BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam dunia sastra dan seni, kaidah-kaidah linguistik serta kebiasaankebiasaan yang telah baku sering dilanggar dan diabaikan, untuk maksud-maksud tertentu. Sastrawan mendapatkan kebebasan dalam mengeksploitasi kemampuan dan imajinasi verbalnya. Senimanpun mendapatkan kebebasan dalam mengekspresikan kreativitasnya. Kebebasan inilah yang sering disebut dengan
artistic license
(terkadang disebut juga dengan dramatic license, historical license, poetic license, narrative license, licentia poetica, atau secara sederhana disebut license). Manusia adalah mahluk yang cerdas, homo sapiens sekaligus homo ludens ‘mahluk yang senang bermain-main’. Sejak masih bayi sampai tua sekalipun manusia senang bermain-main, namun jenis permainannya disesuaikan dengan usianya. Manusia telah disuguhkan permainan dalam bentuk interaksi antara orang tua dengan anaknya (tidak lama, bahkan mungkin sesaat) setelah lahir, sebelum anak tersebut memiliki kemampuan kognitif yang lebih serius. Permainan tersebut berwujud verbal maupu nonverbal. Permainan verbal berupa vokalisasi-vokalisasi yang mungkin tanpa makna, sementara permainan nonverbal berupa tingkah polah sekedar memancing sang buah hati agar tersenyum, ataupun tertawa.
1
2
Banyaknya jenis-jenis permainan (bahasa) diapresiasi oleh Wijana (2003:15). Dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya, dikemukakan bahwa permainan bahasa dapat ditemukan dalam berbagai aktivitas dan hasil aktivitas manusia sepanjang hayatnya. Plesetan pada baju kaos ala Dagadu yang populer di Jogjakarta merupakan salah satu contoh hasil (product) permainan bahasa dalam arti yang seluas-luasnya. Bermain-main dengan kata-kata tidak hanya menjadi sebuah hiburan pelepas kejenuhan, tetapi bisa juga menyuguhkan hal-hal yang serius, kritik yang membangun sekaligus mengandung nilai moral yang tinggi yang melekat kuat pada ingatan manusia. Perhatikan bagaimana permainan dengan singkatan berikut ini membawa pesan yang kuat pada pendengarnya sekaligus terkesan jenaka. AIDS = Akibat Itunya Dimasukkan Sembarangan. Kepanjangan yang sebenarnya adalah Aquired Immune Deficiency Syndrome, namun diplesetkan kedalam bentuk yang lain, tetapi masih memiliki korelasi yang dekat dengan sasaran. Hal inilah yang menjadikan permainan dengan kata-kata ini menjadi lebih menarik bahkan lebih populer dibandingkan dengan kepanjangan aslinya. Kelucuan timbul karena pendengar ataupun pembaca telah menyadari ada suatu pertentangan dalam imajinasinya tentang kepanjangan AIDS sebagaimana yang telah didengar dalam pengalaman hidupnya. Bagi orang yang tidak pernah mengenal kata AIDS, ini mungkin terdengar sebagai singkatan biasa yang tidak mempunyai nilai humor sama sekali. Dalam tuturan yang serius tidak jarang diselipkan dengan permainan kata-kata yang membawa imajinasi pendengar pada sesuatu yang bertentangan dengan
3
kenyataan atau ide awalnya, dan akan membawa kesan humor setelah disadari bahwa ada kaedah linguistik yang dilanggar oleh penutur. Perhatikan bagaimana seorang dalang melanggar kaedah linguistik pada dialog antara dua punakawan yang diperankannya berikut: (1) A: “Apa minum ne”? ‘apa minumnya? B: ”Kedis petingan poleng!” ‘burung petingan (sejenis pipit) belang belang’ A: “Apa to?” apa itu (maksudnya)?” B: “Semprit” (sebutan untuk burung pipit) (WCB.1)
Ketentuan yang telah baku adalah setiap yang diminum selalu berupa benda cair. Belum pernah dijumpai ada orang yang meminum burung pipit apalagi dengan bulunya yang belang-belang. Pada beberapa daerah di Bali burung pipit yang berwarna merah bercampur hitam disebut dengan burung semprit. Sang dalang memplesetkannya untuk kata yang ia maksud adalah Sprite, yaitu minuman bersoda yang sudah cukup populer di Indonesia. Setelah disadari adanya perbedaan imajinasi awal antara penonton dan maksud sang dalang yang mengucapkan tuturan tersebut, gelak tawa penontonpun menjadi riuh. Seorang dalang, pelawak, penyair, ilmuwan, politikus, pengusaha serta berbagai profesi lainnya nampak dari bahasa yang mereka gunakan. Karena itulah agar bisa menghasilkan lawakan yang bagus seorang pelawak akan berusaha mengeksploitasi kemampuan verbalnya. Pedalang, penyair, ilmuwan, politikus, pengusaha dan yang lainnya juga melakukan hal sama agar mencerminkan identitasnya tersebut. Apa yang mereka lakukan terhadap bahasa tersebut, tidak lain
4
adalah mengeksploitasi serta memanfaatkan potensi-potensi sistem perlambangan bunyi; yang walaupun bersifat arbitrer tetapi tetap berdasarkan konvensi masyarakat bahasa tertentu
yang tidak hanya unik, tetapi juga bersifat universal, sekaligus
menjadi identitas bagi penuturnya. Hal ini sejalan dengan hakikat bahasa seperti yang diungkapkan Chaer, (2012:33-56) Lambang-lambang bunyi yang jumlahnya terbatas memiliki potensi pemakaian yang tidak terbatas. Bahasa Bali hanya memiliki 6 fonem vocal: /i/, /e/, /ǝ/, /a/, /o/ dan /u/; 18 fonem konsonan: /p/, /b/, /m/, /w/, /t/, /d/, /n/, /s/, /l/, /r/, /c/, /j/, /n/, /k/, /g/, /ŋ/, /y/ dan /h/ namun tidak memiliki fonem diftong (lihat Bawa 1981: 11). Keterbatasan jumlah ini banyak menghasilkan leksem-leksem yang memiliki pasangan minimal (minimal pairs). Potensi ini banyak dimanfaatkan dan dieksploitasi untuk tujuan-tujuan tertentu. Perhatikan bagaimana nilai estetika muncul dalam pemanfaatan pasangan minimal sayang dan wayang dalam tuturan berikut: (2) “Kudiang man, ba kadung blulang maukir!” ‘bagaimana lagi, sudah terlanjur kulit diukir!’ (blulang maukir ‘kulit diukir’ = wayang > sayang) (TLT.4). Perhatikan juga nilai humoris bisa muncul pada plesetan dalam bahasa Indonesia yang memanfaatkan pertalian bunyi berikut: “Sekarang sudah tidak *muksinnya lagi….” (“muksinnya” semestinya “musimnya” diplesetkan dari nama seorang artis di era 90-an Muksin Alatas).
5
Potensi yang terkandung dalam sebuah bahasa dimanfaatkan untuk tujuantujuan tertentu, misalnya untuk memperlihatkan nilai etika, estetika serta untuk mencapai efektifitas yang diinginkan. Tidak jarang sebuah fonem diliuk-liukan, dipanjangkan atau dipendekkan, dipasangkan atau dikontraskan untuk sebuah maksud. Pemanfaatan potensi ini oleh Sudaryanto (1989) diuraikan sebagai berikut: 1) Pemanfaatan perubahan-perubahan fonem khususnya bahasa Jawa untuk pengungkapan berbagai makna yang diinginkan misalnya untuk memperlihatkan nilai etika halus pada masyarakat Jawa; 2) kata afektif berusaha menunjukan betapa bunyi diliuk-liukan, dikontraskan, atau sebaliknya diselaraskan demi muatan rasa sang pembicara; 3) Aneka bentuk ikonik berusaha menunjukan betapa pengucapan suatu lingual bahasa Jawa itu tersiapsediakan untuk menghadirkan secara konkret informasi pada saat proses berbahasa dilakukan; 4) Pemanfaatan keikonikan dan bentuk ikonik merupakan upaya canggih dan kreatif para individu, menghadirkan kekayaan jiwanya dengan bahasa yang digunakan.
