1. BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2010 tentang RPJPD Kota Surakarta tahun 2005-2025 menyebutkan visi dan misi pembangungan periode jangka panjang bahwa “Surakarta Kota Budaya, Mandiri, Maju dan Sejahtera”. Makna Kota Budaya yakni kota yang memiliki wawasan luas mengenai budaya dan mengunggulkan nilai-nilai luhur kebudayaan. Mandiri berarti kota yang dapat menghadapi tantangan utamanya dalam perekonomian secara mandiri dengan mengandalkan potensi yang dimiliki. Potensi berupa sumberdaya manusia maupun sumberdaya ekonomi lokal yang dimiliki. Maju bermakna mengenai indikator sosial berupa sumberdaya manusia yang unggul dan berakhlak mulia. Sumberdaya manusia dengan kedua karakteristik tersebut dapat mendorong untuk tercapainya kota yang mampu menghadapi tantangan global saat ini. Sejahtera diartikan terpenuhinya kebutuhan lahir batin. Kebutuhan lahir berupa kebutuhan dasar sandang, pangan, papan dan kebutuhan lainnya. Kebutuhan batin bermakna terpenuhinya kebutuhan rohani sesuai keyakinan masing-masing. Sebagaimana yang tercantum dalam Perda Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2010, untuk mewujudkan visi diatas pemerintah kota menetapkan tujuh misi antara lain peningkatan kualitas sumberdaya manusia, kualitas pelayanan umum, kemananan dan ketertiban, perekonomian daerah yang mantap, lingkungan hidup yang baik dan sehat, perlindungan sosial, dan penyediaan sarana prasarana yang berkualitas. Beberapa misi diatas dirinci kembali dalam misi walikota dan wakil walikota yang sejalan dengan misi peningkatan perekonomian daerah, salah satunya adalah membuka lapangan kerja baru dengan menciptakan iklim investasi yang makin kondusif (Kota Ramah Investasi) dan suasana kota yang aman dan damai (SIPD, 2014).
Kota Surakarta yang memiliki misi Kota Ramah Investasi memiliki potensi investasi dalam sektor industri pengolahan, sektor konstruksi dan bangunan, sektor perdagangan, sektor industri kreatif, sektor pariwisata, sektor pendidikan, sektor kesehatan, dan sektor industri tekstil. Investasi sektor konstruksi dan bangunan merupakan kontributor bagi pembangunan infrastruktur dan sarana prasarana lainnya berupa pembangunan hotel, ruko, convention center, gedung perkantoran. Investasi sektor tersebut dibutuhkan karena Kota Surakarta merupakan kota yang strategis menjadi penyangga bagi kawasan sekitar dan dapat menunjang untuk menjadi pusat Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE). Bahkan pemerintah kota membuka lebar peluang investasi dengan memberikan kemudahankemudahan bagi investor yang akan mengembangkan wilayah Surakarta bagian utara khususnya dalam sektor konstruksi dan bangunan (SIMPEDAL, 2015). Berdasarkan data dari Dinas Pariwisata Kota Surakarta sebagai Kota MICE menyelenggarakan lebih dari 30 cultural event bertaraf nasional dan internasional setiap tahunnya. Hal ini menuntut pembangunan hotel-hotel dan sarana pertemuan dengan fasilitas konferensi internasional (SIMPEDAL, 2015). Berbagai pertunjukan yang diselenggarakan juga menjadi daya tarik wisata bagi Kota Surakarta sehingga setiap tahun mengalami peningkatan jumlah wisatawan khususnya wisatawan domestik sejumlah 2.124.762 pada tahun 2014 yang sebelumnya sejumlah 1.498.237 pada tahun 2013 (SIPD, 2014). Pelayanan bagi wisatawan dibutuhkan hotel sebagai tempat tinggal yang disesuaikan dengan lama tinggalnya. Seiring peningkatan jumlah wisatawan, pembangunan hotel juga meningkat di Kota Surakarta. Grafik PDRB atas dasar harga konstan tahun 2014 menunjukan pertumbuhan riil ekonomi Kota Surakarta. Ada dua sektor yang dominan sebagai penyumbang terbesar dalam perekonomian Kota Surakarta yaitu sektor industri perdagangan, hotel dan restoran sebesar 26% dan sektor industri pengolahan sebesar 19% dari keseluruhan sektor (SIPD, 2014).
Sektor pertumbuhan di Kota Surakarta berkaitan dengan peran masingmasing stakeholder. Stakeholder yang kemungkinan terlibat antara lain pemerintah, swasta dan masyarakat. Pemerintah berperan dalam menentukan kebijakan iklim investasi yang baik sehingga berujung pada keputusan investasi oleh pihak swasta. Keputusan investasi merupakan pengambilan keputusan mengenai layak atau tidaknya suatu bidang investasi tertentu untuk dilaksanakan (Sukhyar dan Agus, 2010). Masyarakat berperan dalam mendukung investasi dalam rangka pembangunan di Kota Surakarta. Perbedaan peran dan kepentingan masing-masing stakeholder ini menarik untuk dikaji kaitannya dengan persepsi terhadap investasi pembangunan. Pembangunan yang dimaksud dalam penelitian ini khususnya pembangunan hotel-hotel. Persepsi stakeholder dalam hal ini penting untuk dikaji karena adanya perbedaan kepentingan yang mendasari sikap dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, peneliti memiliki gagasan untuk mengkaji keberadaan pembangunan perhotelan di Kota Surakarta dari persepsi stakeholder.
1.2
Perumusan Masalah Proses penataan ruang perlu memahami adanya pola ruang dan struktur ruang. Struktur ruang dalam hal ini memiliki dua aspek yang harus dipenuhi dalam kajiannya. Kedua aspek tersebut yaitu struktur jaringan prasarana dan struktur pusat-pusat aktivitas permukiman. Struktur jaringan prasarana berupa prasarana yang mendukung aliran penduduk antar wilayah atau pusatpusat konsentrasi wilayah yang digambarkan dengan aliran arus perjalanan (trips) dan migrasi.
