BAB III PELANGGARAN PRINSIP MIRANDA RULE DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA A. Macam-macam pelanggaran Miranda rule dalam praktik peradilan di Indonesia 1. Macam-Macam Pelanggaran Yang Sering Terjadi Penerapan ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP ternyata tidak selalu mulus, justru cenderung diabaikan oleh penyidik maupun para pejabat pada semua tingkat peradilan. Pelanggaran demi pelanggaran sering terjadi dalam praktik peradilan di indonesia. Pelanggaran tersebut terjadi dalam lingkup instansi: a. Kepolisian/ Instansi Penyidikan Banyak oknum polisi menangkap tersangka dan di tempat kejadian tersebut tersangka langsung di interogasi tanpa terlebih dulu memberikan miranda warning. Dengan dalih dalam rangka penyrlidikan, banyak oknum polisi sering menginterogasi seseorang yang diduga ada kaitannya dengan perkara pidana yang ditanganinya. Dengan dalih tersangka tidak mempunyai uang dan hak asasi manusia, beberapa oknum polisi menyarankan supaya tersangka tidak usah menggunakan penasihat hukum, dan membuatkannya pernyataan tidak bersedia didampingi penasihat hukum. dan tidak sedikit dari kalangan penyidik beranggapan, bahwa dengan adanya pernyataan dari diri tersangka tentang tidak bersedia adanya penasihat hukum unutk mendampinginya merupakan hak asasi tersangka sebagaimana diwajibkan dala pasal 56 ayat (1) KUHAP. Dengan dalih pula untuk memperlancar proses penyidikan, beberapa oknum polisi berupaya agar setiap tersangka sebaiknya tidak menggunakan penasihat hukum atau advokat.
Universitas Sumatera Utara
Dengan dalih tidak ada penasihat hukum yang mau ditunjuk secara gratis untuk mendampingi tersangka, banyak penyidik mengabakan kewajiban yang diamanatkan kepadanya, seperti yang tercantum dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP. 47 b. Tingkat Kejaksaan Dengan dalih sudah tidak dilakukan pemeriksaan lagi, maka banyak oknum jaksa atau penuntut umum tidak perlu menunjuk penasihat hukum guna mendampingi tersangka. Dengan dalih sudah ada surat pernyataan tidak bersedia didampingi penasihat hukum yang dibuat ditingkat penyidikan, maka ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP dianggap sudah terpenuhi. Dengan dalih tidak ada penasihat hukum yang mau ditunjuk secara gratis untuk mendampingi tersangka, banyak jaksa atau penuntut umum atau kepala Kejaksaan Negeri menagabaikan kewajiban yang diamanatkan pasal 56 ayat (1) KUHAP. 48 c. Tingkat Pengadilan Dengan dalih masih terjadinya kontroversi perihal penerapan pasal 56 ayat (1) KUHAP, maka Hakim bebas mengikuti pendapat yang mana saja. Dengan dalih Undang-Undang belum mengatur secara tegas, maka hakim berwenang untuk memutuskan sesuai dengan hati nuraninya. Dengan dalih demi kepentingan umum, maka hak hak terdakwa dapat dikesampingkan. Dalam hal ini Hakim menggunakan haknya untuk tidak bisa dipersalahkan atu dituntut ats kelalaiannya dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.
47 48
M. Sofyan Lubis dan M. Hariyanto., Op.Cit., hal. 47. Ibid, hal. 47
Universitas Sumatera Utara
B. Penyebab terjadinya pelanggaran prinsip Miranda Rule Pelanggaran Miranda Rule dalam praktik peradilan di Indonesia dapat terjadi antara lain: 49 a. Kesalahan dalam menafsirkan pasal 56 ayat (1) KUHAP Dalam proses peradilan, banyak penyidik atau penyidik pembantu beranggapan bahwa kewajiban penyidik terhadap tersangka adalah kewajiban untuk memberitahukan kepada tersangka akan haknyauntuk mendapat bantuan hukum atau didampingi penasihat hukum bukan kewajiban menunjuk penasihat hukum. Anggapn dan penafsiran ini adalah penafsiran yang pincang dan tidak lengkap dari apa yang dimaksudka dalam pasal 114 KUHAP, atau penyidk hanya mengerti dan menjankan pasal 54 KUHAP yang berlaku untuk semua perkara pidana. b. Adanya unsur kesengajaan dari oknum pejabat penyidik Hal ini dapat tejadi bukan karena penyidik tidak menyikapi pasal 56 ayat (1) KUHAP, akan tetapi jika oknum penyidik tersebut merasa kehadiran penasihat hukum bagi tersangka akan mengurangi kebebasannya dalam mencapa targettarget tertentu yang akan didapatkannya dari tersangka. Jika demikian, patut diduga oknum penyidik tersebut khawatir rahasia perlakuan kurang terpuji yang dilakukannya dalam proses penyidikan yang bertewntangan dengan undang undang akan diketahui oleh penasihat hukum, apalagi jika penasihat hukum tersebut adalah orang yang idealis dan profesional. Biasanya untuk mengatasi kewajiban penyidik untuk tidak menunjuk penasihat hukum, oknum penyidik tersebut akan berupaya keras mendapatkan surat pernyataan dari tersangka yang tidak bersedia didampingi penasihat hukum. Selama ini surat pernyataan dari
49
Ibid., hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
tersangka yang tidak bersedia untuk didampingi penasihat hukum dengan mudah diperoleh penyidik darti tersangka. Biasanya ditanya kepada terasangka tentang kemampuannya membiayai pengacara yang cukup mahal, dan oleh tersanka biasanya akan dijawab bahwa dirinya tidak punya uang untuk membiayai pengacara. Atas dasar itu, penyidik mempunyai alasan kuat untuk membuatkan pernyataan bahwa tersangka tidak bersedia didampingi penasihat hukum. c. Tidak Adanya Penasihat hukum yang akan ditunjuk di wilayah hukum tersebut Hal ini dapat terjadi jika di wilayah hukum dimana tempat tersangka disidik tidak ada atau sulit dicari penasihat hukum yang akan ditunjuk penyidik untuk mendampingi tersangka, karena tempatnya terpencil atau jauh dari tempat praktik penasihat hukum. d. Belum adanya mekanisme dan aturan pelaksanaan yang jelas yang mengatur kesediaan penasihat hukum untuk ditunjuk sebagai penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (2) KUHAP Memang sampai detik ini belum ada aturan atau mekanisme yang jelas tentang bagaimana kesediaan penasihat hukum untuk memberi bantuan hukum secara cuma cuma kepada tersangka atau terdakwa seperti yang simaksud dalam Pasal 56 ayat (2) KUHAP. Hal ini mungkin dianggap pemerintah bukan merupakan hal yang urgent untuk mengaturnya, apalagi jika aturan tersebut dibuat tentu konsekuensinya membutuhkan anggaran tersendiri atau biaya rutin setiap tahunnya. Namun sesekali pernah ada anggara bantuan hukum yang diberikan oleh pemerintah , dalam hal ini adalah Departemen Kehkiman dan HAM yang disalurkan melalui Pengadilan Negeri setempat kepada Universitas penasihat hukum yang Sumatera Utara
