HUBUNGAN KEBIASAAN KONSUMSI LEMAK DAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP STATUS GIZI PADA PEGAWAI DI KANTOR FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Ilmu Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan
Oleh : NIDA ALHUSNA SUGIYANTO J 310 151 013
PROGRAM STUDI ILMU GIZI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017
HALAMAN PERSETUJUAN
HUBUNGAN KEBIASAAN KONSUMSI LEMAK DAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP STATUS GIZI PADA PEGAWAI DI KANTOR FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
PUBLIKASI ILMIAH
Oleh:
NIDA ALHUSNA SUGIYANTO J 310 151 013
Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji oleh:
Dosen Pembimbing
Susi Dyah Puspowati, SP, MSi NIP. 19740517 2005012 007
i
HALAMAN PENGESAHAN
HUBUNGAN KEBIASAAN KONSUMSI LEMAK DAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP STATUS GIZI PADA PEGAWAI DI KANTOR FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Oleh: NIDA ALHUSNA SUGIYANTO J 310 151 013
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta Pada hari Jumat, 12 Mei 2017 dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Dewan Penguji:
1. Susi Dyah Puspowati, SP,Msi
(.................................)
(Ketua Dewan Penguji) 2. Luluk Ria Rakhma, S.Gz, M.Gizi
(.................................)
(Anggota I Dewan Penguji) 3. Siti Zulaekha, A, Msi
(.................................)
(Anggota II Dewan Penguji)
Dekan,
Dr. Mutalazimah, SKM, MKes NIK/NIDN. 786/06-1711-7301
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya di atas, maka akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.
Surakarta, 19 Juni 2017 Penulis
NIDA ALHUSNA SUGIYANTO J 310 151 013
iii
HUBUNGAN KEBIASAAN KONSUMSI LEMAK DAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP STATUS GIZI PADA PEGAWAI DI KANTOR FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Abstrak Indonesia mengalami permasalahan gizi ganda yaitu perpaduan antara gizi kurang dan lebih. Status gizi dikalangan dewasa di dominasi dengan masalah obesitas. Obesitas merupakan penunjang
utama penyakit degeneratif seperti diabetes, penyakit jantung dan kanker. Faktor penyebab obesitas terdiri dari dalam tubuh dan luar tubuh seperti keinginanan makan yang berlebihan, pola makan yang salah, konsumsi makanan berlemak yang berlebihan, kurangnya aktivitas fisik dan faktor genetik serta lingkungan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan kebiasaan konsumsi lemak, aktivitas fisik terhadap kejadian obesitas pada Pegawai Pegawai Fakultas FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional (potong lintang). Besar sampel 48 orang yang sesuai dengan kriteria inklusi dan dipilih dngan cara sistem random sampling. Data status gizi diperoleh dari Indeks Massa Tubuh, data kebiasaan konsumsi lemak diperoleh dengan wawancara menggunakan kuisioner FFQ semikuantitatif sedangkan data aktivitas fisik diperoleh dengan wawancara menggunakan kuisioner menggunakan International Physical Activity Quistionnaire (IPAQ). Uji statistik yang digunakan adalah Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan 50 % responden memiliki status gizi obesitas. Kebiasaan konsumsi lemak yang berlebihan sebesar 47,9 %. Aktivitas fisik responden sebagian besar memiliki aktivitas fisik sedang sebesar 75 %. Ada hubungan antara kebiasaan konsumsi lemak dengan status gizi nilai p = 0.00. Ada hubungan yang signifikan dengan nilai p = 0.001 bahwa hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan status gizi. Kata kunci : Status Gizi, Kebiasaan Konsumsi Lemak, Aktivitas Fisik Abstracts Indonesia have double burden of nutrition problems, malnutrion and obesity. Nutrition status among adults is dominated by obesity problem. Obesity is a major proponent of degenerative diseases such as diabetes, heart disease and cancer. Factors causing obesity consists of the body and outside the body as overeating, wrong diet, excessive consumption of fatty foods, lack of physical activity and genetic factors and the environment. To determine the relationship of fat consumption habits, physical activity on the incidence of obesity in Employees Faculty, State University of Yogyakarta. The study was observational with cross sectional approach (cross-sectional). Large sample of 48 people who fit the inclusion criteria and were selected with random sampling system. The data obtained from the nutritional status Body mass index, fat consumption habits of data collected from interviews using a semiquantitative FFQ questionnaire while physical activity data obtained by interview using a questionnaire of the International Physical Activity Quistionnaire (IPAQ).The statistical test used was Spearman Rank. Results showed 50% of respondents have nutritional status of obesity. Excessive fat consumption habits amounted to 47.9%. Physical activity most of the respondents have moderate physical activity by 75%. There is a relationship between fat consumption habits with nutritional status. value of p = 0.00. There was a significant correlation with the value of p = 0.001 (that was significant relationship between physical activity with nutritional status. Keywords : Nutritional Status, Fat Consumption Habits, Physical Activity 1
1.