Aspek struktur pusat-pusat aktivitas permukiman
mengenai kapasitas atau hirarki pusat-pusat dan hubungannya yang berimplikasi pada kebutuhan sarana prasarana (Muta’ali, 2013). Penelitian ini mengkaji tentang dimensi persepsi objektif dari stakeholder terhadap ruang yang dijadikan sebagai pusat perekonomian dan pariwisata beserta sarana prasarananya dalam hal ini khususnya terkait pembangunan hotel. Pembangunan hotel yang berada di Kota Surakarta tidak terlepas dari
adanya kebijakan pemerintah terhadap investasi yang notabene memiliki misi menjadi Kota Ramah Investasi. Pembangunan hotel di Kota Surakarta terus meningkat dari tahun 2013 sejumlah 142 menjadi 145 pada tahun 2014 karena investasi pembangunan masih terbuka lebar. Kota Surakarta sendiri juga memiliki daya tarik investasi dengan beberapa indikator yang menunjang bagi perkembangan wilayahnya. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menetapkan 5 indikator daya tarik investasi kabupaten/kota di Indonesia antara lain kelembagaan, sosial politik, ekonomi daerah, tenaga kerja dan infrastruktur fisik dengan dilengkapi beberapa variabel pada masing-masing indikator (Muta’ali, 2015) Kota Surakarta membuka jalan kemudahan investasi termasuk pembangunan hotel-hotel yang tidak terlepas dari peran dan kepentingan sakeholder. Stakeholder yang kemungkinan terlibat di dalamnya antara lain pemerintah, swasta dan masyarakat. Kesemuanya saling berpengaruh dalam menciptakan iklim investasi pembangunan di Kota Surakarta. Maka peneliti ingin mengkaji lebih lanjut tentang persepsi stakeholder khususnya terhadap keberadaan pembangunan perhotelan yang ada di Kota Surakarta. Berdasarkan uraian diatas, peneliti telah menetapkan rumusan masalah. Rumusan masalah tersebut terdapat 3 poin : 1. Bagaimanakah karakteristik dan tingkat pengetahuan stakeholder tentang keberadaan pembangunan hotel di Kota Surakarta? 2. Bagaimana keragaman persepsi stakeholder terhadap keberadaan pembangunan hotel di Kota Surakarta? 3. Faktor apa saja yang berkaitan dengan persepsi stakeholder terhadap pembangunan hotel di Kota Surakarta?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, peneliti telah menetapkan tujuan penelitian. Adapun tujuan penelitian sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi karakteristik dan perbedaan tingkat pengetahuan stakeholder tentang keberadaan pembangunan perhotelan di Kota Surakarta. 2. Mengidentifikasi tentang keragaman persepsi dan sikap stakeholder terhadap keberadaan pembangunan perhotelan di Kota Surakarta. 3. Menganalisa faktor-faktor yang berkaitan dengan persepsi stakeholder terhadap keberadaan pembangunan perhotelan di Kota Surakarta.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan 2 manfaat sekaligus yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Kedua manfaat tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keberadaan perhotelan di Kota Surakarta berdasarkan persepsi stakeholder. Selain itu dapat memberikan informasi mengenai strategi menciptakan iklim investasi yang baik di Kota Surakarta. 2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap usaha menciptakan iklim investasi yang baik di Kota Surakarta untuk pembangunan berkelanjutan. Sehingga manfaat praktis yang diharapkan adalah sebagai berikut : a. Diketahui adanya pengaruh karakteristik dan tingkat pengetahuan stakeholder tentang pembangunan hotel di Kota Surakarta. b. Diketahui
keragaman
persepsi
stakeholder
terhadap
keberadaan
pembangunan hotel di Kota Surakarta. c. Diketahui faktor-faktor yang berkaitan dengan persepsi stakeholder terhadap pembangunan hotel di Kota Surakarta
1.5 1.5.1
Tinjauan Pustaka Pendekatan Geografi Geografi merupakan ilmu yang mempelajari tentang fenomena permukaan bumi secara menyeluruh termasuk hubungannya dengan kehidupan manusia. Hubungan antar fenomena tersebut dikaji ke dalam tiga pendekatan, yaitu: keruangan (spatial), temporal, dan kompleks wilayah. Berdasarkan pendekatan tersebut kajian geografis bersifat deskriptif terhadap objek yang dikaji, gambaran lokasi tertentu beserta faktor-faktor pembentuknya yang memiliki dinamika dari waktu ke waktu, dan mengenai pemanfaatannya bagi kelangsungan hidup manusia (Bonnet, 2008). Ilmu geografi memiliki tiga pendekatan utama yang digunakan sebagai acuan studi geografi kontemporer. Pendekatan dikatakan utama karena mengalami proses panjang keilmuan. Pendekatan ini muncul berdasarkan pertimbangan empat paradigma dalam geografi. Paradigma tersebut antara lain paradigma eksplorasi, paradigma kelingkungan, paradigma kewilayahan dan paradigma keruangan. Keempat paradigma diatas mendasari tiga pendekatan utama geografi dengan karakteristik yang berbeda (Yunus, 2010).
Berikut ini adalah tabel keterkaitan antara paradigma geografi dan pendekatan geografi.
Tabel 1.1 Keterkaitan Paradigma Keilmuan Geografi dengan Pendekatannya Paradigma
Karakteristik
Pendekatan
Paradigma
Pemetaan dan penggambaran daerah baru yang
Belum mempunyai ciri
Eksplorasi
memotivasi penelitian dan menghasilkan tulisan-
khusus karena dianggap
(Exploration
tulisan sederhana tentang daerah baru
belum berupa metode
Paradigm)
ilmiah
Paradigma
Analisis yang lebih sistematik tentang peranan
Environmentalisme
elemen lingkungan terhadap pola kegiatan
(Environmentalism
manusia. Analisis morfometrik dan kausalitas
Paradigm)
mendominasi dan difokuskan hanya pada
Ecological Approach
wilayah tertentu Paradigma
Analisis lebih mendalam dan lebih luas dengan
Regional Complex
Regionalisme
membandingkan wilayah satu dengan lainnya
Approach
(Regionalism
dalam penekanan pada keterkaitan antara elemen
Paradigm)
lingkungan dengan kegiatan manusianya.
