SKRIPSI COVER ANALISIS KELAYAKAN DAN SENSITIVITAS INVESTASI MONOREL YOGYAKARTA
Nomor Soal : TKI 4011 / II-2014/2015 / MAW / 10 / 03 / 09.01 / 2015
Disusun Oleh: Angga Priyanto Putra 10/297080/TK/36254
PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI JURUSAN TEKNIK MESIN DAN INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2015
PENGESAHAN
ii
PERNYATAAN
iii
NASKAH SOAL TUGAS AKHIR
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Tidak ada kebaikan ibadah yang tidak ada ilmunya dan tidak ada kebaikan ilmu yang tidak difahami dan tidak ada kebaikan bacaan kalau tidak ada perhatian untuknya.“ ~ Sayidina Ali bin Abi Thalib
Dipersembahkan untuk : Ayah, Ibu, Anggie dan Andika & Keluarga dan Almamater
-Terima Kasih-
v
KATA PENGANTAR
Skripsi yang berjudul “ANALISIS KELAYAKAN DAN SENSITIVITAS INVESTASI MONOREL YOGYAKARTA” telah disusun dengan tujuan memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Program Studi Teknik Industri, Jurusan Teknik Mesin dan Industrik, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini tersusun atas enam Bab. Bab 1 berisi pendahuluan yang mencakup latar belakang, mengapa penelitian ini dilakukan. Selain itu, dalam bab ini juga disertakan rumusan masalah, asumsi dan batasan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Bab 2 berisikan tinjauan pustaka yang didalamnya mencakup penjelasan mengenai jenis penelitian yang serupa. Bab 3 berisi landasan teori, berisi teori-teori dasar yang digunakan sebagai landasan dan tuntunan dalam pemecahan masalah penelitian ini. Selain itu, pada bab ini juga dijelaskan mengenai deskripsi sistem monorel Yogyakarta mulai dari jenis kereta, panjang jalur, headway yang digunakan, keunggulan sistem monorel sampai pada sistem persinyalan. Bab 4, berisikan metodologi penelitian yang digunakan sebagai langkah-langkah dalam pemecahan masalah dalam penelitian ini. Bab 5 berisi analisis dan hasil pembahasan mengenai studi kelayakan serta sensitivitas parameter yang mempengaruhi Net Present Value. Penulisian diakhiri dengan kesimpulan dan saran yang terdapat dalam Bab 6 atau penutup. Akhir kata dari penulis, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan penulis sebagai bahan perbaikan dan koreksi agar kedepannya penelitian ini menjadi lebih baik. Karena penulis sadar bahwa tugas akhir ini jauh dari kata sempurna. Akhirnya, penulis berharap agar tugas akhir ini dapat memberikan manfaat yang baik bagi pembaca dan penelitian selanjutnya.
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puj dan syukur tidak lupa selalu penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, aqidah, berkah dan hidayah-Nya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik, Serta shalawat dihaturkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai role model yang selalu menjadi panutan dalam kehidupan. Dalam menyelesaikan tugas akhir ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1.
Ayah dan ibu serta kedua adik penulis atas segala keringat dan kerja kerasnya, dukungan semangat, kasih sayang, pesan moral, serta segala doa yang telah dipanjatkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar. Semoga karunia Allah SWT selalu berada pada kita semua.
2.
Eyang kakung dan eyang putri serta keluarga besar yang selalu mendukung dan mendoakan penulis dalam setiap langkah kehidupan.
3.
Bapak Dr.Eng. M. Arif Wibisono, S.T.,M.T., sebagai Dosen Pembimbing Skripsi. Terimakasih atas segala bimbingan, arahan, bantuan, motivasi, selama proses tugas akhir ini. Semoga penulis mampu memenuhi target yang diberikan.
4.
Bapak Budi Hartono, S.T., MPM., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terimakasih atas segala nasehat, bimbingan dan motivasi dalam kegiatan akademik dan non akademik yang diberikan kepada penulis
5.
Bapak Ali Awaluddin, S.T., M.Eng., Ph.D. selaku Dosen Pembina Kuliah Kerja Nyata. Terimakasih atas segala bantuan dan bimbingan yang diberikan sehingga kegiatan Kuliah Kerja Nyata yang dilaksanakan oleh penulis mampu berjalan dengan baik dan lancar.
6.
Segenap dosen, staf pengajar, dan karyawan Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadjah Mada, atas bantuan dan dukungannya selama penulis melaksanakan kuliah.
7.
Teman-teman Teknik Industri angkatan 2010 yang menjadi bagian penting dari kehidupan penulis selama masa studi. vii
8.
Teman-teman satu bimbingan skripsi yang selalu bahu-membahu dalam menyelesaikan tugas akhir.
9.
Mas Deni dan Mas Lilik dari Pusat Studi Transportasi UGM yang sudah menyediakan waktunya untuk berbagi ilmu dan informasi seputar dunia transportasi.
10. Teman-Teman Departemen Wawasan Organisasi HMTI UGM angkatan 09, 10, 11 yang menjadi bagian kerja tim selama masa organisasi. 11. Teman-teman Delayota 2010 yang selalu memberi dukungan, tempat untuk berdiskusi, tempat bermain, dan tempat berpetualang. Terima kasih atas pengalaman yang dapat dibagi serta keajaiban yang pernah kita ciptakan. Semoga kita bisa menjadi pakci-pakci muda yang bermanfaat bagi banyak lini kehidupan. 12. Tim KKN NTB-15 Desa Medana, Kecamatan Tanjung, Lombok Utara. Terima kasih atas pengalaman dan kenangan yang luar biasa selama 2 bulan. Semoga kita semua menjadi pribadi yang sukses dan bermanfaat. 13. Keluarga Panser Ireng 2008,2009,2010,2011 yang selalu bersama-sama menciptakan berbagai momen. Semoga kedepan ikatan alumni yang solid dan bermanfaat dapat terjalin. 14. Semua pihak yang telah membantu dan mendoakan penulis dalam mengerjakan tugas akhir ini. Semoga kebaikan dan keselamatan selalu menyertai anda semua.
Yogyakarta, 20 Mei 2015
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
i
LEMBAR PENGESAHAN
ii
PERNYATAAN
iii
NASKAH SOAL TUGAS AKHIR
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
v
KATA PENGANTAR
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
vii
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN
xvi
INTISARI
xix
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
1
1.2
Rumusan Masalah
3
1.3
Asumsi dan Batasan Masalah
3
1.4
Tujuan Penelitian
4
1.5
Manfaat Penelitian
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Metode Analisis Sensitivitas
7
ix
2.2
Sensitivitas parameter input terhadap analisa investasi
8
BAB III LANDASAN TEORI 3.1
Pengertian dan Investasi Monorel
10
3.2
Sistem Monorel Yogyakarta
12
3.3
Analisis Kelayakan Keputusan Investasi
15
3.4
Net Present Value
15
3.5
Analisis Sensitivitas
16
3.5.1.
Parameter Input
17
3.5.2.
One At A Time Procedure
17
3.6
Payback Period
18
3.7
Inflasi
18
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1.
Objek Penelitian
20
4.2.
Alat Penelitian
20
4.3.
Tahapan Penelitian
20
4.3.1
Studi Literatur
20
4.3.2
Menentukan Kriteria Penilaian Investasi
20
4.3.3
Pengambilan Data
21
4.3.4
Pembuatan Cash Flow
21
4.3.5
Aspek Penilaian Investasi
21
4.3.6 Optimalisasi Biaya Infrastruktur Sistem Transportasi Monorail Yogyakarta
21
4.3.7
22
Evaluasi investasi dengan analisis sensitivitas
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
Spesifikasi Teknis Monorel Yogyakarta
23
x
5.2. Analisis Kebutuhan Headway Minimum pada Tahapan Pertama Monorel Yogyakarta 24 5.3.
Pendapatan Monorel Yogyakarta
25
5.3.1.
Pendapatan Tiket
25
5.3.2.
Pendapatan Non Tiket
26
5.4.
Estimasi Biaya Investasi
30
5.4.1.
Biaya Investasi Fasilitas Monorel Yogyakarta
31
5.4.2.
Biaya Investasi Kereta Monorel Yogyakarta
34
5.5.
Biaya Operasional Monorel Yogyakarta
35
5.6.
Biaya Perawatan Monorel Yogyakarta
36
5.7.
Analisis Kelayakan Investasi Monorel Yogyakarta
38
5.7.1.
Analisis Kelayakan Investasi Jalur Utara-Selatan
39
5.7.2.
Analisis Kelayakan Investasi Jalur Timur-Barat
40
5.8.
Analisis Sensitivitas Investasi Monorel Yogyakarta
41
5.8.1. Analisis Sensitivitas Volume Penumpang terhadap NPV
42
5.8.2. Analisis Sensitivitas Pendapatan Non Tiket terhadap NPV
44
5.8.3. Analisis Sensitivitas Biaya Operasional Monorel terhadap NPV
47
5.8.4. Analisis Sensitivitas NPV Terhadap Perubahan Biaya Perawatan
49
5.8.5. Analisis Sensitivitas NPV Terhadap Perubahan Biaya Investasi
52
5.8.6. Analisis Sensitivitas NPV Terhadap Perubahan Harga Tiket
54
5.9. Analisis Sensitivitas Keputusan Investasi Terhadap Perubahan Penerapan Merek Kereta 57 5.10. Prediksi Harga Tiket Berdasarkan Rasio Pembiayaan Antara Pemerintah dan Investor 61 5.11. Pengaruh Inflasi Terhadap Keputusan Investasi Monorel Yogyakarta pada Jalur Utara-Selatan dan Timur-Barat 63 BAB VI PENUTUP 6.1.
Kesimpulan
67
xi
6.2.
Saran
68
DAFTAR PUSTAKA
70
LAMPIRAN
75
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Tabel Spesifikasi Bombardier Innovia 300 Monorail (diambil dari Booklet Perkeretaapian Perkotaan Yogyakarta)
14
Tabel 5.1 Tabel Spesfikasi Teknis Monorel Yogyakarta
23
Tabel 5.2 Tabel Analisis Kebutuhan Headway
24
Tabel 5.3 Tabel Pendapatan Tiket Monorel Yogyakarta
26
Tabel 5.4 Tabel Pendapatan Sewa Tempat Iklan Tiang Monorel
27
Tabel 5.5 Tabel Pendapatan Sewa Tempat Pemasangan Fiber Optic
28
Tabel 5.6 Tabel Pendapatan Sewa Tempat Stasiun dan Kereta
29
Tabel 5.7 Tabel Spesfikasi Ruang dan Harga Sewa
29
Tabel 5.8 Tabel Estimasi Harga Satuan Detail Pekerjaan Monorel
30
Tabel 5.9 Tabel Biaya Investasi Monorel Jalur Timur-Barat
32
Tabel 5.10 Tabel Biaya Investasi Monorel Jalur Timur-Barat
33
Tabel 5.11 Tabel Biaya Investasi Kereta Jalur Utara-Selatan
34
Tabel 5.12 Tabel Biaya Investasi Kereta Jalur Timur-Barat
35
Tabel 5.13 Tabel Biaya Operasional Monorel Yogyakarta
35
Tabel 5.14 Tabel Biaya Operasional Monorel Yogyakarta
36
Tabel 5.15 Tabel Biaya Perawatan Fasilitas Jalur Utara-Selatan
37
Tabel 5.16 Tabel Biaya Perawatan Fasilitas Jalur Timur-Barat
38
Tabel 5.19 Analisis Sensitivitas Volume Penumpang Jalur Utara-Selatan
42
Tabel 5.20 Analisis Sensitivitas Volume Penumpang Jalur Timur-Barat
43
Tabel 5.21 Tabel Sensitivitas Pendapatan Non Tiket pada Jalur Utara-Selatan
45
Tabel 5.22 Tabel Sensitivitas Pendapatan Non Tiket pada Jalur Timur-Barat
46
Tabel 5.23 Tabel Sensitivitas Biaya Operasional Monorel Jalur U-S
47
Tabel 5.24 Tabel Sensitivitas Biaya Operasional Monorel Jalur T-B
48
Tabel 5.25 Tabel Sensitivitas Biaya Perawatan Monorel Jalur U-S
50
Tabel 5.26 Tabel Sensitivitas Biaya Perawatan Monorel Jalur T-B
51 xiii
Tabel 5.27 Tabel Sensitivitas Biaya Investasi Monorel Jalur U-S
52
Tabel 5.28 Tabel Sensitivitas Biaya Investasi Monorel Jalur T-B
53
Tabel 5.29 Tabel Sensitivitas Harga Tiket Monorel Jalur U-S
55
Tabel 5.30 Tabel Sensitivitas Harga Tiket Monorel Jalur T-B
56
Tabel 5.31 Tabel Perbandingan Teknis Kereta Berdasarkan Merk
57
Tabel 5.32 Tabel Perubahan Keputusan Penerapan Setiap Jenis Kereta
59
Tabel 5.33 Tabel Perbandingan Economic Life Antar Merk Kereta
60
Tabel 5.34 Tabel Perubahan MARR setelah dilakukan penambahan laju inflasi
64
Tabel 5.35 Tabel Perubahan suku bunga kredit akibat inflasi
64
Tabel 5.36 Tabel Perubahan Net Present Value Terhadap Laju Inflasi
65
xiv
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Matriks Tinjauan Pustaka
9
Gambar 3.1 Element of An Urbanaut Elevated Monorail diambil dari (Urbanaut Monorail Technology)
11
Gambar 3.2 Gambar Jalur Rencana Trayek Monorel Utara-Selatan
12
Gambar 3.3 Gambar Jalur Rencana Trayek Monorel Timur-Barat
13
Gambar 3.4 Gambar Monorel Teknologi Bombardier Innovia 300 (diambil dari Bombardier Inc)
14
Gambar 4.1 Diagram Alur Penelitian
22
Gambar 5.1 Gambar Grafik Sensitivitas Volume Penumpang Utara-Selatan
43
Gambar 5.2 Grafik Sensitivita Volume Penumpang Jalur Timur-Barat
44
Gambar 5.3 Grafik Sensitivitas Pendapatan Bukan Tiket Jalur U-S
45
Gambar 5.4 Grafik Sensitivitas Pendapatan Bukan Tiket jalur T-B
46
Gambar 5.5 Grafik Sensitivitas Biaya Operasional Monorel jalur U-S
48
Gambar 5.6 Grafik Sensitivitas Biaya Operasional Monorel jalur T-B
49
Gambar 5.7 Grafik Sensitivitas Biaya Perawatan Monorel jalur U-S
50
Gambar 5.8 Grafik Sensitivitas Biaya Perawatan Monorel jalur T-B
51
Gambar 5.9 Grafik Sensitivitas Biaya Investasi Monorel jalur U-S
53
Gambar 5.10 Grafik Sensitivitas Biaya Investasi Monorel jalur T-B
54
Gambar 5.11 Grafik Sensitivitas Harga Tiket Monorel jalur U-S
55
Gambar 5.12 Grafik Sensitivitas Harga Tiket Monorel jalur T-B
56
Gambar 5.13 Grafik Perbandingan Headway
58
Gambar 5.14 Grafik Perubahan Penerapan Jenis Kereta
59
Gambar 5.15 Grafik Prediksi Harga Tiket Jalur Utara-Selatan
62
Gambar 5.16 Grafik Prediksi Harga Tiket Jalur Timur-Barat
63
Gambar 5.17 Grafik Breakeven Point Jalur Utara-Selatan
65
Gambar 5.18 Grafik Breakeven Point Jalur Timur-Barat
66
xv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Harga Sewa Iklan dan Ruang
75
Lampiran 1.1. Harga Penawaran Iklan Pada Kereta (PT.Kereta Api Indonesia Daerah Operasi 6) 75 Lampiran 1.2. Harga Penawaran Iklan Pada Stasiun (PT.Kereta Api Indonesia Daerah Operasi 6)
76
Lampiran 1.3. Gambar Lokasi Sewa Iklan Monitor Pada Kereta (PT KRL Commuter Jabodetabek)
77
Lampiran 1.4. Gambar Contoh Sewa Iklan Hanging LED (Surabaya Mass Rapid Transit) 78 Lampiran 2. Biaya Investasi
79
Lampiran 2.1. Tabel Estimasi Biaya Monorel Bandung (Dinas Perhubungan Kota Bandung, 2014) 79 Lampiran 2.2. Tabel Variabel Spesifikasi Monorel Surabaya (Pemerintah Kota Surabaya, 2014)
80
Lampiran 2.3. Tabel Spesifikasi Teknis Kereta Menurut Merek
81
Lampiran 3. Depresiasi
82
Lampiran 3.1. Tabel Depresiasi Jalur Utara-Selatan (Milyar)
82
Lampiran 3.2. Tabel Depresiasi Jalur Timur-Barat (Milyar)
84
Lampiran 4. Biaya Operrasional Kereta Berdasarkan Jenis
86
Lampiran 5. Perhitungan Finanasial Cash Flow
87
Lampiran 5.1. Perhitungan Finansial Jalur Utara-Selatan (Milyar)
87
Lampiran 5.2. Perhitungan Finansial Jalur Timur-Barat (Milyar)
89
Lampiran 6. Tabel Cash Flow Monorel Yogyakarta Jalur Utara-Selatan
91
Lampiran 7. Tabel Cash Flow Monorel Yogyakarta Jalur Timur-Barat
95
Lampiran 8. Tabel Prediksi Harga Tiket Berdasarkan Skenario Rasio Pembiayaan Jalur Utara-Selatan 99 Lampiran 8. Tabel Prediksi Harga Tiket Berdasarkan Skenario Rasio Pembiayaan Jalur Timur-Barat 101
xvi
Lampiran 9. Tabel Hasil Perhitungan Umur Ekonomis Merk Kereta
103
Lampiran 10. Gambar Jalur Backbone Trasnportasi Perkotaan Yogyakarta (diambil dari Booklet Kajian Perkeretaapian Perkotaan Yogyakarta) 111
xvii
DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN
ATP
= Automatic Train Protector
CF
= Cash Flow
i
= suku bunga/ interest
KW
= KiloWatt
KWH
= KiloWatt / Hour
MARR
= Minimum Attractive Rate of Return
MW
= MegaWatt
NPV
= Net Present Value
N
= Jumlah Gerbong
P
= Kapasitas Gerbong/Penumpang maksmimum terangkut
PBP
= Payback Period
PHF
= Peak Hour Factor
xviii
INTISARI
Rencana pengembangan perkeretaapian perkotaan merupakan salah satu solusi permasalahan kepadatan dan kemacetan lalu lintas. Estimasi kebutuhan perjalanan pengguna angkutan perkeretaapian perkotaan sebesar 286.000 perjalanan/hari. Jumlah tersebut berasal dari 132.200 perjalanan/hari pada jalur Utara-Selatan (persimpangan jalan kaliurang-ring road utara sampai persimpangan jalan parangtritis) dan 154.100 perjalanan/hari pada jalur Timur-Barat (Bandara Aditsujipto sampai persimpangan jalan godean-riang road utara). Analisis kelayakan investasi dilakukan untuk mengetahui kelayakan dari investasi monorel Yogyakarta pada jalur Utara-Selatan dan Timur-Barat. Kemudian digunakan metode analisis sensitivitas sebagai metode yang mampu menjelaskan pengaruh perubahan parameter input terhadap keputusan investasi. Perbandingan empat merek monorel yaitu: Bombardier, Hitachi, Changchun Railway, Scomi Rail. Spesfikasi dan harga yang berbeda menjadi faktor pembeda yang diuji sensitivitasnya pada pengambilan keputusan. Pembuatan skenario rasio pembiayaan pada investasi monorel Yogyakarta bertujuan untuk memprediksi harga tiket yang dapat diterapkan. Keputusan investasi pada monorel Yogyakarta di jalur Utara-Selatan dinyatakan layak dengan nilai NPV sebesar Rp 294.552.227.922. Investasi pada jalur Timur-Barat dinyatakan layak dengan nilai NPV sebesar Rp 261.160.009. Laju inflasi memberikan pengaruh ngetaif terhadap keputusan investasi. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa biaya investasi, pendapatan bukan tiket, volume penumpang, harga tiket, dan biaya perawatan merupakan parameter input yang dapat mempengaruhi perubahan dari keputusan investasi. Sedangkan biaya operasional dan biaya perawatan tidak memiliki sensitivitas yang cukup besar untuk merubah keputusan investasi. Perubahan jenis kereta pada monorel Yogyakarta sangat berpengaruh terhadap keputusan investasi.Umur ekonomis kereta dapat mempengaruhi dalam pengambilan keputusan mengenai pemilihan merk kereta. Keputusan investasi sangat sensitif terhadap pemilihan jenis kereta yang didasarkan pada perbedaan harga dan kapasitas gerbong pada setiap jenis kereta. Rasio pembiayaan antara pemerintah dan investor mempengaruhi perubahan pada harga tiket yang diterapkan. Kata Kunci : Analisis Kelayakan, Keputusan Investasi, Parameter Input, Analisis Sensitivitas, Net Present Value
xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kepadatan lalu lintas di Yogyakarta tidak terlepas dari kondisi lokasi
Yogyakarta yang memiliki daya tarik bagi tujuan pendidikan, wisata, maupun perdagangan. Kepadatan lalu lintas di Yogyakarta selain dipicu oleh penggunaan kendaraan pribadi yang semakin tinggi. Penggunaan kendaraan pribadi semakin tinggi disebabkan karena keengganan masyarakat dalam memilih trasnportasi umum sebagai moda utama. Diantara permasalahan pada transportasi umum saat ini adalah waktu perjalanan dan waktu tunggu yang relatif lama. Maka diperlukan pengembangan pada transportasi umum saat ini dan diperlukan penerapan perkeretaapian perkotaan sebagai backbone transportasi massal di Yogyakarta. Backbone transportasi merupakan layanan transportasi umum yang menawarkan kenyamanan, kemudahan, serta ketepatan waktu. Sehingga transportasi umum tersebut dapat diandalkan untuk mobilitas sehari-hari. Rencana pengembangan perkeretaapian perkotaan merupakan salah satu solusi permasalahan kepadatan dan kemacetan lalu lintas. Untuk perwujudan solusi ini maka didalam Rencana Induk Perkeretaapian Nasional telah direncanakan pembangunan dan pelayanan keretaapi perkotaan Yogyakarta pada periode waktu 2016 sampai 2020. (Tim Penyusun Rencana Perkeretaapian Yogyakarta, 2014). Menurut Tim Penyusun Rencana Perkeretaapian Yogyakarta (2014), terdapat 3 alternatif teknologi perkeretaapian yang ditawarkan yaitu, monorel, light rail transit (LRT), dan tram. Perbandingan antara kerugian dan keuntungan penggunaan dari masing-masing alternatif dilakukan. Dalam penelitian ini alternatif monorel dipilih sebagai teknologi perkeretaapian yang diterapkan di Yogyakarta. Berdasarkan buku Public Private Partnership Infrastructure Project Plan in Indonesia 2013, beberapa kota besar seperti Surabaya, Bandung,
1
2
Palembang telah melakukan studi untuk penerapan monorel sebagai teknologi kereta api perkotaan. Pembangunan monorel sebagai konsep transportasi cukup kompleks, hal ini dilihat dari waktu dan biaya pembangunan yang cukup besar. Sebagai contoh, investasi monorail di Jakarta terbilang mahal dengan menghabiskan biaya sekitar 6,5 triliun rupiah. Sementara itu, total biaya yang dianggarkan untuk pembuatan satu gerbong monorail telah menghabiskan senilai 800 juta rupiah (Bappeda Kota Manado, 2013). Sebesar 70% biaya investasi monorail dihabiskan untuk tahapan pembiayaan kontruksi dan pembuatan gerbong kereta. Dapat diartikan bahwa pembiayaan konstruksi dan penyediaan gerbong merupakan elemen biaya dengan pengeluaran terbesar untuk alokasi investasi monorail. Oleh karena itu, dibutuhkan studi kelayakan untuk mendukung tereliasikannya proyek monorail. Pada buku Public Private Partnership Infrastructure Project Plan in Indonesia pada tahun 2013, aturan investasi mengenai perbandingan equity dan debt memiliki rasio sebesar 30% berbanding 70%. Kebutuhan investasi pada proyek monorail berbeda untuk setiap lokasi dimana monorel dioperasikan. Tim Penyusun Rencana Perkeretaapian Yogyakarta (2014) estimasi kebutuhan perjalanan pengguna angkutan perkeretaapian perkotaan sebesar 286.000 perjalanan/hari. Jumlah tersebut berasal dari 132.200 perjalanan/hari pada jalur Utara-Selatan (persimpangan jalan kaliurang-ring road utara sampai persimpangan jalan parangtritis) dan 154.100 perjalanan/hari pada jalur TimurBarat (Bandara Aditsujipto sampai persimpangan jalan godean-riangroad utara). Sebagai langkah awal perlu dilakukan analisis kelayakan dalam menentukan keputusan kelayakan pada investasi pembangunan monorel pada kedua jalur tersebut. Jika analisis investasi dinilai layak selanjutnya diperlukan pengujian apabila variabel dalam analisa investasi tersebut berubah-ubah. Perbedaan asumsi dalam merancang studi kelayakan disebabkan oleh perbedaan faktor ketidakpastian mengenai situasi dan kondisi (Soeharto, 1997). Perubahan parameter pada analisa kelayakan investasi dapat terjadi dikarenakan asumsi awal yang digunakan pada analisis kelayakan belum menggambarkan situasi dan kondisi nyata. Analisis
3
sensitivitas dilakukan sebagai paparan perubahan keputusan dalam investasi akibat perubahan parameter analisa investasi.