PENDAHULUAN Indonesia mengalami permasalahan gizi ganda yaitu perpaduan antara gizi kurang dan gizi lebih. Permasalahan gizi lebih sudah menjadi ancaman yang menghadang diantara permasalahan gizi kurang yang belum teratasi dengan baik. Kedua permasalahan tersebut dapat mempengaruhi harapan hidup manusia karena keduanya berhubungan erat dengan penyakit. Status Gizi pada kelompok dewasa diatas 18 tahun didominasi dengan masalah obesitas, walaupun masalah status gizi kurus juga masih belum teratasi (Depkes, 2013). Salah satu permasalahan gizi yang cukup serius adalah obesitas. Obesitas telah menjadi epidemik global yang meningkat di negara maju dan juga negara berkembang, termasuk Indonesia. Prevalensi obesitas di Indonesia telah mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS), tercatat pada tahun 2007, prevalensi obesitas pada orang dewasa di Indonesia mencapai 19,1%. Angka ini terus meningkat pada tahun 2010 menjadi 21,7% dan pada tahun 2013 menjadi 28,9%. Sedangkan data Riset Kesehatan Dasar Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta prevalensi obesitas juga menunjukkan peningkatan yaitu tahun 2007 prevalensi obesitas 12,1 %, meningkat tahun 2010 8,3% (laki-laki) dan 15,7% (perempuan) serta pada tahun 2013 prevalensi obesitas menjadi 15,8 % (Depkes, 2013). Selain itu, data sebaran obesitas di Indonesia memperlihatkan bahwa obesitas cenderung lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan dan lebih dominan pada kelompok penduduk dewasa yang berpendidikan lebih tinggi dan bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta dan memiliki pendapatan lebih tinggi (Depkes, 2010). Faktor penyebab obesitas merupakan hal yang kompleks dimana ada keterkaitan antara berbagai faktor terkait, baik faktor dari dalam tubuh atau internal maupun dari luar tubuh atau eksternal. Faktor internal utama penyebab obesitas adalah faktor genetik. Faktor yang kedua adalah faktor eksternal seperti keinginanan makan yang berlebihan, pola makan yang salah, konsumsi makanan berlemak yang berlebihan, kurangnya aktivitas fisik dan lingkungan. Hal tersebut diverifikasi oleh penelitian terbaru yang dilakukan (Chou & Chen, 2017) bahwa jenis kelamin, tingkat aktivitas fisik, pola hidup kurang gerak (sedentary, kebiasaan diet serta kepuasaan bentuk tubuh merupakan faktor resiko obesitas yang menjadi perhatian seluruh dunia. Penilaian dari beberapa ahli menyatakan bahwa kebiasaan hidup dan pola makan merupakan faktor penting dalam mempengaruhi berat badan seseorang bila dibandingkan faktor dari dalam tubuh (internal) (Henuhili, 2010). Obesitas disebabkan karena asupan energi yang masuk lebih besar dibandingkan dengan yang keluar sehingga terjadi kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Kesenjangan antara asupan energi yang masuk dan keluar dalam pola konsumsi sebagian besar ada kecenderungan disebabkan oleh modifikasi gaya hidup (lifestyle). Perubahan gaya hidup yang berubah ke arah serba instan dan pola hidup kurang gerak (sedentary) sering ditemukan di kota-kota besar di Indonesia. Perubahan gaya hidup ini mengakibatkan 2
terjadinya perubahan pola makan yang merujuk pada pola makan tinggi kalori, lemak dan kolesterol, terutama makanan siap saji dan kemasan yang berdampak meningkatkan obesitas (Hidayati, dkk., 2006). Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, proporsi nasional penduduk dengan perilaku konsumsi makanan berlemak, berkolesterol dan makanan gorengan ≥1 kali per hari rata-rata nasional adalah 40,7 %. Sedangkan, DI Yogyakarta termasuk dalam 5 provinsi tertinggi diatas rata-rata Nasional yaitu sebanyak 50,7%. Aktivitas fisik yang kurang merupakan salah satu pemicu obesitas. Hal ini didukung pula oleh hasil penelitian Wijayahadi (2010) di mana faktor dominan dari masyarakat yang menjadi penyebab gizi lebih adalah kurangnya aktivitas gerak yang meliputi aktivitas olah raga dan aktivitas pekerjaan. Menurut hasil Penelitian yang dilakukan oleh Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 secara Nasional prevalensi penduduk kurang aktif mencapai 26,1%. Untuk Daerah istimewa Yogyakarta prevalensi kurang aktif mencapai 20,8%. Kemudian di Yogyakarta sendiri, penduduk yang melakukan aktivitas sedentary rata-rata 3-6 jam mencapai 40,7%. Angka ini termasuk tinggi karena hampir mendekati rata-rata Nasional yaitu 42% (Depkes, 2013). Pegawai Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UNY merupakan salah satu pekerjaan yang berisiko untuk terkena obesitas. Hal ini dikarenakan pegawai FMIPA merupakan pekerja perkantoran dimana aktivitas fisik yang dilakukan pada saat bekerja banyak dilakukan dengan duduk yang termasuk aktivitas ringan. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada April 2016 tercatat 33,3 % pegawai mengalami obesitas, sedangkan status gizi overweight ada 25.6% dari total pegawai yang berjumlah 90 orang. Hasil ini termasuk dalam katagori tinggi karena telah melebihi rata-rata Nasional untuk wilayah DIY menurut Riskesdas 2013 yaitu 15,8%. Selain itu, di FMIPA belum pernah dilakukan penelitian serupa sehingga berdasarkan permasalahan diatas, maka peneliti berniat untuk meneliti hubungan kebiasaan konsumsi lemak, aktivitas fisik terhadap status gizi pada pegawai Fakultas FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. 2.
METODE Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional dengan rancangan
cross
sectional. Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2016. Lokasi penelitian dilakukan di Kantor Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Negeri Yogyakarta. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pegawai Kantor Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam (FMIPA) yang berjumlah 90 orang. Besar sampel yang dihitung menggunakan (Lomeshow et al, 1997) diperoleh 48 orang. Pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling secara acak dengan membuat undian sebanyak 48. Kriteria Inklusi pada penelitian ini adalah Pegawai Negeri Sipil baik laki-laki maupun perempuan, berusia 24 tahun keatas, dapat berkomunikasi dengan baik, bersedia menjadi responden dalam penelitian ini dengan mengisi formulir kesediaan menjadi responden. 3
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah PNS yang sedang hamil, puasa, sakit keras seperti ginjal, jantung, stroke. Data pada penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer terrsebut meliputi identitas sampel, status gizi, kebiasaan konsumsi lemak, serta aktivitas fisik. Data sekunder meliputi gambaran umum lokasi penelitian. Status gizi adalah keadaan keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi. Data status gizi diperolah dari pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) responden dengan mengukur berat badan dan tinggi badan responden. Status gizi dikur dengan menggunakan IMT. Cut of point dari Indeks Massa Tubuh (IMT) berdasarkan katagori orang Asia Pasifik menurut (WHO, 2004) yaitu < 18,5 kurus ; 18,5 – 22,9 normal ; 22,9 – 24,9 overweight serta > 25 obesitas. Kebiasaan konsumsi lemak adalah rata-rata kebiasaan konsumsi makanan sumber lemak dalam 1 bulan terakhir . Kebiasaan konsumsi lemak responden diperoleh dengan wawancara kepada responden dengan menggunakan kuisioner Semi Quantitatif
Food Frequency
Questionare (FFQ). FFQ berisi tentang bahan makanan yang dikonsumsi oleh responden dalam jangka waktu 1 bulan. Kebiasaan konsumsi diukur dengan cara hasil yang didapatkan dalam gram (gr) akan dibandingkan dengan nilai kecukupan individu sesuai dengan AKG dan dikali 100%. Cut of point kebiasaan konsumsi lemak yaitu kurang (<80 %) , baik (80-110 %) serta lebih (> 110 %) (WNPG, 2004) Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi, aktivitas fisik diukur berdasarkan pola, intensitas, durasi dan pengeluaran energi dengan melihat aktivitas fisik sehari-hari responden selama 1 minggu terakhir yang meliputi aktivitas berjalan, aktivitas fisik sedang, dan aktivitas fisik berat. Data Aktivitas fisik diperoleh dengan wawancara kepada responden menggunakan kuisioner International P/hysical Activity Quistionnaire (IPAQ). Aktivitas fisik responden diukur dengan wawancara, cut of pointnya rendah > 600 METs/menit, sedang 600-900 METs/menit, tinggi < 3000 METs/menit (IPAQ Guidelines, 2005) Analisis data terdiri dai analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat untuk mendeskripsikan variabel status gizi, kebiasaan konsumsi lemak, aktivitas fisik yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase dari setiap variabel. Sedangkan analisis bivariat terdiri dari uji kenormalan data menggunakan uji shapiro-wilk. Hasil uji kenormalan ternyata ada salah satu variabel yang berdistribusi tidak normal yaitu Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan nilai p 0,001 (p<0,05) , data kebiasaan konsumsi lemak dengan nilai p 0,1 (p>0,05) dan aktivitas fisik dengan nilai p 0,71 (p>0,05) berdistribusi normal. Sehingga, karena ada salah satu variabel yang berdistribusi tidak normal maka uji hubungan yang digunakan adalah Rank Spearman.
