MEMBANGUN MASYARAKAT DAN KEHIDUPAN SOSIAL YANG BARU DI DESA SEBUAH TINJAUAN DARI ASPEK DAYA DUKUNG LAHAN DAN LINGKUNGAN1 Oleh : Daud Malamassam2 Samuel Tando3 I. Pendahuluan Kelompok masyarakat di Desa Mayoa RT-X dan RT-11, Desa Mayoa Kecamatan Pamona Selatan, dapat disebut sebagai kelompok masyarakat baru yang terbentuk paska kerusuhan Poso, yaitu suatu kerusuhan yang diciptakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan memanfatkan perbedaan antarwarga, khususnya perbedan keyakinan. Warga kelompok masyarakat pada lokasi tersebut pada umumnya pendatang dari tempat lain, baik dalam lingkungan Kabupaten Poso maupun dari wilayah lain di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Warga yang ada saat ini dapat dikelompokan atas : (1) warga lama yang memang sudah ada sebelum kerusuhan dan tetap bertahan selama kerusuhan, (2) warga yang sudah ada sebelum kerusuhan tetapi kembali ke tempat asal, yaitu di sejumlah kabupaten di Sulawesi Selatan, dan (3) Warga yang baru bergabung setelah kerusuhan terajadi yang jumlahnya lebih banyak. Kedatangan warga baru yang termaksud pada kelompok ketiga paska kerusuhan tersebut tampaknya juga didorong dan difasilitasi oleh pihak pemerintah. Patut diduga bahwa mereka yang baru datang yang terdiri atas beberapa suku dan dengan agama yang berbeda ini diharapkan dapat menjadi agen-agen kedamaian dan perdamaian, yang dapat memberikan contoh tentang sebuah masyarakat baru yang hidup damai meskipun terdiri atas warga yang beragam, baik dalam hal suku maupun dalam hal keyakinan. Harapan yang dimaksudkan di atas, tentunya tidak serta-merta terjadi. Tetapi dibutuhkan upaya-upaya pendampingan dan atau pemberdayaan dalam rangka membangun masyarakat termaksud menjadi suatu masyarakat yang memiliki kondisi dalam semua aspek yang dapat menjamin kehidupan damai. Harapan ini dapat terwujud jika semua warga masyarakat dapat memiliki sumber-sumber pendapatan yang memadai, serta memiliki fasilitas-fasilitas vital (seperti fasilitas penerangan, fasilitas kesehatan dan air bersih, fasilitas pendidikan untuk anakanak mereka, dll), yang dapat mendukung kehidupan yang layak. Selain itu, aspek keadilan, baik secara internal kelompok maupun secara lintas kelompok, juga merupakan salah satu unsur penentu bagi suatu kehidupan yang damai, dimana 1
2 3
Makalah yang dipresentasikan dalam Seminar Internasional, kerja UKI Toraja dengan Internasional Nagasaki University di Kampus I UKI Toraja Makale di Makale - Tana Toraja, Kamis Tanggal 16 Januari 2014 Professor Universitas Hasanuddin dan Rektor Universitas Kristen Indonesia Toraja Dosen Kopertis Wil IX dan Pengurus Yayasan Pendidikan Tinggi Makale
1
aspek keadilan ini akan terkait dengan adanya perbantuan ataupun faslitasi yang didapatkan dari pihak luar, dan khususnya dari pihak pemerintah. Ketika ada warga baik secara individu terlebih secara kelompok merasa diperlakukan secara tidak adil maka hal tersebut akan membuka peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menaburkan bibit-bibit ketidak-senangan yang mengarah pada permusuhan, yang akhirnya potensil menimbulkan konflik terbuka. Tulisan ini mencoba memaparkan kondisi aktual masyarakat di RT-X dan RT-XI Dusun IV, Desa Mayoa, Kecamatan Pamona Selatan, beserta prospek pengembangannya pada masa mendatang, khususnya dalam rangka mendukung terbentuknya suatu masyarakat yang senantiasa diliputi oleh kehidupan yang damai, berkeadilan dan ditopang oleh sumber-sumber pendapatan layak dan fasilitas vital yang memadai.
