JURNAL KALIJAGA Volume II Juli 2013 DAFTAR ISI PENGANTAR 1.
BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG TERBENTUKNYA JARINGAN ANTAR KESULTANAN DI NUSANTARA (Kajian Awal) Prof. Dr. Budi Sulistiono, M.Hum .........................
1
2.
BORNEO IN THE EYES OF JOSEPH CONRAD Suhana binti Sarkawi & Datu Sanib bin Said ....
15
3.
PERPECAHAN KESULTANAN CIREBON Budi Prasidi Jamil ....................................................
33
4.
CEPURI DI KOTAGEDE: Bekas Inti Keraton Mataram yang Semakin Terlupakan Sugeng Riyanto & M. Chawari ............................... 52
5.
PEMIKIRAN AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH SYEKH MUHAMMAD AZHARI AL-FALIMBANI DALAM NASKAH PALEMBANG 1842 Drs. H. Abd. Azim Amin, MA ...................................
6.
SYAIKH ISMĀ’ĪL DAN TAREKAT NAQSHABANDIYAH DI MINANGKABAU PERSPEKTIF NASKAH AL-MANHAL Syofyan Hadi, MA...................................................... 91
7.
PERAN ELIT MASYARAKAT: STUDI KEBERTAHANAN ADAT ISTIADAT DI KAMPUNG ADAT URUG BOGOR Asep Dewantara, S.Hum .........................................
KETENTUAN TULISAN
i
78
107
REDAKSI JURNAL KALIJAGA
PEMIMPIN UMUM Prof. Dr. Budi Sulistiono (UIN Jakarta) REDAKTUR AHLI (MITRA BESTARI) Dr. Halid alKaff (UIN Jakarta)
ISSN: 2302-6758
PENYUNTING Tata Septayuda Purnama, M.Si KOORDINATOR PENULIS Muaz Tandjung (IAIN Medan) Soedarman, M.Hum (IAIN Padang) Suprijatin Sarib (STAIN Manado)
Dr. Alaiddin Koto (UINPekanbaru)) Dr. Nur Said (STAIN Kudus) Prof. Dr. M. Dien Madjid (UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) Prof. Dr. Ali Mufrodi (IAIN Surabaya) Drs. Didin Siradjuddin (UIN Jakarta) Bambang Budi Utomo (Arkenas) PEMIMPIN REDAKSI Drs. Nur Hasan, M.Ag (UIN Jakarta) DEWAN REDAKSI Dr. Frans Sayogi, SH, MH (UIN Jakarta) Dr. Darsita S (UIN Jakarta) Prof. Dr. Didin Saepuddin (UIN Jakarta) Masmedia Pinem, MA (Puslitbang Lektur Keagamaan, Jakarta) EDITOR PELAKSANA
Dr. Tony Wanggai (Papua) Neneng Habibah, M.Ag (Balitbang) Muslihin Sultan, M.Ag (Watampone) Dedeh Nur Hamidah, MA (STAIN Cirebon) Yusri Akhimuddin, MA (STAIN Prof Dr Mahmud Yunus, Padang) Mufliha Wijayati, MA (STAIN Lampung) Lina Amelina (Palangkaraya, Kalteng) DESAIN Aristhopan Firdaus Ervin Nazarli PENERBIT Pustaka Sinar Darussalam Jakarta
Drs. Ikhwan Azizi, M.Ag (UIN Jakarta) ALAMAT REDAKSI Aji Haryo Nugroho (STAIN Salatiga)
Jl Tebet Timur Dalam XI/76 Jakarta
Alfan Firmanto, M.Hum (Puslitbang)
12820
Ibnu Salman (Balitbang) Johan Wahyudi, S.Hum (UIN Jakarta)
ii
EMAIL
[email protected]
PENGANTAR Aceh Darussalam, Samudera Pasai, Demak, Cirebon, Makassar, Banten, Ternate, Tidore, dan sebagainya adalah kota-kota Maritim di Indonesia. Hingga kini di kota-kota itu masih dapat kita jumpai tinggalan materialnya (arkeologi) antara lain masjid Agung, komplek makam keluarga kesultanan, reruntuhan bangunan benteng. Pada umumnya, kota-kota itu berfungsi sebagai pusat perdagangan dan sentra-sentra kekuatan politik. Kondisi ini didukung antara lain oleh adanya jalinan secara estafet berupa perhubungan pelayaran, perekonomian, dan politik sekaligus juga memperkembangkan citra sebagai Kesultanan-Kesultanan Islam. Perwujudan kota-kota tersebut mengawali tulisan Budi Sulistiono dalam Jurnal Kalijaga, Volume II, Juli 2013. Keberadaan Borneo sudah banyak ditulis, baik oleh orang Melayu juga oleh orang Asing misalnya penulis asal Polandia, Joseph Conrad tahun 1899. Karya tulis ini diantar oleh Suhana dan Datu Sanib menulis tentang membangun identitas dan karakter Masyarakat Melayu Borneo yang berjudul “Borneo in the Eyes of Joseph Conrad”. Keberadaan Borneo dan kota-kota Maritim di atas pernah berjaya sebagai pusat-pusat Kesultanan Islam. Contoh “Kesultanan Cirebon …”, menurut tulisan Budi Prasidi Jamil merupakan Kesultanan Islam pertama di Jawa Barat. Kawasan itu secara geografis, terletak di pesisir utara Jawa. Lokasinya yang strategis serta memiliki sejumlah muara sungai menjadikan kawasan ini memiliki peranan penting bagi pertumbuhan Cirebon menjadi kota pelabuhan antara lain sebagai tempat untuk; menjalankan kegiatan pelayaran; perdagangan yang bersifat regional dan internasional. Sampai saat ini kota-kota yang dikenal sebagai kota maritim itu masih dapat dijumpai berbagai peninggalan berupa peninggalan material (arkeologi) antara lain: masjid Agung, komplek makam keluarga kesultanan, reruntuhan bangunan benteng. Kesultanan Islam, selain berada di kawasan kota, masih ditemukan peninggalan kesultanan Islam yang berada di wilayah pedalaman atau agraris. Misalnya Kesultanan Mataram, Kotagede, Yogyakarta. Lacak keberadaannya diungkap oleh Sugeng Riyanto, dalam tulisannya yang berjudul “Cepuri di Kotagede : Bekas Inti iii
Keraton Mataram yang Semakin Terlupakan”. Menurutnya, Cepuri adalah tempat raja berkediaman dan memerintah Mataram. Cepuri merupakan inti keraton yang dibatasi dengan tembok keliling tebal dan kokoh. Tembok keliling ini berbentuk empat persegi panjang tetapi tidak simetris. Saat ini di tengah-tengah Cepuri terdapat tinggalan masa lampau yang ditempatkan di dalam sebuah bangunan cungkup. Di dalam bangunan ini terdapat: sebuah batu gilang yang berfungsi sebagai “singgasana” sultan atau raja, tiga buah batu gatheng sebagai alat permainan putera raja atau sultan, dan sebuah tempayan yang berfungsi untuk wudhu para penasehat sultan atau raja. Penyebutan kata “wudhu” adalah lekat dengan pengamalan syari‟at Islam. Sementara itu, peran aktif tokoh-tokoh dalam jejak pengamalan syari‟at Islam Nusantara berlangsung dari masa ke masa. Salah seorang tokoh yang dimaksud adalah Syekh Muhammad Azhari Al-Falimbani (1811-1874). Menurut hasil pengamatan Abd. Azim Amin dalam tulisannya “Pemikiran aqidah ahlussunnah wal jama‟ah Syekh Muhammad Azhari AlFalimbani”, mengarang kitab Aqidah Ahlussunnah wal Jama‟ah (1842) menurut pemikiran al-Asy‟ary. Jejak keislaman Nusantara dalam rangka pengamalan syari‟at Islam juga diisi aktivitas tarekat. Tarekat yang tumbuh dan berkembang itu di antaranya, adalah Tarekat Naqsyabandiyah. Penelusuran jejak Tarekat Naqsyabandiyah di wilayah Minangkabau ditulis oleh Syofyan Hadi dengan tema “Syaikh Ismā‟īl dan Tarekat Naqshabandiyah di Minangkabau Perspektif Naskah al-Manhal”. Naskah al-Manhal, dengan nama yang lebih lengkap yakni, alManhal al-„adhb li-dhikr al-qalb, merupakan salah satu naskah yang sangat penting. Naskah itu di samping berisi ajaran-ajaran pokok tarekat Naqshabandiyah, juga mengandung banyak informasi yang berharga, baik tentang Shaykh Ismā„īl al-Khālidī al-Minangkabawī sebagai penyebar pertama ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah di Minangkabau maupun tentang ajaran dan dinamika tarekat Naqshabandiyah al-Khālidīyiah pada fase awal perkembangannya yang selama ini masih dianggap kabur dan samar. Menurut catatan penulis, Naskah al-Manhal ini ditulis menggunakan kertas Eropa dengan cap kertas (water mark) bergambar singa. iv
Keberadaan naskah-naskah tersebut mengisyaratkan adanya suasana tumbuh dan berkembang. Naskah-naskah Nusantara itu penting untuk dijadikan objek pengamatan, sebab sekarang adalah saat yang tepat, dan penting untuk melacak naskah tersebut yang cara melacak naskah itu mulai dari naskah yang terdapat di desa, kota, pulau dan kepulauan Nusantara. Apa pun keberadaan dan keadaannya baik sebelum dan/ atau semasa Kebangkitan Kesultanan-Kesultanan Islam Nusantara, secara konkrit kehadiran dan keberadaan naskah-naskah Nusantara didukung oleh faktor "rapid commercialization", pada gilirannya membantu menciptakan citra bahwa Islam itu kuat (powerful), baik secara spiritual, ekonomi, politik, maupun militer. Sukses-sukses besar masa kejayaan Kesultanan Islam Nusantara tidak berarti telah menggusur apalagi penghancuran terhadap tinggalan arkeologis hingga adat dan tradisi masyarakatnya. Justru sebaliknya, pelestarian keberadaannya masih dipertahankan. Kampung Adat Urug yang masuk dalam wilayah pemerintahan Desa Kiarapandak Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor, misalnya hingga kini masih tetap eksis. Mereka tetap setia kepada peran aktif para elite setempat yang konon secara aktif mengajarkan rangkaian isi Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian. Naskah ini disebut juga dengan nama Talatah Sang Sadu (amanat sang Budiman) berisi ajaran moral, etika dan keagamaan, bagaimana cara bergaul dengan sesama, bersikap kepada Raja, mencapai kesejahteraan hidup dan lain sebagainya. Menurut hasil penelitian yang ditulis oleh Asep Dewantara, dengan tema “Peran Elit Masyarakat:Studi Kebertahanan Adat Istiadat Di Kampung Adat Urug Bogor”, Naskah Talatah Sang Sadu, selesai ditulis pada tahun 1440 saka atau 1518 M. Jadi, naskah Sanghyang Siksakandang Karesian ini lahir pada masa kejayaan Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran, Bogor (1482-1521 M). Budi Sulistiono
v
BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG TERBENTUKNYA JARINGAN PERDAGANGAN ANTAR KESULTANAN DI NUSANTARA (Kajian Awal) Prof. Dr. Budi Sulistiono, M.Hum Guru Besar Ilmu Sejarah UIN Jakarta Abstract Aceh Darussalam, Samudera Pasai, Demak, Cirebon, Makassar, Banten, Ternate, Tidore, and so are the Maritime cities in Indonesia. Up to now in the cities that we can still meet its material remains (archeology), among others, the Great Mosque, the tomb complex imperial family, the castle ruins. In general, the cities, in addition to its function as a center of commerce maintained, to become centers of political power, this condition is formed at least supported among others by the fabric of the relay in the form of shipping transportation, economy, and politics as well as promote the image of the Sultanate- Islamic Sultanate. Keywords: cities, sultanate, rapid commercialization.
Abstrak Aceh Darussalam, Samudera Pasai, Demak, Cirebon, Makassar, Banten, Ternate, Tidore, dan sebagainya adalah kota-kota Maritim di Indonesia. Hingga kini di kota-kota itu masih dapat kita jumpai tinggalan materialnya (arkeologi) antara lain masjid Agung, komplek makam keluarga kesultanan, reruntuhan bangunan benteng. Pada umumnya, kota-kota itu, --di samping fungsinya dipertahankan sebagai pusat perdagangan dan sentra-sentra kekuatan politik--, kondisi ini terbentuk setidaknya didukung antara lain oleh adanya jalinan secara estafet berupa perhubungan pelayaran, perekonomian, dan politik sekaligus juga memperkembangkan citra sebagai Kesultanan-Kesultanan Islam. Kata kunci: kota, kesultanan, rapid commercialization
1
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Pendahuluan Siapa pun yang pernah mendengar nama Samudera Pasai, Aceh, Demak, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, dan sebagainya, sudah pasti benak dan fikirannya, sebutan nama sejumlah kota itu adalah nama tempat bekas Kesultanan/ kesultanan Islam yang pernah berjaya. Hingga kini beberapa di antaranya masih dapat kita jumpai tinggalan materialnya (arkeologi) antara lain masjid Agung, komplek makam keluarga kesultanan, reruntuhan bangunan benteng. Banten, misalnya di sebelah barat bekas pasar kuno Karangantu, atau timur laut kraton Surasowan, masih dapat ditemui nama kampung Pakojan. Sebutan Pakojan yang diambil dari bahasa Persia --konon tidak ditempati lagi, dikenal sebagai hunian pedagang Muslim dari Cambay-- Gujarat, Mesir, Turki, Goa, termasuk pula kampung Arab. Juga dapat dijumpai nama perkampungan Pacinan, dapat dibuktikan temuan sisa rumah kuno corak Cina dan sejumlah orang Cina , keramik masa Dung (960-1280), Yuan (1280-1368), Ming (1368-1643), Ching (1644-1912). Selain perkampungan orang Cina, juga didapati perkampungan orang India, Persia, Arab, Turki, Pegu (Burma). Perkampungan para pedagang asal Nusantara, juga dapat dijumpai: Melayu, Ternate, Banda, Banjar, Bugis, Makassar. Keadaan ini sebagai bukti Banten dapat disebut pusat perdagangan, ramai dikunjungi para pedagang domestik maupun luar negeri. Dan bagi siapa saja yang pernah berwisata atau berziarah ke kota-kota tersebut --benar-benar “Kota Metropolitan”, Pusat Kekuasaan, Kota Maritim– karena pusat kekuasaannya berada di kota pelabuhan. Bahkan tak kurang penting disebut-sebut kota-kota tersebut sebagai centracentra dakwah Islamiyah. Kondisi ini dapat ditelusuri dari suasana feedback limpahan peziarah dari hari ke hari yang berdatangan dari berbagai daerah luar wilayah kota-kota tersebut. Karenanya, mudah-mudahan kita taklah berhati kecil untuk bertanya-tanya menukik kepada intinya, "dengan cara 2
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
apa kota-kota itu secara estafet berhasil ditampilkan bahkan diperankan di pentas internasional?". Pertanyaan tersebut sekaligus mengisyaratkan bahwa kota-kota itu mungkin tak berarti apa-apa jika tak ada yang berani mengusiknya. Ini berarti ada individu atau sekelompok orang yang secara aktif dan arif membinanya, di antara mereka Walisongo, Ustadz, Syeikh, Guru agama, cendekiawan, dan sebagainya. Pada umumnya, kota-kota itu, di samping fungsinya dipertahankan sebagai pusat perdagangan, hingga menjadi sentra-sentra kekuatan politik, kondisi ini terbentuk setidaknya didukung antara lain oleh adanya jalinan secara estafet berupa perhubungan pelayaran, perekonomian, dan politik sekaligus juga memperkembangkan citra sebagai Kesultanan-Kesultanan Islam: Kesultanan Samudera Pasai di Aceh Utara (abad ke-13 hingga tahun 1524); Aceh didirikan pada tahun 1514 oleh Sultan Ibrahim bergelar Sultan Ali Mughayyat Syah (15141530); Demak; Banjarmasin (1550 M); Ternate akhir abad ke14 M; Cirebon, Kesultanan Islam pertama di Jawa Barat, tahun 1479. Syarif Hidayat (Syarif Hidayatullah), dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian juga Kesultanan Banten; Kesultanan Banten yang ibukotanya dinamai Surasowan tumbuh menjadi pusat Kesultanan Muslim sejak 1526 Masehi; Makassar (1605/9 M); kesultanan Bima sejak 1620. Perwujudan dan perkembangan kota-kota tersebut sebagai pusat perdagangan hingga menjadi pusat pemerintahan, mengisyaratkan bahwa masyarakat di sekitar (saat itu) berkat kekayaan dan kekuatan-kekuatan sosial yang diberdayakan, dapat memainkan peran-peran politik dalam entitas politik. Ambil contoh, sejak Malaka jatuh ke tangan kaum imperialis dan kolonialis Portugis pada tahun 1511 Masehi, banyak pedagang Islam yang datang ke Aceh. Aceh kemudian mereka jadikan sebagai tempat berdagang juga sebagai tempat menyebarkan agama Islam. Ketika Kesultanan Aceh telah dapat menggantikan kedudukan Malaka, baik 3
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
sebagai pusat perdagangan maupun pusat penyebaran agama Islam, Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan persahabatan dengan Kesultanan Islam terkemuka di Timur Tengah, yaitu Kesultanan Turki. Sebagai wujud dukungan masyarakat Islam di luar Kesultanan Aceh, banyak Ulama dan pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para Ulama dan pujangga di Aceh, mengajarkan Ilmu Agama Islam dan berbagai ilmu pengetahuan, selain itu juga menulis bermacam-macam kitab, khususnya ajaran agama Islam. Di antara Ulama dan pujangga yang pernah datang di Aceh, menurut T Ibrahim Alfian, adalah Muhammad Azhari yang mengajar Ilmu Metafisika; Syeikh Abdul Khair ibn Syekh ibn Hajar ahli dalam bidang mistik; Muhammad Yamani, ahli Ilmu Usul; Syeikh Muhammad Jailani ibn Hasan ibn Muhammad Hamid dari Gujarat mengajarkan Logika; Syeikh Bukhari al-Johari, terkenal dengan karyanya Taj as-Salatin (Mahkota Segala raja). Demikian pula terjadi di Demak mencapai keberhasilan politik dengan cepat dan memainkan peranan sebagai jembatan penyeberangan keagamaan paling penting, tidak saja harus menghadapi masalah legitimasi politik, tetapi juga panggilan kultural untuk kesinambungan (Schrieke, 1957:117), antara lain dapat diamati melalui sebaran wilayah pengaruh Islam di sejumlah tempat untuk kemudian tumbuh sebagai tempat-tempat pemukiman meningkat menjadi pusatpusat da‟wah Islamiyah pada abad ke-16 M. Peran-peran aktif tersebut hingga periode-periode berikut diimbangi juga oleh peran ulama dalam pentas antara lain pendidikan melalui jalur pesantren. Pesantren sebagaimana lembaga-lembaga Islam yang vital seperti 'dayah', dan "meunasah" di Aceh, "surau" di Minangkabau dan Semenanjung Malaya telah tumbuh menjadi institusi supra desa, yang mengatasi kepemimpinan, kesukuan, sistem adat tertentu, kedaerahan dan lainnya. Mereka tumbuh menjadi lembaga Islam yang universal, yang menerima guru dan murid tanpa memandang latar belakang suku, daerah, dan 4
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
semacamnya, sehingga mereka mampu membentuk jaringan kepemimpinan intelektual dan praktik keagamaan dalam berbagai tingkatan. Seperti juga para penuntut ilmu di Timur Tengah pada masa-masa awal, guru, terutama murid-murid lembagalembaga pendidikan Islam di Asia Tenggara ini, adalah para penuntut ilmu yang mengembara dari satu surau ke surau lain atau dari pesantren satu ke pesantren lain guna meningkatkan pengetahuan keislaman mereka. Kehadiran dayah, surau, pesantren yang didukung oleh para tokoh kharismatis ajengan, kyai, tuan guru, teungku, juga telah berhasil bukan sekadar memperkenalkan bahkan menciptakan kondisi berlasungnya tulisan Arab sebagai tradisi komunikasi di berbagai wilayah multietnis. Secara historis, tidak diketahui secara persis kapan aksara (huruf) Arab kian gencar dipakai di berbagai bahasa daerah di seantero Nusantara, terutama Melayu dan Jawa. Sejumlah ahli, sementara itu hanya bisa mengatakan, hal itu terjadi seiring dengan sosialisasi Islam di wilayah Nusantara. Dan sejak kapan Islam terserap di varian wilayah Nusantara ini, juga masih menjadi pembicaraan hangat, meski bisa dipastikan antara abad ke-7 dengan berpedoman pada berita aksara Arab yang terukir pada nisan makam Fatimah binti Maimun, yang wafat tahun 1080 Masehi; sampai abad ke-13. Corak Lokal Hasil yang dapat kita tatap di seantero Nusantara adalah corak dan istilah penamaan tulisan Arab yang telah beradaptasi dengan variasi bahasa dan kegunaannya di daerahdaerah, maka lahirlah aksara Arab dalam wilayah budaya masyarakatnya, misalnya di wilayah budaya Melayu, dikenal dengan aksara Jawi, di kalangan masyarakat Jawa dan Sunda lahir istilah aksara Pegon, di kalangan masyarakat Aceh dikenal dengan istilah Jawoe, dan sebagainya. Umumnya, pendekatan untuk pengenalan huruf Arab dengan kaidah Baghdadiyyah, secara estafet pengajaran dilanjutkan secara 5
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
langsung kepada bacaan Juz „Amma (dengan cara hafalan atau cukup bacaan), kemudian berpindah ke surat-surat al-Qur'an yang panjang, dimulai dari surah al-Baqarah hingga khatam (selesai). Untuk jenjang pengenalan ajaran Islam yang lebih tinggi diberikan pengajaran dari berbagai kitab, pada masa itu lebih berorientasi kepada keahlian yang dimiliki oleh para guru atau kyai. Misalnya untuk kajian tentang hukum Islam akan dipelajari melalui kitab, antara lain: Miftah al-Jannah, Shirat, Sabilal al-Muhtadin, Bidayah, Kitab Delapan dan Majmu'; Matan Taqrib, Fath al-Qarib, Fath al-Mu'in, Tahrir, Iqna', Fath al-Wahhab, Mahally. Adapun mengenai ilmu alat, akan diberikan pelajaran tentang Sharaf (perubahan kata dalam bahasa Arab), kemudian dilanjutkan dengan mempelajari kitab Ajrumiyyah, dilanjutkan Mukhtashar, Mutammimah, dan terakhir dengan Alfiyah bersama Syarahnya. Untuk di beberapa wilayah/daerah, pelajaran Nahwu merupakan pokok dan wajib dipelajari sebelum membuka/ mempelajari kitab-kitab (fikih, tafsir al-Quran, hukum, tasawwuf, dan sebagainya). Sebab seluruh kitab tersebut ditulis dengan bahasa dan huruf Arab. Selain diajarkan tafsir al-Quran dan Hadits, para santri juga diberikan pelajaran Balaghah, yang mencakup di dalamnya ilmu ma'ani, ilmu bayan, dan ilmu badi'; Majmu' Khams al-Rasail, Jawahir al-Maknun. Tasawwuf, akan diberikan pelajaran melalui kitab, antara lain Ihya Ulumiddin, Tanbih al-Ghafiqin. Demikian pula pelajaran tentang logika (ilm al-Manthiq), dengan cara mempelajari dari kitab a.l. Matan al-Sullam, Idhahul Mubham. Untuk kalangan ahli di bidang Tauhid, guru akan memberikan pelajarannya dengan mempelajari kitab: Matan as-Sanusi, Kifayah al-Awam dan Hudhudi, ad-Dasuqi. Perihal Ushul al-Fiqh, akan diperoleh melalui kitab a.l. Jam'u al-Jawami', al-Waraqat, Lathaif Isyarah, Ghayah al-Usul. Hasil nyata kiprah keislaman ini, semakin 6
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
mengakar dalam lingkaran ikatan emosional budaya masyarakat menusantara. Mengingat umurnya yang tua dan luasnya penyebaran pesantren, dapat difahami bahwa pengaruh lembaga ini pada masyarakat sekitarnya sangat besar. Banyak peristiwa sejarah abad ke-19 yang menunjukkan betapa besar pengaruh pesantren dalam mobilisasi masyarakat pedesaan untuk aksiaksi protes terhadap masuknya kekuasaan birokrasi kolonial Eropa di pedesaan. Aksi-aksi protes mereka hingga melahirkan pemberontakan dan meletuslah "Geger Cilegon" juga terkenal dengan "Perang Wasid". Kenyataan ini sebagai wujud komitmen sosial pesantren kepada masyarakat sudah terbukti, bahkan dari abad ke abad. Setidaknya dengan lahirnya sejumlah "pesantren', dayah, 'pondok', 'surau', dan semisalnya menunjukkan bahwa proses belajar mengenali dan memahami tentang Islam telah diajarkan melalui pendidikan yang diajarkan dan di bawah pengelolaan atau bimbingan seorang guru, ustadz, teungku, ulama, ajengan, kyai, dan sebagainya. Tempat-tempat pendidikan tersebut biasanya didirikan di dekat masjid atau rumah guru, pelajaran yang diberikan di antaranya : baca-tulis Arab. Jalur pendidikan dayah, surau, pesantren sebagai aset umat, menarik untuk disimak bukan hanya dari upaya mengemban satu tujuan yang fundamental yaitu tujuan "da'wah Islamiyah", melainkan dalam aspek proses hingga terbentuknya satu jaringan yang luas di kalangan mereka. Jaringan semacam ini berfungsi untuk pertukaran santri, pelayanan keagamaan, informasi mengenai kecenderungan sosial pemerintahan, serta untuk melindungi sikap ortodoksi Islam. Pesantren selain memiliki "lingkungan, ia juga "milik" lingkungannya. Bahkan hingga sekarang pesantren tak putusputusnya mempunyai hubungan fungsional dengan desa-desa di sekitarnya, dalam pendidikan agama, kegiatan sosial, dan kegiatan ekonomi. 7
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Bukankah sejarah Muslim di wilayah Nusantara khususnya di berbagai kota pusat kekuasaan ini sejak masa awal kehadirannya telah berhasil mengangkat peran-peran para pedagang Nusantara yang justru mengutamakan dalam arus timbal balik hasil-hasil produksi daerah masing-masing. Hal itu memungkinkan adanya mobilitas horisontal di kalangan pedagang, karena perpindahan dari satu kota ke kota lain untuk mencari keuntungan. Nilai strategis dari dakwah Islamiyah mereka adalah "keteladanan" hingga mendorong terjadinya konvensi massal kepada Islam, muncul kemudian aktivitas bukan hanya di sektor perdagangan, melainkan juga dalam bidang politik, dan diplomatik. Langkah-langkah ini kemudian melahirkan asumsi bahwa keterlibatan mereka dalam varian bidang strategis itu telah berhasil memperteguh kekuatan politik dalam bentuk kesultanan/kerajaan, antara lain di berbagai wilayah pesisir, sejak Jeumpa, Peureulak, Samudra Pasai, Malaka, Aceh, Demak, Johor, Ternate, Goa, Banten, dan seterusnya. Kebangkitan Kesultanan-Kesultanan ini, yang jelas didukung oleh faktor "rapid commercialization" tadi, pada gilirannya membantu menciptakan citra bahwa Islam itu kuat (powerful), baik secara sipiritual, ekonomi, politik, maupun militer . Bukan tidak mungkin jika program integrasi yang islami itu berhasil dikemas dan dipentaskan di era globalisasi, kota-kota pusat Kesultanan Islam akan menampilkan tokohtokoh profesional yang handal, tangguh, dan bebas. Dengan kata lain, kalau mengharapkan timbulnya kebangkitan Islam sebagai suatu peradaban yang dinamis dan selalu berkembang dalam konteks keuniversalan serta kekekalan nilainya, sudah saatnya kita mengerahkan energi sepenuhnya, yang berarti menjadikan diri kita sebagai orang kritis (terhadap diri sendiri sekali pun) terhadap pembangunan dan perubahan yang sedang berlangsung, memiliki integritas, loyal kepada hati nurani dan kepentingan orang banyak serta kembali kepada masyarakat --sebagai ciri intelektual kita. Mudah-mudahan, upaya pemusatan perhatian dan energi kita untuk 8
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
memakmurkan masjid sebagai satu indikator utama dalam menentukan keberhasilan amaliyah dari kebangkitan kembali zaman keemasan Islam, mendatang. Kesimpulan dan Saran 1. Munculnya Demak, Samudra Pasai, Banten, Cirebon, Tidore di samping fungsinya dipertahankan sebagai pusat perdagangan, hingga menjadi sentra-sentra kekuatan politik, kondisi ini terbentuk sebagaimana dicatat dalam lembran sejarah, didukung antara lain oleh adanya jalinan secara estafet berupa perhubungan pelayaran, perekonomian, dan politik sekaligus juga memperkembangkan citra sebagai KesultananKesultanan Islam. 2. kota-kota itu mungkin tak berarti apa-apa jika tak ada yang berani mengusiknya. Ini berarti ada individu atau sekelompok orang yang secara aktif dan arif membinanya, di antara mereka Walisongo, Ustadz, Syeikh, Guru agama, cendekiawan, dan sebagainya. peran ulama dalam pentas antara lain pendidikan melalui jalur pesantren. Pesantren sebagaimana lembaga-lembaga Islam yang vital seperti 'dayah', dan "meunasah" di Aceh, "surau" di Minangkabau dan Semenanjung Malaya telah tumbuh menjadi institusi supra desa, yang mengatasi kepemimpinan, kesukuan, sistem adat tertentu, kedaerahan. 3. Bahkan, Ulama telah berhasil bukan sekedar memperkenalkan bahkan menciptakan kondisi berlasungnya tulisan Arab sebagai tradisi komunikasi di berbagai wilayah multi-etnis Nusantara, abad ke-17 M. 4. Oleh sebab itu, dalam memandang dan mencermati tokoh, dan pesantren, kini bukan saatnya untuk berandai-andai untuk lebih mencermati peranperannya dalam aksi melawan kolonial Eropa, 9
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
misalnya, namun yang mendesak justru upaya-upaya kita lebih mau mengerti tentang "bagaimana strategi kyai/ulama tempo dulu melalui jalur pesantren dengan potensi yang dimiliki berhasil menularkan kreativitasnya kepada masyarakat pedesaan dan lingkungan lainnya ". 5. Penelitian lebih jauh sudah saatnya dilakukan lebih awal bahkan diperlukan untuk melacak akar genealogi intelektual mereka di dalam mensistematisasi pengetahuan menjadi ilmu melalui usaha klasifikasi dan penciptaan metodologi empirik, kuantitaf dan eksperimental. Dengan kata lain, upaya penelitian ini diharapkan dapat memahami: a. Wujud kreativitas keulamaan mereka itu dapat dicermati dalam berbagai kegiatan, misalnya dakwah, wirausaha, organisasi, dan sebagainya sehingga kita memperoleh gambaran yang lebih utuh. b. Informasi aktivitas keulamaan masyarakat di kota-kota pusat Kesultanan tersebut akan bisa pula dijadikan indikasi perkembangan Islam dalam varian kelompok dari masa ke masa yang sangat berpengaruh dalam berbagai wilayah di luar wilayah kota-kota itu. Paling tidak, penelitian itu hendak menegaskan kembali peranan Islam dengan daya dukung masyarakat setempat di dalam perkembangan sejarah ilmu secara nasional maupun internasional, bukanlah sesuatu yang mubadzir. Misalnya, "keteladanan wong Banten" dapat dicermati lebih lanjut antara lain Imam Muhammad Nawawi Tanara dikenal dengan Imam Nawawi al-Bantani, seorang ulama besar yang juga banyak menulis kitab, pernah menjadi panutan (guru) sejumlah ulama terkenal seperti KH 10
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Hasyim Asy'ari (Rais Akbar NU), Jombang; KH. Khalil Bangkalan, Madura (guru KH Syamsul Arifin -Mustasyar Am NU), KH. Asnawi Caringin asal Labuan dan sejumlah ulama lainnya. c. Dengan mengambil tamstil tokoh ini pengingatan kita ke arah pesantren untuk saat ini tidaklah juga mubadzir, justru malah strategis. Alasannya: Pertama, pesantren sebagai lembaga sosial yang berada di akar bawah mempunyai peranan strategis dalam melaksanakan cita-cita pembangunan yang memerlukan peran serta masyarakat dan perencanaan dari bawah. Nah, sebagai upaya pelestarian peranan dan keberadaan pesantren, sebagai langkah awal, sangat simpatik untuk memulai klasifikasi ke arah pemetaan perkembangan lembaga-lembaga tersebut mana yang benar-benar eksis baik di kota maupun di desa, untuk kemudian dilakukan pemberdayaannya; Kedua, pesantren masih sering mendapat sorotan yang konon masih kurang memberikan pendidikan yang bersangkutan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena titik berat pendidikannya masih pada kitab kuning. Anggapan itu boleh-boleh saja muncul, bahkan sudah terlalu sering dikemukakan bahwa kajian Islam selama ini lebih menekankan aspek ritual semata dan masih kurang dikembangkan pemikiran Islam yang menyangkut kehidupan sosial ummat, terutama masalah mendesak yang mereka hadapi kini, yakni kemiskinan dan kebodohan. Karenanya, yang mendesak adalah menampilkan fikiran alternatif Islam untuk menjawab masalah dasar ummat Islam dewasa ini. Dengan kata lain, saat yang berharga ini Islam sedang memasuki fase baru, yakni masa pengisian kehidupan umat yang sudah makin integratif. Dalam fase ini yang diperlukan adalah memberi tafsiran terhadap ajaran dasar Islam untuk tumbuh menjadi alternatif pemecahan masalah umat, yang sudah tentu tetap dalam kerangka Persatuan dan Kesatuan; 11
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Ketiga, banyak anak-anak kaum santri tidak lagi dimasukkan ke pesantren tapi ke sekolah-sekolah non-agama, berbaur dengan anak-anak di luar komunitas mereka. Singkatnya, kini telah tumbuh generasi baru yang muncul dari perbauran subkultur santri dan abangan dengan basis agama yang tak terlalu jauh berbeda, kalau tak dapat dikatakan sama; Keempat, di negara berkembang, pada umumnya pendidikan lebih dianggap sebagai sarana peningkatan pengetahuan semata atau latihan untuk suatu profesi. Universitas lebih dipandang sebagai tempat merebut gelar, tapi didirikan tanpa semangat intelektual. Dengan kondisi demikian, pendidikan di negara berkembang tidak mempengaruhi restrukturisasi mental yang ada. Akibatnya, ceruk-ceruk pemikiran tradisional tetap tak dapat diguncang. Oleh al-Afghani, inilah disebut pendidikan tanpa semangat menyelidiki. Tiadanya semangat intelektual atau tidak berfungsinya kaum intelektual di negara berkembang akan besar sekali pengaruhnya terhadap kepemimpinan yang menentukan hidup matinya suatu bangsa.