Paradigma Analisis
Analisis pada ruang yang lebih khusus dimana
Spasial (Spatial
space dianggap sebagai variabel utama di
Analysis Paradigm)
samping variabel lain yang banyak dilibatkan.
Spatial Approach
Teknik-teknik analisis kuantitatif mendominasi pada awalnya dan kemudian terjadi penggabungan teknik analisis kuantitatif dan kualitatif. Sumber : Herbet dan Thomas, 1992; Johnston, et al., 2000 dalam Yunus 2010
Penelitian ini mengadopsi paradigma analisis spasial (spatial analysis paradigm) yang menjadikan space sebagai variabel utama dibandingkan variabel yang lainnya. Penggunaan paradigma analisis spasial
ini berpengaruh pada teknik analisis yang digunakan oleh peneliti yaitu didominasi
oleh teknik analisis
kuantitatif.
Selanjutnya
dilakukan
penggabungan analisis antara kuantitatif dan kuantitatif. Paradigma keilmuan geografi terkait dengan tiga pendekatan. Ketiga pendekatan itu jika dijabarkan memiliki pengertian mendalam masingmasing mengenai studi keilmuan geografi yang lebih mendalam. Berikut ini adalah penjelasan masing-masing pendekatan. 1. Pendekatan Spasial (Spatial Approach) Spatial approach is an approach in the study of Geography focussing on the recording and description of geospheric phenomena (human and natural phenomena) around the earth’s surface, with special attention to the significance of space as variable (Goodall, 1987 dalam Yunus, 2010). Maka pendekatan keruangan merupakan pendekatan geografi yang fokus pada fenomena geosfer khususnya pada variabel ruang (Goodall, 1987 dalam Yunus, 2010). Aplikasi pendekatan keruangan belum dijelaskan secara memadai dalam studi geografi, tetapi secara komprehensif ada 9 tema analisis. Sembilan tema analisis pendekatan keruangan antara lain analisis pola keruangan (spatial pattern), struktur keruangan (spatial structure), proses keruangan (spatial process), interaksi keruangan (spatial interaction), asosiasi keruangan (spatial association), komparasi keruangan (spaial comparison), kecenderungan keruangan (spatial tendency) dan sinergisme keruangan (spatial synergism). 2. Pendekatan Ekologi (Ecological Approach) Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungannya. Kamus Geografi Kemanusiaan (Dictionary of Human Geography) mengemukakan definisi ekologi sebagai berikut (Yunus, 2010). Ecology is the spesific study of the mutual relationship between organisms, both plant and animal, and their environment (the total of the external conditions that surrounds an organism, community or object) (Goodall, 1987; Johnston, et al., 2000).
Definisi yang dikemukakan oleh Goodall dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pokok bahasan dalam ekologi, yaitu keterkaitan antar organisme dengan lingkungan biotik dan keterkaitan organisme dengan lingkungan abiotik. Namun, hasil penelitian komprehensif menunjukan bahwa secara garis besar terdapat empat tema analisis dalam pendekatan ekologis, yaitu (Yunus, 2010): a. tema anslisis manusia dengan lingkungan (man and environment analysis); b. tema analisis kegiatan manusia dengan lingkungan (human activiy and environment analysis); c. tema analisis kenampakan fisikal alami dengan lingkungan (physiconatural features and environment analysis); d. tema analisis kenampakan fisikal budayawi dengan lingkungan (physico-artificial features and environment analysis) 3. Pendekatan Kompleks Wilayah (Regional Complex Approach) Pendekatan kompleks wilayah tidak selalu pendekatan wilayah, namun pendekatan kompleks wilayah bagian dari pendekatan wilayah. Pendekatan kompleks wilayah mengandung pengertian bahwa ada kompleksitas antar elemen suatu wilayah baik intra region maupun inter region (Yunus, 2010). ...Regional Complex Approach is an approach in Geography focussing on the integration of spatial and ecological approach in specified locality (not only a combination)... (Yunus, 2010). Berdasarkan definisi diatas menunjukan bahwa adanya dua hal yang saling berkaitan yaitu kompleksitas dan integrasi. Kompleksitas mengacu pada kompleksitas elemen wilayah dalam satuan wilayah. Integrasi mengacu antara pendekatan keruangan dan pendekatan ekologis (Yunus, 2010). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan keruangan yang mendasarkan pada salah satu analisis dari kesembilan analisis. Tema analisis dalam pendeketan keruangan yang digunakan yaitu analisis struktur ruang yang merupakan pusat permukiman dengan jaringan prasarananya. Analisis
keruangan pada penelitian ini khususnya untuk mengkaji respon dari lingkungan sekitar melalui persepsi stakeholder terkait pembangunan hotel.