4
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Karakteristik Responden Penelitian Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden Penelitian Variabel N % Jenis Kelamin : Laki-Laki 31 64.6 Perempuan 17 35.7 Variabel N % Umur (tahun) : Dewasa Muda (24-40) 20 41.7 Dewasa madya (41-60) 28 58.3 Pendidikan : SMA/SMK 14 29.2 D II 1 2.1 D III 4 8.3 S1 26 54.2 S2 3 6.2 Status Kepegawaian : PNS 41 79.2 Honorer 7 14.3 Penghasilan : < 2.000.000 9 18,8 2.000.000-5.000.000 27 56,2 > 5.000.000 12 25 Jumlah 48 100 Tabel 1. menunjukkan bahwa responden berjenis kelamin laki-laki lebih besar dari
pada kelompok perempuan. Persentase responden laki-laki 64.6%. Persentase responden perempuan 35,7 %. Laki-laki memiliki tingkat aktivitas dan tanggungjawab kerja lebih tinggi dari pada perempuan sehingga lebih banyak laki-laki yang bekerja. Kisaran umur responden paling banyak adalah dewasa madya berusia 41-60 tahun sebanyak 58.3%. Serta responden dewasa muda (19-40 tahun) 41,7 %. Rentang usia antara 24-40 tahun merupakan usia produktif yang berarti usia tersebut memiliki potensi untuk mencari tambahan penghasilan (Hurlock, 1980). Usia produktif berhubungan dengan produktivitas kerja, sehingga akan menentukan tinggi rendahnya potensi produktivitas kerja individu yang bersangkutan (Suhardjo, 1989). Berdasarkan pendidikan terakhir yang paling banyak ditempuh pegawai adalah S1 sebanyak 54.2%. Diikuti oleh pendidikan SMA/SMK 29,2%. Status Kepegawaian responden penelitian sebagaian besar adalah PNS (Pegawai Negeri Swasta) 79,2%. Sedangkan adapun pegawai honorer sebanyak 14,3%. Universitas Negeri Yogyakarta merupakan Instansi pendidikan dari Pemerintah sehingga tenaga kerjanya lebih banyak yang berstatus sebagai PNS (Pegawai negeri Sipil) dari pada pegawai honorer. 5
Penghasilan responden penelitian yang berjumlah < Rp 2.000.000,00 ada sebanyak 18,8 %. Kisaran penghasilan responden Rp. 2.000.000 – 5.000.000 56,2 %. Sedangkan, penghasilan responden diatas > Rp 5.000.000,00 ada 25 %. Rata-rata responden penelitian menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2008 penghasilan Rp. 2.000.000 – 5.000.000 termasuk tinggi. Penghasilan atau pendapatan mempengaruhi daya beli terhadap makanan yang akan mempengaruhi status gizi seseorang (Sajogyo, 2004). 3.2 Analisis Univariat 3.2.1 Distribusi Status Gizi Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi Variabel Kurus Normal Overweight Obesitas Jumlah
N 2 12 10 24 48
% 4.2 25 20.8 50 100
Berdasarkan Tabel 2, distribusi status gizi responden paling banyak adalah obesitas yaitu 50 %. Kemudian, responden yang memiliki status gizi overweight sebanyak 20,8 %. Sedangkan responden yang memiliki status gizi normal dan kurus sebanyak 25 % dan 4,2 %. Berdasarkan hal tersebut, angka kejadian obesitas di Kantor FMIPA cukup tinggi yaitu 50%, prevalensi ini jauh lebih tinggi dari prevalensi obesitas menurut Riskesdas 2013 pada usia dewasa (> 18 tahun) yaitu laki-laki 19,7 % serta perempuan 32,9 %. Berdasarkan persebaran status gizi menurut jenis kelamin obesitas lebih cenderung pada perempuan yaitu sebanyak 58,8 % sedangkan pada laki-laki 45,2 %. Obesitas cenderung ditemukan pada wanita 3x lebih banyak daripada laki-laki. Hal ini disebabkan karena metabolisme wanita lebih rendah, selain itu rata-rata wanita memiliki lemak tubuh yang lebih banyak dibandigkan dengan pria (Adriari & Wirjatmadi, 2012). Sedangkan status gizi responden menurut umur pada pegawai FMIPA paling banyak terjadi pada usia dewasa madya (41-60 tahun) yaitu 29,1 %. Hal ini menunjukkan kejadian gizi lebih serta obesitas lebih banyak terjadi pada kelompok usia madya (41-60) karena semakin tua usia seseorang, semakin lambatnya metabolisme tubuh serta tingkat keaktifan bergerak bisa semakin berkurang sehingga menyebabkan massa otot dalam tubuh cenderung menurun dan kehilangan otot yang akan mengakibatkan perlambatan tingkat pembakaran energi dalam tubuh. Semakin bertambah usia dengan asupan energi yang tetap, atau bahkan frekuensi konsumsi pangan yang lebih sering akan membuat tubuh semakin sulit untuk membakar kalori yang masuk sehingga terjadi penumpukan energi didalam tubuh dan berdampak pada obesitas (Widiantini, 2014). 6
3.2.2
Kebiasaan Konsumsi Lemak Tabel 3. Distribusi Kebiasaan Konsumsi Lemak Responden Variabel Kurang Baik Lebih Total
N 12 13 23 48
% 25 27,1 47,9 100
