aktor yang saling berinteraksi dalam fakta lapangan,
12
memiliki tentang berpikir serba sistem sendiri, yang selanjutnya pemikiran serba sistem aktor-aktor membuat fakta lapangan yang holon(s), rumit, dan misterius tersebut. Checkland (1981) menyatakan, bahwa dengan mencoba menjelaskan fakta lapangan melalui berpikir serba sistem aktor-aktor yang saling berinteraksi, pendekatan SSM mencoba menawarkan suatu pendekatan yang dapat menangkap hal-hal yang bersifat tidak terstruktur (soft ill structured). Selanjutnya, Checkland dan Poulter (2006) menyebutnya sebagai ‘pertarungan’ sudut pandang (clashes of world view). Sehubungan hal tersebut, maka fakta lapangan tidak dapat disederhanakan dalam variabel, dimensi, maupun indikator. Mengingat fakta lapangan yang tidak beraturan, rumit, holons, mengandung juga hal-hal yang bersifat tidak terstruktur (ill structured). Kebijakan pemerintah dalam pengembangan sektor UKM, bertujuan untuk meningkatkan potensi dan partisipasi aktif UKM di dalam proses pembangunan nasional khususnya dalam kegiatan ekonomi dalam rangka mewujudkan pemerataan pembangunan melalui perluasan kerja dan peningkatan pendapatan. Sehubungan hal tersebut, pengembangan UKM sering dianggap secara tidak langsung sebagai kebijakan penciptaan kesempatan kerja, atau kebijakan redistribusi pendapatan (Tambunan 2002, diacu dalam Djamhari 2004). Rahman (2006) menyatakan, bahwa kerangka utama dalam upaya menetapkan kebijakan pengembangan dan perkuatan UKM dapat dimulai dari upaya untuk mengidentifikasi pola dasar dalam pengembangan UKM. Bentuk tingkatan dalam kebijakan UKM yang akan berpengaruh terhadap proses operasinya sehari-hari, yaitu kebijakan pada tingkatan mikro (micro level policies), tingkatan makro (macro level policies) dan tingkatan meso (meso level policies). Identifikasi kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan ketiga pola dasar kebijakan pengembangan UKM tersebut, sangat diperlukan untuk mengetahui apa saja prioritas/fokus kebijakan pengembangan UKM yang dapat ditetapkan. Hal ini tentunya dilakukan berdasarkan kebutuhan dan fakta, serta kondisi riil yang terjadi pada UKM di Indonesia.
13
Nee (2003) mengemukakan konsep yang mengintegrasikan ketiga tataran (makro, meso, dan mikro) dalam model the new institutionalism in economics and sociology (NIES). Skema model kausal bertingkat (causal multilevel) dalam NIES, menjelaskan bahwa institusi/lembaga baru (new institutionalism) dalam sosiologi ekonomi saling berhubungan. Model NIES menunjukkan mekanisme kausal yang beroperasi di kedua arah, dari makro ke mikro dan mikro ke tingkat makro analisis. Mekanisme kausal penting dalam analisis ekonomi untuk menentukan struktur insentif organisasi dan perusahaan yang terintegrasi dengan aturan formal dan informal di level meso (organisasi) dan level mikro (kelompok sosial dan individu), sehingga setiap tataran memiliki analisis hubungan kausal yang berbeda dengan institusi yang terkait di dalamnya. Beberapa kota di Indonesia, dalam konteks daya saing pada tataran makro, meso, dan mikro ini telah menunjukkan keberhasilan karena memadukan tiga tataran tersebut. Kota Solo dan Yogyakarta yang terkenal dengan kota pariwisata dan budaya. Kota Jember terkenal dengan keberhasilan bidang fashion dan kota karnaval kelas dunia. Kota Surabaya terkenal dengan kota terbersih di Indonesia dan kota terbaik se-Asia Pasifik versi Citynet. Kota Cimahi telah menjadi contoh praktik terbaik kota kreatif dalam upaya meningkatkan daya saing kota dengan memadukan kerangka kelembagaan pada tiga tingkat tataran (Kompas 12/7/2012, diacu dalam Fitriati 2012). Selanjutnya praktik keberhasilan dalam memadukan tiga tataran tersebut, menginspirasi pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, Jawa Barat.