1.5.2
Pengembangan Wilayah Proses
pembangunan
merupakan
upaya
sistematik
dan
berkesinambungan untuk menyediakan alternatif yang sah sesuai hukum yang berlaku dalam menampung aspirasi warga. Maka proses pembangunan dapat diartikan sebagai proses untuk memanusiakan manusia (Ernan, dkk. 2011). Todaro (2000) mengemukakan pendapat bahwa pembangunan merupakan proses multidimensional. Perubahan mendasar mencakup struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional. Proses pembangunan tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi tetapi penanganan ketimpangan pendapatan dan pengentasan kemiskinan juga menjadi pertimbangan. Jadi pada hakekatnya pembangunan merupakan penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial. Penyesuaian untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang lebih baik secara material maupun spiritual (Ernan, dkk. 2011). Menurut Anwar (2001) terjadinya perubahan baik secara incremental maupun paradigma dapat mengarahkan pembangunan wilayah pada terjadinya pemerataan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan keberlanjutan (sustainability). Pembangunan secara keseluruhan dapat diartikan sebagai upaya untuk mengembangkan kualitas hidup masyarakat suatu wilayah. Pengembangan wilayah dapat dikatakan sebagai suatu bentuk intervensi positif terhadap pembangunan di suatu wilayah. Pengembangan wilayah tersebut membutuhkan strategi-strategi efektif dalam percepatan pembangunan.
rangka
1.5.3
Implementasi Kebijakan Indonesia merupakan negara berkembang dengan beragam perbedaan yang mempengaruhi model implementasi kebijakan yang diaplikasikan. Empat model implementasi yang dikembangkan di sebagian besar negara berkembang antara lain (Nugroho, 2014) : 1. Pemerintah sendiri. Model ini memiliki pengertian kebijakan yang diarahkan oleh eksistensi pemerintahan. Misalnya : pertahanan, keamanan, undang-undang, penegakan keadilan, peperangan, terorisme dan sejenisnya. 2. Pemerintah sebagai aktor yang dominan dan masyarakat sebagai partner minoritas. Kebijakan ini digerakkan oleh pemerintah dan masyarakat sebagai aktor pelengkap yang notabene pelaksana kebijakan dari pemerintah. Misalnya : pembuatan kartu identitas, surat ijin, dokumen imigrasi, dsb. 3. Pemerintah sebagai minoritas dan masyarakat sebagai aktor dominan. Kebijakan ini digerakkan oleh masyarakat, tugas pemerintah adalah membantu dan melakukan supervisi. Misalnya kegiatan Posyandu. 4. Masyarakat sendiri. Kebijakan ini dikembangkan oleh masyarakat khususnya digerakkan oleh swasta dalam hal kegiatan bisnis maupun non bisnis.
Empat model implementasi kebijakan di atas penting untuk tercapainya kebijakan publik yang efektif. Namun, masih diperlukan prinsip umum dalam mencapai implementasi kebijakan yang efektif. Tiga prinsip umum implementasi kebijakan efektif antara lain : ketepatan kebijakan, ketepatan pengimplementasian, target kebijakan yang tepat, ketepatan lingkungan, dan ketepatan keputusan. Implementasi kebijakan juga memiliki empat fase yaitu sosialisasi, implementasi kebijakan, kontrol implementasi dan evaluasi (Nugroho, 2014).
1.5.4
Stakeholder Stakeholder adalah suatu kelompok baik berada di dalam atau luar perusahaan
yang
berperan
dalam
menentukan
perusahaan
dan
mempertaruhkan hidup untuk keberhasilan perusahaan. Stakeholder terdiri dari berbagai kelompok penekan (pressure group) yang menjadi pertimbangan perusahaan (Kasali, 1994). Stakeholder juga bisa dikatakan sebagai suatu individu maupun kelompok yang dapat dipengaruhi dan atau mempengaruhi terhadap tujuan tertentu yang akan dicapai (Freeman, 1984) Stakeholder organisasi dapat didefinisikan sebagai individu, kelompok atau organisasi yang melakukan klaim tehadap suatu sumberdaya. Organisasi dalam hal ini bisa termasuk pemerintah maupun swasta. Stakeholder tersebut selain memberikan perhatian pada sumberdaya juga dipengaruhi oleh hasil keluaran dari organisasi. Stakeholder menjadi bagian penting dari suatu organisasi publik maupun swasta sebagai pemangku kepentingan kesuksesan sebuah organisasi (Bryson, 2005). Stakeholder merupakan sumber informasi publik yang tepat untuk pengambilan data dalam penentuan kebijakan publik sebagai bentuk implementasi keputusan. Stakeholder merupakan narasumber yang mampu merepresentasikan individu maupun kelompok yang terorganisir atau tidak terorganisir (Thomas, 2012).
1.5.5
Teori Persepsi Persepsi merupakan cara pandang seseorang maupun sekelompok orang yang bisa berpengaruh pada sikap dan perilaku. Setiap orang atau sekelompok orang tidak mungkin bersikap netral karena masing-masing memiliki pandangan yang berbeda terhadap objek yang diketahui atau yang sedang dihadapi. Pandangan berbeda itu berpengaruh dalam penentuan sikap dan perilaku dalam menanggapi objek yang dihadapi (Ritohardoyo, 2006). Persepsi atau pandangan seseorang merupakan gejala dari sikap dan perilaku yang tidak hanya muncul karena suatu objek, tetapi juga dipengaruhi