12
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Daftar Pustaka Buku Abdullah, Taufik, ed., Sejarah Ummat Islam Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991). Alfian, Teuku Ibrahim, Mata Uang Emas Kesultanan-Kesultanan Di Aceh, (1972) Rais, Amien, Pendidikan Muhammadiyah dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Pusat Latihan dan Pengembangan Masyarakat,1985). Azra, Azyumardi, Renaissans Islam Asia Tenggara, (Bandung: Rosydakarya), 1999. Dasgupta, A.K., Acheh in Indonesian Trade and Politics: 16001641, Cornel University,1962 Sedyawati, Edi, "Kebudayaan Banten Dalam Kaitannya Dengan Wawasan Kebudayaan Nasional", dalam Hasan Mu'arif Ambary, dkk (Editor), Kabupaten Serang Menyongsong Masa Depan,1994, Pemda Tingkat II Kabupaten Serang; GP Rouffaer en J.W. Ijzerman, 1915, De Eerste Schipvaart der Nederlands naar Oost-Indie onder Cornelis de Houtman 1595-1597, De Eerste Boek van Willem Lodewijks, Martinus Nijhoof. Hamka, Sejarah Ummat Islam, jilid IV (Jakarta : Bulan Bintang, 1981). Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1986). J.C.van Leur, Indonesian Trade and Society, (Den Haag:van Hoeve, 1955). Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, cet.ke-3, 1991). Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1510-and about 1630, The Hague, 1962.
13
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Mundardjito, Hasan Muarif Ambary, dan Hasan Djafar, "Laporan Penelitian Arkeologi Banten", dalam Berita Penelitian Arkeologi No.18, Jakarta, 1978. Tjandrasasmita, Uka, Kota-Kota Muslim di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, (Menara Kudus, Kudus, 2000). Kartodirdjo, Sartono, "Berkunjung ke Banten Satu Abad Yang Lalu (1879-1888)", makalah disampaikan dalam Seminar Sejarah Perjuangan KH Wasyid dan Para Pejuang Banten 1888, Serang 9-18 September 1988; Syed Hussein al-Attas, Intelektual Masyarakat Berkembang, (Jakarta : LP3ES, 1988). Media Cetak Harian Republika, 18 Februari 1997, Jakarta.
14
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
BORNEO IN THE EYES OF JOSEPH CONRAD1 Suhana binti Sarkawi & Datu Sanib bin Said Universiti Malaysia Sarawak, Malaysia Abstract The adventure and experience of European sailors in the Malay Archipelago in the 19th century narrated through the eyes of Orientalists had evocated the world of postcolonial literature. Joseph Conrad, a seaman turned a writer had constructed the identity of the native community in the Malay Archipelago region with particular reference to people of Patusan, Borneo. Conrad wrote his ‘Lord Jim’ and ‘Almayer’s Folly’ by reading other writers’ works and a brief encounter with the islands native communities at sea. His perspective about the natives that he read about and saw had become the constructed reality in his works representing the whole the native community. With the content analysis method through the perspective of postcolonial and with the approach of in-depth reading, this paper presents the views of Conrad of native Borneo society, especially the Malays, and how their identity was built in ‘Lord Jim’ and ‘Almayer’s Folly’. Hero characters in the stories had actually lost their integrity in the eyes of their own society. Keywords: the Others, postcolonial, marginal, superior, identity
1
This paper has been presented for The 22nd International Conference on Literature, Yogyakarta State University and HISKI, in Yogjakarta State University, Yogjakarta, Indonesia on 7-9 November 2012. 15
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Introduction This paper is to present about two Borneo-based fictions entitled ―Almayer‘s Folly‖ (1895) and ―Lord Jim‖ (1899) by Joseph Conrad (born Józef Teodor Konrad Korzeniowski ), a Polish-born English novelist who fictionalised account of British side of Borneo through a postcolonial discourse. Almayer‘s Folly was written before he left Africa between the autumn 1889 and the end of winter 1894 after his stay in Congo. In this paper I will use LJ as reference to Lord Jim and AF for Almayer‘s Folly. His first novel, AF, had a sentimental touch to Conrad as it was finally completed when his uncle who was also his guardian, Tadeusz Brobowski, suddenly passed away. It portrays Conrad‘s traumatic past experience with his family, Poland, Russian colonialism and Belgian Congo.2 LJ was at first published in serials in 1899-1900.3 It contains two parts of Jim‘s exploration to the Eastern waters. First, it tells us about Jim‘s life at sea. Second part is where Jim arrives in Patusan and it is to a failed heroism with ends with Jim‘s tragic death to redeem his honour. Conrad used incidents from real life, hearsay and readings to create the environment and reconstruct the characters of his novels. He admitted it in his Notes on Life and Letters: ―Fiction is history, human history, or it is nothing. But it is also more than that; it stands on firmer ground, being based on the reality of forms and the observation of social phenomena, whereas history is based on documents, and the reading of print and handwriting — on second-hand impression. Thus 2
3
Allen, Jerry. 1965. The Sea Years of Joseph Conrad. Methen & Co. Ltd. London: xix. Lord Jim. http://www.conradfirst.net/view/periodical?id=35 retrived on 16.10.2012 at 10.00 pm. 16
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
fiction is nearer truth. But let that pass. A historian may be an artist too, and a novelist is a historian, the preserver, the keeper, the expounder, of human experience.‖ (Conrad, 1921:17). His writing was also influenced by other people‘s works as noted in The Last Twelve Years of Joseph Conrad as ―... over and over again ... Wallace‘s Malay Archipelago was his favourite bedside companion.‘ (Ridchard Curle, 1928: 120121). It was also said that Brookiana and James Brooke‘s memoirs, journals and letters in his way of becoming the ruler of a native state had been Conrad‘s references to write LJ and AF. He constructed the setting and characters to suit the expectation4 of the Victorian readers of his time of writing. He also ‗feels no responsibility to remain systematic in a universe itself.: two universes may exist in the same place in the same time.‘5 Conrad shifted the reader‘s perspective from seeing the image construction of the natives or the colonised to the identification of the colonisers. It shows the conflict of identity between being the colonised and the coloniser. He wrote about Almayer, a Dutchman, who lived among the natives whom he sees as less superior and less charismatic than him. In AF, Conrad gave the readers the notion that it was Almayer who was not ‗one of them‘ (the natives) rather than ‗one of us‘ point of view. AF and LJ were written and shaped not only by Conrad‘s psychological side but also his life as a seaman. His contact to the natives was very limited even though his observation was taken into account to the minimum as ‗Conrad‘s knowing of the East as a seaman posits a special relationship between himself and the Eastern world which 4
5
Arendt, Hannah. 1973. The Origins of Totalitarianism Harcourt, Brace, Jovanovich (New edition). Orlando, USA, p.125. In Garnet, Letters: 143: as cited in Bonney, W. Wesly. 1980. Thorns &Arabesques Contexts for Conrad‟s Fiction. The Johns Hopkins University Press. Baltimore, p. 5. 17
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
provided his source material‖ (Sherry, 1966: 6) in his Eastern novels. This makes us ponder: Can Conrad‘s three visits to the East and a few months stay in Eastern land experience dictate the whole image of the natives represented in his novel be regarded as the truth? So, in this paperwork we can see how Conrad marginalised the natives in his narratives. The exoticness and bewilderness of the Eastern inhabitants that he built in his writings in ―words, groups of words, words standing alone...‖ present the very thing you wish to hold up before the mental vision of your readers. They are ‗as they are‘ exist in words would appeal to his audience imagination and by orientalist writings like in LJ and AF. AF and LJ show us how the representation of the Malays in Borneo is portrayed in various points of view 6: Marlow- the narrator, Jim and Almayer- the protagonists and of Nina and Jewel- the females who have ‗the voices‘ in the novels. The ambivalence feeling has successfully been created upon the completion of reading both fictions. He ―did not really know anything about the Malays.‖7 To Conrad, evil and savageness are equally embedded in both the colonised and the colonisers.8 Hybridity can be traced in Nina and Jewel but the Others‘ traits in them win as opposed to the European traits9 to be discussed in the next section of this paper. The Malays: a construction of identity Who are the Malays as one of the Borneo natives through Conrad‘s eyes? To enable us to see the construction of the Malay identity in his fictions, comparison between what had been written by cultural researchers and travellers to Borneo and The Malay Archipelagoes in their books and 6
7 8 9
S. Koon, Wong. “Pertemuan Kolonial dan Strategi-Strategi Naratif di dalam Karya-Karya Conrad dan Clifford”, Jurnal Ilmu Kemanusiaan. Jld/Vol 1. Oktober 1994, p. 31. Ibid., p. 31. Ibid., p. 38. Ibid., p. 37. 18
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
memoirs. The writings of Tom Pires, Baring-Gould, Brookes, Spenser St John, Swettenham, Hugh Low, and many others give us the insight of Malays and its society mirroring who and how the Malays were during their times of observation and travel. Their writings have generally been acknowledged as pioneering and important contributors to Malay cultural and historical studies. Shahruddin Maaruf (2002) noted that ―...colonial writings on the Malays. They had left us valuable descriptions of culture and institutions of pre-colonial days to be sure for contemporary researches. We would be poorer academically or intellectually speaking without the records left behind by the colonials. In all objectivity, we can even say that they left us more records of the pre-colonial culture and society than the indigenous elite themselves.‖10 Perhaps referring to this statement, Conrad wanted to prove that what the travelers had documented was true so Conrad imposed the idea of women in being less respected and therefore silenced (AF, Chapter VII:45) in his Eastern writings. In the general views of the Malay-Muslims, women are highly respected and their pride is protected from the evil men‘s intentions. Limiting their contacts with the males and non-mahram11 is the sign of honour and preservation of dignity. Baring Gould states that [t]he Malay has been very variously judged. The Malay Pangiran, or noble, was rapacious, cruel, and often cowardly. But he had a grace of manner, a courtesy, and hospitality that were pleasing as a varnish. The evil repute that the Malay has acquired has been due to his possession of power, and to his unscrupulous use of it to oppress the aboriginal races. But the Malay out of power
10
11
Maaruf, Shaharuddin. 2002. Possibilities for Alternative Discourses in Southeast Asia: Ideology and the Caricature of Culture, Singapore: National University of Singapore, pp. 4-5. Non-mahram means a legible partner to be married with. 19
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
is by no means an objectionable character12. In LJ and AF, the Malays make up most of the characters, some Arabs and some mentions of Chinese. He did not quite really give the Malays and natives characters names as a symbol of respect. He would just call them ‗half-castes‘ (AF, Chapter 1:7) (LJ, Chapter2:9), ‗savage‘ (AF, Chapter II:11) (LJ, 41:224), ‗savage-looking Sumatrane‘ (AF, Chapter IV:25) or merely mentioned the physical characteristic that he can see and relate it to the persons. Everytime he sees and encounters a Malay, he will describe the Malay‘s from the European‘s standard. He describes and ridicules the person as a physically and mentally immoral being as low as he could put into words. (AF, Chapter 1:6) For example, Conrad through a European labels the Malay pilgrims onboard Patna as ―cattle,' said the German skipper to his new chief mate‖ (LJ, Chapter 1: 10) and also when he speaks about the passengers in Patna, the pilgrims to Mecca by relating them with "She was full of reptiles." (LJ, Chapter 5: 30) But in History of Sarawak (Baring, 1909), a different view from the Ranee of Sarawak was cited about the characteristic of the Malays of Sarawak as opposed to Conrad‘s constructed image of the Malays. Indeed her [Ranee of Sarawak] presence in Sarawak has always been greatly valued by all, natives and Europeans alike. … She was the moving spirit in the promotion of the social and industrial welfare of the women and children, and was always an honoured and welcome guest at the social functions of the Malays, (p.414)
12
Baring-Gould, S., & Bampfylde, C. A. 1909. A History of Sarawak under its Two White Rajahs, 1839-1908. London: H. Sotheran & Co., p. 28. 20
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Natives in Patusan, the setting of LJ did not know his abandonment of responsibility in Patna and this had made it rather easy for Jim to poise himself as a superior stranger in a Malay village. They did not aware that his going there to a rural and less known place by a river was an escapism from his guilt and to mend his Eurocentric personality among the less fortunate and troubled native settlement. The presence of Dain Waris and Dain Marolla as brave and intelligent noble Malay men was felt and the impact of losing Dain Waris paved a memorable and tragic ending. The success of Dain Marolla in his homeland satisfies all Almayer‘s jealousy‘ over his gun power trade in his royal territory. In AF, Tom Lingard, a European, living in Sambir, Sarawak. After Lingard successfully ‗bribed‘ Almayer with future wealth into marrying his adopted daughter of native blood, Lingard left him to pursue more hidden treasures elsewhere. At first, he was reluctant to marry her but after he thought of the treasure that his father in-law promised him to inherit, Almayer bitterly agreed with intention to divorce her as soon as he got it. Lingard actually wanted to make an offer to sell his adopted daughter to Almayer like a slave (AF, Chapter 1:8). The daughter was not given a proper personal name! He found her among the corpses if ‗pirates‘ after a battle with them in the waters. Lingard assumed that it was his responsibility to raise this savage child as her pirate‘s family was killed by him. Unfortunately, the adopted child viewed the act as a kidnap and imprisonment. She was treated badly by Lingard (AF, Chapter 2:13). Maybe to get rid of her for a certain mission of fortune in another place, he discussed with Almayer and convinced him to marry her. He promised Almayer his treasures will be Almayer‘s if he agrees on the arranged marriage (AF, Chapter 1:8). AF and LJ show us how the representation of the Malays in Borneo is portrayed in various points of view13: 13
S. Koon, Wong. op. cit., p. 31. 21
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Marlow- the narrator, Jim and Almayer- the protagonists and of Nina and Jewel- the females who have ‗the voices‘ in the novels. The ambivalence feeling has successfully been created upon the completion of reading both fictions. He ―did not really know anything about the Malays.‖14 To Conrad, evil and savageness are equally embedded in both the colonised and the colonisers.15 Hybridity can be traced in Nina and Jewel but the Others‘ traits in them win as opposed to the European traits.16 Spenser St John17 said the Malays are found on the whole to be very truthful, faithful to their relatives and devotedly attached to their children. Remarkably free from crime and when they commit them it generally about jealousy, Brave when they well led, they inspire confidence in their commanders; highly sensetive to dishonour, and tenacious as to the conduct of their countrymen towards them, remarkably polite in their manners, they render agreeable all inter-course with them. Malays are greatly accused of great idleness; in one sense they deserve it; they do not like continous work, but they do enough to support themselves and families in comfort, and real poverty is unknown among them. No relative is abandoned because he is poor, or because an injury or an illness may have incapicitated him for work. I like the Malays, although I must allow that I become weary of having only them with whom to assosiate 18. In my opinion, the Europeans sailing and expedition are viewed as exploration and holy mission to civilise the Eastern inhabitants however if the Malays do the same, venturing and exploring new routes or 14 15 16 17
18
Ibid., p. 31. Ibid., p. 38. Ibid., p. 37. St. John, Spenser. 1862. Life in the forests of the Far East. Kuala Lumpur: Oxford University Press, as cited in G, Baring & C. A. Bampfylde. 1909. History of Sarawak. London: Henry Southen Co., p. 29. St. John, Spenser, op. cit. 22
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
territories, they are viewed as ‗lanun‘ or ‗pirates‘. Jim, too, become quite lofty in Patusan. He impresses the natives and tries to do things ‗for the people‘s good‘ and gains himself a ‗Lordship‘ (LJ, Chapter 1: 4). Jim is trapped in his new world in the process to cover his guilt over unwise decision on Patna. He is there in the mercy of the native leader, Doramin. (LJ, Chapter 23: 137) After a visit to Santubong, Sarawak in 1885, Alfred Russel Wallace agreed that ‗in the character, the Malay is impassive. He exhibits a reserve, diffidence, and even bashfulness, which some degree attractive and leads to think that the ferocious and bloodthristy character imputed to the race must be exaggerated19 (Chapter 40:442). Conrad condemns Doramin, his ally in Patusan as well as his former captor, Rajah Allang. This is where I was prisoner for three days," he murmured to me (it was on the occasion of our visit to the Rajah), while we were making our way slowly through a kind of awestruck riot of dependants across Tunku Allang's courtyard. "Filthy place, isn't it? And I couldn't get anything to eat either, unless I made a row about it, and then it was only a small plate of rice and a fried fish not much bigger than a stickleback-confound them! … .. Some poor villagers had been waylaid and robbed while on their way to Doramin's house with a few pieces of gum or beeswax which they wished to exchange for rice. "It was Doramin who was a thief," burst out the Rajah Allang. (LJ, Chapter25:146)
19
Wallace, Alfred Russell. 1862. The Malay Archipelago, Vol. II. London, Macmillan and Co. 23
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
He detests the ways the natives bow and enslave themselves to Doramin. If Doramin were an evil person, the Patusanis may have rebelled and joined Rajah Allang side. He [Doramin] was the chief of the second power in Patusan. … intelligent, enterprising, revengeful, but with a more frank courage than the other Malays, and restless under oppression. They formed the party opposed to the Rajah. (LJ, Chapter 26 : 150) Conrads portrays Jim as a hero through Marlow‘s narration. The natives then acknowledged the wisdom and guidance from this foreign man who is not ‗one of them‘ so truthfully abide his advise not to charge the white pirates by the name of Gentleman Brown who secretly makes a plot to attack Dain Waris camp that causes his life and later Jim‘s. I know that Brown hated Jim at first sight. Whatever hopes he might have had vanished at once. This was not the man he had expected to see. He hated him for this-- … he cursed in his heart the other's youth and assurance,… (LJ, Chapter 41: 222) Conrad placed ‗Jim‘ as a pure and accessible. Marlow and Jim narrate to ‗us‘ what are they doing, thinking and feeling. This ‗Jim‘ must go through the dirt, stench, and mudstained natives to regain the honour after the Patna Affair20 (LJ: Chapter 13: 89). Dain Waris is the only son of Doramin, the leader of Patusan (LF: Chapter 26:152). Jim is betrayed not by natives but his fellow Europeans, namely Cornelius and Gentleman Brown. He lets Brown passes through Patusan 20
A ship carrying 800 Muslim Pilgrims to Mecca that Jim and the crew abandoned out of fear it may sank. He went to a public Inquiry for it and was discharged from all his seafaring position before he went to Patusan. 24
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
as an act of being a gentleman to a person who knows his secret. He regards Brown as one of his (kind) and this unwise decision makes him lose his sidekick, Dain Waris in the hands of Brown‘s band. Tamb' Itam, disordered, panting, with trembling lips and wild eyes, stood for a time before her as if a sudden spell had been laid on him. Then he broke out very quickly: "They have killed Dain Waris and many more. (LJ, Chapter 45: 23) However, in order to show that he is an honourable white man, he had to choose whether to run for his life as asked by his mistress, a half-bred Jewel or to face the music (LJ, Chapter 9:65 ). He had ‗jumped off Patna‘ once and had been feeling so guilty about it so he decided to see Doramin and die as a noble man Eight hundred living people, and they were yelling after the one dead man to come down and be saved. 'Jump, George! Jump! Oh, jump!' (LJ: Chapter 9: 64) In my observations, ‗Where there are seas and rivers, there will be Malays‘. They look for food just enough to be consumed by their families and if there is extra, they will give it away as sedekah21 to their neighbours or relatives and rarely for them to sell it. They like to work by themselves and at their own convenient time. By this, they are not under anybody‘s order. This way of life did not agree to what the coloniser wanted them to become. Working freely and not governed by the rules of the coloniser had cause them to be seen as living their lives as pirates – not complying to the Western 21
A gift to (usually) less fortunate as a token of charity or goodwill, hoping to be blessed and may be receiving helps in the future if they are bound to any shortcomings. 25
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
standards. In a way, I personally feel think the colonisers have the oppurtunity to interfere with the Malays‘ world to ‗save‘ them from committing uncivilised act. Anthony Milner (2011) says being Malay means ―...different things in different places, and at different times,‖22 and that Malay identity has ―...entailed a fusion of Western notion of ethnicity and older, local ‗Malay‘ concepts of community.‖23 In other words, the formulation of Malay identity is a construct that is based on the changing circumstances surrounding the Malay communities, and that there are differences in the meaning of Malay identity in the different communities identified as Malay. Within this tradition are also those studies which assert that Malay as a group does not exist, and that Malay identity is not based on the group‘s inherent cultural values and traditions, and that Malay identity is a construct of the British colonialists. These some how gave them the green light to civilise and modernise the ‗savage‘ society. We can see in AF, Chapter II, 16: ―You can‘t make her white. It‘s no use you swearing at me. You can‘t. She is a good girl for all that.‖ MacIntyre (1967:71) states that the colonial reports emphasise the inordinate influence of colonial ideologies and the element of ‗racial superiority‘ that as a whole represents how the Western generally perceived the indigenous world. Jim came to Patusan when the village was in the middle of a conflict with the aristocrats in powers. The village was caught in the power struggle between Raja Allang and Doramin. Let me show some contradicting notes describing the Malays. 22
23
Milner looked at different communities where the term Malay had been used to identify the communities, for example, Malays of Patani (South Thailand), Malays in Eastern Sumatra, Malays in Northeast Sumatra or Riau regions and Malays on the Peninsula. Anthony Milner, 2008. The Malays. Oxford: Wiley-Blackwell Publication. Ibid., p. xi. 26
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Generally, it is assumed that Conrad felt guilty of his betrayal to Poland and his writings in English Language. Reading his writings can make us feel confused of in what position actually Conrad was.24 He was seen as ambivalent towards the subject of his writings – the Malays. The Malays are stereotyped like the way the blacks are seen by the Victorian society. His portrayal of the Malays as dependent and indecisive thus they need to have a leader out from their circle from a greater knowledge and civilisation to rule. As the Malays are traditionally benevolent and loyal to their ruler, they empower the new leader from the West as seen in Lord Jim. In order to remain in the powerful alliance when chaos struck their village, the Malays followed and respected the ‗white stranger‘ whom their leader befriended. To endorse their acceptance of him, he was given a ‗Lordship‘ title ‗Tuan Jim‘ or ‗Lord Jim‘. (LJ, Chapter 1:5) In Lord Jim, Marlow25 reported to the Court of Inquiry26 about his amazement regarding the attitude of the two Malay helmsmen. He said that ―They were amongst the natives of all sorts brought over from Aden to give evidence at the inquiry. One of them... was very young, ... smooth... yellow,... looked younger‖ (LJ, Chapter 9:58). The image of youthfulness here suggests immaturity and inferior intelligence of these witnesses. Marlow added that the only contribution of the Malays witnesses of the Patna incident was by saying ―nothing‖ and ―thought of nothing‖ (LJ, Chapter 9:58). 24
25 26
Bignami, Marialuisa. 1987. “Joseph Conrad, The Malay Archipelago, and the Decent Hero”, RES New Series. Vol XXXVIII, No. 150, p. 199. A narrator and a character in Lord Jim. A public Inquiry was held to investigate the Patna Affair in which the ship white officials including Jim had abandoned at sea. This ship was in her passage to Mecca to send in about 800 Bugis Muslim pilgrims and commanded by a German. They reported that the ship had sank in the ocean but it was discovered later and towed safely, so an inquiry was initiated. 27
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Marlow met Jim at the Inquiry. He introduced him to Stein and brought him to Patusan (LJ, Chapter 19:117). Starting from here, we can see how Conrad described more on the characteristics of the Malays or some time the natives of Patusan and their surrondings. Jim described ―Doramin and his little motherly witch of a wife, gazing together upon the land and nursing secretly their dreams of parental ambition; Tunku Allang, wizened and greatly perplexed; Dain Waris, intelligent and brave, with his faith in Jim, with his firm glance and his ironic friendliness; the girl, absorbed in her frightened, suspicious adoration; Tamb' Itam, surly and faithful; .. (LJ, Chapter 35:193 ) and ―Patusan establishment, ... four corner-posts of hardwood leaned sadly at different angles: the principal storeroom... oblong hut, built of mud and clay; it had at one end a wide door of stout planking, which so far had not come off the hinges, and in one of the side walls there was a square aperture, a sort of window, with three wooden bars‖. (LJ, Chapter 31:174) The Europeans‘ mission to the Patusan and Sambir through Conrad‘s Malay Fictions affirms the white man‘s burden28. It is the ‗burden‘ that they have to carry everywhere the Europeans set their feet on as a symbol if responsiblity and noblity. Almayer hopes that Sambir to be taken over by the British, because to him, it shall be the Europeans ―who knew how to develop a rich country.‖ (AF, Chapter V:28). The philoshofical messege behind ‗The White Man Burden‘29 is showed in: 27
27
28
29
A German adventurer and a businessman who helped Jim to get a job in Patusan. The supposed duty of the White race to bring education and Western culture to the non-White inhabitants of their colonies. Collins English Dictionary. 2003. HarperCollins Publishers. A rhetorical argument to justify the needs of the white men to colonise and rule the Others and their nation for the benefit of those seen as „uncivilised‟ and „immoral‟ in their standard even though, the colonisers do not need to possess the quality 28
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
―This bunch of miserable hovels was the fishing village that boasted of the white lord's especial protection, and the two men crossing over were the old headman and his son-in-law. ...confidently. The Rajah's people would not leave them alone; there had been some trouble about a lot of turtles' eggs.‖ (Lord Jim: Chapter 35) Conrad portrayed the natives as troublemakers out of a small issue and these ‗savages‘ like to complain to their superiors. He showed that these natives needed guidance and continuous monitoring in order to do things within the law. The descriptions on the Malay characters in Lord Jim are juxtaposed. Conrad did not want to give much credit to the positive image to his Malay characters. Phrases like ‗motherly witch‘ and ‗ironic friendliness‘ show his recluctance to admit the good traits possessed by the Others. In Christopher30 explores the point of view of the colonizer through the works of a few Victorian writers such as Joseph Conrad and Rudyard Kipling. The portion reveals the injustices of the colonizers that are the roots of the traumatic experiences of the colonized (Jerry Ellen:238). Lane recalls the questions of Joseph Conrad as to why the colonizers set off to colonize in the first place. Most importantly, he recalls Conrad‘s question as to what the colonizers desired from their colonies, and ―why their unsuccessful search for internal safety and redemption often turns this wanting into a rigid demand‖
30
that they want to commission unto the „savages‟ or „the Others‟. It consists of Eurocentric racism and of Western aspirations to dominate the eastern world. Lane, C. ‘Almayer’s Defeat: The Trauma of Colonialism in Conrad’s Early Work’, Novel: A Forum on Fiction 32, Vol. 3 (Summer 1999), pp. 401-28. 29
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
(p.404)31. The answers to these questions are somewhat explored in the article. The unenviable experiences of the colonized natives are thus depicted. Lingard and Almayer are both cunning characters and we can obviously see that in the novel. Conclusion As Bignami said that ‗Conrad never really stated his attitude to the British Empire,‘ 32 the way he drew up the images of natives and colonialists was different in both novels and we can sense the duality in the novelist‘ psychological mind. In Almayer‘s Folly, the European dies as an opiumaddict and a failed trader (AF, Chapter IV:24). He was unable to keep up with the dynamic characters like the Arabs who succeeded in their business; Dain Marolla, a charismatic leader of a royal blood; Nina, his half-bred and Westernised daughter who left him for a Malay; and betrayed by his ‗savage‘ wife (AF: Chapter XII: 53). AF, in a larger scale, a certain extend sympathises the natives and gives the winning to the Others. In Lord Jim, the natives are portrayed to be more idyllic and blindly obedient. The helmsmen of Patna, when they were asked during the Inquiry trial just doing their work as usual even though the ship was likely going to sink ‗they thought of nothing‘. The same response was seen during the Patna affair itself whereby the pilgrims did not rebel or yell at the ship officials as they jumped off the ship and abandoned them (LJ, Chapter 14: 94). They were indifferent and remained calm in the ship without any attempt to run or commit other foolish mistakes as the white officials expected them to be. Throughout the selected fictions, we can see that 31
32
Joseph Conrad. http://www.nines.org/print_exhibit/385 retrieved on 11 October 2012, 6.50 pm. Bignami, Marialuisa. 1987. op. cit., p. 199. 30
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
the Others‘ representation and the colonisers‘ eyes of expectations to the native to understand and be orderly in manners and ways to do business with outside world. References: Alatas, Syed. 1977. The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism. London: Cass. Andaya, Leonard .Y. 2011. Melayu: The Politics, Poetics and Paradoxes. Singapore. NUS. Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths, & Helen Tiffin. 1989. The Empire Writes Back: Theory and Practice in PostColonial Literatures. New York: Routledge. Bignami, Marialuisa. 1987. ―Joseph Conrad, The Malay Archipelago, and the Decent Hero‖, RES New Series. Vol XXXVIII, No. 150, pp.199-210. Brooke, J., & Mundy, R. 1848. Narrative of events in Borneo and Celebes, down to the occupation of Labuan: From the Journal of James Brooke, esq., Rajah of Sarawak and Governor of Labuan, together with a narrative of the operations of H.M.S. Iris (2nd ed.). London: John Murray. Clifford, Hugh. 1929. Bushwhacking and Other Asiatic Tales and Memories. New York: Harper & Brothers Clifford, Hugh. 1966. Stories by Sir Hugh Clifford, (Selected and introduced by William R. Roff). Kuala Lumpur: Oxford University Press Conrad, J. 1895. Almayer‘s Folly. London: Penguin Conrad, J. 1900. Lord Jim. London: J.M. Dent and Sons Ltd. Joseph N.F.M. a Campo. 2003. ―Discourse without Discussion: Representation of Piracy in colonial ‗Indonesia‘‖, Journal of South Asian Conrad Studies, 34 (2) pp.199-238. 31
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Leo Gurko. 1960. ―Under Western Eyes: Conrad and the Question of ‗Where to?‘‖, College English. Vol. 21, No. 8, pp. 445-450. Low, Hugh. 1848. Sarawak, Its Inhabitants and Productions: Being Notes during a Residency in That Country with H.H. the Rajah Brooke. London: Richard Bentley. Maaruf, Shaharuddin. 2002. Possibilities for Alternative Discourses in Southeast Asia: Ideology and the Caricature of Culture. Singapore: National University of Singapore. MacIntyre, W. D. 1967. The imperial frontier in the tropics, 1865-75. New York: St. Martin‘s Press. Said, Edward W., 1978. Orientalism. Hammondsworth: Penguin Books Ltd. Said, Edward W., 2008. Culture and Inperialism. NY: Vintage Books. St. John, Spenser. 1862. Life in the forests of the Far East. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Stern, H.H. 1992. Issues and Options in Language Teaching. Hong Kong: Oxford University Press. Swettenham, Frank (1920). British Malaya: An Account of the Origin and Progress of British Influence in Malaya. Fourth Edition, London: John Lane. Zawiah Yahya, 1994. Resisting Colonialist Discourse. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
32
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
PERPECAHAN KESULTANAN CIREBON Budi Prasidi Jamil Pemerhati Sejarah Kebudayaan Islam
Abstract Cirebon Sultanate was the first Islamic sultanate in West Java. At least a mention of the Sultanate of Syarif Hidayatullah rule began, around 1479 AD Although, in many sources, ancient manuscripts, that time had not been dubbed princes sultan, but still Panembahan or prince. In giving the title sultan to the kings or rulers do when the new Cirebon Cirebon sultanate was divided into two, namely Kasepuhan and Kanoman (circa 1677). The division of the two powers is also marks the beginning of the collapse of the Sultanate of Cirebon. And in 1700, the empire into four powers. Kasepuhan and Kanoman addition, there is also the Sultanate under Prince Arya Kacirebonan Cirebon, and Kaprabonan (Panembahan) under Prince Wangsakerta. Keywords: Syarif Hidayatullah, VOC, Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, Kaprabonan Abstraksi Kesultanan Cirebon merupakan Kesultanan Islam pertama di Jawa Barat. Penyebutan Kesultanan setidaknya dimulai sejak Syarif Hidayatullah memerintah, sekitar 1479 M. Meski, dalam berbagai sumber naskah kuno, waktu itu penguasa-penguasanya belum digelari sultan, tetapi masih panembahan atau pangeran. Sementara pemberian gelar sultan kepada raja-raja atau penguasa Cirebon baru dilakukan ketika Cirebon dibagi atas dua kesultanan, yaitu Kasepuhan dan Kanoman (sekitar tahun 1677). Pembagian dua kekuasaan tersebut sekaligus menandai awal keruntuhan Kesultanan Cirebon. Dan pada tahun 1700, kesultanan menjadi empat kekuasaan. Selain Kasepuhan dan Kanoman, terdapat juga Kesultanan Kacirebonan di bawah Pangeran Arya Cirebon, dan Kaprabonan (Panembahan) di bawah Pangeran Wangsakerta. Kata kunci: Syarif Hidayatullah, VOC, Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, Kaprabonan
33
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Pertumbuhan Kesultanan Cirebon Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan “jembatan” antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda. Dilihat dari sudut etimologi istilah Cirebon berasal dari dua kata, caruban dan ci+rebon. Caruban yang berubah menjadi carbon, lalu cerbon, dan akhirnya menjadi cirebon mengandung makna campuran; yaitu tempat yang didiami oleh penduduk dari berbagai bangsa, agama, bahasa, aksara, dan pekerjaan. Ci+rebon berasal dari cai dalam bahasa Sunda berarti air dan rebon berarti udang berukuran kecil sebagai bahan dasar pembuat terasi.1 Cirebon awalnya dikenal dengan sebutan Tegal AlangAlang atau Kebon Pesisir, kemudian berkembang menjadi pedukuhan (desa). Lokasi ini mulai menjadi ibukota kerajaan Islam pada perempat akhir abad 15. Kepala desa (kuwu) pertama adalah Ki Gedeng Alang-Alang (paman dari Nyai Indang Geulis). Setelah Ki Gedeng Alang-Alang meninggal, Ki Samadullah diangkat menggantikan Ki Gedeng Alang-Alang sebagai kuwu (kepala desa) dan bergelar Pangeran Cakrabuana.2 Pada awal abad ke 15, Cirebon masih di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Siliwangi. Pangeran Walangsungsang dijadikan Kuwu Cirebon menggantikan Ki Gedeng Alang-Alang menjadi Kuwu 1 The Toyota Foundation dan Hj. Patimah, ENSIKLOPEDIA SUNDA Alam, Manusia, dan Budaya TERMASUK BUDAYA CIREBON DAN BETAWI. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2000. Hal, 166. 2 Lubis, Nina, dkk, Sejarah dan Perkembangan Kota-kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqaprint Jatinangor, Juli 2000. Hal, 29.
