1. BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sebagai emerging country, perekonomian Indonesia diperkirakan akan terus tumbuh tinggi. Dalam laporannya, McKinsey memperkirakan Indonesia menjadi kekuatan ekonomi dunia terbesar ke tujuh pada 2030. Meskipun demikian, Indonesia menghadapi tiga tantangan utama untuk mencapainya. Pertama, produktivitas tenaga kerja belum tumbuh maksimal. Kedua, distribusi perumbuhan ekonomi belum merata. Ketiga, adanya kemungkinan terdapat kekurangan infrastruktur dan sumber daya yang menopang kelas konsumsi untuk terus tumbuh dikarenakan pertumbuhan infrastruktur tidak mengimbangi pertumbuhan kelas konsumsi. Infrastruktur menjadi katalisator pertumbuhan sebagai mana disebutkan World Bank dalam World Development Report 1994. Infrastruktur menjadi roda kegiatan
perekonomian
(WDR,
1994).
Selain
itu,
infrastruktur
dapat
meningkatkan kualitas hidup manusia. Bisa dibilang, buruknya infrastruktur— baik untuk tujuan konsumsi maupun produksi—bisa menghambat perekonomian yang akhirnya akan menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Maka, salah satu faktor utama pertumbuhan ekonomi suatu negara adalah infrastruktur. Di sisi lain, energi juga diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi. Energi menjadi penting karena menjadi input bagi produsen. Selain itu, energi juga
1
menjadi input segala macam bentuk infrastruktur. Maka, Indonesia membutuhkan infrastuktur energi yang cukup untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ketersediaan infrastruktur bagi energi menentukan independensi suatu negara. Merujuk pada IEA (Internal Energy Agency), ketahanan energi (energy security) dapat definisikan sebagai berikut: ―Energy security refers to the uninterrupted availability of energy sources at an affordable price.‖ (PGN Inside, 2013). Ketersediaan energi akan murah dan
sustain dapat dicapai jika
infrastruktur memadai untuk memberi supply yang sesuai dengan permintaan di pasar. Oleh karena itu, keberadaan infrastruktur energi menjadi vital. Pertumbuhan konsumsi energi yang terus meningkat, beriringan dengan pertumbuhan ekonomi. Pada Gambar 1-1, terlihat bahwa konsumsi energi dari berbagai jenis terus meningkat. Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi energi tertinggi yang dikonsumsi. Sebagian besar energi tersebut didapat dari impor, terutama BBM dan gas. Konsumsi yang tinggi pada energi berkonsekuensi pada meningkatnya permintaan akses pada energi-energi tersebut. Di sisi lain, terusmenerus mengimpor BBM akan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia. Solusinya, pemerintah Indonesia berusaha mengurangi ketergantungan pada sumber energi minyak. Pemerintah mencanangkan program konversi BBM ke gas pada tahun 2009. Selain itu, Indonesia masih memiliki energi alternatif yang belum sepenuhnya dikembangkan, energi panas bumi. Pemanfaatan sumber energi
2
baru tentu memerlukan investasi infrastruktur baru. Keberadaan infrastruktur energi semakin krusial bagi Indonesia. Gambar 1-1 Pemakaian Energi Akhir 2000 – 2011 (KBOE) 400.000 350.000 300.000 Biomasa 250.000
Batu Bara Gas Bumi
200.000 150.000 100.000
BBM Produk Minyak Lainnya Briket LPG Listrik
50.000 0
Sumber: Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2012
Permasalahannya adalah Indonesia masih minim infrastruktur energi. Pada masa 1990-an, anggaran infrastruktur secara keseluruhan mencapai 8 persen dari PDB. Namun, sejak masa reformasi, anggaran infrastruktur Indonesia turun hingga 3 persen dari PDB. Hal tersebut berkaitan dengan krisis di Indonesia pada 1997, pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan pengetatan anggaran. Proyekproyek besar infrastruktur ditunda dan dialihkan pada pos anggaran lain yang dirasa lebih urgent. Rasio anggaran infrastruktur terhadap PDB pada 2010 masih
3