oleh pengetahuan, pengalaman dan harapan seseorang di masa yang akan datang (Ritohardoyo, 2006). Beberapa pendapat lain mengenai persepsi pokok pengertiannya hampir sama sebagaimana para ahli menjelaskan. Winardi (2002) mengemukakan bahwa persepsi merupakan proses di dalam yang bermanfaat sebagai fakta dan metode untuk mengakumulasi dan melakukan manajemen stimulus yang kemungkinan dihadapi di lingkungan. Persepsi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain proses belajar, pengalaman, motivasi, dan pengetahuan dari stakeholder terhadap objek psikologis yang diamati (Rusmini, 2002). Rusmini (2002) mengungkapkan lebih mendalam mengenai persepsi dalam pendapat sebagai berikut. Persepsi juga ditentukan juga oleh faktor fungsional dan struktural. Beberapa faktor fungsional atau faktor yang bersifat personal antara kebutuhan individu, pengalaman, usia, masa lalu, kepribadian, jenis kelamin, dan lain-lain yang bersifat subyektif. Faktor struktural atau faktor dari luar individu antara lain: lingkungan keluarga, hukumhukum yang berlaku, dan nilai-nilai dalam masyarakat. Jadi, faktorfaktor yang mempengaruhi persepsi terdiri dari faktor personal dan struktural. Faktor-faktor personal antara lain pengalaman, proses belajar, kebutuhan, motif dan pengetahuan terhadap obyek psikologis. Faktor-faktor struktural meliputi lingkungan keadaan sosial, hukum yang berlaku, nilai-nilai dalam masyarakat. Sesuai dengan teori persepsi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa, pembentukan persepsi tersebut sangat dipengaruhi oleh pengamatan, penginderaan terhadap proses berpikir yang dapat mewujudkan suatu kenyataan yang diinginkan oleh seseorang terhadap suatu obyek yang diamati. Pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses penilaian stakeholder terhadap suatu objek, situasi, peristiwa yang dialami orang lain berdasarkan pengalaman masa lampau, sikap, harapan dan nilai yang ada pada individu (Rusmini, 2002). Sikap berkaitan dengan mental seseorang yang berkembang menjadi tanggapan atas suatu rangsangan. Maka sikap mencakup aspek tanggapan
mental dan aspek tanggapan fisik. Batasan sikap manusia dapat dikategorikan dalam tiga batasan yaitu (Azwar, 2003 dalam Ritohardoyo, 2006): 1. Sikap merupakan bentuk evaluasi atau reaksi yang berupa sikap negatif dan positif, seperti perasaan mendukung atau tidak mendukung. 2. Sikap merupakan kecenderungan potensial dalam bereaksi dengan caracara tertentu. 3. Sikap merupakan akumulasi ketiga komponen yaitu perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan tindakan (konasi) seseorang terhadap objek yang dihadapi. Sikap manusia berkembang menjadi perilaku (human behaviour) yang merupakan reaksi sederhana maupun kompleks. Perilaku dikategorikan menjadi tiga yaitu perilaku instinktif, perilaku abnormal dan perilaku normal atau wajar. Perilaku instinktif muncul karena kodrat manusia untuk mempertahankan hidupnya. Perilaku abnormal biasanya terjadi karena adanya gangguan jiwa. Perilaku normal atau wajar berkaitan erat dengan tanggapan menyesuaikan rangsangan yang diberikan (Ritohardoyo, 2006). Ancok (1987) mengemukakan bahwa perilaku manusia pada dasarnya sangat ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain fakor persepsi, sikap dan niat. Hal ini secara identik dapat dikemukakan, bahwa bagaimana perilaku atau kegiatan manusia di dalam atau terhadap lingkungannya, bergantung pada persepsi mereka terhadap lingkungan, sikap mereka terhadap lingkungan, serta bagaimana dan seberapa besar niat mereka untuk melakukan kegiatan terhadap lingkungannya. (Ritohardoyo, 2006) Berdasarkan uraian diatas, perilaku dipengaruhi oleh adanya sikap dan persepsi manusia terhadap objek yang dihadapi. Persepsi manusia dikategorikan dalam dua jenis yaitu persepsi personal dan persepsi sosial. Persepsi manusia dijabarkan ke dalam dua hal secara teoritis yaitu persepsi personal dan persepsi sosial. Menurut Harvey dan Smith (1977), persepsi personal (person perception) merupakan suatu proses yang memberikan pengaruh pada aspek fisik maupun psikologis kaitannya dengan proses pembentukan kesan terhadap suatu hal menurut hasil pengamatan
ataupun penalaran. Persepsi sosial juga dengan pengamatan maupun penalaran tetapi dilakukan melalui interaksi langsung, melalui orang lain dan atau melalui media massa sehingga menimbulkan kesan tertentu yang berbeda (Ritohardoyo, 2006). Berdasarkan pengertian diatas menunjukan bahwa persepi bersifat subjektif karena bergantung pada orang yang memberikan tanggapan atau persepsi. Pengertian persepsi dapat dibedakan menjadi dua yaitu berupa proses aktivitas seseorang dan reaksi timbal balik. Kedua pengertian dapat dijelaskan sebagai berikut (Ritohardoyo, 2006). 1. Persepsi adalah bagian dari proses seseorang dalam beraktivitas untuk memberikan kesan, pendapat, penilaian terhadap suatu hal. Seseorang juga memahami, merasakan, menghayati, menginterpretasikan, dan mengevaluasi terhadap suatu berdasarkan informasi yang ditampilkan. 2. Persepsi adalah reaksi saling timbal balik yang dipengaruhi oleh objek yang akan dipersepsikan, keadaan sosial yang ada di sekitar dan individu yang berpersepsi sehingga reaksi tersebut dapat memberikan motivasi berupa tatanan perilaku bagi perseptor.
1.5.6
Peran Investasi dalam Perkembangan Wilayah Penentuan tingkat perkembangan wilayah hakekatnya merupakan bentuk regionalisasi (Muta’ali, 2015). Regionalisasi adalah suatu proses untuk membuat atau membagi wilayah atau permukaan bumi menjadi lebih sempit untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Regionalisasi menggunakan unit keruangan sebagai objek pewilayahan. Unit analisis erat kaitannya dengan analisis tingkat perkembangan wilayah. Unit analisis yang digunakan berbasis batas administrasi dari tingkat nasional hingga desa. Pertimbangan yang digunakan untuk unit administrasi yaitu berdasarkan pertimbangan ketersediaan dan keseragaman data dan nilai manfaat manajemen. Hal ini karena kebijakan pembangunan selalu mendasarkan pada batas administrasi (Muta’ali, 2015).