1.2
Perumusan Masalah Provinsi Jawa Barat memiliki potensi sektor perikanan yang sangat besar,
baik perikanan darat maupun perikanan lepas pantai yang tidak hanya mencukupi untuk kebutuhan lokal, namun juga di ekspor ke luar negeri. Produksi perikanan Provinsi Jawa Barat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, pada tahun 2010 produksi perikanan Provinsi Jawa Barat mencapai 570 000 ton, dan pada tahun 2011 meningkat hingga mencapai 700 000 ton atau mengalami peningkatan sebesar 22.8 persen (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat 2012).
14
Peningkatan jumlah produksi perikanan Provinsi Jawa Barat yang terus meningkat ini, merupakan suatu keunggulan tersendiri bagi Provinsi Jawa Barat. Produksi perikanan Provinsi Jawa Barat berkontribusi untuk produksi nasional, sehingga sejalan dengan visi Kementrian Kelautan dan Perikanan yaitu “Indonesia Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar Tahun 2015”. Salah satu daerah potensial di Provinsi Jawa Barat adalah Kabupaten Indramayu. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu (2012), Kabupaten Indramayu sebagai daerah pantai utara Jawa dengan panjang pantai 114 km2 memiliki potensi yang besar di bidang perikanan, baik itu perikanan budidaya ataupun perikanan tangkap yang didapatkan dari sumber daya lautnya. Produksi perikanan tangkap Kabupaten Indramayu tahun 2011 sebesar 107 000 ton per tahun atau senilai Rp329 504 279 200.00, sementara untuk total tambak memiliki luas 22 514.07 ha dengan komoditas unggulan meliputi udang, bandeng, dan rumput laut. Pada tahun 2011 jumlah produksi yang dihasilkan oleh tambak ini cukup besar, yaitu sebanyak 101 454 ton per tahun. Jumlah produksi ini sendiri meningkat cukup signifikan bila dibandingkan dengan tahun 2010 dan 2009 yang hanya berproduksi sebanyak 82 149 ton per tahun dan 42 658 ton per tahun. Selain perikanan tangkap dan tambak, Kabupaten Indramayu juga memiliki potensi kolam dengan komoditas unggulan berupa lele dan gurame dengan keseluruhan luas lahan sebesar 533.87 ha. Potensi kolam di Kabupaten Indramayu ini, dapat berproduksi sebanyak 51 214.92 ton pada tahun 2011. Kontribusi produksi perikanan Kabupaten Indramayu pada tahun 2011 sebesar 259 668.92 ton atau 37.1 persen dari total produksi perikanan Provinsi Jawa Barat (Badan Pusat Statistik Jawa Barat 2012), merupakan produksi tertinggi dari 25 kabupaten/kota lainnya di Provinsi Jawa Barat. Produksi perikanan laut Provinsi Jawa Barat, sepertiganya berasal dari Kabupaten Indramayu yaitu mencapai 37.2 persen (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu 2012). Pengembangan industri hasil perikanan, merupakan salah satu prioritas dalam pembangunan nasional di sektor perindustrian. Industri pengolahan hasil perikanan, merupakan salah satu bagian dari agroindustri yang sangat berpeluang
15
memilki daya saing kuat dan bertahan dalam jangka waktu yang lama. Agroindustri hasil perikanan yang sudah berkembang baik dalam skala usaha besar, menengah maupun skala kecil salah satunya adalah pengolahan kerupuk ikan dan udang. Ilyas
(1979)
mengemukakan
bahwa
pengolahan
pada
hakikatnya
mempunyai fungsi untuk memaksimumkan manfaat hasil tangkapan dan budidaya, meningkatkan nilai tambah ekonomi dan memperpanjang daya tahan simpanan, serta mendiversifikasikan kegiatan dan komoditas yang dihasilkan sehingga sangat berpengaruh terhadap keadaan sosial ekonomi nelayan, pembudidaya, maupun pedagang/pemasar. Posisi pada sembilan bahan pokok, olahan ikan juga berperan sangat besar dalam masalah gizi dan kesehatan masyarakat, disamping sumbangannya bagi pendapatan devisa negara. Kerupuk ikan dan udang merupakan produk agribisnis yang dijadikan sebagai salah satu produk unggulan Kabupaten Indramayu, dan sampai saat ini masih terus berkembang. Usaha pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu ini termasuk ke dalam skala UKM dan banyak tersebar di wilayah sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Desa Kenanga Blok Dukuh, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Desa Kenanga, sebagai salah satu penghasil kerupuk ikan dan udang terbesar di Indramayu. Pada tahun 2011 menghasilkan total produksi kerupuk ikan dan udang sebesar 10051240 ton per bulan dengan nilai produksi Rp20 milyar-Rp25 milyar per bulan) atau 40-50 ton per hari (dengan nilai produksi Rp800 juta-Rp1 milyar per hari) yang dihasilkan dari 34 unit usaha pengolahan kerupuk dengan didukung tenaga kerja sebanyak 1597 orang. Hasil produk UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Desa Kenanga, selain dijual langsung kepada konsumen juga dipasarkan melalui agen dan pedagang di wilayah Indramayu, Cirebon, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Solo, Sidoarjo, Surabaya, DKI Jakarta, Medan, Banjarmasin, dan lainlain. Sayangnya meski menjadi sentra penghasil kerupuk ikan dan udang terbesar, ternyata belum mampu mendongkrak popularitas Indramayu layaknya kerupuk ikan dan udang Cirebon dan Sidoarjo. Hal tersebut dikarenakan sebagian dari
