1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pola perikanan rakyat untuk survival dalam kompetisi dengan berbagai nelayan asing maupun domestik bisa melalui perubahan teknologi, perubahan jenis ikan sasaran dan perubahan pada manajemen usaha. Perubahan tersebut dilakukan untuk menghadapi berbagai tantangan, seperti hadirnya para kompetitor yang memiliki teknologi yang tinggi, berubahnya permintaan pasar terhadap jenis ikan tertentu, perubahan harga pasar hasil laut, lingkungan eksternal yang tidak menguntungkan nelayan. Upaya untuk survival ini seringkali mengabaikan pandangan konservasi dan meningkatkan konflik dengan kelompok nelayan lain. Kelestarian ekosistem laut pun akhirnya menjadi terancam. Sebenarnya semenjak lama penduduk yang tinggal di dekat pantai “berhubungan”dengan laut dalam kondisi yang kurang lebih harmonis, walaupun mereka telah melakukan juga eksploitasi terhadapnya. Dalam beberapa waktu terakhir ini, melalui introduksi teknologi baru dan demand yang gencar terhadap hasil laut, menyebabkan ekosistem laut menjadi obyek perusakan yang serius. Kini, banyak orang berpendapat bahwa penyebab utama kerusakan ekosistem laut adalah manusia (anthropogenic impact). Perilaku manusia yang berdampak buruk terhadap ekosistem laut misalnya melalui over exploitation terhadap hasil laut, penggunaan teknologi yang merusak terumbu karang (potassium cyanide, bom ikan, bagan tancap, racun, bubu, muro ami dan lainlain), penebangan pohon di daratan secara besar-besaran, polusi industri, dan mismanajemen dari kegiatan penambangan telah merusak terumbu karang dan mematikan anak-anak ikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penelitian yang berkaitan dengan kerusakan
ekosistem laut dari segi
ekonomi, dan ekologi - biologi sudah banyak. Adapun penelitian yang secara khusus mengkaji faktor manusia masih sedikit, diantaranya adalah dari Tim Coremap (sejak tahun 1996; lihat Lampe, ed. 1996 dan Lampe, 1997), Tim Wallacea (2001), Tim Wotro (1997), beberapa buah hasil riset dari LIPI (sejak awal 1990-an) serta beberapa universitas yang ada program studi perikanan dan kelautan (misalnya IPB, Undip, Unhas, Unpatti), dan beberapa LSM (DFW- tahun 2003, P3M – tahun 1995 ke atas, dan lain-lain) berupa laporan-laporan kegiatan.
2
Dari beberapa hasil penelitian yang mengkaji dimensi manusia pun, umumnya kajian hanya menekankan sisi regulatif (peraturan, perundangundangan). Sisi normatif (ideologi, kepercayaan, dll) dan sisi kognitif (pengetahuan lokal) kurang digali secara sungguh-sungguh. Apalagi penelitian yang menganalisis interaksi eksploitatif antara nelayan dengan para pihak lainnya sangat sering dihindari atau tidak tersentuh. Selain problema kemampuan analisis peneliti, diduga kekuatiran untuk
memasuki fenomena tersebut
masih
menghambat kebebasan berpikir peneliti.
1.2 Identifikasi masalah Sekarang ini para nelayan sering menjadi kambing hitam (scape goat) pelbagai kerusakan lingkungan laut dan pesisir, khususnya terhadap kerusakan terumbu karang dan makin langkanya jenis-jenis ikan tertentu. Fenomena tentang nelayan pengguna teknologi perusak semakin sering terdengar beritanya di berbagai media massa, namun penelitian yang holistic terhadap fenomena ini sangat terbatas. Orang tidak mengetahui siapa-siapa nelayan yang melakukan hal tersebut, mengapa mereka melakukan, bagaimana cara mereka melakukan, kelembagaan macam apa yang
ada pada usaha kenelayanan destruktif itu,
stakeholder apa saja yang terlibat pada kegiatan kenelayanan destruktif ini dan lain-lain hal yang masih gelap bagi banyak pihak. Sudah banyak usaha dilakukan oleh pemerintah, organisasi masyarakat maupun swasta berupa pemberdayaan masyarakat, penyuluhan serta usaha-usaha konservasi pesisir dan laut dalam rangka meredam usaha kenelayanan destruktif ini. Akan tetapi kerusakan sumber daya laut dan usaha kenelayanan itu terus berlangsung. Usaha yang bersifat regulatif, seperti peraturan dan perundangan pelarangan penggunaan teknologi destruktif, penyelenggaraan taman laut nasional, pengawasan dan penyitaan teknologi destruktif dalam berbagai operasi keamanan sering dilangsungkan. Upaya-upaya tersebut sampai hari ini belum lagi menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sementara itu aspek pengetahuan lokal (cognitive), yang di dalamnya termasuk etika lingkungan dan interaksi eksploitatif,
kurang
lingkungan laut.
