LI LBM 1 SGD 8 GIT Step 7 1. Bagaimana AnATOMI,Fisiologi, dan Histologi dari cavum oris?
Anatomi Rongga Mulut
Mulut meluas dari bibir ke sampai isthmus faucium, yaitu perbatasan mulut dengan pharyng. Dibagi menjadi vestibulum oris yaitu bagian di antara bibir dan pipi terluar dengan gusi dan gigi di dalam, cavitas oris propia yaitu bagian di antara arcus alveolares, gusi, dan geligi Vestibulum oris adalah rongga mirip celah yang berhubungan dengan dunia luar melalui rima oris. Vestibulum berhubungan dengan cavitas oris di belakang gigi molar ke tiga pada ke dua sisi ,di atasnya dan di bawahnya vestibulum dibatasi lipatan balik
membran mukosa bibir dan pipi pada gusi. Pipi membentuk dinding lateral vestibulum. Cavitas oris propia memiliki atap yang di bentuk oleh palatum durum di depan palatum molle di belakang. Dasar mulut sebagaian besar di bentuk oleh bdua pertiga anterior lidah dan lipatan balik membran mukosa lidah pada gusi di atas mandibula. Pada garis tengah lipat membran mukosa yang disebut frenulum linguae menghubungkan permukaan bawah lidah pada dasar mulut. Di kiri kanan frenulum terdapat papila kecil pada puncaknya di temukan muara duktus glandula submandibularis. Dari papila rabung membran mukosa yang membulat meluas ke belakang dan lateral rabung di timbulkan oleh glandula sublingualis di bawahnya dan disebut plika sublingualis
(Anatomi klinik R. Snell) I.
Palatum (Langit-langit) -
Membentuk atap mulut dan lantai kavum nasi
-
Mengandung palatum durum (2/3 anterior) dan palatum mole (1/3 posterior)
A. Palatum Durum -
Membentuk bagian tulang rawan antara kavum nasi dan kavum oris.
-
Terdiri atas prosesus palatinus osis maksillaris dan pars horisontalis osis palatini.
-
Mengandung foramen insisivum pada bidang median ke arah anterior, dan foramin palatina mayor dan minor ke arah posterior.
B. Palatum Mole -
Merupakan plika fibromuskular yang merentang dari tepi posterior palatum durum.
-
Bergerak ke arah posterior berlawanan dengan didnding faring untuk menutup isthimus orofaringeal (fausial) pada waktu menelan selama berbicara.
C. Otot-Otot Otot
Origo
Insersio
Nervus
Fungsi
Tensor
veli Fossa
skafoidea; Kait
tendo
palatini
spina
mengelilingi
sfenoidalis;kartilag
pterigoidea
o tuba auditiva
insersio
mole veli Pars petrosa osis Aponeurosis
palatini
temporalis;
hamulus mandibullaris palatum untuk N.
palatum N. Vagus via Mengangka
tuba
auditiva Palatoglossus Aponeurosis
mole
palatum
mole
kartilago
Mengangka
pada Trigeminus
aponeurosis Levator
yang Rami
Sisi dorsolateal lidah
palatum mole
pleksus
palatum
faringeus
mole
N. Vagus via Mengangka pleksus
lidah
Palatofaring
Aponeurosis
faringeus Kartilago tiroid dan sisi N. Vagus via Mengangka
eus
palatum mole
faring
nasalis Membrana mukosa uvula
pleksus
faring;
faringeus
menutup
nasofaring N. Vagus via Mengangka
Muskulus
Spina
uvulae
posterior;
pleksus
aponeurosis
faringeus
uvula
palatina II.
Lidah (Lingua) -
Dilekatkan oleh otot-otot os hioid, mandibula, prosesus stiloideus dan faring.
-
Dibagi oleh sulkus terminalis yang berbentuk V menjadi dua bagian: 2/3 anterior dan 1/3 posterior yang berbeda perkembangannya secara struktural dan persarafannya.
-
Memiliki
foramen
sekum
pada
apeks
dari
V
yang
menandakan tempat asal duktus tiroglossus pada waktu embrio. A. Papilae Lingualis -
Kecil, penonjolan berbentuk puting susu pada 2/3 anterior dorsum lingua.
-
Termasuk papilae valata, fungiformis dan filiformis.
B. Tonsila Lingualis
-
Merupakan kumpulan massa nodular folikel limfoid pada 1/3 posterior dorsum lingua.
C. Inervasi -
Otot-otot ekstrinsik dan intrinsiknya dipersrafi oleh nervus hipoglossus, kecuali muskulus palatoglossus yang dipersarafi nervus vagus.