16
kerupuk ikan dan udang yang dihasilkan Kabupaten Indramayu, masih dijual tanpa merek dan kemasan. Kendala dan permasalahan lain yang sering terjadi pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu antara lain penurunan produksi kerupuk pada saat musim hujan, ditambah dengan keterbatasan modal usaha, teknologi, dan akses pasar merupakan kelemahan yang mendasar sehingga daya saingnya rendah. Dalam kaitannya dengan daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, belum ditemukan penelitian yang mencoba mengembangkan UKM menggunakan tiga tingkat tataran kelembagaan makro, meso, dan mikro yang berpijak pada NIES sebagai basis analisis, dan menggunakan SSM berdasarkan riset tindakan (based action research) sebagai metodologinya. Berdasarkan kondisi tersebut, maka saat ini dan di masa depan pengembangan UKM menuju daya saing menjadi sangat penting bagi UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dalam tataran makro, meso, dan mikro. Selanjutnya, permasalahan utama yang dapat diidentifikasi adalah: 1) Apa saja permasalahan utama yang terjadi pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu? 2) Bagaimanakah kerangka kelembagaan pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dalam tataran makro, meso, dan mikro? 3) Strategi apakah yang dapat dilakukan untuk pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka secara
umum penelitian ini bertujuan untuk merumuskan alternatif kebijakan pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dengan pendekatan SSM dan NIES. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Merumuskan permasalahan utama yang terjadi pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
17
2) Memformulasikan kerangka kelembagaan pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. 3) Menyusun strategi pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi:
1) Masyarakat perikanan, mengenai gambaran UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dan strategi pengembangannya. 2) Para pembuat kebijakan perikanan terutama pemerintah, dalam menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan tangkap dan strategi pengembangan UKM industri pengolahan hasil perikanan. 3) Dunia usaha terutama UKM industri pengolahan hasil perikanan, dalam mengembangkan usaha agar memiliki daya saing. 4) Penelitian
selanjutnya,
sebagai
rujukan
dalam
penyusunan
strategi
pengembangan UKM sejenis.
1.5
Batasan Masalah Penelitian ini menggunakan beberapa batasan masalah untuk menghindari
adanya perbedaan penafsiran terhadap konsep-konsep yang terdapat dalam penelitian, yaitu: 1) Pengertian UKM yang digunakan UU RI No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) (1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/badan usaha perorangan. Kriteria usaha mikro sebagai berikut: -
Memiliki kekayaan bersih paling banyak 50 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
-
Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak 300 juta rupiah.
(2) Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai,
18
atau menjadi bagian baik langsung maupun tak langsung dari usaha menengah atau usaha besar. Kriteria usaha kecil sebagai berikut: -
Memiliki kekayaan bersih lebih dari 50 juta rupiah sampai dengan paling banyak 500 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
-
Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 300 juta rupiah sampai dengan paling banyak 2.5 milyar rupiah.
(3) Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tak langsung dari usaha kecil atau usaha besar. Kriteria usaha menengah sebagai berikut: -
Memiliki kekayaan bersih lebih dari 500 juta rupiah sampai dengan paling banyak 10 milyar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
-
Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 2.5 milyar rupiah sampai dengan paling banyak 50 milyar rupiah.