di bawah 5 persen (4,29 persen). Lima persen adalah rasio minimal anggaran infrastruktur yang dibutuhkan relatif terhadap PDB (www.antaranews.com 2012). Hal tersebut membuat persoalan seperempat penduduk Indonesia masih tidak mendapat akses listrik, 43 persen tidak mendapat akses sanitasi dasar, dan lebih dari 50 persen jalan desa buruk.1 Tahun 2011, tingkat masyarakat yang tidak mendapat akses listrik naik menjadi 27,05 persen.2 Pada APBN 2014, anggaran infrastruktur Indonesia sebesar Rp145,6 miliar, turun 27,67 persen dari APBN 2013 yang sebesar Rp201,3 miliar. Alokasi infrastruktur untuk energi sebesar Rp16,3 miliar, turun 74 persen dari APBN 2013 yang sebesar Rp62,8 miliar. Meski begitu, rasio anggaran infrastruktur terhadap PDB sudah cukup baik, diatas lima persen pada 2011 (6,16 persen) dan 2012 (6,17 persen). Lonjakan anggaran infrastruktur pada 2011 berkaitan dengan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dimulai tahun 2011 hingga tahun 2025. Jika ditilik lebih jauh, anggaran infrastruktur Indonesia masih kurang jika dibandingkan dengan Tiongkok, Thailand, dan bahkan Vietnam dengan rasio sebesar 7 persen terhadap PDB.3 Kemudian, pertumbuhan permintaan energi terus tumbuh konstan di atas 3 persen sejak 2005 hingga 2011 membutuhkan dukungan
1
Indonesia Economic Quarterly: Current Challenges, Future Potetial, World Bank, Juni 2011, dalam McKinsey Global Institute. "The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia's Potential." 2012. Hal 59. 2 Center for Data and Information on Energy and Mineral Resources of Indonesia. ―Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2012.‖ Energy and Mineral Resources of Indonesia, 2012. 3 Indonesia Economic Quarterly: Current Challenges, Future Potetial, World Bank, Juni 2011, dalam McKinsey Global Institute. "The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia's Potential." 2012. Hal 59.
4
investasi infrastruktur baru yang juga relatif seimbang, dengan input penawaran energi saat ini lebih banyak dari impor. Jika tidak, permintaan pasar tidak terpenuhi dan akan menghambat produksi dan konsumsi. Pertumbuhan ekonomi pun akan tersendat. Pada 2011, pengeluaran energi Indonesia mencapai 11 persen dari PDB. Hal ini membuat posisi Indonesia rentan terhadap pergolakan harga energi dunia. Merujuk pada hal di atas, analisis dan proyeksi kebutuhan investasi infrastruktur di Indonesia menjadi hal yang penting. Gambar 1-2 Porsi Infrastruktur terhadap PDB, 2005 – 2012 (%) 7
6,16
6,17
2011
2012
6 5
4,19
4,29
2009
2010
3,78
4 2,92
3,05
2006
2007
3 2
1,49
1 0 2005
2008
Sumber: BPS, SEKI Bank Indonesia (diolah)
Kemudian, jika mengacu pada Catch-up Index4, infrastruktur Indonesia berada di peringkat ke-47 dari lima puluh negara. Peringkat tersebut di bawah para negara tetangga seperti Singapura (1), Malaysia (29), Tiongkok (34), 4
Catch up Index adalah indeks ukuran kemampuan suatu negara untuk mengejar negara-negara maju sebagai cerminan daya saing suatu negara. Indeks ini dikembangkan oleh Kelompok Kerja untuk Daya Saing Indonesia Universitas Gadjah Mada pada tahun 2014.
5
Vietnam (40), Thailand (43), dan Filipina (46). Indonesia hanya unggul dari India (48). Secara khusus untuk infrastruktur energi, peringkat Indonesia ada pada urutan ke-47 dari lima puluh negara. Peringkat tersebut menjadi yang terbawah jika dibandingkan Singapura (1), Tiongkok (24), Malaysia (30), India (38), Thailand (43), Vietnam (44), dan Filipina (45). Indonesia menjadi negara nomor dua terbawah dari kelompok G-20 untuk infrastuktur secara umum dan negara terbawah untuk infrastruktur energi. Ini menjadi cerminan daya saing Indonesia sangat rendah. Artinya, Indonesia masih sangat jauh tertinggal dari negara maju, bahkan tertinggal oleh sesama negara berkembang di Asia. Tentu hal tersebut menjadi permasalahan besar dan harus segera diatasi agar daya saing Indonesia tidak semakin tertinggal. Tabel 1-1 Peringkat Catch up Index Beberapa Negara Asia, 2014 Peringkat Negara
Catch up Index Catch up Index Infrastruktur Infrastruktur Energi Singapura 1 1 Malaysia 29 30 Tiongkok 34 24 Vietnam 40 44 Thailand 43 43 Filipina 46 45 Indonesia 47 47 India 48 38 Sumber: Buku ―Catch Up: Seberapa Jauh Indonesia Memiliki Bekal untuk Mengejar Negara-negara Maju‖ (KKDSI, 2014)
6
1.2. Rumusan Masalah Permasalahan infrastruktur, khususnya sektor energi memberikan tantangan tersendiri bagi Indonesia. Pemerintah harus bergegas mengejar ketertinggalan infrastruktur jika ingin tetap mencapai cita-cita Indonesia pada 2030, menjadi negara maju dengan PDB US $ 5,1 triliun dan PDB perkapita US$18.000. Untuk itu,
Indonesia
memerlukan
forecasting
permintaan
infrastruktur
energi.