mendapat
perhatian
dalam
upaya-upaya
kelestarian
3
Etika di sini bermakna dua, yakni sebagai kumpulan pengetahuan nilai perbuatan manusia dan predikat untuk membedakan dengan perbuatan lain (Budimanta dan Rudito, 2003). Isi dari etika akan berbeda antara satu komunitas dengan kebudayaannya sendiri dengan komunitas lainnya dengan kebudayaannya yang lain. Salah satu contoh adalah masalah pengeboman di Bali yang menewaskan lebih dari seratus orang pada suatu klab malam. Pada satu sisi, pengeboman tersebut melanggar etika karena mengambil nyawa orang lain, tetapi pada sisi lain tidak melanggar etika karena dianggap klab tersebut aktivitas tidak baik (orang bermabuk-mabukan, narkoba, zinah). Pertentangan kedua nilai yang berbeda ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang sedang mendominasi pada ruang dan waktu, sehingga dapat dikatakan bahwa pembicaraan etika merupakan pembicaraan prinsip-prinsip pembenaran. Isi etika pada dasarnya akan dipengaruhi oleh adanya persepsi manusia terhadap lingkungannya dan menjadi bagian dalam sistem persepsi yang ada yang merupakan simbol-simbol penyaringan dari pra tindakan untuk menjadi suatu tindakan (Budimanta dan Rudito, 2003). Dengan memahami pengetahuan lokal kita akan memahami etika lingkungan yang melatarbelakangi suatu tindakan. Selain itu, sangat penting pula dilakukannya penelitian tentang hubungan kerja di masyarakat nelayan, yang dimulai dengan memahami pengetahuan lokal nelayan destructive fishing dan pola tindakannya. Setelah memahami pengetahuan lokal nelayan, khususnya tentang variabel-variabel kelautan dan interaksinya dengan para pihak, lalu memahami pola tindakannya untuk menyusun format pemanfaatan sumber daya perikanan berkelanjutan.
1.3 Perumusan masalah Studi ini akan mengeksplorasi kemungkinan perubahan perilaku nelayan pengguna teknologi destruktif di Pulau Barrang Lompo menjadi nelayan yang menerapkan
prinsip-prinsip
perikanan
berkelanjutan,
dengan
cara
mengidentifikasi mengapa praktek penggunaan bom ikan ini berlangsung bertahun-tahun
dan
mencoba
menyusun
memungkinkan terjadinya perubahan tersebut.
strategi
pemberdayaan
untuk
4
1.4 Kerangka berpikir Kalangan teoritisi sumberdaya alam berpendapat bahwa orang akan cenderung mengeksploitasi secara berlebihan terhadap sumberdaya alam yang bisa diperbaharui (renewable resources), ketika mereka kekurangan informasi yang dapat dipercaya tentang sumberdaya tersebut, kekurangan informasi tentang masa depan sumberdaya tersebut dan kekurangan informasi tentang siapa-siapa saja yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Ostrom (1990)
1
mengemukakan
pendapatnya tentang hal itu, sebagai berikut : “Appropriators who are uncertain whether or not there will be sufficient food to survive the year will discount future returns heavily when traded off against increasing the probability of survival during the current year. Similarly, if a CPR can be destroyed by the actions of others, no matter what local appropriators do, even those who have constrained their harvesting from a CPR for many years will begin to heavily discount future returns, as contrasted with present returns.” Bahkan jika mereka mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari tindakan mereka (umumnya jarang), orang akan berusaha untuk mengeksploitasi lebih sumberdaya ketika mereka yakin bahwa usaha untuk memelihara sumberdaya atau setidaknya mengurangi tingkat eksploitasi akan tidak ada timbal baliknya. Ketidakpastian hasil
merupakan sifat dari usaha kenelayanan, yakni
kesulitan mereka untuk memprediksi berapa banyak ikan (yang berarti berapa banyak penghasilan) akan diperoleh hari ini. Hal itu memberikan pendorong (insentif) kuat bagi mereka untuk menangkap ikan sebanyak mungkin, karena mungkin di lain waktu kompetitor yang lain akan mengambil ikan-ikan tersebut. Ketidakpastian ini (uncertainty) merupakan insentif yang mendorong mereka untuk berinvestasi
dalam tenaga kerja dan teknologi yang diharapkan akan
mengurangi resiko dan ketidakpastian. Salah satu contoh bentuk investasi tersebut adalah penggunaan teknologi destruktif (unfriendly technology, destructive technology) yang ditengarai merusak ekosistem laut.