II. Kondisi Kekinian Lokasi Sasaran A. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat yang menjadi obyek bahasan berdomisi di Desa Mayoa, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, yang tepatnya berada di RT-X (Salumate) dan RT-XI (Watumaeta). Lokasi ini berada pada jarak 6 sampai 12 km di sebelah selatan Ibukota Desa Mayoa, dan sekitar 19 sampai 25 km di sebelah selatan Ibukota Kecamatan Pamona Selatan (Pendolo). Warga masyarakat yang berada di Salumate adalah suku Bugis dan Makassar. Mereka antara lain berasal dari Kabupaten Maros, Bone, Gowa, dan Jeneponto, yang umumnya beragama Islam. Penduduk Salumate saat ini berjumlah 198 jiwa dengan 57 KK. Secara rata-rata jumlah anggota keluarga per KK adalah sebanyak 3 sampai 4 orang, atau setiap keluarga memiliki satu atau dua orang anak, yang sekaligus mengindikasikan bahwa kepala keluarga di lokasi ini masih tergolong muda atau berusia produktif. Penduduk di Watumaeta adalah Suku Toraja yang berasal dari Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara, dan juga dari Kabupten Luwu Utara dan Luwu Timur, yang umumnya beragama Kristen. Penduduk Watumaeta saat ini berjumlah 100 jiwa dengan 23 KK. Secara rata-rata jumlah anggota keluarga per KK adalah 4 orang, atau setiap keluarga memiliki dua orang anak. Sama halnya dengan penduduk Salumate, penduduk Watumaeta juga secara rata-rata masih tergolong muda atau berusia produktif. Baik penduduk Salumate maupun penduduk Watumaeta bermata pencaharian sebagai petani. Saat ini mereka umumnya mengusahakan tanaman coklat. Namun informasi yang diperoleh dai penduduk setempat menunjukkan bahwa tanaman coklat yang mereka usahakan tidak terlalu produktif. Malahan, 2
coklat yang ditanam oleh warga masyarakat di Watumaeta sebagian besar diantaranya tidak tumbuh, karena lahan setempat memang tidak cocok untuk budidaya coklat. Terkait dengan penduduk Watumaeta, diperoleh informasi bahwa segera setelah konflik Poso berakhir, sebanyak 243 KK berkeinginan dan mendaftarkan diri untuk datang dan menetap di lokasi ini. Dari jumlah termaksud, sekitar 80 KK diantaranya yang sempat datang meninjau lokasi, dan sebanyak 57 KK yang sudah sempat memperoleh kapling tanah dan bermukim beberapa saat di lokasi ini. Namun jumlah tersebut semakin lama semakin menurun dan pada saat ini tersisa 23 KK saja. Kondisi ini nampaknya disebabkan oleh kondisi atau daya dukung lahan setempat yang kurang mendukung sehingga sebagian dari mereka lebih memilih untuk kembali ke daerah asal. Kapling lahan yang sudah dibagikan kepada masing-masing warga sebagian sudah dibuka, tetapi akhirnya dibiarkan terlantar atau ditinggalkan begitu saja. Fasilitas sosial yang tersedia di lokasi ini masih sangat terbatas. Mereka belum terlayani aliran listrik dari PLN. Sebagian warga telah menggunakan sumber penerangan bertenaga surya bantuan pemerintah, namun dengan daya yang sangat terbatas dan sering terkendala oleh kondisi cuaca. Terkait dengan air bersih, mereka memperolehnya dengan cara swadaya yaitu dengan mengalirkan air dari sumber yang berjarak sekitar 2 sampai 3 km dari lokasi pemukiman dengan menggunakan slang. Sarana WC yang mereka miliki masih tergolong sangat sederhana dan umumnya merupakan buatan sendiri. Fasilitas kesehatan berupa Puskesmas hanya tersedia di Ibukota Desa, yang berjarak rata-rata sekitar 7 sampai 11 km dari lokasi. Mereka umumnya mengakses Puskesmas untuk memperoleh pelayanan kesehatan dengan sepeda, motor