(Sudaryanto, 1989:39) Pada contoh (2) belulang maukir, memperlihatkan adanya fonem-fonem atau suku kata pada dua leksem yang berbeda yang dikontraskan namun masih mempunyai pertalian bunyi (wayang vs sayang). Pengontrasan fonem-fonem ini hanya bisa dipahami setelah mengetahui hubungan antara makna frase belulang maukir ‘kulit diukir’(wayang) dengan maksud sebenarnya yaitu untuk menggantikan kata sayang. Formula semacam inilah (contoh 1 dan 2 di atas) yang kemudian disebut dengan wangsalan . Wangsalan merupakan salah-satu bentuk ikonik yang dimiliki oleh suatu bahasa. Yang dimaksud dengan ikon di sini adalah sesuatu yang bila didengar atau dilihat maka pada saat itu juga kita akan teringat pada suatu hal atau benda yang ditandai tersebut. Misalnya ketika melihat Monas kita langsung teringat akan Jakarta,
6
ketika mendengar gudeg, kita langsung teringat dengan Jogjakarta, ketika mendengar seruling merdu yang khas kita langsung teringat Bandung. Demikian juga ketika orang Jawa mendengar wangsalan “njanur gunung” ia akan langsung membayangkan pohon dari jenis palm yang tumbuh pada dataran tinggi yang disebut dengan aren, yang kemudian mengaitkannya dengan kata kadingaren ‘tumben’ karena adanya persamaan bunyi. Pada awalnya mungkin orang Jawa akan bertanya-tanya “apa arti njanur gunung?” tetapi setelah sekali tau tentang maksud sebenarnya dari wangsalan tersebut dan memahami bagaimana maksud tersebut disimpulkan, selanjutnya dia akan selalu ingat maksud sebenarnya dari wangsalan itu, karena bisa dilacak dari Jawaban atas teka-teki tersebut. Bahasa Bali sebagai bahasa yang berkerabat dengan bahasa Jawa, kaya akan gaya berbahasa yang mirip dengan wangsalan Jawa di atas. Hanya saja gaya bahasa semacam itu di Bali disebut dengan Bladbadan. Keberadaan sebuah wangsalan bukan hanya terdapat dalam sastra-sastra kono, tetapi juga dalam lagu-lagu pop, pegelaran seni tari dan drama (arja), pegelaran wayang, serta dalam buku-buku pelajaran Bahasa Bali. Namun ekistentsi wangsalan tersebut telah menunjukan gejala-gejala kepunahan. Tidak banyak generasi muda yang mengenal istilah “wangsalan”. Kebutuhan akan pemahaman bahasa asing, membuat tidak banyak orang yang tertarik untuk mempelajari bahasa Bali secara mendalam, apalagi mengembangkan bentuk-bentuk wangsalan yang baru. Banyak anak muda zaman sekarang yang tidak mengerti apa maksud wangsalan di bawah ini:
7
(3) majempong bebek ‘seperti jengger bebek’ (TLT.46).
Ketidakmengertian mereka disebabkan karena tidak tau apa arti jempong ‘jengger’. Majempong bebek adalah contoh wangsalan dalam bahasa Bali yang maksud sebenarnya adalah ngambul ‘merajuk’. Kata ngambul direalisasikan dari adanya pertalian bunyi dari /ambul/ pada kata ngambul dengan /ambul/ pada kata jambul yang merupakan arti dari frase majempong bebek. Gaya bahasa dalam wangsalan menunjukan kreativitas individu yang tidak dimiliki oleh bahasa asing khususnya bahasa Inggris serta beberapa bahasa daerah di Indonesia. Keunikan ini merupakan upaya canggih dari individu yang mencerminkan kekayaan jiwa yang tersirat dari bahasa yang digunakan. Sebagai bentuk kebudayaan immaterial, kebudayaan dalam bentuk bahasa berupa karya sastra tradisional baik yang berbentuk tradisi lisan dan tertulis merupakan warisan budaya yang tidak ternilai harganya. Bentuk sastra tradisional lainnya yang tidak banyak dikenal dan memiliki pertalian dengan wangsalan adalah parikan serta cangkriman. Dalam bahasa Bali ada juga sejenis teka-teki yang disebut dengan cecimpedan. Pertalian itu bisa dilihat dari gaya penyampaian gagasannya yang khas, yang memanfaatkan keselarasan bunyi. Sebagai bentuk kebudayaan wangsalan bisa jadi merupakan reaksi seseorang terhadap lingkungan disekitarnya yang dituangkan dalam bentuk bahasa. Persepsi sesorang terhadap apa yang dialaminya ini, bisa menjadi sebuah krtitik sosial, atau
8
sebagai bentuk apresiasi terhadap realitas budaya yang terjadi, sehingga menjadi refleksi rekaman budaya yang berlaku pada masa itu, termasuk perubahan yang begitu pesat, misalnya pariwisata. Pertumbuhan dan perkembangan pariwisata di Bali yang begitu pesat mendorong pola pikir yang praktis sehingga bentuk-bentuk simbolis dan filosofis yang menjadi suatu ikon mudah dilupakan dan diabaikan orang. Jika disepakati bahwa wangsalan adalah salah satu bentuk ikonik seperti yang digagas oleh Sudaryanto (1989: 146) (“…keikonikan metalingual itu cukup bermacam-macam. Setidak-tidaknya hal itu nampak pada wangsalan, sengkalan, dan sandiastama…”) maka sudah sepatutnya hal tersebut menjadi perhatian kita dalam pelestariannya. Salah satu pelestarian yang bisa kita lakukan sebagai bagian dari masyarakat
bahasa tersebut
adalah dengan
memberikan apresiasi
melalui
inventarisasi, mengkaji, meneliti, serta mempublikasikannya kepada masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah Sehubungan dengan latar belakang yang dikemukakan di atas, masalah pokok yang hendak diJawab dalam penelitian yang berkaitan dengan wangsalan dalam bahasa Bali ini adalah: 1) Bagaimana bentuk wangsalan dalam bahasa Bali ditinjau dari sudut pandang satuan bahasa? 2) Bagaimana kaedah proses pembentukan wangsalan dengan melihat hubungan antara makna denotasi dengan maksud sebenarnya sebuah wangsalan?
9
3) Apa jenis-jenis wangsalan berdasarkan pemakaiannya dan berdasarkan masa/periode kemunculannya? 4) Apa fungsi komunikatif wangsalan dan referen apa saja yang ditemukan dalam wangsalan Bali yang dapat dijadikan indeks tentang kebudayaan Bali?
1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang ingin diJawab dalam penelitian ini, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk wangsalan Bali berdasarkan satuan-satuan kebahasaan yang telah dikenal secara umum. 2. Menjelaskan proses pembentukan wangsalan, serta menemukan kaedah atau formula yang menggambarkan hubungan antara arti sebenarnya sebuah kerangka wangsalan dengan maksud yang ingin disampaikan oleh penutur. 3. Mendeskripsikan jenis-jenis wangsalan berdasarkan pemakaiannya maupun berdasarkan periode/era munculnya sebuah wangsalan. 4. Mendeskripsikan fungsi-fungsi komunikatif wangsalan dan mengidentifikasi kata-kata atau objek apa saja yang dijadikan referen.
Secara tidak langsung penelitian ini juga bertujuan untuk mendokumentasikan wangsalan-wangsalan yang diciptakan dari hasil kreativitas penutur bahasa Bali yang belum tercatat secara lengkap dalam buku ataupun dokumen lainnya. Karena bahasa merupakan bagian dari sebuah budaya, maka tujuan meneliti bahasa juga merupakan
10
penelitian budaya penuturnya. Penelitian budaya ini diharapkan dapat menemukan gambaran pola pikir kehidupan masyarakat Bali yang berhubungan dengan collective mind masyarakat setempat terhadap perkembangan dan perubahan lingkungan sekitarnya.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian tentang wangsalan bukan hanya menjadi sesuatu yang penting, tetapi juga sudah menjadi sesuatu yang mendesak untuk segera dilakukan. Hal ini dikarenakan, dari penelusuran literatur yang telah dilakukan di beberapa sumber pustaka, kajian tentang tema ini sangat minim keberadaannya, walaupun ada, itupun merupakan sebuah kajian yang belum terpublikasikan secara luas. Secara garis besar, penelitian ini memenuhi dua jenis manfaat sebagaimana penelitian-penelitian yang diharapkan, sehingga tema yang diangkat merupakan pilihan yang tepat dan relevan pada masa ini. Manfaat yang akan dicapai tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu: manfaat praktis dan manfaat teoritis.
