BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang dijalankan beriringan
dengan proses perubahan menuju taraf hidup yang lebih baik. Dimana pembangunan itu sendiri dilakukan dengan memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada. Sehingga di masa mendatang diharapkan akan tercapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Kegiatan berbasis lahan adalah salah satu upaya yang dikembangkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maupun Negara. Bisa melalui pengembangan
kawasan
pertanian
untuk
pangan,
alokasi
lahan
untuk
pertambangan dan pencadangan kawasan hutan untuk menjaga stabilitas ekosistem. Menurut IPCC Guidelines Volume 4 tahun 2006 tentang AFOLU, sektor kegiatan berbasis lahan seperti pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lain dalam konteks perubahan iklim termasuk kedalam sektor AFOLU (Agricultural,Forestry and Other Land Use) yang mencakup LULUCF (Land use, land use change and forestry) dengan penambahan sektor pertanian. Kegiatan berbasis lahan tersebut merupakan sektor penting yang harus dimasukkan dalam kegiatan inventarisasi gas rumah kaca (GRK). Sektor Kehutanan terutama, memainkan peranan penting dalam siklus karbon dimana dalam Laporan Stern 1
2
(2007) yang berjudul The Economics of Climate Change: The Stern Review, menyebutkan kontribusi sektor LULUCF dalam pelepasan emisi GRK sebesar 18 %, sedangkan di Indonesia First National Communication melaporkan emisi dari LULUCF sebesar 74 %. Sebagian besar pertukaran karbon dari atmosfer ke biosfir daratan terjadi di hutan. Alih guna lahan (Land Use Change) bersifat dinamis seiring perkembangan waktu dan teknologi. Kegiatan pembangunan Indonesia cenderung bersifat berbasis lahan, sehingga menuntut kebutuhan lahan yang semakin tinggi tiap tahunnya. Sektor kehutanan merupakan salah satu sektor yang mengalami perubahan guna dan fungsi untuk memenuhi kebutuhan lahan akan pembangunan. Terdapat kekhawatiran beberapa pihak bahwa upaya mitigasi perubahan iklim akan melibatkan biaya yang signifikan dan berpengaruh buruk terhadap kondisi perekonomian. Namun, dari hasil kajian-kajian internasional (Stern, 2007) maupun nasional (DNPI, 2010) dan sub-nasional (ICRAF, 2007) menunjukkan bahwa upaya menurunkan emisi GRK dari sektor LULUCF secara signifikan dapat dilakukan dengan efektif dalam hal biaya dan sekaligus memberikan manfaat dalam hal menghindari terjadinya risiko bencana besar yang dapat menimbulkan kerugian signifikan terhadap kondisi perekonomian dalam jangka pendek maupun panjang, secara lokal maupun global. Selain itu upaya-upaya untuk mendukung mitigasi perubahan iklim berkesempatan untuk menangkap peluang besar pasar baru yang diciptakan oleh transisi dunia menuju perekonomian rendah karbon (low carbon economy).
3
Untuk menentukan target pencapaian penurunan emisi GRK maka diperlukan perhitungan Tingkat Emisi Rujukan (TER). TER merupakan jumlah emisi bersih yang diduga pada suatu wilayah pada suatu kurun waktu tertentu. Angka ini akan digunakan sebagai acuan dalam manentukan keberhasilan upaya penurunan emisi gas rumah kaca dengan membandingkan dengan emisi aktual yang terjadi dalam suatu kurun tahun proyeksi yang telah ditetapkan.
1.2. Rumusan Masalah Kegiatan inventarisasi cadangan karbon di sektor AFOLU (Agricultural, Forestry and Other Land Use) diperlukan untuk mendukung rencana nasional dalam target penurunan emisi sebesar 26% pada tahun 2020 dan 41 % apabila mendapat bantuan dana dari luar negeri. Aktivitas tersebut tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Dimana rencana tersebut sekaligus menjadi pedoman bagi level daerah, khususnya provinsi untuk melakukan kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi penurunan emisi GRK dalam hal pembangunan rendah emisi. Provinsi DIY memiliki peran dan kewajiban yang sama dengan provinsi lainnya dalam mendukung aktivitas penurunan emisi di tingkat daerah. Hal ini diperlukan agar kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penurunan emisi dari sektor penggunaan lahan dapat berjalan maksimal dalam rung lingkup kerja yang lebih kecil. Oleh karena itu, masing-masing daerah harus menetapkan emisi acuan dalam mendukung target penurunan emisi nasional di tahun 2020
4
serta dapat mendukung perencanaan tata guna lahan untuk pembangunan rendah emisi. Menghadapi permasalahan diatas, maka untuk Provinsi DIY juga diperlukan kegiatan inventarisasi cadangan karbon dari sektor AFOLU untuk mengetahui target pencapaian penurunan emisi Gas Rumah Kaca tingkat daerah. Target tersebut dapat diketahui dengan cara meghitung Tingkat Emisi Rujukan (TER) atau Reference Emission Level (REL). TER atau REL adalah acuan tingkat emisi bersih GRK yang telah dipilih dan disepakati bersama sebagai suatu pedoman dari upaya pengurangan emisi yang diperoleh dari hasil proyeksi emisi
baik
berdasarkan
sejarah emisi
masa
lalu,
maupun
berdasarkan pertimbangan aktivitas di masa yang akan datang. Berdasarkan
uraian
tersebut,
maka
dapat
dirumuskan
beberapa
permasalahan diantaranya : 1. Bagaimana dinamika perubahan lahan dan cadangan karbon di Provinsi DIY dalam kurun waktu 1989 – 2002? 2. Berapa nilai Tingkat Emisi Rujukan (TER) tahun 2013 serta proyeksi emisi BAU dan target penurunan emisi 26 % dan 41 % tahun di 2020? 3. Bagaimana skenario dasar perencanaan tata guna lahan ke depan dalam menuju target penurunan emisi 26 % dan 41 %?
1.3. Tujuan Penelitian 1. Melakukan analisis perubahan lahan dan mengetahui cadangan karbon di Provinsi DIY dalam kurun waktu 1989 – 2002.
5
2. Menghitung Tingkat Emisi Rujukan (TER) tahun 2013 di Provinsi DIY serta proyeksi emisi BAU dan target penurunan emisi 26 % dan 41 % tahun di 2020. 3. Merancang skenario dasar tata guna lahan ke depan dalam menuju target penurunan emisi 26% dan 41%.
1.4. Manfaat Penelitian 1. Memberikan panduan umum tata cara mengestimasi Tingkat Emisi Rujukan (TER). 2. Memberikan masukan kepada pemangku kebijakan setempat dalam mengevaluasi kebijakan penataan ruang yang komprehensif dalam rangka penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).