34
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Cirebon dan diberikan gelar oleh ayahnya yaitu Sri Mangana. Lalu Pangeran Cakrabuana dan Nyai Lara Santang melaksanakan ibadah haji ke Mekkah atas perintah gurunya, Syaikh Nur Jati. Sepulang dari Mekkah, beliau memindahkan pusat pemerintahannya ke Lemahwungkuk. Di sanalah kemudian didirikan keraton baru yang dinamakan keraton Pakungwati.3 Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulai ketika dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Ia juga kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Sunan Gunung Jati memerintah Cirebon menggantikan Pangeran Cakrabuana sejak tahun 1479 sampai dengan wafatanya pada tahun 1568 M. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Pasarean, namun Pangeran Pasarean meninggal terlebih dahulu pada tahun 1552 M. Selain Pangeran Pasarean, pengganti Sunan Gunung Jati adalah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565. Fatahillah kemudian naik tahta, Fatahillah menduduki tahta kesultanan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, tahta kerajaan jatuh kepada Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun hingga tahun 1649. 3 Van Hoeve, PT. Ichtiar Baru, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994. Hal, 272-273.
35
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Terpecahnya kesultanan Cirebon menjadi empat kesultanan, yaitu Kasepuhan, Kanoman, Kaprabonan, dan Kacirebonan dimulai setelah wafatnya Pangeran Girilaya (1662 M). Perpecahan pertama terjadi pada tahun 1678 Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan Banten) setelah berhasil membebaskan kedua putra Panembahan Girilaya melalui Raden Trunojoyo, kemudian mengangkat Pangeran Martawidjaya (Pangeran Samsudin) sebagai Sultan Sepuh/Kasepuhan yang pertama, Pangeran Kertawidjaya (Pangeran Badrudin/Komarudin) menjadi Sutlan Anom/Kanoman yang pertama, sedangkan Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan Cirebon.4 Keadaan ini bertambah parah ketika Cirebon berada di bawah kekuasaan VOC, dimulai dengan perjanjian yang terjadi pada 7 Januari 1681 yang menandakan bahwa Cirebon bersahabat dengan VOC. Terjadi serangkain perjanjian antara para penguasa Cirebon dengan VOC yang dimulai pada tahun 1681, 1685, 1688, dan 1699. Maka secara otomatis sejak perjanjian pertama pada tahun 1681, secara politik dan ekonomi Cirebon dikuasai oleh VOC. Perpecahan kedua dimulai ketika Sultan Anom I meninggal dunia pada tahun 1723, beliau mempunyai dua orang putra. Putra pertamanya menjadi pengganti ayahnya sebagai Sultan Anom II, yaitu Sultan Anom Muhammad Chadiruddin. Putra keduanya yaitu Pangeran Raja Adipati Kaprabonan mendirikan keraton Kaprabonan dengan gelar Rama Guru Pangeran Raja Adipati Kaprabonan.5 Ketika wafatanya Sultan Anom IV atau Sultan Muhammad Khaerudin (1798-1803), putranya yaitu Pangeran Raja Kanoman mendirikan keraton baru yaitu Kacirebonan. Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh 4 Tim Penulis ISDN, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera, Jakarta: Proyek ISDN Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1998. Hal, 38-40. 5 Sulendraningrat, P. S., Sejarah Cirebon, Jakarta: Balai Pustaka, 1985, hal, 75.
36
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran.6 Sedangkan tahta Sultan Anom V dijabat oleh saudaranya yaitu Sultan Anom Abu Soleh Imamuddin. Sejak saat itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Pada tanggal 2 Februari 1809, Pemerintah Belanda mengeluarkan kembali peraturan khusus mengenai jabatan sultan-sultan Cirebon. Dalam peraturan yang dikeluarkan, Daendels menghapus kekuasaaan politik kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, serta ketiga sultan dijadikan pegawai pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ketika Inggris menggantika kedudukan Belanda di Nusantara, Thomas Stamford Raffles yang menjadi Gubernur Jenderal mengeluarkan peraturan pada tahun 1815 mengenai sultansultan Cirebon, kekuasaan kesultanan Cirebon dihapus oleh Raffles, dan semenjak itu sultan-sultan Cirebon hanya sebagai pemangku adat. Terpecahnya Kesultanan Cirebon a. Perpecahan I (Kasepuhan dan Kanoman) Dengan wafatnya Panembahan Girilaya tahun 1662 M, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Raden Trunojoyo, yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Raden Trunojoyo dan Banten mempunyai musuh yang sama, yaitu 6 Sunardjo, R. H. Unang, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, Bandung: Tarsito, 1983, hal. 164.
37
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Mataram dan VOC.7 Di sini terlihat kelemahan politik dan militer Cirebon. Secara politik, mereka tak mampu untuk berdiplomasi kepada pihak Mataram untuk membebaskan kedua pangeran Cirebon. Secara militer, mereka tak mampu untuk membebaskan kedua putra dari Panembahan Girilaya yang masih berada di Mataram. Oleh karena mereka tak mampu, maka mereka meminta bantuan kepada pihak Banten yang saat itu dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa sendiri memang sedang membantu Raden Trunojoyo yang sedang memerangi Mataram, bantuan itu diberikan dalam bentuk pasukan, kapal, dan meriam. Raden Trunojoyo adalah orang Madura, ayahnya adalah Raden Demang Malaya bergelar Pangeran Sampang yang pernah memerintah daerah Madura. Raden Trunojoyo merasa sakit hati atas kematian ayahnya yang dibunuh oleh Susuhunan Amangkurat di Mataram pada tahun 1656, maka ia mulai mengumpulkan kekuatan untuk membalas sakit hatinya. Setelah bersekutu dengan Raden Kajoran (mertuanya), Pangeran Dipati Anom (putra mahkota Mataram). Kemudian ia bersekutu dengan orang-orang Makassar yang dipimpin oleh Kraeng Galesong yang bermukim di Jawa Timur. Selain itu, ia meminta bantuan kepada Sultan Ageng Tirtayasa. Tahun 1677, Raden Trunojoyo bekerja sama dengan Sultan Agung Tirtayasa untuk menyerang Mataram. Kerja sama itu diwujudkan dengan bantuan Sultan Ageng Tirtayasa kepada Raden Trunojoyo dengan mengirimkan bantuan perlengkapan perang.8 Akibat dari serangan itu, Raden Trunojoyo berhasil menduduki keraton Mataram, dan juga kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa ke Kediri, dari Kediri keduanya 7
Lubis, Nina H.,, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama, Jawara, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003. Hal, 51. 8 Edi. S, Ekadjati & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, Bandung: Kerjasama Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat dan Fakultas Sastra Universitas UNPAD, 1992. Hal, 131.
38
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dibawa ke Banten. Tahun 1678 kedua Pangeran Cirebon kembali ke Cirebon untuk kemudian dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon. Pangeran Martawijaya sebagai Sultan Sepuh atau Kasepuhan yang pertama dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin, Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Anom atau Kanoman yang pertama dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin, dan Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi asisten dari Sultan Sepuh sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati. 9 Maka sejak dinobatkannya Pangeran Martawijaya sebagai Sultan Sepuh pertama dan Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Anom pertama, Cirebon terpecah menjadi dua kesultanan yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman mempunyai keraton, adapun Pangeran Wangsakerta jabatannya hanya sebagai Panembahan saja atau pembantu dari sultan Sepuh. Keraton Kasepuhan sendiri bertempat di keraton Pakungwati sedangkan keraton Kanoman bertempat di bekas rumah Pangeran Cakrabuana yang dibangun pada tahun 1675 M (daerah Lemah Wungkuk), dan Panembahan Tohpati bertempat tinggal di keraton Kasepuhan.10 Di sisi lain, sejak Pangeran Wangsakerta diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan pimpinan di Cirebon lalu dibebaskannya sampai diangkatnya Pangeran Martawidjaya sebagai sultan Sepuh, Pangeran Kertawidjaya sebagai sultan Anom, dan Pangeran Wangsakerta sebagai Panembahan Tohpati maka kekuasaan Banten mulai masuk ke Cirebon. Namun hal ini tidak berlangsung lama, hanya berlangsung sampai tahun 1681 ketika Cirebon menjalin hubungan dan kerja sama dengan VOC. Beralihnya kekuasaan Banten di Cirebon kepada VOC adalah hasil politik adu domba yang dilancarkan VOC kepada 9
Sulendraningrat, P.S., Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka,1985.
Hal, 73. 10
39
Sulendraningrat, P.S.,, Sejarah Cirebon, hal, 73.
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Sultan Haji, anak Sultan Ageng Tirtayasa. VOC mendekati dan menghasut Sultan Haji, Sultan Haji termakan hasutan VOC sehingga Sultan Haji khawatir jika tahta sultan akan diserahkan ayahnya kepada saudaranya yaitu Pangeran Arya Purbaya. Kekhawatiran Sultan Haji pada akhirnya meminta bantuan kepada VOC untuk merebut tahta kesultanan Banten dari tangan ayahnya. VOC bersedia membantu Sultan Haji dengan empat syarat, yaitu : Pertama, Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC, kedua monopoli lada di Banten dipegang VOC dan harus menyingkirkan Persia, India, dan Cina. Ketiga, Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, keempat pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera ditarik kembali.11 Syarat ini diterima oleh Sultan Haji, VOC membantu dengan mengerahkan pasukan untuk memerangi Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya hingga akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap pada tahun 1683 dan dipenjara di Batavia sampai wafat pada tahun 1692 M.12 Sejak beralihnya kekuasaan Banten kepada VOC di Cirebon, VOC mulai memainkan perannya untuk menguasai Cirebon secara politik dan ekonomi. Secara politik, mereka mendekati sultan-sultan Cirebon untuk memudahkan mereka menguasai perdagangan dan jalannya perekonomian di Cirebon. Sampai pada akhir abad ketujuh belas, terjadi sampai empat kali pembuatan perjanjian dengan VOC, yaitu tanggal 7 Januari 1681, 4 Desember 1685, 8 September 1688, dan 4 Agustus 1699.13 b. Perpecahan II (Kacirebonan dan Kaprabonan)
11
Lubis, Nina H.,, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama, Jawara, hal. 52. 12 Lubis, Nina H.,, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama, Jawara, hal. 54. 13 Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, hal. 74.
40
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Ketika Sultan Anom I meninggal dunia pada tahun 1723, beliau mempunyai dua orang putra. Putra pertamanya menjadi pengganti ayahnya sebagai Sultan Anom II, yaitu Sultan Anom Muhammad Chadiruddin. Putra keduanya yaitu Pangeran Raja Adipati Kaprabonan mendirikan keraton Kaprabonan dengan gelar Rama Guru Pangeran Raja Adipati Kaprabonan.14 Keraton Kaprabonan ini tidak seperti Kasepuhan dan Kanoman, keraton Kaprabonan adalah tempat belajarnya para intelektual keraton, cita-cita beliau mendirikan keraton Kaprabonan adalah mengembangkan agama Islam sesuai perjuangan para Waliyullah terdahulu, terutama karuhunnya Sunan Gunung Jati. dari keraton Kaprabonan inilah berkembang tarekat Syattariyah di lingkungan keraton Cirebon. Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV atau Sultan Muhammad Khaerudin (1798-1803). Setelah Sultan Anom IV wafat, Putra Mahkota yaitu Pangeran Raja Kanoman Anom Madenda yang seharusnya menggantikan tahta diasingkan oleh Belanda ke Ambon karena dianggap sebagai pembangkang dan membrontak. Ketika kembali dari pengasingan, tahta kesultanan sudah diduduki oleh Pangeran Abu Soleh Imamuddin. Kemudian Pangeran Raja Kanoman ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan. Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran.15 Sejak saat itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu 14
Sulendraningrat, P.S.,, Sejarah Cirebon, hal, 75. Sunardjo, R.H. Unang,, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, Bandung: Tarsito, 1983 hal. 164. 15
41
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abu Soleh Imamuddin, saudara Pangeran Raja Kanoman.16 Dengan terbaginya kesultanan Cirebon menjadi kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, tentunya juga terjadi perubahan dalam penentuan wilayah. Namun tidak ada informasi yang jelas mengenai pembagian wilayah antara tiga kesultanan tersebut. Melihat situasi saat itu, pembagian wilayah secara definitif belum dilakukan. Jadi wilayah kesultanan Cirebon yang ditinggalkan oleh Panembahan Girilaya dilakukan secara bersama. Ketika VOC mengalami kebangkrutan pada tahun 1799, pemerintah kerajaan Belanda segera mengambil alih sehingga sejak tahun 1799 Nusantara di bawah kekuasaan Pemerintah Kolonial Kerajaan Hindia Belanda, bukan lagi sebuah kongsi dagang. Ketika Daendels menjadi Gubernur Jenderal di Nusantara, tahun 1808 Daendels membagi pulau Jawa menjadi tiga bagian. Yaitu :17 1. Batavia dan Jascatrasche Preanger-regentstschappen (Tangerang, Karawang, Bogor, Cianjur, Sumedang, Bandung, dan Parakanmuncung). 2. Kesultanan Cirebon dan Cheribonsche Preanger Regentschappen (Limbangan, Sukapura, Galuh). 3. Pesisir Utara Pulau Jawa bagian Timur (Noord Oostkust) dan wilayah ujung timur Pulau Jawa (Oosthoek). Dari ketiga pembagian tersebut, ada dua wilayah yang dijadikan karesidenan, yaitu Batavia dan Kesultanan Cirebon. Karesidenan dikepalai oleh seorang Residen bangsa Belanda, dan memiliki pasukan pengaman sendiri di bawah komando 16 Sunardjo, R.H. Unang,, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, hal. 164. 17 Tim Penulis ISDN, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera, Jakarta: Proyek ISDN Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998, hal. 13-14.
42
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
residen. Pada tanggal 2 Februari 1809, Pemerintah Belanda mengeluarkan kembali peraturan khusus mengenai pembagian wilayah kekuasaan di Cirebon. Wilayah Cirebon dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Bagian utara disebut wilayah kesultanan Cirebon yang meliputi daerah Kuningan, Cirebon, Indramayu, dan Gebang. 2. Bagian selatan yang disebut dengan Priangan meliputi Limbangan, Sukapura, Galuh. Sebulan kemudian (13 Maret 1809), diatur pembagian wilayah kekuasaan. Bagian utara dipimpin oleh tiga orang sultan yang sudah menjadi pegawai pemerintah kolonial Belanda (Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan). Wilayah Kasepuhan yaitu bagian selatan yang daerahnya meliputi Kabupaten Kuningan, dan Cirebon. Bagian tengah menjadi daerah Kanoman (sekarang Majalengka), dan Kacirebonan wilayahnya adalah Indramayu. 18 Selain pembagian wilayah, Daendels juga mengatur jabatan ketiga sultan Cirebon. Dalam peraturan yang dikeluarkan, Daendels menghapus kekuasaaan politik kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, serta ketiga sultan dijadikan pegawai pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Fungsi sebagai kepala pemerintahan digantikan oleh bupati yang diangkat oleh Gubernur Jenderal.19 Ketika Inggris menggantikan kedudukan Belanda pada Oktober 1811, Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah adalah Thomas Stamford Raffles. Ketika kekuasaan Inggris hampir berakhir pada tahun 1815, Raffles memberikan ketiga sultan Cirebon pensiun. Sejak saat itu sultan-sultan Cirebon untuk selanjutnya hanya berstatus sosial sebagai “Pemangku Adat”, pemerintah Belanda pun yang kembali menggantikan Inggris tidak merubah keputusan yang telah dibuat dan 18
Tim Penulis ISDN, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera, hal. 14. 19 Sunardjo, R.H. Unang,, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, hal. 163.
43
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
ditetapkan Cirebon.20
oleh
Raffles
tentang
jabatan
sultan-sultan
Dampak Perpecahan Kesultanan Cirebon Ekonomi Dari letaknya, Cirebon mempunyai letak geografis yang menguntungkan dalam hal perekonomian. Cirebon terletak di pesisir utara pulau Jawa, juga merupakan mata rantai dalam jalur perdagangan internasional di kepulauan Nusantara dan perairan Asia. Pada awalnya Cirebon mempunyai tiga pelabuhan, Muara Jati, Japura, dan Singapura. Ketiganya berada dalam kekuasaan kerajaan Galuh sebelum Cirebon berdiri sebagai sebuah kesultanan yang berdaulat dan berdiri sendiri. 21 Berawal dari sebuah desa, Cirebon berkembang menjadi ibukota kesultanan yang ekonominya ditopang dengan perdagangan. Lambat laun situasi Cirebon menjadi ramai akibat adanya migrasi penduduk dari luar Cirebon, pada mulanya penduduk asli Cirebon adalah orang sunda kemudian bercampur dengan orang Jawa, Melayu, Cina dan Arab. Sebagian para pendatang yang membeli produksi Cirebon (terasi, petis, garam, beras dan palawija) menetap di Cirebon. Kegiatan perdagangan dan perekonomian terus berkembang termasuk pertanian. Para pedagang Cina Islam dan Cina yang datang ke Cirebon, kegiatan perdagangannya masih dalam tahap jual-beli dengan cara barter. Produksi pertanian dari daerah pedalaman Cirebon, barang-barang kerajinan dan barang dagangan yang lain ikut meramaikan perdagangan. Sejak abad ke 15, Cirebon menjadi produsen beras di Jawa. Selain beras, Cirebon juga menghasilkan lada, 20
Sunardjo, R.H. Unang,, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, hal. 163. 21 Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, Bandung: Kerjasama Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat dan Fakultas Sastra Universitas UNPAD, 1992, hal. 44.
44
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
kayu atau papan, garam, ikan asin, terasi, dan palawija. 22 Abad ke 17, perekonomian Cirebon terus berkembang dengan bertambahnya aktivitas perdagangan terlebih setelah dibukanya pelabuhan baru di samping pelabuhan Muara Jati. Kondisi ini dikarenakan keamanan dalam negeri terjamin, sehingga pembangunan sarana dan prasarana perekonomian dapat dilaksanakan, antara lain pasar.23 Aktivitas perdagangan Cirebon pada tahun 1678 sampai 1681 sangat ramai. Barang-barang Cirebon yang diekspor ke kota-kota pelabuhan lain (khususnya Batavia) adalah beras, padi, lada, papan, gula hitam dan merah, tembakau, minyak kelapa, kacang hitam, ikan, garam, bawang merah dan putih, kelapa, buah pinang, kapuk/kapas, sapi, kambing, kulit kerbau, kulit rusa, kendi, dan rotan. Sedangkan barang-barang yang masuk ke Cirebon antara lain, pakaian, candu, arak, laksa, gula putih, porselin, lilin, tembaga, besi tua, perunggu Jepang, panic besi, dan akar cina.24 Perekonomian Cirebon mulai goyah dan merosot terjadi pada perempat akhir abad ketujuh belas, hal ini karena peristiwa-peristiwa yang langsung mengganggu jalannya roda pemerintahan terutama campur tangan VOC dalam pemerintaha para sultan Cirebon. Peristiwa itu diawali dengan perpecahan yang terjadi di kesultanan Cirebon, Cirebon terpecah menjadi Kasepuhan, Kanoman, Kaprabonan, dan Kacirebonan. Lalu masuknya pengaruh VOC ditandai dengan perjanjian yang berlangsung antara para sultan Cirebon dan VOC. Perjanjian yang terjadi pada tanggal 7 Januari 1681 (copy dari asrip perjanjian ada di lampiran), memuat persyaratan yang menguntungkan pihak VOC khususnya 22
Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, hal. 152. 23 Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, hal. 153. 24 Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, hal. 155.
45
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dalam hal perekonomian. Di antara isi dari perjanjian tersebut yang menyangkut perekonomian adalah :25 a. Ditentukannya hubungan ekonomi antara VOC dan Cirebon. b. VOC mendapat hak monopoli eskpor beras, hak monopoli atas impor candu, pakaian, dan kapas serta gula, kayu, dan produk lain dari Cirebon. c. VOC berhak membangun benteng di Cirebon. d. Perdagangan orang-orang pribumi dibatasi dan diawasi dengan ketat. e. Para pedagang pribumi harus mendapat izin dari VOC. Perjanjian di atas adalah bentuk penerapan dan modus dari strategi VOC politik VOC yang sebelumnya berhasil melumpuhkan Mataram maka sasaran VOC selanjutnya adalah Cirebon. Bagi Cirebon, perjanjian tersebut adalah awal dari merosotnya kegiatan ekonomi Cirebon dan jatuhnya kedaulatan Cirebon. Berarti sejak tahun 1681, bidang perekonomian utama yaitu perdagangan, baik ekspor dan impor jatuh ke tangan VOC. Di sisi lain, perekonomian orang-orang pribumi dalam hal perdagangan mengalami kemerosotan dibandingkan dengan sebelumnya.26 Dalam setiap perjanjian, VOC bertindak sebagai saksi sekaligus penengah dan peraih untung. Politik Secara politik, goyahnya kedaulatan Cirebon sebagai sebuah kesultanan yang berdiri tegak sudah terasa sejak wafatnya Panembahan Ratu I. Ketika Panembahan Ratu I menjadi sultan, secara ekonomi maupun politik Cirebon masih stabil karena usaha Panembahan Ratu I yang selalu menjaga kedamaian dan persahabatan dengan Banten dan 25
Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, hal. 160. 26 Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, hal. 161.
46
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Mataram serta VOC. Panembahan Ratu I pun berusaha semaksimal mungkin menjadi pihak yang netral dan penengah antara Banten dan Mataram, Panembahan Ratu I menyadari jika terjadi peperangan antara Banten dan Mataram maka Cirebon akan terkena dampak dari peperangan tersebut baik secara ekonomi dan politik. Maka untuk mencegah hal itu terjadi, beliau berusaha sekeras mungkin untuk menjaga kestabilan roda pemerintah, dan ekonomi kesultanan Cirebon. Di sisi lain, Panembahan Ratu I mempunyai nilai lebih di mata Sultan Agung Mataram. Nilai lebih itu adalah Sultan Agung Mataram sangat menghormati Panembahan Ratu I, beliau dianggap guru dan keramat oleh Sultan Agung Mataram. Penghormatan Sultan Agung Mataram ini dibuktikan ketika Sultan Agung Mataram masih menjadi Senapati Mataram dengan membangun tembok di sekeliling kota Cirebon pada tahun 1590 M, lalu diundangnya Panembahan Ratu I sebagai bentuk penghormatan terhadap guru dan karena Cirebon lebih sepuh ketika penobatan Raden Mas Jolang sebagai Sultan Agung Mataram .27 Hal ini berubah ketika anak Raden Mas Jolang menggantikan ayahnya menjadi penguasa Mataram dengan gelar Susuhunan Amangkurat I tahun 1645, secara perlahan Susuhunan Amangkurat mulai merasuki kekuasaan Cirebon. Namun gelagat Susuhunan Amangkurat ingin menguasai Cierbon belum terlalu terlihat, karena Panembahan Ratu I saat itu masih hidup dan memimpin Cirebon. Ketika Panembahan Ratu I wafat pada tahun 1649, Panembahan Girilaya menggantikan menjadi sultan. Saat Panembahan Girilaya menjadi sultan, Susuhunan Amangkurat mulai melancarkan rencananya untuk menguasai Cirebon. Berawal dari tipuan yang dilakukan Tumenggung Singgaranu atas perintah Susuhunan Amangkurat, 27 Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, hal, 107.
47
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Panembahan Girilaya dirayu agar mau menyerang Banten. Sebelum Panembahan Ratu I wafat, beliau sudah berpesan kepada Panembahan Girilaya agar tidak ikut campur apabila Mataram ingin menyerang Banten. Namun pesan kakeknya dilupakan oleh Panembahan Girilaya, beliau bersedia dan menyanggupi permintaan Susuhunan Amangkurat untuk menyerang Banten. Maka akibatnya terjadilah apa yang disebut dengan Pagarage atau Pacarebonan, yaitu penyerangan pasukan Cirebon ke Banten. Karena penyerangan ini gagal maka ditahanlah Panembahan Girilaya dan kedua putranya di Mataram selama 12 tahun sampai 1677 (Panembahan Girilaya wafat 1662). Maka sejak Panembahan Girilaya memegang pimpinan Cirebon, Cirebon secara kedaulatan sudah jatuh meski memang Cirebon tetap berdiri sebagi sebuah kesultanan bukan sebagai daerah di bawah kekuasaan Mataram. Namun secara politik, Cirebon sudah lumpuh dengan mudahnya penguasa Cirebon dijadikan alat oleh Mataram untuk menguasai Banten, serta lemahnya politik Cirebon ketika Panembahan Girilaya ditahan oleh Mataram sampai akhir hayatnya tanpa ada perlawanan. Walaupun ada Pangeran Wangsakerta yang menjalankan roda pemerintahan di Cirebon, namun beliau tidak dapat berbuat banyak dan leluasa karena selalu diawasi dengan ketat oleh orang-orang suruhan Susuhunan Amangkurat.28 Ketika Panembahan Girilaya wafat pada tahun 1662 M, Sultan Ageng Tirtayasa langsung menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pejabat sementara. Lalu dikirimlah bantuan untuk Raden Trunojoyo membebaskan kedua saudara Pangeran Wangsakerta di Mataram, setelah bebas keduanya dinobatkan menjadi sultan dan Pangeran Wangsakerta menjadi panembahan. Di sini pun terlihat bahwa politik Cirebon bertambah lemah dengan mudahnya 28
Tim Penulis ISDN, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera, Jakarta: Proyek ISDN Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998, hal. 37.