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa kebiasaan konsumsi lemak responden yang lebih dari kebutuhan sebanyak 47,9%. Sedangkan, kebiasaan konsumsi lemak yang baik sebanyak 27,1 % serta konsumsi lemak kurang 25 %. Kebiasaan konsumsi lemak responden lebih banyak yang melebihi dari kebutuhan tubuh. Hal ini disebabkan karena responden sering mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan gorengan. Untuk melihat kontribusi asupan lemak responden terhadap total jumlah kalori yang dimakan maka dilakukan perhitungan dengan cara menjumlahkan total lemak yang dikonsumsi dalam gram (gr) kemudian dijadikan kkal (kilo kalori) yaitu 1 gram lemak adalah 9 kkal. Hasil lemak dalam kkal kemudian dibagi dengan asupan energi total responden dan dikalikan 100 %. Maka, akan didapatkan presentase kurang < 25 % ; cukup 25-30 % ; lebih > 30 % selanjutnya akan dijelaskan pada Tabel 4. Tabel 4. Kontribusi Asupan Lemak Terhadap Total Kalori yang Dikonsumsi Variabel Kontribusi Lemak: Kurang Cukup Lebih Total Mean
Kurus 2 (11,8%) 0 0 2 (4,2%) 27,8
Status Gizi Normal Overweight 5 (29,4%) 3 (16,7%) 4 (30,8%) 12 (25%)
4 (23,5%) 4 (22,4%) 2 (15,4%) 10 (20,8%)
Total Obesitas 6 (35,3%) 11 (61,1%) 7 (53,8%) 24 ( 50%)
17(100%) 18(100%) 13(100%) 48(100%)
Lemak menghasilkan energi 2,25 kali lebih banyak dibandingkan dengan protein dan karbohidrat yaitu 9 kkal/gram. Anjuran konsumsi lemak yang baik bagi orang dewasa adalah 44-47 gr/hari (FAO, 2008) atau asupan lemak total dari konsumsi makanan sebesar 25-30 % dari energi total (IOM, 2005). Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa rata-rata konsumsi lemak responden adalah 27,8 % dari total kalori. Responden yang mengkonsumsi makanan berlemak lebih dari 30% dari energi total atau kontirbusi lemak yang lebih dari kebutuhan banyak yang memiliki status gizi obesitas yaitu 53,8 %. Sedangkan responden yag mengkonsumsi lemak dibawah 25 % atau asupan lemak kurang memiliki status gizi obesitas lebih sedikit yaitu 35,3 %. Banyaknya responden yang memiliki tingkat konsumsi lemak berlebih karena kebiasaan mengonsumsi makanan yang memiliki lemak dan minyak yang tinggi seperti gorengan, makanan siap saji serta makanan 7
berlemak tinggi. Konsumsi lemak dan minyak dianjurkan paling sedikit 10% dari kebutuhan energi dan tidak lebih dari 30% dari total kebutuhan energi (Khomsan & Faisal, 2008). Hal ini selaras dengan anjuran dari dietary guidelines yaitu konsumsi lemak tidak kurang dari 10% kebutuhan kalori per hari (USDA & HHS, 2010). Makanan berlemak yang pernah dikonsumsi oleh seluruh responden selama satu bulan terakhir adalah telur ayam, ayam, daging sapi serta gorengan yaitu sebanyak 100 % responden pernah mengkonsumsi makan tersebut. Hal ini dikarenakan makanan tersebut mudah di dapatkan sehari-hari serta memiliki cita rasa yang lezat sehingga digemari responden. Selain itu, tingkat ekonomi responden yang rata-rata cukup karena bekerja sebagai PNS juga mempengaruhi daya beli terhadap makanan tersebut. Selanjutnya, makanan yang pernah dikonsumsi responden namun, tidak semua pernah mengkonsumsi dalam satu bulan terakhir adalah sejenis seafood, serta makanan berlemak lainnya seperti bakso, mie ayam, sosis, martabak dan lain sebagainya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kebiasaan Konsumsi Lemak Responden Bahan Makanan
1x/ hr
n %
*Gorengan Sosis Bakso Nugget Coklat Bebek Fried chick telur bebek Fried fries Pizza Martabak Corned *Ayam *Sapi Kambing Mie ayam Burger
17 15 3 -
35,4 31,2 6,2 -
Alpokat Otak *Telur ayam Pempek Hati ayam Kepiting Usus Sarden susu sapi Kerang Belut Cumi-cumi Ikan Belut
20 -
41,6 -
Jumlah responden tiap konsumsi (/orang) 2-3x n 1-3x n 4-6x n /hr % /mgg % /mgg % Tinggi Lemak 13 27 10 20,8 6 12,5 13 27 10 20,8 3 6,2 10 20,8 9 18,7 15 31,2 4 8,3 5 10,4 7 14,5 7 14,5 15 31,2 3 6,25 8 16,6 25 52 21 43,7 4 8,3 5 10,4 9 18,7 1 2 Sedang Lemak 2 10 20,8 15 31,2 3 6,2 7 14,5 7 14,5 2 4,1 20 41,6 5 10,4 -
8
1-3x /bln
n %
12 11 14 17 13 8 13 13 8 8 14 20 23 14 17
25 22,9 29,1 35,4 27 16,6 27 27 16,6 16,6 29,1 41,6 47,9 29,1 35,4
10 4 3 7 15 10 7 10 7 14 5 21 13 5
20,8 8,3 6,2 14,5 31,2 20,8 14,5 20,8 14,5 29,1 10,4 43,7 27 10,4
Bahan Makanan Spagethi Siomay Udang
1x/ hr -
n % - -
Jumlah responden tiap konsumsi (/orang) 2-3x n 1-3x n 4-6x n 1-3x /hr % /mgg % /mgg % /bln Rendah Lemak 3 - - - - - 9 - 18,7 - 3 5 10,4 27
n %
-
6,2 6,2 12 56,2
25