1.2
Rumusan Masalah Dari penjelasan yang ada di atas mengenai pemilihan monorel sebagai
teknologi perkeretaapian perkotaan yang dipilih, maka dapat dirumuskan masalah yaitu: Bagaimana kelayakan investasi proyek monorail dan sensitivitas keputusan investasi pada setiap jalur terhadap perubahan parameter? 1.3
Asumsi dan Batasan Masalah Asumsi dan batasan yang terdapat dalam penilitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Monorail dibangun dengan 2 jalur, yaitu jalur utara-selatan dimulai dari simpang Jl.Kaliurang-RingRoad sampai Simpang Jl.Parangtritis dan jalur timur-barat dimulai dari Bandar Udara Aditsujipto sampai Simpang Godean-RingRoad.
2.
Analisis menggunakan nilai uang tahun 2015.
3.
Tahun pertama pada analisis kelayakan diasumsikan sebagai tahun pertama monorel Yogyakarta beroperasi.
4.
Tahun ke 0 merupakan tahun perencanaan dan pembangunan proyek monorel dan tahun 1-20 sebagai tahun operasi monorel.
5.
Tidak memperhitungkan biaya yang hilang akibat memilih model monorel sebagai alternatif solusi transportasi umum.
6.
Tidak memperhitungkan pendapatan dari eksternal sistem seperti pendapatan dari penghematan polusi udara dan susitainability lingkungan sekitar.
7.
Harga tiket pada analisis kelayakan diasumsikan sebesar Rp 7.500
8.
Penggunaan Net Present Value sebagai metode untuk pengukuran kelayakan investasi.
9.
Perubahan parameter input diasumsikan 10%-30%
4
10.
Ketika nilai NPV berubah dari positif ke negatif pada kondisi perubahan parameter input, maka keputusan investasi dinyatakan sensitif.
1.4
11.
MARR adalah 1,5 kali dari suku bunga acuan Bank Indonesia
12.
Metode PayBack Periode digunakan untuk prediksi harga tiket
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui keputusan kelayakan investasi monorel Yogyakarta pada jalur Utara-Selatan dan Timur-Barat.
2.
Untuk mengetahui sensitivitas keputusan investasi terhadap perubahan parameter pada analisis kelayakan.
3.
Untuk mengetahui pengaruh dan parameter yang mepengaruhi dari perubahan jenis kereta yang diterapkan pada monorel Yogykarta di setiap jalur.
4.
Untuk mengetahui hubungan antara perubahan rasio pembiayaan pemerintah dan investor dengan prediksi harga tiket.
1.5
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Memberikan informasi mengenai studi awal kelayakan investasi monorel Yogyakarta pada tahapan pertama perencanaan perkeretaapian dalam kota.
2.
Mengetahui parameter yang memiliki kondisi ketidakpastian dan resiko yang dapat mempengaruhi keputusan investasi.
3.
Sebagai sumber acuan untuk penelitian tahap study selanjutnya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada penelitian Kusumo (2014) dipakai 3 metode untuk analisis kelayakan investasi. Ketiga indicator tersebut adalah Net Present Value, Pay Back Period, Internal Rate of Return. Evaluasi kelayakan dipengaruhi oleh konsistensi metode kelayakan. Metode Net Present Value dipilih sebagai evaluasi kelayakan investasi. Menurut Jonsson (2004), metode NPV menjadi pilihan tepat dikarenakan keputusan investasi dilihat berdasarkan kondisi present. Sedangkan IRR dan BCR memiliki kemungkinan perbedaan hasil ketika kondisi atau kriteria proyek berbeda. Keputusan proyek dinilaitidak konsisten ketika metode evaluasi memberikan hasil yang berbeda ketika kriteria proyek berbeda. Klasifikasi yang biasa digunakan dalam pengambilan keputusan pada investasi terdiri dari perbedaan derajat pengetahuan masa depan. Jovanovic (1999) menjelaskan masing-masing definisi tentang pengambilan keputusan mengenai investasi, yaitu: a. Pengambilan keputusan investasi dalam kondisi ketidakpastian adalah pengambilan keputusan dimana perbedaan nilai kriteria pada setiap alternatif investasi diprediksi dan ketidakpastian mengenai alternatif yang direalisasikan. b. Pengambilan keputusan investasi dalam kasus pada tingkat resiko adalah pengambilan keputusan dimana nilai kriteria dapat diprediksi, tetapi terdapat ketidaktahuan mengenai tingkat probabilitas alternatif tersebut. c. Pengambilan keputusan investasi dalam kondisi kepastian adalah pengambilan keputusan dimana setiap alternatif dapat diprediksi mengenai future value secara tepat dan benar.
5
6
Analisis sensitivitas digunakan ketika pertimbangan senstivitas pengukuran efektifitas ekonomi disebakan oleh perubahan dari satu atau lebih parameter input (Sullivan,dkk, 1996). Pada penelitian Bergonovo & Peccati (2004), dibahas mengenai pengaruh asumsi parameter input terhadap investasi pada dunia industri. Ketika suatu perusahaaan menilai keputusan investasi, asumsi dari parameter input memiliki pengaruh di dalamnya. Keputusan penilaian investasi didasarkan pada kriteria net present value atau internal rate of return, dan debt service coverage ratio. Terdapat resiko dan ketidakpastian pada keputusan investasi dikarenakan asumsi parameter input berpengaruh terhadap kriteria pengambilan keputusan investasi. Berkurangnya kemungkinan pengambilan keputusan dalam investasi dipengaruhi oleh ketidakakuratan prediksi akan masa depan disertai dengan pengaruh parameter input dalam menentukan perubahan kriteria penilaian investasi (Jovanovic, 1999). Penelitian Jovanovic (1999) menjelasakan bahwa pengetahuan yang lebih baik tentang proses pengambilan keputusan dalam konteks ketidakpastian dan penawaran beberapa kriteria keputusan dipengaruhi oleh peningkatan pilihan alternatif dan pengurangan kemungkinan pada pengambilan keputusan. Penggunaan analisis sensitivitas merupakan bagian dari proses pengambilan keputusan. Menurut Bergonovo & Peccati (2006), terdapat tiga jenis pemakaian analisis sensitivitas. Berikut penjelasan tiga jenis pemakaian analisis sensitivitas. a) Analisis sensitivitas sebagai validasi hasil suatu model simulasi atau yang biasa disebut correctness test. Perubahan pada output dimana mengikuti perubahan pada input dimanfaatkan untuk mengkoreksi konsistensi model yang telah dibuat b) Pada jenis pemakaian yang kedua, analisis sensitivitas digunakan sebagai pendukung dari risk analysis atau yang disebut dengan stress test. Perubahan dalam ouput model digunakan untuk mempertahankan perubahan dalam berbagai asumsi c) Kegunaan analisis sensitivitas untuk menilai tingkat kepentingan suatu parameter input, dimana parameter tersebut mempengaruhi keputusan
7
2.1
Metode Analisis Sensitivitas Breakeven analysis digunakan sebagai salah satu tool dalam analisis
sensitivitas. Analisis breakeven digunakan ketika menentukan perbandingan 2 titik alternatif. Namun terdapat kekurangan yaitu ketika terdapat lebih dari satu parameter sebagai acuan penentuan titik (Sullivan dkk,1996). Menurut Sullivan dkk (1996), posisi analisis sensitivitas dibagai menjadi 2 buah prosedur. Posisi pertama adalah untuk menguji perubahan satu buah parameter input dari berbagai parameter input yang mempengaruhi. Prosedur ini dinamakan one at a time procedure. Namun dapat diperkirakan bahwa kemungkinan terdapat interaksi antar parameter input. Sullivan dkk (1996) menjelaskan mengenai prosedur kedua yaitu multiparameter procedures. Dalam prosedur kedua ini dilakukan dua pendekatan, yaitu: sensitivity surface approach dan optimistic pessimistic approach. Prosedur multiparameter digunakan untuk menguji perubahan input parameter terjadi pada dua buah parameter atau lebih secara bersamaan. Pada penelitian Bergonovo dan Percoco (2012) diperkenalkan metodebaru dalam analisis sensitivitas yaitu Differential Importance Measure (DIM). Dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh (Bergonovo dan Percoco,2012; Bergonovo dan Peccati,2006) , DIM digunakan untuk mengentahui tingkat kepentingan parameter input. Metode ini digunakan dalam menilai kriteria resiko pada masing-masing karakter input. Shih dan Trappey (2008) menerapkan integer programming kedalam analisis sensitivitas. Integer Programming menghasilkan biaya yang dikeluarkan berdasarkan rasio dari keuntungan. Kemudian Shih dan Trappey (2008) melakukan analisis senstivitas dengan metode one at time procedure berupa perbandingan jumlah biaya dengan rasio profit. Dalam buku Engineering Economic oleh Tarquin & Blank (2005) dijelaskan penggunaan analisis sensitivitas dalam membandingkan dua atau lebih alternatif investasi. Metode optimistic pessimistic approach memberikan gambaran perbandingan perubahan parameter input masing-masing alternatif. Penelitian yang dilakukan oleh Kusumo (2014) dilakukan analisis skenario untuk menentukan kepekaan keputusan investasi pada perubahan berbagai parameter didalamnya.
8
2.2
Sensitivitas parameter input terhadap analisa investasi Dalam penelitian Ceder (2013), dilakukan evaluasi investasi menggunakan
analisis sensitivitas. Pengujian dilakukan dengan membandingkan perubahan parameter input dengan benefit cost ratio. Melalui metode one at time procedure dilakukan perubahan berupa kenaikan 10% dan penurunan 10%. Setelah dilakukan analisis sensitivitas didapatkan bahwa capital cost dan transfer percentages merupakan parameter yang paling senstitiv. Pada penelitian Junyi (2009) ditunjukkan penggunaan metode optimistic pessimistic approach untuk menguji sensitivitas parameter input. Perubahan pada parameter yang dilakukan dengan pembuatan skenario. Terdapat 3 skenario yang pakai oleh Junyi (2009) yaitu : Pola transportasi pada monorel, kenaikan populasi penduduk, dan perubahan pada tingkat discount rate & waktu proyek. Dari hasil yang didapatkan dapat terlihat bahwa discount rate dan lama periode proyek sangat sensititif terhadap perubahan benefit cost ratio. Namun, pada penelitian Junyi (2009) parameter dari sisi biaya belum diuji tingkat sensitivitas. Berdasarkan penelitian Raju (2006) dijelaskan mengenai perubahan parameter annual maintenance & cost, interest rate, dan bond issue size. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa perubahan dari setiap parameter menimbulkan NPV bernilai negatif. Menurut penelitian yang dilakukan Raju (2009) penggunaan metode one at time ditujukan untuk melihat perubahan parameter yang diteliti dengan menjaga parameter lain tidak mengalami perubahan. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh Deswindi (2005) bahwa parameter harga tiket dan demand penumpang sangat sensitive terhadap Net Present Value. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Deswindi (2005) menunjukkan bahwa peningkatan harga tiket linier terhadap peningkatan nilai NPV dengan mengabaikan peningkatan penumpang. Kusumo (2014) menjelaskan bahwa penggunaan scenario analisis dalam pengujian kepekaan tingkat investasi terhadap perubahan parameter. Namun, metode tersebut belum dijelaskan kondisi keterkaitan antara parameter dengan keputusan investasi.
9
Metode/Kriteia penilaian
IRR
NPV
Jovanovic, (1999)
Peneliti, (2015)
one at a time procedure
Junyi, (2009)
optimistic pessimistic approach Scenario analysis
Benefit Cost Shih & Trappey (2008), Cedar (2013), Raju (2009)
Kusumo, (2014)
Bergonovo dan Bergonovo dan differential importance Percoco, (2012) Peccati, (2006) measure Gambar.2.1 Matriks Tinjauan Pustaka
Jonsson (2004), Kusumo (2014)
BAB III LANDASAN TEORI
3.1
Pengertian dan Investasi Monorel Monorel adalah moda transportasi rel yang berbasis pada rel tunggal dimana
jalur tersebut selain berfungsi sebagai penyokong kereta juga berfungsi sebagai jalur kereta. Monorel juga didefinisikan sebagai kendaraan (kereta) yang berjalan di rel tunggal. Jalur monorel umumnya berada pada posisis melayang diatas permukaan tanah (elevated). Jalur berupa balok memanjang, berfungsi sebagai pendukung kereta ditopang oleh kolom-kolom yang didirikan pada setiap jarak tertentu. Karena posisi yang melayang diatas permukaan tanah (elevated) ini menyebabkan gangguan lalulintas yang ditimbulkan monorel terhadap moda transportasi lainnya ataupun aktifitas manusia di permukaan tanah jadi senagat kecil. Terdapat berbagai teknologi monorail. Teknologi yang berhubungan dengan footprint merupakan teknologi monorail dalam beroperasi diatas rel (guideway beam). Dinatara teknologi tersebut adalah straddle, suspended, hybrid, dan maglev. Salah satu teknologi yang akan diaplikasikan oleh monorail Yogyakarta adalaha straddle monorail. Teknologi straddle dibagai dalam beberapa macam yaitu ALWEG, Steel Box Beam, dan Inverted T. Lebih dari separuh investasi proyek monorail dipergunakan untuk konstruksi jalur rel.
Urbanaut monorail
mengestimasikan sebesar 60 % capital yang dikeluarkan adalah untuk biaya konstruksi.Biaya
konstruksi
meliputi
pembangunan
guideway
beam,
pembangungan stasiun monorail, dan tiang-tiang penjaga guideway beam. Biaya dialokasikan cukup besar juga terjadi pada pembelian kereta. Urbanaut monorail mengalokasikan 25% untuk pembelian kereta monorail. Kemudian ukuran konstruksi sangat dipengaruhi oleh berat kereta yang ditopang kontruksi rel. Dapat disimpulkan semakin berat beban kereta maka biaya investasi konstruksi jalur rel
10
11
per kilometer semakin besar. Ukuran berat beban kereta juga dipengaruhi oleh demand penumpang yang akan disasar.
Gambar 3.1 Element of An Urbanaut Elevated Monorail diambil dari (Urbanaut Monorail Technology) Gambar diatas merupakan struktur umum dari biaya investasi monorel. Pembangunan guideway dan stasiun monorel mencangkup kurang lebih 60% dari total biaya investasi. Untuk pembiayaan pengadaan gerbong monorel sekitar 25% dari total biaya investasi. Berdasarkan hal tersebut elemen dalam pembiayaan investasi monorel yang paling beresiko terletak pada bangunan konstruksi dan kereta monorel. Beberapa sistem monorel di dunia seperti yang dilansir oleh monorail.org bahwa terjadi kerjasama antara pihak pemerintah dan perusahaan produsen monorel dalam pembuatan sistem monorel disuatu negara. Daya Tarik atau magnet investasi bagi investor tidak hanya tertumpu pada jumlah penumpang yang dapat terangkut pada rute-rute yang telah ditetapkan. Pengembangan properti di kawasan stasiun-stasiun yang dilintasi oleh monorail justru menjadi daya tarik bagi investor. Upaya ini ditempuh untuk menggeser elastisitas harga atas permintaan terhadap fasilitas kereta api. Dengan demikian, fungsi permintaan kererta api ditentukan oleh pertumbuhan pasar property. Hal ini menyebabkan
12
sensitivitas harga tiket kereta api akan terkompensasi denganpeningkatan harga sewa atau kenaikan nilai properti yang menjadi lahan kelolaan bagi operator kereta api (investor). 3.2
Sistem Monorel Yogyakarta Dalam Kajian yang diberikan oleh Pusat Studi Transportasi Universitas
Gadjah Mada bekerjasama dengan PT INKA, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan PT LEN, sistem monorel merupakan salah satu alternatif solusi untuk menerapkan transportasi umum (mass rapid transportation) di Yogyakarta. Tahap awal pembangunan monorel Yogyakarta terdapat di 2 jalur yaitu, jalur Utara-Selatan di jalur utara-selatan dimulai dari simpang Jl.KaliurangRingRoad sampai Simpang Jl.Parangtritis dan jalur timur-barat dimulai dari Bandar Udara Aditsujipto sampai Simpang Godean-RingRoad.
Gambar 3.2 Gambar Jalur Rencana Trayek Monorel Utara-Selatan
13
Gambar 3.3 Gambar Jalur Rencana Trayek Monorel Timur-Barat Jalur monorel pada gambar diatas dibagi atas 2 jalur yaitu jalur UtaraSelatan dan jalur Timur-Barat. Panjang masing-masing jalur adalah 17 kilometer. Menurut Kajian Tim Perkeretaapian Perkotaan Yogyakarta (2015), jalur tersebut merupakan jalur yang dipakai sebagai backbone transportasi perkotaan di Yogyakarta. Dalam setiap jalur monorel Yogyakarta terdapat sekitar 22 stasiun. Terdiri dari stasiun ujung, stasiun sedang, dan stasiun besar. Pada jalur UtaraSelatan yang memiliki permintaan sebesar 132.200 penumpang/hari dibutuhkan sekitar 18 stasiun sedang dan 2 stasiun besar. Pada jalur Timur-Barat dibutuhkan sejumlah 17 stasiun sedang dan 3 stasiun besar. Lalu untuk setiap jalur terdapat stasiun ujung sebanyak 2 buah. Depo atau stasiun perawatan kereta terletak di ujung stasiun. Untuk spesifikasi kereta yang digunakan monorel Yogyakarta akan menggunakan teknologi kereta Bombardier Innovia 300. Dengan teknologi dari Bombardier sistem monorel Yogyakarta dapat menempuh jarak 80 km/jam dengan panjang trayek 17 km. Sehingga waktu tempuh antar stasiun dengan jarak 800 meter sebesar 55 detik serta waktu tunggu setiap stasiun 53 detik. Kelebihan lain teknologi Bombardier adalah kapasitas setiap gerbong yang mencapai 125 orang pada kondisi crush time. Berikut tabel dan gamabr spesifikasi Bombardier Innovia 300.