ditunjuk dalam memberi batuan hukum kepada terdakwa. Akan tetapi dalam prakteknya sulit dilaksanakan anggaran bantuan hukum tersebut secara berkelanjutan dari tahun ketahun, dan penasihat hukum yang ditunjuk dalam memberi bantuan kepada terdakwa secara cuma cuma tersebut sering tidak menerima haknya sebagaimana mestinya. Hak tersebut sebenarnya sangat kecil yakni hanya sekedar untuk biaya operasional saja. Bahkan tidak jarang penasihat hukum yang bersangkutan hanya menerima 50% (lima puluh persen) dari dana yang seharusnya diterima. e. Adanya Persepsi yang Keliru Bahwa Penunjukan Penasihat Hukum Memerlukan Suatu Anggaran Khusus dan di Instansi Peradilan Hal Tersebut Tidak Dianggarkan Memang di Institusi POLRI belum pernah ada mata anggaran khusus yang diperuntukkan bagi penasihat hukum yang diminta untuk mendampingi tersangka sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 (2) KUHAP, sehingga pihak penyidik kurang senang mengambil kebijakan resmi untuk menunjuk penasihat hukum bagi tersangka. Oleh karena itu untuk mengatasi kewajiban tersebut penyidik memberitahukan hak kepada tesangka untuk mendapatkan bantuan hukum atau didampingi penasihat hukum. Adapun jika tersangka nantinya ditanya mengenai biaya untuk penasihat hukum, dalam hal ini penyidik telah menduga jawaban dari tersangka yang dapat dipastikan bahwa tersangka tidak memiliki uang untuk membiayai penasihat hukum, dan atas dasar itu, selanjutnya tersangka diminta membuat surat pernyataan yang isinya tidak bersedia didampingi penasihat hukum guna dilampirkan dalam berkas perkaranya. Memang tidak semua penyidik menempuh langkah-langkah tersebut, masih banyak juga penyidik yang konsisten dalam penegakan Miranda Rule dan mampu mengatasi kewajibannya dalam penunjukan hukum bagi tersangka. Sekalipun penyidik tidak memiliki Universitas Sumateradan Utara
khusus untuk itu, namun berkat keluesan dan hubungan baiknya dengan beberapa penasihat hukum atau advokat atau beberapa lembaha bantuan hukum yang ada, kebijakan dan kewajiban dalam penunjukan penasihatnhukum bagi tersangka sebagaimana diharuskan dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP tetap dapat dilakukan penyidik. C. Akibat atas adanya pelanggaran Miranda Rule Akibat dari adanya pelanggaran Miranda Rule di Negara Indonesia masih tergolong “dimaafkan”. Padahal di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), pelanggaran terhadap Miranda Rule akan mengakibatkan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima dan pengakuan yang dibuat oleh tersangka tidak sah. Di Indonesia, ada tiga pendapat tentang konsekuensi adanya pelanggaran Miranda Rule ini, yaitu : 50 Pertama, pelanggaran Miranda Rule mengakibatkan tindakan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima. Kedua, pelanggaran Miranda Rule bisa mengakibatkan tuntutan tidak dapat diterima, tetapi bisa juga untuk tetap diterima tergantung jenis Miranda Rule yang dilanggar. Ketiga, pelanggaran Miranda Rule tidak mempengaruhi proses peradilan. Dengan ditegakkannya prinsip Miranda Rule di dalam praktik peradilan di Indonesia, akan memperkecil kesempatan para oknum aparat penegak hukum untuk bertindak menyalahgunakan kewenangannya kepada seorang tersangka dan atau terdakwa. Akibat dari adanya pelanggaran Miranda Rule mengakibatkan tindakan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum menjadi tidak diterima. 50
Ibid.,hal. 55.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Kondisi Peradilan di Indonesia yang carut marut ini, ternyata ada beberapa perkara atau kasus yang dalam putusannya mnyatakan pelanggaran Miranda Rule tidak dapat ditolelir, dan tindakan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum menjadi tidak dapat diterima. Putusan-putusan pengadilan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1565 K/Pid/1991, tanggal 16 September 1993 yang menyatakan “apabila syarat-syarat permintaan dana atau hak tersangka atau terdakwa tidak terpenuhi, seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima.
51
2. Putusan Pengadilan Negeri Tegal No. 34/Pid.B/1995/PN.Tgl tanggal 26 Juni 1995 sebagaimana dalam perkara tersebut, Jaksa penuntut Umum mendakwa terdakwa yang bernama Aki telah melakukan korupsi, yaitu memasukkan berbagai kayu dari Kalimantan ke Pelabuhan Tegal tanpa dilindungi dokumen yang sah berupa SAKO (Surat Angkutan kayu Olahan) dan SAKB (Surat Angkutan Kayu Bulat) sehingga negara menderita kerugian sebesar 16 Miliar Rupiah. Dalam Putusan sela perakara, terdakwa dibebeaskan oleh majelis Hakim, dengan alasan tersangka dalam proses penyidikan di Mabes Polri tidak didampingi oleh Penasihat Hukum. 52 3. Putusan Pengadilan Negeri Blora No. 11/Pid.B/2003/PN.Bla tanggal 13 Februari 2003, dalam perkara tindaka pidana sebagaimana diancam pasal 50 ayat (3) sub h Jo. Pasal 78 ayat (7) dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam bagian pertimbangan Putusan tersebut, Majelis Hakim sependapat dengan eksepsi Penasihat Hukum yang mengatakan bahwa
51 52
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1565 K/Pid/1991 Putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor : 34/Pid.B/1995/PN
Universitas Sumatera Utara
penyidikan terhadap tersangka haruslah didampingi oleh penasihat hukum dan mengharuskan penyidik untuk menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sebagaimana diharuskan dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP. Oleh karenanya BAP tersangka harus dinyatakan batal demi hukum. 53
53
Putusan Pengadilan Negeri Blora Nomor : 11/Pid.B/2003/PN.Bla
Universitas Sumatera Utara
BAB IV UPAYA PENANGGULANGAN PELANGGARAN MIRANDA RULE
A. Upaya Penal Dengan adanya pelanggaran Miranda Rule dalam praktik peradilan di Indonesia, maka tersangka, terdakwa atau penasihat hukumnya dapat mengajukan tuntutan atau keberatan melalui mekanisme atas prosedur-prosedur sebagai berikut :54 1. Keberatan pada tingkat Penyidikan Terhadap adanya pelanggaran Miranda Rule, seorang tersangka, terdakwa atau penasihat hukumnya dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada pejabat yang melakukan pelanggaran atau pada atasan pejabat tersebut. Memang hal ini belum diatur secara khusus dan secara tegas dalam peraturan perundangundangan di Indonesia. Namun secara prinsip hukum yang berlaku universal, maka pengajuan keberatan kepada pejabat yang bersangkutan dibenarkan. Tetapi yang menjadi persoalan, karena tidak diaturnya secara khusus dan tegas, maka keberatan terhadap pelanggaran Miranda Rule tersebut dapat dikabulkan atau juga tidak. Hal tersebut tergantung pada kebijakan dan pemahaman dari pejabat yang bersangkutan. 2. Eksepsi atau Keberatan Dalam Persidangan Keberatan terhadap pelanggaran Miranda Rule dalam proses peradilan, dapat juga dilakukan dengan mekanisme eksepsi (tangkisan yang dilakukan setelah Jaksa Penuntut Umum membacakan Surat Dakwaannya), dengan alasan adanya pelanggaran Miranda Rule sehingga diharapkan dengan adanya eksepsi tersebut, Majelis Hakim Pemeriksa perkara tersebut dapat memutuskan bahwa penyidikan yang dilakukan oleh penyidik adalah tidak sah. 54
Ibid., hal. 61.