1
Saya kehilangan copy buku tersebut, sehingga tidak dicantumkan dalam daftar pustaka
5
Perbaikan lingkungan yang sudah rusak di masa lalu dengan banyak melakukan kajian-kajian yang bersifat fisik-biologis ataupun ekonomi. Namun beberapa tahun terakhir ini orang sudah mulai memperhatikan dimensi manusia atau aspek sosial budaya dalam kerusakan lingkungan tersebut dan upaya perbaikannya. Perhatian terhadap dimensi manusia di sini tidak pelak lagi berupa memahami kebudayaan. Menurut Goodenough (1964)2 kebudayaan adalah : ”...whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members, and do so in any role that they accept for any one of themselves. Culture, being what people have to learn as distinct from their biological heritage must consist of the end product of learning knowledge…”. Kebudayaan di sini berarti memaparkan sistem pengetahuan yang ada pada suatu kelompok atau masyarakat. Oleh karena sangat banyaknya pengetahuanpengetahuan tersebut, maka biasanya orang akan membatasi diri pada bidang tertentu saja dari sistem pengetahuan lokal itu. Pendekatan yang dipakai oleh para ahli ilmu sosial dalam memahami pengetahuan lokal ini adalah dengan mencoba mengungkapkan berbagai macam klasifikasi yang ada pada suatu kebudayaan. Klasifikasi ini penting bagi manusia sebab dengan cara ini dia berhasil menciptakan keteraturan (order) atas situasi di sekelilingnya dan bisa mewujudkan perilaku yang adaptif. Melalui sistem klasifikasi inilah kita kemudian akan dapat memahami berbagai tingkah laku warga suatu masyarakat yang kita amati. Memahami disini berarti kita dapat menjelaskan hubungan antara tindakan satu dengan yang lain, serta hubungan kausalitas yang ada di situ. Dalam kaitannya dengan perusakan lingkungan laut, perlu dikaji pengetahuan lokal yang berkaitan dengan strategi adaptasi dan pengetahuan lokal yang berkaitan dengan ekosistem laut. Kajian pengetahuan lokal, apalagi dengan format studi etnografis, seringkali mengesankan sebagai potret sesaat (synchronic). Contoh aktual adalah penggambaran kebudayaan-kebudayaan di Indonesia oleh Koentjaraningrat (1985). Untuk mengatasi kesan ini, diuraikan pula dinamika ekologi maupun ketenagakerjaan yang ada di masyarakat Pulau Barrang Lompo, sehingga terlihat 2
Saya kehilangan copy buku itu, sehingga tidak dicantumkan dalam daftar pustaka
6
paparan perubahan-perubahan lingkungan maupun perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat di pulau itu (dyachronic). Paparan perubahan sosio ekologi diuraikan bersamaan dengan menguraikan aspek-aspek ketenagakerjaan dan uraian tersebut terdapat pada Bab 4, 5 dan 6. Banyak ahli mencermati kasus-kasus perusakan lingkungan dengan memperhatikan strategi adaptasi dari komunitas yang menggunakan sumberdaya lingkungan tersebut, diantaranya J.W.Bennet yang dikutip oleh Whitten dan Whitten (1972). Menurutnya strategi adaptasi adalah pola-pola yang dibentuk oleh berbagai penyesuaian yang direncanakan oleh manusia untuk mendapatkan serta menggunakan sumberdaya-sumberdaya dan untuk memecahkan masalah yang langsung mereka hadapi. Penyesuaian disini barangkali akan lebih tepat bila diartikan sebagai kegiatan atau tindakan, atau mungkin usaha. Dari konsep strategi adaptasi lingkungan di atas setidaknya tercakup dua proses usaha, yakni proses produksi dan proses penjualan. Proses produksi adalah suatu proses