-
2/3 anterior dipersarafi nervus lingualis untuk sensasi umum
dan
oleh
korda
timpani
oleh
sensasi
khusus
(pengecap). -
1/3 posteriornya dan papila valata dipersarafi nervus glossofaringeus untuk sensasi umum dan khusus.
-
Akarnya
dekat
epiglotis
dipersarafi
nervus
laringeus
internus dari nervus vagus untuk sensasi umum dan khusus. D. Arteri Lingualis - Berasal dari arteri karotis eksterna pada level ujung kornu mayor osis hioid pada trigonum karotikum E. Otot-otot
III.
-
Stiloglossus Retraksi dan elevasi lidah
-
Hioglossus Depresi dan retraksi lidah
-
Genioglossus Protrusi dan depresi lidah
-
Palatoglossus Elevasi lidah
Geligi-geligi dan Gusi (Gingiva) A. Struktur Gigi-Geligi 1. EnamelSubstansi yang paling keras yang membungkus mahkota. 2. DentinSubstansi keras yang dipelihara melalui tubuli dentalis yang halus dari barisan odontoblas ruang pulpa sentralis. 3. PulpaMengisi ruang sentralis yang dilanjutkan dengan kanalis radiks dan mengandung sejumlah pembuluh darah, saraf, dan limfatik yang memasuki foramen pulpa melalui suatu foramen apikalis pada apeks radiks. B. Bagian-bagian Gigi-Geligi
1. Mahkota (Crown) 2. Leher (Kolum) 3. Akar (Radiks) C. Jenis Gigi-Geligi 1. Insisivus 2. Kaninus 3. Premolar 4. Molar D. Persarafan Gigi 1. Gigi maksilarisRami anterior, medius dan posterior nervus maksilaris. 2. Gigi
mandibularisRamus
alveolaris
inferior
nervus
mandibularis. E. Persarafan Gingiva 1. Permukaan Luar a. Gingiva maksilarisnervi alveolaris superior posterior, medius dan anterior nervus infraorbitalis. b. Gingivs mandibularisnervus bukalis dan mentalis. 2. Permukaan Dalam a. Gingiva
maksilarisnervus
palatinus
mayor
dan
nasoplatinus. b. Gingiva mandibularisnervus lingualis. IV.
Glandula Salivatorius a. Glandula submandibularis b. Glandula sublingualis
V.
Nervus Otonom
(Seri Ringkasan Gross Anatomi, Kyun Won Chung, Binarupa Aksara, Jakarta:1993) Pencernaan Karbohidrat di rongga mulut Ketika makanan dikunyah, makanan bercampur dengan saliva yang terdiri atas enzim ptialin yang terutama disekresi oleh kelenjar parotis. Enzim ini menghidrolisis tepung menjadi disakarida maltosa dan 3-9 polimer glukosa. Tetapi makanan berada dalam mulut dalam waktu singkat dan mungkin
tidak lebih dari 5 persen dari semua tepung yang dimakan telah dihidrolisis pada saat makanan ditelan.
Guyton & Hall. 1997.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ed.9.Jakarta :EGC
mengunyah : adanya bolus makanan di dalam mulut pada awalnya menimbulkan penghambatan refleks gerakan mengunyah pada otot, yang menyebabkan rahang bawah turun ke bawah. Penurunan ini kemudian kontrkasi rebound . keadaan ini secara otomatis mengangkat rahang bawah yang menimbulkan pengatupan gigi, tetapi juga menekan bolus melawan dinding
mulut, yang
menghambat
otot
rahang
bawah
sekali
lagi,
menyebabkan rahang bawah turun dan kembali rebound pada saat yang lain, dan ini berulang-ulang terus.