Tabel 1.2 Cakupan Wilayah dan Unit Analisis dalam Kajian Tingkat Perkembangan Wilayah No
Cakupan Wilayah Kajian (Perspektif)
Unit Analisis - Propinsi
1
Nasional
- Kabupaten - Kecamatan - Desa - Kabupaten
2
Propinsi
- Kecamatan - Desa
3
Kabupaten
4
Kecamatan
- Kecamatan - Desa - Desa Sumber : Muta’ali, 2015
Tingkat perkembangan wilayah ditentukan berdasaran tujuan yang akan dicapai, kondisi dan karakteristik wilayah. Indikator perkembangan wilayah pada prinsipnya mengarah pada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Indikator penentuan perkembangan wilayah (Muta’ali, 2015) : 1. Penentuan Daerah Tertinggal KPDT 2. Indek Pembangunan Regional (Badan Pusat statistik) 3. Indek Kebahagiaan (Index of Happines) (BPS) 4. Indek Kinerja Pembangunan dan Otonomi Daerah 5. Indikator Daya Tarik Investasi Tingkat perkembangan wilayah dapat diasosiasikan dengan perkembangan investasi. Investasi masuk dikarenakan adanya faktor-faktor yang mendorong investasi yang terdiri dari 5 indikator dari KPPOD tahun 2003. Lima indikator itu yakni kelembagaan, sosial politik, ekonomi daerah,
tenaga kerja dan infrastruktur fisik (Muta’ali, 2015). Berikut ini rincian variabel pada masing-masing indikator. Tabel 1.3. Indikator Pemringkatan Daya Tarik Investasi No
Indikator
1.
Variabel 1. Aparatur dan Pelayanan Publik
Kelembagaan
2. PERDA dan Kebijakan Daerah 3. Keuangan Daerah 4. Kepastian Hukum
2.
1. Keamanan Sosial Politik
2. Sosial Politik 3. Budaya
3.
1. Potensi Ekonomi Ekonomi Daerah
2. Struktur Ekonomi 3. Perbankan
4.
1. Produktivitas Tenaga Kerja Tenaga Kerja
2. Biaya Tenaga Kerja 3. Ketersediaan Tenaga Kerja
5.
Infrastruktur Fisik
1. Ketersediaan Infrastruktur Fisik 2. Kualitas dan Akses Sumber : Muta’ali, 2015
Tingginya aktivitas ekonomi di daerah-derah yang berbasis sektor sekunder ini memperlihatkan bahwa daerah dan masyarakatnya telah terbiasa dengan kegiatan ekonomi modern atau perekonomiannya telah berorientasi pada industrialisasi dan perdagangan. Dilihat dari infrastukturnya juga merupakan daerah-daerah yang telah mempunyai infrastruktur yang sudah baik untuk mendukung kegiatan usaha dan investasi (KPPOD, 2002).
PDRB perkapitanya atau pendapatan masyarakat yang tinggi, memberikan gambaran daya beli masyarakat untuk kegiatan konsumsi dan investasi, serta menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya telah cukup baik. Pada umumnya untuk daerah yang masyarakatnya mempunyai tingkat kesejahteraan yang baik kondisi kemanan akan baik juga. Kondisi keamanan ini juga didukung lagi dengan budaya masyarakat yang terbuka dan mendukung masuknya investasi. Keterbukaan budaya daerah terhadap unsur dari luar daerah bisa tercermin dari sikap dan perilaku birokrasi dan masyarakat. Budaya birokrasi ini mempengaruhi juga terhadap komitmen pemerintah untuk pembangunan ekonomi produktif di daerah yaitu infrastruktur (KPPOD. 2002).
1.5.7
Iklim Investasi Kota Surakarta Berdasarkan
tugas
dan
fungsi
pokok
Bappeda
dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, serta dalam rangka mewujudkan visi dan misi Pemerintahan Kota Surakarta, maka Bappeda menetapkan visi berikut : "Terwujudnya perencanaan daerah yang visioner, demokratis, terpadu, dinamis dan berkelanjutan yang dapat menjadi acuan bagi instansi pemerintah kota, instansi vertikal dan masyarakat”. Guna mewujudkan Visi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Surakarta ditetapkan salah satu misi pada urutan ketujuh yaitu (Bappeda, 2011):
Meningkatkan keserasian Perencanaan Pembangunan Daerah Lintas Sektoral, Lintas Wilayah melalui kerja sama dan Partisipasi Masyarakat. Untuk mendukung pembangunan Kota Surakarta sesuai dengan visi dan misi di atas, maka perlu disusun Profil Daerah Kota Surakarta dengan memberikan uraian kondisi wilayah Kota Surakarta serta potensi yang dimiliki sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya tarik dan membuka peluang investasi ke Kota Surakarta. Misi Walikota dan Wakil Walikota Surakarta selama kurun waktu
2010-2015 sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 12 Tahun 2010 tentang RPJMD Kota Surakarta Tahun 2010-2015 salah satunya yaitu
: membuka lapangan kerja baru dengan menciptakan iklim investasi yang makin kondusif (Kota Ramah Investasi) dan suasana kota yang aman dan damai (Bappeda, 2011).
1.5.8
Konsep Hotel Perhotelan merupakan indutri jasa yang mampu bertahan dalam kondisi krisis ekonomi (economy crisis resistance) dan kebangkrutan (bankcruptcy resistance). Industri perhotelan justru menunjukan peningkatan pembangunan yang signifikan meskipun terdapat krisis ekonomi. Direktorat Jenderal Pariwisata mencatat rata-rata kenaikan jumlah hotel berbintang di Indonesia dari tahun 1990 hingga 2004 sebesar 6, 64 %. Jumlah hotel berbintang dan non-bintang pada tahun 1990 adalah 6.513 buah dengan 131.181 kamar. Tahun 2000 ada 10.280 hotel dengan 263.614 kamar. Jumlah kenaikan tersebut menunjukan bahwa usaha jasa perhotelan termasuk bidang usaha yang porspektif dan tetap diminati (Sambodo dan Bagyono, 2006). Pengertian hotel telah dikemukakan oleh beberapa pakar dan dituangkan dalam surat keputusan menteri sebagai berikut (Rumekso, 2002). -
Hotel merupakan bangunan yang dilengkapi dengan fasilitas kamarkamar sewa, pemenuhan kebutuhan makan dan minum serta fasilitas lain yang dikelola secara profesional agar memperoleh keuntungan usaha (Rumekso, 2002).
-
Hotel adalah suatu bentuk akomodasi yang dikelola secara komersial, disediakan bagi setiap orang untuk memperoleh pelayanan dan penginapan berikut makan dan minum (SK Menteri Perhubungan No. Pm. 10/ Pw. 301/Phh. 77).