1.4.1 Manfaat Praktis
Bagi penutur bahasa Bali, manfaat praktis yang bisa diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sarana untuk memperkaya pengetahuan kosa-kata bahasa Bali. Hal ini dirasakan karena dalam wangsalan ada frase-frase yang belum dikenal secara luas di masyarakat. Dengan menginventarisasi wangsalan yang ada dan dipakai
11
dalam masyarakat Bali, akan menjadi sumber informasi dan menambah wawasan bagi masyarakat. Pengetahuan ini akan memperkaya dan menambah kemampuan eksploitasi dan gaya bahasa untuk mendapatkan efek berbahasa yang diinginkan. Secara praktis penelitian ini juga dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan tentang pengembangan materi pelajaran bahasa Bali di sekolah-sekolah. Pertimbangan untuk memberikan porsi lebih pada tema wangsalan, dalam kurikulum pendidikan bahasa Bali dirasa penting, karena telah terdeteksi bahwa keberadaan wangsalan telah menunjukan gejala-gejala kepunahan. Di lain sisi wangsalan adalah genre sastra yang sangat menarik. Bagi penutur di luar bahasa Bali penelitian ini juga bermanfaat sebagai perbandingan dan menjadikan bukti bahwa wangsalan juga dikenal di Bali selain di Jawa.
1.4.2 Manfaat Teoritis Manfaat teoritis tentunya akan didapatkan dari berbagai literatur yang dikaji dalam tinjauan pustaka dan temuan-temuan dari hasil analisis data, di samping dari kaedah kebahasaan yang disimpulkan. Teori-teori ini sangat bermanfaat sebagai rujukan penelitian lebih lanjut agar didapatkan generlisasi dan keuniversalan bahasa. Misalnya pendefinisian tentang istilah “wangsalan” yang berbeda antara di Jawa dan Bali. Perbedaan terminologi ini mesti disadari agar nantinya diperoleh pemahaman bahasa yang bersifat universal, tidak bersifat kedaerahan. Teori-toeri linguistik maupun stilistika yang teraplikasi dalam sebuah karya sastra bisa menjadi sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu dan bahasa. Dilihat dari hubungan persamaan
12
bunyi yang ditunjukan dalam wangsalan dengan maksud yang sesungguhnya, beberapa wangsalan memperlihatkan pasangan minimal (minimal pairs) sehingga bermanfaat juga dalam mengidentifikasi fonem dalam bahasa Bali yang dapat diajarkan kepada para siswa secara lebih menarik dan kreatif.
1.5
Tinjauan Pustaka Berdasarkan hasil penelusuran pustaka, karya tulis tentang Wangsalan Bali
belum pernah dilakukan sebelumnya oleh mahasiswa UGM baik dalam bentuk skripsi, tesis maupun desertasi. Akan tetapi wangsalan Jawa pernah dikaji dalam bentuk skripsi sarjana muda oleh Trisari (1985) dengan judul Analisis FonetisSemantis “wangsalan lampah”. Penelitian ini membahas mengenai sejauh mana kaitan bunyi dengan pembentukan jawaban wangsalan serta kaitan semantis yang terdapat pada wangsalan dengan tebakannya. Pendekatan secara fonetis dilakukan dengan melihat begaimana bunyi dalam wangsalan secara fonetis mempunyai kaitan dengan bentuk kata yang terdapat pada tebakan wangsalan itu. Sedangkan pendekatan secara semantis dilakukan dengan melihat kaitan makna dengan kata yang terdapat pada wangsalan itu. Trisari (1980) secara khusus menulis tentang wangsalan bersambung atau lampah, yang kemudian dikelompokan berdasarkan bagian lidah yang bergerak dan berdasarkan bentuk bibir saat mengucapkan bunyibunyi yang mengandung wangsalan lampah. Salah satu contoh wangsalan lampah, adalah sebagi berikut:
13
Carang wreksa, wreksa wilis tanpa patra Nora gampang, wong urip neng ngalam donya.
Baris pertama contoh di atas mengandung tebakan yang wangsul atau jawabanya ada pada baris kedua. Jawaban wangsalan terbentuk dari tebakannya. Salah satu bunyi suku kata dalam tebakannya mempunyai keselarasan fonetis dengan salah salah satu kata pada jawaban wangsalan. Bunyi suku kata /paŋ/ pada kata epang ‘cabang’ dan /rip/ pada urip ‘hidup’dipakai sebagai tumpuan pembentukan untuk memilih kosa kata yang memiliki kemiripan bunyi, sehingga terbentuklah jawaban wangsalan tersebut: nora gampang wong urip neng ngalam donya ‘tidak mudah orang hidup dialam dunia ini’ (lihat Trisari; 1985:3). Trisari (1985) menemukan empat kelompok wangsalan lampah berdasarkan bentuk lidah dan bibir saat mengucapkan wangsalan tersebut yaitu: 1) kelompok belakang bulat, belakang bulat; 2) kelompok belakang bulat depan tak bulat; 3) kelompok depan tak bulat, depan tak bulat; dan 4) kelompok depan tak bulat, belakang bulat. Ia juga menyimpulkan bahwa dari segi fonetis ada kaitan bunyi antara jawaban wangsalan lampah dengan tebakannya. Dari segi semantik; ada kaitan makna antara wangsalan lampah dengan tebakannya. Penggantian dengan kata lain dapat dilakukan jika tebakannya disesuaikan dengan isi dan jawaban wangsalan lampah tersebut.
14
Selanjutnya, Harjanti (2005) juga meneliti wangsalan Jawa dalam skipsinya dengan judul Wangsalan Dalam Serat Centhini Jilid V: Analisis Stilistika. Wangsalan yang terdapat dalam serat Centini berupa tembang macapat jenis sinom, disusun dengan beberapa aturan. Aturan tersebut adalah terikat oleh guru wilangan ‘aturan jumlah suku kata pada setiap baris’, guru lagu/dhong-dhing ‘pola jatuhnya bunyi suku akhir baris’ dan guru gatra ‘jumlah baris dalam satu bait’ sesuai dengan aturan tembang macapat sinom. Disebutkan pula bahwa wangsalan adalah kata-kata yang mengandung Jawaban atau wangsulan. Hal-hal yang menjadi referen dalam wangsalan yang terdapat dalam Serat Centhini jilid V meliputi nama-nama hewan, bunga, buah/biji serta berbagai nama tumbuhan.Wangsalan pada serat Centhini jilid V mempunyai dua bagian yaitu bagian teka-teki dan bagian Jawaban. Pada bagian teka-teki terdapat penanda dengan bagian kedua yang mempunyai kesamaan: bunyi, suku kata, serta makna. Homonim dan sinonim menjadi kaidah dalam wangsalan serat Centhini jilid V, ada yang berhomonim sempurna dan ada pula yang berhomonim setengah sempurna. Disebutkan juga bahwa wangsalan dapat ditemui dalam berbagai karya sastra Jawa yang lain diantaranya: Serat Rama, Pranacitra, Centhini dan Rengganis. Penelitian yang sejenis pernah dilakukan oleh Cokorda Istri Sukrawati (1987) yang berjudul ”Aspek Blabadan dalam Geguritan Kasmaran: Analisis Struktur dan Fungsi”. Dalam penelitian ini Sukrawati menggunakan istilah “blabadan” untuk menyebut “wangsalan”. Geguritan Kasmaran yang merupakan tembang
15