Menelan :
Fase Volunter Fase oral : Lidah mendorong makanan daerah orofaring dengan cara menekan ke pallatum durum
Fase Involunter Fase faringeal : Dimulaiketikamakanansdhmasukorofaring, dikendalikanolehmedula oblongata danbagianbawah pons Nasofaringtertutupolehpalatum mole (cegahmakananmasukkenasofaring) Plikapalatofaringealtertarikke medial mendorongmakananmasuk faring Glotismenutup (cegahmakananmasuklaring) Peristaltik faring mendorongmakananmasukesofagus, (SOA) terbuka Pernafasanberhenti (1-2 sec) Fase Esofageal : Setelahmasuksofagusmakanandidorongmasukkelambungolehperis taltik (kekuatantergantungukuranmakanan) Oesofagusdilengkapisfingteresofagusatas (SEA) danbawah (SEB) 1/3 atasototlurik, 2/3 bawahototpolos Peristaltikesofagusterjadikaranarangsanganmakananpadaddgoes ofagus, dikoordiniroleh N. vagusdanpesarafanintrinsik
(Fisiologi Kedokteran,Guyton & Hall, hal 999-1000) 2.kenapa keluhan disertai dengan demam subfebril? Proses peradangan diawali dengan masuknya zat toksin (mikroorganisme). Mikroorganisme (MO) yang masuk kedalam tubuh umumnya memiliki suatu zat toksin tertentu yang dikenal sebagai pirogen eksogen. Dengan masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan mencegahnya dengan memerintahkan tentara pertahanan tubuh antara lain berupa leukosit, makrofag, dan limfosit untuk memakannya (fagositosit). Dengan adanya
proses
fagositosit
ini,
tentara-tentara
tubuh
itu
akan
mengeluarkan senjata, berupa zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (khususnya IL-1) yang berfungsi sebagai anti infeksi. Pirogen endogen yang keluar, selanjutnya akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus untuk mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakhidonat. Asam arakhidonat dapat keluar dengan adanya bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh hipotalamus akan pemacu pengeluaran prostaglandin (PGE2). Pengeluaran prostaglandin dibantu oleh enzim
siklooksigenase
(COX).
Pengeluaran
prostaglandin
akan
mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus. Sebagai kompensasinya, hipotalamus akan meningakatkan titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal). Adanya peningkatan titik patokan ini dikarenakan termostat tubuh (hipotalamus) merasa bahwa suhu tubuh sekarang dibawah batas normal. Biasanya sekitar 37. 38 0 tidak sampai 40 0. Sumber : Fisiologi Sheerwood 3.mengapa bisa halitosis dan bibir kering?
Sumber : dentika dental journal, vol.13,no.1, 2008 : 74-79
4.mengapa bisa teradi lesi uselarasi?
5.Apakah hubungan dari minum susu botol tidak minum asi eklusif, tidak makan sayur buah,kebersihan gigi yang tidak terkontrol dan karies pada g 51,g 52, g 61, g 62,g 71,g 81?
6. apakah hubungan peberian anibiotik dengan keluhan penderita? 7.apansaja manifestasi klinis dari sknario? 8.apa itu karies?
9.Etiologi dan faktor resiko dari skenario? Etiologi Pasta Gigi dan Obat Kumur SLS
Penelitian menunjukkan bahwa produk yang mengandungi SLS yaitu agen berbusa paling banyak ditemukan dalam formulasi pasta gigi dan obat kumur, yang dapat berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya ulser, disebabkan karena efek dari SLS yang dapat menyebabkan epitel pada jaringan oral menjadi kering dan lebih rentan terhadap iritasi. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa peserta yang menggunakan yang
pasta gigi yang bebas
SLS mengalami
sariawan
lebihsedikit. Penurunan ini ditemukan setinggi 81% dalam satu
penelitian. Studi yang sama juga melaporkan bahwa subjek penelitian merasa bahwa sariawan yang mereka alami kurang menyakitkan daripada pada saat mereka menggunakan pasta gigi yang menggandung SLS.3,8,24 2.1.4.2 Trauma Ulser
dapat terbentuk
penetrasi akibat trauma.
pada daerah bekas
terjadinya
luka
Pendapat ini didukung oleh hasil
pemeriksaan klinis, bahwa sekelompok ulser terjadi setelah adanya trauma ringan pada mukosa mulut.
Umumnya ulser terjadi karena
tergigit saat berbicara, kebiasaan buruk, atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi, makanan atau minuman terlalu panas, dan sikat gigi. Trauma bukanmerupakan berkembangnya
SAR
faktor yang
berhubungan
dengan
pada semua penderita tetapi trauma dapat
dipertimbangkan sebagai faktor pendukung. 2.1.4.3 Genetik Faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien yang menderita SAR. Faktor genetik SAR diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah human leucocyte antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal tersebut. HLA menyerang sel-sel melalui mekanisme sitotoksik dengan jalan mengaktifkan sel mononukleus (1957)
berpendapat
bahwa
ke epitelium.9,16,26 Sicrus
bila kedua orangtua menderita SAR maka
besar kemungkinan timbul SAR pada anak-anaknya. Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia muda dan lebihberat dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga SAR.9,24 2.1.4.4 Gangguan Immunologi
Tidak ada teori yang seragam tentang adanya imunopatogenesis dari SAR, adanya memegang
peranan
disregulasi imun
terjadinya SAR.
dapat
Salah satu penelitian
mungungkapkan bahwa adanya respon imun yang berlebihan pada pasien SAR sehingga menyebabkan ulserasi lokal pada mukosa. Respon imun itu berupa aksi sitotoksin dari limfosit dan monosit pada mukosa mulut dimana pemicunya tidak diketahui. pengaruh
dari IL-1B
Menurut
Bazrafshani
dkk, terdapat
dan IL-6 terhadap resiko terjadinya SAR.