ataupun kendaran / mobil sewa. Fasilitas sosial lainnya yang tersedia di lokasi ini adalah fasilitas pendidikan berupa sekolah; SD dan SMP. Kedua sekolah ini diasuh oleh 17 orang, yiatu 4 orang guru SMP dan 13 orang Guru SD. Keempat guru SMP berpendidikan Strata Satu, dengan status PNS. Pada pihak lain, guru SD yang sudah berpendidikan Strata Satu baru dua orang dan selebihnya sedang mengikuti pendidikan. Sebelas orang diantara guru SD merupakan PNS sedang sisanya tiga orang masih berstatus honorer. Jumlah murid atau siswa yang diasuh pada kedua sekolah ini adalah masing-masing 59 orang untuk SD dan 25 orang untuk SMP yang baru terdiri atas kelas satu dan dua. Sebagian dari murid dan siswa ini pergi ke / pulang dari sekolah dengan berjalan kaki, pada kondisi jalan mendaki/menurun sejauh 2 sampai 3 km setiap harinya. 3
Berhubung masih terbatasnya guru SMP yang tersedia, maka para guru SD juga berperan sebagai tenaga pengajar di SMP. Fasilitas-fasilitas pendukung yang tersedia di sekolah ini juga masih sangat terbatas, baik dalam hal jenis, maupun dalam hal jumlah dan kualitas. Buku-buku yang tersedia di perpustakaan SD, misalnya, hanya sebanyak 53 buah buku yang umumnya berupa buku cerita (bukan buku pelajaran). B. Kondisi Biofisik Lokasi Lokasi yang menjadi obyek bahasan berada pada jalan Poros Mangkutana (Sulawesi Selatan) – Tentena (Sulawesi Tengah). Lokasi ini merupakan wilayah Sulawesi Tengah yang berbatasan langsung dengan Sulawesi Selatan, dan berada pada lereng pegunungan. Status hukum lahan pada lokasi adalah Hutan Lindung dan merupakan bagian dari Catchment area bagi Danau Poso. Kondisi lahan pada lokasi ini tergolong kurang subur, yang antara lain diperlihatkan oleh kondisi tanaman coklat yang tidak dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik sebagaimana telah disebutkan pada bagian terdahulu. Hasil pengamatan langsung di lapangan juga menunjukkan bahwa pada beberapa bagian lahan yang sudah terbuka dijumpai sejumlah jenis vegetasi yang bertumbuh dengan kondisi merana dan cenderung menguning. Tampaknya hal ini pulahlah yang menjadi penyebab sehingga sebagian warga yang tadinya berniat untuk datang dan menetap di lokasi yang bersangkutan, pada akhirnya lebih memilih untuk membatalkan niat mereka dan kembali ke tempat asal mereka. Dari aspek konservasi, lokasi yang merupakan bagian dari Catchment area Danau Poso termaksud, memang seharusnya tidak dikelola sebagai daerah pertanian intensip karena potensil menimbulkan dampak negatif bagi kelestarian lingkungan Danau Poso. Terlebih karena lokasi yang bersangkutan berada pada wilayah lereng gunung dengan curah hujan yang cukup tinggi. Dua faktor tersebut (lereng dan curah hujan), merupakan faktor-faktor pemicu bagi terjadinya erosi yang cukup tinggi, ditambah lagi dengan kondisi tanah yang berdasarkan hasil pengamatan merupakan tanah berpasir yang memang tergolong rentan terhadap erosi. Dengan demikian, pembukaan lahan untuk kepentingan budidaya tanaman secara intensif akan berpotensi menimbulkan erosi yang tinggi, dan untuk jangka menengah dan jangka panjang akan berdampak negatif pada kelestarian ekosistem Danau Poso. Bertolak dari uraian di atas maka para pemukim di Salumate dan Watumaeta perlu dibimbing dan difasilitasi untuk dapat melalukan pemanfaatan lahan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek konservasi dan sedapat mungkin menghindari pertanian intensif. Budidaya jenis pohon-pohonan melalui penerapan pola agroforestry dan hutan kemasyarakatan nampaknya dapat menjadi alternatif terbaik, untuk mengakomodir kepentingan masyakat dan kepentingan lingkungan secara seimbang. 4