2) Pengertian UKM yang digunakan (DKP 2006) yang telah ditetapkan melalui PERMEN KP No. 18/MEN/2006 sebagai berikut: Pembedaan skala usaha pengolahan hasil perikanan ditetapkan berdasarkan parameter yaitu (1) omset, (2) aset, (3) jumlah tenaga kerja, (4) status hukum dan perijinan, (5) penerapan teknologi, dan (6) teknis dan manajerial. Nilai kumulatif untuk masing-masing parameter skala usaha pengolahan hasil perikanan ditetapkan sebagai berikut: -
Usaha pengolahan hasil perikanan skala mikro memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 20-44
-
Usaha pengolahan hasil perikanan skala kecil memilki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 45-69
-
Usaha pengolahan hasil perikanan skala menengah memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 70-89
19
3) UKM yang dipilih sebagai rujukan penelitian adalah UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Desa Kenanga Blok Dukuh, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. 4) Pengertiaan pengolahan ikan/udang adalah kegiatan pengubahan bahan dasar/bahan baku (ikan/udang) menjadi suatu produk/barang jadi dengan maksud untuk dijual. 5) Pengertian kerupuk ikan/udang (Sukirno 2006) adalah kerupuk yang pembuatannya menggunakan bahan baku ikan/udang atau essence/ekstrak udang, ditambah dengan bahan tambahan lain yaitu tepung tapioka, terigu, telur, dan bumbu untuk menambah rasa lezat dan gurih serta digunakan zat pewarna/pemutih untuk memberikan warna agar lebih menarik serta ditambah bahan pengembang (baking powder). 6) Pendekatan yang digunakan SSM menurut Chekcland dan Poulter (2006), yaitu dengan tujuh prinsip proses dasar dalam pengunaan SSM. SSM dilakukan dengan pentahapan secara sistematik yang memenuhi syarat pemulihan (recoverability) dengan menjadikan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu sebagai rujukan penelitian. 7) Pilihan penelitian ini adalah SSM-based action research (Checkland 1981, Checkland dan Scholes 1990, Checkland dan Poulter 2006, Uchiyama 1999, Hardjosoekarto 2012) dengan kategori tindakan pemecahan masalah (problem solving interest) (McKay dan Marshall 2001). 8) Perubahan yang diinginkan dan mungkin dilakukan (feasible and desirable change)
dengan
mempertimbangkan
esensi
berpikir
serba
sistem
(systematically desirable), hambatan atau keterbatasan yang dapat ditemui (culturally feasible) (Flood and Jackson 1991) adalah pertimbangan di antara para peneliti, bukan pada pemilik masalah (problem owner). Peneliti terdiri dari praktisi (practioner) SSM sebagai orang pertama (first person), bersama pembimbing akademik (academic advisors) yang melakukan pemetaan masalah dan melakukan dialog untuk menghasilkan perbaikan melalui partisipasi pemangku kepentingan sebagai wujud serba sistem aktivitas manusia dengan pengalaman berbasis pengetahuan (experience based
20
knowledge) yang bergerak antara kenyataan (reality) dan sebenarnya (actuality) (Uchiyama 2009). 9) Pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu menggunakan analisa secara vertikal pada seluruh tataran dengan teori the new institutionalism in economics and sociology atau NIES (Nee 2003 dan 2005). Pada tataran mikro berfokus pada level aktor atau individual dan komunitas yaitu pelaku usaha/UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, tataran meso berfokus pada kelembagaan dalam ruang kebijakan ekonomi yaitu Koperasi Kerupuk Mitra Industri (KKMI) Indramayu, dan Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu (APKI) dan tataran makro berfokus pada level aktor pemerintah yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah Kabupaten Indramayu. Penelitian ini tidak melakukan kritisi terhadap teori NIES, dan juga tidak menganalisa secara horisontal pada tiap tataran.
1.6
Kerangka Pemikiran Tujuan dan strategi yang dijalankan UKM sentra industri pengolahan
kerupuk ikan dan udang di Indramayu menjadi awal dari kerangka pemikiran dalam disertasi ini. Tujuan menggambarkan kondisi di masa akan datang yang ingin dicapai UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, berisi pemikiran tentang cara-cara yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan tersebut. Tujuan dan strategi yang dijalankan sangat mempengaruhi pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Saat ini dalam menghadapi persaingan industri, suatu perusahaan dituntut untuk memiliki daya saing yang lebih baik dari perusahaan lainnya, namun tidak semua perusahaan memiliki daya saing tersebut. Miller (1983), diacu dalam Widjajani danYudoko (2008) menyatakan bahwa untuk dapat mengidentifikasi, mengembangkan
dan
mendayagunakan
sumber
daya
strategisnya
guna
memperoleh keunggulan kompetitif atau daya saing, suatu perusahaan harus memiliki sifat kewirausahaan (entrepreneurial), yaitu kecenderungan untuk menghadapi risiko, inovasi dan sikap proaktif (Gambar 1).