Menurut Martinez dkk, pada SAR terdapat adanya hubungan pengeluaran
dengan
IgA, total protein, dan aliran saliva. Sedangkanmenurut
Albanidou-Farmaki dkk, terdapat karakteristik sel T tipe 1 dan tipe 2 pada penderita SAR. 2.1.4.5 Stres Stres merupakan respon tubuh dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan yang terjadi terus menerus yang berpengaruh terhadap fisik dan emosi. Stres dinyatakan merupakan salah satu faktor yang berperan secara tidak langsung terhadap ulser stomatitis rekuren ini. Faktor stres ini akan dibahas dengan lebih rinci pada subbab selanjutnya. 2.1.4.6 Defisiensi Nutrisi Wray (1975) meneliti pada 330 pasien SAR dengan hasil 47 pasien menderitadefisiensi nutrisi yaitu terdiri dari 57% defisiensi zat besi, 15% defisiensi asam folat, 13% defisiensi vitamin B12, 21% mengalami defisiensi kombinasi terutama asam
folat dan zat besi dan 2% defisiensi ketiganya. Penderita SAR dengan defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam folat diberikan terapi subtitusi vitamin tersebut hasilnya 90% dari pasien tersebut mengalami perbaikan.
Faktor nutrisi lain yang berpengaruh pada timbulnya SAR adalah vitamin B1, B2 dan B6. Dari 60 pasien SAR yang diteliti, ditemukan 28,2% mengalami penurunan kadar vitamin-vitamin tersebut. Penurunan vitamin B1
terdapat 8,3%, B2 ketiganya.
6,7%, B6 10%
Terapi dengan
dan 33%
pemberian
kombinasi
vitamin tersebut selama 3
bulan memberikan hasil yang cukup baik, yaitu ulserasi sembuh dan rekuren berkurang. Dilaporkan SAR,
pasien
adanya
defisiensi Zink
pada
penderita
tersebut diterapi dengan 50 mg Zink Sulfat peroral
tiga kali sehari selama tiga bulan. Lesi SAR
yang persisten sembuh dan tidak
waktu satu
pernah kambuh dalam
tahun. Beberapa peneliti lain juga mengatakan adanya
kemungkinan defisiensi Zink pada pasien SAR karena pemberian preparat Zink pada pasien SAR menunjukkan adanya perbaikan, walaupun kadar serum Zink pada pasien SAR pada umumnya normal. 2.1.4.7 Hormonal Pada wanita, sering terjadinya SAR di masa pra menstruasi bahkan banyak yang mengalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga berhubungan dengan faktor hormonal. berperan
penting
adalah
Hormon
estrogen
yang
dianggap
dan 20,26progesteron.
Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan progesteron secara mendadak. Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah sehingga suplai darah utama ke perifer menurun dan terjadinya sel termasuk
rongga
mulut,
gangguan keseimbangan
memperlambat
proses
sel-
keratinisasi
sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi SAR. Progesteron dianggap berperan dalam mengatur pergantian epitel mukosa mulut. 2.1.4.8 Infeksi Bakteri Graykowski dan kawan-kawan pada tahun 1966 pertama kali menemukan adanya hubungan antara bakteri Streptokokus bentuk L dengan lesi SAR denganpenelitian Streptokokus
sanguis
lebih lanjut ditetapkan
bahwa
sebagai penyebab SAR. Donatsky dan Dablesteen
mendukung pernyataan tersebut dengan melaporkan adanya kenaikan titer antibodi terhadap Streptokokus sanguis 2A pada pasien SAR dibandingkan dengan kontrol.