menghasilkan sesuatu yang dalam hal kenelayanan berarti usaha penangkapan ikan. Di masa lalu ikan tersebut mungkin diperjualbelikan dengan cara penukaran (exchange). Di masa sekarang nelayan cenderung menjual ikannya dengan tujuan memperoleh uang. Uang yang diperoleh akan bermanfaat bagi nelayan untuk membeli barang-barang kebutuhan hidup mereka. Menurut Vayda dan McCay (1975) proses adaptasi sebagai suatu bentuk respon terhadap perubahan sosial maupun fisik bersifat temporer, sehingga bentuk strategi adaptasi juga bersifat temporer. Adapun pengetahuan tentang ekosistem laut di sini perlu dipahami beda antara folk knowledge dan scientific knowledge. Klasifikasi tentang ekosistem laut sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat mungkin saja akan berbeda dengan klasifikasi sebagaimana yang dipahami oleh kaum akademisi, misalnya ketidaklengkapan spesies dalam suatu klasifikasi pada folk knowledge atau perbedaan teknis membuat klasifikasinya. Jenis-jenis pengetahuan lokal yang hendak dicari diantaranya adalah seperti kategori stock assessment, spesies target, jenis teknologi, rute pencarian ikan, pola umum pembagian kawasan laut menurut tata guna lahan tradisional,
7
kalender pencarian ikan, kategori nelayan-nelayan lain (competitors), klasifikasi hubungan dengan para pihak dan lain-lain. Oleh karena kajian ini berorientasi multistakeholder,
maka perspektif
pihak lain juga menjadi bagian penting dari studi ini, tidak hanya sekedar mengamati
pengetahuan
lokal
dan
tindakan
nelayan.
Pendekatan
‘pascastrukturalis dalam masalah pelarangan bom ikan ini menjadi acuan kami. Sesungguhnya pembentukan Daerah Perlindungan Laut, pelarangan penggunaan bom ikan, Penentuan Taman Laut bisa ditelaah dengan
pendekatan
’pascastrukturalis’, yaitu melihat kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah ataupun lembaga lain berakibat termarjinalisasinya komunitas lokal (Forsyth, 2003). Artinya, kebijakan itu dibuat dengan tanpa mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat lokal. Pendekatan pasca-strukturalis memang relatif baru. Beberapa buku dan jurnal dalam ekologi-politik sudah mulai banyak menggunakan pendekatan ini. Orang melirik pendekatan itu karena kenyataan banyak program pelestarian lingkungan di dunia ketiga tidak semata berhadapan dengan masalah degradasi lingkungan, tetapi juga marjinalisasi masyarakat lokal. Hal ini terjadi karena adanya asumsi bahwa kemiskinan sebagai akar persoalan lingkungan. Dalam perspektif ini mitos bahwa orang miskin merupakan perusak lingkungan telah dianggap kurang memadai. Prinsip yang baru bahwa sebenarnya masyarakat lokal pun punya adaptasi lingkungan yang dengan caranya sendiri melakukan perbaikan terhadap degradasi lingkungan (tentang apa yang disebut local wisdom, the second round of common property). Pemikiran yang mulai dibangun dalam perspektif ini adalah bahwa secara umum 'si kaya akan menggunakan lebih banyak sumberdaya dan berdampak jauh lebih besar dibandingkan si miskin' (Forsyth, 2003). Berangkat dari pemikiran ini, eksploitasi sosial di masyarakat nelayan menjadi sangat penting untuk dikaji. Contoh kasus program pengelolaan kawasan konservasi, taman nasional, daerah perlindungan laut, dan pelarangan penggunaan bom ikan yang seringkali menyebabkan konflik sosial karena kontraproduktif dengan upaya kesejahteraan masyarakat lokal.