macapat dengan irama pupuh sinom dijadikan satu-satunya sumber data. Geguritan tersebut memang menggunakan gaya bahasa yang berbeda dengan geguritan pada umumnya. Geguritan adalah jenis tembang tradisional Bali; pada umumnya dibangun dalam bentuk lagu yang mengandung cerita narasi, namun dalam geguritan Kasmaran narasi cerita kurang ditonjolkan tetapi memunculkan beragam wangsalan dan menjadi ciri khas geguritan ini. Sukrawati menganalisis wangsalan mulai dari aspek pembentukan sampai pada aspek isi yang meliputi, tema dan amanat. wangsalan dalam penelitian ini dikaji dari dua dimensi yaitu: dimensi bentuk dan dimensi makna (semantik). Pada dimensi bentuk wangsalan dipandang sebagai permainan bunyi. Sedangkan pada dimensi makna wangsalan dipandang sebagai metapora. Penelitian Sukrawati ini kemudian disarikan lagi dalam Jurnal Aksara no. 9 tahun V Hal. 238-251. Sukrawati(1995) menemukan 6 proses pembentukan Bladbadan yaitu: 1)modifikasi kata dasar; 2) Mengganti fonem awal sebuah kata dasar; 3) Menghilangkan fonem awal sebuah kata dasar; 4) Menghilangkan fonem awal kata dasar dan disertai pengulangan; 5) Mengganti suku pertama kata dasar; 6) Menghilangkan suku pertama kata dasar. Penelitian tentang Bladbadan tersebut ditinjau ulang oleh Nengah Arnawa (2005) dalam karyanya yang berjudul: “Kajian Ulang Bladbadan Bahasa Bali”. Penelitian ini menggunakan dua sumber data yaitu geguritan Kasmaran dan geguritan Sampik (cerita Sampek Eng Tay). Menurutnya bladbadan adalah salah satu repotorium yang didalamnya terjadi transposisi makna dengan menggunakan
16
perangkat emotif. Perangkat emotif tersebut adala: fonetik, leksikal dan sintaksis yang didukung oleh kaidah-kaidah pembentukan kata dalam bahasa Bali. Bladbadan bukan permainan bunyi semata, bukan pula sebagai metafora, karena antara giing ‘kerangka’ dengan kata sasaran tidak memiliki hubungan semantik. Belum tersentuhnya ranah budaya dalam kedua penelitian tentang wangsalan tersebut, disikapi oleh I Wayan Suteja (2011) dalam tesisnya yang berjudul: Geguritan Kasmaran: Analisis Teks dan Konteks. Suteja berhasil mengangkat sisi filosofis teks geguritan Kasmaran yang ditijau dari filosofi agama khususnya agama Hindu dengan mengaitkannya pada konteks kekinian. Dari sisi filosofis geguritan Kasmaran mengandung pesan kama (dalam arti yang seluas-luasnya). Kama bisa diartikan sebagi keinginan Sang Maha Kawi (pengarang) untuk menyatu, manunggal (mekaronan) dengan Sanghyang pemberi inspirasi dalam bahasa Jawa dikenal dengan manunggal kawulaing gusti. Sosok inspirator ini diibaratkan sebagai gadis cantik yang diidamkan banyak pemuda. Kama yang juga diartikan sebagai senggama sama dengan yoga yang dipandangnya sebagai estetika semesta.(Suteja, 2011: 134) Dari sisi linguistik, bladbadan (baca: wangsalan) dalam geguritan Kasmaran memiliki beberapa fungsi. Tanpa memberikan penjelasan yang rinci Suteja (2011: 93) mengatakan bahwa bladbadan memiliki fungsi sosial untuk menyindir secara halus, fungsi etika, fungsi budaya, dan fungsi pendidikan. Yang patut diberikan apresiai dalam analisis yang ia lakukan adalah tiap-tiap bait yang mengandung wangsalan yang terdapat dalam geguritan Kasmaran, telah di rekonstruksi berdasarkan frase-
17
frase yang berupa wangsalan serta dianalisis Jawabannya berupa kata yang muncul pada kata ataupun baris berikutnya. Analisis ini sangat membantu dalam mengidentifikasi antara makna bladbadan dan maksud sejati yang ingin diutarakan oleh pengarang. Selanjutnya ada sebuah karya tulis yang dihasilkan oleh Wijana (2013). Karya tulis berbentuk makalah ini walaupun tanpa meninjau penelitian sebelumnya, berhasil memaparkan tentang wangsalan dalam bahasa Jawa ditinjau dari segi bentuk, jenis, fungsi, serta referen yang digunakannya. Kajian tentang wangsalan dalam bahasa Jawa sebelumnya juga sudah dipublikasikan dalam buku karya Subroto, et.al (2000) oleh Departemen Pendidikan Nasional. Namun, belum adanya cetak ulang dari karya ini mengakibatkan langkanya buku tersebut di pasaran maupun pada lembagalembaga pendidikan bahasa. (Dengan usaha pencarian yang cukup panjang akhirnya penulis berhasil menemukan buku tersebut). Dari segi bentuk, wangsalan Jawa menurut Wijana (2013) hanya memiliki satu bentuk yaitu berupa frase nomina atributif yang selanjutnya dibedakan lagi menjadi: frase nomina dengan atribut pembatas dan frase nomina dengan atribut penjelas. Jenis-jenis wangsalan dibedakan berdasarkan unsur pembentuknya, cara pemaknaannya, dan situasi pemakaiannya. Berdasarkan unsur pembentuknya, wangsalan dibedakan atas wangsalan tunggal dan wangsalan rangkep. Berdasarkan cara pemaknaannya, ada wangsalan lamba dan ada wangsalan memet. Akhirnya berdasarkan kreteria situasi pemakaiannya debedakan atas wangsalan biasa dan wangsalan literer.
18
Ditinjau dari fungsinya wangsalan digunakan untuk mengungkapkan berbagai fungsi komunikatif yaitu: fungsi representatif untuk menginformasikan atau menyatakan sesuatu, ekspresif untuk mengungkapkan perasaan, direktif untuk menyuruh seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu, poetik untuk mengungkapkan keindahan, dan fungsi fatis untuk memelihara,
memulai,
mempertahankan dan mengakhiri hubungan (Wijana 2013:7). Sehubungan dengan pola masyarakat Jawa yang bersifat agraris ditemukan beberapa objek yang dijadikan referensi dalam wangsalan yaitu: tumbuh-tumbuhan, hewan, pakaian, makanan dan tokoh pewayangan. Model penelitian yang dilakukan oleh Wijana ini banyak dijadikan acuan dalam penelitian ini. Perbedaan yang paling mendasar dengan kajian pada tesis ini adalah objkek penelitiannya yang berupa bahasa Bali.
1.6 Kerangka Teori
Ada beberapa teori linguistik yang diaplikasikan dalam kajian wangsalan ini. Teori-teori itu meliputi teori tentang satuan lingua seperti: fonem, morfem, kata, frase, klausa, kalimat, maupun wacana. Teori pragmatik tentang hubungan antara makna dan maksud sebuah tuturan juga fungsi-fungsi komunikatif bahasa seperti yang dikemukakan oleh Jakobson (1960), Leech (1983), serta Holmes (1995) juga teraplikasi dalam penelitian ini. Namun di Balik semua itu teori-teori yang dijadikan dasar acuan adalah teori tentang wangsalan itu sendiri, baik wangsalan Jawa maupun wangsalan Bali. Beberapa batasan tentang wangsalan sangat penting dijadikan
19
pedoman agar diperoleh gambaran yang jelas antara perbedaan wangsalan dengan karya sastra yang lain seperti parikan, cangkriman, pantun serta cecimpedan.
1.6.1 Wangsalan Vs Bladbadan Pemahaman yang paling penting dalam penelitian ini adalah batasan tentang istilah Wangsalan dan Bladbadan. Kedua istilah itu (di samping masih banyak ragam paribasa yang lain) disebut sebagai Basita paribasa Bali oleh Simpen (1982). Untuk diketahui karya sastra yang disebut wangsalan pada konteks masyarakat Jawa, di Bali justru disebut dengan Bladbadan. Bagaiman para ahli mendefinisikan tentang kedua istilah tersbut dapat dilihat pada paparan berikut: Ada beberapa pendapat dari para ahli mengenai arti wangsalan: a. Menurut W.J.S Poerwodarminta (1939:656)Wangsalan kn.: “tetemboengan ing oekara sing disamoen saemper tjangkriman, dJawabe (batangane) kaseboet ing oekara tjandake moeng ditjangking wandane bae, oep.roning mlinjo(=s0) sampoen sajah
njoewoen ngaso (=nga-so)”.