III. Kondisi harapan dan kebutuhan pengembangan Tujuan hidup suatu kelompok masyarakat di suatu lokasi atau wilayah, khususnya bagi kelompok masyarakat yang baru mendiami suatu lokasi yang baru adalah kehidupan yang sehjahtera, atau paling tidak yang lebih sejahtera dari ketika mereka masih berada di tempat / lokasi yang lama. Perwujudan kondisi kehidupan sejahtera yang demikian ini akan sangat tergantung pada berlangsung atau tidaknya interaksi secara tepat dengan sumberdaya alam, khususnya sumberdaya lahan di lokasi yang bersangkutan. Dengan kata lain masyarakat setempat akan sejahtera jika mereka mampu mendayagunakan sumberdaya lahan yang dikelolanya secara lestari dan optimal, yaitu dengan senantiasa memperhatikan daya dukung lahan yang bersangkutan. Pada bagian terdahulu telah diindikasikan bahwa kondisi lahan pada RT Satumate dan terlebih pada RT Watumaeta, tergolong marginal. Keberadaan lokasi pada lereng pegunungan, dengan kondisi curah hujan yang tinggi dan tanah yang berpasir, mengakibatkan tanah pada lokasi yang bersangkutan sangat retan terhadap erosi. Pendayagunaan lahan secara tidak hati-hati pada lokasi yang merupakan kawasan hutan lindung dan berfungsi sebagai Catchment area bagi Danau Poso tersebut, potensil akan menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem Danau Poso. Bertolak dari kondisi tersebut di atas, maka upaya-upaya penyejahteraan masyarakat desa pada lokasi-lokasi yang bersangkutan, antara lain dapat dilakukan melalui penerapan budidaya jenis-jenis tanaman berjangka panjang, khususnya pohon-pohonan penghasil non kayu, dengan ketentuan pohonpohonan tersebut tidak boleh ditebang dan yang boleh dimanfaatkan adalah buahnya atau hasil non kayu lainnya. Sehubungan dengan itu diperlukan adanya penelitian untuk mengidentifikasi jenis-jenis yang sesuai atau jenis-jenis yang tetap dapat berfungsi lindung selain fungsi produksi. Pengembangan jenis penghasil non kayu dalam hutan lindung demikian ini dikenal sebagai pengembangan pola Agroforestry ataupun pola Social Forestry. Salah satu komoditas yang juga dapat diselaraskan dengan pendayagunaan sumberdaya lahan yang dapat menunjang peningkatan kesejahteraan masyakat tetapi sekaligus dapat mengamankan fungsi lindung kawasan adalah pengembangan Honey Bee cultivation (budidaya lebah madu) Selain pengembangan budidaya komoditas yang telah disebutkan di atas, hal lain yang patut dipertimbangkan adalah pengembangan jasa linkungan melalui pembangunan obyek wisata alam ataupun wisata agro. Hal ini berpeluang untuk dikembangkan karena lokasi yang terletak diperbatasan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tangah ini, memiliki panorama alam yang tergolong indah, dengan obyek pemandangan berupa hamparan danau Poso beserta wilayah sekitarnya. 5