Salah satu faktor penentu dalam kebiasaan makan adalah jumlah frekuensi makan. frekuensi makan bisa menjadi penduga tingkat kecukupan konsumsi gizi, artinya semakin tinggi frekuensi makan maka peluang terpenuhinya kecukupan gizi juga semakin besar (Khomsan, 1993). Penentuan frekuensi dan berat konsumsi pangan menggunakan Kuisioner Food Frequency Questionnaire (FFQ) semi kuantitatif. Data Food Frequency terdiri dari frekuensi dan berat konsumsi pangan sumber lemak seperti gorengan, ayam, telur daging sapi, daging kambing, bakso, mie ayam, dan sebagainya dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 makanan tinggi lemak yang paling sering di konsumsi responden dengan katagori selalu atau sangat sering (≥6 kali seminggu) adalah gorengan 62,5 %, ayam 31,2 % serta daging sapi 6,2 %. Kemudian makanan tinggi lemak dengan katagori sering (4-6 kali seminggu) adalah ayam 52 %, nugget 18,7 %, gorengan 12,5 %, daging sapi 8,3 %. Selanjutnya makanan tinggi lemak dengan katagori frekuensi jarang (13 kali seminggu) adalah sosis, bakso, coklat, bebek, telur bebek, pizza, martabak, dan sebagainya dapat dilihat pada tabel 12. Makanan dengan lemak sedang yang sangat sering (≥6 kali seminggu) dikonsumsi responden adalah telur ayam yaitu 41,6 %. Makanan lemak sedang dengan katagori sering (4-6 kali seminggu) adalah telur ayam, cumi-cumi dan ikan. Sedangkan makanan dengan rendah lemak tidak ada yang dikonsumsi dengan katagori sangat sering. Berdasarkan frekuensi konsumsi lemak, makanan berlemak yang paling banyak dikonsumsi oleh responden adalah gorengan. Gorengan yang dimaksud adalah makanan kudapan yang digoreng seperti tempe mendoan, bakwan, aci digoreng dan lain sebagainya. Penelitian ini sejalan dengan penelitian (Saputra, 2014) bahwa responden yang mengonsumsi makanan tinggi lemak seperti gorengan lebih dari 6 kali seminggu cenderung memiliki status gizi obesitas. Konsumsi gorengan serta sumber lemak lainnya pada responden termasuk tinggi karena melebihi proporsi nasional penduduk dengan perilaku konsumsi makanan berlemak, berkolesterol dan makanan gorengan ≥1 kali per hari rata-rata nasional adalah 40,7 %. Sedangkan, DI Yogyakarta termasuk dalam 5 provinsi tertinggi diatas rata-rata Nasional yaitu sebanyak 50,7% (Riskesdas, 2013). Pola makan tinggi lemak yang berkelanjutan akan berdampak buruk terhadap kesehatan karena bila kapasitas energi dan lemak tidak dibakar maka akan disimpan dalam jaringan adiposa. Peningkatan jaringan lemak pada jaringan adiposa akan meningkatkan hormon leptin 9
sehingga memiliki pengaruh terhadap pengaturan keseimbangan energi di dalam tubuh dan pada akhirnya akan menyebabkan obesitas (Murray, 2009). 3.2.3
Aktivitas Fisik Tabel 6. Distribusi Aktivitas Fisik Responden Variabel Ringan Sedang Berat Total
N 2 36 10 48
% 4,2 75 20,8 100
Berdasarkan Tabel 6 sebagaian besar responden memiliki aktivitas fisik sedang sebanyak 75 %, sedangkan responden yang memiliki aktivitas fisik berat sebanyak 20,8 %. Rata-rata aktivitas fisik yang dilakukan responden adalah aktivitas fisik sedang yaitu kegiatan yang membutuhkan usaha fisik sedang sehingga tidak membuat jantung berdetak lebih cepat dari biasanya. Hal ini berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan responden baik di kantor maupun diluar kantor. Misalnya responden yang bertugas di pengadministrasian keuangan, kepegawaian, bidang pendidikan, pengolahan data yang melakukan sebagian pekerjaannya di dalam kantor sehingga aktivitas yang dilakukan tidak membutuhkan usaha fisik yang berat karena bisa dilakukan dengan duduk. Berikut adalah rincian kegiatan aktivitas fisik yang dilakukan responden berdasarkan kuisioner IPAQ. Kuisioner IPAQ mencakup lima bagian kegiatan yaitu aktivitas dalam pekerjaan, transpostasi atau perjalanan, aktivitas rumah tangga, aktivitas rekreasi, olahraga serta waktu luang, dan waktu yang dihabiskan untuk duduk atau bersantai. Rincian kegiatan dapat dilihat pada tabel dibawah ini serta pada lampiran. Berdasarkan Tabel 7, aktivitas fisik dikelompokkan menjadi tiga katagori yaitu ringan, sedang dan berat. Tabel 7 Distribusi Jenis Aktivitas Fisik yang dilakukan Responden No 1.
Bagian
Katagori
Pekerjaan
Sedang
2.
Transpostasi
Sedang
3.
Aktivitas rumah tangga
Berat
Sedang
4.
Rekreasi, olahraga, waktu luang
Berat Sedang
Jenis aktivitas Mengangkat meja 6 kg ( 5- 12,5 kg) Berjalan di kantor
N 2 48
(%) 4,1 % 100 %
Naik sepeda, motor, mobil, bus
48
100 %
Mencangkul tanah
1
2%
Menanam pohon, menyirami taman, menyapu, memasak,mencuci baju, mencuci piring, mengepel, mencuci mobil, mencuci motor, membersihkan rumah, menyetrika,menjemur,merawat anak
48
100 %
5
10,4 %
43
89,5 %
Jogging, badminton, sepak bola,sepeda Jalan di mall, karoke, nonton bioskop, shoping, membaca,
10
No
5.