14
Tabel 3.1
Tabel Spesifikasi Bombardier Innovia 300 Monorail (diambil dari Booklet Perkeretaapian Perkotaan Yogyakarta)
Variabel Kecepatan Maks Percepatan Perlambatan Waktu untuk mencapai kec. Maks. Jrak untuk mencapai kec. Maks Jarak untuk pengereman Jarak untuk pengereman (darurat) Bobot kereta kapasitas gerbong
Nilai 80 1 1
Satuan kilometer/jam meter/detik^2 meter/detik^2
22,22
detik
246,86 246,86
meter meter
190
meter
14 125
ton penumpang
Gambar 3.4 Gambar Monorel Teknologi Bombardier Innovia 300 (diambil dari Bombardier Inc)
Dalam buku Kajian Rencana Pengembangan Transportasi Perkretaapian di Perkotaan Yogyakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta dinyatakan bahwa untuk tariakan dan bangkitan penumpang diprediksi mencapai 286.400 penumpang per hari dimana 154.100 penumpang pada bagian jalur timur-barat dan 132300 pada bagian utara-selatan. Sistem monorel Yogyakarta memakai acuan headway (jarak antar kereta dalam satuan waktu) sebesar 10 menit untuk tahap awal pembangunan monorel. Nilai headway ditentukan berdasarkan kemampuan daya energy listrik yang dimiliki oleh suatu kawasan. Semakin cepat headway maka semakin banyak penumpang yang terangkut. Namun peningkatan biaya investasi pengadaan kereta dan peningkatan biaya operasional mempengaruhi laju pendapatan. Kebutuhan
15
energy listrik begitu besar untuk sistem operasi monorel. Diperkirakan sekitar 3,3 MegaWatt dibutuhkan oleh setiap jalur monorel untuk melakukan operasi setiap hari (Tim Penyusun Rencana Perkeretaapian Perkotaan Yogyakarta,2014). Keunggulan monorel adalah tidak adanya perlintasan sebidang dengan jalan raya karena penempatan rel secara elevated. Dengan Jalur yang dibuat secara elevated kecepatan operasi dapat lebih tinggi dibandingkan LRT dan Tram, sehingga waktu perjalanan lebih singkat dan kapasitas angkut lebih besar. Pada sistem monorel Yogyakarta jumlah stasiun berjumlah 22 unit untuk setiap jalur. Jarak antar stasiun yang diprediksi sebesar 800 meter sesuai dengan pertimbangan jarak berjalan maksimum yang mau ditempuh orang Indonesia. Sistem persinyalan block tetap dengan prinsip distance to go automatic train protection (ATP) diterapkan pada sistem monorel Yogyakarata. 3.3
Analisis Kelayakan Keputusan Investasi Analisis kelayakan investasi adalah analisis tentang dapat atau tidaknya
suatu investasi dilaksanakan dengan berhasil. Pengertian keberhasilan dapat diartikan tentang manfaat ekonomis yang diperoleh (Husnan dan Muhammad, 1994). Menurut Soeharto (1997) studi kelayakan adalah pengkajian yang bersifat menyeluruh dan mencoba menyoroti segala aspek kelayakan investasi. Disamping sifatnya yang menyeluruh, studi kelayakan juga memberikan hasil analisis secara kuantitatif tentang manfaat yang diperoleh dibandingkan dengan sumber daya yang dikeluarkan. Studi kelayakan ditujukan untuk melihat rencana atau ususlan investasi atau proyek secara professional sebelum rencana tersebut dilaksanakan. Soeharto (1997) juga menambahkan bahwa kriteria keberhasilan suatu proyek atau investasi terletak pada aspek finasial dan ekonomi. 3.4
Net Present Value Metode Net Present Value (NPV) adalah metode yang menghitung selisih
antara nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang peneriman cash flow dimasa depan. Apabila nilai sekarang penerimaan cashflow di masa depan lebih besar dari nilai sekarang investasi, maka proyek dikatakan menguntungkan atau net present value > 0. Sedangkan apabila nilai sekarang investasi yang lebih besar, dapat
16
disimpulkan bahwa proyek tersebut dikatakan tidak menguntungkan atau net present value < 0 (Husnan dan Muhammad, 1984). Menurut Tarquin dan Blank (2005), metode NPV yang dikenal juga dengan Present Worth adalah metode untuk ekuivalen biaya dimasa depan dan perencanaan pendapatan menjadi nilai uang di masa sekarang. Melalui kombinasi aliran kas pendapatan dan pengeluaran secara langsung, metode NPV dengan mudah menentukan manfaat ekonomi dari suatu alternatif investasi. Keunggulan NPV adalah mampu menghitung keuntungan atau kerugian suatu investasi dengan nilai uang sekarang. NPV juga mempunyai prinsip bahwa nilai uang sekarang lebih berharga daripada nilai uang masa depan. Kemudian metode NPV bergantung pada forecasted cash flow dan besar investasi yang dikeluarkan (Breley dan Myers, 2000).
3.5
Analisis Sensitivitas Terdapat beberapa macam prosedur untuk mendeskripsikan analisis
mengenai efek dari resiko dan kondisi ketidakpastian dalam capital projects. Prosedur tersebut dikenal dengan analisis sensitivitas atau analisis. Analisis sensitvitas digunakan ketika kondisi ketidakpastian muncul pada satu atau lebih parameter input. Analisis sensitivitas ditujukan untuk mendukung pengambil keputusan dengan informasi khusus seperti perilaku pengukuran efektivitas ekonomi terhadap eror pada estimasi nilai parameter input dan mengetahui sisi potensi dari berbagai macam alternatif investasi ekonomi. Analisis sensitvitas berasal dari kebutuhan untuk mengukur sensitivitas sebuah keputusan untuk merubah nilai dari satu parameter atau lebih (Sullivan dkk, 1996). Dalam buku yang berjudul Business Finance Theory and Practice yang ditulis oleh McLaney (2006), analisis sensitivitas dijabarkan sebagai metode atau pendekatan untuk menguji perubahan keputusan dalam investasi ketika estimasi pada input factor berubah. McLaney (2006) juga menyatakan bahwa penggunaan analisis sensitivitas dapat menentukan titik impas atau break-even point. Manfaat yang dapat diambil dari penggunaan metode ini adalah melihat faktor input yang memiliki estimasi krusial dan resiko dari perubahan faktor tersebut.
17
Berikut prosedur umum yang harus dilakukan ketika merancang analisis sensitvitas (Tarquin dan Blank, 2005). a. Menentukan parameter input yang berpengaruh dari menentukan hasil estimasi investasi b. Memilih kemungkinan kisaran dan variasi selisih dari setiap parameter c. Pilih kriteria penilaian investasi yang menjadi basis pengukuran sensitivtas d. Menghitung hasil nilai investasi dari setiap perubahan pada parameter, menggunakan penilaian investasi sebagai dasar pengukuruan e. Menggambarkan sensitvitas dengan grafik yang membandingkan hasil perubahan parameter 3.5.1. Parameter Input Menurut Tarquin dan Blank (2005), parameter input didefinisikan sebagai faktor atau variable yang diestimasikan besar nilainya untuk mendukung keputusan ekonomi. Jovanovic (1999) menambahkan bahwa parameter input merupakan dasar dari evaluasi investasi proyek. Parameter input pasti mengalami perubahan nilai di masa depan yang menghasilkan nilai investasi proyek yang tidak sesuai dengan estimasi yang telah dilakukan sebelumnya.
3.5.2. One At A Time Procedure Merupakan prosedur dari analisis senstivitas ditujukan untuk mengukur efek ekonomi dikarenakan perubahan sebuah parameter input dalam satu waktu. Prosedur ini digunakan ketika mengukur sensitivtas perubahan sebuah parameter input. Dalam One at a Time Procedure dibantu oleh analisis breakeven untuk menentukan titik nilai suatu proyek dikatakan acceptable. Kelemahan prosedur ini adalah tidak mampu menilai perubahan sekaligus pada banyak parameter input (Sullivan dkk, 1996). Menurut Tarquin dan Blank (2005), prosedur ini memiliki kekurangan dimana jika satu buah parameter memiliki pengaruh, dimungkinkan bahwa parameter yang lain juga memiliki pengaruh efek perubahan terhadap kriteria value.
18
3.6
Payback Period Tarquin dan Blank (2005) menjelaskan bahwa payback period (PBP) adalah
estimasi waktu yang dibutuhkan bagi estimasi pendapatan dan keuntungan ekonomi lainnya dalam mencapai titik pengembalian modal. Sedangkan menurut Brealey dan Myers (2000) payback period suatu proyek adalah perhitungan jumlah tahun/ waktu yang dibutuhkan bagi forecasted cash flow sama dengan biaya investasi. Metode PBP dalam penelitian ini digunakan sebagai metode tambahan untuk prediksi harga tiket ketika terjadi pembagian rasio pembiayaan investasi antara pemerintah dan investor. Sesuai dengan pernyataan Tarquin dan Blank (2005), bahwa PBP dapat digunakan sebagai inisial screening atau informasi tambahan.
3.7
Inflasi Inflasi adalah kenaikan dari jumlah uang yang dibutuhkan untuk membeli
atau mendapatkan jumlah barang atau jasa yang sama pada periode sebelum inflasi (Tarquin & Blank, 2005). Terdapat 3 perbedaan tingkat bunga yaitu: a) Tingkat bunga tanpa inflasi. Laju inflasi tidak dimasukkan dalam tingkat bunga yang digunakan. Tingkat bunga tanpa inflasi merupakan tingkatan yang paling aman ketika MARR suatu investasi dipergunakan. b) Tingkat bunga dengan inflasi. Laju inflasi ditambahkan pada tingkatan bunga. Hal ini tentu memberikan discounted yang lebih besar setiap periode. Tingkat bunga dengan inflasi sering disebut dengan market interest rate atau inflated interest rate. c) Tingkat Inflasi. Merupakan laju inflasi yang terjadi setiap periode. Inflasi juga memberikan pengaruh pada perubahan nilai mata uang. Tarquin dan Blank (2005) juga menambhakan bahwa tingkat bunga dengan inflasi dapat didefinisikan sebagai berikut: if = i + f + (i*f) dimana if = Tingkat bunga dengan inflasi i = real interest rate
[3.1]
19
f = laju inflasi
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1.
Objek Penelitian Penelitian ini menggunakan data sekunder yang didapat dari berbagai
sumber seperti: Kajian Rencana Perkeretaapian Perkotaan Yogyakarta, Peraturan Pemerintah dalam pengaturan investasi, data mengenai detail dan spesifikasi kereta yang sering dipakai dalam sistem monorel, studi mengenai monorel Jakarta, Bandung, Surabaya dan Manado. Kemudian dilakukan analisis sensitivitas pada parameter input terhadap NPV untuk melihat faktor yang memiliki tingkat sensitivitas pada pengambilan keputusan. 4.2.
Alat Penelitian Peralatan yang akan digunakan selama penelitian ini berlangsung antara lain:
1. Spreadsheet Merupakan alat yang digunakan untuk pengolahan data secara matematis maupun statisik.
4.3.
Tahapan Penelitian Tahapan penelitian dari awal sampai akhir dijelaskan menggunakan flowchart pada Gambar 4.1.
4.3.1
Studi Literatur Pada tahap awal, studi literatur dilakukan untuk mendapatkan hubungan
evaluasi investasi dengan analisis sensitvitas. 4.3.2
Menentukan Kriteria Penilaian Investasi Dalam tahap ini, NPV dipilih sebagai metode penilaian investasi dan
menjadi kriteria yang diuji dengan analisis sensitivitas.
20
21
4.3.3
Pengambilan Data Pengambilan data historis yang berupa harga sewa ruang pada stasiun, harga
pemasangan iklan pada gerbong dan stasiun pada PT Kereta Api Indonesia dan PT Jakarta Commuter Line. Kemudian untuk estimasi biaya konstruksi dan pembelian kereta didapat dari beberapa penelitian monorel di Indonesia dan beberapa perusahan manufaktur monorel seperti Bombardier, Hitachi, Changchun Railway, dan Scomi Rail. Peraturan mengenai suku bunga acuan, pembagian rasio investasi, peraturan depresiasi, dan pajak pendapatan diambil dari berbagai sumber dari peraturan dan kebijakan pemerintah. Untuk spesifikasi dan detail sistem monorel Yogyakarta dimulai dari demand penumpang dan teknis transport perkeretaapian diambil dari Kajian Rencana Perkeretaapian Perkotaan Yogyakarta. 4.3.4
Pembuatan Cash Flow Cash flow penelitian ini digambarkan sebagai aliran keluar dan masuk uang
dari pendapatan tiket dan bukan tiket sampai biaya operasional, biaya perawatan, dan pembayaran pinjaman pada setiap tahun. Pada penelitian ini diperhitungkan juga mengenai Cash Flow Before Tax dan Cash Flow After Tax. Kemudian didapatkan present value dari setiap tahun yang kemudian ditotal untuk melihat keuntungan pada nilai uang sekarang. 4.3.5
Aspek Penilaian Investasi Penilaian investasi menggunakan metode NPV dilakukan untuk menguji
kelaykan investasi proyek monorail. Metode NPV menilai prospek tingkat keuntungan investasi monorail. Pada tahapan ini penelitian akan dilanjutkan menjadi 2 bagian yaitu: penentuan titik optimum biaya infrastruktur pada sistem monorel Yogyakarta dan evaluasi investasi menggunakan analisis sensitivitas 4.3.6 Optimalisasi Biaya Infrastruktur Sistem Transportasi Monorail Yogyakarta Penentuan titik optimum biaya infrastruktur dilakukan untuk meningkatkan margin profit dan memperbesar tingkat pengembalian uang dalam keputusan investasi. Pada tahapan ini, penelitian dilakukan oleh peneliti lain. 4.3.7
Evaluasi investasi dengan analisis sensitivitas Tahap ini merupakan langkah awal penilaian resiko pada investasi proyek.
Analisis sensitivitas dilakukan untuk menguji parameter input pada kondisi
22
ketidakpastian investasi monorail. Dengan analisis investasi bisa dilihat korelasi perubahan parameter input terhadap perubahan nilai NPV. Hasil analisis ditujukan untuk menentukan keputusan investasi yang diambil. Start Pembuatan Cash Flow
Tidak
Studi Literatur Penilaian Kelayakan Investasi Ya/Tidak?
Menentukan Kriteria Penilaian Investasi
Ya
Pengambilan Data
Optimalisasi Biaya Infrastruktur Sistem Transportasi Monorail
Evaluasi Investasi Menggunakan Analisis Sensitivitas
Finish
Gambar 4.1 Diagram Alur Penelitian
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Spesifikasi Teknis Monorel Yogyakarta Berdasarkan Tim Kajian Perkeretaapian (2014), waktu tempuh kereta dan
waktu tunggu di stasiun adalah 58 detik dan 55 detik. Kemudian untuk jam operasi monorel ditentukan selama 17 jam dalam sehari. Jarak antar stasiun adalah 800 meter dengan jumlah stasiun setiap jalur adalah 22 stasiun. Jenis monorel yang dipakai adalah Bombardier Innovia 300 dengan kapasitas setiap gerbong adalah 125 orang dan jumlah rangkaian setiap kereta ditentukan sejumlah 4 buah. Sedangkan untuk panjang jalur adalah 17 kilometer untuk masing-masing jalur Utara-Selatan dan Timur-Barat. Berikut merupakan tabel teknis spesifikasi monorel Yogyakarta. Tabel 5.1 Tabel Spesfikasi Teknis Monorel Yogyakarta
Spesfikasi
Nilai
22
Keterangan Bombardier Innovia 300 Unit/jalur
125
orang
4 58 55 41 17 17
unit detik detik menit kilometer/jalur jam/hari
Jenis Monorel Jumlah Stasiun Kapasitas Penumpang per Gerbong Jumlah Rangkaian per Kereta Waktu Tempuh Waktu Tunggu Waktu Tempuh dari Stasiun 1-22 Panjang Jalur Total Waktu Operasional Monorel
Untuk waktu tempuh monorel dari stasiun pertama sampai stasiun terakhir diperoleh dari penjumlahan waktu tempuh per stasiun dan waktu tunggu per stasiun
23
24
yang kemudian dikalikan dengan jumlah stasiun setiap jalur. Waktu tempuh monorel dalam satu kali perjalanan bolak-balik (dari stasiun 1-22-1) adalah 83 menit. Waktu satu kali perjalanan bolak-balik pada setiap kereta nanti akan digunakan sebagai perhitungan analisis kebutuhan headway (Tim Kajian Perkeretaapian,2014). 5.2.
Analisis Kebutuhan Headway Minimum pada Tahapan Pertama Monorel Yogyakarta Berlandaskan spesfikasi diatas, maka kebutuhan headway pada setiap jalur
dapat ditentukan dengan menentukan terlebih dahulu kapasitas kereta per jalur. Kapasitas kereta per jalur diperoleh dari jumlah perjalanan per hari per jalur dibagi dengan perkalian antara kapasitas gerbong monorel, peak hour factor, jumlah rangkaian untuk kereta, dan jumlah jam operasi monorel dalam sehari. Kemudian kebutuhan headway didapat dengan cara waktu satu kali perjalanan bolak-balik dibagi dengan kapasitas kereta per jalur. Menurut Tim Kajian Perkeretaapian (2014) dan Bastiar & Herianto (2013), perhitungan kapasitas kereta didapat dari total waktu tempuh dibagi dengan headway. Sehingga untuk penentuan headway digunakan pembagian antara total waktu tempuh dengan kapasitas kereta. Berikut merupakan tabel hasil perhitungan penentuan headway minimum. Tabel 5.2 Tabel Analisis Kebutuhan Headway Nilai Keterangan 286400 Perjalanan/hari Total Penumpang 132300 Perjalanan/hari Utara-Selatan 154100 Perjalanan/hari Timur-Barat 21 Kereta/Jam Kapasitas Kereta U-S 24 Kereta/Jam Kapasitas Kereta T-B 4.0 Menit Headway Minimum U-S 3.4 Menit Headway Minimum T-B Pada jalur Utara-Selatan dengan asumsi penumpang adalah 132.300 perjalanan per hari didapatkan kapasitas kereta sebanyak 21 rangkaian kereta per jam. Dengan 21 rangkaian kereta per jam, maka diperoleh headway yaitu 4 menit untuk operasi kereta pada jalur Utara-Selatan. Sedangkan pada jalur Timur-Barat
25
dibutuhkan headway yang lebih cepat yaitu 3.4 menit untuk mencapai 154.100 perjalanan/hari dengan 24 rangkaian kereta selama 1 jam. Besaran headway akan menentukan jumlah pendapatan yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan selama masa operasi monorel. 5.3.
Pendapatan Monorel Yogyakarta Pendapatan pada sistem monorel berasal dari pendapatan tiket dan non tiket.
Pendapatan tiket merupakan pendapatan dari segi operasi monorel pada setiap jalur dalam kurum waktu per tahun. Untuk pendapatan non tiket didapat dari biaya sewa iklan pada setiap tiang-tiang jalur monorel, biaya sewa tempat pemsangan kabel fiber optic, sewa ruang di stasiun, dan sewa tempat pemasangan iklan pada kereta dan stasiun. 5.3.1. Pendapatan Tiket Pendapatan tiket diperoleh dari jumlah pengguna yang dapat diangkut selama monorel beroperasi. Diasumsikan bahwa jumlah pengguna yang terangkut mencapai jumlah perjalanan/hari yang direncanakan. Pada analisis Surabaya Mass Rapid Transportation yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya (2013) dinyatakan bahwa willingness to pay sebesar Rp 6.000 – Rp 10.000. Menurut buku yang berjudul Prastudi Kelayakan Monorel Bandung Koridor 1 dan 2 (Dinas Perhubungan Kota Bandung,2013), untuk harga tiket pada koridor 1 (panjang 10 km) adalah Rp 6.000 dan pada koridor 2 (panjang 20 km) ditetapkan Rp 12.500 untuk sekali perjalanan. Sedangkan untuk monorel di Jakarta, harga tiket mencapai Rp 9.500 untuk sekali perjalanan (sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2013/06/20/00141485/Tarif.Tiket.Monorel diakses 4/27/2015 pukul 16.10 wib) Untuk tiket monorel Yogyakarta diasumsikan sebesar Rp 7.500 untuk satu kali perjalanan. Pendapatan dari tiket setiap tahun berasal dari asumsi jumlah perjalanan yang direncanakan dikalikan dengan harga tiket yang ditetapkan dikalikan dengan waktu operasi monorel yaitu 17 jam dalam sehari. Kemudian diasumsikan bahwa jumlah hari pada tahunan operasi monorel yaitu 365 hari. Sehingga pendapatan per tahun dihitung selama 365 hari. Berikut tabel pendapatan tiket monorel Yogyakarta.
26
Tabel 5.3 Tabel Pendapatan Tiket Monorel Yogyakarta Keterangan Jalur Utara-Selatan Jalur Timur-Barat 0.75 0.75 PHF N (Jumlah 4 4 Gerbong) 125 125 P (Penumpang) 500 500 N*P 21 24 Kapasitas Jalur Penumpang 7782 9065 per Jalur Penumpang 132300 154100 per Jalur Pendapatan Rp 992,250,000 Rp 1,155,750,000 per hari Pendapatan Rp 362,171,250,000 Rp 421,848,750,000 per tahun Asumsi Harga Rp 7,500 Rp 7,500 Tiket
Satuan
unit orang orang Kereta/Jam orang/jam orang/hari
Pendapatan jalur Utara-Selatan mencapai Rp 362.171.250.000 setiap tahun. Sedangkan jalur Timur-Barat diperoleh pendapatan mencapai Rp 421.848.750.000 setiap tahun. Perbedaan pendapatan pada jalur Utara-Selatan dan Timur-Barat disebabkan oleh perbedaan asumsi rencana jumlah perjalanan per hari pada masingmasing jalur. 5.3.2. Pendapatan Non Tiket Pendapatan non tiket merupakan pendapatan yang bukan berasal dari sistem operasi monorel. Pemanfaatan fasilitas sarana pendukung monorel dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan baru diluar sistem operasi monorel. Analisis pendapatan non tiket berasal dari sewa tempat iklan pada tiang monorel, sewa tempat pemasangan kabel fiber optic pada elevated guideway, sewa ruang pada stasiun, dan sewa tempat iklan pada kereta dan stasiun.
27
a. Persewaan Tempat Iklan pada Tiang Monorel Dalam sistem monorel tiang penyangga lintasan dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan selain dari operasi monorel itu sendiri. Jumlah tiang monorel dalam setiap jalur bervariasi ditentukan oleh jarak antar tiang dan panjang lintasan. Pada monorel Yogyakarta jumlah tiang monorel didapat dari panjang lintasan setiap jalur dibagi dengan jarak antar tiang monorel. Melalui spsefikasi ukuran dan jumlah tiang per jalur maka dapat ditentukan luasan total untuk tempat iklan pada tiang-tiang monorel. Berikut tabel pendapatan dari penyewaan tiang monorel sebagai space iklan. Tabel 5.4 Tabel Pendapatan Sewa Tempat Iklan Tiang Monorel Spesfikasi Jumlah Tiang Lebar Tiang Jumlah Space Tinggi Tiang Penjualan Tiang per Unit (5 tiang/unit) Pendapatan Iklan Ukuran iklan 1 tiang Pendapatan iklan
Nilai 708 2 4 6
Satuan tiang meter sisi per tiang meter
142
unit
Rp
8,000,000
Rp
48 272,000,000,000
per m2/tahun m2 per tahun
Panjang jalur 17 kilometer pada setiap jalur Utara-Selatan dan Timur-Barat dengan asumsi jarak antar tiang 24 meter maka jumlah tiang monorel diperkirakan dapat mencapai 708 tiang per jalur. Diasumsikan biaya sewa per meter persegi adalah Rp 8.000.000. Kemudian space iklan adalah 48 meter persegi untuk setiap tiang dengan perkalian panjang dikali lebar dikali 4 sisi tiang. Total 708 tiang per jalur (utara-selatan atau timur-barat) yang disewakan untuk space iklan dapat dicapai pendapatan sebesar Rp 272.000.000.000 setiap tahun.
b.