2.1.4.9 Alergi dan Sensitifitas Alergi
adalah
suatu
respon
imun
spesifik
yang
tidak
diinginkan (hipersensitifitas) terhadap alergen tertentu. Alergi merupakan suatu reaksi antigen dan antibodi. Antigen ini dinamakan alergen, merupakan substansi protein yang dapat bereaksi dengan antibodi, tetapi tidak dapat membentuk antibodinya sendiri. SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap beberapa bahanpokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik atau permen karet dan bahan gigi palsu atau bahan tambalan serta bahan makanan.29,30
Setelah berkontak dengan beberapa bahan yang
sensitif, mukosa akan meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa panas, kadang-kadang timbul gatal-gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil, tetapi sifatnya sementara dan akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang kemudian berkembang menjadi SAR. 2.1.4.10 Obat-obatan Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers, agen kemoterapi dan nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan seseorang pada resiko yang lebih besar untuk terjadinya SAR.3,24 2.1.4.11 Penyakit Sistemik Beberapa kondisi medis yang berbeda dapat dikaitkan dengan kehadiran SAR. Bagi dengan
pasien yang
SAR
sering mengalami
kesulitan terus-menerus
harus dipertimbangkan adanya penyakit sistemik yang
diderita dan perlu dilakukan evaluasi serta Beberapa
kondisi
di rongga
mulut
medis
pengujian
yang dikaitkan
adalah penyakit
oleh
dokter.
dengan keberadaan
Behcet’s, penyakit
ulser
disfungsi
neutrofil, penyakit gastrointestinal, HIV-AIDS, dan sindroma Sweet’s. 2.1.4.12 Merokok Adanya dengan
hubungan
terbalik antara perkembangan
merokok. Pasien yang menderita SAR biasanya adalah bukan
perokok, dan terdapat prevalensi dan dari SAR
SAR
diantara perokok
keparahan
yang lebih rendah
berat berlawanandengan yang bukan
perokok. Beberapa pasien melaporkan mengalami SAR setelah berhenti merokok.3,24 Factor resiko a. Hal pertama yang harus dipikirkan adalah keadaan gigi bagi si pasien, karena higiene gigi yang buruk sering dapat menjadi penyebab timbulnya sariawan yang berulang. b. Luka tergigit, bisa terjadi karena bekas dari tergigit itu bisa menimbulkan ulsersehingga dapat mengakibatkan stomatitis aphtosa. c. Mengkonsumsi air dingin atau air panas. d. Alergi, bisa terjadi karena kenaikan kadar IgE dan keterkaitan antara beberapa jenis makanan dan timbulnya ulser. Gejala timbul biasanya segera setelah penderita mengkonsumsi makanan tersebut e. Faktor herediter bisa terjadi, misalnya kesamaan yang tinggi pada anak kembar, dan pada anak-anak yang kedua orangtuanya menderita stomatitis aphtosa. f. Kelainan pencernaan Gangguan saluran pencernaan, seperti Chorn disease, kolitis ulserativ, dan celiac disease sering disertai timbulnya stomatitis apthosa. g. Faktor psikologis (stress), diduga berhubungan dengan produksi kortison di dalam tubuh. h. Gangguan hormonal (seperti sebelum atau sesudah menstruasi). Terbentuknya stomatitis aphtosa ini pada fase luteal dari siklus haid pada beberapa penderita wanita. i. Pada penderita yang sering merokok juga bisa menjadi penyebab dari sariawan. Pambentukan stomatitis aphtosa yang dahulunya perokok, bebas simtom ketika kebiasaan merokok dihentikan. j. Jamur, namun biasanya hal ini dihubungkan dengan penurunan sistem pertahanan tubuh (imuno). Berasal dari kadar imunoglobin abnormal. k. Pada penggunaan obat kumur yang mengandung bahan-bahan pengering (misal,alkohol, lemon/ gliserin) harus dihindari. l. Sedangkan sariawan yang dikarenakan kekurangan vitamin C sangat mungkin terjadi, karena bagi si pasien yang kekurangan vitamin C dapat mengakibatkan jaringan dimukosa mulut dan jaringan penghubung antara gusi dan gigi mudah robek yang akhirnya mengakibatkan sariawan. m. Kekurangan vitamin B dan zat besi juga dapat menimbulkan sariawan.. Namun kondisi seperti itu dapat diatasi dengan sering memakan buah
ataupun makan sayur-sayuran. Penyakit yang menjangkit ini biasanya dapat menyerang siapa saja dan tidak mengenal umur maupun jenis kelamin, termasuk pada bayi yang masih berusia 6-24 bulan.