Universitas Sumatera Utara
3. Pledooi Selain mekanisme eksepsi, penuntutan terhadap pelanggaran Miranda Rule yang dilakukan oleh penyidik dapat dilakukan di dalam pledooi atau pembelaan di sidang pengadilan. Penuntutan terhadap pelanggaran Miranda Rule merupakan keberatan terhadap proses peradilan. Adanya keberatan terhadap proses peradilan biasanya akan menjadi pertimbangan tersendiri oleh Hakim, disampung mempertimbangkan salah tidaknya tersangka. Banyak juga putusan Pengadilan Negeri yang menyatakan bahwa proses penyidikan tidak sah. Oleh karenyanya penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima (niet ontvankelijk). 4. Kasasi Pasal 244 KUHAP menyatakan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh peangdilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas. Adapun alasan-alasan untuk dapat mengajukan Kasasi sudah diatur dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP yang pada intinya adalah sebagai berikut : 1. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tetapi tidak sesuai dengan semestinya. 2. Apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan perundangan yang berlaku. 3. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas kewenangannya. Pelanggaran Miranda Rule merupakan pelanggaran yang terjadi karena suatu peraturan yang terjadi karena suatu peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya. Sebagai contoh penyidik tidak melakkan penunjukan penasihat hukum, padahal tersangka menghadapi ancaman pidana Sumatera yang cukup Universitas Utara
berat. Dalam permohonan Kasasi, hal ini cukup untuk dijadikan alasan seorang terpidana untuk mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung dengan alasan peraturan hukum pasal 56 ayat (1) KUHAP tidak diterapkan sebagaimana mestinya, padahal pasal tersebut besifat imperatif atau wajib untuk dilaksanakan. 5. Peninjauan Kembali Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memeproleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung tersebut sebagaimana disebutkan dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP dilakukan atas dasar : 1. Apabila terdapat bukti baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan bebas dari segala penuntutan atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. 2. Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai yang dijadikan dasar dan alasan putusan yang dnyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan antara satu dengan lainnya. 3. Apabila putusan tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Seperti telah dijelaskan bahwa akibat atas pelanggatan Miranda Rule dalam praktik peradiklan adalah mengakibatkan tindakan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima. Jika pada saat persidangan perkara tersebut memang belum diangkat atau dipersoalkan tentan adanya pelanggaran Miranda Rule baik yang dilakukanUniversitas oleh penyidik, jaksa, Sumatera Utara
maupun hakim, maka berarti pelanggaran Miranda Rule yang telah terjadi sebagai alasan untuk mengajukan Peninjauan Kembali (herziening) pada saat dimana perkara yang bersangkutan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap. Upaya hukum PK dengan menggunakan alasan pelanggaran Miranda Rule sebenarnya dapat dihindari, jika Majelis Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan terlebih dahulu meneliti dan memeriksa berkas . Jika didalam berkas tersebut tidak ditemukan surat-surat yang berkaitan dengan penegakan prinsipprinsip Miranda Rule, maka mengingat sifat pemeriksaan perkara pidana yang mengharuskan majelis Hakim bersifat proaktif dalam memeriksa dan menemukan hal-hal yang dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam putusannya, ditambah lagi dengan dasar bahwa hakim dalam memutus suatu perkara, bersifat bebas dan mandiri. Maka Jika di dalam berkas perkara terdapat bukti belum ditegakkannya prinsip Miranda Rule sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP, maka majelis hakim harus berani secara sepihak memeriksa, mengadili dan memutuskan dalam perakara tersebut, yang salah satu amar putusannya berbunyi bahwa tindakan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima. B. Upaya Non Penal 1. Penegakan hukum yang bertanggungjawab (akuntabel) dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku, juga berkaitan dengan kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Proses penegakan hukum memang tidak dapat dipisahkan dengan sistem hukum itu sendiri. Sedang sistem hukum dapat diartikan merupakan bagian-bagian proses / tahapan yang saling bergantung yang harus Universitas Sumatera Utara
dijalankan serta dipatuhi oleh Penegak Hukum dan Masyarakat yang menuju pada tegaknya kepastian hukum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, di samping itu anehnya masyarakatpun tidak pernah jera untuk terus melanggar hukum,
sehingga
mengatasinya
jika
masyarakat terjadi
sudah
sangat
terlatih
pelanggaran-pelanggaran
bagaimana
hukum
yang
dilakukannya, apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas, atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah. Sebagian besar masyarakat kita telah terlatih benar bagaimana mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukumannya. Kenyataan ini merupakan salah satu indikator buruknya law enforcement
(pelaksanaan
hukum)
di
negeri
ini.
Sekalipun tidak komprehensif perlu ada angkah-langkah untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel, antara lain : 55 Perlunya penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada, sebagai contoh, perlunya ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dari UU No.4 tahun 2004 terutama yang mengatur tentang pemberian sanksi pidana bagi pelanggar KUHAP, khususnya bagi mereka, yang ditangkap, ditahan,dituntut, atau diadili tanpa berdasarkan hukum yang jelas, atau karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 9 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
55
Penegakan hukum antara harapan dan kenyataan, http://sofyanlubis.blogspot.com/2008/07/penegakan-hukum-antara-harapan-dan.htm, diakses tanggal 23 November 2009 Universitas Sumatera Utara
2. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya, karena tidak sedikit Penegak Hukum yang ada saat ini, tidak paham betul idealisme hukum yang sedang ditegakkannya. 3. Dibentuknya suatu lembaga yang independen oleh Pemerintah dimana para anggotanya terdiri dari unsur-unsur masyarakat luas yang cerdas (non Hakim aktif, Jaksa aktif dan Polisi aktif) yang bertujuan mengawasi proses penegakan hukum (law enforcement) dimana lembaga tersebut nantinya berwenang merekomendasikan agar diberikannya sanksi bagi para penegak hukum yang melanggar moralitas hukum dan / atau melanggar proses penegakan hukum (vide : pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman , Jo. pasal 17 Jo psl. 3 ayat (2 ) dan (3) Jo. Psl.18 ayat (1) dan (4) UU No.39 tahun 1999. 4. Perlu dilakukannya standarisasi dan pemberian tambahan kesejahteraan yang memadai khususnya bagi Penegak Hukum yang digaji yaitu : Hakim, Jaksa dan Polisi ( Non Advokat ) agar profesionalisme mereka sebagai bagian penegak hukum di Indonesia dalam kerjanya lebih fokus menegakkan hukum . 5. Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat
luas sebagai konsekuensi asas hukum yang
mengatakan bahwa; “ setiap masyarakat dianggap tahu hukum ”, sekalipun produk hukum tersebut baru saja disahkan dan diundangkan serta diumumkan dalam Berita Negara. Disini peran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan LSM atau lembaga yang sejenis sangat diperlukan terutama Universitas Sumatera Utara
dalam melakukan “advokasi” agar hukum dan peraturan perundangundangan dapat benar-benar disosialisasikan dan dipatuhi oleh semua komponen yang ada di negeri ini demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri. 6. Membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan diprakarsai oleh “Catur Wangsa” atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat dicontoh
dan
diikuti
pula
oleh
seluruh
lapisan
masyarakat.
Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih (‘clean government’), karena penegakan hukum (‘law enforcement’) adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Pemerintahan negara ( ‘lapuissance de executrice’) harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan “Kepolisian” karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat indonesia yang sadar dan patuh pada hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum (rechtsstaat). Di samping itu rakyat harus diberitahu kriteria / ukuran yang dijadikan dasar
untuk
menilai
suatu
penegakan
hukum
yang
dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik guna menciptakan budaya kontrol
Universitas Sumatera Utara
dari masyarakat, tanpa itu penegakan hukum yang baik di Indonesia hanya ada di Republik Mimpi. Mahkamah Agung pada bulan Maret 2007 membentuk Tim Kajian yang merancang konsep peraturan Mahkamah Agung atau yang sejenisnya, agar publik dapat mengakses putusan pengadilan dengan cepat, ketentuan mengenai biaya perkara, informasi tentang perkembangan penanganan perkara. Upaya ini, merupakan bagian dari semangat Mahakamah Agung mewujudkan transparansi administrasi peradilan dan pelaksanaan amanat UU No. 4 Tahun 2004. Dalam upaya mencapai Visi tersebut, Mahkamah Agung menetapkan Misi, yaitu : Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan undang-undang dan peraturan, serta memenuhi
rasa
keadilan
masyarakat;
Mewujudkan Peradilan yang independen, bebas dari campur tangan pihak lain; Memperbaiki akses pelayanan di bidang Peradilan kepada masyarakat; Memperbaiki
kualitas
input
internal
pada
proses
Peradilan;
Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien, bermartabat, dan dihormati; Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak, dan transparan. 56 Sebagai dasar penulisan skripsi ini penulis menyertakan suatu contoh kasus yang disertai dengan putusan yang menerapkan prinip Pelanggan Miranda Rule sebagi berikut :
56
Penegakan hukum, http://kikikiko.ngeblogs.com/2009/11/20/penegakan-hukum/, diakses pada tanggal 23 november 2009 Universitas Sumatera Utara
C. ANALISIS PUTUSAN SELA PENGADILAN NEGERI WONOSARI Nomor register perkara No. 22/Pid.B/2002/PN/WNSR
a. KASUS 1. Posisi Kasus - Pada hari Rabu tanggal 14 November 2001 terdakwa I dan terdakwa II bertemu dengan Sukarminingsih di rumah Giono (yang sampai saat ini belum tertangkap), yang mana Sukarminingsih meminta terdakwa I dan terdakwa II untuk mencarikan uang palsu karena mertuanya yang bernama Adi Suyanto alias Gino memtuhkan uang palsu. Atas permintaan tersebut terdakwa I dan II berusaha mencarikan. Selanjutnya pada hari Kamis tanggal 15 November 2001 terdakwa I dan terdakwa II bertemu lagi dengan Sukarminingsih di rumah Giono, yang selanjutnya Sukarminingsih mengajak para terdakwa ke rumahnya untuk dipertemukan dengan Adi Suyanto alias Gino, yang mana dalam pertemuan tersebut Adi Suyanto alias Gino memberikan uang sebesar Rp. 1.000.000,- kepada terdakwa I untuk ditukarka dengan uang palsu dan uang sebesar Rp. 100.000,untuk biaya transportasi para terdakwa yang diberikan oleh Sukarminingsih. - Pada hari Jumat tanggal 16 November 2001 terdakwa I dan terdakwa II pergi ke Purwokerto untuk menemui seseorang yang bernama Agung Darmanto yang sebelumnya sudah di hubungi oleh para terdakwa dan berjanji untuk bertemu di Terminal Purwokerto. Setelah bertemu, para terdakwa diberi uang 1 amplop berisi uang palsu pecahan Rp. 50.000,- senilai Rp. 10.000.000,- oleh Agung Darmanto, yang mana oleh para terdakwa uang palsu yang diterimanya tidak dihitung dan selanjutnya dengan di saksikan terdakwa II, terdakwa I menyerahkan uang sebesar Rp. 1.000.000,- kepada Agung Darmanto, yang mana setelah mendapat uang palsu tersebut para terdakwa kembali lagi ke Yogyakarta. Universitas Sumatera Utara
- Pada hari Sabtu tanggal 17 November 2001 setelah tiba di Yogyakarta sekitar jam 17.00 WIB, para terdakwa ditelepon oleh Sukarminingsih yang mengatakan kalau
sudah
mendapat
uang
palsu
agar
segera
menyerahkan
kepada
Sukarminingsih. Kemudian sekitar jam 21.00 WIB terdakwa I dan terdakwa II menyerahkan uang palsu kepada Sukarminingsih pecahan Rp. 50.000,- senilai Rp. 7.500.000,- yang kemudian diserahkan kepada Adi Suyanto alias Gino dan ternyata uang palsu tersebut tidak berjumlah 150 lembar namun berjumlah 146 lembar, sedangkan sisanya uang palsu pecahan Rp. 50.000,- senilai Rp. 2.500.000,- dan ternyata berjumlah 43 lembar tetap dibawa dan disimpan oleh terdakwa II, yang kemudian setelah menyerahkan uang palsu tersebut para terdakwa pulang. - Pada hari Senin tanggal 19 November 2001, datang ke rumah Sukarminingsih petugas Polres Gunungkidul
yang sebelumnya mendapat informasi untuk
melakukan penagkapan terhadap Sukarminingsih dengan para terdakwa, oleh petugas Polisi, Sukarminingsih diminta untuk menghubungi terdakwa I dan terdakwa II agar datang ke rumah Sukarminingsih, yang tidak lama kemudian para terdakwa pulang. - Pada hari senin tanggal 19 November 2001, datang ke rumah Sukarminingsih petugas Polres Gunungkidul yang sebelumnya mendapat informasi untuk melakukan penangkapan terhadap Sukarminingsih dengan para terdakwa oleh petugas Polisi, sukarminingsih diminta untuk menghubungi terdakwa I dan terdakwa II agar datang ke rumah Sukarminingsih, yang tidak lama kemudian para terdakwa datang dan saat itu juga dilakukan penagkapan terhadap terdakwa I dan terdakwa II dan ketika dilakukan pemeriksaan pada diri terdakwa II diketemukan uang palsu pecahan Rp. 50.000,- sebanyak 43 lembar yang disimpan dalam tas pinggang kulit warna hitam yang dibawa terdakwa II. Universitas Sumatera Utara
2. Dakwaan Terhadap perbuatan Terdakwa sebagaimana posisi kasus di atas maka Jaksa Penuntut Umum pada Pengadilan Negeri Wonosari mengajukan terdakwa ke persidangan dengan dakwaan sebagai berikut :57 Terdakwa I YUSRAN dan terdakwa II JUNAEDI, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri pada hari Sabtu tanggal 17 November 2001 sekira jam 21.00 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan November 2001 bertempat si rumah Sukarminingsih di dusun Ngangruk, Kebon dalem, Prambanan Klaten atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri Klaten, namun mengingat saksi-saksi banyak yang bertempat tinggal di daerah hukum Wonosari, serta para terdakwa di tahan daerah hukum Pengadilan Negeri Wonosari, maka berdasarkan pasal 84 ayat (2) KUHAP, Pengadilan Negeri Wonosari berwenang memeriksa dan mengadili, dengan sengaja menjalankan serupa mata uang atau uang kertas Negara atau uang kertas Bank yang ditiru atau dipalsukan sendiri atau yang pada waktu diterima atau diketahuinya palsu atau dipalsukan atau menyimpan mata uang dan uang kertas Negara atau uang kertas Bank yang demikian dengan maksud akan mengedarkan atau menyuruh mengedarkannya serupa dengan yang asli dan yang tiada yang dipalsukan sebanyak 189 (seratus delapan puluh) lembar uang palsu pecahan Rp. 50.000,- perbuatan tersebut merupakan pelanggaran pasal 245 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 3. Pengajuan Eksepsi I. Dasar hukum pengajuan Eksepsi