Pendapatan Sewa Tempat Pemasangan Kabel Fiber Optic Monorel Yogyakarta menawarkan tempat untuk pemasangan kabel fiber
optic di bawah guideway/lintasan monorel. Menurut Purnama (2013) penerapan
28
peraturan gubernur perlu diterapkan untuk pemberlakuan pajak sekitar 10%-20% dari investasi fiber optic. Diharapkan dengan pemasangan fiber optic di jalur monorel alokasi investasi sebesar 20% dari investasi fiber optic setiap meter dapat menjadi sumber pendapatan. Selain itu dengan tempat sewa pada lintasan monorel perusahaan provider dapat melakukan penghematan biaya pemasangan fiber optic. Berikut tabel pendapatan sewa tempat dari pemasangan fiber optic.
Tabel 5.5 Tabel Pendapatan Sewa Tempat Pemasangan Fiber Optic Keterangan Investasi Fiber Optik (Kabel 100 meter) Investasi Fiber Optik (Kabel 200 meter) Investasi Fiber Optik Per Jalur Pendapatan dari Investasi Fiber Optik
Nilai Rp
23,140,000
Rp Rp Rp
36,816,000 625,872,000,000 125,174,400,000
Investasi fiber optic untuk ukuran panjang 100 meter adalah Rp 23.140.000 dan untuk investasi fiber optic dengan panjang 200 meter sebesar Rp 36.816.000. Asumsi total biaya yaitu panjang jalur dikali dengan investasi fiber optic dengan ukuran 200 meter. Sehingga didapatkan total investasi yang dikeluarkan sebesar Rp 625.872.000.000. Jika pemasangan fiber optic dengan nilai investasi tersebut dipasang pada bawah lintasan/guideway maka alokasi 20% dari total investasi dapat menjadi pemasukan monorel Yogyakarta.
c.
Pendapatan Sewa Space Iklan pada Stasiun dan Kereta Pada tahap pertama monorel Yogyakarta pendapatan dari sewa temapat
untuk iklan pada stasiun dan kereta diasumsikan hanya melalui sewa iklan monitor pada kereta dan hanging LED pada dinding stasiun. Harga sewa dan ukuran space iklan didasarkan pada katalog persewaan asset PT Kereta Api Indonesia Daerah Operasi 6 dan KRL Commuter Jabodetabek. Total pendapatan didapat dari harga sewa dikalikan dengan space iklan monitor gerbong dan hanging LED seluruhnya laku tersewa. Untuk biaya listrik dan perawatan space iklan diasumsikan
29
ditanggung oleh pihak yang menyewa. Untuk durasi kontrak sewa selama 12 bulan untuk satu space iklan. Berikut tabel pendapatan monorel melalui pemanfaatan fasilitas kereta dan stasiun.
Tabel 5.6 Tabel Pendapatan Sewa Tempat Stasiun dan Kereta Penawaran Iklan Monitor pada Kereta Hanging LED (luasan = 3x 4 meter)
Durasi
Harga Iklan
Satuan
Jumlah Space
12 bulan
Rp 90,000,000
monitor/gerbong
2
12 bulan
Rp 18,000,000
m2/stasiun
6
Pendapatan Rp 7,471,058,824
Rp 28,512,000,000
Pada tabel diatas ditunjukkan bahwa pendapatan dari sewa iklan monitor pada kereta adalah Rp 7.471.058.824. Kemudian untuk pendapatan pada sewa iklan hanging LED yaitu sebesar Rp 28.512.000.000.
d.
Pendapatan Sewa Ruang pada Stasiun Monorel Pada setiap stasiun monorel Yogyakarta diasumsikan terdapat 3 ruang
dengan ukuran 4 x 6 meter persegi yang dipergunakan sebagai sewa ruang sebagai sumber pendapatan non tiket. Berikut tabel pendapatan dari sewa ruang pada setiap stasiun.
Tabel 5.7 Tabel Spesfikasi Ruang dan Harga Sewa Sewa Ruang
Satuan
Durasi
Harga Sewa
Jumlah Ruang
Luas per Ruang
Stasiun Bagian Ruang Tunggu
m2
12 bulan
Rp 1,500,000
3 per stasiun
4x6 m2
Acuan untuk spesifikasi ruang dan harga sewa dijelaskan pada tabel diatas. Dengan asumsi bahwa selurung ruang pada setiap stasiun untuk masing-masing jalur tersewakan, maka dapat diperoleh pendapatan sebesar Rp 2.376.000.000.
30
5.4.
Estimasi Biaya Investasi Biaya investasi pada monorel Yogyakarta meliputi, biaya konstruksi jalur
dan stasiun monorel, kereta monorel, DEPO (perawatan gerbong monorel), dan persinyalan dan telekomunikasi. Estimasi biaya investasi monorel Yogyakarta dilakukan dengan menggunakan metode Per Unit Model yang diterapkan pada studi kelayakan monorel Bandung, Jakarta, dan Surabaya. Asumsi mengenai total persentase biaya pembangunan fasilitas yang mencapai 60% dan pembelian kereta yang mencapai 25% digunakan pada estimasi biaya investasi monorel Yogyakarta. Berikut tabel perhitungan estimasi biaya satuan untuk pembangunan fasilitas. Tabel 5.8 Tabel Estimasi Harga Satuan Detail Pekerjaan Monorel Detail Pekerjaan Desain teknis dan supervisi Pekerjaan PreKonstruksi
Satuan kilometer kilometer
Konstruksi Jalur Monorel
kilometer
Stasiun ujung
unit
Stasiun antara
unit
Stasiun besar
unit
Depo
unit
Sinyal dan telekomunikasi
kilometer
Harga Satuan (2014) Rp 1,574,367,742 Rp 9,942,479,169 Rp 99,424,791,693 Rp 44,691,297,939 Rp 10,083,243,254 Rp 156,419,542,787 Rp 550,000,000,000 Rp 8,205,710,859
Harga Satuan (2015) Rp 1,653,086,129 Rp 10,439,603,128 Rp 104,396,031,277 Rp 46,925,862,836 Rp 10,587,405,417 Rp 164,240,519,926 Rp 577,500,000,000 Rp 8,615,996,402
Estimasi harga satuan didapat dari biaya investasi per detail pekerjaan dibagi dengan satuan yang disesuiakan dengan spesfikasi sistem monorel Bandung. Kemudian harga satuan di tahun analisis 2014 dikalikan dengan kenaikan biaya yang diasumsikan sebesar 5% setiap tahun sesuai target inflasi Bank Indonesia untuk mendapatkan harga satuan di tahun 2015.
31
Estimasi harga per gerbong monorel untuk tipe Bombardie Innovia 300 berasal dari investasi monorel SaoPaulo pada line 16. Diasumsikan 25% dari total investasi untuk pembelian kereta dibagi dengan jumlah pembelian gerbong. Kemudian untuk mendapatkan nilai rupiah pada tahun 2015, maka harga satuan gerbong tersebut dikalikan Rp 13.000 sesuai dengan nilai US$ 1 = Rp 13.000. Berikut Tabel Estimasi Harga Satuan Gerbong Monorel Jenis Bombardier Innovia 300 berdasarkan nilai rupiah.
Tabel 5.8 Tabel Estimasi Harga Satuan Detail Pekerjaan Monorel Biaya Investasi Monorel Sao Paulo (US$) Biaya Investasi Monorel Sao Paulo Jumlah Kereta (Unit) Jumlah Rangkaian (gerbong) Jumlah Gerbong Biaya Investasi Kereta (25%*Total Investasi) Harga per gerbong
$ 1,440,000,000 Rp 18,720,000,000,000 54 7 378 Rp 4,680,000,000,000 Rp 12,380,952,381
Berdasarkan tabel diatas harga gerbong dalam satuan rupiah diperoleh dengan membagi biaya investasi kereta dengan jumlah kereta dimana setiap kereta terdiri dari 7 rangkaian gerbong. Diasumsikan tidak ada economic of scale dalam biaya yang dikeluarkan untuk membeli kereta. Sehingga dapat diperoleh untuk harga per gerbong monorel jenis Bombardier Innovia 300 adalah Rp 12.380.952.381.
5.4.1. Biaya Investasi Fasilitas Monorel Yogyakarta Estimasi biaya investasi dibagi menurut jalur, dimana terdapat perbedaan untuk total investasi yang dibutuhkan dikarenakan jumlah pengguna yang berbeda untuk setiap jalur. Detail perkerjaan dan nilai uang diasumsikan tidak ada
32
perbedaan dikarenakan Jakarta, Bandung, dan Surabaya terletak pada kawasan dan pulau jawa..
a.
Biaya Investasi Fasilitas Jalur Timur-Barat Monorel Yogyakarta
Berikut tabel biaya investasi fasilitas monorel Yogyakarta pada Jalur Timur-Barat.
Tabel 5.9 Tabel Biaya Investasi Monorel Jalur Timur-Barat Uraian Pekerjaan Desain teknis dan supervisi Pekerjaan PreKonstruksi Konstruksi Jalur Monorel stasiun ujung stasiun antara stasiun besar Depo Sinyal dan telekomunikasi
Harga Rp 1,653,086,129 Rp 10,439,603,128 Rp 104,396,031,277 Rp 46,925,862,836 Rp 10,587,405,417 Rp 164,240,519,926 Rp 577,500,000,000 Rp 8,615,996,402
Satuan
Total Harga
kilometer
Rp 28,102,464,190
Rp kilometer 177,473,253,172 Rp kilometer 1,774,732,531,717 Rp unit 93,851,725,672 Rp unit 179,985,892,084 Rp unit 492,721,559,779 Rp unit 577,500,000,000 Rp kilometer 146,471,938,836 Rp Total 3,470,839,365,451
Menurut Tim Kajian Perkeretaapian (2014), dapat diasumsikan untuk jumlah stasiun ujung, antara, dan besar pada masing-masing jalur dengan jumlah tarikan bangkitan penumpang pada setiap titik jalur monorel. Sehingga diperoleh jumlah stasiun pada jalur Timur-Barat juga mengikuti asumsi tersebut dengan jumlah pengguna 154.100 perjalanan/hari sehingga didapatkan 2 unit stasiun ujung, 3 unit stasiun besar, dan 17 unit stasiun antara. Kemudian untuk DEPO sebagai stasiun perawatan kereta diasumsikan hanya ada 1 unit untuk setiap jalur. Biaya
33
investasi pembangunan fasilitas monore Yogyakarta jalur Timur-Barat adalah Rp 3.470.839.365.451.
b. Biaya Investasi Fasilitas Jalur Utara-Selatan Monorel Yogyakarta Berikut tabel biaya investasi fasilitas monorel Yogyakarta pada Jalur UtaraSelatan. Tabel 5.10 Tabel Biaya Investasi Monorel Jalur Timur-Barat
Uraian Pekerjaan Desain teknis dan supervisi
Rp 1,653,086,129
Pekerjaan PreKonstruksi
Rp 10,439,603,128
Konstruksi Jalur Monorel
Rp 104,396,031,277 Rp 46,925,862,836 Rp 10,587,405,417 Rp 164,240,519,926 Rp 577,500,000,000 Rp 8,615,996,402
stasiun ujung stasiun antara stasiun besar Depo Sinyal dan telekomunikasi
Harga
Satuan
Total Harga
kilometer
Rp 28,102,464,190
kilometer
Rp 177,473,253,172
Rp kilometer 1,774,732,531,717 Rp unit 93,851,725,672 Rp unit 190,573,297,501 Rp unit 328,481,039,853 Rp unit 577,500,000,000 Rp kilometer 146,471,938,836 Rp Total 3,317,186,250,941
Menurut Tim Kajian Perkeretaapian (2014), dapat diasumsikan untuk jumlah stasiun ujung, antara, dan besar pada masing-masing jalur dengan jumlah tarikan bangkitan penumpang pada setiap titik jalur monorel. Sehingga diperoleh jumlah stasiun pada jalur Utara-Selatan juga mengikuti asumsi tersebut dengan jumlah pengguna 132.200 perjalanan/hari sehingga didapatkan 2 unit stasiun ujung, 2 unit stasiun besar, dan 18 unit stasiun antara. Kemudian untuk DEPO sebagai stasiun perawatan kereta diasumsikan hanya ada 1 unit untuk setiap jalur. Biaya
34
investasi pembangunan fasilitas monore Yogyakarta jalur Timur-Barat adalah Rp 3.317.186.250.941.
5.4.2. Biaya Investasi Kereta Monorel Yogyakarta Biaya investas kereta pada jalur Utara-Selatan dan Timur-Barat ditentukan sesuai dengan kebutuhan headway setiap jalur tersebut. Terdapat perbedaan biaya investasi pada setiap jalur monorel yang disebabkan oleh jumlah kereta per jalur yang ditentukan sebelumnya oleh kebutuhan headway. a. Biaya Investasi Kereta Jalur Utara-selatan Berdasarkan headway pada jalur Utara-Selatan maka untuk sistem operasi monorel Utara-Selatan dibutuhkan jumlah kereta sebanyak 21 unit. Untuk 1 unit kereta terdiri dari 4 rangkain gerbong. Total gerbong yang dibutuhkan adalah 84 gerbong. Berikut tabel penjelasan mengenai biaya investasi kereta jalur UtaraSelatan. Tabel 5.11 Tabel Biaya Investasi Kereta Jalur Utara-Selatan Jumlah Kereta (Unit) Jumlah Gerbong per Kereta (Unit) Total Gerbong Monorel (Unit) Harga per gerbong Jalur Utara-Selatan
21 4 84 Rp 12,380,952,381 Rp 1,027,764,705,882
Berdasarkan tabel diatas didapatkan biaya investasi kereta pada jalur UtaraSelatan sebesar Rp 1.027.764.705.882.
b. Biaya Investasi Kereta Jalur Timur-Barat Berdasarkan headway pada jalur Timur-Barat maka untuk sistem operasi monorel Utara-Selatan dibutuhkan jumlah kereta sebanyak 24 unit. Untuk 1 unit kereta terdiri dari 4 rangkain gerbong. Total gerbong yang dibutuhkan adalah 96
35
gerbong. Berikut tabel penjelasan mengenai biaya investasi kereta jalur TimurBarat.
Tabel 5.12 Tabel Biaya Investasi Kereta Jalur Timur-Barat Jumlah Kereta Jumlah Gerbong per Kereta Total Gerbong Monorel Harga per gerbong Jalur Utara-Selatan
24 4 96 Rp 12,380,952,381 Rp 1,197,116,713,352
Berdasarkan tabel diatas didapatkan biaya investasi kereta pada jalur TimurBarat sebesar Rp 1.197.116.713.352.
5.5.
Biaya Operasional Monorel Yogyakarta Pada sistem monorel Yogyakarta dengan jenis kereta Bombardier Innovia
300 yang memiliki spesifikasi motor dengan daya 750 volt DC untuk setiap kereta. Diperlukan daya sebesar 160 kilowatt untuk mengoperasikan 1 kereta pada setiap jalur. Pada tahun 2015 tarif dasar listrik untuk korporasi sebesar Rp 1.500 per kwh. Berikut tabel biaya operasional monorel pada jalur Utara-Selatan dan Timur-Barat. Tabel 5.13 Tabel Biaya Operasional Monorel Yogyakarta Utara-Selatan
Keterangan Volt DC Kilo Watt/rangkaian Kilo Watt/kapasitas jalur Kilo Watt/hour
750 160 3320 56448
Kwh x rupiah
Rp
84,672,000
kwh x rupiah/tahun
Rp
30,905,280,000
Timur-Barat 750 160 3868 65749 Rp 98,624,000 Rp 35,997,760,000
Perhitungan biaya operasional diperoleh dari kapasitas daya per kereta dikalikan dengan jumlah total kereta pada setiap jalur. Dengan asumsi total
36
operasional monorel dalam setahun sebanyak 365 hari. Biaya yang dikeluarkan dalam setahun merupakan perkalian biaya operasional yang dikeluarkan dalam sehari dikalikan total hari dalam setahun monorel beroperasi. Asumsi mengenai keterbatasan catu daya diabaikan, maka biaya operasional yang dibutuhkan untuk jalur Utara-Selatan adalah Rp 30.905.280.000. Sedangkan untuk biaya operasional jalur Timur-Barat sebesar Rp 35.997.760.000. Biaya operasional jalur Timur-Barat lebih besar dikarenakan kapasitas daya yang dibutuhkan lebih besar untuk mencapai 154.100 perjalanan/hari.
5.6.
Biaya Perawatan Monorel Yogyakarta Biaya perawatan monorel Yogyakarta terdiri dari biaya perawatan kereta
dan biaya perawatan fasilitas monorel. Estimasi besar biaya mengacu pada buku Prices and Costs in The Railway Sector oleh Baumgartner (2001). Menurut Baumgartner (2001), besar biaya perawatan merupakan persentase dari biaya investasi setiap elemen atau unit barang. Estimasi biaya perawatan pada kereta dan fasilitas monorel disesuaikan dengan kebutuhan untuk setiap jalur. Berikut estimasi biaya perawatan kereta monorel Yogyakarta.
Tabel 5.14 Tabel Biaya Operasional Monorel Yogyakarta Keterangan Investasi Kereta Jalur Timur-Barat Asumsi Perawatan Kereta Biaya Perawatan Kereta Timur-Barat Asumsi Jangka Waktu Perawatan Investasi Kereta Utara-Selatan Asumsi Perawatan Kereta Biaya Perawatan Kereta Utara-Selatan
Nilai Rp 1,197,116,713,352 10% Rp 119,711,671,335 1 kali perawatan/tahun Rp 1,027,764,705,882 10% Rp 102,776,470,588
37
Asumsi Jangka Waktu Perawatan
1 kali perawatan/tahun
Menurut Baugartner (2001), jumlah biaya perawatan untuk kereta dengan bahan bakar listrik adalah 10% dari biaya investasi kereta tersebut. Dengan diasumsikan dalam 1 tahun hanya terjadi 1 kali perawatan. Maka didapatkan biaya perawatan untuk kereta di jalur Utara-Selatan sebesar Rp 102.776.470.588 dan pada jalur Timur-Barat sebesar Rp 1.197.116.713.352. Biaya perawatan kereta pada jalur Timur-Barat lebih besar dikarenakan jumlah investasi dan jumlah kereta yang beroperasi lebih banyak daripada di jalur Utara-Selatan. Kemudian untuk biaya perawatan fasilitas kereta juga terdapat perbedaan dalam jumlah detail bangunan stasiun. Estimasi biaya mengacu pada buku yang ditulis oleh Baumgartner (2001). Dijelaskan bahwa biaya perawatan juga mengikuti perkalian persentase dengan biaya investasi. Berikut Tabel estimasi biaya perawatan fasilitas kereta.
Tabel 5.15 Tabel Biaya Perawatan Fasilitas Jalur Utara-Selatan Detail Perawatan Utara-Selatan Konstruksi Jalur Monorel stasiun ujung stasiun antara stasiun besar Depo Sinyal dan telekomunikasi
Investasi
Persen
Biaya Perawatan
Rp Rp Rp Rp Rp
1,774,732,531,717 93,851,725,672 190,573,297,501 328,481,039,853 577,500,000,000
1% 1% 1% 1% 5%
Rp 17,747,325,317 Rp 938,517,257 Rp 1,905,732,975 Rp 3,284,810,399 Rp 28,875,000,000
Rp
146,471,938,836
3% Total
Rp 4,394,158,165 Rp 57,145,544,113
Pada tabel diatas dijelsakan bahwa persentase perawatan konstruksi jalur, stasiun ujung, stasiun antara, stasiun besar, Depo, dan persinyalan secara beruruturut adalah 1%,1%,1,%,1%5%,3% dari biaya investasi setiap detail unit fasilitas. Didapatkan hasil dari estimasi biaya perawatan fasilitas dalam satu kali perawatan dalam setiap tahun adalah Rp 57.145.544.113. Total biaya perawatan monorel di
38
jalur Utara-Selatan adalah Rp 159.922.014.701. Kemudian untuk biaya perawatan fasilitas jalur Timur-Barat dijelskan pada tabel dibawah. Berikut estimasi biaya perawatan fasilitas monorel pada jalur Timur-Barat.
Tabel 5.16 Tabel Biaya Perawatan Fasilitas Jalur Timur-Barat Detail Perawatan TimurBarat Konstruksi Jalur Monorel stasiun ujung stasiun antara stasiun besar Depo Sinyal dan telekomunikasi
Investasi Rp 1,774,732,531,717 Rp 93,851,725,672 Rp 179,985,892,084 Rp 492,721,559,779 Rp 577,500,000,000 Rp 146,471,938,836
Persen 1% 1% 1% 1% 5% 3% Total
Biaya Perawatan Rp 17,747,325,317 Rp 938,517,257 Rp 1,799,858,921 Rp 4,927,215,598 Rp 28,875,000,000 Rp 4,394,158,165 Rp 58,682,075,258
Sedangkan pada tabel diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa total biaya perawatan fasilitas monorel di jalur Timur-Barat adalah sejumlah Rp 58.682.075.258 dengan asumsi satu kali perawatan dalam setiap tahun. Jadi jumlah biaya yang dibutuhkan untuk perawatan monorel Yogyakarta pada jalur TimurBarat mencapai Rp 178.393746593.
5.7.
Analisis Kelayakan Investasi Monorel Yogyakarta Analsis kelayakan investasi dilakukan pada jalur Utara-Selatan dan Timur-
Barat secara terpisah. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan investasi pada masing-masing jalur. Penggunaan metode Net Present Value dalam evaluasi keputusan kelayakan investasi. Investasi dinyatakan layak ketika nilai NPV ≥ 0, apabila nilai NPV tersebut tidak terpenuhi maka keputusan investasi dinyatakan tidak layak. Beberapa asumsi dipakai pada analisis kelayakan investasi monorel Yogyakarta.