48
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dipecah menjadi empat kesultanan (Kasepuhan dan Kanoman, Kaprabonan dan Kacirebonan setelah VOC). Jika politik Cirebon kuat, maka ketiga putra Panembahan Girilaya akan menolak dipecahnya kesultanan Cirebon menjadi dua oleh Sultan Ageng Tirtayasa meski mereka sudah ditolong oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa sangat ingin menjadikan Cirebon sebagai bawahannya, di sisi lain dengan memecah Cirebon menjadi Kasepuhan dan Kanoman membuat Cirebon tidak bisa mengumpulkan kekuatan baik secara moril, dan politik. Justru dengan dipecahnya kesultanan Cirebon menjadi kesultanan Kasepuhan dan Kanoman akan menimbulkan masalah-masalah baru, yaitu perselisihan di antara tiga penguasa ini karena masing-masing menganggap dirinya yang paling berhak menjadi pimpinan tertinggi kesultanan Cirebon. Kesimpulan Terpecahnya Kesultanan Cirebon menjadi Kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan mengawali mulai merosotnya eksisitensi Kesultanan Cirebon yang pada masa Sunan Gunung Jati mengalami masa kejayaannya. Hal ini disebabkan karena kalangan kesultanan Cirebon tidak lagi mempunyai tokoh kuat seperti Pangeran Cakrabuana, Sunan Gunung Jati, Tubagus Pasai atau Fatahillah, dan Panembahan Ratu I yang dalam pemerintahan dan politik mampu mengatasi permasalahan dan kemelut yang sering terjadi di lingkungan keraton Cirebon. Di sisi lain, kesultanan Cirebon tidak memiliki angkatan militer yang kuat sehingga dengan mudah dirongrong oleh kekuatan dari pihak luar (Banten, Mataram, dan VOC). Secara perlahan tapi pasti kekuasaan sultan-sultan Cirebon mulai berkurang dan dibatasi. Sejak akhir abad ketujuh belas, kekuasaan politik dan perekonomian Cirebon jatuh ke tangan VOC yang sebelumnya Mataram dan Banten terlebih dahulu menjadikan Cierbon sebagai bawahannya. Pada akhirnya, awal abad ke 19 kekuasaan politik para sultan 49
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Cirebon berakhir. Kedudukan dan peranan mereka digantikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, sejak saat itu eksistensi jabatan sultan-sultan dan kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan berstatus sebagai sosial sebagai “Pemangku Adat” dalam masyarakat dan budaya Cirebon. Daftar Pustaka AG, Muhaimin, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret Dari Cirebon, Jakarta: Logos, 2002. Alwi bin Thahir al-Haddad, Al Habib, Sejarah Masuknya Islam Di Timur Jauh, Jakarta: Lentera, 2001. Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2010. Dudung, Abdurrahman, Metode Penilitian Sejarah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.cet II. Ekadjati, Edi. S & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, Bandung: Kerjasama Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat dan Fakultas Sastra Universitas UNPAD, 1992. Graaf, H. J. De, Puncak Kekuasaan Mataram, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1990.cet II. ____________, Runtuhnya Istana Mataram, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1987. Hamdi, Mohammad, Dinamika Tarekat Syattariyah Di Lingkungan Keraton Cirebon:Skripsi Program Studi Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Harapan, Anwarudin, Dimensi Mistis, Historis, Pakuan Pajajaran, Jakarta: CV. Duta Kreasi Utama, 2007. Hidayat, Rahayu (Penerjemah), Orang Arab di Nusantara, Depok: Komunitas Bambu, 2010. Cet. I. ISDN, Tim Penulis, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera, Jakarta: Proyek ISDN Direktorat Sejarah 50
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998. Khoirul Anam, Faris, Manaqib Al-Imam Al-Muhajir Ahmad Bin Isa Leluhur Walisongo dan Habaib di Indonesia, Malang: Darkah Media, 2010. Lubis, Nina. H, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003. Lubis dkk, Nina, Sejarah dan Perkembangan Kota-Kota Lama Di Jawa Barat, Jatinangor Bandung: Alqaprint, 2000. Sanggupri Bochari, M & Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. Jakarta: CV. Suko Rejo Bersinar, 2001. Sulendraniningrat, P. S, Babad Tanah Sunda Babad Cirebon, 1984. ________________, Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka,1985. Sunyoto, Agus, Wali Songo Rekontruksi Sejarah Yang Disingkirkan, Jakarta: Trans Pustaka, 2011. Sutjiatiningsih, Sri, Banten Kota Pelabuhan Jalur Sutra. Jakarta: CV. Dwi Jaya Karya, 1995. Unang Sunardjo, R. H, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, Bandung: Tarsito, 1983. Van Hoeve, PT. Ichtiar Baru, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994. Zuhdi, Susanto (Penyunting), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah), Jakarta: CV. Defit Prima Karya, 1996.
51
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
CEPURI DI KOTAGEDE Bekas Inti Keraton Mataram yang Semakin Terlupakan Sugeng Riyanto & M. Chawari Balai Arkeologi Yogyakarta
Abstract Cepuri is now acknowledged as evidence of archaeological remains of the city center of Kotagede Mataram rule. Once the capital of the Sultanate of Mataram in Kotagedhe moved to Plered, various changes had influenced the site's presence in the Cepuri, including sites Watu Gilang and the remnants of the fortress walls. Field studies on Cepuri is done to track the things that are in the wall Cepuri, and expressly so far still very "closed". This complicates the spatial reconstruction in the scope Cepuri. Keywords: Sultanate of Mataram, archaeological remains, palace Abstrak Saat ini Cepuri merupakan salahsatu bukti tinggalan arkeologis Kotagede sebagai kota pusat pemerintahan Mataram. Setelah ibukota Kesultanan Mataram di Kotagede pindah ke Plered, berbagai perubahan telah mempengaruhi keberadaan situs yang terdapat di dalam Cepuri, termasuk situs Watu Gilang dan sisa-sisa tembok benteng. Studi lapangan terhadap Cepuri dilakukan untuk melacak apa saja yang berada di dalam tembok Cepuri, dan nyatanya hingga saat ini masih sangat “tertutup”. Hal ini menyulitkan dalam rekonstruksi ke ruangan dalam lingkup Cepuri. Kata kunci: Kesultanan Mataram, tinggalan arkeologis, keraton
52
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Kotagede menjadi pusat pemerintahan pada masa Panembahan Senopati dan sebagian masa Sultan Agung. Pada awalnya, wilayah Mataram merupakan perdikan di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang. Dalam perkembangannya, Ki Ageng Pemanahan menyerahkan wilayah Mataram kepada puteranya yang bernama Sutowijaya. Setelah ia menggantikan ayahnya kemudian membangun tembok keliling untuk memperkuat wilayah Mataram. Di dalam tembok keliling yang berbentuk empat persegi panjang tetapi tidak simetris inilah Cepuri - tempat raja berkediaman dan memerintah Mataram, dibangun. Melalui studi ini diharapkan mendapatkan berbagai makna yang terkandung di balik keberadaan Cepuri sebagai inti kebudayaan Mataram. 1. Cepuri sebagai Inti Keraton di Pusat Kotagede Pada awalnya, wilayah Mataram merupakan perdikan di bawah kekuasaan Kerajaan Pajang. Dalam perkembangannya, Ki Ageng Pemanahan menyerahkan wilayah Mataram kepada puteranya yang bernama Sutowijaya yang kemudian bergelar Raden Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya setelah menggantikan ayahnya kemudian membangun tembok keliling untuk memperkuat wilayah Mataram. Setelah tembok keliling dibangun, Sutowijaya kemudian menyerang Pajang dan berhasil mengalahkannya. Selanjutnya Sutawijaya menjadi raja Mataram yang pertama dan bergelar Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama. Olehnya Kotagede ditetapkan sebagai pusat pemerintahannya. Dalam masa pemerintahan Sutowijaya, kerajaan ini meluaskan kekuasaannya di berbagai wilayah di Jawa (Atmosudiro, 2002: 143 – 144). Kotagede menjadi pusat pemerintahan pada masa Panembahan Senopati dan sebagian masa Sultan Agung. Setelah wafat beliau dimakamkan di belakang Masjid Agung 53
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Kotagede. Kotagede menjadi pusat pemerintahan tidak lama yaitu sekitar 58 tahun, dimulai sejak jatuhnya Pajang pada tahun 1582 M (Brandes, 1894: 415) sampai dengan tahun 1640 M. Dalam masa pemerintahan selama kurang lebih setengah abad, Kotagede telah dapat menempatkan diri tampil dalam panggung sejarah kebudayaan di Jawa. Berdasarkan data-data sejarah, dalam masa yang pendek tersebut Kraton Kotagede telah memiliki tata ruang dan komponen-komponen kota seperti lazimnya kota-kota pusat pemerintahan kerajaan Islam. Kotagede sebagai kota pusat pemerintahan dibuktikan dengan adanya tinggalan arkeologis, yaitu: kraton atau kedhaton, benteng, tembok keliling, jagang, Cepuri, masjid, pasar, permukiman, dan pemakaman. Komponen-komponen tersebut merupakan data yang dapat mencerminkan kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakat pendukungnya (Atmosudiro, 2002: 144), tentunya termasuk kondisi politik yang ikut bermain di dalamnya. Salah satu tinggalan arkeologis adalah Cepuri tempat raja berkediaman dan memerintah Mataram. Cepuri merupakan inti kraton yang dibatasi dengan tembok keliling tebal dan kokoh. Tembok keliling ini berbentuk empat persegi panjang tetapi tidak simetris. Saat ini di tengah-tengah Cepuri terdapat tinggalan masa lampau yang ditempatkan di dalam sebuah bangunan cungkup. Di dalam bangunan ini terdapat: sebuah batu gilang yang berfungsi sebagai “singgasana” sultan atau raja, tiga buah batu gatheng sebagai alat permainan putera raja atau sultan, dan sebuah tempayan yang berfungsi untuk wudhu para penasehat sultan atau raja. Pusat Kerajaan Mataram awalnya memang berlokasi di Kotagede. Kerajaan ini tentunya meniru kerajaan pendahulunya yang sama-sama memakai label Islam sebagai dasar negara. Meskipun demikian Kerajaan Mataram periode Kotagede sebagai kelanjutan Demak dan Pajang, data-data arkeologisnya terutama yang berada di dalam tembok Cepuri hingga saat ini masih sangat “tertutup”. Hal ini menyulitkan 54
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dalam rekonstruksi keruangan dalam lingkup Cepuri. Namun dari berbagai sumber dan data arkeologi gambaran cepuri di masa lalu dapat ditelusuri. Berikut ini dipaparkan hasil penelusuran tersebut. 2. Periode Awal Cepuri Antara Tahun 1578 hingga 1640 M Periode awal Cepuri berkisar antara Tahun 1578 M, yaitu ketika didirikan (de Graaf, 1985: 53 dan Inajati, 2000: 40) hingga tahun 1640 M, yaitu ketika pusat kota Mataram pindah ke Plered (http://students.ukdw.ac.id/~22023053/Kotagede.htm). Uraian lebih lengkap mengenai keruangan Cepuri awal adalah sebabagai berikut. Tembok Cepuri ini mempunyai denah tidak simetris. Pada sudut tenggara jalur struktur tersebut melengkung, tidak membentuk sudut yang tajam. Bagian ini oleh penduduk setempat disebut dengan istilah bokong semar. Sementara ketiga sudut yang lain membentuk sudut yang tajam. Luas areal di dalam Cepuri sekitar 6,5 ha (Inajati, 2000: 51). Di dalam Cepuri terdapat: 1) Kampung Dalem Dalem adalah bagi golongan bangsawan dan elit politik. Oleh karena itu letak dalem pada umumnya berdekatan dengan kraton atau kedhaton (Tjandrasasmita, 1975). Di Kampung Dalem terdapat sebidang tanah yang tidak dikerjakan sama sekali oleh penduduk, sebab tempat ini dipercaya sebagai bekas pusat Kraton Mataram Awal. 2) Kampung Kedhaton Di kampung ini, di dalam sebuah bangunan kecil yang terletak di tengah-tengah jalan kampung terdapat beberapa benda: a) Watu Gilang, menurut cerita adalah bekas singgasana Panembahan Senopati. Benda ini dibuat dari batu andesit dengan ukuran 140 x 119 x 12,5 cm. 55
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
b) Watu Gatheng jumlahnya ada tiga buah dan dibuat dari batu kalsit berwarna kuning. Ketiga benda tersebut berbentuk bulat, masing-masing dengan diameter 31 cm, 27 cm, dan 15 cm. Ketiganya diletakkan di atas semacam lapik arca. c) Tempayan terbuat dari batu andesit dengan penampang bulat telur, berukuran tinggi 50 cm dan diameter 57 cm (Inajati, 2000: 56 57). 3) Sementara itu menurut Babad Momana seperti dikutip Inajati (2000: 44) di dalam Cepuri terdapat bangunan Prabayaksa yang dibangun pada tahun 1525 Ç (1603 M). Sekedar perbandingan, bangunan semacam ini juga terdapat di Kraton Yogyakarta. Prabayaksa merupakan bangunan inti kraton yang terdapat di dalam Cepuri. Untuk memasuki bangunan ini harus melewati Bangsal Kencana dan Tratag (semacam pintu gerbang) Prabayaksa. Di belakang Prabayaksa terdapat Kraton Kilen setelah melewati Masjid Panepen dan Keputren (Dwidjasaraja, 1935: 6 – 7). 4) Di dalam Cepuri Kraton Kotagede hanya terdapat dua toponim yaitu Dalem dan Kedhaton. Sedang bagianbagian lain yang mengarah pada suatu kraton belum terekam secara jelas seperti halnya Plered, yaitu: Sitinggil, Nglawang, Suranatan, Kedhaton, Sri Manganti, Tratag Rambat, dan Bale Kambang (Inajati, 2000: 151). a. Sitinggil merupakan bangunan yang terletak di bagian paling utara dan berada di luar tembok benteng. b. Mandungan merupakan bangunan yang terletak di sebelah selatan Sitinggil. c. Sri Manganti merupakan bangunan yang terletak di sebelah selatan Mandungan. d. Kedhaton merupakan bangunan yang terletak di sebelah selatan Sri Manganti. e. Di sebelah selatan Masjid Panepen terdapat bangunan Prabayaksa (e1), Bangsal Kencana (e2), Bangsal 56
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Kemuning (e3), Bangsal manis (e4), dan Gedong Kuning (e5). f. Tratag Rambat merupakan bangunan yang terletak di sebelah timur Kedhaton. g. Bale Kambang merupakan bangunan yang terletak di sebelah selatan Tratag Rambat. h. Keputren terletak di bagian barat dan di luar tembok keliling (Inajati, 2000: 76). Berdasarkan hal itu, maka tata ruang Cepuri periode awal adalah sebagai berikut:
Rekonstruksi tata ruang Cepuri periode awal berdasarkan sumber sekunder serta analogi pada toponim Plered
57
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
3. Periode 1640 hingga 1934 (Masa Hastorenggo) Pembahasan ini dimulai dari tahun 1640 yaitu dari pemindahan ibukota kerajaan dari Kotagede ke Plered dan dibatasi sampai dengan tahun 1934 yang merupakan pendirian kompleks makam Hastorenggo yang terletak di dalam Cepuri. Berdasarkan survei yang telah dilakukan, ditemukan beberapa perubahan ruang dari tahun 1640 hingga 1934. Meskipun rentang waktu yang panjang itu dapat diuraikan secara detail karena keterbatasan data pustaka dan data lapangan --misalnya data pada akhir abad XVII hingga abad XVIII-- tapi data-data yang telah diperoleh ini dapat digunakan untuk mengetahui kerangka keruangan yang terdapat di dalam Cepuri. Cepuri pada awalnya menjadi tempat bertahtanya sultan dan merupakan wilayah yang sakral. Setelah ibukota Kotagede pindah ke Plered pada tahun 1640, Cepuri tidak lagi menjadi bagian inti dari kraton. Dengan demikian secara perlahan-lahan nilai keruangan Cepuri mulai bergeser. Walau demikian, masyarakat umum belum berani untuk mendirikan bangunan di dalam Cepuri karena tempat ini masih disakralkan. Hal ini berlangsung sampai dengan tahun 1950an, akan tetapi para abdi dalem telah membangun rumah mereka sejak akhir abad XIX di dalam Cepuri.
58
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di kedua kampung (Dalem dan Kedhaton) yang terletak di dalam Cepuri ditemukan beberapa rumah kuno yang dibangun sebelum akhir abad XIX sampai tahun 1920-an. Rumahrumah kuno ini merupakan rumah peninggalan milik buyut mereka yang dulunya menjadi abdi dalem. Dari 11 rumah kuno yang ditemukan, 6 bangunan berada di Kampung Kedhaton dan 5 bangunan terdapat di Kampung Dalem. Rumah-rumah ini sebagian menggunakan batu benteng pada bagian tembok dan pondasinya, selain itu batu benteng digunakan juga untuk pagar bumi (rumah Ibu Kartodiharjo). Meskipun banyak rumah atau bangunan yang menggunakan batu benteng tetapi tidak semua bangunan itu termasuk bangunan kuno. Struktur benteng Cepuri masih terlihat jelas walaupun batunya telah digunakan oleh sebagian masyarakat yang memanfaatkannya untuk mendirikan bangunanbangunan lama dan juga bangunan baru.
59
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Posisi keruangan rumah-rumah kuno ini sebagian terletak dekat atau bahkan berapit dengan dinding benteng. Hal ini dapat dilihat pada rumah yang terdapat pada dinding benteng bagian utara dan barat, selain itu ditemukan pula satu rumah kuno pada dinding timur yang dibangun pada tahun 1920-an. Jarak antara satu rumah kuno dengan rumah kuno lainnya ada yang saling berdekatan, tetapi ada pula yang berjauhan dan berdiri sendiri. Meskipun demikian, ada juga beberapa rumah kuno yang tersebar dalam Cepuri tetapi letaknya agak berjauhan dari Watu Gilang.
salah satu rumah kuno di Dusun Kedhaton (milik Ibu Kartodiharjo) yang dibangun pada akhir abad XIX
Selain bangunan-bangunan kuno tersebut, terdapat pula tiga sisa bangunan kuno yang telah beralih fungsi. Tempat-tempat berdirinya bangunan-bangunan ini sekarang telah dimanfaatkan sebagai kebun dan pekarangan oleh masyarakat setempat. Ketiga bangunan ini terletak secara terpisah, dua bangunan berada di sebelah utara dan satu bangunan terletak di tengah Cepuri dan berdekatan dengan situs Watu Gilang. 60
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Menurut informasi penduduk setempat, sebelum siti sangar (tanah angker) dibuka untuk kompleks pemakaman Hastorenggo pada tahun 1934, orang-orang luar belum berani masuk membangun rumah dalam Cepuri karena Cepuri masih merupakan wilayah yang dianggap sakral. Tetapi dengan dibukanya siti sangar untuk tanah pemakaman kerabat Hamengku Buwono VIII, secara perlahan-lahan nilai keruangan Cepuri bergeser. Pada tahun 1950-an, orang-orang yang bermukim di luar Cepuri mulai memanfaatkan lahan ini untuk membangun rumah di dalam Cepuri. Berdasarkan data pustaka hanya diperoleh keterangan mengenai pemindahan ibukota Mataram dari Kotagede ke Plered pada tahun 1640, sedangkan data lapangan berupa wawancara dapat diketahui bahwa bangunan-bangunan atau rumah kuno dalam Cepuri dibangun pada akhir abad XIX s.d. tahun 1920-an. Untuk data akhir abad XVII sampai dengan abad XVIII baik studi pustaka maupun studi lapangan sama sekali tidak diketahui pola keruangannya. Meskipun tinggalantinggalan berupa struktur dari bata masih banyak yang berserakan di dalam Cepuri tetapi tidak jelas apakah struktur ini merupakan bagian dari benteng Cepuri atau bangunan yang berdiri sendiri. Dari data-data yang telah dikemukakan di atas, perubahan ruang hanya dapat direkonstruksi mulai dari pemindahan ibukota ke Plered (1640), langsung masuk ke akhir abad XIX. Pemanfaatan ruang pada pasca tahun 1640 s.d pertengahan abad XIX sampai kini masih menjadi tanda tanya besar karena data pustaka tidak menjelaskan, demikian pula data lapangan tidak ditemukan. Adanya berbagai tulisan dalam aneka bahasa pada Watu Gilang menunjukkan bahwa setelah ibukota dipindahkan dari Kotagede ke Plered, Watu Gilang bergeser tingkat kesakralannya. Watu Gilang awalnya difungsikan sebagai singgasana Panembahan Senopati. Pergeseran nilai ini disebabkan karena Kotagede tidak lagi dijadikan sebagai pusat kerajaan sehingga secara perlahan-lahan nilainya pun ikut 61
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
berubah. Pergeseran tingkat kesakralan dapat dilihat pada banyaknya prasasti pendek dipermukaan Watu Gilang dalam bahasa Latin, Perancis, Belanda, dan Italia, yakni : ITA MOVETUR MUNDUS (Bahasa Latin) AINSI VALE MONDE (Bahasa Perancis) ZOO GAAT DE WERELD (Bahasa Belanda) COSI VAN IL MONDO (Bahasa Itali) Kalimat-kalimat tersebut disusun secara melingkar. Di dalam lingkaran tersebut terdapat tulisan dalam Bahasa Latin yang berbunyi: AD AETERNAM MEMORIAM SORTIS INFELICIS artinya kurang lebih adalah: Untuk memperingati nasib yang tidak baik. Selain itu, di dalam lingkaran terdapat kalimat lain yang berbunyi: IN FORTUNA CONSORTES DIGNI VALETE, QUID STUPEARIS AINSI, VIDETE IGNARI ET RIDETE, CONTEMITE VOS CONSTEMTU VERE DIGNI artinya kurang lebih adalah: Selamat jalan kawan-kawanku. Mengapa kamu sekalian menjadi bingung dan tercengang. Lihatlah wahai orang-orang yang bodoh dan tertawalah, mengumpatlah, kamu yang pantas dicaci maki. Sementara itu di dalam lingkaran yang lebih kecil terdapat huruf IGM yang diduga singkatan dari IN GLORIAM MAXIMAN, artinya: untuk keluhuran yang tertinggi. Di dalam batu gilang tersebut juga terdapat gambar segi tiga, pada sudut kanan terdapat tulisan QUID STUPEARIS yang dilanjutkan dengan tulisan VID, LEG, INV, dan CUR. Tulisan ini diduga mengandung arti : VID → VIDETE artinya Lihatlah LEG → LEGETE artinya Bacalah INV → INVENITE artinya Rasakanlah CUR → CURRITE artinya Berjalanlah (mengelilingi Watu Gilang) Mulai dari kata CONTEMNITE ke arah kiri terdapat tulisan GI>, IC, LX, IX, I> (mungkin I>> atau D>). Di depan IX terdapat tulisan seperti huruf M. 62
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Selain itu terdapat angka Romawi I>LXIX atau CI>I>>LXIX berarti angka tahun 1569 atau 1669 (Soekiman, 1992/1993: 51 – 52). Selain itu, berdasarkan keterangan yang diperoleh dari warga setempat (Ibu Kartodiharjo), sebelum situs Watu Gilang menggunakan cungkup seperti yang ada sekarang, dahulu memakai gebyok (bangunan terbuka pada keempat sisinya). Penggantian cungkup ini bersamaan waktunya dengan pembangunan kompleks makam Hastorenggo yaitu pada tahun 1934. Pembangunan makam Hastorenggo sendiri dimulai pada tanggal 4 Agustus 1934 dan selesai pada tanggal 29 Desember 1934 di atas tanah luas ditumbuhi rerumputan yang disebut Siti Sangar, yang kemudian dibeli oleh Sultan Hamengkubuwono VIII (1921-1940) untuk makam keturunannnya sebagai antisipasi jika Makam Imogiri penuh (Tim Peneliti Lembaga Studi Jawa, 1997; 22-23). Adapun maksud penggantian cungkup ini tidak diketahui namun diperkirakan sebagai unsur pengamanan (wawancara dengan Bapak Mulyosutrisno).
Goresan huruf-huruf Latin pada permukaan watu gilang dalam empat bahasa: Latin, Prancis, Belanda, dan Italia 63
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Perkembangan tata ruang fase awal Cepuri dan fase kedua (abad XIX hingga masa Hastorenggo tahun 1934) dapat digambarkan dengan membuat tumpang susun sketsa kedua fase tersebut, seperti di bawah ini.
Tumpang susun sketsa Cepuri awal dengan sketsa Cepuri antara abad XIX hingga pertengahan abad XX
64
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Hasil overlay (tumpang susun) seperti yang terlihat pada sketsa menunjukkan bahwa perubahan keruangan secara signifikan terjadi dari Sri Manganti menjadi Situs Watu Gilang, Mandungan menjadi bekas rumah lama yang kini digunakan sebagai pekarangan dan terletak di Kampung Dalem. Sementara Prabayaksa dan Bangsal Kencana menjadi rumah atau bangunan lama yang terdapat di Kampung Kedhaton. Perubahan keruangan dari Sri Manganti menjadi Situs Watu Gilang menunjukkan bahwa ketika Sri Manganti masih digunakan sebagai tempat singgasana raja, lokasi ini sangat disakralkan karena Sri Manganti berfungsi sebagai pertemuan antara raja atau sultan dengan para abdi dalem (Dwidjasaraja, 1935: 6). Ketika ibukota Mataram Islam pindah ke Plered, fungsi Sri Manganti ikut pula berubah. Sementara dari hasil overlay tersebut diketahui pula bahwa Kedhaton, Tratag Rambat, dan Bale Kambang pada masa akhir abad XIX hingga awal abad XX dihindari oleh penduduk untuk mendirikan bangunan tempat tinggal. Demikian halnya dengan siti sangar, sampai lokasi ini didirikan Kompleks Makam Hastorenggo. Sedangkan Prabayaksa dan Bangsal Kencana pada sekitar akhir abad XIX dimanfaatkan oleh penduduk untuk mendirikan bangunan tempat tinggal. Berbeda dengan Bangsal Kemuning, Bangsal Manis, dan Gedong Kuning yang terbebas dari pemanfaatan oleh penduduk sebagai pemukiman. Dengan demikian terlihat adanya kecenderungan bahwa permukiman penduduk pada akhir abad XIX menempati lokasi pada sisi Cepuri bagian barat, timur, dan timur laut. Sedangkan di bagian tengah, selatan, dan tenggara tidak dimanfaatkan untuk permukiman. Hal ini terkait dengan persepsi masyarakat bahwa lokasi ini (terutama bagian tengah Cepuri) masih dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Salah satu bangunan kuno yang terdapat di bagian timur laut Cepuri merupakan milik salah seorang abdi dalem kraton berpangkat demang yang bertugas menjaga Cepuri (wawancara 65
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dengan Bapak Mulyosutrisno). Keberadaan bangunanbangunan yang sejaman dengan rumah milik demang terkait dengan keberadaan demang itu sendiri. Pada masa Cepuri awal hingga tahun 1934 telah terjadi berbagai perubahan dalam pemanfaatan ruang, meskipun Cepuri tetap disakralkan. Namun demikian, aktifitas pemanfaatan ruang sebagai permukiman hanya terbatas pada rumah milik demang dan sekitarnya serta Cepuri bagian barat. Sedangkan pemanfaatan ruang untuk berbagai aktifitas seperti ekonomi, pertukangan, kerajinan, perdagangan, dan usaha-usaha sejenisnya tetap berada di luar Cepuri. 4. Pertengahan Abad XX hingga Sekarang Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan obyek di lapangan, kondisi situs Watu Gilang dan Cepuri di Kotagede Yogyakarta dan aspek ruangan dari medio abad-20 hingga sekarang dapat diuraikan sebagai berikut ini. Situs Watu Gilang dan Watu Gatheng terletak di Dusun Dalem, Desa Purbayan, Kecamatan Kotagede Yogyakarta. Obyek atau benda yang terdapat di situs tersebut terdiri dari tiga buah jenis benda purbakala (artefak), yaitu Watu Gilang, tiga buah watu gatheng dan sebuah tempayan batu yang terdapat di dalam sebuah bangunan cungkup yang menghadap ke timur dengan ukuran 6,60 x 3,75 meter, dengan bahan lepa (pasir dan semen). Berdasarkan informasi dari nara sumber (warga setempat), bangunan cungkup (pelindung Watu Gilang dan Watu Gatheng) tersebut dibuat pada tahun 1934 M, hampir bersamaan dengan kompleks makam Hastorenggo yang dibangun oleh Sultan Hamengkubuwana VIII. Keberadaan bangunan cungkup tersebut kini menempati ruang seluas 32,5 x 24 meter, dan berada di tengah jalan yang membujur dari arah utara ke selatan, sehingga jika ada kendaraan yang mau lewat menuju ke arah selatan harus lewat di sebelah timur bangunan cungkup 66
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
tersebut, demikian juga sebaliknya, kendaraan yang menuju ke arah utara harus lewat di sebelah barat bangunan cungkup. Di sebelah barat situs, berbatasan dengan Kompleks Makam Hastorenggo, di sebelah utara berbatasan dengan tembok rumah penduduk, di sebelah timur berbatasan dengan pekarangan penduduk dan di sebelah selatan berbatasan dengan rumah penduduk. Di samping itu situs Watu Gilang dan Watu Gatheng tersebut berada pada posisi hampir di tengah-tengah bangunan tembok atau pagar keliling seluas 6,5 ha, yang terbuat dari bahan batu putih yang diduga sebagai bangunan Cepuri (batas bangunan inti kraton). Material bangunan Cepuri yang terbuat dari bahan batu putih berbentuk balok, kini tampak tidak utuh lagi, kemungkinan sebagai akibat dari faktor alam dan faktor manusia. Hal tersebut tampak adanya bagian-bagian bangunan Cepuri yang runtuh karena longsor ataupun terangkat oleh akar dan tumbuh-tumbuhan yang terdapat di sekitar bangunan Cepuri tersebut. Disamping itu, terdapat beberapa bangunan rumah penduduk yang memanfaatkan material dari bangunan Cepuri tersebut sebagai pondasi ataupun sebagai dinding rumah dan sebagai pagar bumi. Di sekitar situs Watu Gilang dan Watu Gatheng sudah tidak ada lagi bangunan-bangunan asli yang sejaman dengan Watu Gilang dan Watu Gatheng, kecuali bangunan pagar keliling yang diduga sebagai Cepuri (batas bangunan inti kraton). Di dalam pagar keliling dengan bahan batu putih (Cepuri) tersebut telah berkembang menjadi permukiman baru, yaitu dengan adanya rumah-rumah penduduk, kebun / pekarangan dan fasilitas-fasilitas umum antara lain; Balai Dusun, tempat ibadah, lapangan olah raga, gardu kamling, sekolahan dan makam. Ada beberapa bangunan rumah kuna yang dibangun sebelum cungkup Watu Gilang dan Watu Gatheng serta kompleks makam Hastorenggo, tetapi tidak diketahui secara pasti kapan bangunan rumah tersebut didirikan. 67
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Berdasarkan keterangan informan, yaitu Bapak Mulyosutrisno usia 85 tahun, alias Abdul-Jabari (nama pemberian dari Sultan HB IX sebagai abdi dalem yang pernah bertugas sebagai pengurus Masjid Besar Kotagede), ia menyebutkan bahwa keberadaan Watu Gilang dan Watu Gatheng, sejak dulu hingga sekarang belum pernah mengalami pergeseran tempat dan tidak ada yang berani memindahkan. Kemudian mengenai bangunan cungkup (penutup Watu Gilang dan Watu Gatheng) yang dibangun pada tahun 1934, atas prakarsa Sultan Hamengkubuwana VIII, dulunya dalam kondisi terbuka, terdiri dari empat buah saka guru dengan dinding gebyog dan atap sirap. Adapun maksud dibangunnya bangunan cungkup (penutup Watu Gilang dan Watu Gatheng) adalah dalam rangka memuliakan atau nguri-uri peninggalan leluhurnya (Panembahan Senopati). Di sisi lain, dengan ditutupnya Watu Gilang dan Watu Gatheng, aktivitas penziarahan di lokasi tersebut akan lebih nyaman, lebih konsentrasi dan tidak terganggu oleh aktivitas di luar bangunan Watu Gilang dan Watu Gatheng. Mengenai keberadaan rumah kuna yang berada di dalam bangunan Cepuri diawali dengan sebuah rumah milik seorang demang yang pada saat sekarang rumah tersebut menjadi milik salah seorang warga (Bu Hadi). Kemudian pada perkembangan berikutnya banyak masyarakat dari daerah lain (dari luar Cepuri) yang datang dan bermukim di kompleks tersebut, sehingga berkembanglah suatu permukiman baru yang berlangsung hingga sekarang. Keberadaan permukiman baru tersebut kini telah merubah status kepemilikan ruang di dalam kompleks Cepuri. Berdasarkan keterangan dari informan, tanah, pekarangan, kebun dan semua yang terdapat di dalam kompleks Cepuri yang awalnya milik kraton, kini telah terbagi menjadi dua kawasan otorita, yaitu: 1. Otorita tradisional yang dikuasai oleh pihak kraton, meliputi bangunan dinding benteng Cepuri, 68
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Kompleks Makam Hastorenggo, dan lapangan Watu Gilang serta Watu Gatheng. 2. Otorita yang dikuasai oleh pihak pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Negara, meliputi seluruh pekarangan, kebun, dan permukiman menjadi hak milik masyarakat atau seluruh lahan di Cepuri kecuali yang dikuasai pihak kraton. Dalam hal ini perintah telah memberi aset kepada masyarakat seluas-luasnya untuk dapat memanfaatkan ruang tersebut, asalkan tidak mengganggu kelestarian daripada semua komponen yang telah dikuasai oleh pihak kraton.