Diterjemahkan menjadi:
wangsalan ialah kata-kata yang disamarkan dalam kalimat, mirip dengan tekateki, dan Jawabannya telah terdapat dalam kalimat berikutnya, tetapi hanya merupakan suku kata yang terbawa di dalamnya, bahkan kadang hanya bagian dari suku katanya saja. Penerjemahan terhadap contoh yang disertakan di atas menjadi tidak relevan karena justru menghilangkan persamaan fonem yang dimaksud. (Misalnya:
20
roning mlinjo, sampoen sajah njoewoen ngaso; jika diterjemahkan menjadi daun melinjo, sudah capek mohon istirahat maka tidak terlihat kemiripan fonem antara /daun melinjo/ dengan /istirahat/). Dengan demikian hanya penutur yang mengerti bahasa tersebut yang dapat memahami dan merasakan fenomena persamaan fonem ini. b. Sasrasumarta (1958:3)
memahami
wangsalan
sebagai kata-kata yang
mengandung Jawaban atau wangsulan yang disamarkan dalam bentuk teka-teki atau cangkriman bisa muncul dalam kalimat umumnya atau juga dalam bentuk sinden. c. Prawiroatmojo (1981:309) mengartikan wangsalan sebagai susunan kalimat sebagai teka-teki; tetapi terkaannya tercantum pula dalam kalimat tersebut. Contohnya: roning mlinjo = so, sampun sayah nyuwun ngaso. d. Sudaryanto (1989:146) menjelaskan wangsalan adalah tuturan yang mirip tekateki dengan menyatakan Jawabannya secara tersamar, yaitu tidak dinyatakan secar jelas-lugas akan tetapi hanya dinyatakan dalam satu atau dua suku kata, yang tersusun sekaligus dalam kalimat. e. Wijana (2013:1) mendefinisikan wangsalan sebagai formula-formula singkat yang makna dan maksud pengutaraannya dipertalikan oleh kesamaan bunyi.
Dari kelima definisi tersebut dapat ditarik sebuah benang merah yang menjadi persamaan diantara semuanya yaitu bentuk tuturan yang mirip dengan teka-teki.
21
Definisi wangsalan (a-d) di atas nampaknya lebih tepat ditujukan untuk jenis wangsalan yang jawabannya dinyatakan secara tersamar terdapat pada kalimat tersebut atau dalam kalimat berikutnya. Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan banyak juga wangsalan yang tidak menyertakan jawabannya, sehingga definisis (e) yang dikemukanan oleh Wijana di atas sepertinya lebih mewakili karena bersifat umum, dapat digunakan untuk menjelaskan wangsalan Jawa maupun Bali. Yang perlu diketahui adalah formula-formula seperti apa yang dimaksudkan serta apa batasan dari pertalian kesamaan bunyi tersebut? Contoh-contoh yang mereka sertakan sangat membantu dalam memahami seperti apa gaya bahasa dalam wangsalan. Sepertinya para linguis tersebut diatas mengacu pada suatu bentuk gaya behasa yang terdapat dalam karya sastra tradisional Jawa, seperti serat Centini, serat Rama, serat Rengganis, dan lain sebagainya. Sedangkan di Bali, gaya bahasa seperti ini, selain dipakai dalam komunikasi sehari-hari banyak juga ditemukan dalam sastra tradisional berupa geguritan misalnya geguritan Kasmaran dan geguritan Sampik yang sering dinyanyikan dengan tembang macapat beriramakan pupuh sinom. Definisi dan contoh-contoh yang disertakan oleh bebarapa linguis di atas tentang wangsalan sangat sesuai dengan model tuturan yang ada di Bali, yang disebut dengan bladbadan. Perbedaan terminoligi ini menunjukan ada sedikit kerancuan dalam penyebutan wangsalan yang berkembang di Bali. Menurut panitia penyusun kamus Bali-Indonesia yang diketuai oleh Warna (1978:641) wangsalan adalah pribahasa
22
yang isinya tersembunyi pada kalimat yang diucapkan misalnya; sengauk agrobag (tujuan isinya yang harus diterka ialah “mauk bin bobab” artinya ‘bohong lagi dusta’. Bentuknya seperti pantun dua seuntai. Sedangkan contoh-contoh pada data 1, 2, dan 3 di atas (kedis petingan poleng, blulang maukir, dan majempong bebek) disebut bladbadan bukan wangsalan. Sebagaimana Warna (1978: 94) mengartikan bladbadan sebagai pribahasa yang terdiri dari kalimat-kalimat yang dipanjangkan sehingga dapat melukiskan apa yang dimaksud oleh pembicara misalnya; madamar dilangit (bulan) maksudnya ‘berbulan-bulan’. Pemberian istilah ini kemudian dipertegas lagi oleh Tim Peneliti Balai Penelitian Bahasa kota Singaraja Pada tahun 1980. Tim ini sepakat bahwa contoh-contoh seperti di atas diistilahkan dengan beblabadan. Dikatakan bahwa beblabadan tersebut merupakan gaya berbahasa yang disampaikan dalam pemakaiannya lewat permainan kata-kata yang terselubung. Digunakannya istilah beblabadan atas pertimbangan bahwa seseorang yang meblabadan atau mengucapkan blabadan, sebenarnya “memanjang-manjangkan” ungkapan (dengan cara yang khas) yang digunakan untuk menyampaikan suatu maksud yang terselubung dalam sejenis teka-teki. Mengulu-ulur atau memanjang-manjangkan sesuatu dalam bahasa Bali disebut dengan mabad. Misalnya mabad benang berarti ‘mengulur benang’. Kata kerja mabad menjadi beblabadan, pertama-tama mengalami derivasi menjadi nomina babad, kemudian mendapat sisipan (infik) -el- sehingga menjadi belabad atau blabad, kemudian mendapat akhiran -an, menjadi blabadan. Setelah itu kata
23
blabadan mengalami proses reduplikasi partial yang regresif sehingga menjadi beblabadan, yang berarti kata-kata dalam bahasa kias dan mengandung persamaan bunyi atau bersajak (lihat Simpen, 1982:39). Dalam lingkup penelitian ini, peneliti lebih memilih menggunakan istilah wangsalan sebagaimana yang dikenal di Jawa pada umumnya, untuk merujuk pada cara penyampaian gagasan berupa teka-teki ini. Walaupun apa yang dimaksud dengan wangsalan di sini, tidak sama dengan apa yang dimaksud dengan wangsalan di Bali. Berikut ini adalah contoh frase yang juga dikategorikan sebagai wangsalan: (4) ongol-ongol China malakar kedele ‘ongol-ongol China berbahan kedelai’ (TLT.91). Makna frase yang bergaris bawah di atas adalah tahu, dan merealisasikan maksud sebenarnya yaitu tahunan (bertahun-tahun). Contoh yang lain (5) makunyit di alas (TLT.52) artinya ‘temu’ mengacu pada maksud sebenarnya yaitu bertemu. Wangsalan tersebut digunakan seperti dalam kalimat rayuan berikut: Ongol-ongol China malakar kadele, taunan iraga mapisah, nyak ke adi makunyit dialas di sisin pasih Sanure? ‘(kue) ongol-ongol (dari) China berbahan kedelai, bertahun-tahun kita berpisah, bersediakah adik bertemu di tepi pantai Sanur’. Terlihat bahwa, untuk tujuan tertentu kalimat tersebut sengaja dipanjang-panjangkan (dengan menambahkan frase ongol-ongol China malakar kadele), dan ada kata yang diganti menjadi frase (matemu ‘bertemu’ > makunyit di alas). Padahal maksud dari kalimat tersebut adalah ‘bertahun-tahun kita telah berpisah, bersedia kah adik bertemu di tepi pantai Sanur?’.
24
Maksud ini bisa kita pahami sekalipun wangsalan yang mengawali kalimat tersebut dihilangkan.