57
Surat Dakwaan Nomor Register Perkara. PDM-06/Wsari/02/2002
Universitas Sumatera Utara
1. Bahwa pada dasarnya memang Pasal 156 ayat (1) KUHAP memberikan kewenangan kapada terdakwa atau panasihat hukum untu mengajukan keberatan/Eksepsi, yang meliputi : A. Eksepsi pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya B. Eksepsi dakwaan tidak dapat diterima C. Eksepsi surat dakwaan harus dibatalkan 2. Bahwa selain keberatan yang dimaksud dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP tersebut. Ternyata dalam praktik atau dalam peraturan perundang-undangan lainnya ada juga keberatan-keberatan lainnya yang dapat diajukan oleh terdakwa atau Penasihat Hukumnya. Adapun keberatan-keberatan (Eksepsi) tersebut adalah sbb: A. Eksepsi kewenangan menuntut gugur Eksepsi ini memohon kepada Majelis Hakim supaya memutuskan bahwa kewenangan Penuntut Umum untuk menuntut hapus atau gugur. Yang masuk dalam kategori Eksepsi ini adalah : -
Exceptio Judicate atau nebis in idem (pasal 76 KUHP)
-
Exceptio in tempores (pasal 78 KUHP)
-
Terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP)
B. Eksepsi Tuntutan Penuntut Umum Tidak Dapat Diterima Putusan atau Eksepsi ini diatur dalam pasal 263 ayat (2) huruf a dan pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAP. Didalam ketentuan pasal-pasal tersebut menyatakan dibolehkannya putusan hakim dengan amar putusan, tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. Eksepsi jenis ini merupakan keberatan terhadap tindakan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Menurut M.Yahya Harahap, SH., dalam bukunya yang berjudul, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,Universitas pemeriksaan sidang Sumatera Utara
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali”, Penerbit Sinar Grafika, tahun 2000, pada halaman 121, menjelaskan : Eksepsi tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima adalah Eksepsi yang dilakukan oleh Terdakwa atau Penasihat hukumnya apabila tata cara pemeriksaan yang dilakukan terhadap terdakwa tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau yang diminta ketentuan Undang-undang. Dalam mengajukan Eksepsi ini, permohonan yang terhadap hakim adalah agar hakim menjatuhkan putusan dengan amar menyatakan bahwa tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. Yang masuk dalam kategori Eksepsi ini adalah : -
Eksepsi pelanggaran Miranda Rule, bahwa penyidikan tidak memenuhi ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP.
-
Eksepsi pemeriksaan tidak memenuhi syarat klacht delict
-
Eksepsi penyidikan tidak memenuhi ketentuan yang diwajibkan dalam KUHAP dan atau peraturan perundangan lainnya yang berkaitan.
Sedangkan menurut Lililik Mulyadi, SH., MH., menjelaskan : 58 Yang dimaksud Eksepsi tuntutan Penuntut umum tidak dapat diterima, adalah: -
Apa yang didakwakan Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya telah Kadaluwarsa.
-
Bahwa adanya asas nebis in idem, yaitu seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya terhadap perbuatan yang sama.
-
Bahwa tidak ada unsur penagdual padahal terdakwa didakwa telah melakukan perbuatan tindak pidana yang masuk dalam kategori delik aduan (klacht delict)
58
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Suatu Tunjauan Khusus terhadap Surat Universitas Sumatera Utara Dakwaan, Eksepsi dan putusan peradilan, (Bandung : Aditya Bhakti, 2000) Hal. 102.
-
Adanya unsur yang didakwakan penuntut umum kepada terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan,disangkakan.
-
Bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa bukan merupakan tindak pidana akan tetapi merupakan ruang lingkup dalam bidang hukm perdata.
Dasar hukum yang membolehkan dilakukannya Eksepsi jenis ini, juga didapat dari yurisprudensi-yurisprudensi sebagai berikut: -
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 510 K/Pid?1988, tanggal 28 April 1988, yang menyatakan : tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.
-
Putusan Mahkamah Agung RI No. 1565 K/Pid/1991, tanggal 16 September 1993, yang menyatakan: apabila syarat-syarat permintaan dan/atau hak tersangka/terdakwa tidak terpenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sjak awal penyidikan, tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima.
-
Putusan Pengadilan Negeri Tegal No. 34/Pid.B/1995/PN.Tgl, tanggal 26 Juni 1995, yang menyatakan : penyidikan yang dilakukan oleh Mabes Polri tidak sah karena Pasal 56 ayat (1) KUHAP tidak diterapkan sebagaiman mestinya, sehingga penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.
II. Jenis Eksepsi yang diajukan Bahwa dalam kasus ini (incasu) Eksepsi atau keberatan yang kami ajukan ini, adalah EKSEPSI/KEBERATAN terhadap adanya Pelanggaran Pasal 56 ayat (1) KUHAP oleh Penyidik POLRI, yang lebih dikenal dengan Pelanggaran Miranda Rule di dalam proses peradilan, dengan alasan : 1). Para tersangka diancam dengan pidana maksimal 15 tahun penjara ; 2). Dalam Pasal 56 ayat (1) Kuhap Penyidik “wajib” menunjuk Penasihat hukum bagi para Terdakwa;
Universitas Sumatera Utara
3). Fakta hukum menunjukan bahwa Penyidik telah melalaikan kewajibannya dalam menunjuk Penasihat Hukum bagi para tersangka; Bahwa dalam “Due Process Of Law” sekalipun pihak Kepolisian di dalam melaksanakan fungsi “penyelidikan: dan “penyidikan”, oleh Undang-undang telah diberi hak istimewa atau hak privilise kepada Polri untuk : memanggil, memeriksa, menangkap, menahan, menggeledah, menyita terhadap dan dari diri tersangka, akan tetapi di dalam melaksanakan hak-haknya Polri tersebut harus taat dan tunduk kepada prinsip The Right of Due Process, yaitu para tersangka berhak diselidiki atau disidik di atas landasan “sesuai dengan hukum acara”. Bertitik tolak dari azas ini, Polri di dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan “penyidikan”, harus berpatokan dan berpegang pada “ketentuan khusus” yang diatur dalam “Hukum Acara Pidana” (Criminal Procedure) yaitu dalam hal ini adalah Undang-undang No. 8 Tahun 1981 (KUHAP). Konsep “due process” merupakan bagian yang integral dari upaya menjunjung tinggi “supremasi hukum” dalam menagani tindak pidana yang pelaksanaannya harus berpedoman dan meghormati doktrin “inkorporasi” yang memuat berbagai hak yang antara lain telah dirumuskan dalam Bab VI KUHAP, salah satunya adalah hak untuk mendapat bantuan hukum seperti yang terdapat didalam Pasal 54 KUHAP; Namun khusus untuk sangkaan/dakwaan yang diancam dengan hukuman maksimal 16 tahun penjara sebagaimana yang sekarang didakwakan kepada para terdakwa yang ada di hadapan kita ini, para tersangka bukan hanya diberitahu oleh Penyidik akan haknya untuk mendapatkan bantuan hukum seperti dimaksud di dalam Pasal 54 KUHAP, melainkan lebih dari pada itu, yaitu para tersangka harus menerima haknya untuk mendapat bantuan hukum sejak dari proses penyidikan seperti yang telah ditentukan dalam pasal 56Universitas ayat (1) KUHAP yang Sumatera Utara