-
Hotel adalah perusahaan yang menyediakan jasa dalam bentuk akomodasi serta menyediakan hidangan dan fasilitas lainnya di dalam hotel untuk umum yang memenuhi syarat comfort dan bertujuan komersial dalam jasa tersebut (SK. Menteri Perhubungan No. 241/ II/ 1970).
-
Hotel adalah suatu jenis akomodasi yang menggunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa pelayanan/ penginapan,
makan, minum, serta jasa lainnya bagi umum yang dikelola secara komersial (SK. Menparpostel No. Km 34/ NK 103/ MPPT. 87). Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa hotel yaitu (Rumekso, 2002): 1. usaha komersial; 2. diperuntukkan bagi umum; 3. mempunyai sistem pelayanan; dan 4. memiliki fasilitas akomodasi, makan dan minum.
1.5.9 No.
Peneliti
Tabel Keaslian Penelitian Judul
Tujuan
Lokasi
Metode
Hasil Penelitian
Penelitian 1.
Rebecca
Peran Investasi
Carolina,
dalam
2010
Mendorong Pengembangan
Mengidentifikasi alasan-alasan utama perusahaan industri dalam merekrut tenaga kerjanya serta kelemahan-kelemahan
Tenaga kerja dan
tenaga kerja lokal dalam konteks
Pembangunan
tersebut yang dapat diperbaiki
Wilayah di
dengan kebijakan yang lebih baik.
Kabupaten Bekasi
di Kawasan Industri Cikarang, Kabupaten Bekasi
-
Teknik
pengambilan sampel perusahaan dilakukan dengan teknik purposive sampling. -
Sedangkan
survei sekunder dilakukan dengan mengumpulkan datadata dari berbagai instansi di
1. Hasil jurnal ini didapatkan bahwa pada perusahaan industri di Kabupaten Bekasi proporsi tenaga kerja lokal lebih sedikit dibanding tenaga kerja non lokal. 2. Alasan utama sebuah perusahaan industri dalam merekrut tenaga kerjanya ialah jenis dan kompetensi tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan industri skala besar.
Kabupaten Bekasi
2.
Komite
Daya Tarik
1. Membuat pemeringkatan daya
Kabupaten/
Kuantitatif
1. Peringkat daya tarik investasi
Pemantuan
Investasi
tarik investasi daerah terhadap
kota di
antar kabupaten/ kota di
Pelaksanaan
Kabupaten/ Kota
investasi berdasarkan persepsi
Indonesia
Indonesia
Otonomi
di Indonesia.
dunia usaha
Daerah, 2003
2003. Persepsi
2. Melihat perubahan peringkat
Dunia Usaha
daya tarik investasi daerah
2. Perubahan peringat tahun 20022003
kabupaten/ kota tahun 2002-2003 dan faktor-faktor yang menyebabkan. 3.
Neny
Persepsi Pelaku
1. Mengetahui persepsi pelaku
Kabupaten
Metode survei dengan
Widhayanti
Usaha terhadap
usaha terhadap daya tarik
Nganjuk,
model kuantitatif dan
pelaku usaha terhadap daya
Daya Tarik
investasi antar kecamatan di
Jawa Timur
deskriptif kualitatif
tarik investasi antar kecamatan
Investasi di
Kabupaten Nganjuk.
di Kabupaten Nganjuk.
Kabupaten
2. Pemeringkatan daya tarik
2. Pemeringkatan daya tarik
Nganjuk
1. Deskripsi mengenai persepsi
investasi antar kecamatan di
investasi antar kecamatan di
Kabupaten Nganjuk berdasarkan
Kabupaten Nganjuk
persepi pelaku usaha.
berdasarkan persepi pelaku usaha.
4.
3. Mengetahui implikasi kebijakan
3. Deskripsi mengenai implikasi
dari pemerintah berdasarkan
kebijakan dari pemerintah
persepsi pelaku usaha dalam
berdasarkan persepsi pelaku
daya tarik investasi antar
usaha dalam daya tarik
kecamatan di Kabupaten
investasi antar kecamatan di
Nganjuk.
Kabupaten Nganjuk.
Dirgahayu
Persepsi
Praditya
Stakeholder
tingkat pengetahuan stakeholder Citywalk
Damastuti,
terhadap
tentang keberadaan apartemen dan Mall
2011
Pembangunan
citywalk dan mall Solo Paragon.
Apartemen
1. Mengkaji
karakteristik
2. Mengkaji
keragaman dari
dan Apartemen
Solo
persepsi Paragon
1. Karakteristik dan Pengetahuan Stakeholder 2. Keragaman Persepsi dan Sikap Stakeholder 3. Analisis Faktor-Faktor yang
Citywalk dan
stakeholder
Mall Solo
tingkatan terhadap pembangunan
Stakeholder terhadap
Paragon
apartemen citywalk dan mall Solo
Pembangunan Apartemen
Paragon.
Citywalk dan Mall Solo
3. Mengidentifikasi yang persepsi
berbagai
Metode survei
faktor-faktor
berhubungan
dengan
stakeholder
terhadap
berhubungan dengan Persepsi
Paragon 4. Harapan dan Rekomendasi
pembangunan apartemen citywalk dan mall Solo Paragon. 4. Mengkaji harapan stakeholder terhadap
pembangunan
apartemen citywalk dan mall Solo Paragon. 5.
Dita Asiatu
Persepsi
1. Mengidentifikasi
karakteristik Kota
Stakeholder
dan
terhadap
pengetahuan stakeholder tentang
deskriptif kualitatif
Keberadaan
keberadaan
dan kuantitatif
Pembangunan
perhotelan di Kota Surakarta.
Perhotelan di Kota Surakarta
perbedaan
2. Mengkaji
tingkat Surakarta
Metode survei dengan
pembangunan
tentang
keragaman
persepsi dan sikap stakeholder terhadap
keberadaan
pembangunan perhotelan di Kota Surakarta.