1.6.2 Parikan Istilah parikan di Bali disebut juga peparikan. Istilah inilah yang mengaburkan pengertian wangsalan di Bali. Perhatikan bagaimana Simpen (1982) mendefinisikan parikan: Peparikan pateh sakadi Wewangsalan, kewanten binanipun wangsalan punika wantah kalih palet (carik), yening peparikan kawangun antuk petang palet dados apada (satu bait), taler mawirama miwah mapurwakanti. Peparikan puniki pateh sakadi "madah" ring kasusastran Indonesia. Yening sihang ipun minab sakadi "Pantun", antuk "ri", punika sering masilur dados "ntun", sakadi; sari, dados = santun. Peparikan, kruna lingganipun "parik", artinipun; awi (karang), polih pangiring "an" dados parikan, kadwipurwayang dados: peparikan, artinipun: awiawian utwai reragragan. Artinya: Peperikan sama seperti wangsalan, tetapi perbedaannya wangsalan itu hanya dua baris, kalau peperikan dibangun atas empat baris menjadi satu bait, juga memiliki irama atau purwakanti. Peparikan itu sama seperti ‘madah’ dalam kesusastraan Indonesia. Kalau dipadankan mungkin seperti “Pantun”, mengenai hal ini sering tertukar menjadi ‘ntun’, menjadi sari ‘pemberian’ menjadi = santun. Peparikan kata dasarnya “parik” artinya kawi (karang), mendapatkan akhiran –an menjadi parikan mengalami reduplikasi menjadi peparikan artinya kawi-kawian atau karya (karangan).
Jadi di Bali, contoh karya sastra yang disebut wangsalan adalah sejenis pantun dua baris atau parikan. Sebagaimana yang kita ketahui ada pantun dua baris dan ada juga pantun empat baris. Pantun yang dua baris inilah di Bali dikenalkan sebagai
wangsalan
dan
parikan/peparikan. misalnya:
pantun
yang
empat
baris
diistilahkan
dengan
25
a)
b)
Buangit tali gangsa.
‘Buangit (sejenis rumput) tali gamelan’
Megae lengit, ngamah gasa.
‘Bekerja malas, makan rakus’
Delem Sangut Merdah Tuwalen. ‘Delam, Sangut, Merdah, Tuwalen’ 1 Medem bangun ngamah dogen.
‘Tidur bangun makan saja’
Contoh pantun dua baris (a) dan (b) itulah yang di Bali disebut wangsalan. Hal ini menunjukan ada persepsi yang berbeda antara wangsalan Bali dengan wangsalan Jawa. Pada pantu dua baris memperlihatkan persamaan bunyi pada suku kata akhir tiap barisnya, tetapi tidak demikian dengan wangsalan. Berikut ini adalah contoh pantun empat baris, di Bali pantun jenis ini disebut dengan peparikan:
c)
Meli gabus duang kranjang,
‘Beli gabus dua keranjang’
lamben bodag sing ngenyakin. ‘mulut bodag tidak ada yang mau’. Diapin bagus mata kranjang,
‘Walaupun ganteng mata keranjang’
nyen kodag mangenyakin.
‘siapa yang mau’.
d) Doyan liang ngandong kanji
‘Suka senang menggendong kanji’
Depang tiang ngandong pitu
‘biarkan saya menggendong tujuh’
Yaning tiang ngelong janji,
‘kalau saya mengingkari janji’
apang tiang kena tantu.
‘biar saya yang kena akibatny’.
1
Nama Punakawan dalam pegelaran wayang kulit khas Bali.
26
1.6.3 Pantun, Cangkriman dan Cecimpedan. Pantun dan cangkriman serta cecimpedan adalah karya sastra yang memiliki pertalian dengan wangsalan. Pantun pada intinya memanfaatkan pertalian bunyi antara dua leksem atau lebih. Pertalian bunyi ini biasanya terletak antara bagian yang disebut sampiran dengan bagian yang disebut Jawaban. Misalnya pantun yang sering diucapkan oleh group lawak dalam Opera Van Java yang ditayangkan oleh salah satu stasiun TV swasta: Di sini gunung di sana gunung, di tengah-tengah pulau Jawa. Penontonnya bingung la dalangnya juga bingung. e.. yang penting bisa ketawa.
Di lain sisi cangkriman juga dikenal dalam bahasa Bali. Bentuk tuturan sejenis teka-teki yang sering berbentuk humor ini dalam bahasa Bali biasanya berupa lagu atau tembang, umumnya tembang madya atau pupuh seperti pupuh pucung, contohnya:
Berag landung,
‘Kurus tinggi’
Ngelah panak cenik liu,
‘Punya anak kecil banyak’
Memene slelegang,
‘Ibu nya disandarkan’
Panak ne jekjek enjekin,
‘Anak nya injak-injak’
Menek tuun,
‘Turun naik’
Memene gelut gisiang.
‘Ibu nya peluk (dan) pegang’.
27
Jawaban atau maksud dari cangkriman tersebut adalah “tangga” yang biasanya berupa dua buah tiang yang dihubungkan oleh beberapa bilah kayu/logam horizontal yang disandarkan dengan kemiringan tertentu pada objek yang vartikal. Agar menarik dan terkesan jenaka cangkriman tersebut menggunakan kalimatkalimat yang terkesan porno walaupun maksud sebenarnya tidaklah demikian, seperti pada kalimat: memene slelegang dan menek tuun serta gelut gisiang. Jadi cangkriman adalah cecipedan (teka-teki) yang berbentuk lagu. Hampir sama dengan cangkriman, cecimpedan dapat diartikan sebagi sebuah teka-teki yang dituturkan untuk bersenda-gurau, agar menimbulkan tawa, yang pada akhirnya menambah semangat ditengah-tengah kelelahan atau kejenuhan karena melakukan kerja yang menoton. Lain halnya dengan cangkriman, cecimpedan ini bentuknya berupa kalimat tanya yang diawali oleh kata tanya apa(ke) ‘apakah’ kemudian dilanjutkan dengan pendeskripsian singkat tentang objek yang ditanyakan. Misalnya: 1) Apa di cerikne mapusung, di kelihne magambahan? ‘Apa saat kecil (rambutnya) diikat, setelah besar dibiarkan terurai?’ 2) Apake anak cerik matapel? ‘Apa anak kecil memakai topeng?’ 3) Apa anak cerik maid enceh? ‘Apa anak kecil menarik air kencing?’ 4) Apa cekuk baongne, godot basangne pesu gending? ‘Apa cekik lehernya, sayat perutnya keluar lagu?’
28
Jawaban cecimpedan (teka-teki) tersebut diatas berturut-turut adalah: padi, capung, jarum, dan biola. Kata-kata yang digunakan dalam teka-teki tersebut memperlihatkan kata-kata yang berbentuk metaforis. Dipilihnya kata-kata tersebut karena memiliki sifat atau prilaku yang hampir sama dengan makna kata yang sebenarnya. Seperti pada contoh (3) cecimpedan di atas, Jawabannya adalah “jarum”; diibaratkan seperti anak kecil yang sedang kencing. Tentu saja jarum yang dimaksud adalah jarum jahit dengan benangnya yang menjuntai diibaratkan seperti air kencing yang sedang keluar. Dari beberapa uraian di atas dapat ditegaskan bahwa adanya semacam tekateki serta adanya pemanfaatan pertalian bunyi yang sama secara bersamaan ditemukan dalam wangsalan, bladbadan, parikan, pantun, cangkriman dan cecimpedan, namun polanya memiliki perbedaan satu sama lain. Dalam beberapa hal wangsalan Jawa memiliki kemiripan dengan wangsalan Bali khususnya formulanya yang mirip teka-teki. Beberapa kalimat yang mengandung wangsalan, menyertakan jawabannya pada klausa berikutnya, namun ada juga tanpa disertai jawaban. Hal ini mungkin karena wangsalan tersebut telah umum didengar, dan mitratutur dianggap telah mengerti apa yang dimaksud oleh penuturnya. Wangsalan yang tidak disertai jawaban disebut wangsalan tunggal, misalnya dalam bahasa Jawa: klambi cendak ‘kotang’ > ora ketang ‘walaupun’; dalam bahasa Bali: baju tanpa lima ‘baju tanpa lengan’ (BB: baju kutang) > kutang ‘(bisa juga berarti) buang’. Sedangkan yang disertai jawabannya disebut dengan wangsalan rangkep. Misalnya pada wangsalan
29
dalam bahasa Jawa: carang wreksa, wreksa kang rineka janma, nora gampang, golek kawruh mring kaonang. ‘ranting kayu (pang > gampang), kayu yang dibuat patung (golek = BI: boneka/patung; mencari), tidak mudah mencari pengetahuan untuk tenar’. Adanya rangkaian kata-kata indah pada wangsalan tersebut seperti terdapat dalam karya sastra, maka wangsalan ini disebut juga wangsalan edi-peni; Contoh dalam bahasa Bali: (6) Sampun ngetep tegil siap, manegesang matur ring gusti ‘Sudah memotong jalu ayam, menegaskan berkata kepada dinda’(GK.28.a). Ngetep tegil siap = neges > negesang ‘menegaskan’ (bandingkan Nugroho: 1986:4, Wijana: 2013:5). Terlepas dari permasalahan terminomologi, dari segi bentuk wangsalan Bali yang disebut dengan bladbadan (oleh: Warna:1979, Simpen: 1982, Sukrawati:1987, 1985, Arnawa: 2005, 2007 dan Suteja: 2011), terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama disebut dengan bantang/giing berupa frase yang terdiri dari dua atau tiga kata. Sedangkan bagian kedua disebut dengan arti sujati yaitu arti sebenarnya dari frase bagian pertama tadi, dan yang ketiga adalah arti paribasa yaitu maksud yang terkandung dalam wangsalan tersebut. Contohnya:
1. Bantang (giing) :(7) mapanak tivi ‘anak tivi’ (TLT.56). 2. Arti sujati
: remot (kontrol).