39
Asumsi Minimum Attractive Rate of Return sebesar 11.25% didapat dari 1.5 kali suku bunga acuan Bank Indonesia sebesar 7.5%. Nilai MARR diasumsikan sebagai nilai interest dari proyek monorel Yogyakarta, dimana tingkat inflasi selama masa proyek berlangsung diabaikan. Kemudian untuk proye monorel yang tergolong dalam proyek trasnportasi maka ditetapkan rasio debt : equity sebesar 70 : 30 sesuai dengan peraturan pemerintah pada Public Private Partnership pada tahun 2013. Bunga kredit yang dipakai adalah bunga kredit Bank Mandiri tahun 2015 untuk jenis peminjaman korporasi sebesar 10.25%. Asumsi pelunasan hutang dimulai dari operasional monorel pada tahun pertama sampai tahun terakhir operasi. Tarif pajak pendapatan mengacu pada peraturan Badan Kebijakan Penenaman Modal tahun 2015 sebesar 25%. Menurut BKPM (2014) aturan depresiasi yang dipakai adalah Double Declining Balance 10% setiap tahun untuk kereta dan Straight Line 5% setiap tahun untuk bangunan seperti stasiun dan depo. Besaran working capital per tahun diasumsikan adalah 10% dari penjualan tiket setiap tahun. Nilai 10% didasarkan pada perputaran uang dalam aliran kas pendapatan dari penjualan tiket. Tahun operasional diasumsikan selama 20 tahun untuk tahap pertama monorel Yogyakarta. Untuk tahun perencanaan dan konstruksi monorel diasumsikan sebagai tahun ke 0 dikarenakan perencanaan teknis operasional monorel belum dilakukan secara mendetail.
5.7.1. Analisis Kelayakan Investasi Jalur Utara-Selatan Analisis kelayakan pada jalur Utara-Selatan dilakukan untuk evaluasi keputusan investasi pada jalur tersebut. Perencanan tahapan pertama monorel jalur Utara-Selatan memiliki
target
penumpang sejumlah perjalanan
132.200
perjalanan/hari. Target operasi monorel di jalur Utara-Selatan akan diuji layak atau tidak jika investasi dilakukan. Bermula dari sasaran target maka akan diketahui besar pendapatan, biaya investasi, biaya operasi dan biaya perawatan sebagai parameter input dalam analisis kelayakan investasi. Metode NPV sebagai metode untuk evaluasi kelayakan investasi tersebut berdasarkan input dari parameter diatas. Berikut tabel analisis kelayakan investasi jalur Utara-Selatan.
40
Tabel 5.17 Analisis Kelayakan Investasi Jalur Utara-Selatan Keterangan Biaya Investasi Infrastruktur dan Bangunan Biaya Investasi Kereta Total Biaya Investasi Pendapatan Tiket/tahun Pendapatan Non Tiket/tahun Biaya Operational/tahun Biaya Perawatan Infrastruktur dan Bangunan/tahun MARR Pajak Pendapatan Suku Bunga Penjaminan Suku Bunga Pinjaman Debt : Equity Ratio Total Equity Total Debt Suku Bunga Net Present Value
Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Nilai 3,317,186,250,941 1,027,764,705,882 4,344,950,956,824 362,171,250,000 435,533,458,824 30,905,280,000
Rp
159,922,014,701
11.25% 25.00% 7.75% 10.00% 70:30 Rp 1,303,485,287,047 Rp 3,041,465,669,776 7.5% Rp 294,552,227,922
Analisis kelayakan investasi pada jalur Utara-Selatan dinyatakan layak dikarenakan NPV ≥ 0, dengan nilai Rp 294.522.227.922. Perencanaan monorel untuk tahap pertama yaitu pada asumsi pengguna sebesar 132.200 perjalanan/hari dengan total nilai investasi jalur Utara-Selatan Rp 294.552.227.922 layak untuk dijalankan.
5.7.2. Analisis Kelayakan Investasi Jalur Timur-Barat Analisis kelayakan pada jalur Timur-Barat dilakukan untuk evaluasi keputusan investasi pada jalur tersebut. Perencanan tahapan pertama monorel jalur Timur-Barat
memiliki
target
penumpang
sejumlah
perjalanan
154.100
perjalanan/hari. Bermula dari sasaran target maka diketahui besar pendapatan, biaya investasi, biaya operasi dan biaya perawatan sebagai parameter input dalam analisis kelayakan investasi. Metode NPV sebagai metode untuk evaluasi kelayakan investasi tersebut berdasarkan input dari parameter tersebut.
41
Tabel 5.18 Analisis Kelayakan Investasi Jalur Timur-Barat Keterangan Biaya Investasi Infrastruktur dan Bangunan Biaya Investasi Kereta Total Biaya Investasi Pendapatan Tiket/tahun Pendapatan Non Tiket/tahun Biaya Operational/tahun Biaya Perawatan Infrastruktur dan Bangunan/tahun MARR Pajak Pendapatan Suku Bunga Penjaminan Suku Bunga Pinjaman Debt : Equity Ratio Total Equity Total Debt Suku Bunga Net Present Value
Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Nilai 3,470,839,365,451 1,197,116,713,352 4,667,956,078,803 421,848,750,000 435,533,458,824 35,997,760,000
Rp
178,393,746,593
11.25% 25.00% 7.75% 10.00% 70:30 Rp 1,400,386,823,641 Rp 3,267,569,255,162 7.5% Rp 261,160,009,534
Analisis kelayakan investasi pada jalur Timur-Barat dinyatakan layak dikarenakan NPV ≥ 0, dengan nilai Rp 261.160.009.534. Perencanaan monorel untuk tahap pertama yaitu pada asumsi pengguna sebesar 154.100 perjalanan/hari dengan total nilai investasi jalur Timur-Barat Rp 4.667.956.078.803 layak untuk dijalankan.
5.8.
Analisis Sensitivitas Investasi Monorel Yogyakarta Analisis sensitivitas dilakukan untuk menguji perubahan parameter input
terhadap keputusan investasi. Parameter yang diuji adalah volume penumpang, pendapatan non tiket, biaya operasi kereta, biaya perawatan, biaya investasi, dan harga tiket. Sensitivitas parameter input diuji dengan tingkat perubahan 10%-30% untuk menilai perubahan pada keputusan kelayakan. Keputusan kelayakan dinyatakan berubah ketika nilai NPV kurang dari nol atau bernilai negatif. Analisis sensitivitas dengan metode one at a time dimana tingkat sensitivitas perubahan
42
setiap parameter diuji. Pada metode one at a time diasumsikan tidak ada perubahan nilai parameter yang disebabkan perubahan nilai parameter lain.
5.8.1. Analisis Sensitivitas Volume Penumpang terhadap NPV Volume penumpang sebelumnya diasumsikan semua penumpang terangkut sesuai asumsi target perjalanan yang direncanakan. Perubahan nilai NPV dapat terjadi akibat perubahan jumlah penumpang yang dapat diangkut per hari. Sehingga perlu dilakukan analisis sensitivitas untuk mengukur kepekaan keputusan investasi terhadap perubahan volume penumpang terangkut. Berdasarkan Kajian Tim Perekeretaapian Perkotaan Yogyakarta, bahwa jalur Utara-Selatan diprediksi memiliki jumlah penumpang sebesar 132.200 perjalanan/hari. Berikut tabel yang menunjukkan senstivitas volume penumpang dengan keputusan investasi. Tabel 5.19 Analisis Sensitivitas Volume Penumpang Jalur Utara-Selatan % Change
Volume Penumpang
0%
132300
-10%
119070
-20%
105840
-30%
92610
% Change
NPV Rp 294,552,227,922 Rp 89,721,455,227 Rp (115,109,317,468) Rp (319,940,090,163)
0.0% -69.5% -139.1% -208.6%
Rp500
Rp400
Rp400
Rp200
Rp300
Rp-
Rp200
Rp(200)
Rp100
Rp(400)
Rp-
Rp(600) Pendapatan Bukan Tiket
NPV
Milyar
Milyar
Sensitivitas Pendapatan Bukan Tiket
43
Gambar 5.1 Gambar Grafik Sensitivitas Volume Penumpang Utara-Selatan Ketika terjadi penurunan 20% pada volume penumpang per hari yang terangkut, maka terjadi penurunan nilai NPV sebesar 139.1% atau terjadi penurunan dari nilai Rp 294.552.227.922 menjadi Rp (115.109.317.468). Penurunan nilai NPV linier dengan penurunan jumlah penumpang per hari. Keputusan investasi pada Jalur Utara-Selatan sensitif terhadap perubahan volume penumpang pada jalur Utara-Selatan. Penurunan jumlah penumpang linier terhadap penurunan nilai NPV. Pada jalur Timur-Barat diuji tingkat kepekaan kelayakan investasi yang diakibatkan oleh perubahan jumlah penumpang. Berikut tabel sensitivitas NPV terhadap perubahan jumlah penumpang.
Tabel 5.20 Analisis Sensitivitas Volume Penumpang Jalur Timur-Barat % Change
Volume Penumpang
0%
154100
-10%
138690
-20%
123280
-30%
107870
NPV Rp 261,160,009,534 Rp 22,577,832,116 Rp (216,004,345,301) Rp (454,586,522,718)
% Change 0.0% -91.4% -182.7% -274.1%
44
200000
Rp300 Rp200
150000
Rp100
Milyar
Sensitivitas Volume Penumpang
Rp100000
1
2
3
4
Rp(100) Rp(200)
50000
Rp(300) Rp(400)
0
Rp(500) Volume Penumpang
NPV
Gambar 5.2 Grafik Sensitivita Volume Penumpang Jalur Timur-Barat Ketika terjadi penurunan 20% pada volume penumpang per hari yang terangkut, maka terjadi penurunan nilai NPV sebesar 182.7% atau terjadi penurunan dari nilai Rp 261.160.009.534 menjadi Rp (216,004,345,301). Keputusan investasi pada jalur Timur-Barat sensitif terhadap perubahan volume penumpang pada jalur Timur-Barat..
5.8.2. Analisis Sensitivitas Pendapatan Non Tiket terhadap NPV Parameter yang diuji berikutnya adalah pendapatan non tiket. Pendapatan non tiket memeliki kontribusi besar pada besar pendapatan yang diterima dalam setahun. Perubahan nilai NPV dipengaruhi oleh perubahan pendapatan non tiket. Perubahan total pendapatan bukan tiket diasumsikan berdasarkan perubahan pada sumber pendapatan non tiket tersebut. Analisis sensitivitas menguji sensitivitas dari keputusan investasi dengan diwakilkan nilai NPV terhadap perubahan pendapatan bukan tiket. Berikut tabel dan grafik sensitivitas pendapatan non tiket terhadap nilai NPV.
45
Tabel 5.21 Tabel Sensitivitas Pendapatan Non Tiket terhadap NPV pada Jalur Utara-Selatan % Change 0.0% -10.0% -20.0% -30.0%
Pendapatan Bukan Tiket Rp 435,533,458,824 Rp 391,980,112,941 Rp 348,426,767,059 Rp 304,873,421,176
NPV Rp 294,552,227,922 Rp 38,626,021,829 Rp (217,300,184,264) Rp (473,226,390,356)
% Change 0.0% -86.9% -173.8% -260.7%
Pada tabel diatas dijelaskan bahwa penurunan 10% dari sumber pendapatan bukan tiket sangat mempengaruhi keputusan kelayakan. Ditunjukkan dalam tabel bahwa penurunan nilai NPV mencapai 86.9%. Dapat disimpulkan bahwa perubahan nilai NPV sangat sensitif terhadap perubahan pendapatan bukan tiket.
Rp500
Rp400 Rp300 Rp200 Rp100 RpRp(100) Rp(200) Rp(300) Rp(400) Rp(500) Rp(600)
Rp400 Rp300 Rp200 Rp100 RpPendapatan Bukan Tiket
Milyar
Milyar
Sensitivitas Pendapatan Bukan Tiket
NPV
Gambar 5.3 Grafik Sensitivitas Pendapatan Bukan Tiket Jalur U-S Ketika terjadi penurunan sampai 20% dari sumber pendapatan bukan tiket sangat mempengaruhi keputusan kelayakan. Ditunjukkan dalam tabel bahwa penurunan nilai NPV mencapai 173.8% dan nilai NPV bernilai negatif. Dapat disimpulkan bahwa perubahan nilai NPV sensitif terhadap perubahan pendapatan
46
bukan tiket. Kemudian grafik juga menunjukkan bahwa perubahan parameter pendapatan bukan tiket linier dengan perubahan nilai NPV. Sedangkan untuk jalur Timur-Barat analisis sensitivitas juga dilakukan untuk melihat sensitivitas nilai NPV terhadap perubahan pendapatan buka tiket. Berikut tabel dan grafik analisis sensitivitas terhadap perubahan pendapatan bukan tiket. Tabel 5.22 Tabel Sensitivitas Pendapatan Non Tiket terhadap NPV pada Jalur Timur-Barat % Change 0% -10% -20% -30%
Pendapatan Bukan Tiket Rp 435,533,458,824 Rp 391,980,112,941 Rp 348,426,767,059 Rp 304,873,421,176
NPV Rp 261,160,009,534 Rp 5,233,803,441 Rp (250,692,402,652) Rp (506,618,608,744)
% Change 0.0% -98.0% -196.0% -294.0%
Rp500
Rp400
Rp400
Rp200
Rp300
Milyar
Milyar
Sensitivitas Pendapatan Bukan Tiket
Rp1
2
3
4
Rp200
Rp(200)
Rp100
Rp(400)
Rp-
Rp(600) Pendapatan Bukan Tiket
NPV
Gambar 5.4 Grafik Sensitivitas Pendapatan Bukan Tiket jalur T-B
Pada tabel diatas dijelaskan bahwa penurunan 20% dari sumber pendapatan bukan tiket sangat mempengaruhi keputusan kelayakan. Ditunjukkan dalam tabel bahwa penurunan nilai NPV sebesar 196% dan nilai NPV mencapai Rp
47
(250.692.402.652). Dapat disimpulkan bahwa perubahan nilai NPV sangat sensitif terhadap perubahan pendapatan bukan tiket. 5.8.3. Analisis Sensitivitas Biaya Operasional Monorel terhadap NPV Perubahan biaya operasional juga berdampak pada keputusan investasi. Penggunaan analisis sensitivitas untuk mengukur sensitivitas NPV terhadap perubahan biaya operasional. Perubahan biaya operasional diasumsikan menurun sebesar 10%-30%. Analisis sensitivitas menguji kepekaan keputusan investasi terhadap perubahan biaya operasional. Berikut tabel dan grafik analisis sensitivitas NPV terhadap perubahan biaya operasional monorel pada jalur Utara-Selatan. Tabel 5.23 Tabel Sensitivitas Biaya Operasional Monorel Jalur U-S % Change 0% 10% 20% 30%
Biaya Operasi Kereta
NPV
Rp 30,905,280,000 Rp 33,995,808,000 Rp 37,086,336,000 Rp 40,176,864,000
Rp 294,552,227,922 Rp 276,391,806,722 Rp 258,231,385,523 Rp 240,070,964,324
% Change 0% -6% -12% -18%
Berdasarkan tabel dan grafik dapat disimpulkan bahwa keputusan investasi tidak sensitif terhadap perubahan biaya operasional. Peningkatan biaya 10%-30% pada biaya operasional, penurunan sejumlah 6%-18% pada nilai NPV. Pada grafik diatas dijelaskan ketika terjadi peningkatan biaya operasional maka terjadi penurunan nilai NPV, namun nilai NPV masih menunjukkan nilai positif atau lebih besar dari 0. Dapat disimpulkan bahwa nilai NPV sebagai gambaran keputusan investasi tidak sensitif terhadap peningkatan atau perubahan biaya operasional.
48
Rp45
Rp350
Rp40
Rp300
Rp35
Milyar
Milyar
Sensitivitas Biaya Operasi Kereta
Rp250
Rp30 Rp25
Rp200
Rp20
Rp150
Rp15
Rp100
Rp10 Rp5
Rp50
Rp-
RpBiaya Operasi Kereta
NPV
Gambar 5.5 Grafik Sensitivitas Biaya Operasional Monorel jalur U-S
Kemudian dilakukan analisis sensitivitas perubahan biaya operasional pada jalur Timur-Barat. Berikut tabel dan grafik analisis senstivitas biaya operasional jalur Timur-Barat. Tabel 5.24 Tabel Sensitivitas Biaya Operasional Monorel Jalur T-B % Change 0% 10% 20% 30%
Biaya Operasi Kereta Rp 35,997,760,000 Rp 39,597,536,000 Rp 43,197,312,000 Rp 46,797,088,000
NPV Rp 261,160,009,534 Rp 240,007,168,212 Rp 218,854,326,891 Rp 197,701,485,570
% Change 0% -8% -16% -24%
Peningkatan biaya operasional diasumsikan sebesar 10%-30% untuk dilihat efek perubahan keputusan. Berdasarkan tabel diatas peningkatan biaya operasional tidak menurunkan nilai NPV sampai titik 0, artinya adalah biaya operasional tidak sensitif terhadap perubahan keputusan investasi. Dilihat pada tabel diatas
49
penurunan NPV sebesar 24% dari kenaikan biaya operasional 30% tidak membuat keputusan investasi berubah.
Rp50 Rp45 Rp40 Rp35 Rp30 Rp25 Rp20 Rp15 Rp10 Rp5 Rp-
Rp300 Rp250
Milyar
Milyar
Sensitivitas Biaya Operasi Kereta
Rp200 Rp150 Rp100 Rp50 Rp1
2
3
Biaya Operasi Kereta
4 NPV
Gambar 5.6 Grafik Sensitivitas Biaya Operasional Monorel jalur T-B Berdasarkan tabel dan grafik dapat disimpulkan bahwa keputusan investasi tidak sensitif terhadap perubahan biaya operasional. Ketika terjadi peningkatan biaya 10%-30% pada biaya operasional, penurunan sejumlah 8%-24% terjadi pada nilai NPV. Pada grafik diatas dijelaskan ketika terjadi peningkatan biaya operasional maka terjadi penurunan nilai NPV, namun nilai NPV masih bernilai positif. Dapat disimpulkan bahwa nilai NPV sebagai gambaran keputusan investasi tidak sensitif terhadap peningkatan atau perubahan biaya operasional.
5.8.4. Analisis Sensitivitas NPV Terhadap Perubahan Biaya Perawatan Perubahan biaya perawatan termasuk sebagai parameter yang mempengaruhi keputusan investasi. Analisis sensitivitas digunakan untuk melihat kepekaan perubahan nilai NPV yang disebabkan oleh perubahan biaya operasional. Berikut tabel dan grafik biaya perawatan monorel Yogyakarta jalur Utara-Selatan.
50
Tabel 5.25 Tabel Sensitivitas Biaya Perawatan Monorel Jalur U-S % Change 0% 10% 20% 30%
Biaya Perawatan Rp 159,922,014,701 Rp 175,914,216,171 Rp 191,906,417,641 Rp 207,898,619,111
NPV Rp 294,552,227,922 Rp 200,579,575,158 Rp 106,606,922,394 Rp 12,634,269,630
% Change 0% -32% -64% -96%
Rp250
Rp350 Rp300
Rp200
Milyar
Milyar
Sensitivitas Biaya Perawatan
Rp250 Rp150
Rp200
Rp100
Rp150 Rp100
Rp50
Rp50
Rp-
Rp1
2 Biaya Perawatan
3
4 NPV
Gambar 5.7 Grafik Sensitivitas Biaya Perawatan Monorel jalur U-S
Nilai NPV dapat dikatakan tidak sensitif terhadap biaya perawatan, dikarenakan NPV tetap bernilai positif ketika perubahan biaya perawatan 10%30%. Pada grafik dijelaskan bahwa ketika biaya perawatan naik, maka terjadi penurunan pada nilai NPV. Keputusan investasi pada jalur Utara-Selatan tidak sensitif terhadap perubahan biaya perawatan. Berikut tabel dan grafik sensitivitas NPV terhadap perubahan biaya perawatan pada jalur Timur-Barat.
51
Tabel 5.26 Tabel Sensitivitas Biaya Perawatan Monorel Jalur T-B % Change 0% 10% 20% 30%
Biaya Perawatan Rp 178,393,746,593 Rp 196,233,121,252 Rp 214,072,495,911 Rp 231,911,870,571
NPV Rp 261,160,009,534 Rp 156,333,081,014 Rp 51,506,152,494 Rp (53,320,776,026)
% Change 0% -40% -80% -120%
Rp250
Rp300 Rp250
Rp200
Milyar
Milyar
Sensitivitas Biaya Perawatan
Rp200 Rp150
Rp150
Rp100 Rp100 Rp50
Rp50 Rp1
2
3
4
Rp-
Rp(50) Rp(100)
Biaya Perawatan
NPV
Gambar 5.8 Grafik Sensitivitas Biaya Perawatan Monorel jalur T-B
Pada grafik dan tabel diatas dijelaskan bahwa penurunan nilai NPV disebabkan oleh peningkatan biaya perawatan. Nilai NPV bernilai positif ketika perubahan biaya perawatan 10%-20%. Nilai NPV berubah menjadi negative ketika terjadi perubahan sebesar 30% pada biaya perawatan. Kesimpulan dari pada grafik dan tabel diatas adalah keputusan investasi monorel jalur Timur-Barat sensitif terhadap perubahan biaya perawatan.
52
5.8.5. Analisis Sensitivitas NPV Terhadap Perubahan Biaya Investasi Perubahan biaya investasi dapat mempenagruhi aliran kas yang berujung pada besaran nilai NPV. Sehingga dapat ditimbulkan perubahan keputusan investasi dikarenakan perubahan biaya investasi. Pada jalur Utara-Selatan nilai NPV Rp 294.522.227.922 diuji tingkat kepekaan atau besar perubahan yang ditimbulkan oleh perubahan pada nilai investasi. Jalur Timur-Barat dengan investasi yang lebih besar daripada jalur Utara-Selatan diuji kepekaan keputusan investasi terhadap perubahan biaya investasi. Penggunaan metode NPV sebagai perwakilan dari keputusan investasi diuji kepekaan dengan menggunakan analisis sensitivitas. Berikut tabel dan grafik analisis sensitivitas perubahan biaya investasi pada jalur Utara-Selatan. Tabel 5.27 Tabel Sensitivitas Biaya Investasi Monorel Jalur U-S % Change 0% 10% 20% 30%
Biaya Investasi Rp 4,344,950,956,824 Rp 4,779,446,052,506 Rp 5,213,941,148,188 Rp 5,648,436,243,871
NPV Rp 294,552,227,922 Rp (67,204,327,765) Rp (428,960,883,451) Rp (790,717,439,137)
% Change 0% -123% -246% -368%
Penurunan nilai NPV terjadi ketika terjadi kenaikan pada biaya investasi. Sebesar 10%-30% diasumsikan sebagai kenaikan biaya investasi. Kenaikan biaya investasi sebesar 10% mampu menurunkan nilai NPV sebesar 123%. Kemudian pada kenaikan biaya investasi sebesar 30% menghasilkan penurunan nilai NPV 368%. Biaya investasi memiliki sensitivitas untuk mengubah keputusan kelayakan pada investasi monorel Yogyakarta jalur Utara-Selatan. Penurunan nilai NPV sampai minus menunjukkan bahwa investasi monorel Yogyakarta dinyatakan tidak layak.