10.patogenesisi dari skenario? etiologi
Acidogenic Theory - Tahap pertama : terjadi delkasifikasi enamel yang menghasilkan kerusakan seluruh enamel dan dekalsifikasi dentin - Tahap kedua : terjadi penghancuran / pencairan dari sisa2 bagian yang lunak Asam yang menyebabkan dekalsifikasi dari hsl fermentasi tepung dan gula yang tertinggal pada gigi
Proteolytic Theory oleh Gottlieb Bakteri masuk dalam bagian organik dan enzim proteolitik dhslkan oleh bakteri rongga mulut merusak bagian organik matrix enamel shngg menghancurkan struktur gigi. Ciri khas : ada pigmen kuning dhslkan oleh proses proteolitik
“Proteolysis - chelation” Theory oleh Schatz Hasil proteolysis dari subs. Gigi – mknn oleh enzim bakteri mrpkn bhn chelating, dpt mengikat Ca++ gigi. “chelating” adlh suatu proses dmn ion metalik mengikat molekul lain dengan ikatan kovalen . Keyes (‘62) : ada 3 komponen utk tjd karies , yaitu
Komponen HOST : GIGI dan SALIVA Komponen AGENT : BAKTERI rongga mulut Komponen ENVIRONMENT : MAKANAN tinggi KH KEBERSIHAN rongga mulut. ( ILMU PENYAKIT GIGI dan MULUT , FK UNDIP ) -
patofisiologi
dan
Iritasi pulpa - Lesi pada lapisan email atau sementum , belum menimbulkan perubahan patologispada pulpa. - Ngilu waktu makan , minum asam / manis Hiperemi pulpa - Kelanjutan dari iritasi pulpa , sumber iritan berupa toksin / metabolit dari MO menyebabkan kerusakan (lisis) struktur dentin , lalumpenetrasi ke dalam pulpa - Sudah terjadi kondisi patologis pada tingkat awal , berupa vasodilitasi pada pulpa - Sakit / sangat ngilu jika kena rangsangdari makanan segera hilang jika rangsang dihilangkan. Tidak ada riwayat sakit spontan. Pulpitis akut parsial - Peradangan jaringan pulpa sebatas kamar pulpa (pulp. chamber). - Sakit spontan , berdenyut , tidak segera hilang walau rangsangan dihilangkan Pulpitis akut total - Peradangan jaringan pulpa hingga saluran akar bahkan sebagian jaringan peripodontal apikal - Sakit hebat , spontan , menjalar hingga ke egio temporal , servikal dan belakang telinga Pulpitis kronis - Peradangan kronis pada pulpa - Dapat berubah menjadi akut - Waktu px kadang tidak ada keluhan sakit. Ada riwayat sakit Kematian pulpa - Pulpitis yang tidak mendapat perawatan akan mengalami kematian , disertai dengan invasi MO disebut sebagai Gangren Pulpa. Kematian dapat pula tidak didahului oleh karies dan invasi MO , disebut Nekrosis Pulpa. Invasi gangren pulpa menyebar ke periodental menyebabkan periodontitis .Rasa sakit biasanya muncul dari periodontitis , bukan dari gangren pulpa. Nekrosis pulpa juga dapat menyebabkan periodontitis , akibat dari jaringan nekrotik pulpayang lisis bersifat toksik. - Pada kondisi akut , muncul keluhansakit. Pada kondisi kronis tidak ada keluhan. ( ILMU PENYAKIT GIGI dan MULUT , FK UNDIP )
faktor-faktor yang mempengaruhi
LANGSUNG
Gigi Saliva Diet
TIDAK LANGSUNG Umur Jenis kelamin Ras Genetik Sosial ekonomi Goegrafi – fluor dalam air Kesehatan umum Kesehatan ibu ( ILMU PENYAKIT GIGI dan MULUT , FK UNDIP )
gejala Berupa kavitas pada jaringan keras , tepi tidak teratur , perlunakan , perubahan warna. Dapat dibedakan dari lesi non karies (abrasi , atrisi , erosi ) ( ILMU PENYAKIT GIGI dan MULUT , FK UNDIP )
pencegahan
Menaikkan resistensi “host” dengan fluor baik secara sistemik maupun lokal Menurunkan ∑ mikroflour dalam mulut Pengendalian substrat – bahan makanan yang non kariogenik
Pencegahan karies di Indonesia :
Pola hidup sehat - Gosok gigi teratur dan benar - Mengurangi konsumsi KH pekat - Nutrisi yang baik terutama pada ibu hamil dan balita
Kontrol gigi secara teratur ke puskesmas , RS , drg atau yankes lain selama 6 bulan sekali Penggunan tablet flour ( ILMU PENYAKIT GIGI dan MULUT , FK UNDIP )