21
Pemasok bahan baku di dalam sentra
Pemasok bahan baku di luar sentra
Konsumen akhir
Lembaga/ Asosiasi/ Perusahaan
Pedagang perantara Pemilik Usaha Kompetensi entrepreneurial yang dimiliki
Pengolah
Usaha manufaktur produk inti pesaing
Sumber: Miller (1983), diacu dalam Widjajani dan Yudoko (2008)
Gambar 1 Kapabilitas atau kompetensi entrepreneurial.
Sehubungan UKM dikarekterisasi dengan manajemen satu orang yaitu pemiliknya, maka sumber daya atau kapabilitas yang dimiliki pemilik suatu UKM haruslah kapabilitas yang bersifat kewirausahaan yaitu yang disebut sebagai kapabilitas atau kompetensi kewirausahaan. Selanjutnya, melalui penggunaan konsep teori berbasis sumber daya (resource based view atau RBV), keunggulan kompetitif atau daya saing di UKM dapat diciptakan jika pemilik UKM dapat mendayagunakan kompetensi kewirausahaan (entrepreneurial) yang dimilikinya sebagai sumber daya strategis. Proses penciptaan produk merupakan hasil dari proses penyatuan berbagai sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan, tetapi satu sumber daya bisa pula menghasilkan berbagai macam produk. Produk yang memiliki nilai tinggi akan seketika disaingi atau diduplikat oleh pesaing, dikarenakan produk salah satunya dihasilkan dari sumber daya perusahaan, maka perusahaan berkewajiban untuk menjaga dan mengembangkan seluruh sumber daya, mencegah pesaing memiliki sumber daya tersebut, serta mencegah pesaing memiliki sumber daya pengganti yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif dari pesaing (competitive advantage of competitor). Produk yang ditawarkan kepada pasar merupakan kemampuan dari perusahaan dalam mengoperasionalkan segala sumber daya yang dimilikinya, dimana harga merupakan hasil perbandingan antara biaya produksi dengan nilai yang tertanam di dalamnya (Gambar 2).
22
Mengintegrasikan pengetahuan khusus
Nilai Kapabilitas penciptaan & evaluasi
Kapabilitas mengopera sionalkan
Harga
Kapabilitas dinamik
Biaya
Kapabilitas antar perusahaan, replikasi & imitasi
Sumber: David dan Tammy (2008)
Gambar 2 Persaingan industri dalam menciptakan sumber daya dan kapabilitas.
Pesaing akan selalu berusaha untuk menyaingi kapabilitas yang ada untuk mendapatkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, maka perusahaan perlu menyadari bahwa Pertama, kapabilitas bersifat dinamik. Kedua, perusahaan harus mampu mengintegrasikan pengetahuan yang ada. Ketiga, sumber daya yang dimiliki akan ditiru oleh pesaing untuk mendapatkan keunggulan kompetitif yang perusahaan miliki. Adanya usaha meniru oleh pesaing maka perusahaan perlu untuk terus mengembangkan sumber daya dan kapabilitas yang ada agar keunggulan kompetitif hanya dapat dinikmati oleh perusahaan dan bukan dinikmati oleh pesaing (David & Tammy 2008). Keunggulan kompetitif dari sumber daya yang dimilikinya agar dapat dinikmati, maka perusahaan perlu untuk melakukan penelitian agar produk yang ada dapat dikembangkan menjadi suatu produk yang memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pesaingnya dalam jangka waktu yang lama. Gambar 3 menunjukkan bahwa “zero order or operational capabilities” adalah kondisi dimana suatu perusahaan berada dalam kondisi telah menghasilkan dan menjual produk yang didasari sumber daya perusahaan (firm resources) baik sumber daya yang berwujud (tangible) maupun tidak berwujud (intangible) dalam skala dan pelanggan yang sama (Barney & Arikan 2001). Keunggulan kompetitif tidak dapat selamanya dinikmati jika perusahaan tidak terus mengembangkan sumber daya dan kapabilitasnya, hal ini disebabkan
23
bahwa pesaing akan mengambil, menduplikat, atau mendapatkan substitute resource yang perusahaan miliki dan atau melakukan duplikasi. Menurut Barney dan Arikan (2001), agar dapat menikmati keunggulan kompetitif dalam jangka waktu yang lama, maka pada tahap “1st order or change capabilities” perusahaan sangat perlu untuk terus melakukan pengembangan sumber daya agar pesaing tidak dapat menikmati sumber daya/mengantisipasi pesaing memiliki sumber daya pengganti.