Tata ruang Cepuri pada masa sekarang; obyek peninggalan masa awal Mataram, rumah kuno, dan permukiman baru berbaur
69
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Desa Purbayan sebagai desa wisata di antaranya didasarkan pada potensi yang ada di desa tersebut, yaitu adanya situs Watu Gilang, kompleks makam Hastorenggo, industri kerajinan perak dan industri Emping mlinjo. Kerajinan perak di sekitar Watu Gilang berlangsung secara turun temurun, tetapi belum diketahui secara pasti tentang keberadaannya, apakah telah ada sejak abad-20 atau sebelumnya. Sementara itu di bidang industri emping mlinjo, keberadaannya kini semakin berkurang, hal tersebut diperkirakan karena semakin berkurangnya pohon mlinjo sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan berkurangnya lahan pertanian untuk menanam pohon mlinjo. Selain sebagai sentra industri, Desa Purbayan juga berpotensi di bidang kesenian yang terdiri dari musik keroncong, Shalawatan, dan teater. Di bidang pariwisata, situs Watu Gilang merupakan suatu obyek yang sering dikunjungi, baik oleh wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Dalam kegiatan wisata tersebut, obyek Watu Gilang kini merupakan satu rangkaian kunjungan dengan kompleks makam Raja-Raja Mataram Kotagede dan Hastorenggo (wisata ziarah). Wisata ziarah adalah satu istilah yang terdiri dari dua kata tetapi memiliki satu makna yang sama, yaitu kunjungan. Secara umum dapat diartikan sebagai kunjungan ke makam (ziarah kubur), ke masjid, ke tanah suci (ziarah haji) dan lain sebagainya (Suhadi dan Halina Hambali, 199: 28). Dalam kegiatan wisata ziarah di Kotagede, umumnya dilakukan oleh para pengunjung atau wisatawan domestik yang datang dari berbagai daerah dengan maksud-maksud tertentu; (nenepi atau bertapa untuk memperoleh wangsit atau petunjuk; ngalap berkah, yaitu agar diberikan keberkahan atas rizki yang mereka peroleh; ngirim leluhur) dengan upacara ritual yang umumnya dipandu oleh juru kunci. Akan tetapi dalam kegiatan upacara-upacara ritual yang berlangsung, segala permohonan ditujukan Allah SWT dengan wasilah (perantara) Panembahan Senopati yang makamnya terletak di luar 70
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
bangunan Cepuri yaitu di kompleks Makam Raja-raja Mataram di belakang Mesjid Agung Kotagede. Kemudian dalam hal pengelolaan obyek (Watu Gilang, Watu Gatheng, dan tempayan batu), kini telah dikelola bersama-sama oleh kedua pihak kraton, Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, dengan menugaskan abdi dalemnya masing 2 (dua) orang untuk menjaga dan merawat obyek tersebut secara bergantian. Sementara itu untuk bangunan Cepuri kini telah dikelola oleh pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Daerah Istimewa Yogyakarta.
Rumah-rumah baru yang menjamur terutama setelah pertengahan abad XX; tampak di latar belakang sebagian tembok cepuri
71
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Deretan perumahan baru turut mengubah wajah Cepuri di masa sekarang. Pertumbuhan pemukiman yang tiada henti menambah kepadatan Cepuri
Perkembangan dan perubahan tata ruang Cepuri dari fase pertama hingga fase terakhir (ketiga) dapat dilihat pada sketsa di bawah. Dari sketsa ini terlihat jelas adanya perubahan orientasi pada pertumbuhan permukiman fase ketiga yaitu pertengahan abad 20 sampai sekarang. Keberadaan pemukiman sekarang terdapat beberapa kecenderungan yang tampak antara lain: Mengikuti jalan utama sebagai poros yang membujur utara -selatan dan sekaligus membagi Cepuri menjadi dua kampung yaitu Kampung Kedhaton dan Kampung Dalem. Perkembangan permukiman juga diikuti dengan perkembangan jalan yang membujur dari arah barat ke timur dan membentuk pola pemukiman yang mengikuti jalan sehingga membentuk pola persegi. Mengikuti pinggiran benteng Cepuri khususnya bagian barat dan utara. Bangunan-bangunan yang dihindari untuk permukiman pada fase kedua seperti Kedhaton, Tratag Rambat, dan Bale Kambang, mulai digunakan sebagai tempat bermukim pada fase sekarang. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan otorita yang awalnya dikuasai sepenuhnya oleh pihak kraton. Pada 72
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
masa sekarang pengelolaan tata guna lahan terbagi dengan pihak pemerintah, sedangkan pihak kraton hanya sebatas menguasai dan mengelola dinding benteng Cepuri, kompleks makam Hastorenggo, dan Watu Gilang. Pada bagian sudut tenggara benteng Cepuri yang dikenal dengan istilah “Bokong Semar” hanya terdapat beberapa bangunan dan merupakan bagian paling sedikit penghuninya.
Tumpang susuna sketsa tata ruang Cepuri fase awal, fase ke-dua, dan fase terakhir
73
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
6. Menggali Makna Cepuri Sekarang, secara administratif lokasi Cepuri terletak di Dusun Dalem dan Dusun Kedhaton, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta, D.I. Yogyakarta. Lokasi ini terletak sekitar 6 km di arah tenggara kota Yogyakarta sekarang. Berdasarkan uraian di atas, tergambar bahwa telah terjadi perubahan ruang mulai masa Cepuri awal sampai dengan masa sekarang. Perubahan keruangan ini menunjukkan pasang surut Cepuri dalam perjalanan sejarahnya. Setelah ibukota kerajaan Mataram di Kotagede pindah ke Plered, berbagai perubahan telah mempengaruhi keberadaan situs yang terdapat di dalam Cepuri, termasuk situs Watu Gilang dan sisa-sisa tembok benteng beserta jagangnya. Kerajaan Mataram Islam (selanjutnya cukup disebut dengan Mataram saja) merupakan salah satu Kerajaan Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Keberadaan kerajaan ini tidak dapat dilepaskan dari kerajaan-kerajaan pendahulunya yaitu Demak dan Pajang. Kerajaan Demak diketahui dengan jelas, utamanya berdasarkan sumber sejarah. Sedangkan dari data arkeologis hanya diketahui dengan tinggalan yang berupa Masjid Agung Demak dan alun-alun, serta data toponim, antara lain Setinggil dan Pecinan. Namun demikian berdasarkan data-data tersebut, tata letak berdasarkan keruangannya jelas terlihat di lapangan. Sedangkan Kerajaan Pajang data-data yang dapat mengungkapkan eksistensinya hingga saat ini masih dipertanyakan. Demikian pula dengan Kerajaan Mataram awal yang berlokasi di Kotagede. Kerajaan ini tentunya akan meniru kerajaan pendahulunya yang sama-sama memakai label Islam sebagai dasar negara. Meskipun demikian Kerajaan Mataram periode Kotagede sebagai kelanjutan Demak dan Pajang datadata arkeologisnya, utamanya yang berada di dalam tembok Cepuri, hingga saat ini masih sangat “tertutup”. Hal ini menyulitkan dalam rekonstruksi keruangan dalam lingkup Cepuri. 74
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Sementara itu sampai saat ini bangsa asing tidak diperkenankan tinggal di Kotagede. Hal ini sangat menarik, justru di daerah ini banyak didapati bangunan-bangunan bergaya Eropa. Menurut dugaan sementara, adanya bangunan bergaya Eropa itu karena para saudagar kaya di Kotagede menginginkan pola-pola atau gaya hidup yang berbeda dengan sekelilingnya. Walaupun kaya, mereka tidak mungkin membuat bangunan sebesar atau semegah bangunan tradisional seperti kraton atau rumah-rumah para bangsawan karena terhalang oleh peraturan yang berlaku. Satu-satunya jalan ialah para pedagang dan hartawan tersebut mengambil gaya hidup yang meniru orang asing (Eropa) khususnya dalam membuat bangunan rumah yang disesuaikan dengan keadaan bangunan sekelilingnya. Gaya campuran ini ada yang menyebut gaya “saudagaran”, untuk membedakan dengan gaya tradisional atau gaya Eropa tulen (Tim Peneliti Lembaga Studi Jawa, 1997: 58). Jika Kotagede telah menjadi salah satu pusat peradaban di Jawa dan Cepuri menjadi intinya, maka dipastikan bahwa banyak nilai-nilai luhur yang dapat digali di balik keberadaannya. Dari sana akan pula dapat ditemukan berbagai benang merah yang menyentuh sejarah peradaban dan kebudayaan di tempat lain, baik di Nusantara atau bahkan yang lebih luas. Kemerosotan kualitas dan kuantitas data arkeologi di Kotagede dan Cepuri khususnya tentu tidak boleh menjadi aral guna mendapatkan berbagai makna yang terkandung di balik keberadaanya. Justru hal itu menjadi pemicu untuk mengembangkan metode, teknik, dan sumber data seluas-luasnya guna meraih gambaran lebih jelas apa yang disebut dengan Cepuri sebagai inti kebudayaan Mataram.
75
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Lokasi administratif Kotagede
76
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Daftar Pustaka Adrisijanti, Inajati. 2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Yogyakarta: Penerbit Jendela. Atmosudiro, Sumijati. 2002. “Tata Ruang Permukiman Kota Gede Kuna dan Orang Kalang: Dalam Perspektif Profesionalisme Pekerjaan”, dalam Jurnal Kebudayaan Kabanaran. Yogyakarta: Retno Aji Mataram Press – Percetakan Adi Cita. Brandes, JLA. 1894. “Yogyakarta”, TBG. No. XXXVII. Dwidjasaraja, A.S. 1935. Ngajogjakarta Hadiningrat I. Yogyakarta: Percetakan Mardi-Moelja. Graaf, H.J. de. 1985. Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati. Jakarta: Pustaka Graffiti Press. http://students.ukdw.ac.id/~22023053/Kotagede.htm Mook, H.J. Van. Kuta Gede. Djakarta: Penerbit Bhratara. Soekiman, Djoko. 1992/1993. Kotagede. Jakarta: Penerbit Proyek Pengembangan Media Kebudayaan. Tim Peneliti Lembaga Studi Jawa. 1997. Kotagede, Pesona dan Dinamika sejarahnya. Yogyakarta: Penerbit Lembaga Studi Jawa. Tjandrasasmita, Uka. 1975. Sejarah Nasional Indonesia III: Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
77
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
PEMIKIRAN AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH SYEKH MUHAMMAD AZHARI AL-FALIMBANI DALAM NASKAH PALEMBANG 1842 Drs. H. Abd. Azim Amin, MA Dosen Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Raden Fatah Palembang Abstract Syekh Muhammad Azhari al Falimbani (1811-1874) lived to witness how the condition of his people who were confused and lost the distinctive identity of Malay Palembang. One of the foundation to strengthen the identity of his people back, he authored the book Aqeedah Ahlussunnah wal Jama'ah (1842) only by the thought of al-Asy'ary.Based on the number years of activity Sheikh Muhammad Azhari, it is a stretch of Indonesia, especially during the reign of Palembang that were the Occupiers. This paper will try to reveal the character of the deceased Assyaikh Muhammad Azhary bin Abdillah, a history of his life, and the thought of what he had written Kata kunci: ahlussunnah wal jama’ah, Malay language
Abstrak Syekh Muhammad Azhari alFalimbani (1811-1874) menjadi saksi hidup bagaimana kondisi kaumnya yang mengalami kebingungan dan kehilangan identitas khas Melayu Palembang. Salah satu pondasi untuk menguatkan identitas kaumnya kembali, ia mengarang kitab aqidah ahlussunnah wal jama’ah (1842) hanya menurut pemikiran al-Asy‟ary. Berpijak dari angka tahun masa aktivitas Syeikh Muhammad Azhari, adalah bentangan Indonesia, khususnya Palembang adalah masa pemerintahan Penjajah, maka tulisan ini, akan mencoba mengungkapkan karakter almarhum Assyaikh Muhammad Azhary bin Abdillah, riwayat hidupnya, dan pemikiran apa yang pernah ditulisnya. Kata kunci: ahlussunnah wal jama’ah, bahasa Melayu
78
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Pendahuluan Taufiq Abdullah (MUI, No.111,1986: 38-39), mengatakan, ada tiga pangkal tolak berfikirnya ulama Indonesia; pertama, bertolak dari keprihatinan teologis: yakni bertolak dari ajaran; yang terpenting adalah kejernihan menurut kitab, karena itu mereka sering digolongkan sebagai kaum tradisional; kedua, dari keprihatinan structural: yakni bertolak dari realitas umat Islam yang seringkali berbeda dengan idealita yang terkandung dalam ajaran Islam, kondisi ini cendrung membuat mereka lebih aktivis, sekaligus dengan mendalami dan mengamalkan ajaran Islam. Golongan ini kemudian berpendapat, bahwa untuk memecahkan masalah (solusinya, pen) tersebut adalah sangat penting mendirikan lembagalembaga pendidikan dan amal usaha; ketiga, dari kepenasaran intelektual yang berawal dari kegiatan intelektual mereka, seperti membaca pembahasan-pembahasan karya orientalis atau muslim tentang Islam. Pada umumnya mereka bukan ahli kitab. Mereka lebih menekankan perlunya prestasi yang hebat sambil menggugah segala macam kerutinan. Salah satu wilayah di Nusantara yang memiliki para Ulama`, terutama pada pertengahan abad ke-18 dan ke-19 M, adalah Palembang. Di antaranya seperti disebut oleh Ki.H.M. Asyik1 dalam sebuah naskahnya sbb;
“… kami telah mendapat kabar yang mutawatir, adalah pada zaman dahulu-dahulu di negeri Palembang ini Pangeran penghulu punya aturan apabila berkehendak memutuskan sesuatu hukum yang belum tahqiq maka mereka itu menyuruh khotib penghulunya minta fatwa pada ulama yang semasa dengan mereka itu seperti almarhum qudwatuna alhaj muhammad ‘akib ibnu hasanuddin dan almarhum assyaikh Muhammad Azhary bin Abdillah maka apabila telah dapat nash dan fatwa dari ulama yang tersebut itu barulah mereka itu memutuskan hukum itu dengan fatwa ulama …“ (muhammad asyik bin amir,”tanbieh ....” 1340/ 1921:02, dok); 1
Ayahanda penulis; Ki.(Baba) H.M.Amin Azhari (Kiyai Cek Amin) adalah salah seorang muridnya. Namanya dilestarikan sebagai nama salah satu jalan di S.U I; kel. 3-4 Ulu Palembang.
79
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Dari pendahuluan ini, akan mencoba mengungkapkan; 1. Siapakah almarhum Assyaikh Muhammad Azhary bin Abdillah; 2. Bagaimana riwayat hidupnya; 3. Pemikiran apa yang pernah ditulisnya.
Pembahasan
A. Siapa Nian Almarhum Assyaikh Muhammad Azhari bin Abdillah; 1. Nama, Julukan, dan Gelarnya Ulama` qudwatuna sendiri menuliskan nama dan identitas lengkapnya sebagaimana tercantum dalam sejumlah dokumen tertulisnya sebagai berikut: a. „abd al-faqier al-fany muhammad azhary ibnu „abd allah al-falimbany (naskah “athiyaturrahman”, Makkah 1259/ 1842: 01) b. faqier ila l-llah ta‟ala al-haj muhammad azhary ibnu kemas al-haj „abd-allah Palembang nama negerinya, syafi‟ie mazhabnya, asy‟ary I‟tikadnya, junaidy ikutannya, samany minumannya2 c. al-faqier al-haqier al-mu‟arrif bi al-zanb wa altaqshier muhammad azhary laqban, al-jawy nisbatan, al-makky wathonan, al-syafi‟ie mazhaban 3 .
Salah seorang buyutnya mengatakan bahwa, julukan Azhary di belakang namanya itu diperolehnya dari Universitas Al-Azhar Mesir, karena pernah mendalami sejumlah disiplin ilmu yang berkaitan dengan aqidah, syari‟ah dan akhlaq/tasawwuf. (Kms. Ibrahim Zahri, piyut. Wwcr, Februari 1998 di 2 Ulu).
2 Muhammad Azhary al-Falimbany, khotthot al-Qur’an al-‘azhim, cetakan Kampung Tiga Ulu Demang Jayalaksana Palembang, tahun 1263 H/1848 M. 3 Muhammad Azhary al-Falimbany, tuhfat al-muridin, jami’ sulahdar 1276 H.
80
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Al-Imam Syafi‟i; salah seorang ulama ahli hukum Islam termasyhur, wafat tahun 820.M; sedangkan al-Imam Asy‟ari; ahli aqidah Islam. Adapun al-Imam Junaidi al-Baghdadi; adalah salah seorang ulama` Sufi; Hidup pada masa kholifah Abbasiyah ke-15; yakni al- Mu‟tamid (256-279.h/ 870-892.m). Wafat tahun 298 h/ 911.M, namanya adalah Abul Qosim alJunaidi. Wafat masa kholifah Bani Abbasiyah ke-18; alMuqtadir (295-329 h/ 908-932 M). Dalam sebuah pembelaan terhadap salah seorang tokoh Sufi sebelumnya, mungkin Abu Yazid Bustami wafat. 261 h/ 875.M, Pencetus aliran al-Hulul, Ia mengatakan sbb: “ Jika mulut kerap kali terdorong –dorong (karena cintanya) , namun dasar pendiriannya tidaklah berbeda dengan syari‟at dan tidaklah sekali-kali berniat untuk melanggarnya. Jika karena cinta kasih pada Kekasih, kadang-kadang membuat dirinya menjadi mabuk sehingga tiada sadar apa yang telah dikatakan. Patutkah orang yang mabuk cinta mesti dihukum?” Kertorahardjo, Depag.RI, 1972: 94-95. Pembelaannya ini didukung oleh al-Imam al-Ghozali wafat tahun 1111.M. ditulisnya dalam kitabnya”al-Munqid Mina dDlolal. Tarekat As-Samani, adalah jalan yang dilaluinya untuk mencapai makrifat yang mampu menghilangkan dahaganya dekat dengan Allah SWT. Selaku seorang Sufi (Alim, Mujahid, dan Abid). Betapa tawaddu‟nya ulama‟ qudwatuna kita ini. Sementara sahabat dan muridnya selama ia bermukim di kota suci Mekkah, Madinah dan lainnya, seperti Daud bin Isma‟il al-Fatany menganugerahinya dengan gelar “al-‘alim al‘allamah almarhum bi karam allah ta’ala al-syaikh muhammad azhary bin ‘abdillah al-falimbany4.... Gelar Syaikh/Syekh yang dianugerahkan Syekh Daud Ismail Alfatoni di kota Makkah kepadanya ini, menurut dosen 4
81
Muhammad Azhary al- Falimbany, 1, op, cit, halaman terakhir.
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) di Jakarta bermakna sebagai seorang ulama yang sangat ahli dibidangnya/ profesional, yang dirahmati Allah Yang Maha Tinggi dengan segala kemuliaan-Nya, seorang guru besar ahli dalam bidang syari’at Islam (Nashir „Abry, M. A., Dosen LIPIA Jkt, 21-9-1997) Adapun pekerjaan seorang Syekh itu, selain sebagai guru besar ahli dalam bidang syari‟at Islam, juga melayani calon jama‟ahnya, dan jama‟ah calon haji dan para jama‟ah haji yang akan bermukim sementara/menahun atau pulang ke asal negeri masing-masing, disini seorang syekh sangat membantu kemabruran dan kelancaran ibadah haji/umrah kaumnya (masyarakat sebahasanya), terutama ketika selama berada di kedua kota suci. Satu sumber mengatakan sbb: “ syekh di kota makkah menghimpun para jama‟ah haji dan memeliharanya dengan mencarikan rumah persewaan bersama-sama buat mereka yang menjadi anak buahnya, menguruskan perjalanannya pergi pulang ke Madinah (bersekedup/ naik onta maupun bermobil/ truck), serta menyediakan rumah sewaan disana untuk selama mereka di Madinah itu; demikian juga perjalanan ke „arafah dan waktu kembalinya singgah ke Mina, kemudian juga perjalanannya ke Jeddah kembali, serta menyediakan rumah sewaan disitu selama belum naik kapal” (Wahid Hasyim, K.H.A. Menuju Perbaikan Perjalanan Haji, cet. Kita, Djakarta, th,-, halaman 15-16) Wilayah kepulauan Nusantara disebut oleh beberapa Pujangga Muslim asal negeri Arab sebagai “Jawa/ Jawah”. Sedangkan bangsanya dijuluki al-Jawy. Kata ini terungkap pada sebaris bait syi‟ir (dari 18 baris) oleh penyair Sungai Nil terkenal; Jenderal Hafizh Ibrahim (1872-1932) dalam diwannya menyambut abad ke-13 Hijriyah (abad ke-20 M) berjudul AL’AM AL-HIJRY, sebagai berikut.:
82
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
“…..[ أأضاءت ألجلها امسبيل فبكروا، و فيه بدت يف أأفق جاوة ملعة...] Wa fiehi badat fy ufuqi Jaawah lam’atun adloat li ajlieha s-sabiel fa bakkaru Pada abad ke-13 H/ 20 M ini, cahaya Islam yang terang benderang itu akan muncul dari ufuk Nusantara yang telah menyinari perjalanan bangsanya, maka segeralah menyongsongnya. 5
2. Riwayat Hidup Ringkas dan Wafatnya Syekh Muhammad Azhary al-Falimbany adalah putera ke delapan, dilahirkan ibunya Nyimas Rabibah binti Kemas Hasanuddin bin Kemas Sinda pada malam Jum‟at, pukul satu, tanggal 27 Kumadil akhir, sanah 1226 H/1811 di kampung Pedatu‟an; kampung 12 Ulu; Palembang. Sedangkan Kemas Sinda adalah suami dari Nyimas Buntal binti Kiyai Mas Haji Abdullah bin Mas Nuruddin bin Mas Syahid. Suasana ketenteraman di ibu kota kala itu telah hilang, terganggu oleh adanya intervensi bangsa asing asal benua Eropa bahkan telah menyebabkan banyaknya penduduk Palembang yang gugur sebagai Syuhada` akhirat; Sementara Sultan Mahmud Badaruddin II yang alim lagi bijaksana beserta keluarganya diusir ke negeri jauh (Ternate). Ayahandanya bernama Kemas Haji Abdullah (1190-1265/1755-1848), adalah seorang ulama dan salah seorang pemuka masyarakat berusia sekitar 56 tahunan. Ibunya wafat saat melahirkan adiknya, ia diasuh dan dibesarkan oleh kedua bibinya; Nys. Jamilah binti Kemas Hasanuddin (dulur ibunya) yang kemudian menjadi ibu kualonnya, dan oleh Nys. Hajah „Aisyah binti Kemas Haji Ahmad (dulur ayahnya) dalam lingkungan keluarga yang taat dan kuat menjalankan agama. Di masa kecilnya, suasana kota sedang 5 Terjemahan Prof.H. Husin Ahmad, Dosen penulis di Fak. Adab IAIN Yogyakarta, 4-5-1980. Demikian juga terjemahan Martin Van Bruinessen dalam bukunya, Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat, Mizan, Bandung, Cet. I, 1415/1995: 136. Senafas dengan makna dalam kamus al-Munjid oleh Lois Ma’luf, cet. Beirut, XXI, 1973: 410-411.
83
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
berkobar semangat jihaad fie sabiel Allah guna mempertahankan kedaulatan kerajaan dan berupaya keras mengusir kehadiran imperialisme Barat dipimpin oleh para pejuang yang setia terhadap Sultan Mahmud Badaruddin II, semula jihad ini berhasil, setelah itu kaum kafir mulai menggunakan politik dividit et impera. Bukan mustahil, pihak kaum Kafir harbi ini memanfaatkan adanya paham aliran yang berbeda dalam Islam; seperti paham rasional (syi‟ah/ Qodaariyah, atau lainnya) dengan aliran tradisional (ahlussunnah/ Jabbariyah, atau lainnya). Akibatnya timbul saling membunuh diantara sesama kaum pribumi. Kemudian kaum kafir harbi ini melakukan serangan kembali pada bulan puasa 1236.H/ 1821 yang dipimpin oleh Mayjen. H. M. de Kock dengan dukungan kapal dan prajurit yang berlipat ganda, termasuk prajurit bayaran asal Mentol, Siak, Jawa dan Ambon yang akhirnya membumihanguskan pusat kota kesultanan itu sehingga menjadi runtuh, kecuali bangunan masjid Agung. Palembang dapat diduduki oleh Belanda pada bulan Juni 1821. Kondisi ini telah mampu melumpuhkan kekuatan Sultan Mahmud Badaruddin II. Dalam suasana tersebut, keluarga besar Ulama Palembang dan kerabatnya ini hijrah ke dusun Tanjung Lubuk (OKI) dan daerah sekitarnya selama beberapa tahun. Ia bersama keluarga besar dan yang seusia dengannya dididik oleh ayahandanya bertafaqquh fiddin, mengaji al-Qur‟an dan latihan beribadah serta belajar sastra Melayu, dari tingkat rendah (tamhidy/persiapan) sampai pada tingkat dasar/ ibtidaiyyah. Mereka yang telah menguasai ilmu pengetahuan dan bahasa Islam (Arab/ Melayu) disiapkan pula menjadi Ulama` di masa depan. Pada masa itu, para pemuda dan orang dewasa banyak yang gugur dan mati syahid, maka yang mengantarkan calon Ulama‟ yang berusia beli ini adalah bibindanya bernama Nyimkas Hajah „Aisyah binti Kemas Haji Ahmad. Mereka meninggalkan pelabuhan negeri Palembang pada tanggal 6 Rabi‟ul Awwal 1242.H/ 1826. Menumpang kapal layar mengarungi samudra Hindia menuju negeri Hijaz selama enam bulan dalam perjalanannya, dan tiba di pelabuhan Jeddah dan kota Makkah pada tanggal 20 Ramadhan 84
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
tahun 1242. H/1826. untuk menyelesaikan pendidikannya ke tingkat lanjutan. Sementara anggota keluarga yang lain merantau ke tanah Jawa; Cirebon. Ketika itu berangkat ke luar negeri amatlah sulit jika tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Dengan banyak rintangan dan menghadapi bermacam kesulitan, akhirnya Ia dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi dan dalam ke negeri Hijaz. Selama bermukim dan berhasil menyelesaikan tugasnya di negeri Hijaz, Ia berhasil sehingga dijuluki al-Falimbany sebagai salah satu ulama` daeru kawasan Asia Tenggara, dan mendapat gelar Syaikh dari para senior dan muridnya. Beberapa kali Ia pulang ke Palembang, bahkan sempat aktif memberikan fatwa kepada kaum muslimin, dan menyelenggarakan aktivitas pendidikan serta penyiaran ajaran agama Islam bersama Kiyai Demang Jayalaksana Baba Muhammad Najib. Yang kemudian menjadi iparnya. Ulama` qudwatuna ini wafat pada tanggal 18 Rabi‟ul Akhir sanah 1291 H/1874 M. Dimakamkan di perkuburan al-Ma‟la dekat kota Mekkah (Dok. Kms. Mansur Azhary, 12 ulu Pedatu‟an Laut, Palembang/ selaku salah seorang piyutnya).
B. Latar Belakang Pendidikannya 1. Pendidikan Tingkat Lanjutan Sebelum berangkat ke tanah Hijaz, diduga bahwa meteri pendidikan di Nusantara pada umumnya sebatas mendalami ilmu tasawuf (al-Ihsan) melalui latihan-latihan, guna menguatkan identitasnya sebagai pusat pendalaman ilmu-ilmu agama. Hal tersebut karena langkahnya literatur keIslam-an karya para ulama terkemuka 6, juga karena tarekat memainkan peranannya dalam perlawanan penduduk di negeri Palembang terhadap kaum penjajah Belanda kafir harbi.
6 Ahmad Sugiri, Drs. Proses Islamisasi Dan Percaturan Politik Umat Islam Di Indonesia, alqalam, IAIN, SGD, Serang, No.59/I/1996: 45.