3. Arti paribasa
: ngerimut ‘marah/jengkel’ (terealisasi dari persamaan bunyi).
30
Wangsalan tersebut misalnya digunakan dalam kalimat: Raos adine ngae basang beline mapanak tivi ‘Perkataan adik membuat perut kakak seperti anaknya televisi, maksudnya adalal remot kontrol’. “Remot” memiliki pertalian fonem dengan kata “ngerimut’ (ngerimut: semacam perasaan kesal atau marah). Jadi maksud sebenarnya dari kalimat yang mengandung wangsalan diatas adalah: ‘Perkataan adik membuat perut kakak ngerimut’ (marah). Hal ini menunjukan bahwa wangsalan tidak hanya ditemukan dalam bentuk karya sastra, tetapi ada juga jenis wangsalan yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari, misalnya untuk menyindir seseorang secara halus, menasehati, bahkan untuk memberikan perintah.
1.6.4 Stilistika Stilistika adalah teori tentang penggunaan sistem tanda dalam kegiatan komunikasi dengan berbagai kemungkinan efek yang ditimbulkannya sesuai dengan jenis tuturan dan motif penuturnya (Aminudin, 1995:309). Kridalaksana (2001:202) mendefinisikan stilistika adalah ilmu yang menyelidiki bahasa yang digunakan dalam karya sastra; 1) Ilmu interdesipliner antara linguistik dan kesusastraan. 2) penerepan linguistik pada penelitian gaya bahasa. Dalam stilistika dibahas mengenai berbagai gaya yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan idenya secara bebas tanpa dibatasi oleh kaedah-kaedah linguistik; bentuk ekspresi, dan bentuk simbolik. Bentuk bahasa kias dalam karya sastra dan aspek bunyi yang sering digunakan merupakan unsur yang membentuk nilai estetika.
31
Gaya merupakan cara yang digunakan pengarang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Dalam kreasi penulisan sastra, efek tersebut terkait dengan upaya memperkaya makna, penggambaran objek dan peristiwa secara imajinatif, maupun pemberian efek emotif tertentu bagi pembacanya. Wahana yang digunakan untuk memaparkan gagasan dengan berbagai efek yang diinginkan tersebut bukan hanya mengacu pada lambang kebahasaan melainkan juga pada berbagai macam bentuk sistem tanda yang secara potensial dapat digunakan untuk menggambarkan gagasan dengan berbagai kemungkinan efek estetis yang ditimbulkan.
(Aminudin. 1995: v)
Cara penyampaian gagasan dalam wangsalan yang tidak lugas dan cukup unik memerlukan pengetahuan yang cukup untuk memahaminya. Cara ini bisa disebut “penyampaian gagasan dalam komunikasi sastra”. Dalam komunikasi sastra, gagasan itu diupayakan tertampil secara kaya sehingga mampu membuahkan efek emotif tertentu. Efek emotif yang dimaksud adalah kemampuan paparan sastra dalam membangkitkan citraan, suasana, maupun emosi tertentu bagi penanggapnya (Aminudin, 1995: 43). Penyampaian gagasan melalui wangsalan sebenarnya merupakan bentuk komunikasi yang efektif, yang sanggup memberikan efek seperti yang diinginkan walaupun terkesan kurang efesien dalam segi penggunaan kata. Apa yang dimaksud dengan komunikasi? Mulyana (2008:3) menguraiakan bahwa komunikasi adalah proses berbagi makna melalui prilaku verbal dan nonverbal. Segala prilaku bisa disebut komunikasi jika melibatkan dua orang atau lebih. Budaya dan komunikasi berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti budaya adalah komunikasi karena budaya muncul melalui komunikasi. Bahasa sebagai salah satu wujud kebudayan akan
32
mempengaruhi pikiran seseorang, dan sebaliknya, pikiran akan menentukan wujud kebahasaan yang diujarkan seseorang (Wijana, 1985: 2). Gaya penyampaian gagasan yang memanfaatkan potensi-potensi bunyi yang dimiliki oleh sebuah sistem bahasa, merupakan wujud kecanggihan kreativitas dan imajinasi pengarangnya. Sudaryanto (1989: 146 - 150) mengapresiasinya sebagai bentuk-bentuk ikonik atau yang lebih tepatnya keikonikan yang meta lingual. Prihal keikonikan telah diperhatikan oleh beberapa ahli dari disiplin semiotik maupun filologi. Hanya saja penyebutannya berbeda. Ahli semiotik memakai istilah Symbolism (sound symbolism, phonetic symbolism)
dan ahli filologi tradisional
menggunakan istilah anomatopoeia. Sudaryanto sendiri memandangnya sebagai perubahan bunyi. Wangsalan, baik yang ditemukan dalam karya sastra maupun dalam kehidupan sehari-hari dapat dianalisis dengan pendekatan stilistika, karena mengandung gaya penyampaian gagasan yang berisi penyimpangan kaedah-kaedah linguistik, tetapi sarat dengan makna.
1.7 Metode Penelitian Penelitian ini mengacu kepada penelitian deskriptif kualitatif, strategi penelitian
yang
mendeskripsikan realita
menghasilkan sosial
dan
data
atau
keterangan
peristiwa-peristiwa
yang
yaitu suatu yang
dapat
terkait
dalam
kehidupan masyarakat. Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan faktafakta penggunaan bahasa apa adanya secara sinkronik karena penelitian ini dilakukan
33
pada waktu tertentu dan bukan secara historis dari waktu ke waktu (Alwasilah, 2005: 51-52). Istilah deskriptif juga menyarankan bahwa penelitian yang dilakukan sematamata hanya berdasarkan kepada fakta yang ada, atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga dihasilkan perian bahasa yang seperti potret atau berupa paparan apa adanya (Sudaryanto, 1986: 62). Penelitian jenis kualitatif dimaksudkan sebagai penelitian yang temuan-temuanya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya, tetapi menggunakan prosedur yang menghasilkan temuan yang diperoleh dari data-data yang dikumpulkan dengan menggunakan beragam sarana. Sarana itu meliputi pengamatan, wawancara, namun bisa juga mencakup dokumen, buku, kaset video, dan sebagainya. Ciri penting penelitian ini adalah: memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural. Penelitian kualitatif ditunjang oleh metode analisis isi (conten analysis). Isi dalam metode analisis ini terdiri atas dua macam, yaitu isi tersurat dan isi tersirat. Isi tersurat adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah, sedangkan
isi
tersirat
adalah
pesan
yang
terkandung
sebagai
akibat
dimanfaatkannya simbol-simbol bunyi yang terkait dengan kondisi di sekitarnya.