penatalaksanaan Pada prinsipnya perawatan penyakit kariespada gigi adalah konservatif , mempertahankan gigi semaksimal mungkin. Pada gigi gangren , untuk gigi depan dilakukan konsedrvasi gigi , tapi untuk gigi belakang keberhasilan perawatan kecil , sehingga biasanya dilakukan ekstraksi. ( ILMU PENYAKIT GIGI dan MULUT , FK UNDIP )
11.alur diagnosisnya 12.dd dan diagnosisinya Diagnosis stomatitis aftosa rekuren Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat lesi, pemeriksaan klinis, bila perlu pemeriksaan darah untuk mencari kemungkinan adanya gambaran abnormal pada MCV (mean corpuscular volume). Diagnosis stomatitis aftosa rekuren ditentukan berdasarkan riwayat rekurensi lesi dan sifat lesi yang dapat sembuh sendiri. Kedua hal tersebut perlu ditanyakan dalam anamnesis (Sook Bin Woo dan Greenberg, 2008; Neville dkk,2008). Beberapa hal yang dapat ditanyakan saat melakukan anamnesis antara lain:
Riwayat lesi
Riwayat terjadinya lesi merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu perlu diperhatikan: - Adanya rekurensi - Jenis stomatitis aftosa: apakah minor, mayor ataupun herpetiformis - Usia pada saat onset: anak-anak atau remaja - Adanya riwayat penyakit serupa dalam keluarga - Lesi hanya ditemuka di mukosa yang tidak berkeratin - Ada tanda dan gejala penyakit Behcet (lesi ditemukan di ocular, genital,
kulit, persendian) Pemeriksaan Perhatikan gambaran klinisnya: - Erosi berbatas tegas dengan tepi teratur, disertai kelim merah di sekitarnya -
Bila ditemukan jaringan parut atau palatum molle ikut terlibat, maka kondisi tersebut menunjukkan adanya sebuah stomatitis aftosa tipe
mayor Penyakit lain yang mempunyai bambaran khas dapat disingkirkan,
seperti: lichen planus ataupun prnyakit vesikulobulosa lainnya. Pemeriksaan khusus Pemeriksaan ini digunakan untuk menyingkirkan adanya kemungkinan penyakit yang melatarbelakangi timbulnya lesi, terutama pada pasien yang onsetnya pada lansia. Untuk itu perlu diperiksa antara lain: - Status anemia, Fe, asam folat, vitamin B-12 - Adanya riwayat diare, konstipasi atau feces bercampur darah yang menunjukkan adanya kelainan pada saluran pencernaan, misalnya coeliac
disease atau malabsorpsi Pemeriksaan darah rutin dapat memberikan informasi lainnya dan biasanya temuan yang paling penting adalah MCV yang abnormal. Jika ada makrositik atau mikrositik, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mencari terapi yang tepat terhadap penyebabnya.
13.penatalaksanaanya Penatalaksanaan Untuk stomatitis aftosa rekuren, penatalaksanaannya dibagi ke dalam dua tahap: 1. Pengendalian faktor predisposisi, 2. Pengobatan simtomatis dan perawatan suportif.
Pengendalian faktor predisposisi Faktor predisposisi dapat diketahui dengan cara mengumpulkan informasi tentang: faktor genetik yang kemungkinan berperan, trauma yang terlibat, faktor hormonal yang berperan, juga kondisi stres dan faktor imunologi. Dari faktor sistemik perlu juga diperhatikan usia penderita, dalam usia pertengahan atau lansia. Pada lansia kemungkinan adanya keterlibatan kondisi sistemik lebih besar bila dibandingkan pasien di usia pertengahan. Dari faktor lokal perlu diperhatikan adanya trauma ataupun faktor lain yang dapat mengiritasi mukosa, seperti tepi gigi, karies ataupun tambalan yang tajam. Perlu dihindari makanan yang tajam dan merangsang. Juga perlu diperhatikan untuk memperbaiki kondisi
oral hygiene (Lamey dan Lewis, 1991; Regezi dkk,2008). Biasanya, peningkatan frekuensi lesi akan membuat pasien datang untuk memeriksakan
diri.
Pada
umumnya
pasien
terlihat
sehat,
tetapi
perlu
pemeriksaan hematologi untuk penderita lansia (Cawson dan Odell, 2008).