85
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
2. Beberapa muridnya di Palembang Dalam kondisi kemunduran tersebut, tentu ada beberapa faktor, menurut penulis, memang ada faktor politik, karena tanah Hijaz menjadi rebutan bangsa Inggris melawan bangsa Turki. Kondisi ini telah mampu menghalangi kemajuannya oleh beberapa kelompok aliran yang berbeda dengan alasan mengajarkan bid‟ah dan lainnya. Mundur dalam arti sejumlah madrasah di kota Makkah kurang diperhatikan, karena besarnya pengaruh Masjid al-Maharam. Guru-guru Shaulatiyah yang paling terkenal juga mengajar di Masjid al-Haram. Dalam pelajaran kitab kuning isnad dianggap begitu penting, maka para murid lebih cenderung merunjuk nama gurunya dari pada nama lembaga dimana mereka belajar7. Anaknya bernama Kemas Abdullah bin Syekh Muhammad Azhari al-Falimbani (Kiyai Pedatu`an) sendiri menyebut nama ayahandanya sebagai sumber pengambilan tarekat khusus tersebut tetapi dengan bai‟at dan ijazah sahabat ayahandanya, yakni dari Sayyid Ahmad Dahlan, waktu itu beliau sebagai Mufti Syafi‟i Makkah, ayahandanya mengambil dari Syekh Sayyid Hasib, demikian juga Sayyid Ahmad Dahlan. Salah seorang sahabat karib beliau yang lain, dan sebilik (satu zawiyyah) adalah al-„Allamah Abu Bakar yang terkenal dengan sebutan al-Sayyid al-Bakry bin al-Sayyid Muhammad Syatho al-Dimyathi. Seorang Komentator kitab fiqh fath al-mu’in dengan nama kitabnya I’anat at-tholibin, bermazhab Syafi-„ie. Sewaktu kitab tersebut ditulis, hampir setiap saat terjadi diskusi antara beliau dengan Sayyid alBakry8, maka sahabat beliau seangkatan yang lain di Makkah diduga adalah al-„Allamah Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawy, al-Bantany, beliau ini dikenal sebagai Sayyid al7 8
86
Martin Van Bruinessen, op.,Cit.,hal. 27. Wawancara dengan K.H.A. Husin Hamzah (buyut beliau).
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Ulama Hijaz (tokoh pemuka ulama Makkah), pengarang kitab tafsir mirah labid li kasyfi ma’na qur’an majid-tafsir nawawy. Dan lain-lain.9 Pada masa yang sama, saat berada di Palembang, sahabat dan kerabatnya di masa kecil bernama Baba Muhammmad Najib, lulusan Psantren Cirebon dan Betawi telah berjuluk Kiyai Demang Jayalaksana yang diusulkan oleh Perdana Menteri Keramojayo Abdul Azim selaku Kepala Divisi di OKI sejak tanggal 6 Juni 1836. Selanjutnya menjadi iparnya. Dalam masa Pemerintahan Bersama (Darul „Ahdi) ini, Syekh Muhammad Azhari al-Falimbani mengajak iparnya selain bertugas memelihara keamanan dan kesejahteraan rakyat di OKI, juga turut memperjuangkan dan menegakkan identitas kaumnya selaku Muslim Melayu yang bermazhab alSyafi‟ie (fiqh), al-Junaidy (tasawuf/ akhlak), al-Sammany (tarekat/ zikir), al-Asy‟ary (aqidah/ tauhid). Mengenai murid-murid beliau di Palembang masih belum diketahui semuanya. Beliau mulai aktif mengajar sekitar tahun 1268/1843, mereka yang tercatat dan terdengar adalah sebagai berikut: 1. Haji (Baba) Balkia bin Demang Jayalaksana; (18371910) 2. K. Haji Abu Yamin al-Hafizh bin Kgs. H. A. Malik; 3. (Baba) Haji Muhammad Najib bin Haji Balkia; 4. (Baba) Haji Muhammad Arif bin Haji Balkia.10 5. Dan dari lainnya, termasuk dari Bangka, Belitung, Malaka, dls.
9
Lois Ma’luf, Op.,Cit., halaman 719. Wawancara dengan Ki. H. M. Amin Azhari yang mendapat ijazah dala`il al-khairat secara langsung dari Haji (Baba) Muhammad Arif, wanda sekaligus sebagai gurunya sendiri di masa kecil. 10
87
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Ketiga muridnya (no.1,3,4) berangkat menunaikan ibadah haji ke Makkah bersama beliau dan menahun di sana selama dua kali puasa Ramadhan.11 C. Pemikiran Aqidah Ahlussunnah Waljama‟ahnya dalam naskah 1842 Karya Tulis 1. Kitab ‘Athiyat al-Rahman, Makkah, 1259.H/1842.M.12 2. Kitab Al-Qur’an al-‘Azhiem , 3 ulu Palembang Kampung Demang Jayalaksana, 1263.H/1848.M.13 3. Kitab Tuhfat al-Muridien, Jami‟ah Syulahdar (Sahulatiyah, India?). 1276.H/1859.M.14 4. Hamisy Kitab Siroj al-Huda, Makkah, tanpa tahun.15 5. Brosur Fadloil Membaca Sholawat Nabi Muhammad SAW. Cetakan 3 Ulu Palembang, tanpa tahun.16 6. Kitab Dala-il al-Kahirat, Cetakan 3 ulu Palembang, tanpa tahun (kitab ukuran saku, dan halamannya telah tidak utuh lagi) Naskah kitab aqo`idul iman Palembang yang berjudul “Athiyaturrahman” terdapat dua jenis. Pertama naskah cetakan Makkah tahun 1304.H./ 1887 M ?. yang digunakan untuk memaparkan makalah ini. Kedua naskah tulisan tangan sekitar tahun 1862 di Baturaja, milik Kems.H. Andi Syarifuddin Ibrahim, S.Ag. yang digunakan untyuk mewarnai tinta merah. Sesuai pula dengan kode () yang terdapat dalam naskah Makkah.
11
Wawancara dengan B. A. Hamid Cek Nang, cucu Haji Muhammad
Arif. 12
Kitab salinan tangan asli tahun 1863 di Baturaja ada pada Kms. Andi Syarifuddin, S. Ag. 19 Ilir. Cetakan Makkah, 1304.H/1886.M, pada Kms. Ahmad Husin Hamzah, 3 ulu Jayalaksana. 13 Kitab yang masih utuh pada R.H.M. Husin Natadiraja, Depaten/29 Ilir. Yang agak rusak, pada Mgs. Jufri Azim, 7 ulu lr. Famili Setia. 14 Kitab ini ada pada Mgs. Jufri Azim 7 ulu Lr. Famili Setia. 15 Ada pada Kms. M. Yunus Badar, Karang Anyar, Pebem. Palembang. 16 Ada pada Kms. H.A. Husin Hamzah, 3 ulu Palembang.
88
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Dari 19 halaman, terdapat 4 (empat) halaman (15-18) yang mengupas / mengkaji rukun iman keenam; qodlo` dan qodar, karena bab inilah terdapat pemikiran aswajanya sbb: “Maka ketahui olehmu hai saudaraku bahwasanya segala yang berlaku di dalam alam ini dari pada segala perbuatan dan perkataan hamba seperti gerak dan diam berdiri dan duduk makan dan minum dan barang sebagainya dari pada amal kebajikan seperti iman dan taat dan kejahatan seperti kufur dan maksiat sekalian itu dengan ditaqdirkan Allah Ta‟ala di dalam azal dijadikannya keabadian yang dicitakan serta dikehendakinya dengan qudratnya dan iradatnya yang qodim dan tiada dengan qodrat hamba yang baharu. Karena qudrat hamba yang baharu itu skali-kali tiada memberi bekas pada tiap-tiap suatu ada bagi hamba itu kasab artinya usaha dan ikhtiar artinya milih antara berbuat suatu dan meninggalkan dia. Allah Ta‟ala jua yang menjadikan segala perbuatan hamba itu dan adalah hamba mengusahakan dia pada zahirnya dengan usaha dan ikhtiar, disandarkan usaha dan ikhtiar itu bagi hamba pada zahirnya jua dan pada usaha dan ikhtiar itulah tempat ta‟luk hukum syara‟ pada hamba atas tiap-tiap akil baligh lakilaki dan perempuan menuntut dan memilih antara baik dan jahat pada hukum syara‟ pada hakekatnya sekali-kali tiada bagi hamba itu empunya usaha dan ikhtiar hanya sekaliannya itu dari pada Allah Ta‟ala jua jadilah hamba itu pada zahirnya mukhtar dan pada batinnya majbur17
Penutup
1. Syekh Muhammad Azhari Al-Falimbani (1811-1874) menjadi saksi hidup bagaimana kondisi kaumnya yang mengalami kebingungan dan kehilangan identitas khas Melayu Palembang. 17
Tertil “mujtahid dlm Naskah Palembang. Dan kurang beberapa
kalimat.
89
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
2. Salah satu pondasi untuk menguatkan identitas kaumnya kembali, ia mengarang kitab aqidah ahlussunnah wal jama‟ah (1842) hanya menurut pemikiran al-Asy‟ary (tidak memasukkan pemikiran al-Maturidi) dengan nama „Athiyyat al-Rahman fy „Aqaid al-Iman dan menerbitkan 105 eksemplar alQur‟an al-„Azhim di 3 ulu, kampung Demang Jayalaksana tahun 1848. 3. Di antara tiga mazhab Aqidah yang berkembang di Palembang, pertama mazhab ahlussunnah wa ljama’ah18 inilah yang wajib atasnya tiap-tiap mukallaf mengi‟tikadkan dia dan kedua mazhab qodariah dan ketiga mazhab jabbariah maka keduanya itu batil lagi sesat tiada boleh dipegang sekali-kali. Saran Syekh Muhammad Azhary al-Falimbany adalah salah seorang tokoh Islam pribumi asal Palembang. Namun lebih dikenal oleh orang luar, dan masyarakat Melayu di luar Nusantara. Jasanya dalam memelihara nilai-nilai Islam melalui sejumlah karya tulis, baik dalam bahasa Melayu maupun bahasa Arab baru diketahui sekarang, kini bangsa Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam selayaknya bersyukur, dengan memelihara dan meneruskan ajarannya ini. Catatan editor: Tulisan ini pernah disampaikan dalam seminar yang diselenggarakan oleh MUI Provinsi Sumatera Selatan, bertempat di Aula Asrama Haji Palembang, pada 14 Mei 2013. 18
Yang berpegang teguh kepada tradisi sebagai berikut: Bidang hukum Islam, menganut salah satu mazhab/Syafi’ie. Bidang Tasawwuf, menganut ajaran Imam Abu ‘Qosim al-Junaidy. Bidang Tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ary (Zamakhsyari Dhofir, Dr. Tradisi Pesantren, 1982: 1149.. Dan bidang minuman (tarekat) menganut metoda Syekh Muhammad Samman. (Dokumen).
1. 2. 3.
90
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
SYAIKH ISMĀ’ĪL DAN TAREKAT NAQSHABANDIYAH DI MINANGKABAU PERSPEKTIF NASKAH AL-MANHAL Syofyan Hadi, MA Dosen Sastra Arab pada Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang Sumatera Barat
Abstract This article provides new evidence and very different studies and theories of previous researchers about the process of entry and the dynamics of teaching congregations Naqshabandiyah Khalidiyah in Minangkabau. In this article proved that tariqa of Naqshabandiyah Khalidiyah entered and thrived in Minangkabau at the early of 19th century AD through the east coast region of West Sumatra on the influences and the kindness of Shaykh Ismā‘īl al-Khālidī al-Minangkabawī. This article tries to place Shaykh Ismā‘īl al-Khālidī al-Minangkabawī on a real portion of his capacity as a central figure of tarekat Naqshabandiyah in Minangkabau. Keywords: al-Manhal manuscript, tarekat Naqsyabaniyah Abstrak Artikel ini memberikan bukti baru dan sangat berbeda dengan kajiankajian dan teori-teori para peneliti sebelumnya tentang proses masuk dan dinamika perkembangan ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah di Minangkabau. Dalam artikel ini dibuktikan bahwa tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah masuk dan berkembang di Minangkabau pada awal abad 19 M melalui kawasan pantai timur Sumatera Barat atas pengaruh dan jasa Shaykh Ismā„īl al-Khālidī al-Minangkabawī. Artikel ini ini berupaya menempatkan Shaykh Ismā„īl al-Khālidī al-Minangkabawī dalam porsi yang sesungguhnya dalam kapasitasnya sebagai tokoh sentral ajaran tarekat Naqshabandiyah di Minangkabau. Kata kunci: Naskah al-Manhal, tarekat Naqsyabaniyah
91
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Pendahuluan Naskah al-Manhal al-‘adhb li-dhikr al-qalb (selanjutnya disingkat al-Manhal) adalah naskah yang sangat penting dalam konteks historis dan dinamika penyebaran tarekat Naqshabandiyah Khālidīyiah di Minangkabau. Setidaknya ada tiga alasan untuk menyebut bahwa naskah al-Manhal ini penting dikaji. Yaitu; Pertama, bahwa naskah ini adalah karangan Shaykh Ismā„īl al-Khālidī al-Minangkabawī tokoh pembawa dan penyebar ajaran tarekat Naqshabandiyah al-Khālidīyiah di Minangkabau. Sampai sejauh ini, para peneliti baru menemukan dua buah saja karya Shaykh Ismā„īl al-Khālidī al-Minangkabawī . Yakni Kifāyat al-ghulām fī bayān arkān al-islām wa-shurūṭih (kecukupan bagi anak dalam penjelasan tentang rukun Islam dan syarat-syaratnya) serta Risālah muqāranah urfiah wa-tauziah wa-kamāliah (risalah tentang niat shalat). Kitab pertama berisi penjelasan tentang rukun Islam, rukun iman, sifat Tuhan dan penjelasan tentang kewajiban Muslim dalam kehidupan sehari-hari. Kitab kedua merupakan buku kecil yang membicarakan keterpaduan antara niat dan lafal takbīrat al-iḥrām pada permulaan pelaksanaan shalat.1 Maka penemuan sekaligus kajian terhadap naskah ini menjadi amat penting, bukan hanya untuk menunjukan bahwa masih ada kitab lain karangan Shaykh Ismā„īl al-Khālidī alMinangkabawī yang baru ditemukan, namun lebih jauh menjadi bukti kuat yang menunjukan eksisitensinya sebagai tokoh pengembang ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah di Minangkabau. Sebab, naskah inilah yang dengan jelas menggambarkan ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah yang dikembangkannya. Kedua, bahwa dengan memperhatikan fisik naskah dan sisi penulis atau pengarang dari naskah ini, patut diduga bahwa naskah ini adalah induk dari naskah-naskah tentang ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah yang ditulis kemudian oleh ShaykhShaykh tarekat Naqshabandiyah Minangkabau dalam bentuk uraian 1
Muhammad Shaghir Abdullah, Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara Jilid I (Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1991), 143. Lihat juga MartinVan Bruinessen, Tarekat Naqshabandiyah di Indonesia, Survei Historis, Geografis dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1994), 98. Begitu juga M Sholihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 80.
92
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dan penjelasan yang lebih rinci. Dugaan itu didasari kepada temuan angka tahun penulisan naskah yang menyebutkan tahun 1245 H/ 1819 M. Dengan demikian, naskah al-Manhal ini adalah naskah tentang ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah tertua yang ditemukan di Minangkabau. Ketiga, penjelasan terhadap ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah dalam naskah inipun tergolong unik dan menarik, yaitu dalam bentuk Naẓm atau bait-bait menyerupai syair lengkap dengan wazan, baḥar dan qāfiyah-nya yang indah. Dalam penelusuran yang pernah dilakukan oleh para filolog terhadap naskah-naskah ajaran tarekat di Minangkabau, khususnya tarekat Naqshabandiyah belum lagi ditemukan adanya naskah ajaran tarekat termasuk Naqshabandiyah yang dituangkan oleh penulisnya dalam bentuk bait-bait syair (naẓm) dalam konteks Minangkabau.
Tentang Naskah al-Manhal al-‘adhb li-dhikr al-qalb Naskah al-Manhal ini adalah koleksi Surau Lamo Tuanku Mudiek Tampang Rao Pasaman. Sebuah surau pusat tarekat Naqshabandiyah di kawasan Pasaman perbatasan Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Naskah al-Manhal merupakan salah satu dari 32 naskah yang tersimpan di surau tersebut. Naskah-naskah yang berada di surau ini merupakan milik keluarga dan tidak bisa diakses oleh selain pihak keluarga. Bahkan, pihak keluargapun hampir tidak pernah menyentuh naskah-naskah ini, karena dianggap sebagai benda yang sakral. Hal inilah yang menjadikan naskah koleksi di surau ini tidak mendapatkan sentuhan apalagi perobahan wujud dalam bentuk perbaikan fisik, termasuk untuk memberikan nomor halaman dan kode naskah sekalipun. Informasi tentang pengarang ditemukan pada halaman 5 dan 6 naskah. “Inilah wasiat saya faqīrun ilá Allāhi ta‘ālá mawlāhu al-ghanī Shaykh Ismā„īl pada sekalian jemaah saya yang pergi naik haji di Makkah al-musharrafah tiap-tiap tahun. Maka hendaklah di amal wasiat saya ini. Demikianlah wasiat saya itu. wasiat saya ini saya terima daripada guru saya Shaykh Muḥammad Ṣāliḥ ibn Ibrāhīm al-Ra‟īs mufti al-shāfi„ī di Makkah al-maḥmiyyah al-majdiyyah dan guru saya Shaykh „Abd Allāh Affandi al-Khālidī al-Naqsyabandī. 93
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Sekalipun Naskah al-Manhal dikarang oleh Shaykh Ismā„īl al-Khālidī, namun berat dugaan naskah ini tidak tulis langsung oleh Shaykh Ismā„īl al-Khālidī. Naskah ini diduga merupakan naskah salinan yang disalin oleh muridnya atau pihak lain. Dugaan itu didasari kepada bentuk tulisan yang sedikit “sembraut” dan terdapat banyak sekali kesalahan baik dari segi kaidah penulisan maupun gramtaikalnya. Asumsinya adalah tidak mungkin seorang ulama sekaliber Shaykh Ismā„īl al-Khālidī yang belajar di Makkah dan Madinah selama lebih dari 35 tahun serta berlajar kepada ulamaulama Timur Tengah terkemuka pada masanya, sepertinya tidak mengerti tata bahasa atau gramatikal bahasa Arab. Kesalahan garamatikal yang terdapat dalam teks merupakan kesalahan yang sangat fatal dan tidak bisa ditolerir bagi seorang yang pernah belajar lama di Timur Tengah. Namun demikian, sayang sekali informasi tentang penyalin tidak ditemukan dalam naskah ini. Mengenai angka tahun penulisan naskah seperti yang telah disinggung sebelumnya bisa ditemukan pada halaman 54 naskah alManhal ini, yaitu tahun 1245 H atau sekitar tahun 1829 M. Pada di halaman 14 ditemukan bahwa naskah ini ditulis di rumah sulūk Riau. Angka tahun dan tempat yang disebutkan dalam naskah ini adalah angka tahun dan tempat penulisan naskah, karena sekali lagi andai kata dugaan bahwa naskah ini salinan maka angka tahun dan tempat penyalinanya tidak ditemukan dalam naskah. Naskah al-Manhal ditulis menggunakan bahasa Arab dan Melayu dengan menggunakan Aksara Arab dan aksara Jawi (ArabMelayu). Pada beberapa bagian ditemukan kata-kata dengan bahasa khas Minangkabau seperti kata “dukuh” pada halaman 17 yang berarti “kalung”, kata “dipataruhkan” pada halaman 49 yang berarti “dititipkan” dan sebagaiya. Adapun bentuk teks dari naskah al-Manhal adalah gabungan dari prosa dan puisi. Pada bagian pertama, yaitu halaman 1 sampai halaman 11 teks berbentuk prosa yang berisi uraian tentang beberapa ajaran Naqshabandiyah yang bersifa deskriptif. Sementara dari halaman 11 sampai halaman 57 teks berbentuk naẓm (puisi) dengan pola tarjamahan perkata dan perbaris pada setiap bait dari puisi tersebut. Naskah ditulis menggunakan kertas Eropa dengan cap kertas (water mark) bergambar singa dan cap bandingan bertuliskan 94
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
GESC I II IV T. Namun, setelah dilacak pada buku petunjuk cap kertas yang disusun oleh W.A Churchill dan Edward Heawood tidak ditemukan cap kertas dengan cap tandingan seperti yang terdapat dalam alas naskah al-Manhal. Oleh karena itu, tidak bisa diketahui kapan tahun pembuatan kertas ini. Bila diterawang, kertas ini mempunyai 7 chain line (garis tebal) dengan alur horizontal dan laid line (garis tipis) berjarak 1 cm dengan alur vertikal. Jarak antara chain line sebesar 2,7 cm. Naskah al-Manhal terdiri dari 57 halaman yang masih utuh. Beberapa halaman depan dan belakang sudah hilang serta beberapa halaman di tengah. Naskah al-Manhal merupakan salah satu naskah yang sudah sangat memprihatinkan, karena naskah tidak lagi mempunyai cover/sampul dan pada halaman paling belakang sudah ada sebagiannya yang robek dan rusak karena dimakan rayap. Jilidannya sudah sangat rapuh serta kondisi teks yang sebagian sudah rusak dan sebagian kabur akibat dimakan usia ditambah lagi perawatan yang tidak semestinya dari pemilik. Ukuran naskah 21 cm x 17 cm dengan vias atas 2 cm, vias bawah 3 cm, vias kanan 1,2 cm, vias kiri 4 cm. Naskah MADQ secara umum dalam keadaan bagus dan masih bisa dibaca kecuali pada beberapa bagian saja yang kabur. Naskah tanpa penomoran halaman. Teks berukuran 16 cm x 12 cm dengan jumlah baris dalam setiap halaman rata-rata 7 baris pada teks yang berbentuk puisi dan rata-rata 17 baris untuk teks yang berbentuk prosa. Kecuali pada halaman 15 yang hanya terdapat 5 bait, karena di bagian tengah teks terdapat narasi 3 baris yang menjelaskan judul pembahasan teks. Pada halaman 42 juga terdapat satu bait puisi yang ditulis pada bagian pinggir kanan teks. Pada setiap baris yang berbentuk puisi diiringi dengan terjemahan perkata dengan bahasa melayu dan sebagian ada juga dengan bahasa Minangkabau. Kecuali ada beberapa bait dari pusi yang tidak ditemukan adanya tarjamahan seperti satu bait pada halaman 35. Begitu juga, pada halaman 45 pada bait ketiga, hanya separoh bait (hashwu)nya saja yang ditarjamahkan. Naskah menggunakan alihan, yaitu satu atau lebih kata yang terdapat di bagian bawah halaman recto, dan merujuk pada halaman berikutnya. 95
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Teks ditulis dengan tinta hitam dengan jenis khat “naskhi lokal”. Artinya bahwa jenis tulisan secara umum cendrung kepada bentuk naskhi, namun tidak terlalu persis seperti khat naskhi yang berlaku dalam aturan kaligrafi Arab. Pada setiap kalimat yang berbahasa Arab diberi harkat oleh penyalin, sekalipun banyak penempatan harkat yang salah menurut kaidah gramatika bahasa Arab. Tidak ditemukannya rubrikasi, ilustrasi ataupun iluminasi dalam naskah.
Shaykh Ismā‘īl dan Dinamika Perkembangan Ajaran Tarekat Naqshabandiyah di Minangkabau Di samping berisi ajaran-ajaran pokok tarekat Naqshabandiyah, naskah al-Manhal ini mengandung banyak informasi yang berharga, baik tentang Shaykh Ismā„īl al-Khālidī alMinangkabawī sebagai penyebar pertama ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah di Minangkabau maupun tentang ajaran dan dinamika tarekat Naqshabandiyah al-Khālidīyiah pada fase awal perkembangannya yang selama ini masih dianggap kabur dan samar. Berikut akan dipaparkan hal-hal penting terkait dengan informasi naskah al-Manhal ini. Pertama, Shaykh Ismā„īl al-Khālidī al-Minangkabawī dianggap sebagai seorang tokoh pertama pembawa dan penyebar ajaran tarekat Naqshabandiyah di Minangkabau. Namun, sampai sejauh ini belum satupun peneliti yang bisa mengungkapkan secara pasti kapan masa tokoh ini hidup, walaupun ada kesepakatan sementara peneliti yang menyebutkan bahwa Shaykh Ismā„īl pernah belajar pada masa, tempat, dan guru yang sama dengan „Abd alṢamad al-Palimbani dan Muhammad Arshad al-Banjari.2 Semua penjelasan tentang kehidupan pengarang masih bersifat asumsi dan perkiraan dan belum didasari data, fakta dan informasi yang akurat. Namun demikian, naskah al-Manhal ini dan satu naskah lain tentang ajaran tarekat Naqshabandiyah yang juga ditemukan di daerah Pasaman tepatnya surau Shaykh Muhammad al-Amīn Kinali, sedikit bisa memberikan informasi yang valid 2
Di antara guru-guru tempat tokoh-tokoh ini belajar adalah Ibrāhīm alRa’īs, Muhammad Murad, Muhammad al-Jauhari dan ‘Aṭā’illāh al-Miṣrī. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Jakarta: Prenada Media, 2005),247.
96
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
tentang kehidupan pengarang. Pada halaman 54 naskah al-Manhal ini ditemukan angka tahun penulisan naskah. Disebutkan, “Sungguhnya telah sempurna menazamkan akan arjūzah ini sanat 1245.” Angka tahun ini menurut hasil konversi dengan tahun Masehi sekitar tahun 1829 M. 3 Dan pada halaman 14 naskah alManhal, ditemukan bait yang menginformasikan bahwa naskah ini ditulis di rumah sulūk Riau. Petunjuk tahun ini sekaligus membantah anggapan populer yang selama ini dikemukan oleh sebagian peneliti seperti Martin van Bruinessen yang menyebutkan bahwa Shaykh Ismā„īl setelah menjadi khalifah Tarekat Naqshabandiyah di Makkah, kembali ke Riau sekitar tahun 1850-an M.4 Bahwa Shaykh Ismā„īl al-Khālidī pernah tinggal di Riau serta menjadi guru dan penasehat raja muda Riau yang Dipertuan Muda Raja Ali, mungkin bisa diterima. Hal itu dikarenakan adanya 3 Angka tahun yang ditemukan dalam naskah MADQ ini sekaligus menjadi bukti kuat kalau ajaran tarekat Naqshbandiyah, khususunya Naqshabandiyah Khalidiyah masuk ke Minangkabau pada awal abad 19 M. Bukti lain yang menguatkan pendapat ini adalah, bahwa semua tokoh penyebar dan pengembang ajaran tarekat Naqshabandiyah di Minangkabau mengambil bai‘at dan ijazah di Jabal Qubays, terutama kepada Shaykh Sulaymān al-Qirimī dan khalifahnya Sulaymān al-Zuhdī. Sementara Jabal Qubays sebagai pusat ajaran tarekat Naqshabandiyah baru terbentuk pada awal abad 19 M, setelah Shaykh Ghulām ‘Alī mengangkat ‘Abd Allāh al-Makkī (w.1852 M) sebagai khalifahnya di Makkah. Adapun anggapan yang mengatakan bahwa tarekat Naqshabandiyah masuk ke Minangkabau pada awal abad 17 M adalah hal yang masih diragukan, karena tidak ada bukti yang kuat menunjukan hal itu. Pendapat ini hanya didasarkan pada temuan sebuah naskah yang berjudul Lubāb al-Kifāyah karya seseorang bernama Jamāl al-Dīn. Satu-satunya salinan naskah ini yang masih ada dibuat tahun 1859 M. Jamāl al-Dīn sendiri masih belum diketahui kapan masa hidupnya. Van Ronkel kemudian menduga bahwa Jamāl al-Dīn ini Hidup pada abad 17 M. Dugaan ini didasari analisa terhadap dua nama yang disebutkan dalam teks tersebut; Aḥmad Khawajakani dan Hafith Kasyghari yang diduga guru Jamāl al-Dīn Pasai dan hidup pada abad 17 M. Masa inilah yang kemudian dijadikan alasan Van Ronkel untuk mengatakan bahwa tarekat Naqshabandiyah masuk ke Minangkabau abad 17 M. Namun demikian, sekali lagi bahwa pendapat yang dikemukan oleh Van Ronkel ini hanya merupakan dugaan semata, tanpa didukung oleh bukti yang kuat. Berdasarkan penelusuran lebih jauh, seperti yang diungkap Bruinessen ternyata kedua nama itu adalah Shaykh Naqshabandiyah yang hidup pada masa khawajakan yaitu antara tahun 1400-1550 M, jauh sebelum naskah itu sendiri ditulis. Dengan demikian, kedua nama yang disebutkan dalam naskah tersebut dipastikan tidak pernah bertemu dengan Jamāl al-Dīn, sehingga masa hidup Jamāl al-Dīn pun sampai sekarang masih belum diketahui. 4 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah,148.
97
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
informasi dalam naskah yang menyebutkan tempat penulisan naskah di rumah sulūk Riau. Sementara itu, pada hal 175 naskah Kinali karangan Shaykh Muhammad al-Amīn al-Khālidī ditemukan angka tahun wafatnya Shaykh Ismā„īl al-Khālidī.5 Disebutkan bahwa; “Shaykh Ismā„īl Khālidi wafat pada hari isnain 23 bulan Zul Hijjah pada tahun 1275 H”. Informasi ini juga mematahkan anggapan dan perkiraan para peneliti selama ini yang mengatakan bahwa Shaykh Ismā„īl alKhālidī hidup antara tahun 1125- 1260 H atau sekitar tahun 16941825 M,6 ataupun pendapat yang mengatakan Shaykh Ismā„īl hidup tahun 1276-1334H/1816-1916 M.7 Walaupun dari naskah alManhal ini ditemukan angka tahun kembalinya ke tanah air dan pada naskah Kinali ditemukan tahun wafatnya, namun tahun kelahirannya masih belum bisa diketahui secara pasti. Kedua, naskah al-Manhal ini juga memberikan petunjuk bahwa ajaran tarekat Naqshbandiyah Khalidiyah yang dikembangan oleh Shaykh Ismā„īl al-Khālidī sangat mementingkan penguasaan dan pengamalan ilmu syari‟at kepada para pengikutnya. Praktek amaliyah pengikut ajaran tarekat Naqshabandiyah di Minangkabau dalam beberapa hal dekat dengan praktek amalan pengikut ajaran tarekat Rifa‟iyyah, Sammaniyah dan Qaḍiriyah. Dugaan itu muncul dari ungkapan yang dikemukan oleh Shaykh Ismā„īl al-Minangkabawī di dalam naskah ini yang mendorong pengikutnya untuk sungguh-sungguh membaca dan memahami serta mengamalkan ajaran yang terdapat dalam kitabkitab yang dikarang oleh Shaykh Nūr al-Dīn al-Raniri, Shaykh „Abd al-Ṣamad al-Palimbani, Shaykh Muhammad Arshad al-Banjari. Seperti yang diketahui, bahwa Shaykh Nūr al-Dīn al-Raniri adalah penganut dan pengembang ajaran tarekat Rifa‟iyah. 8 Sementara Shaykh „Abd al-Ṣamad al-Palimbani dikenal sebagai penganut dan 5
Informasi yang sama juga diperoleh dari naskah Nahjat al-Sālikīn waBahjat al-Maslakīn karangan Shaykh Muḥammad Ḥusayn ibn ‘Abd al-Ṣamad alKhālidī yang tersimpan di surau Muḥammad al-Amīn Kinali Pasaman. 6 M. Solohin, Melacak Pemikiran, 76 7 Ismawati, Continuity and Chenge; Tradisi Pemikiran Islam di Jawa Tengah Abad IX-XX (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2006),11. 8 Wan Jamaluddin, Pemikiran Neo-Sufisme Abd al-Shamad alPalimbani (Jakarta: Pustaka Irfani, 2005), 138.