53
Rp6,000
Rp400
Rp5,000
Rp200
Milyar
Milyar
Sensitivitas Biaya Investasi
Rp-
Rp4,000
Rp(200) Rp3,000 Rp(400) Rp2,000
Rp(600)
Rp1,000
Rp(800)
Rp-
Rp(1,000) Biaya Investasi
NPV
Gambar 5.9 Grafik Sensitivitas Biaya Investasi Monorel jalur U-S Dapat dilihat pada tabel dan grafik diatas tentang tingkat kepekaan keputusan investasi terhadap perubahan biaya investasi. Peningkatan biaya investasi sebesar 10% dapat menurunkan nilai NPV 123% dan menjadikan nilai NPV bernilai negatif. Dalam grafik dipaparkan garis kuning yang melambangkan NPV turun bergerak turun dimana penurunan garis tidak sebanding dengan peningkatan bar chart pada biaya investasi. Kesimpulan pada analisis tersebut adalah keputusan investasi sangat sensitif terhadap perubahan biaya investasi. Berikut tabel dan grafik sensitivitas NPV terhadap perubahan biaya investasi pada jalur Timur-Barat. Tabel 5.28 Tabel Sensitivitas Biaya Investasi Monorel Jalur T-B % Change 0% 10% 20% 30%
Biaya Investasi Rp 4,667,956,078,803 Rp 5,134,751,686,683 Rp 5,601,547,294,563 Rp 6,068,342,902,444
NPV Rp 261,160,009,534 Rp (127,489,650,714) Rp (516,139,310,962) Rp (904,788,971,210)
% Change 0% -149% -298% -446%
54
Rp7,000 Rp6,000
Milyar
Sensitivitas Biaya Investasi
Rp5,000 Rp4,000 Rp3,000 Rp2,000 Rp1,000 Rp1
2
3
4
Rp(1,000) Rp(2,000)
Biaya Investasi
NPV
Gambar 5.10 Grafik Sensitivitas Biaya Investasi Monorel jalur T-B Dapat dilihat pada tabel dan grafik diatas tentang tingkat kepekaan keputusan investasi terhadap perubahan biaya investasi. Peningkatan biaya investasi pada jalur Timur-Barat sebesar 10% dapat menurunkan nilai NPV 149% dan nilai NPV bernilai negatif. Dalam grafik dipaparkan garis kuning yang melambangkan NPV turun bergerak turun linier terhadap peningkatan biaya investasi. Keputusan investasi monorel pada jalur Timur-Barat sangat sensitif terhadap perubahan biaya investasi.
5.8.6. Analisis Sensitivitas NPV Terhadap Perubahan Harga Tiket Pendapatan dari tiket diasumsikan dengan harga tiket sebesar Rp 7.500. Beberapa studi monorel di Indonesia menetapkan kemampuan jangkauan harga tiket penumpang berkisar Rp 6.000 – Rp 10.000 (Pemerintah Kota Surabaya, 2014). Harga tiket Rp 7.500 merupakan harga tiket untuk sekali naik. Tiket sekali perjalanan disediakan pada tahapan pertama pembangunan monorel. Analisis sensitivitas digunakan untuk melihat kepekaan keputusan investasi terhadap perubahan kebijakan harga tiket yang diberlakukan. Berikut analisis sensitivitas keputusan investasi terhadap perubahan kebijakan harga tiket pada jalur UtaraSelatan.
55
Tabel 5.29 Tabel Sensitivitas Harga Tiket Monorel Jalur U-S Harga Tiket Rp -20% 6,000 Rp 0% 7,500 Rp 20% 9,000
%Change
NPV Rp (115,109,317,468) Rp 294,552,227,922 Rp 704,213,773,311
%Change -139% 0% 139%
Rp10,000
Rp800
Rp9,000
Rp700
Rp8,000
Rp600
Rp7,000
Rp500
Rp6,000
Rp400
Rp5,000
Rp300
Rp4,000
Rp200
Rp3,000
Rp100
Rp2,000
Rp-
Rp1,000
Rp(100)
Rp-
Milyar
Sensitivitas Harga Tiket
Rp(200) Harga Tiket
NPV
Gambar 5.11 Grafik Sensitivitas Harga Tiket Monorel jalur U-S Berdasarkan tabel dan grafik diatas keputusan investasi sangat sensitif terhadap perubahan harga tiket. Ketika harga tiket mengalami perubahan 20% maka perubahan sebesar 139% terjadi pada keputusan invetasi. Sehingga kebijakan untuk penerapan harga tiket monorel jalur Utara-Selatan sangat sensitif bagi keputusan investasi. Analisis sensitivitas juga dilakukan pada jalur Timur-Barat untuk mengetahui tingkat kepekaan keputusan investasi. Diasumsikan tidak ada perbedaan harga tiket pada jalur Timur-Barat dan Utara-Selatan. Berikut tabel dan grafik sensitivitas NPV terhadap harga tiket.
56
Tabel 5.30 Tabel Sensitivitas Harga Tiket Monorel Jalur T-B Harga Tiket Rp -20% 6,000 Rp 0% 7,500 Rp 20% 9,000
%Change
NPV
%Change
Rp (216,004,345,301) Rp 261,160,009,534 Rp 738,324,364,368
-183% 0% 183%
Rp10
Rp800
Rp9 Rp600
Rp8 Rp7
Milyar
Ribu
Sensitivitas Harga Tiket
Rp400
Rp6 Rp5
Rp200
Rp4 Rp3 Rp2
Rp1
2
3 Rp(200)
Rp1 Rp-
Rp(400) Harga Tiket
NPV
Gambar 5.12 Grafik Sensitivitas Harga Tiket Monorel jalur T-B Pengaruh perubahan harga tiket juga terasa pada perubahan nilai NPV. Pada grafik dijelaskan bahwa perubahan harga tiket dan nilai NPV linier. Keputusan investasi sangat sensitif terhadap perubahan kebijakan pengaturan harga tiket. Terbukti perubahan nilai NPV sebesar 189% dan bernilai negatif sebagai dampak perubahan harga tiket yang hanya 10% saja.
57
5.9.
Analisis Sensitivitas Keputusan Investasi Terhadap Perubahan Penerapan Merek Kereta Analisis dilakukan dengan membandingkan keputusan investasi jika merek
seperti Scomi, Hitachi, dan Changchun Railway sebagai kereta yang dipakai dalam monorel Yogyakarta. Pada tahapan pertama monorel Yogyakarta, perbandingan teknis kereta dapat menjadi solusi ketika dihadapkan pada trade off berupa kualitas, kenyamanan penumpang, ataupun kelayakan secara finasial dalam estimasi biaya investasi monorel Yogyakarta. Berikut tabel dan grafik detail teknis perbandingan jenis monorel.
Tabel 5.31 Tabel Perbandingan Teknis Kereta Berdasarkan Merk
Merek Monorel Kecepatan (kilometer/jam) Waktu Tempuh dari stasiun 1-22 (menit) Kapasitas Gerbong (penumpang) Biaya per gerbong (Milyar) Headway Minimum Jalur U-S (menit) Headway Minimum Jalur T-B (menit)
Bombardier Innovia 300
Hitachi Standart Type
CNR Changchun Railway Vehicle
80
80
80
90
41
41
41
32
125
138
190
106
Rp
12.3
Rp
12.8
Rp
11.7
Scomi Sutra (2nd Generation)
Rp
19.4
4
4.4
6.4
2.6
3.4
3.8
5.5
2.2
Pada tabel diatas dijelaskan tentang perbandingan detail teknis kereta berdasarkan merek. Dari segi kecepatan Scomi Sutra (2nd Generation) paling unggul dengan kecepatan sampai 90 km/jam. Sementara untuk kapasitas gerbong CNR Changchun dengan kapasitas penumpang per gerbong terbanyak
58
dibandingkan merek lainnya. Dan berdasarkan harga beli per gerbong tanpa dipengaruhi economic of scale, CNR Changchun memiliki biaya paling rendah untuk investasi kereta. Sedangkan kenyamanan penumpang lebih dikedepankan oleh Scomi Sutra (2nd Generation) sehingga kapasitas angkut per gerbong hanya mencapai 106 per orang. Perbedaan kapasitas gerbong pada setiap merk memberikan pengaruh pada jumlah headway yang dibutuhkan untuk mencapai target penumpang per hari sejumlah 286.000 perjalanan/hari. Berikut gambar grafik perbandingan headway berdasarkan kapasitas gerbong.
Grafik Perbandingan Headway Berdasarkan Kapasitas Gerbong 200
7 6 5 4 3 2 1 0
150 100 50 0 Bombardier Innovia 300
Hitachi Standart Type
Headway Minimum Jalur U-S (menit)
CNR Changchun Railway Vehicle
Scomi Sutra (2nd Generation)
Headway Minimum Jalur T-B (menit)
Kapasitas Gerbong (penumpang)
Gambar 5.13 Grafik Perbandingan Headway Berdasarkan grafik diatas dapat ditunjukkan bahwa perubahan headway minimum dipengaruhi oleh kapasitas gerbong. Pada monorel Yogyakarta dengan desain guideway yang hanya mampu menopang 4 rangkaian gerbong per kereta, nilai headway sangat sensitif terhadap perubahan kapasitas gerbong. Dikarenakan nilai headway sensitif terhadap perubahan kapasitas gerbong, maka perubahan kapsitas gerbong pada setiap jalur memiliki sensitivitas pada perubahan jumlah kereta setiap jalur. Besaran biaya investasi gerbong dan hasil keputusan investasi ikut dipengaruhi oleh perubahan jumlah kereta pada setiap jalur. Perubahan kapasitas gerbong diikuti perubahan harga gerbong pada pemilihan merek kereta yang digunakan sebagai alternatif kereta dalam monorel
59
Yogyakarta. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keputusan investasi sangat sensitif terhadap pemilihan merek kereta yang didasrkan pada harga gerbong dan kapasitas gerbong. Berikut tabel dan grafik perubahan nilai investasi dan keputusan investasi pada monorel Yogyakarta berdasarkan penerapan merek kereta yang berbeda.
Tabel 5.32 Tabel Perubahan Keputusan Investasi Berdasarkan Penerapan Setiap Jenis Kereta Pada Monorel Yogyakarta Jenis Kereta Keterangan
Bombardier (125 Pnp)
Total Investasi Jalur U-S (Milyar) Net Present Value US (Milyar) Total Investasi Jalur T-B (Milyar) Net Present Value TB (Milyar)
Rp 4,344 Rp 294 Rp 4,667 Rp 261
Hitachi Standart Type (138 Pnp) Rp 4,285 Rp 378 Rp 4,599 Rp 359
CNR Changchun (190 Pnp)
Scomi Sutra (106 Pnp)
Rp 3,929 Rp 832 Rp 4,183 Rp 890
Rp 5,221 Rp (860) Rp 6,083 Rp (1,086)
Rp1,000
Rp25
Rp500
Rp20
Rp-
Rp15
Rp(500)
Rp10
Rp(1,000)
Milyar
Milyar
Grafik Perbandingan Penerapan Kereta
Rp5
Rp(1,500)
RpBombardier (125 Pnp)
Hitachi Standart Type (138 Pnp)
Net Present Value U-S
CNR Changchun (190 Pnp)
Net Present Value T-B
Scomi Sutra (106 Pnp) Biaya per Car
Gambar 5.14 Grafik Perubahan Penerapan Jenis Kereta Pada tabel diatas menjelaskan tentang pengaruh dari perubahan jenis kereta yang dipakai dalam sistem monorel Yogyakarta. CNR Changchun tetap menjadi
60
alternatif terbaik sebagai jenis kereta yang unggul dalam penghematan biaya investasi. Sedangkan Bombardier dan Hitachi bersaing untuk memaksimalkan biaya investasi dengan kapasitas dan harga gerbong yang tidak jauh berbeda. Penerapan Scomi Sutra pada sistem monorel Yogykarta dinilai tidak layak dikarenakan biaya investasi besar namum nilai NPV tidak memenuhi syarat kelayakan. Kemudian pada grafik diatas juga dijelaskan bahwa keputusan investasi dipengaruhi oleh harga gerbong. Harga gerbong untuk Scomi-Sutra dinilai paling mahal dengan kapasitas yang paling sedikit dibandingkan merek lainnya. Nilai NPV untuk Changchun Railway paling tinggi dengan biaya per gerbong yang paling murah. Untuk Bombardier Innovia 300, Hitachi, dan Chungchun Railway dapat menjadi alternatif penerapan kereta dalam monorel Yogyakarta. Kehandalan aset yang dilihat dari economic life juga dibandingkan antar alternatif merk kereta. Menurut Gopalakrishnan dan Barenji (1997), bahwa kehandalan suatu asset tidak hanya bergantung pada satuan waktu dan kegiatan perwatan saja. Kehandalan suatu aset yang dikaitkan oleh nilai waktu dan biaya yang dikeluarkan disebut economic life. Hasil perhitungan economic life berdasarkan rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk operasional dan perawatan per tahun dapat dilihat di lampiran 9. Berikut tabel perbandingan economic life pada alternatif merk kereta. Tabel 5.33 Tabel Perbandingan Economic Life Antar Merk Kereta
Merk Kereta Economic Life (Jalur US) Economic Life (Jalur TB)
Bombardier Innovia 300 15 tahun 15 tahun
Hitachi 15 tahun 15 tahun
CNR Changchun Railway Vehicle
Scomi Sutra 2nd
15 tahun
16 tahun
15 tahun
16 tahun
Dari tabel diatas Scomi Sutra 2nd memiliki umur ekonomis sampai 16 tahun. Bombardier Innovia 300, Hitachi, dan CNR Changchun Railway hanya memiliki umur ekonomis selama 15 tahun. Walaupun umur fisik dari masing-masing merk berkisar antara 25-30 tahun. Perhitungan umur ekonomis ditujukan untuk melihat
61
titik atau periode ketika biaya yang paling minimal dapat ditekan pada perawatan aset. Kemudian opsi pergantian atau pembelian aset baru dapat dilakukan sesuai dengan alternatif merk yang dipilih.
5.10. Prediksi Harga Tiket Berdasarkan Rasio Pembiayaan Antara Pemerintah dan Investor Prediksi harga tiket ditentukan dari total biaya monorel per kilometer dibagi dengan jumlah penumpang setiap hari per kilometer dikalikan dengan jumlah hari. Jumlah hari sebagai jumlah hari operasi monorel dalam setahun. Untuk jumlah penumpang per hari diasumsikan konstan sesuai dengan target penumpang (Ghafooripour dkk, 2011). Menurut Ghafooripour dkk (2011), durasi waktu untuk pengembalian modal yang menarik bagi investor antara 5-10 tahun. Skenario rasio perbandingan jumlah investasi yang dikeluarkan antara pemerintah dan investor berdasarkan payback yang dicapai dimanfaatkan sebagai metode untuk prediksi harga tiket. Skenario perbandingan rasio pembiayaan monorel antara pemerintah dan investor adalah 100% : 0%, 76% : 24%, 50% : 50%, 26% : 74%, 0% : 100%. Perbandingan rasio ini menunjukan besar investasi yang dikeluarkan pemerintah maupun investor. Rasio diartikan sebagai total keseluruhan modal yang dikeluarkan pemerintah atau investor dibandingkan dengan total biaya investasi monorel. Analisis harga tiket monorel dilakuan pada masing-masing jalur monorel. Asumsi pengembalian modal pada pemerintah dan investor berbeda untuk setiap jalur. Perbedaan asumsi disebabkan oleh jumlah prediksi penumpang per hari yang berbeda antara jalur Utara-Selatan dan Timur-Barat. Pada jalur Utara-Selatan diasumsikan pengembalian modal untuk investor dalam waktu 10 tahun, sedangkan pemerintah pada tahun operasi ke 14. Kemudian untuk jalur Timur-Barat diasumsikan investor dapat balik modal pada tahun ke 9, sedangkan payback untuk pemerintah dalam waktu 12 tahun. Berdasarkan perhitungan prediksi harga tiket didapatkan harga yang pantas diterapkan oleh investor dan pemerintah. Berikut grafik hasil prediksi harga tiket dari scenario yang dilakukan.
62
Harga Tiket Rp10,000
Prediksi Harga Tiket Berdasarkan Skenario Pembiayaan Rp8,390
Rp9,000 Rp7,712
Rp8,000 Rp7,000
Rp8,998
Rp6,568
Rp7,035
Rp6,000
Rp5,000 Rp4,000 Rp3,000 Rp2,000 Rp1,000 Rp100% : 0%
76% : 24%
50% : 50%
24% : 76%
0% : 100%
Rasio Pemerintah : Investor
Gambar 5.15 Grafik Prediksi Harga Tiket Jalur Utara-Selatan Pada grafik diatas ditunjukkan bahwa prediksi harga tiket terendah adalah ketika investasi monorel dilakukan seluruhnya oleh pemerintah. Untuk rasio investasi pemerintah 76% dari total biaya investasi dan investor dengan 24% dari biaya investasi didapatkan harga Rp 7100. Ketika total investasi seluruhnya ditanggung oleh investor maka harga tiket yang dapat diterapkan untuk balik modal 10 tahun adalah Rp 9000. Berdasarkan grafik diatas, dengan berkurangnya rasio modal yang dikeluarkan oleh pemerintah harga mengalami peningkatan. Peningkatan harga tiket disebabkan oleh semakin besar modal yang dikeluarkan oleh investor, dikarenakan terpacu pada kecepatan pengembalian modal.
63
Harga Tiket
Prediksi Harga Tiket Berdasarkan Skenario Pembiayaan
Rp10,000 Rp9,000 Rp8,000 Rp7,000
Rp6,916
Rp7,507
Rp8,069
Rp8,630
Rp9,221
Rp6,000 Rp5,000 Rp4,000 Rp3,000 Rp2,000 Rp1,000 Rp-
100% : 0%
76% : 24%
50% : 50%
24% : 76%
0% : 100%
Rasio Pemerintah : Investor
Gambar 5.16 Grafik Prediksi Harga Tiket Jalur Timur-Barat Harga tiket pada jalur Timur-Barat diprediksi mencapai Rp 9300 pada rasio pembiayaan pemerintah 0% dan Investor 100%. Pada grafik diatas dijelaskan bahwa harga tiket terendah yaitu Rp 7000. Tingkat pengembalian modal yang diasumsikan untuk pemerintah dan investor konstan untuk scenario perbandingan rasio. Harga tiket mengalami kenaikan ketika pemerintah menurunkan jumlah modal dan peningkatan jumlah modal dilakukan investor. Pada rasio 50% banding 50% harga tiket diprediksi mencapai Rp 8100. Kemudian ketika rasio pemerintah banding investor menjadi 24% banding 76% harga tiket diprediksi Rp 8700.
5.11. Pengaruh Inflasi Terhadap Keputusan Investasi Monorel Yogyakarta pada Jalur Utara-Selatan dan Timur-Barat Dalam analisa kelayakan investasi monorel Yogyakarta diterapkan pengaruh dari inflasi yang disesuaikan dengan target inflasi Bank Indonesia tahun 2015. Menurut Bank Indonesia tahun 2015 target inflasi sebesar 4,5%. Target inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia. Pada
64
analisa keputusan investasi monorel Yogyakarta jalur Utara-Selatan dan TimurBarat dilakukan penambahan pengaruh inflasi. Menurut Tarquin dan Blank (2005), tingkat inflasi mempengaruhi interest rate dari investasi monorel Yogyakarta. Dapat diartikan bahwa tingkat inflasi ditambahkan pada tingkat bunga yang dipergunakan (Minimum Attractive Rate of Return). Berikut tabel perubahan nilai MARR setelah dilakukan penambahan tingkat inflasi. Tabel 5.34 Tabel Perubahan MARR setelah dilakukan penambahan laju inflasi real interest rate (MARR) 11.25%
Inflation rate 4.5%
interest rate addjusted inflation 16%
Sehingga tingkat bunga yang dipergunakan pada analisa investasi mengalami kenaikan dari 11,25% menjadi 16%. Perubahan yang disebabkan oleh inflasi pada MARR atau tingkat bunga yang dipergunakan juga terjadi pada suku bunga kredit atau pinjaman. Berikut tabel perubahan suku bunga kredit pinjaman. Tabel 5.35 Tabel Perubahan suku bunga kredit setelah dilakukan penambahan laju inflasi suku bunga kredit
laju inflasi
10%
4.5%
suku bunga kredit ditambahkan laju inflasi 15%
Perubahan pada suku bunga kredit terjadi akibat laju inflasi. Berdasarkan tabel diatas peningkatan bunga kredit atau pinjaman dari 10% menjadi 15%. Tarquin & Blank (2005) menambahkan bahwa pengaruh inflasi berdampak pada besar pendapatan yang diperoleh dan pengeluaran yang diterima di masa mendatang. Untuk mengetahui pengaruh dari inflasi maka dibuat perbandingan dengan analisa kelayakan investasi dengan inflasi dan analisa kelayakan investasi tanpa inflasi. Berikut tabel dan grafik perubahan analisa kelayakan investasi akibat laju inflasi.