8
Pemahaman terhadap modal sosial yang dimiliki masyarakat sangat penting dalam rangka mencari solusi atas masalah yang ada. Komunitas nelayan Pa’es bertahun-tahun merupakan suatu masyarakat yang berada dalam kondisi selalu menyimpan rahasia, karena pekerjaannya ilegal dan melanggar hukum. Di kalangan pemerhati modal sosial komunitas semacam ini dikenal sebagai bond group, dengan ciri khas utama adalah rendahnya trust terhadap orang luar sebagaimana yang diungkapkan oleh Portes (1998). Pendekatan yang dilakukan dalam rangka mencari solusi untuk menghentikan destructive fishing, seharusnyalah dilakukan dengan ’ramah’, bukan dengan sikapsikap yang destruktif sekedar menjelek-jelekkan dan menyalah-nyalahkan nelayan. Modal sosial yang dipunyai masyarakat seperti Punggawa, etos kerja yang tinggi, solidaritas kuat, dan lain-lain bisa dimanfaatkan dalam rangka menghentikan penggunaan bom ikan sebagai alat tangkap. Selama ini program konservasi yang menyebabkan marjinalisasi masyarakat lokal tersebut bersifat sentralistik. Sudah saatnya dalam era otonomi daerah ini masyarakat lokal diberi ruang yang cukup untuk partisipasi. Perlindungan terhadap masyarakat lokal, serta hadirnya organisasi rakyat yang kuat sangat diperlukan. Perlindungan dapat dilakukan melalui mekanisme reformasi hukum pengelolaan sumberdaya alam, penguatan institusi lokal (capacity building), maupun rekonstruksi ilmu pengetahuan transdisipliner yang berbeda dengan multi maupun interdisipiliner-- yang dapat menjadi dasar bagi kebijakan sumberdaya alam yang lebih adil. Sehingga tidak saja keramahan ekologis yang tercipta, tetapi juga keramahan sosial. Selama ini
‘pendekatan moral’
yang banyak dipakai dengan
menggunakan mitologi, adat-istiadat, etika lingkungan, peraturan pemerintah dll; pendekatan ‘rasional’ masih kurang dikembangkan
untuk upaya-upaya
peningkatan kesejahteraan penduduk. Sepatutnya kedua pendekatan tersebut dipakai dalam bentuk saling melengkapi (complement).
9
Permintaan pasar
Antisipasi nelayan
Pengetahuan lokal : • etika lingkungan • strategi adaptasi • pengetahuan kelautan
Interaksi eksploitasi stakeholder yang lain (fasilitasi)
pola tindakan (DF)
• cara pandang multistakeholder • insentif • resiko • modal sosial
Perubahan DF ke NDF
Mata pencaharian alternatif Penegakan hukum
Pendidikan lingkungan
Saran/strategi transformasi
Gambar 1 Alur berpikir penelitian perubahan perilaku nelayan menjadi pelaku perikanan yang berkelanjutan Catatan : DF = destructive fishing, NDF = non-destructive fishing
10
Tindakan nelayan, baik untuk melakukan kenelayanan destruktif maupun kenelayanan yang berkelanjutan, ditentukan oleh 4 faktor kunci (Gambar 1). Faktor pertama merupakan pendorong eksternal nelayan melakukan tindakan, yaitu cara pandang para stakeholder lain terhadapnya, insentif yang merangsang nelayan untuk melakukan tindakan, tingkat risiko atau konsekuensi yang akan diterima nelayan atas tindakannya, dan modal sosial yang merupakan perangkat atau tatanan yang melandasi tindakan nelayan. Faktor-faktor lainnya adalah mata pencaharian alternatif, penegakan hukum, dan pendidikan lingkungan.