Teknik analisis
3. Menganalisa faktor-faktor yang berkaitan
dengan
persepsi
stakeholder terhadap keberadaan pembangunan perhotelan di Kota Surakarta.
1.6
Kerangka Penelitian Kerangka berpikir menjelaskan bahwa pembangunan perhotelan di Kota Surakarta berkaitan dengan adanya kebijakan investasi (Kota Ramah Investasi) dari pemerintah dan keputusan investasi oleh pihak swasta. Selain itu pihak masyarakat juga berperan dalam rangka mendukung investasi pembangunan. Penelitian ini mengkaji persepsi dari masing-masing stakeholder yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat untuk mempersepsikan keberadaan objek pembangunan dalam hal ini perhotelan. Masing-masing stakeholder kemungkinan memiliki perbedaan kepentingan sehingga perlu dikaji persepsinya. Persepsi stakeholder dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain karakteristik dan tingkat pengetahuan. Karakteristik stakeholder berkaitan dengan karakteristik sosial dan ekonomi antara lain usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, tingkat pendapatan, status penduduk dan lama tinggal serta status pernikahan. Faktor tingkat pengetahuan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu pengetahuan tentang perhotelan dan daya tarik investasi di Kota Surakarta. Tingkat pengetahuan tentang perhotelan seperti tujuan dibangunnya hotel dan keberadaan perhotelan di Kota Surakarta. Pengetahuan tentang daya tarik investasi mengacu pada pemeringkatan daya tarik investasi oleh KPPOD yang terdiri dari lima indikator yaitu kelembagaan, sosial politik, ekonomi daerah, tenaga kerja dan infrastruktur fisik (Muta’ali, 2015). Perbedaan persepsi ini untuk mempersepsikan dampak, manfaat, kepentingan, kesesuaian dengan tata ruang, kebudayaan dan sosialisasi. Persepsi akan menghasilkan tingkat persepsi masing-masing stakeholder dengan tingkatan rendah, sedang dan tinggi. Persepsi selanjutnya memunculkan sikap terhadap keberadaan pembangunan hotel. Sikap stakeholder mendukung
dibagi menjadi tiga yaitu tidak mendukung, netral dan
1. Pengetahuan tentang Perhotelan
.
Pembangunan Perhotelan di Kota Surakarta Kebijakan Pemerintah & Investasi Swasta
Persepsi Stakeholder
Karakteristik Stakeholder
2. Pengetahuan Daya Tarik Investasi Perhotelan 1. 2. 3. 4. 5.
Kelembagaan Sosial Politik Ekonomi Daerah Tenaga Kerja Infrastruktur fisik
Pengetahuan Daya Tarik Investasi
1. Usia 2. Jenis Kelamin 3. Status Pernikahan 4. Pendidikan 5. Pekerjaan 6. Tingkat Pendapatan 7. Lama Tinggal
Karakteristik Stakeholder
PERSEPSI
Kebudayan
Dampak
Manfaat
Kepentingan
Kesesuaian tata ruang
- Manfaat
Sosialisasi
- Kesesuaian Tingkat Persepsi
Rendah
Sedang
Tinggi
SIKAP
Tidak Mendukung
Netral
Mendukung
Implikasi Kebijakan
Sumber : Muta’ali 2015, Damastuti, 2011 dan KPPOD, 2003
1.7
Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian diatas dapat dirumuskan hipotesis dalam penelitian ini : 1. Karakteristik usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaaan, tingkat pendapatan, status penduduk, status pernikahan adalah beragam. Tingkat pengetahuan stakeholder terhadap keberadaan perhotelan dan daya tarik investasi di Kota Surakarta adalah sedang. 2. Terdapat keragaman persepsi dan sikap antara stakeholder pemerintah, swasta dan masyarakat terhadap keberadaan pembangunan perhotelan di Kota Surakarta 3. Terdapat hubungan antara karakteristik stakeholder dengan persepsi, tingkat pengetahuan dengan persepsi dan persepsi dengan sikap stakeholder terhadap keberadaan pembangunan perhotelan di Kota Surakarta.
1.8
Batasan Istilah Usulan penelitian ini, peneliti membatasi untuk membahas keberadaan perhotelan. Daya tarik investasi hanya terbatas pada persepsi stakeholder pemerintah, swasta dan masyarakat dengan 5 indikator daya tarik investasi berdasarkan KPPOD. Lima indikator itu yakni kelembagaan, sosial politik, ekonomi daerah, tenaga kerja dan infrastruktur fisik. Stakeholder kunci yang akan menjadi satuan penelitian yaitu pemerintah daerah, pejabat perhotelan dan apartemen, dan masyarakat Kota Surakarta. Berikut ini batasan istilah yang digunakan. Persepsi merupakan sudut pandang atau pandangan. (KBBI, 2010) Persepsi atau pandangan seseorang merupakan gejala dari sikap dan perilaku yang tidak hanya muncul karena suatu objek, tetapi juga dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman dan harapan seseorang di masayang akan datang (Ritohardoyo, 2006).
Stakeholder merupakan pihak atau pemangku kepentingan yang bersangkutan terhadap suatu perkara dalam hal ini pemerintah, swasta dan masyarakat. Investasi adalah penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan (KBBI, 2010). Proses Pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik (Lutfi dalam Rustiadi dkk, 2009). Hotel merupakan bangunan berkamar banyak yang disewakan sebagai tempat untuk menginap dan tempat makan orang yang sedang dalam perjalanan; bentuk akomodasi yang dikelola secara komersial, disediakan bagi setiap orang untuk memperoleh pelayanan, penginapan, makan dan minum (KBBI, 2010). Hotel adalah bangunan yang menyediakan kaarkamar untuk menginap para tamu, makanan, dan minuman serta fasilitasfasilitas lain yang diperlukan dan dikelola secara profesional untuk mendapatan keuntungan (Rumekso, 2002).