1st order or change capabilities Zero order or Operational Capabilities
Knowledge
Skills
Routines
Experience
Firm Characteristics
Sumber: Barney & Arikan (2001)
Gambar 3 Sumber daya, kapabilitas, dan daya saing.
Situasi persaingan industri saat ini, pesaing akan selalu mencari tahu sumber daya apa saja yang dimiliki oleh perusahaan dan melakukan tindakan untuk menyaingi atau bahkan melebihi sumber daya yang ada untuk menciptakan keunggulan kompetitif yang lebih baik. Gambar 4 menunjukkan bahwa terdapat dua macam sumber daya, yaitu resource heterogeneous and immobility dan resource homogeneous and mobility dan tidak semuanya sumber daya berguna bagi perusahaan, agar perusahaan mencapai firm capability yang maksimal maka perusahaan perlu untuk lebih menfokuskan diri pada resource heterogeneous and immobility. Hal efektifitas
pada
ini
guna
memberikan
efisiensi dan
saat pengimplementasian strategi yang dikembangkan oleh
perusahaan. Keunggulan kompetitif agar tidak dapat dinikmati oleh pesaing, maka perusahaan perlu untuk melakukan tindakan yang dapat menghambat pesaing memanfaatkan sumber daya yang ada dan atau menghambat pesaing tidak
24
memiliki sumber daya pengganti. Lockett et al. (2009) menyatakan bahwa untuk menghambat pesaing, maka sumber daya yang dimiliki perusahaan harus terus menerus dikembangkan dan memiliki sifat VRIN (valuable, rare, immitability, not substitute) dalam usaha firm agar dapat menikmati keunggulan kompetitif dalam jangka waktu yang lama. Perusahaan tidak selamanya perlu untuk mengcreate
resource,
perusahaan
memiliki
opsi
untuk
melakukan
re-
combination resources. Resource Homogeneous and Mobility
Valuable Resource can not immitable if firm create barriers and Immobility
Rare
Resource Heterogeneous and Immobility
Immitability
VRIN Not Substitute
focus on it
Barriers from Competitors
Tangible & Intangible
Resource imitation or duplication
Creation & Decay
Create Resource Substitute
Firm Capability
Resource Competitor Competitive Advantage
Integrating specialized knowledge
Firm Performance
Dynamic Capabilities Capability Creation & Evaluation
Operational Capabilities (Value-Cost-Price)
Industry Competition
Intrafirm Capability Replication & Immititation
Competitive AdvantageCompetitors
Firm PerformanceCompetitors
Sumber: Lockett et al. (2009)
Gambar 4 Framework antara firm dengan pesaing.