Jika
keempat faktor kunci ini bersifat lemah, nelayan dan berbagai pihak lain akan mendukung berlangsungnya kenelayanan destruktif. Faktor kunci disebut lemah jika: (1) cara pandang para pihak yang tidak mempedulikan lingkungan laut (rakus), dukungan komunitasnya untuk melakukan kenelayanan destruktif, risiko rendah dalam menerapkannya dan lemahnya modal sosial, (2) kurang atau tiadanya matapencaharian alternatif yang
penghasilannya
memadai atau sama dengan hasil kenelayanan destruktif (termasuk juga tiadanya teknologi alternatif yang ramah lingkungan), (3) lemahnya pengawasan dan buruknya proses hukum, (4) sempitnya pengetahuan kelautan dan kelestarian lingkungan. Di sisi lain, dalam kehidupannya, nelayan melakukan antisipasi, misalnya terhadap permintaan pasar. Antisipasi tersebut berbasiskan pengetahuan lokal yang dimilikinya. Antisipasi ini terwujud biasanya dengan dukungan sejumlah pihak lain yang memberikan fasilitas, baik permodalan, biaya operasi, pengadaan peralatan, hingga jaringan pemasaran ikan yang ditangkap nelayan di tengah laut. Dengan demikian, praktek kenelayanan yang destruktif menjadi semakin langgeng jika keempat faktor kunci di atas bersifat lemah.
1.5 Tujuan Penelitian ini memiliki dua tujuan utama yakni : 1. Mengidentifikasi sebab-sebab mengapa nelayan Pulau Barrang Lompo melakukan praktek destructive fishing dengan alat tangkap bom ikan bertahuntahun lamanya.
11
2. Menyusun strategi pemberdayaan untuk mengubah praktek destructive fishing menjadi sustainable fishing .
1.6 Manfaat penelitian Manfaat teoritis dari studi ini adalah proses pemahaman terhadap perilaku komunitas nelayan yang menggunakan teknologi bom ikan sebagai alat tangkap dari sisi emic. Selama ini banyak studi memahami perilaku komunitas nelayan yang ditelitinya dari sisi etic, yakni penilaian, pendapat dan cara berpikir dari masyarakat di luar komunitas tersebut. Kebalikannya, studi ini sangat menekankan bagaimana masyarakat mengungkapkan sendiri dengan cara, tutur kata dan tindakannya apa-apa yang dipikirkan, dirasakan dan diharapkannya terutama yang berkaitan dengan fenomena destructive fishing. Pendekatan ethnoscience intensif digunakan untuk memperoleh informasi, pendapat dan data lain yang sifatnya emic tersebut. Adapun manfaat utama dari penelitian dan penulisan disertasi ini secara praktis akan merupakan suatu kontribusi akademis untuk mengisi hasil studi tentang masalah destructive fishing (DF) di Indonesia yang masih sangat terbatas, khususnya kajian di Pulau Barrang Lompo yang bahkan dari kalangan akademisi Universitas Hasanuddin Makassar, belum ada satupun yang melakukan kajian DF secara cukup lengkap di pulau ini. Kajian yang pernah dilakukan dengan kasus pulau ini adalah untuk program aksi yakni yang dilakukan oleh tim Coremap (1996) dan tim DFW (2004), dengan pola kajian dengan waktu kunjungan yang sangat singkat, tidak mendetil serta banyak hal yang harus dipertanyakan kebenarannya dan hanya mencakup nelayan bom ikan yang bekerja individual bukan nelayan Pa’es yang pergi jauh dengan jumlah awak kapal yang banyak. Selain itu, sejauh pengetahuan penulis, sangat jarang penelitian dengan topik destructive fishing, yang mencakup juga para penegak hukum (polisi dan hakim) sebagai pihak-pihak yang diwawancarai secara mendetil untuk diperoleh pendapatnya dan pemahaman tentang kerja nelayan bom ikan.