Bagian
Waktu untuk duduk
Katagori
Ringan
Jenis aktivitas menjahit, senam
N
(%)
Duduk di kantor , duduk dengan menonton tv di rumah, santai
48
100
Aktivitas fisik ringan yaitu dengan nilai METs < 3 METs/menit contohnya adalah duduk bersantai, duduk dengan menonton tv, duduk di meja kerja atau di depan komputer. Sedangkan aktivitas fisik sedang yaitu aktivitas dengan nilai METs 3-6 METs/menit. Contoh dari aktivtas fisik sedang adalah aktivitas fisik rumah tangga seperti yang dilakukan pada Tabel 14. Aktivitas fisik berat yaitu dengan nilai METs > 6 METs/menit , misalnya adalah aktivitas fisik olahraga atau mengangkat beban serta kegiatan berkebun. Berdasarkan aktivitas fisik yang dilakukan responden paling banyak adalah aktivitas fisik sedang karena kegiatan yang dilakukan di kantor dari hari Senin hingga Jumat banyak dilakukan dengan duduk dan sisa kegiatan lainnya adalah mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Aktvitas fisik rumah tangga yang dikerjakan responden termasuk aktivitas fisik sedang karena mempunyai nilai METs 3-6 METs/menit. Adapun aktivitas fisik berat yang dilakukan di kantor hanya 4,1 % yang melakukan kegiatan mengangkat beban meja serta aktivitas fisik berat seperti olahraga yaitu 10,4 %. Sehingga, di dapatkan hasil bahwa ratarata responden memiliki aktivitas fisik sedang sebanyak 75 %. 3.3 Analisis Bivariat 3.3.1 Hubungan antara Kebiasaan Konsumsi Lemak dengan Status Gizi Hasil analisis bivariat antara kebiasaan konsumsi lemak dengan obesitas pada pegawai di Kantor FMIPA UNY pada tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Uji Hubungan Kebiasaan Konsumsi Lemak dengan Status Gizi Kebiasaan Status Gizi Konsumsi Total Kurus Normal Overweight Obesitas Lemak Kurang 2 (16,7%) 5 (41,7%) 4 (33,3%) 1 (8,3%) 12 (100%) Baik 0 (0% ) 6 (46,2%) 2 (15,4%) 5 (38,5%) 13 (100%) Lebih 0 (0% ) 1 (4,3% ) 4 (33,3%) 18 (78,3%) 23 (100%) Total 2 (4,2%) 12 (25%) 10 (20,8%) 24 (50%) 48 (100%) Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa responden yang mengalami obesitas akan cenderung memiliki kebiasaan konsumsi lemak yang lebih tinggi dibandingkan responden yang tidak obesitas. Responden yang memiliki kebiasaan konsumsi lemak lebih dari kebutuhan dan memiliki status gizi obesitas sebanyak 78,3 %. Sedangkan responden yang memiliki kebiasaan konsumsi lemak baik dan kurang hanya 38,5 % dan 8,3 % yang memiliki status gizi obesitas. Dapat dilihat bahwa responden yang memiliki status gizi normal akan cenderung memiliki kebiasaan konsumsi lemak yang baik lebih besar yaitu 46,2%. 11
Tabel 9. Nilai Uji Hubungan Kebiasaan Konsumsi Lemak terhadap Status Gizi Varian IMT Konsumsi Lemak Hasil uji statitistik
Min Max Median P value R 17.00 43.90 24.9 0.00 0.762 53.35 180.45 104.7 dengan Rank Spearman menghasilkan ada hubungan yang
signifikan dengan nilai p = 0.00 antara kebiasaan konsumsi lemak dengan status gizi responden. Kekuatan korelasi (r) antar variabel yang sangat kuat yaitu 0,762 artinya korelasi positif semakin tinggi nilai konsumsi lemak maka semakin tinggi pula indeks massa tubuh responden yang menggambarkan status gizi responden. Sehingga dapat diartikan bahwa semakin tinggi asupan lemak, maka akan semakin besar kemungkinan terjadinya obesitas. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Schwander et al., 2014) yang mengatakan mengkonsumsi makanan berlemak secara rutin beresiko untuk mengalami obesitas. Serta penelitian yang dilakukan oleh Kustevani (2015) bahwa terdapat hubungan antara perilaku konsumsi makanan berlemak dengan obesitas pada usia produktif (15-64 tahun). Responden pada penelitian ini sebagian besar mengkonsumsi makanan berlemak dengan katagori selalu atau sangat sering (≥6 kali seminggu) adalah telur ayam 41,6 % , ayam 31,25 % serta gorengan 62,5 %. Selain itu frekuensi konsumsi sumber lemak dengan katagori sering (4-6 kali seminggu) juga konsumsi ayam, gorengan serta konsumsi makanan cepat saji seperti nugget, bakso serta mie ayam juga sering dikonsumsi oleh responden. Kebiasaan konsumsi lemak yang berlebihan dapat menyebabkan obesitas karena makanan berlemak akan melemahkan, menunda dan mencegah rasa kenyang sehingga seseorang dapat makan dalam jumlah yang berlebihan selain itu rasa makanan berlemak yang gurih (umami flavor) mengakibatkan nafsu makan meningkat (Hidayati et al., 2006). Lemak dan minyak merupakan sumber energi paling padat, dimana 1 gram lemak menghasilkan 9 kkalori atau 2½ kali menghasilkan energi lebih besar daripada karbohidrat dan protein (Almatsier, 2010). Simpanan lemak didalam tubuh berasal dari asupan lemak yang berlebih atau kombinasi antara zat-zat gizi lain, seperti karbohidrat, lemak dan protein. Glukosa dan asam amino yang tidak digunakan juga akan mengalami proses pembentukan lemak (lipogenesis). Sehingga, akan terjadi akumulasi penumpukkan lemak di dalam tubuh. Tubuh memiliki kapasitas yang tak terhingga untuk menyimpan lemak, kelebihan konsumsi lemak tidak diiringi dengan peningkatan oksidasi lemak sehingga 96% lemak akan disimpan dalam tubuh dan apabila berlangsung terus menerus akan menyebabkan obesitas (Burhan dkk, 2013). Lemak lebih mudah disimpan sebagai cadangan energi di dalam jaringan adipose. Bila dibandingan dengan karbohidrat yang membutuhkan 23% energi untuk diubah menjadi cadangan lemak dalam jaringan adipose, lemak hanya membutuhkan 3% energi. Oleh karena itu, kebiasaan konsumsi lemak cenderung lebih cepat menimbulkan 12