65
Tabel 5.36 Tabel Perubahan Net Present Value Terhadap Laju Inflasi Analisa Kelayakan Investasi Monorel Yogyakarta Jalur Utara-Selatan Jalur Timur-Barat
Net Present Value Tanpa Inflasi
Inflasi
Rp 294,552,227,922 Rp 261,160,009,534
Rp 104,509,503,445 Rp 57,329,446,781
MILYAR
BREAKEVEN JALUR U-S Rp400 Rp200 RpRp(200) Rp(400)
Rp(600) Rp(800) Rp(1,000) Rp(1,200) Rp(1,400) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Without Inflation
With Inflation
Gambar 5.17 Grafik Breakeven Point Jalur Utara-Selatan
Laju Inflasi berpengaruh pada analisis kelayakan investasi dengan menurunkan NPV sebagai indicator kelayakan suatu investasi. Pada tabel diatas NPV pada jalur Utara-Selatan mengalami penurunan dari Rp 294.552.227.922 menjadi Rp 104.509.503.445. Kemudian pada Jalur Timur-Barat nilai NPV yang semula sebesar Rp 261.160.009.534 mengalami penurunan menjadi Rp 57.329.446.781.
66
MILYAR
BREAKEVEN JALUR T -B Rp400 Rp200 RpRp(200) Rp(400) Rp(600) Rp(800) Rp(1,000) Rp(1,200) Rp(1,400) Rp(1,600) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Without Inflation
With Inflation
Gambar 5.17 Grafik Breakeven Point Jalur Timur-Barat
Pengaruh negatif dari inflasi tidak hanya dalam segi penurunan nilai NPV, namun juga terjadi pada peningkatan resiko pengembalian modal. Berdasarkan grfaik diatas, dapat dilihat bahwa pada Jalur Utara-Selatan titik pengembalian modal atau titik impas (Breakeven Point) terjadi perubahan dari 12 tahun menjadi 18 tahun. Pada jalur Timur-Barat perubahan titik impas juga mengalami perubahan dari 12,5 tahun menjadi 18 tahun. Dapat disimpulkan bahwa pengaruh laju inflasi terjadi pada keputusan investasi ditandai oleh penurunan nilai NPV dan peningkatan resiko akibat perubahan titik impas pada pengembalian modal.
BAB VI PENUTUP
6.1. Kesimpulan Berdasarkan urian dan hasil penelitian terkait analisis kelayakan investasi dan sensitivitas investasi monorel Yogyakarta dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Keputusan investasi pada monorel Yogyakarta di jalur Utara-Selatan dinyatakan layak dengan nilai NPV sebesar Rp 294.552.227.922. Kemudian untuk monorel Yogyakarta pada jalur Timur-Barat dinyatakan layak dengan nilai NPV sebesar Rp 261.160.009.534.
2. Parameter yang diuji adalah jumlah penumpang, pendapatan non tiket, biaya operasional, biaya perawatan, biaya investasi, dan harga tiket. Keputusan investasi pada jalur Utara-Selatan dan Timur-Barat dinilai sangat sensitif terhadap perubahan biaya investasi. Keputusan investasi jalur Timur-Barat sensitif terhadap perubahan biaya perawatan, volume penumpang, pendapatan non tiket, dan harga tiket. Keputusan investasi jalur Utara-Selatan sensitif terhadap perubahan volume penumpang, pendapatan non tiket, dan harga tiket. Keputusan investasi pada jalur Timur-Barat tidak sensitif terhadap perubahan biaya operasional, sedangkan keputusan investasi pada jalur Utara-Selatan tidak sensitif terhadap perubahan biaya operasional dan perawatan. Pengaruh inflasi berdampak negatif terhadap kelayakan investasi monorel Yogyakarta. Penurunan nilai NPV dan peningkatan resiko pengembalian modal adalah dampak dari laju inflasi 4,5% per tahun.
3. Perubahan jenis kereta pada monorel Yogyakarta sangat berpengaruh terhadap keputusan investasi. Keputusan investasi sangat sensitif 67
68
terhadap pemilihan jenis kereta yang didasarkan pada perbedaan harga dan kapasitas gerbong pada setiap jenis kereta. Umur ekonomis kereta juga dijadikan bahan pertimbangan dalam pemilihan jenis kereta.
4. Perbedaan
rasio
pembiayaan
antara
pemerintah
dan
investor
mempengaruhi perubahan pada harga tiket yang akan diterapkan. Tingkat pengembalian modal yang diasumsikan konstan pada setiap perubahan rasio. Semakin besar rasio pembiayaan investor maka harga tiket mengalami peningkatan. Penurunan harga tiket terjadi saat peningkatan rasio pembiayaan pemerintah.
6.2. Saran Pada penelitian selanjutnya dapat dikembangkan serta disempurnakan untuk detail estimasi biaya dan pendapatan. Pertimbangan ketepatan waktu proyek dalam mempengaruhi keputusan investasi juga perlu dilakukan. Kemudian penerapan metode analisis sensitivitas dengan perubahan 2 atau 3 faktor secara bersamaan dapat menjadi perhatian untuk topik penelitian berikutnya.
69
DAFTAR PUSTAKA
Agustine, F., 2013, Detik Finace,
(16 Februari 2015) Ceder, A., Roberts, M., dan Schermbrucker, R. 2013, Investigation of SkyCabs Monorail System in Urban Regions, Journal of Geoscience and Environment Protection, pp 96-113. Badan Pusat Stastistika Yogyakarta, 2015, “Publikasi.” yogyakarta.bps.go.id. 15 January. Diakses April 18, 2015, http://yogyakarta.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Daerah-IstimewaYogyakarta-Dalam-Angka-2014.pdf. Bastiar, C., dan Wahju H. 2013, Perencanaan Stasiun Pembertian Monorel Koridor Timur-Barat Surabaya Studi Kasus: Jalan Mayjen Sungkono, JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, pp 1-6. Baumgartner, J.P, 2001, Price and Cost in Railway Sector. Paris: Ecole Polytechnique Federale De Laussane. Bazant, M., dan Josef ,L. 2013, ecs.steyr.com (27 April 2015) Bergonovo, E., dan Peccati, L. 2004, Sensitivity Analysis in Investment Project Evaluation, Journal of Production Economics, pp 17-25. Bombardier Transportation, 2014, Rail Vehicle, <www.bombardier.com%2Fen%2Ftransportation%2Fproductsservices%2Frail-vehicles%2Fautomated-people-movers.html> (15 Oktober 2015) Bray, D., & Sayeg, P. (2013), Private sector involvement in urban rail: Experience and lessons from South. Journal Transportation Economics, pp 191-201.
70
71
Damanik, C., 2014, Ini estimasi harga tiket monorel (10 November 2014)
di
bandung.
Deswindi, L., 2005, Studi kelayakan finansial dan penentuan komposisi penumpang sarana transportasi massal monorail dengan berbagai skenario jumlah penumpang : studi kasus jalur monorail Kampung Melayu-Roxy, Jurusan Teknik Industri, Universitas Indonesia. Dinas Perhubungan Kota Bandung, 2014, Prastudi Kelayakan Monorel Bandung Koridor 1 dan 2, Pemerintah Kota Bandung, Bandung. Bergonovo, E., dan Peccati, L., 2006, The Importance of Assumptions in Investment Evaluation, Production Economic 298-311. Ghafooripour, Ogwuda, & Rezaei, 2012, An Efficient-Cost Analysis of Monorail in The Middle East Using Statistics of Existing Monorail and Metro Models, Journal Transportation Economic. Guruh,
2014, pajak iklan di tiang monorel jadi bancakan. (25 Januari 2015).
Husnan, S., dan Muhammad, S., 1994, Studi Kelayakan Proyek , UPP AMP YKPN, Yogyakarta Bombardier Inc, 2010, Bombardier Innovia 300, , (19 Januari 2015) Indonesia Investment Coordinating Board, 2010, Investment Procedure Taxation, http://www.bkpm.go.id/mobile/content/p14.php?m=14&l=1&i=88, (25 Januari 2015) Jovanovic, P., 1999, Application of Sensitivity Analysis in Investment Project Evaluation Under Uncertainty and Risk, Journal Project Management pp 217222. Kusumo, Y.T., 2014, Analisis Kelayakan Finansial Proyek Pembangunan Kereta Api Komuter Studi Kasus: Koridor Jakarta-Serpong, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada. Monorail Society, 2015, (19 Januari 2015)
72
McLaney, E., 2006, Business Finance Theory and Practice, Pearson Education Limited, London. Muhammad, A.R., 2015, Penyusutan Menurut Fiskal. (25 Januari 2015) Myers, S., & Brealey, R., 2000, Principles of Corporate Finance Sixth Edition, The McGraw-Hill, San Francisco. National Development Planning Agency Republic of Indonesia, 2013, Public Private Partnerships Infrastructure Project Plan in Indonesia, National Development Planning Agency, Jakarta. Newnan, D.G., 1990, Engineering Economic Analysis, Engineering Press Inc, California. Pariwara Billboard, 2014, Iklan Billboard Indonesia, (25 Januari 2015) Pemerintah Kota Manado, 2013, Analisis Potensi Layanan dan Jaringan Monorel di Kota Manado, Pemerintah Kota Manado, Manado. Dinas Perhubungan, 2013, Surabaya Mass Rapid Transportation, Pemerintah Kota Surabaya, Surabaya. Pemerintah Republik Indonesia, 2015, pp-nomor-6-tahun-2015, (20 Maret 2015) Percoco, M., dan Bergonovo, E., 2012. A Note on Sensitivity Analysis of The Internal Rate of Return, Production Economic pp 526-529. PT KAI COMMUTER JABODETABEK, 2015, c-marketing. (7 Januari 2015) PT.
Megah Alam Semesta, 2011, jasa-pemasangan-kabel-fiber-optic.. (25 Maret 2015)
Railway Gazette, 2011, scomi-wins-line-17-monorail-project-in-sao-paulo. (17 Maret 2015)
73
Railway-Technology, 2011, Projects, (20 Februari 2015) Raju, S., 2008, Project NPV; Positive Externalities - The Kansas City Light Rail Project, Journal of Public Transportation pp 59-89. Rashid, R., 2013, Bombardier Monorail (27 Mei 2015) Ridwan, M., 2013, ahok-minta-dibuatkan-pergub-jualbeli-pemasangan-fiber-optic, (20 Mei 2015) Scomi
Engineering Bhd, 2014, NewsRelease scomigroup.com, (7 Maret 2015)
Scomi
Rail, 2014, Scomi Rail Product Brochure, (25 April 2015)
Shen, J., 2009, A choice experiment approaching evaluating public transportation projects, Applied Economic Letters pp 557-561. Shen, W.W., 2014, Bussines-News, (19 April 2015) Shih, T.Y., dan Charles, V.T., 2008, The Sensitivity Analysis of International Investment Decision Model, Operational Research pp 60-67. Soeharto, I., 1997, Manajemen Proyek, Penerbit Erlangga, Jakarta. Sullivan, W.G., John, A.W., dan John, R.C., 1996, Capital Investment Analysis and Management for Engineering, Prentice Hall, New Jersey. Tarquin, A., dan Leland, B., 2005, Engineering Economy, McGraw-Hill, New York. Tim Penyusun Rencana Perkeretaapian Perkotaan Yogyakarta, 2014, “Kajian Rencana Pengembangan Transportasi Perkeretaapian di Perkotaan Yogyakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
74
Urbanaut Monorail Technology, 2009, (25 Sepetember 2014) Vassilakos, Greg, 2014, monospec, vassilakos.com/monospec/monospec.htm> (10 April 2015)
75
LAMPIRAN
Lampiran 1. Harga Sewa Iklan dan Ruang
Lampiran 1.1. Harga Penawaran Iklan Pada Kereta (PT.Kereta Api Indonesia Daerah Operasi 6) Harga Penewaran Iklan Kereta Lokomotive Branding
Body Branding
Bantal Cover Seat Wall Panel Ceiling Panle Tv KA
Harga Durasi Iklan (bulan) (Juta) 3 bulan Rp350 6 bulan Rp650 12 bulan Rp1,200 3 bulan Rp120 6 bulan Rp200 12 bulan Rp350 12 bulan Rp230 12 bulan Rp230 12 bulan Rp9 12 bulan Rp9 12 bulan Rp90
Satuan 2 sisi 2 sisi 2 sisi 2 sisi 2 sisi 2 sisi per gerbong/kereta per gerbong/kereta per m2 per m2 per gerbong/kereta isi 2 tv
76
Lampiran 1.2. Harga Penawaran Iklan Pada Stasiun (PT.Kereta Api Indonesia Daerah Operasi 6)
Harga Penawaran Iklan Stasiun Hanging LED
Satuan
Standing LED
60 inch 60 inch/m2
Megatrun
m2
Billboard LED Box Hanging Bannner
m2 m2 unit
Standing Banner
unit
Standing Free Charge Sticker Lantai
m2
Sticker dinding
m2
Sticker Tangga
unit
Sticker Escalator
unit
Sticker Kolom
m2
Sticker Langit
m2
Sticker Toilet
m2
Sticker Ticketing
m2
Kursi Tunggu
set
Sclupture
m2
Durasi 12 bulan 12 bulan 12 bulan 12 bulan 24 hari 24 hari 12 bulan 12 bulan 12 bulan 12 bulan 12 bulan 12 bulan 12 bulan 12 bulan 12 bulan 12 bulan 12 bulan 12 bulan
Harga Iklan Rp18,000,000 Rp24,000,000 Rp15,000,000 Rp16,000,000 Rp16,000,000 Rp8,500,000 Rp8,500,000 Rp25,000,000 Rp15,000,000 Rp15,000,000 Rp180,000,000 Rp220,000,000 Rp15,000,000 Rp15,000,000 Rp15,000,000 Rp15,000,000 Rp20,000,000 Rp14,000,000
77
Lampiran 1.3. Gambar Lokasi Sewa Iklan Monitor Pada Kereta (PT KRL Commuter Jabodetabek)
78
Lampiran 1.4. Gambar Contoh Sewa Iklan Hanging LED (Surabaya Mass Rapid Transit)
79
Lampiran 2. Biaya Investasi
Lampiran 2.1. Tabel Estimasi Biaya Monorel Bandung (Dinas Perhubungan Kota Bandung, 2014)
Uraian Pekerjaan Pekerjaan Konstruksi Rel Pembangunan Stasiun Pembangunan Depo Pekerjaan Sinyal Kereta (4 Car)
Monorel Bandung (20km) Harga Presentase dari Investasi Rp 2,223,936,087,454 51% Rp 669,556,900,033 15% Rp 550,000,000,000 13% Rp 110,915,675,794 3% Rp 800,000,000,000 18% Total Investasi Rp 4,354,408,663,281
80
Lampiran 2.2. Tabel Variabel Spesifikasi Monorel Surabaya (Pemerintah Kota Surabaya, 2014)
Variabel Panjang Jalur Lokasi Depo Total Stasiun Jarak Antar Stasiun Pengguna Per tahun Biaya Investasi Kapasitas Jalur Harga Ekonomis Headway Kemampuan Bayar Subsisdi Pemerintah Jumlah Kereta
Monorel 23 km Kineran 23 500 - 2000 meter 43.717.742 8.505.801.575.303 4 kereta 37.000-40.000 10 menit 6000-10.000 27.500 18 Unit
Lampiran 2.3. Tabel Spesifikasi Teknis Kereta Menurut Merek Bombardier Innovia 300
Hitachi Standart Type
CNR Changchun Railway Vehicle
Scomi Sutra (2nd Generation)
Kecepatan (kilometer/jam)
80
80
80
90
Waktu Tempuh dari stasiun 1-22 (menit)
41
41
41
32
Kapasitas Gerbong (penumpang)
125
138
190
106
Rp 12,380,952,381
Rp 12,883,928,571
Rp 11,797,752,809
4
4.4
6.4
2.6
3.4
3.8
5.5
2.2
Rp 4,344,950,956,824 Rp 294,552,227,922
Rp 4,285,952,235,596 Rp 378,482,590,362
Rp 3,929,281,426,090 Rp 832,521,441,643
Total Investasi Jalur TB
Rp 4,667,956,078,803
Rp 4,599,235,723,994
Rp 4,183,793,760,692
Net Present Value T-B
Rp 261,160,009,534
Rp 359,601,620,769
Rp 890,248,940,811
Rp(1,086,011,756,815)
11
9
1
4
Jenis Monorel
Biaya per Car Headway Minimum Jalur U-S (menit) Headway Minimum Jalur T-B (menit) Total Investasi Jalur US Net Present Value U-S
Jumlah Tempat Operasi
Rp
19,454,861,111
Rp 5,221,646,572,806 Rp (860,926,546,080) Rp 6,083,470,386,995
81
82
Lampiran 3. Depresiasi
Lampiran 3.1. Tabel Depresiasi Jalur Utara-Selatan (Milyar) Tahun
Bangunan
Kereta Salvage Value
Total Depresiasi
SLD 5%
SLD 5%
SLD 5%
SLD 5%
SLD 5%
SLD 5%
DBD 10%
1
Rp
89
Rp
5
Rp
10
Rp
16
Rp
29
Rp
7
Rp 103
Rp
258
2
Rp
85
Rp
4
Rp
9
Rp
16
Rp
28
Rp
7
Rp
92
Rp
241
3
Rp
85
Rp
4
Rp
9
Rp
16
Rp
28
Rp
7
Rp
83
Rp
231
4
Rp
85
Rp
4
Rp
9
Rp
16
Rp
28
Rp
7
Rp
75
Rp
223
5
Rp
85
Rp
4
Rp
9
Rp
16
Rp
28
Rp
7
Rp
67
Rp
216
6
Rp
85
Rp
4
Rp
9
Rp
16
Rp
28
Rp
7
Rp
61
Rp
209
7
Rp
85
Rp
4
Rp
9
Rp
16
Rp
28
Rp
7
Rp
55
Rp
203
8
Rp
85
Rp
4
Rp
9
Rp
16
Rp
28
Rp
7
Rp
49
Rp
197
9
Rp
85
Rp
4
Rp
9
Rp
16
Rp
28
Rp
7
Rp
44
Rp
192
10
Rp
85
Rp
4
Rp
9
Rp
16
Rp
28
Rp
7
Rp
40
Rp
188
83
Kereta
Bangunan
Tahun 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
SLD 5% Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85
SLD 5% Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4
SLD 5% Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9
SLD 5% Rp 16 Rp 16 Rp 16 Rp 16 Rp 16 Rp 16 Rp 16 Rp 16 Rp 16 Rp 16
SLD 5% Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28
SLD 5% Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7
DBD 10%
Total Salvage Depresiasi Value
Rp
36
Rp 184
Rp
32
Rp 180
Rp
29
Rp 177
Rp
26
Rp 174
Rp
24
Rp 172
Rp
21
Rp 169
Rp
19
Rp 167
Rp
17
Rp 165
Rp
15
Rp 164
Rp
14
Rp 125
Rp 162
84
Lampiran 3.2. Tabel Depresiasi Jalur Timur-Barat (Milyar)
Kereta
Bangunan
Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
SLD 5% Rp 89 Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85
SLD 5% Rp 5 Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4
SLD 5% Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9
SLD 5% Rp 25 Rp 23 Rp 23 Rp 23 Rp 23 Rp 23 Rp 23 Rp 23 Rp 23 Rp 23
SLD 5% Rp 29 Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28
SLD 5% Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7
DBD 10%
Total Salvage Depresiasi Value
Rp 120
Rp
283
Rp 108
Rp
263
Rp
97
Rp
252
Rp
87
Rp
243
Rp
79
Rp
234
Rp
71
Rp
226
Rp
64
Rp
219
Rp
57
Rp
213
Rp
52
Rp
207
Rp
46
Rp
202
85
Kereta
Bangunan
Tahun 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
SLD 5% Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85 Rp 85
SLD 5% Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4 Rp 4
SLD 5% Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9 Rp 9
SLD 5% Rp 23 Rp 23 Rp 23 Rp 23 Rp 23 Rp 23 Rp 23 Rp 23 Rp 23 Rp 23
SLD 5% Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28 Rp 28
SLD 5% Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7 Rp 7
DBD 10%
Salvage Value
Rp
42
Rp
38
Rp
34
Rp
30
Rp
27
Rp
25
Rp
22
Rp
20
Rp
18
Rp
Rp 16 146
Total Depresiasi Rp 197 Rp 193 Rp 189 Rp 186 Rp 183 Rp 180 Rp 178 Rp 175 Rp 173 Rp 172
86
Lampiran 4. Biaya Operrasional Kereta Berdasarkan Jenis Jenis monorail
Jalur Utara-Selatan
Bombardier Timur-Barat Hitachi Standart Type
Utara-Selatan Timur-Barat
CNR Changchun Railway Vehicle Scomi-Sutra (2nd Generation)
Utara-Selatan Timur-Barat Utara-Selatan Timur-Barat
Kwh x rupiah Rp 84,672,000 Rp 98,624,000 Rp 87,318,000 Rp 101,706,000 Rp 87,318,000 Rp 101,706,000 Rp 84,672,000 Rp 98,624,000
Biaya kwh x rupiah/tahun Rp 30,905,280,000 Rp 35,997,760,000 Rp 31,871,070,000 Rp 37,122,690,000 Rp 31,871,070,000 Rp 37,122,690,000 Rp 30,905,280,000 Rp 35,997,760,000
87
Lampiran 5. Perhitungan Finanasial Cash Flow Lampiran 5.1. Perhitungan Finansial Jalur Utara-Selatan (Milyar) Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
principal Rp 3,041 Rp 2,988 Rp 2,930 Rp 2,866 Rp 2,795 Rp 2,717 Rp 2,632 Rp 2,538 Rp 2,434 Rp 2,320
payment Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357
interest Rp 304 Rp 299 Rp 293 Rp 287 Rp 280 Rp 272 Rp 263 Rp 254 Rp 243 Rp 232