98
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
pengembang ajaran tarekat Sammaniyah. 9 Dan Shaykh Muhammad Arshad al-Banjari dikenal sebagai penganut dan pengembang ajaran tarekat Qaḍiriyah.10. Berikut kutipan ungkapan Shaykh Ismā„īl alKhālidī dalam naskah al-Manhal ini halaman 5. maka barangsiapa hendak yakin akan amalnya dan ibadatnya ṣaḥīḥ maka janganlah berhenti-henti daripada belajar dan jangan putus-putus daripada berlajar barang dimana tempat kita berhenti maka hendaklah dihabiskan umur kita itu di dalam berlajarkan ilmu syara‟ meski kitab bahasa melayu seperti kitab Sabīl al-muhtadīn karangan shaikh Muhammad Rashid Banjar dan kitab Ṣirāt almustaqīm karangan Shaykh Nūr al-Dīn Aceh dan kita Sayr alsālikīn karangan Shaykh „Abd al-Ṣamad Palembang dan kitab Bidāyat al-hidāyah karangan Shaykh Nūr al-Dīn Aceh juga maka barangsiapa yang manuntut ilmu syara‟ yang tiada tahu bahasa Arab maka wajiblah atasnya belajar akan salah satu daripada segala kitab bahasa melayu yang terbuat itu dangan dibeli atau dapat dangan diupah dan hendaklah berkekalan metala„ah kitab-kitab akan dia selama-lamanya jangan kita berbuat ibadat di dalam jahil niscaya sia-sia saja amal kita dan ibadat kita itu wa-Allāhu a’lam. Banyak asumsi yang bisa dikemukakan terkait latar belakang kenapa Shaykh Ismā„īl al-Khālidī mendorong pengikutnya sedemikian rupa untuk mempelajari kitab-kitab karangan tiga ulama tersebut. Di antaranya mungkin disebabkan kedekatan yang terjalin secara emosional antara Shaykh Ismā„īl al-Khālidī dengan tokohtokoh tersebut, terutama dua tokoh yang terakhir yaitu Shaykh „Abd al-Ṣamad al-Palimbani dan Shaykh Muhammad Arshad al-Banjari yang dianggap satu perguruan dengan Shaykh Ismā„īl al-Khālidī selama belajar di Tanah Suci11. Agaknya ketiga kitab tersebut juga memiliki pengaruh yang cukup besar bagi para pengikut ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah di Minangkabau. Terutama pengaruh pemikiran Shaykh Nūr al-Dīn al-Ranirī yang terbukti dengan munculnya pertentangan dan rivalitas yang sangat hebat antara pengikut ajaran tarekat 9
M. Solihin, Melacak Pemikiran, 108. M. Solihin, Melacak Pemikiran, 298. 11 Wan Jamaluddin, Pemikiran Neo-Sufisme,94. 10
99
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Naqshabandiyah Khalidiyiah yang berkembang di kawasan pedalaman Minangkabau dan sangat berorienatasi syari‟at dengan pengikut ajaran tarekat Shattariyah yang berkembang di kawasan pesisir Minangkabau dan identik dengan paham waḥdat alwujūdnya.12 Bahkan, pertarungan ini saking hebatnya seakan menjadikan kedua kubu saling menganggap sesat dan membuat Islam di Minangkabau seperti terbelah menjadi dua; Shattariyah di kawasan Pesisir dan Naqshabandiyah di wilayah Pedalaman. Ketiga, pada halaman 14 naskah ditemukan satu bait yang berbunyi;
َب َب ْو ِم َب ُل ْو ٍث َأ ْو َب ُل اْو َب ْو ِم ِم ْو ِم َب ْو * ِم َببي ِمْوت ُلس ُل ْو ٍثك ن ْوَبظ ُلمهَبا قَب ْو تَب َبَكَّ َبال
Bi-yawmi thalūthin aṭyabu al-‘īdi fī riau * bi-bayti sulūkin naẓmuhā qad takammalā Pada hari Selasa sebaik-baik hari ia fitrah di dalam negeri Riau * di dalam rumah sulūk nazamnya sungguhnya telah sempurna ia Penulisan naskah ini di Riau menunjukan bahwa Shaykh Ismā„īl al-Khālidī mengembangkan ajaran tarekat Naqshabandiyah al-Khālidīyiah di wilayah Kerajaan Riau. Pernyataan ini sekaligus mengokohkan pendapat para peneliti yang mengatakan bahwa Shaykh Ismā„īl al-Khālidī tinggal dan menetap di Riau serta menjadi penasehat Raja Ali bin Yamtuan Muda Raja Ja‟far. Seperti yang dikatakan banyak peneliti bahwa para tokoh penyebar tarekat Naqshabandiyah Khalidiyiah memiliki kedekatan dengan para penguasa. Menarik untuk dijelaskan lebih jauh bagaimanakah kedekatan Shaykh Ismā„īl al-Khālidī dengan kehidupan istana mempengaruhi ajaran tarekat Naqshabandiyah al-Khālidīyiah di Minangkabau. Dalam catatan sejarah, Shaykh Ismā„īl al-Khālidī setelah kembali dari tanah suci ke Tanah Air menetap dan mengembangkan ajaran tarekat Naqshabandiyah tidak di kampung halamannya yaitu Simabur-Batusangkar. Akan tetapi, Shaykh Ismā„īl 12 Sekalipun untuk kasus Minangkabau tarekat Syattariyah dalam perkembangannya telah melucuti ajaran waḥdat al-wujūd sebagai bagian dari inti ajaran tarekat Syattariyah yang selama ini berkembang di dunia Islam. Pelucutan ajaran waḥdat al-wujūd tersebut sebagai bentuk akomodatif dan sikap prefentif dari gejolak sosial yang akan ditimbulkannya di tengah masyarakat Minangkabau.Oman Fathurahman, Tarekat Shattariyah di Minangkabau (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), 125.
100
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
al-Khālidī lebih memilih Riau sebagai tempat berdomisili sekaligus tempat mengembangkan ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah. Shaykh Ismā„īl adalah orang yang sangat dekat dengan kalangan istana Riau, karena Shaykh Ismā„īl al-Khālidī diangkat menjadi penasehat Raja Ali bin Yamtuan Muda Raja Ja„far.13 Kenyataan ini sekaligus membuktikan dan mengokohkan anggapan para ahli selama ini yang berkesimpulan bahwa tarekat Naqshabandiyah memiliki kemampuan untuk berkembang dengan baik, mendapat tempat dan pengikut yang banyak serta mampu menjaga eksistensinya dalam waktu yang lama adalah karena kemampuannya mendekati dan mengambil hati penguasa setempat.14 Para tokoh penyebar tarekat Naqshabandiyah semenjak masa-masa awal berdirinya dikenal sebagai sosok yang mampu menjalin hubungan yang harmonis denga para penguasa.15 Tentu saja hal yang menarik untuk dikaji terkait informasi awal naskah ini, tentang latar belakang yang membuat Shaykh Ismā„īl al-Khālidī lebih memilih mendekati kalangan penguasa dan berda‟wah di kalangan istana daripada berda‟wah di kampung halamannya dan dengan rakyat jelata, berikut dampak kedekatan tersebut dengan perkembangan tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah di Minangkabau. Karena menurut sebagian peneliti, kedekatannya dengan penguasa inilah yang kemudian membuat Shaykh Ismā„īl mendapatkan kritikan yang tajam dari para ulama zamannya, seperti Sālim bin Sāmir al-Haḍramiy,16 yang pada akhirnya membut Shaykh Ismā„īl harus meninggalkan istana dan kembali ke tanah suci untuk 13
Martin van Bruinessen, tarekat Naqsyabandiyah, 99. Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara (Jakarta: Kencana, 2005), 89. 15 Dalam catatan sejarah ditemukan bukti bahwa hampir semua tokoh tarekat Naqsyabandiyah di kawasan Persia dan Asia kecil adalah orang-orang yang sangat dekat dan menjadi penyokong kekuasaan. Khawaja Ubayd Allāh Aḥrār misalnya salah satu Quṭb, wali, dan pemimpin spritual tarekat Naqsybandiyah di Asia pada akhir abad 15 M tercatat sebagi tokoh yang paling harmonis hubungannya dengan raja-raja dan bangsawan di Turkistan, Transoxiana, Irak dan Azarbaijan, bahkan para penguasa zamannya adalah pengikut ajaran tarekat Naqsyabandiyah. Dalam kitabnya Majālis Ubayd Allāh Aḥrār, dengan tegas Syaikh Ubayd Allāh mengemukakan pandangannya tentang kekuasaan. Pertama, Menjadi Sultan adalah derajat mulia, bahkan setara dengan nabi. Kedua, peran sufi adalah melindungi umat Islam, menasehati sultan, mencegah penindasan, dan mengingatkan raja akan tugasnya. Ketiga, bahwa melakukan itu bahkan terjun ke kancah politik penguasa adalah kewajiban para syaikh tarekat. Lebih lanjut lihat (Nasr, dkk, 2003: 286) 16 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsuabandiyah, 100. 14
101
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
selamanya hingga maut menjemputnya di perantauan. Sehingga, pemikiran-pemikiran Shaykh Ismā„īl al-Khālidī kemudian hanya bisa di akses oleh murid-muridnya asal Minangkabau bagi yang datang sebagai jemaah haji ke tanah suci. Menetapnya Shaykh Ismā„īl al-Khālidī al-Minangkabawī di Riau, mungkin juga bisa memberikan jawaban kenapa ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyiah penyebarannya lebih mendominasi wilayah pedalaman Minangkabau. Berbeda dengan tarekat Shattariyah yang perkembangannya semenjak awal kedatangan di Minangkabau lebih mendominasi wilyah pesisir Minangkabau. Sebab, Riau secara geografis dekat dengan kawasan pedalaman Minangkabau, bahkan dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bahwa Riau adalah termasuk wilayah Minangkabau yang dikenal dengan istilah daerah Rantau Luhak Limo Puluh Koto.17 Martin Van Bruinessen menyebutkan bahwa pada penghujung abad sembilan belas, di Makkah tidak hanya ada Shaykh-Shaykh Naqshabandiyah Khalidiyah yang satu sama lainnya berkali-kali terlibat pertarungan sengit, melainkan juga ada ShaykhShaykh yang lebih gigih dari keluarga al-Zawawī yang notabene pengembang ajaran tarekat Naqshabandiyah al-Muzhariyah. Keluarga al-Zawawī ini di Nusanatara memiliki hubungan yang sangat erat dengan keluarga kerajaan Pontianak dan Kerajaan Riau tempat dimana Shaykh Isma‟il al-Khālidī lebih dahulu mengembangkan tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah. Dan orang yang paling berjasa dalam rangka membawa dan menyebarkan ajaran tarekat Naqshbandiyah Muzhariyah ke Nusantara, termasuk ke Riau dan Pontianak adalah Abd al-„Aẓīm Mandur.18 Raja Muhammad Yusuf yang menggantikan kedudukan Yang Dipertuan Raja Ali (1858-1899), kemudian diangkat menjadi khalifah dan pucuk pimpinan tertinggi tarekat Naqshabandiyah Muzhariyah di Riau adalah salah satu bukti keberhasilan Shaykh Abd al-„Aẓīm Mandura menyebarkan tarekat Naqshabandiyah Muzhariyah di Nusanatara.19 17
Terkait dengan uraian tentang wilayah Minangkabau lihat lebih jauh (Jamal, 1985, Mansur, 1970: 4, dan Hakimi, 1980). Dan penegasan bahwa Riau adalah bagian dari wilayah Minangkabau masa lalu bisa dilihat (Pemda Sumatera Barat, tt: dan Lestari, 2008) 18 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabaniyah, 176. 19
102
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsybandiyah, 177. Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Kesimpulan Naskah al-Manhal setidaknya sampai penelitian ini dilakukan merupakan naskah yang boleh dianggap yang paling otoritatif dalam konteks sejarah dan dinamika perkembangan ajaran tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau bahkan Nusantara. Naskah ini ditulis langsung oleh syaikh Isma‟il al-Khalidi alMinangkabawi pembawa dan pengembang ajaran tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Nusantara. Naskah ini sekaligus memberikan petunjuk bahwa syaikh Isma‟il al-Khalidi alMinangkabawi sebagai tokoh sentral pengembang ajaran tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Nusantara tidak pernah kembali ke tanah kelahirannya di Minangkabau dan lebih memilih berkarir dan mengembangkan ajaran tarekat Naqsyabandiyah di Singapura dan kemudian di Kerajaan Riau Lingga Pulau Penyengat. Alasan politik dan sosio-kultural Minangkabau saat itu menjadi penyebab utama syaikh Isma‟il al-Khalidi lebih memilih tinggal dan berda‟wah di kalangan Istana Kerajaan Riau daripada pulang ke kampung halamannya di Simabur. Namun, kontak, transmisi dan komunikasi keilmuaan antara syaikh Isma‟il al-Khalidi al-Minangkabawi dengan para murid dan calon pengikut ajaran tarekat Naqsyabandiyah yang berasal dari Minangkabau tetap berlangsung di Pulau Penyengat ini. Syaikh Isma‟il pula yang memiliki andil besar dalam mengarahkan jema‟ah haji dan para penuntut ilmu hakikat asal Minangkabau untuk mengambil ijazah tarekat Naqsyabandiyah ke Jabal Qubais Makkah. Sehingga, dalam konteks Minangkabau Syaikh Isma‟il lebih tepat disebut mediator yang menghubungkan antara Minangkabau dan Jabal Qubis Makkah daripa syaikh yang langsung memerikan ijazah tarekat kepada murid-muridnya. Karena terbukti semua tokoh tarekat Naqsyabandiyah Minangkabau ijazahnya berasal dari Jabal Qubais di Makkah dari Syaikh Sulaiman al-Qirmi sahabat Syaikh Isma‟il al-Khalidi dan khalifahnya syaikh Sulaiman al-Zuhdi.
103
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Daftar Pustaka al-Khālidī, Muḥammad al-Amīn. “Naskah Ajaran Tarekat alNaqshabandiyyah Khalidiyah.” Koleksi surau Muḥammad al-Amīn Kinali-Pasaman. al-Khālidī, Muḥammad Ḥusayn ibn „Abd al-Ṣamad. “Naskah Nahjat al-Sālikīn wa-Bahjat al-Maslakīn.” Koleksi surau Muḥammad al-Amīn Kinali Pasaman. al-Khālidī, Shaykh Ismā„īl. “al-Manhal al-„adhb li-dhikr al-qalb”. Koleksi surau Mudiek Tampang Rao- Pasaman. ............................................ “Mawāhib rabb al-falaq sharh binti almilaq.” Koleksi Apria Putera Payakumbuh.
Abdullah, „Abdurrahman Haji. Pemikiran Islam di Malaysia sejrah dan aliran. Jakarta: Gema Insani Press, tt Abdullah, Muhammad Shaghir. Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara Jilid I. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1991 ................................................. Syeikh Ismā‘īl al-Minangkabawi Penyiar Thariqat Naqshabandiyah Khalidiyah. Solo: Ramadhani, tt al-Kurdī, Muhammad Amin. Tanwīr al-Qulūb fī Mu‘āmalat ‘Allām al-Ghuyūb. Jeddah: al-Haramain, tt Amin, Syamsul Munir. Karomah Para Kiyai. Yogyakarta: LkiS, 2008. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Prenada Media, 2005 .................................. Islam Nusantara, Jaringan Global dan Lokal. Bandung: Mizan, 2002 Baṣrī, „Abbās Ḥusain. al-Mużakkirah al-Żahabiyyah fī al-Ṭarīqah al-Naqshabandiyah. „Idpo: Awlad al-Ghanimi, 1996 Bruinessen,Martin Van. Tarekat Naqshabandiyah di Indonesia, Survei Historis, Geografis dan Sosiologis. Bandung: Mizan, 1994 Fathurahman, Oman. Tarekat Shattariyah di Minangkabau. Jakarta: Prenada Media Group, 2008 104
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Ismawati. Continuity and Chenge; Tradisi Pemikiran Islam di Jawa Tengah Abad IX-XX. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2006 Jalāl al-Dīn. Rahasia Mutiara al-ṭarīqah al-Naqshabandiyah. Bukittinggi: Partai Politik UmAat Islam (PPTI), 1950 Jamal, Mid. Menyigi Tambo Alam Mingkabau; Studi Perbandingan Sejarah. Bukittinggi: CV.Tropic,1985 Jamaluddin, Wan. Pemikiran Neo-Sufisme Abd al-Shamad alPalimbani. Jakarta: Pustaka Irfani, 2005 Lestari, Adek. Surau Masa Lalu Pada Masa Kini Luhak Agam, dalam Budi Santoso, S.J (Ed), Gemerlap Nasionalitas Postkolonial. Yogyakarta: Kanisius, 2008 Mansur, M.D. et.al. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bharata, 1970 Mulyati, Sri. Tasawuf Nusantara. Jakarta: Kencana, 2005. Nasr, Seyyed Hossein. dkk, (Ed), Warisan Sufi Volume II; Warisan Sufisme Persia Abad Pertengahan (1150-1500). Depok: Pustaka Sufi, 2003 Pangulu, Idrus Hakimi Dt. Rajo. Mustika Adat Basandi Syarak. Bandung: Redha, 1980 Sa‟id, Fuad. Hakikat Tarikat Naqshabandiyah. Jakarta: al-Husna Zikra, 1999 Sajorah, Wiwi Siti Siti. Tarekat Naqshabandiyah; Menjalin Harmonis dengan Kalangan Penguasa, dalam Sri Mulyati, (et.al), Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2005 Sholihin, M. Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005 Shayikh Abdul Azhim al-Manduri mursyid Tarekat Naqsyabandiyah, http://www.blogger.com/utusan/cetak.asp?y=2009& dt=0119&pub=Utusan_Malaysia&sec=Bicara_Agam a&pg=ba_01.htm. Diakses 8 agustus 2010 Wan Mohd. Shaghir Abdullah, Manaqib Hijrah:Syeikh Nawawi Al-Bantani, 105
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
http://mohdshahrulnaim.blogspot.com/2009/12/m anaqib-hijrahsyeikh-nawawi-al-bantani.html. Diakses 8 Agustus 2010
106
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
PERAN ELIT MASYARAKAT: STUDI KEBERTAHANAN ADAT ISTIADAT DI KAMPUNG ADAT URUG BOGOR Asep Dewantara, S.Hum Pemerhati Sejarah dan Budaya Lokal
Abstract The Fieldwork with the title, The Role of Elite Society: Studies of Custom Viability in Kampung Adat Urug in Bogor, aims first to test the theory of Ajip Rosidi on Socio-Cultural Change through field data or empirically. Second to express cultural values in customs or local knowledge in Kampung Adat Urug and explain their traditional role as Chairman of elite society in maintaining the continuity of the tradition. Keywords: Elite Society, Custom Viability, Kampung Adat Urug Abstrak Penelitian lapangan dengan judul Peran Elit Masyarakat: Studi Kebertahanan Adat Istiadat di Kampung Adat Urug Bogor ini bertujuan pertama, menguji teori Ajip Rosidi mengenai Perubahan Sosial Budaya melalui data lapangan atau secara empiris. Kedua untuk mengungkapkan nilai-nilai budaya dalam adat istiadat atau kearifan lokal di Kampung Adat Urug dan menjelaskan peran Ketua Adatnya sebagai elit masyarakat dalam menjaga keberlangsungan adat istiadat tersebut. Kata kunci: elit masyarakat, kebertahanan, adat-istiadat, kampung adat urug.
107
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Sejarah dan Letak Geografis Secara administratif, kampung Adat Urug masuk dalam wilayah pemerintahan Desa Kiarapandak Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor. Jarak tempuh Kampung Adat Urug dari Ibukota provinsi Jawa Barat sekitar 165 Km ke arah Barat, sementara dari Ibukota Kabupaten Bogor kurang lebih 48 Km. Jika dari kecamatan Sukajaya, hanya berjarak 6 Km, sedangkan dari kantor Desa Kiarapandak lebih dekat lagi, hanya 1,2 Km1. Kampung Adat Urug yang berada di wilayah desa Kiarapandak ini dalam bahasa setempat sering disebut Lembur Urug (Kampung Urug), terletak pada kordinat 6° 34' 42" Lintang Selatan, dan 106° 29' 28" Bujur Timur, 2 dengan luas wilayah 10 Ha.3 Kampung Adat Urug berbatasan dengan Desa Nanggung kecamatan Nanggung di sebelah Timur dengan Sungai Cidurian sebagai pembatas langsung. Di sebelah Barat, Kampung Adat Urug berbatasan dengan Desa Cisarua dan Desa Pasir Madang kecamatan Sukajaya. Sementara di sebelah Selatan, Kampung Adat Urug berbatasan dengan Desa Kiarasari kecamatan Sukajaya dan Desa Curug Bitung Kecamatan Nanggung. Sedangkan di sebelah Utara, Kampung Adat Urug berbatasan dengan Desa Sukajaya dan Desa Harkatjaya kecamatan Sukajaya.4 Mengenai sejarah atau asal-usul keberadaan kampung adat di Jawa Barat, tidak akan pernah lepas dari Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran (1482-1579) di Bogor.5 dari hasil penelitian penulis di kampung Adat Urug, penulis mendapatkan keterangan yang bisa digolongkan ke dalam 1 Dinas kebudayaan dan pariwisata Kabupaten Bogor (www.disparbudjabarprov.go.id), akses 8 Oktober 2012. 2 Dinas kebudayaan dan pariwisata Kabupaten Bogor (www.disparbudjabarprov.go.id), akses 8 Oktober 2012. 3 Monografi Kampung Addat Urug Desa Kiarapandak Kecamatan Sukajaya, Bogor (Kantor Desa Kiarapandak). 4 Peta lokasi Kampung Adat Urug Desa Kiarapandak kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor (Kantor Desa Kiarapandak). 5 Adimihardja, Kusnaka, Kasepuhan yang Tumbuh di atas yang Luruh, h. 15-23.
108
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
sejarah lisan atau oral history bahwa Kampung Adat Urug memang memiliki hubugan yang erat dangan kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran.6 Sebagian keterangan ada yang sesuai dengan buku-buku akademis atau karya-karya ilmiah di seputar sejarah Jawa barat yang disusun oleh para ahli sejarah, sebagian keterangan lagi penulis sebut sebagai legenda warga kasepuhan7 yang mungkin oleh sebagian orang diartikan sebagai mitos. Menurut Abah Ukat, sejarah Kampung Adat Urug itu bisa dimulai di awal atau di akhir. Jika dari awal, yaitu awal berdirinya Pajajaran Bogor, jika di akhir, tilemna, ngahyang (menghilangnya) Prabu Siliwangi di Bogor sampai muncul di Kampung Adat Urug yang memang sudah direncanakan oleh Prabu Siliwangi sebagai tempat terakhirnya. Sebelum muncul di Kampung Adat Urug, Prabu Siliwangi menghilang dan muncul di beberapa daerah. Berikut ini adalah urutan daerah di mana Prabu Siliwangi menghilang dan muncul mulai dari Pajajaran Bogor---Panyaungan (jalan cagak (bercabang) yang ke arah Pongkor dan Cigudeg)---Parung Sapi (arah Jasinga)--Sajra (Kabupaten Lebak, Banten)--Seuni (kabupaten Pandeglang, Banten)---Lebak Binong (Cibaliung, Banten Kidul)---Cipatat---Kampung Urug.8 jadi Kampung Adat Urug adalah tempat pulang Prabu Siliwangi, “tidak akan ada tempat ini jika yang di Bogor masih ada.9 Meghilangnya Prabu Siliwangi mulai dari Pajajaran sampai terakhir di Kampung Adat Urug karena tidak mau masuk agama Islam yang pada saat itu dibawa oleh Raden Kian Santang, anaknya sendiri”.10 6
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak), Bogor, 22 April 2012. 7 Adimihardja, Kusnaka, Kasepuhan yang Tumbuh di atas yang Luruh, h. 15. 8 Daerah Panyaungan, Parung Sapi, Cipatat dan Urug masih di kabupaten Bogor, sementara daerah Sajra, Seuni dan Lebak Binong sudah masuk ke Provinsi Banten sekarang. 9 Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (ketua Adat Urug Lebak), Bogor, 22 April 2012. 10 Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (ketua Adat Urug Lebak), Bogor, 28 April 2012.
109
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Kehidupan Masyarakat Jumalah penduduk Kampung Adat Urug tercatat 5.125 jiwa dengan penduduk laki-laki berjumlah 2.875 jiwa dan penduduk perempuannya 2.250 jiwa. Sama seperti masyarakat sunda lainnya, warga Kampung Adat Urug juga mengenal pemerintahan formal. Ketua Adat di sini hanya pemimpin adat atau informal. Warga Urug terbagi ke dalam 4 RW dan 15 RT. Untuk masalah pendidikan formal bisa dikatakan, tingkat pendidikan warga Urug masuk dalam kategori rendah. Sampai bulan Maret-Juni 2012 tercatat hanya 384 murid Sekolah Dasar, tingkat SLTP 235 orang, tingkat SLTA 30 orang dan dua orang untuk tingkat perguruan tinggi.11 Dari segi politik sedikit sekali yang bisa dicatat, dalam PEMILU misalnya, seperti penuturan Abah Ukat “Sudah menjadi adat di sini dalam masalah pemilu misalnya mengenai Partai Politik itu PDI (Partai Demokrasi Indonesia), karena dari dulu dari leluhur kami juga PDI, Abah sempat bertanya masalah ini kepada warga yang sudah mempunyai hak pilih, apakah mau diteruskan atau dimusnahkan? (maksud dimusnahkan di sini mereka sama sekali tidak akan ambil bagian dalam PEMILU atau GOLPUT). Jawaban mereka, diteruskan, karena sudah menjadi adat dari dahulunya”.12 Seperti masyarakat Kasepuahan lainnya, masyarakat Kampung Adat Urug mayoritas sebagai petani dalam mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Tercatat 4.320 orang13 bekerja sebagai petani, kepemilikan lahan pertanian di Kampung Adat Urug adalah perorangan atau milik masingmasing, penulis kutip di sini beberapa petikan wawancara 11 Monografi Kampung Adat Urug, Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, kabupaten Bogor, Maret 2012 dan daftar siswa SDN Kiarapandak 02 tahun ajaran 2011/2012 pertanggal April 2012. 12 Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak), Bogor, 28 April 2012. 13 Monografi Kampung Adat Urug, Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya kabupaten Bogor, Maret 2012.
110
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dengan para ketua adat mengenai pertanian yang menjadi mayoritas kegiatan warganya, termasuk sejarah dan latar belakangnya. KEARIFAN LOKAL KAMPUNG ADAT URUG Konsep Ngaji Diri Ngaji diri (memahami diri sendiri atau mawas diri) adalah suatu ajaran dasar pembinaan moral yang di dalamnya tercermin pula pengertian koreksi diri. Ajaran tersebut dikembangkan di kalangan warga Kasepuhan sebagai upaya melawan sifat buruk dalam diri manusia, seperti iri dengki. Selain itu ajaran ini bertujuan untuk mencapai kondisi yang tertib, selaras, aman dan tentram dalam diri manusia pada kehidupan sosial di dunia sebagai bekal untuk kehidupan di akherat nanti.14 Untuk mencapai keselarasan tersebut, manusia harus mengetahui apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang dalam kehidupan sehari-hari, maka ucapan dan tindakan harus seirama. Hal ini tercermin dalam ungkapan warga kasepuhan, “mipit kudu amit ngala kudu mènta, nganjuk kudu nawur nginjem kudu mulangkeun, leungit kudu daèk ngaganti, sontakna kudu daèk nambal (mengambil dan memetik harus izin, mempunyai hutang harus dibayar, meminjam harus dikembalikan, hilang harus mengganti, rusak harus memperbaiki)” atau dalam ungkapan “nganggo kudu suci, dahar kudu halal kalawan ucap kudu sabenerna, mupakat kudu sarèrèa, ngahulu ka hukum, nyanghunjar ka nagara (berpakaian harus bersih, makan harus yang halal, mufakat harus bersama-sama, patuh pada hukum dan berlindung pada negara)”.15
14 Adimihardja, Kusnaka, Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh: Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasa Gunung Halimun Jawa Barat (Bandung: Tarsito, 1992), h. 37. Lihat pula Arthur S Nalan, Sanghyang Raja Uyeg: Dari Sakral Ke Profan (Bandung: Humaniora Utama Press, 2000), h. 15-16. 15 Adimihardja, Kusnaka, Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh, h. 37. Arthur S Nalan, Sanghyang Raja Uyeg: Dari Sakral Ke Profan, h. 15-16.
111
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Di Kampung Adat Urug, ngaji diri ini disebut pula Tapa Manusa16, memahami siapa sebenarnya jati diri manusia, hakekat manusia. Seperti penuturan Abah Ukat, Manusia diwajibkan untuk ngaji diri agar mengetahui dirinya sendiri, manusia yang sudah mengenal dirinya sendiri akan dekat dengan Gustinya (Tuhan), maka hidupnya tidak akan sombong dan angkuh, “samèmèh nyiwit batur, nyiwit heula diri sorangan (sebelum mencubit orang lain, mencubit dulu diri sendiri)”, jika tidak ingin disakiti maka jangan menyakiti orang lain, ingin dihormati, maka dia akan menghormati orang lain terlebih dahulu. Kemudian untuk apa dia diciptakan, tiada lain untuk patuh pada peraturan, taat pada perintah, dan melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya. Konsep tapa manusa atau ngaji diri juga mengharuskan manusia untuk bersikap adil, tergambar dalam ungkapan ulah nyiwit ka nu hideung ulah montèng ka nu konèng, ulah ngadèngdèk topi (jangan mencubit yang hitam, jangan berpaling ke yang kuning, jangan miring tutup kepala) artinya, harus adil dan bijak, tidak berat sebelah, tidak membedakan perlakuan terhadap orang-orang kelas menengah-atas dan kalangan bawah. misalnya dalam menerima tamu harus disamakan ketika menerima tamu antara cacah dan mènak (masyarakat biasa dan pejabat misalnya). Sebenarnya sama dengan sifat Rahman-Rahim, adil untuk semua mahluk. Pada Masyarakat Kampung Adat Urug, ajaran ngaji diri atau tapa manusa tersebut diuraikan lagi sehingga melahirkan beberapa larangan atau anjuran yang disebut talèk (aturan hidup) baik untuk pribadinya sendiri maupun untuk hidup bermasyarakat. Di bawah ini, penulis jelaskan adat istiadat atau nilai-nilai budaya yang menjadi kearifan lokal di Kampung Adat Urug dalam kehidupan sosial masyarakatnya. 1. Larangan Untuk Mengambil Yang Bukan Haknya
16 Wawancara Pribadi dengan Mang Ujang (warga dan kerabat Ketua Adat Kampung Urug), Bogor, 16 April 2012.
112
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Larangan untuk mengambil yang bukan haknya ini tergambar dalam ungkapan Mipit kudu amit, Ngala kudu mènta17 artinya mengambil atau memetik itu harus meminta izin kepada yang mempuyainya, dengan kata lain jangan mencuri. Para ketua Adat di Kampung Urug dan warga umumnya juga mengatakan hal yang sama, bahkan ada istilah jika kita melewati kebun seseorang, tangan itu harus dikepalkan18 artinya jangan memetik buah-buahan di kebun orang, jika kita memang mau, ya harus meminta izin kepada si Pemilik kebun. Di lingkungan Kampung Adat atau Kasepuhan, hal semacam inilah yang disebut pamali, sebenarnya sama dengan apa yang dikatakan haram dalam agama Islam19, maksud dan tujuannya sama hanya berbeda istilah saja. Pada Masrakat Kampung Adat Urug, ungkapan Mipit kudu amit ngala kudu mènta tidak hanya berarti secara harfiah saja, yaitu larangan jangan mencuri. Dibalik arti itu terdapat makna yang dalam menganai rasa syukur mereka terhadap Yang Maha Kuasa. Pada hakekatnya bumi beserta seluruh isinya ini adalah milik Tuhan yang dianugrahkan kepada segenap mahluknya, tanaman padi yang menjadi bahan pokok mereka dan tanaman lainnya, tumbuh di atas bumi-Nya atas izin-Nya pula, maka ketika akan mengambil atau memanen hasil dari tanaman itu, harus memohon izin dulu kepada Pemilik bumi. 2. Murah Bacot Murah Congcot Murah Bacot artinya senang menyapa orang lain dengan ramah dan sopan santun, sedangkan murah congcot, baik hati suka memberi atau berbagi makanan, congcot atau 17 Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak), Bogor, 15 April 2012. 18 Wawancara Pribadi dengan Mang Ujang (warga dan kerabat Ketua Adat Urug), Bogor, 16 April 2012. 19 Wawancara Pribadi dengan Mang Misnan (warga Kampung Adat Urug), Bogor, 18 April 2012. Wawancara Pribadi dengan Abah Amat (Ketua Adat Urug Tengah), Bogor, 17 April 2012.