mengatakan bahwa : “Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi mereka”. Kewajiban untuk menunjuk Penasihat Hukum seperti dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP tersebut adalah bersifat imperatif. Dan apa yang diatur dalam Pasal 56 KUHAP ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari asas “presumption of innocence” dan hak-hak asasi serta berkaitan dengan pengembangan “Miranda Rule” yang juga telah diadaptasi dalam KUHAP, seperti: 1. Melarang penyidik melakukan praktek pemaksaan yang kejam untuk memperoleh “pengakuan”(brutality to coerce confession) 2. Melarang Penyidik melakukan intimidasi kejiwaan (psychological intimidation); Berbarengan dengan larangan dimaksud, kepada tersangka diberika hak untuk diperingatkan “hak konstitusionalnya” yang disebut dengan “Miranda Warning” antara lain : 1. Hak untuk tidak menjawab (a right to remain in silent); 2. Hak didampingi Penasihat Hukum (a right to presence of an attorney); Namun khusus untuk pasal 56 ayat (1) KUHAP, Penyidik tidak hanya wajib memberitahukan atas hak tersangka untuk meendapatkan bantuan hukum, namun penyidik wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi Terdakwa. Namun kemudian jika terjadi setelah ada penunjukan Penasihat Hukum oleh Penyidik, tersangka menolak untuk didampingi Penasihat hukum, hal penolakan tersangka itu hendaknya terjadi setelah Penyidik melaksanakan kewajibannya menunjuk Penasihat Hukum. Dan jika memang ada penolakan tersangka untuk didampingi penasihat hukum, demi terciptanya kejujuran di dalam proses penegakan hukum, Universitas Sumatera Utara
penolakn oleh tersangka itu hendaknya dilakukan dan/atau diketahui langsung dihadapan Penasihat hukum yang telah ditunjuk penyidik. Bahwa adapun yang menjadi kebiasaan penyidik selama ini yang membuat dan mendapatkan”surat pernyataan Tersangka yang tidak bersedia didampigi Penasihat Hukum”, sesungguhnya keberadaan “surat pernyataan”tersebut TIDAK DAPAT MELUMPUHKAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG seperti yang dimaksud didalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP. Bahwa dari segala pendekatan formalistic legal thinking ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP, sebagaiman diterangkan dalam bukunya M. Yahya Harahap, SH., dalam bukunya yang berjudul, “Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, hal. 327, Penerbit Sinar Grafika, tahun 2000”, menjelaskan pasal 56 ayat (1) KUHAP mengandung berbagai aspek permasalahan hukum yaitu : 1. Mengandung aspek nilai HAM, sesuai dengan deklarasi “universal” HAM yang menegaskan bahwa hadirnya Penasihat Hukum mendampingi Tersangka atau Terdakwa merupakan nilai yang inherent pada diri manusia. Dengan demikian mengabaikan hak ini bertentangan dengan nilai HAM. 2. Pemenuhan hak ini dalam proses peradilan pada semua tingkat pemeriksaan, menjadi kewajiban bagi Pejabat yang bersangkutan, sehingga mengabaikan ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP ini mengakibatkan hasil pemeriksaan tidak sah dan batal demi hukum; 3. Bahwa pasal 56 ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM telah diangkat menjadi salah satu patokan MIRANDA RULE atau MIRANDA
PRINCIPLE,
yang
mengaskan
apabila
pemeriksaan
penyidikan, peuntutan, atau persidangan, tersangka atau terdakwa tidak didampingi Penasihat Hukum, maka sesuai dengan Miranda Rule, Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan adalah tidak sah (illegal) atau batal demi hukum (null and void). Atas uraian keberatan kami tersebut diatas dan atas dasar Pasal 56 ayat (1) dan (2) KUHAP maka dengan ini kami Penasihat Hukum para Terdakwa memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim pemeriksaan perkara ini agar berkenan menetapkan dan memutuskan sbb : 1. Menerima dalil-dalil serta alasan-alasan yang kami uraikan dalam eksepsi atau keberatan kami atas surat dakwaan Jaksa/Penuntut Umum. 2. Menyatakan hasil Berita Acara Penyidikan (BAP) oleh Penyidik dari Polres Gunungkidul terhadap Terdakwa I dan Terdakwa II melanggar pasal 56 ayat (1) KUHAP dan BAP tersebut batal demi hukum dan/atau Dibatalkan. 3. Menyatakan surat dakwaan Jaksa/Penuntut Umum terhadap terdakwa I dan Terdakwa II dalam perkara pidana nomor : 22/Pid.B/2002/PN.Wnsr batal demi hukum dan/atau dibatalkan. 4. Demi hukum memerintahkan kepada Jaksa/Penuntut Umum untuk segera mengeluarkan Terdakwa I dan Terdakwa II dari tahanan. Demikianlah tangkisan/eksepsi/keberatan ini kami ajukan kehadapan Yang Mulia Majelis Hakim pemeriksa perkara ini, kemudian atas perhatian serta terkabulnya eksepsi/tangkisan/keberatan kami diucapkan banyak terima kasih. 4. Studi Kasus Putusan Sela Pengadilan Negeri Wonosari Majelis
Hakim
Pengadilan
Negeri
Wonosari
pada
persidangan
menjatuhkan putusan sela atas eksepsi atas Terdakwa Yusran dan Junaedi sebagai berikut :59 1. Menerima Eksepsi penasihat hukum para terdakwa 59
Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 22/Pid.B/2002/PN.WNSR
Universitas Sumatera Utara
2. Menyatakan tuntutan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima 3. Menetapkan menghentikan pemeriksaan perkara pidana atas nama terdakwa I YUSRAN dan terdakwa II JUNAEDI tersebut 4. Memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk segera mengeluarkan para terdakwa tersebut dari tahanan. Bahwa atas Putusan Sela yang dijatuhkan terhadap para Terdakwa jaksa penuntut umum pada kejaksaan negeri wonosari pada tanggal 19 April 2002 mengajukan perlawanan terhadap putusan Pengadilan Negeri Wonosari tersebut. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada persidangan menjatuhkan putusan
atas perlawanan yang diajukan Jaksa penuntut umum
terhadap putusan sela sebagai berikut :60 1. Menolak perlawanan jaksa penuntut umum 2. Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Wonosari tanggal 15 April 2002 No.
22/Pid.B/2002/PN.Wns.,sehingga
amar
selengkapnya
berbunyi
sebagai berikut : a. Menerima eksepsi dari penasihat hukum para terdakwa. b. Menyatakan,
penyidikan
yang
dilakukan
oleh
penyidik,
sebagaimana tertuang dalam berita acara penyidikan, batal demi hukum. c. Menyatakan, penuntutan jaksa penuntut umum terhadap para terdakwa yang berdasarkan berita acara penyidikan yang batal demi hukum tidak dapat diterima. d. Memerintahkan agar para terdakwa dibebaskan dari tahanan. e. Membebankan semua biaya perkara ini kepada Negara.