principal repaid Rp 53 Rp 58 Rp 64 Rp 71 Rp 78 Rp 86 Rp 94 Rp 103 Rp 114 Rp 125
principal remainning Rp 2,988 Rp 2,930 Rp 2,866 Rp 2,795 Rp 2,717 Rp 2,632 Rp 2,538 Rp 2,434 Rp 2,320 Rp 2,195
88
Tahun 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
principal Rp 2,195 Rp 2,057 Rp 1,906 Rp 1,739 Rp 1,556 Rp 1,354 Rp 1,132 Rp 888 Rp 620 Rp 325
payment Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357
interest Rp 220 Rp 206 Rp 191 Rp 174 Rp 156 Rp 135 Rp 113 Rp 89 Rp 62 Rp 32
principal repaid Rp 138 Rp 152 Rp 167 Rp 183 Rp 202 Rp 222 Rp 244 Rp 268 Rp 295 Rp 325
principal remainning Rp 2,057 Rp 1,906 Rp 1,739 Rp 1,556 Rp 1,354 Rp 1,132 Rp 888 Rp 620 Rp 325 Rp 0
89
Lampiran 5.2. Perhitungan Finansial Jalur Timur-Barat (Milyar)
Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
principal Rp 3,268 Rp 3,211 Rp 3,148 Rp 3,079 Rp 3,003 Rp 2,919 Rp 2,827 Rp 2,726 Rp 2,615 Rp 2,493
payment Rp 384 Rp 384 Rp 384 Rp 384 Rp 384 Rp 384 Rp 384 Rp 384 Rp 384 Rp 384
interest Rp 327 Rp 321 Rp 315 Rp 308 Rp 300 Rp 292 Rp 283 Rp 273 Rp 262 Rp 249
principal repaid Rp 57 Rp 63 Rp 69 Rp 76 Rp 84 Rp 92 Rp 101 Rp 111 Rp 122 Rp 135
principal remainning Rp 3,211 Rp 3,148 Rp 3,079 Rp 3,003 Rp 2,919 Rp 2,827 Rp 2,726 Rp 2,615 Rp 2,493 Rp 2,358
90
Tahun 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
principal Rp 2,195 Rp 2,057 Rp 1,906 Rp 1,739 Rp 1,556 Rp 1,354 Rp 1,132 Rp 888 Rp 620 Rp 325
payment Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357 Rp 357
interest Rp 220 Rp 206 Rp 191 Rp 174 Rp 156 Rp 135 Rp 113 Rp 89 Rp 62 Rp 32
principal repaid Rp 138 Rp 152 Rp 167 Rp 183 Rp 202 Rp 222 Rp 244 Rp 268 Rp 295 Rp 325
principal remainning Rp 2,057 Rp 1,906 Rp 1,739 Rp 1,556 Rp 1,354 Rp 1,132 Rp 888 Rp 620 Rp 325 Rp 0
91
Lampiran 6. Tabel Cash Flow Monorel Yogyakarta Jalur Utara-Selatan Tahun Operasi Monorel Cash Flow Rincian 0 1 2 3 4 5 6 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Pendapatan Tiket 362 362 362 362 362 362 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Pendapatan Non Tiket 436 436 436 436 436 436 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Total Pendapatan 798 798 798 798 798 798 Rp Biaya Investasi 1,303 CF Before Financing&Tax Rp Rp Rp Rp Rp Rp Biaya O&M Kereta 31 31 31 31 31 31 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Biaya Perawatan 160 160 160 160 160 160 Rp Rp Rp Investment WC 36 Rp - 36 Rp - 36 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Total Pengeluaran 227 191 227 191 227 191 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Principal Repaid 53 58 64 71 78 86 Rp Rp Rp Rp Rp Rp CF Financing Interest Payment 304 299 293 287 280 272 Rp Debt Financing 3,041 Receipt Equity CF CF Before Finance Rp Rp Rp Rp Rp Rp Before Tax CF Finance 213 250 213 250 213 250
7
8
9
10
Rp 362 Rp 436 Rp 798
Rp 362 Rp 436 Rp 798
Rp 362 Rp 436 Rp 798
Rp 362 Rp 436 Rp 798
Rp 31 Rp 160 Rp 36 Rp 227 Rp 94 Rp 263
Rp 31 Rp 160
Rp 31 Rp 160
Rp Rp 191 Rp 103 Rp 254
Rp 31 Rp 160 Rp 36 Rp 227 Rp 114 Rp 243
Rp 213
Rp 250
Rp 213
Rp 250
Rp Rp 191 Rp 125 Rp 232
92
Cash Flow
CF Taxation
Equity CF After Tax
Rincian
0
1
2
Tahun Operasi Monorel 3 4 5 6 Rp Rp Rp Rp 97 76 126 105
Income Tax
Rp 8
Rp 67
Rp 46
Tax To Be Paid (25% Tax Rate)
Rp 2
Rp 17
Rp 12
Rp 24
Rp 19
Rp 32
Equity CFBT- CF Taxation
Rp 211
Rp 233
Rp 202
Rp 225
Rp 195
Net Profit After Taxes (CFAT)
Rp 190
Rp 188
Rp 147
Rp 147
Rp 114
7
8
9
10
Rp 156
Rp 135
Rp 187
Rp 26
Rp 39
Rp 34
Rp 47
Rp 218
Rp 187
Rp 211
Rp 180
Rp 203
Rp 115
Rp 89
Rp 90
Rp 69
Rp 70
93
Cash Flow
Tahun Operasi Monorel 0 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp 362 362 362 362 362 362 362 362 362 362 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp 436 436 436 436 436 436 436 436 436 436 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp 798 798 798 798 798 798 798 798 798 798
Rincian Pendapatan Tiket Pendapatan Non Tiket Total Pendapatan
CF Before Financing&Tax
Biaya Investasi
Rp 1,303
Biaya O&M Kereta Biaya Perawatan Investment WC Total Pengeluaran Principal Repaid
CF Financing
Equity CF Before Tax
Interest Payment Debt Financing Receipt CF Before Finance CF Finance
Rp 31 Rp 160 Rp 36 Rp 227 Rp 53 Rp 304
Rp 31 Rp 160
Rp 31 Rp 160
Rp Rp 191 Rp 58 Rp 299
Rp 31 Rp 160 Rp 36 Rp 227 Rp 64 Rp 293
Rp 213
Rp 31 Rp 160
Rp Rp 191 Rp 71 Rp 287
Rp 31 Rp 160 Rp 36 Rp 227 Rp 78 Rp 280
Rp 250
Rp 213
Rp 31 Rp 160
Rp Rp 191 Rp 86 Rp 272
Rp 31 Rp 160 Rp 36 Rp 227 Rp 94 Rp 263
Rp 250
Rp 213
Rp 31 Rp 160
Rp Rp 191 Rp 103 Rp 254
Rp 31 Rp 160 Rp 36 Rp 227 Rp 114 Rp 243
Rp 250
Rp 213
Rp 250
Rp 213
Rp 250
Rp Rp 191 Rp 125 Rp 232
Rp 3,041
94
Cash Flow
Rincian Income Tax
CF Taxation
Equity CF After Tax
Tahun Operasi Monorel 0 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp 8 67 46 97 76 126 105 156 135 187
Tax To Be Paid (25% Tax Rate)
Rp 2
Rp 17
Rp 12
Rp 24
Rp 19
Rp 32
Rp 26
Rp 39
Rp 34
Rp 47
Equity CFBT- CF Taxation
Rp 211
Rp 233
Rp 202
Rp 225
Rp 195
Rp 218
Rp 187
Rp 211
Rp 180
Rp 203
Net Profit After Taxes (CFAT)
Rp 190
Rp 188
Rp 147
Rp 147
Rp 114
Rp 115
Rp 89
Rp 90
Rp 69
Rp 70
95
Lampiran 7. Tabel Cash Flow Monorel Yogyakarta Jalur Timur-Barat Tahun Operasi Monorel Cash Flow Rincian 0 1 2 3 4 5 6 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Pendapatan Tiket 422 422 422 422 422 422 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Pendapatan Non Tiket 436 436 436 436 436 436 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Total Pendapatan 857 857 857 857 857 857 Rp Biaya Investasi 1,400 Rp - Rp - Rp - Rp - Rp - Rp CF Before Financing&Tax Rp Rp Rp Rp Rp Rp Biaya O&M Kereta 36 36 36 36 36 36 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Biaya Perawatan 178 178 178 178 178 178 Rp Rp Rp Investment WC 42 Rp - 42 Rp - 42 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Total Pengeluaran 257 214 257 214 257 214 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Principal Repaid 57 63 69 76 84 92 Rp Rp Rp Rp Rp Rp CF Financing Interest Payment 327 321 315 308 300 292 Debt Financing Rp Receipt 3,268 Rp - Rp - Rp - Rp - Rp - Rp Equity CF CF Before Finance Rp Rp Rp Rp Rp Rp Before Tax CF Finance 217 259 217 259 217 259
7
8
9
10
Rp 422 Rp 436 Rp 857
Rp 422 Rp 436 Rp 857
Rp 422 Rp 436 Rp 857
Rp 422 Rp 436 Rp 857
Rp Rp 36 Rp 178 Rp 42 Rp 257 Rp 101 Rp 283
Rp Rp 36 Rp 178
Rp Rp 36 Rp 178
Rp Rp 214 Rp 111 Rp 273
Rp Rp 36 Rp 178 Rp 42 Rp 257 Rp 122 Rp 262
Rp -
Rp -
Rp -
Rp -
Rp 217
Rp 259
Rp 217
Rp 259
Rp Rp 214 Rp 135 Rp 249
96
Cash Flow
CF Taxation
Equity CF After Tax
Rincian
0
1
2
Tahun Operasi Monorel 3 4 5 6 Rp Rp Rp Rp 92 66 125 99
Income Tax
Rp (9)
Rp 59
Rp 34
Tax To Be Paid (25% Tax Rate)
Rp (2)
Rp 15
Rp 8
Rp 23
Rp 17
Rp 31
Equity CFBT- CF Taxation
Rp 219
Rp 245
Rp 209
Rp 236
Rp 200
Net Profit After Taxes (CFAT)
Rp 197
Rp 198
Rp 152
Rp 154
Rp 118
7
8
9
10
Rp 158
Rp 132
Rp 192
Rp 25
Rp 39
Rp 33
Rp 48
Rp 228
Rp 192
Rp 220
Rp 184
Rp 211
Rp 120
Rp 91
Rp 94
Rp 70
Rp 73
97
Cash Flow
Tahun Operasi Monorel 0 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp 422 422 422 422 422 422 422 422 422 422 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp 436 436 436 436 436 436 436 436 436 436 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp 857 857 857 857 857 857 857 857 857 857
Rincian Pendapatan Tiket Pendapatan Non Tiket Total Pendapatan
CF Before Financing&Tax
Biaya Investasi
Rp 1,400
Biaya O&M Kereta Biaya Perawatan Investment WC Total Pengeluaran Principal Repaid
CF Financing
Interest Payment Debt Financing Receipt
Equity CF Before Tax
CF Before Finance CF Finance
Rp 3,268
Rp Rp 36 Rp 178 Rp 42 Rp 257 Rp 148 Rp 236
Rp Rp 36 Rp 178
Rp Rp 36 Rp 178
Rp Rp 214 Rp 163 Rp 221
Rp Rp 36 Rp 178 Rp 42 Rp 257 Rp 179 Rp 205
Rp Rp 36 Rp 178
Rp Rp 214 Rp 197 Rp 187
Rp Rp 36 Rp 178 Rp 42 Rp 257 Rp 217 Rp 167
Rp -
Rp -
Rp 217
Rp 259
Rp Rp 36 Rp 178
Rp Rp 214 Rp 238 Rp 145
Rp Rp 36 Rp 178 Rp 42 Rp 257 Rp 262 Rp 122
Rp -
Rp -
Rp 217
Rp 259
Rp Rp 214 Rp 288 Rp 95
Rp Rp 36 Rp 178 Rp 42 Rp 257 Rp 317 Rp 67
Rp Rp 36 Rp 178 Rp 422
Rp -
Rp -
Rp -
Rp -
Rp -
Rp -
Rp 217
Rp 259
Rp 217
Rp 259
Rp 217
Rp 681
###### Rp 349 Rp 35
98
Cash Flow
Rincian Income Tax
CF Taxation
Equity CF After Tax
Tahun Operasi Monorel 0 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp 168 229 207 270 251 317 301 372 361 858
Tax To Be Paid (25% Tax Rate)
Rp 42
Rp 57
Rp 52
Rp 68
Rp 63
Rp 79
Rp 75
Rp 93
Rp 90
Rp 215
Equity CFBT- CF Taxation
Rp 175
Rp 202
Rp 165
Rp 192
Rp 154
Rp 180
Rp 142
Rp 166
Rp 127
Rp 612
Net Profit After Taxes (CFAT)
Rp 54
Rp 56
Rp 41
Rp 43
Rp 31
Rp 33
Rp 23
Rp 24
Rp 17
Rp 73
99
100
Lampiran 8. Tabel Prediksi Harga Tiket Berdasarkan Skenario Rasio Pembiayaan Jalur Utara-Selatan Skenario Pembiayaan (1) Pemerintah
100%
Investor
0%
Harga Tiket Pemerintah (14 tahun)
Rp 6,568
Skenario Pembiayaan (2) Pemerintah
76%
Investor
24%
Harga Tiket Pemerintah (14 Tahun)
Rp 4,907
Harga Tiket Investor (10 Tahun)
Rp 2,128
Total Harga Tiket
Rp 7,035
Skenario Pembiayaan (3) Pemerintah
50%
Investor
50%
Harga Tiket Pemerintah (14 Tahun)
Rp 3,213
Harga Tiket Investor (10 Tahun)
Rp 4,499
101
Total Harga Tiket
Rp 7,712
Skenario Pembiayaan (4) Pemerintah
24%
Investor
76%
Harga Tiket Pemerintah (14 Tahun)
Rp 1,520
Harga Tiket Investor (10 Tahun)
Rp 6,869
Total Harga Tiket
Rp 8,390
Skenario Pembiayaan (5) Pemerintah
0%
Investor
100%
Harga Tiket (5 tahun)
Rp 17,995
Harga Tiket (10 tahun)
Rp 8,998
102
Lampiran 8. Tabel Prediksi Harga Tiket Berdasarkan Skenario Rasio Pembiayaan Jalur Timur-Barat
Skenario Pembiayaan (1) Pemerintah
100%
Investor
0%
Harga Tiket Pemerintah (12 tahun)
Rp 6,916
Skenario Pembiayaan (2) Pemerintah
74%
Investor
26%
Harga Tiket Pemerintah (12 Tahun)
Rp 5,142
Harga Tiket Investor (9 Tahun)
Rp 2,365
Total Harga Tiket
Rp 7,507
Skenario Pembiayaan (3) Pemerintah
50%
Investor
50%
Harga Tiket Pemerintah (12 Tahun)
Rp 3,458
103
Harga Tiket Investor (9 Tahun)
Rp 4,611
Total Harga Tiket
Rp 8,069
Skenario Pembiayaan (4) Pemerintah
26%
Investor
74%
Harga Tiket Pemerintah (12 Tahun)
Rp 1,774
Harga Tiket Investor (9 Tahun)
Rp 6,856
Total Harga Tiket
Rp 8,630
Skenario Pembiayaan (5) Pemerintah
0%
Investor
100%
Harga Tiket (5 Pay Back Period)
Rp 16,598
Harga Tiket (9 Pay Back Period)
Rp 9,221
104
Lampiran 9. Tabel Hasil Perhitungan Umur Ekonomis Merk Kereta
Bombardier
Jalur U-S Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Total O&M Cost 134,049,670,588 140,081,905,765 146,385,591,524 152,972,943,143 159,856,725,584 167,050,278,235 174,567,540,756 182,423,080,090 190,632,118,694 199,210,564,035 208,175,039,417 217,542,916,191 227,332,347,419 237,562,303,053 248,252,606,690 259,423,973,992 271,098,052,821 283,297,465,198 296,045,851,132 309,367,914,433
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Average Cost 1,161,814,376,471 650,948,141,118 482,760,624,586 400,313,704,226 352,222,308,497 321,360,303,454 300,389,908,783 285,644,055,196 275,087,173,362 267,499,512,430 262,106,378,519 258,392,756,659 256,003,494,410 254,686,266,455 254,257,355,804 254,580,269,441 255,551,903,758 257,093,323,838 259,143,456,853 261,654,679,732
105
Jalur U-S Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Hitachi Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Total O&M Cost 136,130,777,206 142,256,662,180 148,658,211,978 155,347,831,517 162,338,483,936 169,643,715,713 177,277,682,920 185,255,178,651 193,591,661,690 202,303,286,466 211,406,934,357 220,920,246,404 230,861,657,492 241,250,432,079 252,106,701,522 263,451,503,091 275,306,820,730 287,695,627,663 300,641,930,908 314,170,817,799
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Average Cost 1,115,309,348,634 628,783,005,407 468,741,407,598 390,393,013,578 344,782,107,649 315,592,375,660 295,833,133,840 282,010,889,441 272,186,530,802 265,198,206,369 260,308,090,731 257,025,770,371 255,013,146,303 254,030,095,287 253,901,869,036 254,498,721,164 255,722,727,021 257,498,999,279 259,769,679,891 262,489,736,786
106
Jalur U-S Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Changchun Railway Total O&M Cost Average Cost 119,435,553,024 Rp 1,098,787,833,262 124,810,152,910 Rp 611,798,993,086 130,426,609,791 Rp 451,341,531,987 136,295,807,231 Rp 372,580,100,798 142,429,118,557 Rp 326,549,904,350 148,838,428,892 Rp 296,931,325,107 155,536,158,192 Rp 276,732,015,548 162,535,285,311 Rp 262,457,424,268 169,849,373,150 Rp 252,167,640,811 177,492,594,941 Rp 244,700,136,224 185,479,761,714 Rp 239,316,465,814 193,826,350,991 Rp 235,525,622,912 202,548,536,785 Rp 232,988,923,979 211,663,220,941 Rp 231,465,659,476 221,188,065,883 Rp 230,780,486,570 231,141,528,848 Rp 230,803,051,712 241,542,897,646 Rp 231,434,807,356 252,412,328,040 Rp 232,600,225,171 263,770,882,802 Rp 234,240,786,099 275,640,572,528 Rp 236,310,775,421
107
Jalur U-S Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Scomi Sutra 2nd Total O&M Cost Average Cost 197,239,035,294 Rp 1,812,221,388,235 206,114,791,882 Rp 1,009,168,090,059 215,389,957,517 Rp 744,575,379,212 225,082,505,605 Rp 614,702,160,810 235,211,218,358 Rp 538,803,972,320 245,795,723,184 Rp 489,969,264,130 256,856,530,727 Rp 456,667,445,073 268,415,074,610 Rp 433,135,898,765 280,493,752,967 Rp 416,175,660,343 293,115,971,851 Rp 403,869,691,494 306,306,190,584 Rp 395,000,282,320 320,089,969,160 Rp 388,757,756,223 334,494,017,772 Rp 384,583,622,496 349,546,248,572 Rp 382,080,952,930 365,275,829,758 Rp 380,960,611,385 381,713,242,097 Rp 381,007,650,805 398,890,337,991 Rp 382,059,573,581 416,840,403,201 Rp 383,991,841,893 435,598,221,345 Rp 386,707,967,127 455,200,141,305 Rp 390,132,575,836
108
Bombardier
Jalur T-B Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Total O&M Cost 155,452,471,335 162,447,832,545 169,757,985,010 177,397,094,335 185,379,963,580 193,722,061,941 202,439,554,729 211,549,334,692 221,069,054,753 231,017,162,217 241,412,934,516 252,276,516,570 263,628,959,815 275,492,263,007 287,889,414,842 300,844,438,510 314,382,438,243 328,529,647,964 343,313,482,122 358,762,588,818
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Average Cost 1,352,569,184,687 757,508,508,616 561,591,667,414 465,543,024,144 409,510,412,032 373,545,687,017 349,101,953,833 331,907,876,440 319,592,451,808 310,734,922,849 304,432,923,910 300,086,556,631 297,282,126,107 295,725,707,314 295,203,287,816 295,555,859,734 296,663,305,529 298,433,657,886 300,795,753,899 303,694,095,645
109
Hitachi
Jalur T-B Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Total O&M Cost 158,361,182,983 165,487,436,217 172,934,370,847 180,716,417,535 188,848,656,324 197,346,845,859 206,227,453,923 215,507,689,349 225,205,535,370 235,339,784,462 245,930,074,762 256,996,928,127 268,561,789,892 280,647,070,438 293,276,188,607 306,473,617,095 320,264,929,864 334,676,851,708 349,737,310,034 365,475,488,986
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Average Cost 1,404,110,762,815 784,799,099,516 580,844,189,960 480,812,246,854 422,419,528,748 384,907,414,933 359,381,706,217 341,397,454,109 328,487,240,916 319,172,495,270 312,514,093,406 307,887,662,966 304,862,595,806 303,132,915,423 302,475,800,302 302,725,663,851 303,757,385,382 305,475,133,511 307,804,721,749 310,688,260,111
110
Jalur T-B Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Changchun Railway Total O&M Cost Average Cost 138,644,503,239 Rp 1,279,371,535,625 144,883,505,884 Rp 712,127,520,754 151,403,263,649 Rp 525,219,435,053 158,216,410,513 Rp 433,468,678,918 165,336,148,986 Rp 379,842,172,932 172,776,275,691 Rp 345,331,190,058 180,551,208,097 Rp 321,791,192,635 188,676,012,461 Rp 305,151,795,113 197,166,433,022 Rp 293,153,421,548 206,038,922,508 Rp 284,441,971,644 215,310,674,021 Rp 278,157,308,223 224,999,654,352 Rp 273,727,503,734 235,124,638,798 Rp 270,758,052,585 245,705,247,544 Rp 268,968,566,511 256,761,983,683 Rp 268,154,794,322 268,316,272,949 Rp 268,164,886,736 280,390,505,231 Rp 268,884,040,766 293,008,077,967 Rp 270,224,265,054 306,193,441,475 Rp 272,117,379,603 319,972,146,342 Rp 274,510,117,940
111
Jalur T-B Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Scomi Sutra 2nd Total O&M Cost Average Cost 231,296,233,551 Rp 2,112,390,569,063 241,704,564,061 Rp 1,177,047,566,562 252,581,269,444 Rp 868,892,134,189 263,947,426,569 Rp 717,655,957,284 275,825,060,764 Rp 629,289,777,980 288,237,188,499 Rp 572,447,679,733 301,207,861,981 Rp 533,699,134,340 314,762,215,770 Rp 506,332,019,519 328,926,515,480 Rp 486,620,296,848 343,728,208,677 Rp 472,331,088,031 359,195,978,067 Rp 462,046,078,034 375,359,797,080 Rp 454,822,221,288 392,250,987,949 Rp 450,009,049,493 409,902,282,406 Rp 447,144,280,415 428,347,885,115 Rp 445,891,187,395 447,623,539,945 Rp 445,999,459,429 467,766,599,242 Rp 447,279,879,418 488,816,096,208 Rp 449,587,447,018 510,812,820,538 Rp 452,809,835,098 533,799,397,462 Rp 456,859,313,216
112
Lampiran 10. Gambar Jalur Backbone Trasnportasi Perkotaan Yogyakarta (diambil dari Booklet Kajian Perkeretaapian Perkotaan Yogyakarta)