113
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
aseupan adalah alat tradisional untuk menanak nasi berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman berbahan baku bambu, terkadang digunakan sebagai alat mengukus. Congcot di sini melambangkan makanan. Murah bacot murah congcot secara harfiah adalah sikap ramah tamah yang harus ditunjukkan seorang pribumi kepada tamu. Murah congcot berarti si pribumi harus menjamu tamu dengan hidangan yang ada, jika hidangan sudah disuguhkan maka harus murah bacot, si pribumi harus menawari tamu untuk mencicipinya, karena jika tidak ditawari, kemungkinan si tamu agak sungkan padahal sebenarnya mau. Dan perlu diingat satu hal, murah bacot murah congcot ini harus dilakukan dengan ikhlas, jangan mengeluh jika makanan yang sudah disuguhkan itu habis oleh tamu, karena hal semacam itu merusak amal ibadah kita. 20 Anjuran ini sepertinya lahir karena Kampung Adat Urug sering dikunjungi tamu baik pada hari-hari biasa maupun pada upacara adat, dan untuk bahan panganan sebagai hidangan sang tamu, warga Kampung Adat Urug selalu tersedia, karena mereka belum pernah kekurangan bahan pokok makanan terutama beras. 3. Guru Ratu Wong Atuo Karo Guru Ratu Wong Atua karo, wajib menghormati guru, ratu (pemerintah) dan kedua orang tua, terutama kedua orang tua, “itu adalah pakem sepuh. Jadi Orang tua itu merupakan Guru dan sekaligus Ratu, kenapa kedua orang tua ditulis di belakang, bukan berati kedua orang tua menjadi yang terakhir dihormat diantara ketiganya, justru harus paling pertama dan utama dihormat, karena tadi, kedua orang tua itu berperan atau mempunyai fungsi sebagai Guru dan Ratu”. Begitulah penuturan dari Bapak Ade Eka komara yang tidak jauh berbeda maknanya dengan yang disampaikan oleh ketiga orang ketua adat mengenai penghormatan kepada orang tua. 20 Wawancara Pribadi dengan Abah Amat (Ketua Adat Urug Tengah) dan Abah Kayod (Ketua Adat Urug Tonggoh), Bogor, 19 April 2012.
114
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
“Ada peribahasa, Indung kudu dipunjung, bapa kudu dipuja, munjung ulah sok ka gunung, muja ulah sok ka sagara (jangan menyembah pada gunung dan lautan tapi “sembahlah” ibu bapa/kedua orang tua), karena indung tunggul rahayu bapa tangkal darajat, Kalau kita ingin punya kerahayuan, keselamatan hidup dunia dan aherat, mintalah do’a kepada ibu, jangan ke mana-mana dan benar-benar ibu kita itu harus dihormat. Apabila ingin punya derajat kehidupan, jangan pergi ke mana-mana tapi datangi yang jadi bapa, mintalah do’anya, benar-benar hormati bapa apabila kita ingin punya derajat kehidupan, karena kuncinya ada pada orang tua, sebab ridhonya Allah SWT ada pada orang tua kita”.21 4. Hidup Sederhana dan Mandiri Hidup sederhana di sini maksudnya jangan berlebihan dalam segala sesuatu. Misalnya makan hanya sekedar penghilang lapar, minum sekedar menghilangkan haus dan tidur hanya untuk menghilangkan kantuk, jangan berlebihan, dan jangan pula kekuarangan asal berkecukupan. makan hanya penghilang lapar tujuannya untuk menghindari sifat rakus, ketika manusia sudah memiliki sifat rakus, tamak dan serakah, ngarawu ku siku (mengambil seusatu bukan lagi dengan ukuran kepalan tangan tapi dengan siku) yang pada akhirnya hak orang lain terambil. Kemudian tidur hanya penghilang kantuk, manusia itu hidup punya kewajiban baik masalah dunia maupun aherat, jangan siang dan malam tidur, siang untuk bekerja mencari nafkah untuk keluarga, malam untuk istirahat, segala seuatu juga harus pada waktu dan tempatnya. Juga bisa menimbulkan penyakit jika tidur dan makan berlebihan.22 Dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, tertulis Jaga rang hèès tamba tun(n)duh, nginum tamba hanaang, 21
Wawancara Pribadi dengan Bapak Ade Eka Komara (SEKDES Kiarapandak), Bogor, 21 April 2012. 22 Wawancara pribadi dengan Bapak Ade Eka (Sekretaris Desa Kiarapandak), Bogor, 21 April 2012.
115
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
nyatu tamba ponyo, ulah urang kajon(ng)jonan. Yatnakeun maring ku hanteu. (Hendaklah kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah kita berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa.23Pada masyarakat Kasepuhan hidup berkecukupan ini, tidak berlebihan dan tidak kekurangan, disebut Siger tengah (ditengah-tengah), diungkapkan dengan kalimat ulah hareup teuing bisi tijongklok, ulah tukang teuing bisi tijengkang (jangan terlalu depan, nanti tersungkur, jangan terlalu belakang, nanti terlentang).24 5. Pengendalian Alat Tubuh Salah satu jalur pamali di kampung Adat Urug yaitu mengendalikan alat tubuh. Alat tubuh atau indera kita jangan sampai disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak baik. Indra kitapun sudah tau haknya masing-masing Sekarang misalnya hidung hanya bisa mencium, sukanya wewangian, telinga hanya bisa mendengar, mata hanya bisa melihat, makan syariatnya hanya dilakukan oleh mulut, lidah yang merasakan, tapi mata, telinga dan hidung tidak pernah protes ingin merasakan makanan yang di makan oleh mulut, karena mereka sadar akan haknya masing-masing. Begitupun manusia harus konsisten dengan tugasnya masing-masing. Jadi pamali itu banyak jalurnya bila kita melanggar pasti badan yang merasakan akibatnya ada pribahasa nafsu kasasarnya lampah badan anu katempuhan (bila kita terbawa nafsu, maka badan yang menanggung akibatnya). Bicara jangan sembarangan, melangkah jangan salah. Kata orang tua jaman dulu, lebok mah ulah ditincak (jalan berlubang jangan dilewati), nanti celaka.25 23 Danasasmita, Saleh, dkk., Sewaka Darma, Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan, h. 82 dan 105. 24 Adimihardja, Kusnaka, Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh: Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasa Gunung Halimun Jawa Barat, h. 41 25 Wawancara Pribadi dengan Abah Amat (Ketua Adat Urug Tengah), Bogor, 19 April 2012.
116
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Mengenai pengendalian alat Tubuh ini ditambahkan pula oleh Mang Ujang, warga Kampung Adat Urug. “amanat dari orang tua mewanti-wanti kita agar berhati-hati menggunakan alat-alat tubuh Tangan jangan dipakai sembarangan apalagi menyakiti orag lain, jangankan memukul manusia, memukul hewan dan tumbuhan pun tidak dibenarkan Pokoknya Perbuatan kita jangan sampai merugikan orang lain”.26 Begitu pun Bapak Ade Eka Komara menambahkan, “mata ulah dipake ngadeuleu lamun lain deuleunnana, ceuli ulah dipake ngadèngè lamun lain dèngèunnana, yang artinya kita harus bisa menjaga, memelihara semua indera yang ada pada tubuh kita jangan sampai digunakan pada hal-hal yang negatif karena memang bukan tempatnya, harus hati-hati dalam ucapan dan perbuatan, hidung jangan dipake sembarangan”27 Sementara itu dalam Naskah Sanghyang Siksakandang juga terdapat keterangan mengenai pengendalian alat tubuh ini, diantaranya tertulis mata ulah barang deuleu mo ma nu sieup dideuleu kenana dora bancana, sangkan urang nemu mala nu lunas papa naraka, hengan lamun kapahayu ma sinengguh utama ning deuleu (Mata jangan sembarang melihat yang tidak layak dipandang karena menjadi pintu bencana penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka, namun jika mata terpelihara kita akan mendapat keutamaan dalam penglihatan). Begitupun seterusnya dituliskan mengenai alat tubuh yang lain termasuk alat kelamin.28 PRANATA SOSIAL KAMPUNG ADAT URUG Sesepuh sebagai Elit Masyarakat
26 Wawancara Pribadi dengan Mang Ujang (warga kampung Adat Urug), Bogor, 16 April 2012. 27 Wawancara Pribadi dengan Bapa Ade Eka Komara (Sekretaris Dsesa Kiarapandak), Bogor, 21 April 2012. 28 Danasasmita, Saleh, dkk., Sewaka Darma, Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan, h. 94-96 dan 73 74.
117
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Dalam kamus umum Basa Sunda, Sesepuh berasal dari kata Sepuh yang artinya kolot (tua) mengacu pada umur seseorang. Sesepuh berarti orang yang dituakan dan diajènan (dihormati).29 Pada setiap Kampung Adat di Indonesia, Sesepuh hanya memiliki wewenang dalam urusan adat (kepemimpinan informal) karena bagaimana pun juga Kampung Adat atau kasepuhan itu masuk dalam ruang lingkup pemerintahan Desa, kecamatan, kabupaten atau kota, provinsi dan tentu saja Negara Kesatuan Republik Indonesia, jadi selain hukum adat juga harus mengikuti hukum negara. Sesuai dengan pernyataan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak), bahwa beliau sangat mengakui dan menghormati pemerintahan NKRI dengan kalimat buhun disuhun sara dibawa (aturan-aturan adat, negara dan agama harus berjalan beriringan). Warga kasepuhan atau ada juga yang menyebutnya kesatuan dalam bahasa Indonesia menunjukkan suatu kelompok sosial yang memiliki keseragaman dalam pola perilaku kehidupan sosio-budayanya. Hal ini tampak antara lain dalam setiap kelompok pemukiman terdapat Sesepuh yang disebut juga Kokolot sebagai tali pengikat kesatuan. Para sesepuh atau kokolot inilah yang memimpin berbagai upacara adat yang berlaku di kalangan warga kasepuhan selain itu mereka juga berfungsi sebagai tempat meminta nasehat dan petunjuk serta tempat pananggeuhan (bernaung) di kalangan warga kasepuhan yang bermukim di sekitar kampung itu. istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh yang berawalan ka- dan berakhiran -an. Sepuh adalah sinonim dari kata kolot (bahasa Sunda) yang berarti tua dalam bahasa Indonesia. Sebutan kasepuhan menunjukkan sebuah sistem kepemimpinan dari suatu komunitas atau kelompok sosial di mana semua aktifitas semua anggotanya berasaskan pada adat kebiasaan orang tua (sepuh atau kolot). Kasepuahan berarti 29 Panitia Kamus Lembaga Basa dan Sastra Sunda, Kamus Umum Basa Sunda (Bandung: Tarate Bandung, 1975), h. 470.
118
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
adat kebiasaan tua atau adat kebiasaan nenek moyang. hal ini tampak dalam tatacara kehidupan mereka yang masih secara ketat menjalankan apa yang mereka sebut tatali paranti karuhun.30 Sesepuh mempunyai kekuasaan dalam menentukan adat istiadat warga masyarakatnya. Ia dituakan oleh masyarakatnya karena ia keturunan pendiri desa sekaligus dianggap memiliki wibawa magis yang selalu memelihara warga masyarakatnya dengan ketentuan-ketentuan adat istiadat yang berasal dari nenek moyang mereka. Seorang sesepuh besar peranannya dalam partisipasi masyarakat bagi usaha-usaha pembangunan desa, gotong royong, upacarapacara pertanian, siklus hidup, membantu melancarkan roda pemerintahan desa. Meskipun kepemimpinan tradisional di daerah ini hanya dalam hal adat istiadat, rupanya sebelum pengaruh Islam, meliputi pula semua aspek kehidupan, termasuk religi.31 Di Kampung Adat Urug, elit Masyarakat yang dimaksud dalam kajian ini adalah Ketua adat yang berjumlah tiga orang; Urug Lebak (Bawah) sebagai pusat dipimpin oleh Abah Ukat, Urug Tengah (Tengah) dipimpin oleh Abah Amat dan Urug Tonggoh (atas) dipimpin oleh Abah Kayod.32 Ketiga ketua adat ini mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat, dari hasil pengamatan penulis, pembagian kepemimpinan ini hanya untuk mempermudah jalannya adat di sana, contoh dalam acara Seren Taun, karena Kampung Adat Urug yang begitu luas dan warganya yang begitu banyak tidak akan tertampung semua di satu rumah adat, misalnya pada saat prosesi ngariung (berkumpul),33 dan juga tidak hanya warga 30
Adimiharja, Kusnaka Adimiharja, Kasepuhan: yang Tumbuh Di atas yang Luruh (Bandung: Tarsito, 1992), h. 4. 31 Ekadjati, Edi Suhardi, ed., Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya (Jakarta: P T Girimukti Pasaka, 1984), h. 45. 32 Pengamatan penulis selama di lokasi penelitian pada tanggal 15-29 April 2012. 33 Ngariung artinya berkumpul. Dalam salah satu upacara adat misalnya Seren Taun, (syukuran pesta panen) ngariung menjadi salah satu manual acara di
119
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Urug yang datang pada saat acara adat ini. Penggunaan nama Lebak, Tengah dan Tonggoh hanya mengacu pada lokasi rumah ketua adat. jika dilihat dari bentang alam Kampung Adat Urug yang berada di lembah, rumah adat Lebak yang ditempati oleh Abah Ukat berada di bawah sebagai pusat di mana rumah warga yang saling berdekatan “berkiblat” pada rumah adat tersebut. Regenerasi atau pergantian ketua adat di Kampung Adat Urug khususnya di Urug Lebak sebagai Pancer (Pusat) berdasarkan wangsit34 atau amanat yang akan diterima oleh ketua adat yang sedang menjabat, yang dipercaya berasal dari leluhur mereka untuk menentukan siapa yang akan menjadi Ketua Adat berikutnya.35 Para ketua adat ini biasa disebut Abah Kolot, Abah saja atau kokolot. Abah adalah salah satu sebutan atau panggilan kepada ayah, Di samping sebutan kepada ayah, Abah digunakan pula sebagai sebutan khas oleh masyarakat Sunda kepada orang-orang tertentu yang seakanakan berhak atau pantas memakainya.36 Sebutan Abah juga biasanya ditujukan kepada orang yang berkarisma atau berwibawa meskipun usianya belum begitu tua, misalnya dalam hal ini ketua adat Urug Lebak, Abah Ukat. Upaya Sesepuh Dalam Menjaga Adat Istiadat
mana warga semua berkumpul di rumah adat untuk berdo’a bermunajat pada Yang Maha Kuasa dan bersyukur atas hasil panen tahun itu dan semoga panen tahun-tahun berikutnya juga memuaskan. Setelah pembacaan do’a selesai maka makanan yang sudah disiapkan sebelumnya yang juga sekaligus dido’akn akan dibagikan kepada warga yang hadir baik dari kampung Adat Urug sendiri maupun dari luar. Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak), Bogor, 28 April 2012. 34 Wangsit adalah petunjuk gaib yang diperoleh atau diterima pada saat tafakur, nyepi atau meditasi. Lihat Adimiharja, Kusnaka, Kasepuhan yang Tumbuh Di atas yang Luruh: pengelolaan Lingkunagan secara Tradisional di kawasan gunung Halimun Jawa Barat, h. 197. 35 Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (ketua adat Urug Lebak), Bogor, 15 April 2012. 36 Rosidi, Ajip, dkk., Ensiklopedi Sunda: Manusia dan Budaya termasuk Cirebon dan Betawi (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000), h. 3.
120
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Di bawah ini adalah uraian dari lima upacara adat yang dilaksanakan dalam satu tahun dan dijadikan media atau sarana oleh Ketua adat dalam menyampaikan amanat dari leluhur mereka dalam rangka tetap menjaga kebertahanan adat istiadat. Dalam kegiatan seperti inilah diantaranya Ketua Adat bekerja sama dengan pemerintah Daerah untuk keberlangsungan acara tersebut seperti bantuan biaya dan lain sebagainya. Menurut Abah Ukat, lima acara tersebut dilaksanakan tidak sebatas kegiatan saja, tapi mengandung hikmah yang harus dijalankan oleh Warga Urug karena ada pokok atau sebab-sebab penting kenapa upacara tersebut harus dilaksanakan.37 Muludan Upacara pertama memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Mulud (Rabi’ul Awal) yang biasa disebut Muludan. Dalam acara ini Ketua Adat bersama warga khusus mengrim do’a untuk Nabi Muhammad karena Sudah berjasa membawa agama Islam. Biasanya dalam acara tersebut dihidangkan makanan-makanan khas daerah dan olahan lauk pauk yang akan dibagikan kepada warga setelah dido’akan. Alasan diadakannya acara ini menurut Abah Ukat, Nabi Muhammad pada saat berusia 25 tahun dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, akan diberi Kitab Rasul dan Tasauf kemudian harus mengajarkan rukun Islam yang lima perkara di Negara Mekah. Nabi Muhammad patuh, taat dan melaksanakan Kehendak Yang Maha Kuasa, maka selama mengajarkan rukun Islam di negara Mekah tersebut dan seterusnya, Nabi Muhammad akan selalu dikirim “bekal” oleh Yang Maha Kuasa, hakekatnya berupa do’a-do’a dari setiap umat Islam yang melaksanakan acara Muludan tersebut, karena itulah Abah Ukat bersama warga Kampung Adat Urug
37 Wawancara Pribadi Dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak), Bogor, 28 April 2012.
121
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
melaksanakannya Muhammad.38
sebagai
wujud
bakti
kepada
Nabi
Seren Taun Upacara kedua disebut Seren Taun (Syukuran hasil panen), dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur dari para petani di sini yang dipimpin Ketua Adat. Ungkapan rasa syukur, karena ada istilah mipit kudu amit ngala kudu mènta (memetik dan mengambil harus minta izin kepada yang punya), rasa syukur ini ditujukan kepada yang pertama kali telah memberikan bibit pokok dalam masalah pangan kepada manusia, yaitu Yang Maha Kuasa, karen pada hakekatnya bumi tempat tumbuh berbagai macam tanaman yang bermanfaat bagi manusia adalah milik Yang Maha Kuasa, maka ketika akan mengambilnya harus meminta izin kepada yang punya Rincian kegiatan atau manual acaranya seperti yang dituturkan Abah Ukat berikut “Kegiatan ini dilaksanakan setelah semua warga selesai panen. tahun 2012 yang akan datang ini, acara Seren Taun sudah ditetapkan oleh abah pada tanggal 6 Juni. Acara dimulai dari tanggal 5 Juni, minimal jam 11 Abah meyembelih kerbau. Setelah semua prosesi penyembelihan kerbau sampai dimasak selesai sekitar jam empat sore, Abah mengadakan selametan39, ya harus itu untuk kerbau yang dipotong dan untuk yang memotongnya. Dipanjatkan do’a agar pertanian dan petaninya di sini selamat ada dalam keberkahan begitu juga umumnya dengan negara kita semoga subur makmur tidak terkena musibah, pada akhirnya itu umum untuk semua warga dan bangsa.” Sedekah Rowah
38 Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua adat Urug Lebak), Bogor, 28 April 2012. 39 Acara selametan ini disebut juga ngariung (berkumpul), semua warga berkumpul di rumah adat untuk berdo’a bersama, tentu lengkap dengan hidangan makanan yang sudah disiapkan.
122
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Upacara yang ketiga disebut Sedekah Rowah, dilaksanakan pada bulan Rowah (Sya’ban), tanggal 12. Pagi hari masyarakat membawa ayam minimal satu keluarga satu ekor, disembelih di halaman rumah adat, setelah selesai dimasak, dibawa lagi ke rumah adat, selamatannya dilaksanakan ba’da Dhuhur. Acara ini dan do’a yang dikirim sebagai wujud bakti kepada Nabi Adam Alaihi Salam karena menjadi induk semua umat manusia. Manusia awalnya di akherat, di dunia itu hanya diumbarakeun (dikembarakan) akan kembali ke akherat yang dibawa hanya amal perbuatan baik ataupun buruk yang akan diterima oleh Nu Kagungan (Yang Maha Memiliki). Nabi Adam sebagai induk seluruh umat manusia awalnya di akherat dahulu, karena suatu hal ia diturunkan ke bumi.40 Sedekah Bumi Upacara yang ke empat dinamakan Sedekah Bumi, lewat beberapa bulan setelah selesai bulan Rowah (Sya’ban), Puasa (Ramadhan), Syawal. Acara ini diadakan sebelum menanam padi. Semua warga makan bersama di halaman rumah adat, tapi tidak hanya sebatas foya-foya saja, yang dipanjatkan do’anya sebelum makan bersama tersebut, agar semua warga ketika selama menanam padi mulus rahayu berkah salamet (selamat dan ancar tanpa kendala). Maknanya, Kita Manusia duduk-berdiri dan hidup di Bumi, semua yang kita makan berasal dari Bumi, manusia harus bersyukur kepada Yang memiliki kekuasaan terhadap Bumi. Acara syukuran Sedekah Bumi ini dalam rangka akan menanam padi, sekali lagi, mipit kudu amit, ngala kudu menta (mengambil dan memetik harus meminta izin kepada yang punya) 41. “Manusia kebanyakkan hanya ingin enaknya saja, ketika menanam padi ingin subur, bagus padinya sedangkan syukuran kepada yang 40
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak), Bogor, 28 April 2012. 41 Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak), Bogor, 28 April 2012.
123
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
memiliki Bumi tempat di mana padi itu ditanam tidak.” Begitu penuturan Abah Ukat. Seren Pataunan Upacara yang kelima dan terakhir yang disebut dengan Seren Pataunan, di bawah ini penulis kutip petikkan wawancara dengan Abah Ukat “Seren Pataunan dilaksanakan dalam rangka menutup tahun (1432 Hijriah) menyambut tahun (1433 Hijriah), semoga yang dilakukan pada tahun baru itu semuanya semoga diselamatkan dijaga dan diraksa (dihindarkan dari bahaya). Warga membawa nasi kuning dengan laukpauknya (daging kerbau) setelah dido;akan (selametan) baru dibagikan kembali. keramaiannya lebih dari Seren Taun, minimal ba’da magrib, sudah ramai, karena bukan abah yang mengundang tapi masyarakat yang datang sendiri”. Seperti dalam Seren Taun, pada upacara Seren Pataunan banyak kelompok hiburan seperti Jaipongan, wayang Golek bahkan OrgenTunggal ingin “manggung” di Kampung Adat Urug, datang sendiri tanpa dibayar. tapi itu tergantung Abah Ukat, tidak semua kelompok hiburan itu bisa diterima karena halaman rumah adat sudah dirapihkan dengan semen dan batu jadi tidak diboleh dibongkar untuk mendirikan panggung hiburan. Masyarakat yang datang dari mana-mana itu tidak sebatas hanya ingin silaturahmi, ikut syukuran mendapatkan berkat makanan atau menyaksikan hiburan, tapi punya tujuan masing-masing yang dilisankan biasanya ingin diselamatkan di tahun baru ini. Pada kesempatan itu Abah Ukat mewejang.42 “Abah di sini biasanya meminta waktu 15 menit untuk membuka kembali sejarah dan memberikan wejangan-wejangan kepada warga umumnya”.
42 Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak), Bogor, 28 April 2008.
124
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Kesimpulan Adat istiadat di kampung adat Urug masih banyak yang dipertahankan, tidak hanya sebatas pada upacara adat yang sudah menjadi tradisi seperti Seren Taun dan Sedekah Bumi, tetapi juga kearifan lokal yang disebut talèk atau aturan berupa larangan dan cegahan yang menjadi rambu-rambu warga Urug dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Hal ini tergambar dalam beberapa ungkapan seperti mipit kudu amit nagala kudu mènta (memetik dan mengambil harus izin kepada yang punya), ungkapan ini juga sebagai rasa syukur warga kepada Pemilik bumi beserta isinya. Seperti kampung adat lainnya di Jawa Barat, di Kampung Adat Urug terdapat ajaran pembinaan moral untuk melawan sifat buruk dari manusia dalam rangka harmonisasi kehidupan mereka dengan alam yang disebut dengan ngaji diri atau tapa manusa. Nilai-nilai budaya yang terdapat di Kampung Adat Urug ini memiliki kesamaan dengan nilai-nilai moral dan etika yang terdapat dalam naskah Sunda lama, Sanghyang Siksakandang Karesian (1518 M), seperti larangan mengambil yang bukan haknya, memelihara alat tubuh, penghormatan kepada orang tua dan adab sopan santun serta nilai-nilai moral dan etika lainnya dalam bermasyarakat. Indikator masih dipakainya talèk ini sebagai aturan hidup adalah kepatuhan warga kepada adat itu sendiri dan ketua adatnya yang berwibawa, hal ini telihat dari keseharian mereka, terlihat pada keramahan warga dalam menjamu tamu, segala hidangan yang ada disuguhkan, karena mereka mematuhi aturan yang mengharuskan mereka bersikap ramah kepada siapa saja tidak hanya tamu (Murah bacot murah congcot). Adat istiadat atau kearifan lokal ini masih bertahan karena peran yang signifikan dari Ketua Adatnya sebagai elit masyarakat. dalam rangka melestarikan adat istiadat ini, Ketua adat selalu memberikan nasehat atau wejangan kepada warga baik secara pribadi atau umum pada saat Upacara adat seperti Seren pataunan. Upacara-upacara adat seperti Seren 125
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Pataunan, Seren Taun, Sedekah Bumi, Sedekah Rowah dan Muludan menjadi media, sarana atau alat untuk melestarikan adat istiadat tersebut. Selain itu Ketua adat juga menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan dan pariwisata dalam rangka keberlangsungan adat istiadat dan tradisi itu, yang memang sebenarnya sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah baik pusat maupun daerah untuk ikut serta atau berperan aktif dalam pelestarian budaya-budaya daerah. Sejak tahun 2010, Kampung Adat Urug ditetapkan sebagai Cagar Budaya oleh Pemerintah Kabupaten Bogor. Bahan Pustaka Buku Adimihardja, Kusnaka. Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh: Penelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Bandung: Tarsito, 1992. Chambert Loir, Henri. “kolofon Melayu.” Indonesia and the Malay World, vol.34, no. 100, (November 2006): hal. 1-3. Danasasmita, Saleh. dkk. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), 1987. Dudung, Abdurahman. Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2007. Ekadjati, Edi Suhardi, ed. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: P.T Girimukti Pasaka, 1984. _______Kebudayaan Sunda Jilid 1. Jakarta: Pustaka Jaya, 1995. Hariyono. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Yogyakarta: Pustaka Jaya, 1995. 126
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Kartodirjo, Sartono, ed. Elite Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES, 1981. Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1974. _____________. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1971. _____________. ed. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1979. Noer, Deliar. Bunga Rampai Dari Negeri Kanguru: Kumpulan Karangan. Jakarta: Panji Masyarakat, 1981. Panitia Kamus Lembaga Basa dan Sastra Sunda. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Tarate Bandung, 1975. Rosidi, Ajip. dkk. Ensiklopedi Sunda: Manusia dan Budaya termasuk Cirebon dan Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya, 2000. _________. Manusia Sunda,. Jakarta: Inti Idayu Press, 1984. _________. Mencari Sosok Manusia Sunda: Sekumpulan Gagasan dan Pikiran. Jakarta: Pustaka Jaya, 2010. Sanafiah, Faisal, ed. Metodologi Penelitian Kualitatif, Surabaya: Usaha Nasional, 1987. Sulyana WH, H. dkk., Siliwangi Adalah Rakyat Jawa Barat, Rakyat Jawa Barat Adalah Siliwangi. Bandung: Badan Pembina Citra (BPC) Siliwangi, 2006. Supardan Nalan, Arthur. Sanghyang Raja Uyeg: dari Sakral ke Profan.Bandung: Humaniora Utama Press, 2000. Warnaen, Suwarsih. dkk. Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin Dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda: Konsistensi dan Dinamika. Bandung: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda Departemen Pendidikan dan Kebudayaa, 1987.
127
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Wawancara Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua adat Kampung Urug Lebak). Bogor, 15, 22 dan 28 April 2012. Wawancara Pribadi dengan Abah Amat (Ketua adat Kampung Urug Tengah). Bogor, 16, 17, 19 dan 25 April 2012. Wawancara Pribadi dengan Abah Kayod (ketua adat Kampung Urug Tonggoh). Bogor, 16 dan 19 April 2012. Wawancara Pribadi dengan Mang Misnan (Warga dan kerabat Ketua Adat Kampung Urug). Bogor, 18 April 2012. Wawancara Pribadi dengan Mang Ujang (Warga dan kerabat Ketua Adat Kampung Urug). Bogor, 16 April 2012. Wawancara Pribadi dengan Bapa Ade Eka Komara (Sekretsris Desa Kiarapandak). Bogor, 21 dan 22 April 2012.
128
Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
JURNAL KALIJAGA terbit dua kali setahun. Redaksi menerima tulisan mengenai sejarah, khazanah budaya dan keagamaan. Ketentuan Pengiriman Tulisan: 1. Tulisan dapat berupa ringkasan hasil penelitian, artikel setara hasil penelitian, kajian tokoh (obituari) maupun telaah kitab atau tinjauan buku. 2. Panjang tulisan antara 15-25 halaman kuarto 1,5 spasi, font Times New Roman 12, dan diserahkan dalam bentuk print out dan file dalam format Microsoft Word. 3. Tulisan wajib memperhatikan kaidah-kaidah penulisan Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang berlaku serta menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar berdasarkan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). 4. Sumber rujukan menggunakan footnote (catatan kaki) yang ditulis seperti contoh berikut: Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), h. 109; dan Daftar Pustaka ditulis: Noer, Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. 5. Penulis harap menyertakan abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris, kata kunci, biodata singkat dalam bentuk esai, dan alamat lengkap. 6. Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengurangi maksud tulisan. Dan, tulisan yang dimuat tidak selalu mencerminkan pandangan Redaksi. Tulisan dapat dikirimkan melalui e-mail:
[email protected] Atau melalui pos ke alamat: Redaksi Jurnal KALIJAGA Jl Tebet Timur Dalam XI/76 Jakarta 12820