kegemukan atau obesitas dibandingkan karbohidrat dan protein. Diet hypercaloric dengan lemak tinggi dan karbohidrat sederhana berpotensi lebih tinggi untuk menyebabkan kenaikan berat badan, inflamasi jaringan adiposa, stress oksidatif dan berbagai penyakit terkait dengan obesitas (Ventura et al., 2017). 3.3.2 Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Obesitas Hasil analisis bivariat antara aktivitas fisik dengan status gizi obesitas pada pegawai pada pegawai di Kantor FMIPA UNY pada tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Uji Hubungan Aktivitas Fisik terhadap Status Gizi Status Gizi Aktivitas Total Fisik Kurus Normal Overweight Obesitas Ringan 0 0 0 2 (100%) 2 (100%) Sedang 2 (5,6%) 8 (22,2%) 8 (22%) 18 (50%) 36 (100%) Berat 0 (0%) 4 (40%) 2 (20%) 4 (40%) 10 (100%) Total 2 (4,2%) 12 (25%) 10 (20,8%) 24 (50%) 48 (100%) Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa responden yang melakukan aktivitas ringan memiliki status gizi obesitas 100 % Sedangkan responden yang memiliki aktivitas fisik sedang status gizinya lebih bervariasi yaitu kurus 5,6 %, normal dan overweight 22,2 % serta yang paling banyak adalah obesitas yaitu 50%. Sedangkan aktivitas fisik berat tersebar pada responden yang memiliki status gizi normal dan obesitas yaitu 40 % serta overweight 20 %. Hal ini terlihat jelas bahwa responden yang hanya melakukan aktivitas ringan dan sedang lebih berpotensi mengalami obesitas. Rata- rata aktivitas fisik yang dilakukan sebagian besar adalah aktivitas fisik sedang sebanyak 36 orang (75%). Hal ini disebabkan oleh jenis pekerjaan responden, dimana responden adalah pegawai kantoran yang sebagian besar aktivitas yang dilakukan di kantor tidak memerlukan usaha fisik yang berat. Aktivitas di kantor bisa dilakukan dengan duduk. Adapun pegawai yang memiliki aktivitas fisik berat sebanyak 10 orang yang memiliki aktivitas olahraga di luar jam kerja adalah bersepeda selama 1 jam 2 kali seminggu sebanyak 2 orang yaitu 4,16 %, melakukan kegiatan berkebun pada saat akhir pekan sebanyak 4 orang yaitu 8,3 %. Serta, 4 orang atau 8,3 % rutin melakukan joging selama 30 menit setiap pagi. Kegiatan tersebut yang menyebabkan adanya responden dengan aktivitas fisik berat. Sedangkan, responden yang memiliki aktivitas ringan sebagian besar jarang melakukan olahraga dan hanya melakukan aktivitas sedenraty selepas dari kantor. Aktivitas sedentary adalah aktivitas santai seperti duduk, berbaring, bekerja di depan komputer, membaca, menonton tv,dan lain-lain. Hal ini yang menyebabkan responden yang melakukan aktivitas ringan lebih banyak memiliki status gizi obesitas. Penelitian yang dilakukan (Rosiek, Fr, & Leksowski, 2015) bahwa aktivitas sedentary yang berkepanjangan misalnya menonton televisi secara langsung berhubungan dengan obesitas, 13
resiko diabetes, jantung bahkan peningkatan resiko kematian dini. Aktivitas fisik rendah akan melambatkan metabolisme tubuh sehingga pembakaran kalori juga melambat dan bila berlangsung lama dapat menyebabkan obesitas. Tabel 11. Nilai Uji Hubungan Aktivitas Fisik terhadap Status Gizi Varian IMT Aktivitas Fisik
Min 17.00 541.9
Max 43.90 5012.50
Median 24.9 2441
P vaue
R
0.001
-0,464
Berdasarkan hasil uji hubungan dengan Rank Spearman menghasilkan ada hubungan yang signifikan dengan nilai p = 0.001 (p < 0,05) bahwa hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan status gizi. Kekuatan korelasi (r) yang berbanding terbalik ( -0,464) artinya adalah semakin tinggi aktivitas fisik maka akan semakin rendah nilai indeks masa tubuhnya yang artinya status gizi kurang, atau semakin rendah aktivitasnya maka responden cenderung memiliki indeks masaa tubuh yang tinggi yang artinya status gizi lebih atau bisa disebut status gizi obesitas. Sehingga, dapat dartikan bahwa responden yang memiliki aktivitas fisik rendah lebih cenderung dapat mengalami obesitas. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Martaliza (2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan bermakna antara aktivitas fisik dan status gizi obesitas. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Widiantini (2014) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan obesitas dan mengungkapkan semakin berat aktivitas fisik maka semakin rendah kejadian obesitas. Aktivitas fisik akan berpengaruh terhadap kondisi tubuh sesorang. Meningkatnya kesibukan seseorang yang bekerja di perkantoran menyebabkan tidak lagi memiliki waktu untuk berolahraga. Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Aktivitas fisik dan berolahraga memiliki peran sangat penting. Saat berolahraga kalori terbakar, makin banyak berolahraga makin banyak kalori yang hilang. Kalori secara tidak langsung mempengaruhi sistem metabolisme basal. Orang yang duduk bekerja seharian akan mengalami penurunan metabolisme basal tubuhnya, sehingga energi yang masuk sebagian akan disimpan dalam bentuk cadangan energi. Penelitian menunjukkan bahwa perilaku aktivitas fisik yang rendah dimana aktivitas yang dilakukan banyak dengan duduk dapat menurunkan laju metabolisme basal, serta menyebabkan massa otot berkurang dan jaringan lemak bertambah. Metabolisme tubuh yang melambat membuat tubuh lambat dalam membakar kalori sehingga terjadi kelebihan energi dan peningkatan IMT (Zahroh & Isfandiari, 2015). Apabila hal ini berlangsung terus menerus makan akan mengalami penumpukan dalam tubuh sehingga terjadi obesitas yang akan memicu timbulnya berbagai penyakit degeneratif (Dharmawati, 2007). Penurunan aktivitas fisik disebabkan karena banyaknya aktivitas fisik yang dilakukan menetap, metode transportasi yang semakin mudah serta peningkatan 14
konsumsi makna kaya akan energi, lemak dan gula menyebabkan ketdakseimbangan antara asupan dan pengeluaran sehingga bila dilakukan terus menerus akan menyebabkan obesitas (Labban, 2014). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang tidak mengalami obesitas sebagian besar mempunyai aktivitas fisik yang berat dan sedang. Sebaliknya pada responden yang memiliki status gizi obesitas pola aktivitasnya rendah. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas fisik mempengaruhi status gizi. Berat badan berkaitan erat dengan tingkat pengeluaran energi tubuh. Pengeluaran energi tubuh ditentukan oleh dua fakor yaitu tingkat aktivitas/olahraga dan angka metabolisme basal atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi minimal tubuh. Orang yang mengalami obesitas aktivitas fisik memiliki peran yang sangat penting. Peningkatan aktivitas fisik penting dalam meningkatkan metabolisme lemak di dalam tubuh, kombinasi olahraga serta diet rendah lemak dapat membantu dalam pengobatan obesitas (Schrauwen & Westerterp, 2000). Ketika berolahraga kalori terbakar, maka semakin sering berolahraga maka semakin banyak kalori yang terbakar. Kalori secara tidak langsung mempengaruhi sistem metabolisme basal. Apabila asupan melebihi kebutuhan dan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang cukup maka kalori yang masuk akan menumpuk di dalam tubuh dan disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk lemak sehingga dapat mengakibatkan obesitas. 4.