12
1.7 Ruang lingkup Studi ini awalnya memusatkan perhatian pada perilaku nelayan Pa’es di Pulau Barrang Lompo. Kajian etnografi dari komunitas pulau ini mencermati kondisi sosio budaya yang menjadi sendi-sendi dasar mengapa praktek destructive fishing dilakukan oleh orang-orang di pulau tersebut. Ternyata untuk memahami perilaku nelayan dalam kaitannya dengan praktek penggunaan bom ikan sebagai alat tangkap, tidaklah cukup hanya berkutat di pulau saja, akan tetapi untuk kelengkapan studi ini harus diperoleh juga pemahaman perilaku dari stakeholder lain, yakni dari pihak pengelola perikanan dan penegak hukum. Implikasinya, area penelitian tidak hanya terbatas pada pulau tersebut, tetapi juga kota Makassar khususnya. Pada proses studi ini dipahami bahwa hubungan kerja merupakan hal penting juga dari fenomena yang hendak diteliti. Perilaku semata tidaklah cukup untuk menggali solusi dari permasalahan penelitian ini. Hubungan kerja eksploitatif tampak dari ungkapan atau kalimat-kalimat para nelayan maupun stakeholder lainnya. Selain itu, dari berbagai interview yang dilakukan terlihat adanya perbedaan pendapat antar stakeholder yang menyebabkan sulitnya memperoleh solusi untuk menghentikan praktek penggunaan bom ikan sebagai alat tangkap. Oleh karena itu ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) pengetahuan lokal nelayan pengguna teknologi destruktif yang dipusatkan pada strategi adaptasi (peta kognitif produksi dan penjualan/distribusi), etika lingkungan kelautan (dilihat dari tabu, ritual, doa, ajian, hukum adat, konsep territorial, konsep genealogi,dll) dan pengetahuan tentang ekosistem kelautan dan kehidupan di laut (taksonomi). Pengetahuan lokal itu merupakan pra tindakan yang menjadi pendorong munculnya pola tindakan tertentu. 2) Pola tindakan nelayan dimaksudkan sebagai dorongan-dorongan atau motivasi dari dalam diri si nelayan untuk memenuhi kebutuhan atau tanggapan (respon) terhadap rangsangan-rangsangan dari luar yang berasal dari lingkungan (Budimanta dan Rudito, 2003) Tentu dalam kaitan dengan
13
topik penelitian ini diartikan sebagai serangkaian tindakan nelayan yang dilakukan dalam usahanya untuk memperoleh hasil maksimal dari usaha kenelayanannya, khususnya tindakan terhadap laut. Pola tindakan nelayan pengguna teknologi destruktif memang tidaklah semata hanya didorong oleh pengetahuan lokal akan tetapi juga berbagai stimuli dari lingkungan masyarakatnya. Oleh sebab itu dipelajari juga bagaimana cara pandang masyarakat / multistakeholder dengan berbagai kepentingan yang ada. Para pihak lain tersebut adalah pihak pengelola perikanan dan penegak hukum. Pola tindakan dipahami dari proses penangkapan ikan hingga distribusinya, interaksi dengan berbagai stakeholder lainnya, sikap terhadap kebijakan pemerintah, dan lain-lain. 3) Selanjutnya dianalisis sejauh mana pengetahuan lokal dan pola tindakan itu (yang termasuk interaksinya dengan berbagai pihak) merupakan sebabsebab eksisnya kerja kenelayanan bom ikan.
1.8 Definisi operasional Ada beberapa istilah yang akan menjadi pusat perhatian dari penelitian ini. Agar tidak menimbulkan multiinterpretasi, di bawah ini kami sampaikan batasanbatasan istilah tersebut yang akan digunakan dalam riset maupun penulisan disertasi. Destructive
fishing
(kenelayanan
destruktif)
adalah
usaha-usaha
kenelayanan yang menggunakan teknologi tangkap yang destruktif, seperti bom, potas, racun, jaring muro ami dan lain-lain yang dianggap merusak lingkungan atau ekosistem laut dan juga membahayakan manusia. Sustainable
fishing
merupakan
usaha-usaha
kenelayanan
yang
memperhatikan kelestarian alam dan keselamatan manusia. Usaha kenelayanan ini tidak hanya mempertimbangkan faktor produksi, akan tetapi memperhatikan pula stabilitas produksi dalam jangka panjang serta keberlanjutan usaha ini. Indikator yang dilihat tidak hanya semata kelestarian ekosistem laut, tetapi juga sisi peningkatan ekonomi nelayan dan lingkungan sosial budayanya. Indikator besar selengkapnya ialah : ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etika.