60
Universitas Sumatera Utara Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor : 03/PID/PLW/2002/PTY
b. ANALISIS KASUS Setelah penulis mempelajari dan membaca pertimbangan hukum putusan Pengadilan tinggi Yogyakarta, maka dapat diketahui bahwasanya telah terjadi suatu pelanggaran prinsip Miranda Rule oleh penyidik. Dalam kasus ini Hakim Pengadilan tinggi Yogyakarta mempelajari dan meneliti dengan seksama berkas perkara yang diajukan perlawanan yang terdiri dari berita acara penyidikan, berita acara pemeriksaan dipersidangan Pengadilan Negeri Wonosari, dan surat-surat lain yang berhubungan dengan perkara ini, serta salinan resmi putusan sela pengadilan Negeri Wonosari tanggal 15 April 2002 No. 22/Pid.B/2002/PN.Wns.,berkesimpulan sebagai berikut : Bahwa walaupun putusan ini merupakan putusan atas keberatan dari penasihat hukum terdakwa, sehingga merupakan putusan sela, akan tetapi karena isi putusan tersebut adalah menerima keberatan dari penasihat hukum terdakwa, maka putusan tersebut menjadi putusan akhir, bukan putusan sela. Bahwa pertimbangan hukum dalam putusan majelis hakim tingkat pertama, sepanjang mengenai telah terbuktinya secara sah dan meyakinkan keberatan penasihat hukum terdakwa, dan menyatakan tuntutan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima, maka sudah tepat dan benar. Sehingga majelis hakim pengadilan tinggi dapat menyetujuinya, selanjutnya diambil alih sebagai salah satu pertimbangan hukum sendiri dalam memeriksa dan memutus perlawanan ini. Menimbang, bahwa perkara ini telah disidik oleh Penyidik polisi Republik Indonesia
berdasarkan
surat
perintah
Penyidikan
No.
Pol:Sp.
Sidik/72/XI/XI/2001/Serse tanggal 20 November 2001 dan dilaporkan kepada kepala kejaksaan Negeri Wonosari tanggal 20 Novenber 2001 (SPDP) No. B/72/XI/2001/Serse, dengan diterangkan bahwa penyidikannya telah dimulai pada tanggal 16 November 2001, dengan rujukan selain surat perintahSumatera penyidikan Universitas Utara
tersebut juga laporan Polisi No. Pol. LP/K/26/XI/2001/Sek Semanu tanggal 19 November 2001. Menimbang, bahwa pemeriksaan terhadap Yusran oleh penyidik pembantu pada tanggal 19 November 2001, sedangkan pemeriksaan terhadap terdakwa Junaedi oleh penidik pembantu pada tanggal 20 November 2001, di mana dalam pemeriksaan kedua terdakwa tersebut, oleh penyidik pembantu tidak pernah dijelaskan kepada para Terdakwa bahwa penyidik telah menunjuk seorang penasihat hukum, dan sekaligus memperkenalkan kepada para terdakwa siapa yang akan mendampingi mereka selama pemeriksaan perkaranya di tingkat penyidikan. Bahkan surat penunjukan sebagai penasihat hukum, para terdakwa tanggal 19 November 2001 No. Pol. B/78/XI/2001/Serse dan B/79/XI/2001/Serse tidak pernah dilampirkan dan berkas penyidikan oleh penyidik. Menimbang, bahwa mengenai surat pernyataan yang dibuat oleh para terdakwa tanggal 21 November 2001, yang foto copynya dilampirkan dalam berkas, hal itu idak sesuai dengan isi Pasal 56 KUHAP. Sebab tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, diancam dengan pidana penjara maksimal 15 tahun, sehingga para terdakwa memerlukan atau tidak untuk didampingi penasihat hukum. Apabila para terdakwa tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, maka penyidik wajib menunjuk penasihat hukum selama proses penyidikan. Dengan demikian, surat pernyataan tersebut tidak menghapuskan kewajiban penyidik tersebut, di samping pembuatannya seharusnya sebelum para terdakwa mulai diperiksa. Menimbang, bahwa dengan pertimbangan tersebut diatas, maka yang menjadi pertanyaan adalah, kapan sebenarnya penyidik mulai melakukan penyidikan dalam perkara ini. Universitas Sumatera Utara
Menimbang, bahwa jika mengacu pada surat perintah penyidikan No. Pol. Sp,Sidik/72/XI/2001/Serse tanggal 20 November 2001, maka surat penunjukan penasihat hukum tanggal 19 November 2001 No. Pol. B/78/XI/2001/Serse dan B/79/XI/2001/Serse
telah
dilakukan
oleh
penyidik
sebelum
dimulainya
penyidikan, begitu pula pemeriksaan YUSRAN. Akan tetapi, jika mengacu kepada surat pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan negeri Wonosari yang menyatakan penyidikan sudah dimulai tanggal 16 November 2001, maka penyidikan tersebut telah dimulai sebelum adanya laporan polisi. Maka dengan demikian, terjadi ketidakpastian mengenai dasar hukum penyidik melakukan tindakan-tindakan dalam rangka penyidikan perkara ini. Menimbang, bahwa dari pertimbangan sebagaimana telah dikemukakan dalam putusan majelis hakim tingkat pertama yang telah diambil alih oleh majelis hakim
tingkat
banding,
ditambah
dengan
pertimbangan-pertimbangan
sebagaimana diuraikan diatas, dapatlah ditari kesimpulan, penyidikan yang dilakukan penyidik, sebagimana tertuang dalam berita acara penyidikan, tidak memenuhi syarat sebagaiman diharuskan dalam KUHAP, terutama Pasal 56. Karenanya, berita acara penyidikan tersebut harus dinyatakan batal demi hukum. Menimbang, bahwa dengan demikian, maka perlawanan jaksa penuntut umum atas putusan sela Pengadilan Negeri Wonosari tanggal 15 April 2002 No.22/Pid.B/2002/PN/Wns haruslah dinyatakan ditolak. Menimbang, oleh karena para terdakwa berada dalam tahanan, maka perlu diperintahkan para terdakwa segera dibebaskan dari tahanan. Menimbang, bahwa mengenai biaya perkara ini sepenuhnya dibebankan kepada Negara. Universitas Sumatera Utara
Menimbang, bahwa dari semua pertimbangan, sebagaimana diuraikan diatas, maka putusan Pengadilan Negeri Wonosari tanggal 15 April 2002 No. 22/Pid.B/2002/PN. Wns perlu diperbaiki. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum diatas dapat dinyatakan bahwa dakwaan oleh Jaksa penuntut umum tidak dapat dilanjutkan lagi. Maka, jika diperhatikan secara seksama kasus yang diputuskan oleh hakim Pengadilan Negeri Wonosari ini, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa majelis hakim dalam putusannya telah menerapkan hukum sebagaimana mestinya sesuai dengan fakta-fakta yang telah diperoleh. Selama proses penyelidikan dan penyidikan para penyidik berkewajiban untuk memberitahu tersangka tentang haknya untuk mencari dan memperoleh bantuan hukum dari seseorang atau beberapa orang penasihat hukum (Miranda warning). Dalam hal tersangka dianggap mampu, juga tindak pidananya tidak diancam dengan hukuman mati atau hukuman lima belas tahun ke atas atau jika tidak mampu, diancam dengan tindak pidana kurang dari lima tahun maka pada sisi ini diserahkan kepada kehendak tersangka untuk mempergunakan haknya mencari atau mendapatkan panasihat hukum. Hak tersangka ini menurut penulis bukan semata-mata hak dari tersangka, tetapi telah berubah sifatnya menjadi “kewajiban” penyidik atau kewajiban dari aparat penegak hukum pada semua tingkat pemeriksaan. Dalam peristiwa dan keadaan seperti ini, dimana penyidik tidak memenuhi kewajibannya maka proses penyidikan dapat dinyatakan tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan prosedur pemeriksaan perkara menurut KUHAP. Maka dari pada itu proses penegakan keadilan juga terhambat oleh karena tidak sahnya hasil pemeriksaan yang mengakibatkan dakwaan menjadi batal demi hukum, padahal apa yang didakwakan penuntut umum Universitas terhadap terdakwa Sumaterabisa Utara
saja benar adanya.