PENUTUP Pegawai di Kantor FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta memiliki status gizi obesitas sebesar 50 %. Kebiasaan konsumsi lemak responden yang lebih sebesar 47,9 %. Aktivitas fisik responden sebagian besar memiliki aktivitas fisik sedang sebesar 75 %. Ada hubungan antara kebiasaan konsumsi lemak dengan status gizi nilai p = 0.00 dengan korelasi positif sangat kuat nilai r 0,762. Ada hubungan yang signifikan dengan nilai p = 0.001 bahwa hubungan yang bermakna antara aktiitas fisik dengan status gizi. Kekuatan korelasi (r) yang berbanding terbalik ( -0,464). Saran bagi Instansi Kantor FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta perlu dilakukan penimbangan berat badan secara rutin untuk memantau perubahan berat badan para pegawai serta cek kesehatan yang dilakukan secara berkala guna menjaga kesehatan para pegawai. Sebaiknya Instansi memperhatikan kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas fisik seperti instruksi ketat untuk mengikuti senam satu minggu satu kali untuk menghindari kejadian gizi lebih atau obesitas dan untuk meningkatkan kesehatan pegawai agar meningkat produktivitas bekerja. DAFTAR PUSTAKA Adriani M, Wirjatmadi, B. (2012). Pengantar Gizi Masyarakat (1 ed.). Jakarta: Kencana Media Grup. 15
Almatsier, S. (2003). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta : 160252 Arisman. (2004). Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. EGC. Jakarta: 144-156 Burhan FZ, Sirajuddin S, Indriasari R. (2013). Pola Konsumsi Terhadap Kejadian Obesitas Sentral Pada Pegawai Pemerintahan di Kantor Bupati Kabupaten Jeneponto. Makasar:Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan MasyarakatUniversitas Hasanuddin Chou, L.-N., & Chen, M.-L. (2017). Influencing Factors of the Body Mass Index of Elementary Students in Southern Taiwan. International Journal of Environmental Research and Public Health, 14(3), 220. https://doi.org/10.3390/ijerph14030220 DepkesRI, D. (2010). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) . Kementrian Kesehatan Republik Indonesia DepkesRI, D. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) . Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Dharmawati.(2007). Hubungan Aktivitas Fisik dengan Komposisi Tubuh pada Remaja. Sumatera Utara . Fakultas Ilmu Kesehatan. Sumatera Utara. Dwiningsih. (2013). Perbedaan asupan energy, protein, lemak, karbohidrat dan status gizi pada remaja yang tinggal diwilayah perkotaan dan perdesaan. Jurnal Gizi Klinik, Jakarta : 232-241 ; 2 (2) FAO. (2008). Interim Summary of Conclusions and Dietary Recommendations on Total Fat & Fatty Acids. (Geneva, Ed.). FAO/WHO Expert Consultation on Fats and Fatty Acids in Human Nutrition. Henuhili. (2010) . Gen-gen Penyebab Obesitas dan Hubungannya dengan perilaku Makan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, pendidikan dan Peneran MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta Hidayati, N.S., Irawan, R., dan Hidayat , B. (2006) . Obesity pada anak. Bagian ilmu kesehatan anak, Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi 5. Jakarta : Erlangga. Institute of Medicine (IOM). (2005). Dietary Reference Intake for Energy, Carbohydrate, Fiber, Fat, Fatty Acids, Cholesterol, Protein and Amino Acids. A Report of the Panel on Macronutrients, Subcommittees on Upper Reference Levels of Nutrients and Interpretation and Uses of Dietary Reference Intakes and the Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes. National Academies Press : Washington, DC. IPAQ. (2005). Guidelines For Data Processing and Analysis of The International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). Khomsan, A. (2000). Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor : IPB. Khomsan, A & Faisal A. (2008). Sehat Itu Mudah, Wujudkan Hidup Sehat dengan Makanan yang Tepat. Jakarta : Mizan. Kustevani F. (2015). Faktor yang berhubungan dengan obesitas abdominal pada usia produktif (15-64 tahun) di Kota Surabaya Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 1 Januari 2015: 45–56 Labban, L. (2014). The association between physical activity, overweight and obesity among Syrian University students. Saudi Journal of Sports Medicine, 14(2), 121. 16
https://doi.org/10.4103/1319-6308.142366 Martaliza, R. W. (2010). Skripsi faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi lebih pada polisi di kepolisian resort kota bogor tahun 2010. [Skripsi]. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Murray, R. K., Granner, D. K., & Rodwell, V. W. (2009)Biokimia harper (27 ed.). Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Rosiek, A., Fr, N., & Leksowski, K. (2015). Effect of Television on Obesity and Excess of Weight and Consequences of Health. International Journal of Environmental Research and Public Health, 12, 9408–9426. https://doi.org/10.3390/ijerph120809408 Saputra, Y. (2014). Hubungan Frekuensi Konsumsi Gorengan Dengan Di Kelurahan Gedanganak Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang. Journal of Nutrition, 3, 1–9. Sajogyo. (2004). Menuju Gizi Baik yang Merata di Pedesaan dan di Kota. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Soegih, RR & Wiramihardja, KK. (2009). Obesitas, Permasalahan dan Terapi Praktis. Jakarta : CV Sagung Seto. Sudikno. (2010). Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Obesitas pada Orang Dewasa di Indonesia (Analisis Riskesdas 2007). Jurnal Gizi Indon, Puslitbang Gizi dan Makanan Bogor : 37-49 ; 33(1) Suhardjo. (1989) . Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, PAU Pangan dan Gizi. Bogor : IPB. Schrauwen, P., & Westerterp, K. R. (2000). The role of high-fat diets and physical activity in the regulation of body weight. Br J Nutr, 84(4), 417–427. https://doi.org/S0007114500001720 [pii] Schwander, F., Kopf-Bolanz, K. A., Buri, C., Portmann, R., Egger, L., Chollet, M., Vergères, G. (2014). A dose-response strategy reveals differences between normal-weight and obese men in their metabolic and inflammatory responses to a high-fat meal. Journal of Nutrition, 144(10), 1517–1523. https://doi.org/10.3945/jn.114.193565 USDA, HHS. (2010). U.S. Department of Agriculture and U.S. Department of Health and Humas Services. Dietary Guidelines for Americans 7th Edition. Washington, DC. U.S. US : Government Printing Office. Ventura, L. L. A., Fortes, N. C. L., Santiago, H. C., Caliari, M. V, Gomes, M. A., & Oliveira, D. R. (2017). Obesity-induced diet leads to weight gain , systemic metabolic alterations , adipose tissue inflammation , hepatic steatosis , and oxidative stress in gerbils ( Meriones unguiculatus ). PeerJ, DOI.10, 2–19. https://doi.org/10.7717/peerj.2967 Widiantini, W., Z. T. (2014). Aktifitas Fisik, Stres, Dan Obesitas Pada Pegawai Negeri Sipil. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 8(7), 329–336. Wijayahadi, Elyma Y. (2010). Strategi Penanggulangan Masalah Gizi Lebih di Kota Surabaya. Skripsi. Surabaya : Universitas Airlangga. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG). (2004). Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. WHO. (2004). Obesity: Preventing And Managing The Global Epidemic. Geneva : World Health Organization. Zahroh, A. H., & Isfandiari, M. A. (2015). Indeks Masa Tubuh Pada Akseptor Kontrasepsi Hormonal. Jurnal Berkala Epidemiologi, (vol 3 no 2 Mei 2015), 170–180. 17