Potensi pengembangan wisata alam dan atau wisata agro tersebut di atas sangat didukung oleh keberadaan lokasi di jalan poros Jalan Nasional yang menghubungkan Mangkutana (Luwu Timur - Sulawesi Selatan) dan Pendolo (Poso - Sulawesi Tangah). Kondisi aksesibilitas lokasi yang demikian ini, selain akan mempermudah upaya pembangunan obyek wisata yang dimaksudkan, juga akan mendukung optimalisasi pendayagunaannya secara berkelanjutan. Hanya saja pengembangan obyek wisata ini akan membutuhkan perencanaan jangka panjang yang bersifat komprehensif, termasuk penyiapan warga masyarakat setempat. Pengembangan obyek wisata, akan membutuhkan struktur kemasyarakatan lokal yang baru, yang secara garis besar terdiri atas kelompok warga yang terkait langsung dengan aktivitas kepariwisataan (pengelola obyek wisata) dan kelompok warga pendukung yang akan memasok aneka kebutuhan wisatawan. Kondisi yang demikian ini nampaknya hanya bisa terwujud secara lebih cepat jika difasilitasi oleh pihak luar, khususnya oleh pihak pemerintah. Uraian di atas merupakan gambaran umum tentang kebutuhan dan sekaligus potensi pengembangan jangka panjang. Untuk pendeskripsian kebutuhan dan potensi pengembangan secara lebih rinci, diperlukan sejumlah kajian, yang akan melandasi penyusunan rencana yang telah dikemukakan di atas. Diantara kajiankajian yang dimaksudkan, salah satu kajian yang perlu diberi prioritas untuk dilakukan adalah Kajian kesesuaian lahan yang perlu ditindak-lanjuti dengan penatagunaan lahan, untuk dipedomani oleh warga masyarakat dalam mengelola atau mengusahakan lahan mereka. Sejalan dengan hal yang telah dikmukakan di atas, diperlukan fasilitasi dan perbantuan kepada masyarakat dalam rangka pemenuhan kepentingan jangka pendek, antara lain seperti : fasilitas penerangan, sanitasi lingkungan dan pasokan air bersih, serta sarana dan prasarana produksi pertanian. Hal lain yang perlu diberi perhatian khusus, dari para pemerhati pendidikan dan pemerintah, adalah penyiapan sarana dan prasarana yang dapat mendukung berlangsungnya proses pembelajaran bagi anah-anak sekolah secara lebih optimal dan berkualitas.
IV. Penutup Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikemukakan beberapa hal terkait dengan upaya pensejahteran masyarakat di RT Salumate dan RT Watumaeta : 1. Kondisi lahan di lokasi yang bersangkutan, tergolong marginal untuk kepentingan pengembangan budidaya tanaman yang memerlukan pengolahan tanah secara intensif. Sehubungan dengan itu, pengembangan budidaya tanaman pertanian harus dibatasi pada lolasi-lokasi yang sesuai.
6
2. Mengingat lokasi ini terdapat pada kawasan hutan lindung yang merupakan Catchment area bagi Danau Poso maka warga masyarakat setempat hendaknya didorong dan difasilitasi untuk dapat mengembangkan jenis pohonpohonan dengan pola Agroforestry dan atau pola Social Forestry, yang dapat menjamin keseimbangan antara fungsi produksi non kayu dan fungsi lindung kawasan. Terkait dengan hal ini, budidaya lebah madu (honey bee cultivation) merupakan salah satu pilihan yang dapat dipertimbangkan. 3. Kondisi panorama alam dan aksesibilitas lokasi sangat memungkinkan bagi pengembangan jasa melalui pengembangan wisata alam yang dapat dipadukan dengan wisata agro. Sehubungan dengan ini pula, dibutuhkan kajian untuk mengidentifikasi potensi-potensi obyek wisata alam yang ada dan untuk mengetahui komoditas-komoditas yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat dan berpotensi untuk mendukung pengembangan wisata agro. 4. Untuk jangka pendek, diperlukan adanya upaya-upaya perbantuan dan pendampingan kepada warga masyarakat setempat dalam hal pengadaaan dan atau peningkatan kapasitas sarana-prasarana penerangan, sanitasi dan air bersih, serta sarana-prasarana produksi pertanian. Selain itu, dibutuhkan pula adanya perbantuan terkait dengan pengadaan sarana-prasarana yang dapat mendukung peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan bagi anak-anak sekolah setempat.
7