Firm CapabilityCompetitors
25
Sumber daya yang valuable resource, berarti sumber daya yang dapat memberikan kontribusi pada perusahaan dalam rangka menciptakan firm capability yang baik. Rare resource adalah bagaimana sumber daya yang dimiliki tidak dengan mudah diperoleh oleh pesaing, sedangkan immitability resource adalah bagaimana caranya agar sumber daya yang dimiliki tidak mudah dan atau tidak dapat diduplikasi oleh pesaing. Terakhir adalah not substitutable resource yaitu bagaimana caranya agar pesaing tidak menemukan dan atau tidak dapat dengan mudah mendapatkan substitute resource, walaupun tentunya pada prakteknya akan sangat sulit mencegah pesaing mendapatkan substitute resource dan atau menduplikasi sumber daya yang dimiliki perusahaan (Lockett et al. 2009). Menurut Lockett et al. (2009), dikarenakan sifat sumber daya yang sangat beragam, maka perusahaan perlu untuk benar-benar memberikan tingkat focus yang lebih tinggi pada sumber daya yang benar-benar dapat memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan pada saat sekarang dan pada masa yang akan datang. Perusahaan apabila berhasil menghambat pesaingnya untuk ikut menikmati dan atau menduplikasi sumber daya yang dimiliki ditunjang dengan perbandingan nilai (value), biaya (cost), harga (price) yang ditawarkan kepada pasar, maka perusahaan akan memiliki firm capability yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif dibandingkan pesaing yang mana keunggulan kompetitif dapat memberikan firm superior performance. Lawrence dan Lorsch (1967), diacu dalam Muafi (2008) menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan sangat dinamis. Pengaruh perubahan tersebut sangat besar terhadap aktivitas-aktivitas organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah ditetapkan (Scott 1995, diacu dalam Muafi 2008). Menurut Lee (2008), sehingga kemampuan organisasi yang tanggap terhadap peluang dan ancaman yang dihadapi organisasi sangat diperlukan untuk mempertahankan keberadaan dan mengembangkan organisasi. Kenyataan bahwa fakta lapangan (real world) UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu adalah serba sistem aktivitas manusia yang bersifat misterius, kompleks, rumit (messy), terus berubah, terus dikreasi dan dikreasikan kembali oleh pikiran, pembicaraan, dan tindakan orang-
26
orang yang memiliki aktivitas yang punya maksud dan memiliki sudut pandang (worldview) yang berbeda-beda (Checkland & Poulter 2006). Adanya situasi problematik
yang
perlu
ditingkatkan
atau
diperbaiki
tersebut,
maka
pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu pada tataran makro, meso, dan mikro akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan soft system methodology (SSM) dengan tujuh prinsip proses dasar dalam pengunaan SSM (Checkland & Poulter 2006) dan konsep Nee (2003) yang mengintegrasikan ketiga tataran (makro, meso, dan mikro) dalam model the new institutionalisms in economics sociology (NIES) oleh Nee (2003). Langkah-langkah terstruktur dalam penelitian ini, dilakukan sebagai acuan sehingga penelitian dapat berjalan secara sistematis sesuai dengan tujuan penelitian. Berdasarkan pilihan theoretical research interest (McKay dan Marshall 2001) untuk pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu pada tataran makro, meso, dan mikro, maka akan dihubungkan secara bertingkat antara satu tataran dengan tataran lainnya. Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan analisis dan proses pemulihan (recoverability), bukan pengulangan (repeatability) seperti pada pendekatan kuantitatif (Checkland 2006). Pada tahap pertama yaitu melakukan identifikasi permasalahan yang tidak terstruktur, kemudian tahap kedua menyusun situasi permasalahan (rich picture) dan tahap ketiga menyusun definisi permasalahan (root definitions), dilanjutkan tahap keempat membuat model konseptual, tahap kelima membandingkan model konseptual dengan fakta lapangan (real word), tahap keenam menentukan perubahan yang diinginkan, dan tahap ketujuh melakukan langkah tindakan untuk perbaikan. Tahap satu, tahap dua, dan tahap lima termasuk dalam tahap pencarian (finding out), tahap tiga dan tahap empat termasuk dalam tahap berpikir sistem (system thinking), terakhir tahap enam dan tahap tujuh termasuk dalam tahap mengambil tindakan (taking action). Siklus ini akan berulang apabila ditemukan hal-hal yang dipandang perlu diperbaiki ataupun ditingkatkan kualitasnya. Berdasarkan hasil SSM didapatkan rekomendasi pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dalam tataran makro, meso, dan mikro. Adapun kerangka pemikiran penelitian UKM sentra
27
industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, dapat dilihat pada Gambar 5. Identifikasi Masalah
Analisis Soft System Methodology (SSM)
Tataran Makro: Pemerintah Pusat dan Daerah
Tataran Meso: Koperasi dan Asosiasi Tataran Mikro: Pelaku Usaha/UKM
Rekomendasi Strategi dalam Tataran Makro, Meso, dan Mikro
Pengembangan UKM Sentra Industri Pengolahan Kerupuk Ikan dan Udang di Indramayu
Gambar 5 Kerangka berpikir penelitian dengan pendekatan SSM.
1.7
Kebaruan (Novelty) Kebaruan dari penelitian ini adalah kerangka kelembagaan yang bersinergi
pada tataran makro, meso, dan mikro dalam rangka meningkatkan daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, Jawa Barat.