1.7.1 Metode Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini adalah obyek penelitian berupa wangsalan itu sendiri dalam bahasa Bali serta berbagai konteks yang ada di sekitarnya. Konteks ini bisa
34
berupa kalimat ataupun teks yang mengambarkan segala aspek kehidupan masyarakat penuturnya. konteks yang dimaksud bisa juga berupa informasi dan keterangan dari masyarakat pengguna maupun pemerhati wangsalan. Untuk mendapatkan informasi tentang penggunaan wangsalan pada masyarakat, baik lingkungan pelajar maupun masyarakat biasa, penelitian ini juga melibatkan informan yang dianggap kompeten dalam bidang bahasa serta segala sesuatu yang memiliki keterkaitan dengan topik penelitian. Wangsalan sebagai objek penelitian dikumpulkan dari beberapa sumber: a. Geguritan Kasmaran; (Data dari sumber ini diberi kode (GK.1.a dan seterusnya) angka 1-39 merupakan identitas bait, sedangkan huruf
(a-g
merupakan nomor wangsalan pada bait tersebut. Misalnya data dengan kode GK.28.c artinya data tersebut bersumber dari geguritan Kasmaran bait 28 wangsalan ketiga). Naskah Geguritan Kasmaran diperoleh dari lampiran penelitian Suteja (2011). Naskah geguritan tersebut sebenarnya merupakan karya seorang Perbekel (kepala desa) Selat, Kabupaten Karangasem Bali, yang bernama Ketut Rumiasta ditulis dalam sebuah buku sekitar tahun 1940an dalam aksara Bali. Karya tersebut telah disalin kedalam bentuk lontar yang berjumlah 6 lembar dengan ukuran 50 x 3,8 cm disimpan di Gdong Kirtya Kabupaten Singaraja Bali dalam kropak dengan nomor iv d 2196/16. Lontar ini juga telah ditranslasikan kedalam aksara latin oleh Ketut Ginarsa dengan
35
judul Geguritan Kasmaran, Teks dan Terjemahan. (Sukrawati, 1987:31 dalam Suteja, 2011:24). b. Geguritan Sampik; (data dari sumber ini diberi kode GS.1 dan seterusnya). Penulis tidak berhasil menemukan teks lengkap dari geguritan ini, hanya beberapa baitnya saja yang bisa ditelusuri di internet dan dijadikan data dalam penelitian ini. Menurut Wayan Simpen A.B. geguritan Sampik ditulis pada tanggal 15 Januari 1916 oleh Ida Ketut Sari dari Sanur, Namun populer setahun kemudian lewat pertunjukan seni drama dan tari yang di Bali disebut dengan arja. c. Tuturan lisan maupun tertulis; (data dari sumber ini diberi kode TLT.1 dan seterusnya). Sumber data ini merupakan hasil wawancara penulis dengan penutur asli bahasa Bali. Data dalam sumber ini ada yang disampaikan secara lisan ada juga dalam bentuk tulisan. Sebagian dari data terbut hanya berupa objek penelitian berupa contoh wangsalan tanpa disertai dengan konteks. Oleh karena itu, peneliti berusaha menemukan beberapa konteks dari objek tersebut dalam beberapa situasi pemakaian.
Harus diakui dengan jujur bahwa
beberapa kalimat yang dijadikan sampel merupakan hasil introspeksi penulis sebagai penutur asli bahasa Bali, namun demikian validitas data yang berupa objek penelitian bukanlah rekaan tetapi data yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
36
d. Tayangan dalam VCD Wayang Ceng-Blonk (Data dengan kode WCB.1 dan seterusnya). Seorang dalang muda yang bernama I Wayan Nardayana berasal dari Tabanan Bali telah berhasil menarik penonton dalam pementasan wayangnya kulitnya. Wayang Ceng-Blonk merupakan sebutan pementasan wayang ala Nardayana yang dulunya bernama wayang Gitaloka. Namun, seiring dengan perkembangannya masyarakat banyak menyebut wayang ini dengan wayang Ceng-Blonk karena pada setiap pertunjukannya Nardayana selalu menampilkan tokoh Nang Klenceng dan Nang Eblong (yang akrab dengan panggilan Cenk dan Blonk) di samping empat punakawan baku dalam wayang kulit Bali: Tualen, Merdah, Sangut, dan Delem. Pemasangan dua karakter kuat Cenk dan Blonk inilah salah satu hal yang menyebabkan wayang Ceng-Blonk berbeda dari pertunjukan-pertunjukan wayang tradisional Bali lainnya yang biasanya hanya menggunakan empat tokoh punakawan baku. Dalam pegelaran wayang yang juga diproduksi berupa kaset VCD ini, kita bisa menemukan berbagai permainan bahasa yang salah satunya berupa wangsalan.
Selain dari hasil sumber-sumber yang telah disebutkan di atas, penulis juga melakukan penelusuran blog-blog di internet tentang wangsalan, Data-data dari sumber tersebut dikumpulkan dengan teknik simak disertai pencatatan. Tidak semua data-data yang ditemukan terikat dengan suatu konteks, tetapi sebagian hanya berupa objek wangsalan saja, sehingga penulis berusaha menambahkannya dengan konteks
37
yang diambil dari tuturan yang lain maupun hasil introspeksi penulis sebagai penutur asli bahasa Bali.
1.7.2 Metode Analisis Data Data yang dikumpulkan dari hasil penelitian dianalisis dan dikelompokan kedalam beberapa kategori menggunakan pendekatan deskripsi kualitatif. Kegiatan analisis yang bertujuan untuk menemukan maksud sebuah wangsalan merupakan kegiatan yang paling menarik, karena penulis merasa menemukan Jawaban dari sesuatu yang sebelumnya merupakan teka-teki. Langkah-langkah yang digunakan dalam analisis ini adalah sebagai berikut: a. Menemukan makna sebuah wangsalan. Memutuskan sebuah satuan lingua termasuk wangsalan atau bukan sangat penting dilakukan guna mengidentifikasi objek penelitian. Identifikasi ini tidaklah terlalu sulit, karena bahasa yang diteliti merupakan bahasa yang dipahami oleh penulis. Kesulitan karena keterbatasan kosa kata dapat diatasi dengan referensi-referensi yang telah dibaca. Setelah objek ditentukan, barulah dilakukan penelusuran tentang makna denotasi kemudian menemukan makna asosiatifnya yang didaftar dalam tabel data lampiran penelitian ini. b. Penomeran data; hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui dari mana data tersebut berasal dengan demikian penulis akan dengan mudah mengetahui bagaimana objek yang sedang dianalisis, digunakan dalam bentuk tuturan yang lebih luas.
38
c. Reduksi data adalah sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar, yang diperoleh dari berbagai catatan-catatan tertulis di lapangan. Jadi, reduksi data merupakan suatu bentuk analisis
yang
mempertajam,
menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa, sehingga diharapkan sampai pada kesimpulan yang valid. d. Penyajian data merupakan bagian dari analisis untuk merangkai atau menyusun
informasi
yang
memberi
kemungkinan
adanya
penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berbentuk tabel data yang dilengkapi dengan kode data untuk mengetahui sumbernya. e. Menarik kesimpulan; Dari permulaan pengumpulan data sudah mulai dilakukan pencatatan tentang keteraturan, pola-pola, penjelasan alur sebab akibat dan proporsi-proporsi. Setelah mencermati hasil analisis, akhirnya kegiatan penelitian ini ditutup dengan menarik kesimpulan akhir yang bersifat utuh.
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis merupakan tahap akhir kegiatan penelitian yang dilakukan secara informal, berupa uraian kata-kata, kalimat, atau narasi.
39
Namun, jika dibutuhkan penggunaan data kuantitatif yang disertai oleh teknik formal berupa bagan, grafik atau tabel sebagai pelengkap narasi.
1.8
Sistematika Penyajian Keseluruhan hasil penelitian disajikan dalam enam bab sebagai berikut:
a. Bab I Pendahuluan, meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, dan metode penelitian. b. Bab II Pembahasan untuk menJawab permasalahan pertama, berisi tentang bentuk-bentuk wangsalan Bali berdasarkan satuan lingua. c. Bab III berisi uraian tentang proses pembentukan wangsalan dan formulaformula yang memperlihatkan hubungan antra makna dan maksud wangsalan. d. Bab IV berusaha menJawab permasalahan yang ke 3 yaitu mengandung beberapa uraian tentang jenis-jenis wangsalan. e. Bab V berisi uraian tentang fungsi komunikatif dan referen-referen dalam wangsalan Bali. f.
Bab VI merupakan penutup yang berisi kesimpulan atas semua permasalahan yang diuraikan kembali secara singkat sesuai dengan poin-poin pada bab II sampai bab V.