14
Pengetahuan
lokal
ialah
pengetahuan-pengetahuan
yang
dimiliki
penduduk untuk menginterpretasikan lingkungan sekitarnya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam penelitian ini akan dikaji pengetahuan-pengetahuan yang terangkum dalam strategi adaptasi, etika lingkungan laut dan pengetahuanpengetahuan tentang kehidupan di laut dan ekosistem lautnya. Pola tindakan nelayan dimaksudkan sebagai dorongan-dorongan atau motivasi dari dalam diri si nelayan untuk memenuhi kebutuhan atau tanggapan (respon) terhadap rangsangan-rangsangan dari luar yang berasal dari lingkungan (Budimanta dan Rudito, 2003). Tentu dalam kaitan dengan topik penelitian ini diartikan sebagai serangkaian tindakan nelayan yang dilakukan dalam usahanya untuk memperoleh hasil maksimal dari usaha kenelayanannya, khususnya tindakan terhadap laut. Dalam penelitian kali ini akan dikaji pola tindakan yang berkaitan dengan : 1) pengelolaan dan pola perubahan pesisir serta laut, 2) alasan penggunaaan teknologi destruktif, 3) kepentingan nelayan terhadap ekosistem laut, baik ekonomi, sosial maupun ekologi
4) faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi pola tindakan (interaksi dengan stakeholder lainnya), 5) faktor internal yang berasal dari masyarakatnya/sosial budaya yang mempengaruhi pola tindakan.
1.9 Alur penulisan Disertasi ini terdiri dari sembilan bab yang disusun sesuai dengan alur pikir penelitian (Gambar 1). Bab 1 merupakan pendahuluan yang di dalamnya terdapat latar belakang penelitian ini, rumusan masalah, manfaat dan tujuan, kerangka berpikir. Bab 2 merupakan tinjauan pustaka yang menjadi dasar acuan penulis dalam upaya memahami fenomena perikanan tangkap di Pulau Barrang Lompo. Bab tersebut diakhiri dengan dua asumsi yang mendasari penelitian ini dilakukan.
Bab 3 merupakan metodologi umum dari disertasi ini. Disebut
metodologi umum disertasi karena sebagai metode untuk keseluruhan penulisan disertasi,dan pada tiap bab akan diuraikan tersendiri metodologi yang digunakan dalam memperoleh data yang diperlukan khusus untuk menyusun tulisan pada bab tersebut.
15
Bab 4 dipaparkan tentang lingkungan dan perubahannya yang tentu secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi perilaku nelayan. Uraian detil etnografis tentang nelayan pengguna bom ikan di daerah penelitian terdapat pada Bab 5. Selain uraian tentang sistem kenelayanan, juga diuraikan pekerjaanpekerjaan lain dan kondisi sosial ekologis daerah penelitian. Bab ini juga merupakan paparan dari tingkat pertama faktor-faktor penyebab berlangsungnya destructive fishing bertahun-tahun pada komunitas nelayan di area penelitian. Interaksi eksploitatif para pihak lain terhadap nelayan digambarkan pada Bab 6 dan merupakan tingkat kedua dari faktor-faktor penyebab kenelayanan destruktif berlangsung terus di Pulau Barrang Lompo. Pada bab ini dituliskan hasil FGD pada saat pendirian koperasi Ata Matuna. Topik pertanyaan dibicarakan sehari sebelum pertemuan oleh peneliti dengan moderator, yakni Pak Darwin. Saat rapat pendirian koperasi, pak Darwin yang melakukan FGD terhadap para peserta dengan panduan topik-topik pertanyaan dari kami. Bab 7 yang berintikan hasil pertemuan para penegak hukum, pengelola perikanan dengan para nelayan yang menggunakan bom ikan bertempat di kantor kasubdit Pengawasan DKP kotamadya, yakni di Paotere. Pertemuan tersebut dimoderatori oleh Pak Baddu sebagai kepala kantor itu. Beberapa hari sebelumnya, penulis menemui beliau, mendiskusikan rencana pertemuan tersebut, dan menitipkan sejumlah topik untuk didiskusikan dengan para peserta. FGD tidak dilakukan oleh peneliti, tetapi topik pertanyaan dititipkan kepada moderator. Pada Bab 8 dipaparkan solusi yang mungkin bisa diupayakan untuk perubahan dari kenelayanan destruktif menjadi bentuk kenelayanan yang bertanggung jawab. Sebelumnya diuraikan juga program-program pemberdayaan yang dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dan tabulasi upayaupaya yang pernah dilakukan untuk menghentikan kenelayanan destruktif di Pulau Barrang Lompo. Terakhir,
Bab 9 berisikan kesimpulan dan rekomendasi .