Pengobatan simtomatik Tujuan dari pengobatan simtomatik yang dilakukan adalah: untuk mengurangi rasa nyeri, mempersingkat perjalanan lesi, dan memperpanjang interval kemunculan lesi.
bagi
Obat yang dapat digunakan antara lain: anestetikum (benzocaine 4% dalam borax glycerine), obat kumur antibiotika (chlorhexidine gluconate 0,2%, larutan tetrasiklin 2%), anti inflamasi dan anti udema ( sodium hyaluronat), obat mukoadhesive dan anti inflamasi (bentuk kumur atau gel), kortikosteroid topikal (triamcinolone in orabase). Kortikosteroid tidak mempercepat penyembuhan lesi, tetapi dapat mengurangi rasa sakit pada peradangan yang ada. Sedangkan pada triamcinolone
in orabase, kortikosteroid dicampur dengan media
orabase yang dapat membuatnya melekat pada mukosa mulut yang selalu basah. Jika pengolesan obat ini dilakukan dengan tepat, maka orabase akan menyerap cairan dan membentuk gel adesif yang dapat bertahan melekat pada mukosa mulut selama satu jam atau lebih. Namun, pengolesan pada erosi/ulser agak sedikit sulit untuk dilakukan. Gel yang terjadi akan membentuk lapisan pelindung di atas ulkus, sehingga pasien akan merasa lebih nyaman. Kortikosteroid akan dilepaskan secara perlahan. Selain itu obat ini juga memiliki sifat anti inflamasi. Berdasarkan percobaan yang dilakukan di Inggris dan Amerika Serikat, obat kumur tetrasiklin secara bermakna dapat menurunkan frekuensi dan keparahan stomatitis aftosa. Isi kapsul tetrasiklin (250 mg) dilarutkan dalam 15 mL air matang, ditahan selama 2 – 3 menit dalam mulut, dikumur tiga kali sehari. Pada beberapa pasien, penggunaan selama 3 hari dapat meredakan stomatitis aftosa rekuren (Cawson dan Odell, 2008). Obat kumur chlorhexidine 0,2% juga dapat digunakan untuk meredakan durasi dan ketidaknyamanan pada stomatitis aftosa. Cara penggunaannya adalah tiga kali sehari sesudah makan, ditahan dalam mulut selama minimal 1 menit Kadang pemberian vitamin B-12 atau asam folat sudah cukup untuk meredakan stomatitis aftosa frekuren.
Perawatan suportif Untuk perawatan suportif dapat dilakukan dengan pengaturan diet, pemberian obat kumur salin hangat dan anjuran untuk beristirahat dengan cukup. Terapi biasanya dilakukan secara empiris dan paliatif. Namun demikian, tidak ada satu obatpun yang dapat benar-benar menghilangkan lesi dengan sempurna. Penderita perlu diberi tahu bahwa kelainan tersebut tidak dapat diobati, tetapi dapat diredakan dan biasanya dapat sembuh sendiri.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengobatan lesi ini adalah: -
Sifat lesi ringan / parah dan lamanya berlangsung Ukuran lesi kecil / besar / kombinasi Dengan meningkatnya usia, keparahan lesi berkurang/bertambah,
-
frekuensi meningkat Tidak ada terapi definitif untuk stomatitis aftosa rekuren Terapi bersifat simtomatik dan berbeda untuk setiap individu.
Dalam menentukan strategi penatalaksanaan, maka stomatitis aftosa rekuren diklasifikasikan ke dalam tiga tipe, yaitu: Tipe A, tipe B, tipe C.
Tipe A
Berlangsung hanya beberapa hari Timbul 2 – 3 kali dalam satu tahun Rasa nyeri masih dapat ditolerir Apa pemicunya, ini yang ditanggulangi dulu
Operator perlu mengidentifikasi:
Apa saja perawatan yang sudah pernah dijalani, efektif atau tidak? Bila efektif dan aman dilanjutkan
Tipe B
Timbul setiap bulan
Lesi bertahan 3 – 10 hari
Pada tipe ini:
Lesi sangat nyeri, sehingga menyebabkan diet normal berubah, kondisi oral
hygiene juga berubah
Bila pemicunya dapat ditemukan (OH, stress, trauma, diet), maka
pengobatan dapat didiskusikan dengan pasien Bila ada gejala prodromal (kesemutan) ditanggulangi dulu
Tipe C
Lesi sangat nyeri Lesi bersifat kronis, satu lesi belum sembuh, sudah timbul lagi lesi baru Lesi tipe ini sebaiknya dirujuk ke dokter gigi spesialis penyakit mulut, dan diperlukan kerjasama dengan spesialis lain tergantung dari gejala yang
timbul Obat yang digunakan: - Kortikosteroid topikal yang poten - Kortikosteroid sistemik