Dalam kasus ini penulis menyertakan dakwaan yang
didakwakan terhadap terdakwa yakni Pasal 245 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, dalam dakwaan memalsukan mata uang Negara tapi konsekuensi terhadap pelanggaran Miranda rule ini mengakibatkan tindakan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa/ penuntut umum menjadi tidak dapat diterima. Melalui eksepsi yang diajukan penasihat hukum terdakwa pada saat proses peradilan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Wonosari menerima eksepsi penasihat hukum terdakwa, berdasarkan fakta hukum bahwa selama proses pemeriksaan terdakwa menurut ketentun Pasal 56 KUHAP mempunyai kewajiban untuk didampingi oleh penasihat hukum, yang pada kenyataannya terdakwa tidak mendapat penasihat hukum dari aparat penegak hukum. Selama proses pemeriksaan terdakwa yang tidak didampingi penasihat hukum maka Berita acara Penyidikan yang dibuat oleh penyidik melanggar ketentuan Pasal 56 KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM dan BAP tersebut batal demi hukum. Adapun jenis eksepsi yang dalam hal ini ialah tindakan penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum tidak dapat diterima dengan alasan penyidikannya tidak sah dikarenakan terdakwa tidak mendapatkan pendampingan penasihat hukum.
Maka atas eksepsi ini Hakim menerima eksepsi penasihat hukum
terdakwa dan memberikan putusan sela. Jika dicermati KUHAP mengutamakan prinsip “Due Process of law” dengan memberikan perlindungan hukum yang jelas terhadap tersangka/terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum. Dan sesungguhnya memperoleh bantuan hukum merupakan salah satu bentuk akses terhadap keadilan (Accses to justice) bagi mereka yang terkena atau berurusan dengan masalah hukum. Serta diharapkan negara melalui aparat penegak hukumnya dapat memberikan jaminan Universitas Sumatera Utara
perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga masyarakat dari tindakan-tindakan sewenang-wenang Dengan tidak ditunjukannya penasihat hukum oleh pejabat penyidik terhadap terdakwa penulis berpendapat maka penyidik telah melakukan pelanggaran terhadap KUHAP dalam melakukan penyidikan terhadap terdakwa. Dengan demikian penyidik telah melakukan pelanggaran prinsipil, yakni pelanggaran terhadap hukum acara pidana dalam menegakan hukum, sehingga hasil BAP penyidik yang dijadikan dasar penyusunan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum adalah tidak berdasarkan hukum Dengan ditegakannya prinsip-prinsip Miranda rule di dalam praktik peradilan
di Indonesia, akan memperkecil kesempatan para oknum aparat
penegak hukum untuk bertindak menyalahgunakan wewenangnya kepada tersangka/atau terdakwa. Maka, menurut penulis putusan yang diambil majelis hakim terhadap terdakwa telah dapat memenuhi rasa keadilan baik menurut hukum maupun memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan latar belakang dan pembahasan yang telah diulas, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Pemeriksaan pendahuluan merupakan tugas kepolisian selaku penyidik tunggal yang meliputi kegiatan penyidikan dan kewenangan untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas penyidik seperti melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat serta membuat berita acara pemeriksaan. Fungsi penasihat hukum dalam pemeriksaan pendahuluan adalah untuk mengikuti jalannya pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka secara pasif, dalam arti ia hanya dapat melihat dan mendengar pemeriksaan.Prinsip-prinsip Miranda Rule yang berlaku secara universal dan telah diakomodir dalam KUHAP banyak dilanggar oleh Penyidik, Jaksa dan Hakim. 2. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran prinsip Miranda Rule dalam praktik peradilan pidana di Indonesia antara lain: a. Kesalahan dalam menafsirkan pasal 56 ayat (1) KUHAP b.Adanya unsur kesengajaan dari oknum pejabat penyidik c. Tidak Adanya Penasihat hukum yang akan ditunjuk di wilayah hukum tersebut d.Belum adanya mekanisme dan aturan pelaksanaan yang jelas yang mengatur kesediaan penasihat hukum untuk ditunjuk sebagai penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (2) KUHAP Universitas Sumatera Utara
e. Adanya Persepsi yang Keliru Bahwa Penunjukan Penasihat Hukum Memerlukan Suatu Anggaran Khusus dan di Instansi Peradilan Hal Tersebut Tidak Dianggarkan Alpanya penasihat hukum yang berfungsi membela hak-hak terdakwa tersebut umumnya tidak hanya terjadi pada proses pemeriksaan di persidangan saja, ataupun pada tingkat kejaksaan, biasanya hal ini terjadi sejak pada tahapan penyidikan di kepolisian. 3. Upaya penanggulangan agar tidak terjadinya pelanggaran prinsip Miranda Rule di Indonesia dapat melalui upaya penal maupun Upaya non Penal. Adapun Upaya Penal dalam Penanggulangan agar tidak terjadinya pelanggaran prinsip Miranda Rule di Indonesia antara lain : a. Keberatan pada tingkat Penyidikan b.
Eksepsi atau Keberatan Dalam Persidangan
c.
Pledooi
d. Kasasi e. Peninjauan Kembali Sedangkan Upaya Non Penal dalam Penanggulangan agar tidak terjadinya pelanggaran prinsip Miranda Rule di Indonesia antara lain : a. Perlunya penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada. b.Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya. c. Dibentuknya suatu lembaga yang independen oleh Pemerintah dimana para anggotanya terdiri dari unsur-unsur masyarakat luas yang cerdas (non Hakim aktif, Jaksa aktif dan Polisi aktif) yang bertujuan mengawasi proses penegakan hukum. Universitas Sumatera Utara
d. Perlu
dilakukannya
standarisasi
dan
pemberian
tambahan
kesejahteraan yang memadai khususnya bagi Penegak Hukum. e. Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas. f. Membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang konsisten.
B. Saran 1. Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi penasihat hukum sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, penasihat hukum menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Penasihat hukum sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Masalah bantuan hukum oleh seorang penasehat hukum di tingkat pemeriksaan pendahuluan, sejak saat ditangkap atau ditahan wajib kita laksanakan. Sesuai dengan tujuan bantuan hukum itu sendiri yaitu memberikan kesempatan lebih banyak dalam mempersiapkan bagi pembelaannya selama hubungan itu tidak merugikan kepentingan penyidikan dan tetap dalam pengawasan penyidik.
Universitas Sumatera Utara
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah mengatur secara tegas mengenai kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma sebagai bagian dari kewajiban profesi. Dalam hal advokat tidak melakukan kewajiban profesi tersebut maka dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban profesi sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Oleh karena itu, maka UU Nomor 18 Tahun 2003 tersebut juga telah mengatur mengenai jenis-jenis sanksi yang dapat diberlakukan mulai dari sanksi teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap. Untuk mendukung pelaksanaan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma oleh advokat sebagai bagian dari kewajiban profesi maka perlu dirumuskan peraturan pemerintah. 3. Perlu memberikan penghargaan /reward kepada para penegak hukum yang yang telah menunjukan penghormatannya terhadap hak-hak tersangka sebagaimana dimaksud dalam Miranda rule dan perlunya memberikan sanksi yang tegas bagi penegak hukum yang terbukti benar-benar melanggar prinsip-prinsip Miranda rule.
Universitas Sumatera Utara