Forecasting tersebut bisa digunakan untuk perkiraan pengadaan infrastruktur energi tiap tahunnya. Kemudian, hal tersebut dapat dijadikan acuan pertimbangan bagi pemerintah Indonesia dalam penetapan kebijakan infrastruktur. Lebih lanjut, penelitian ini akan mencoba memetakan, permintaan infrastruktur, khususnya energi, yang dibutuhkan Indonesia saat ini dan di masa depan. Selain itu, analisis dilakukan untuk mengestimasi perkiraan kebutuhan infrastruktur di masa depan. Estimasi perkiraan tersebut meliputi perkiraan kebutuhan stock infrastruktur, dan kebutuhan investasi infrastruktur. 1.3. Pertanyaan Penelitian Pada penelitian ini, peneliti mencoba merumuskan penelitian dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Berapa jumlah stock infrastruktur Indonesia? b. Berapa demand infrastruktur Indonesia per provinsi hingga tahun 2030? c. Berapa jumlah investasi yang diperlukan Indonesia per provinsi untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur energi hingga tahun 2030? 7
1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mengetahui stock infrastruktur Indonesia saat ini dan masa depan; b. Mengetahui demand infrastruktur energi di Indonesia per provinsi hingga tahun 2030; dan c. Mengetahui jumlah investasi yang dibutuhkan untuk infrastruktur energi di Indonesia per provinsi hingga 2030. 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain: a. Memberikan informasi mengenai kebutuhan infrastruktur, khususnya energi, di Indonesia; b. Memberikan informasi mengenai forecast demand infrastruktur, khususnya energi, dan investasinya di Indonesia pada masa depan; c. Menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya mengenai analisis kebutuhan infrastruktur secara umum ataupun khusus infrastruktur energi; dan d.
Menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah Indonesia dalam penetapan kebijakan mengenai infrastruktur, spesifik pada kebutuhan per provinsi.
8
1.6. Pembatasan Penelitian Untuk memfokuskan pada rumusan masalah, penelitian ini dibatasi pada beberapa hal. Pertama, jenis infrastruktur yang diteliti adalah infrastruktur dasar, seperti jalan, sanitasi, energi, dan telekomunikasi. Kedua, penelitian ini difokuskan pada infrastruktur energi yang berupa gas dan listrik. Batu bara dan bahan bakar minyak (BBM) tidak dimasukkan karena keterbatasan data proksi yang merepresentasikan infrastruktur batu bara serta ketersediaan data infrastruktur BBM. Ketiga, horizon waktu basis data penelitian dimulai dari tahun 2005–2012 dan 2005–2013, karena keterbatasan data yang tersedia. Selanjutnya, proyeksi yang dilakukan hanya sampai tahun 2030. Dan yang terakhir, individu sampel yang diteliti adalah 33 provinsi di Indonesia, tidak 34 provinsi karena provinsi ke-34 baru resmi dibentuk pada 2013. 1.7. Sistem Penulisan Penelitian ini memiliki sistematika penulisan yang terbagi dalam empat bab. Bab I berisikan pendahuluan yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan, manfaat, dan sistematika penulisan penelitian. Bab II berisikan pemaparan penelitian terdahulu dan landasan teori serta metodologi dari penelitian ini. Bab III berisikan pembahasan dan diskusi dari hasil dan temuan-temuan penelitian. Sedangkan yang terakhir, Bab IV berisikan penutup berupa saran dan kesimpulan dari hasil penelitian. Pada bab ini juga memuat rekomendasi bagi pemangku kepentingan dan penelitian-penelitian selanjutnya.
9