Judul
: Penyesuaian perkawinan pada pria yang melakukan pernikahan poligami
Nama/ NPM : Nurhayyu Widyas Nina / 10502296 Pembimbing : M. Fakhrurrozi, MPsi, Psi
ABSTRAK
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sakral dalam membentuk sebuah keluarga. Pada dasarnya, semua agama di dunia ini menganjurkan penganutnya untuk melaksanakan perkawinan yang akan mengatur kehidupan serta pergaulan laki-laki dan wanita secara sah. Asas perkawinan yang disyariatkan oleh Islam adalah pengkondisian hidup yang kekal dalam suasana rumah tangga yang harmonis, bukan sekedar memenuhi tuntutan nafsu naluri semata-mata. Islam menetapkan peraturan - peraturan yang lengkap termasuk dalam hal poligami atau mempunyai istri lebih dari pada satu orang dalam satu waktu. Poligami merupakan salah satu persoalan yang kontroversial dan paling banyak dibicarakan. poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama, pria yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami. Poligami adalah masalah yang sering diperhatikan di Indonesia, salah satu negara yang memperbolehkan poligami dengan syarat tertentu. Poligami memang termasuk ajaran agama Islam, agama yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Namun demikian, pemahaman orang Islam terhadap poligami dalam ajaran agama berbeda-beda. Dalam media massa Indonesia, sering ada berita tentang poligami. Persoalan ini perlu diperjelas agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui masalah-masalah apakah yang timbul dalam perkawinan poligami, bagaimanakah penyesuaian perkawinan pria yang melakukan pernikahan poligami, dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan penyesuaian perkawinan pria yang melakukan pernikahan poligami seperti itu, serta bagaimana proses perkembangan penyesuaian perkawinan pada subjek sendiri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan bentuk studi kasus. Subjek dalam penelitian ini adalah laki-laki dewasa berumur 66 tahun, memiliki dua orang istri yang pertama berumur 52 tahun dan istri yang kedua berumur 35 tahun. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa subjek mampu menyesuaikan perkawinan poligami dengan kedua orang istrinya. Subjek juga selalu berusaha melakukan penyesuian kepada kedua istrinya. Penyesuian perkawinan pada pria yang melakukan pernikahan poligami dengan dua orang istri membutuhkan kesiapan mental dan tentunya tanggung jawab yang cukup besar hal demikian menjadi masukan kepada kita bahwa perkawinan poligami tidak seutuhnya dapat berjalan sempurna perlu adanya kesiapan diri baik lahir maupun batin karena dalam hal ini pasti ada pihak yang akan dirugikan. Keadaan yang demikian tentunya juga dirasakan oleh kedua istri subjek, namun adanya sikap saling menghargai dan menghormati dapat meminimalis keadaan yang tidak diinginkan. Dan kepada kedua
istri subjek tentunya dapat menyadari bahwa adanya keterbatasan suami yang hanyalah manusia biasa yang tidak dapat berbuat seadil mungkin sesuai yang diharapkan, hal yang demikian memerlukan kebesamaan bersama untuk dapat menciptakan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera sehingga dapat terjalin hubungan yang baik diantara kedua istri
Kata kunci : Poligami, Penyesuaian perkawinan
I. Pendahuluan A. Latar Belakang Tatanan kehidupan umat manusia yang didominasi kaum pria atas kaum wanita sudah menjadi akar sejarah yang panjang. Dalam tatanan itu, wanita ditempatkan sebagai manusia kelas dua (the second human being), yang berada di bawah superioritas pria, yang membawa implikasi luas dalam kehidupan sosial di masyarakat. Wanita selalu dianggap bukan makhluk penting, melainkan sekedar pelengkap yang diciptakan dari dan untuk kepentingan pria. Akibatnya, wanita hanya ditempatkan di ranah domestik saja, sedangkan pria berada di ranah publik. Karena persepsi tersebut dianggap benar, timbullah berbagai bentuk tindak kekerasan, penindasan, pelecehan seksual, dan sebagainya terhadap kaum perempuan. Di dalam Women’s Studies Encyclopedia menjelaskan bahwa suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalis dan karakteristik emosional antara pria dengan wanita yang berkembang dalam masyarakat. Berbeda dengan seks (jenis kelamin) yang membedakan pria dengan wanita dari segi biologis, untuk membedakan pria dengan wanita dari segi nonbiologis, yaitu dari segi peran sosial yang dimainkan oleh keduanya. Yang pertama bersifat kodrati dalam diri manusia, sedang yang kedua merupakan konstruksi sosial. Meskipun secara biologis keduanya pria dan wanita berbeda, namun perbedaan jasmaniah itu tidak sepatutnya dijadikan alasan untuk berlaku diskriminatif terhadap wanita. Perbedaan jenis kelamin bukan alasan untuk mendiskreditkan wanita dan mengistimewakan pria. Perbedaan
biologis jangan menjadi pijakan untuk menempatkan wanita pada posisi subordinat dan pria pada posisi superordinat. Perbedaan kodrati antara pria dan wanita seharusnya menuntut manusia kepada kesadaran bahwa pria dan wanita memiliki perbedaan dan dengan bekal perbedaan itu keduanya diharapkan dapat saling membantu, saling mengasihi dan saling melengkapi satu sama lain. Karena itu, keduanya harus bekerja sama, sehingga terwujud masyarakat yang damai menuju kepada kehidupan abadi di akhirat nanti. Perkawinan mungkin salah satu praktek kebudayaan yang paling mengundang upaya perumusan dari beberapa kalangan dalam suatu masyarakat. Kegiatan yang dibayangkan, bahkan dipercayai, sebagai perwujudan ideal hubungan cinta antara dua individu belaka telah menjadi urusan banyak orang atau institusi, mulai dari orang tua, keluarga besar, institusi agama sampai negara. Namun, pandangan pribadi ini pada saatnya akan terpangkas oleh batasbatas yang ditetapkan keluarga, masyarakat, maupun ajaran agama dan hukum negara sehingga niat tulus menjalin ikatan hati, membangun kemandirian masing-masing dalam ruang bersama. Hubungan perkawinan penting artinya bagi kepuasan hidup seseorang Duvall & Miller 1985. Perkawinan yang tidak bahagia menyebabkan frustasi dan penderitaan, baik bagi pasangan yang menikah maupun bagi anak-anak mereka. Hubungan buruk yang persisten antara suami dan istri tidak hanya menyebabkan efek yang sangat menghancurkan di dalam lingkaran
keluarga, namun seringkali juga menjadi dasar yang menyebabkan kesulitan yang serius di dalam pekerjaan dan relasi sosial (Pincus, 1973). Aturan yang menguatkan perkawinan di Indonesia terdapat dalam Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 1 yang berbunyi: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Salah satu gaya hidup yang ada pada masyarakat di seluruh dunia adalah perkawinan (Zanden, 1993). Perkawinan merupakan suatu bentuk hubungan yang terpenting dalam kehidupan sebagian besar orang dewasa (Pincus, 1973). Hal ini dikarenakan dalam perkawinan terjadi tradisi hidup yang berbeda, yang melibatkan penyandang peran baru sebagai seorang pasangan (Sigelman, 1999). Perkawinan yang umum dijumpai dalam masyarakat di seluruh dunia adalah bentuk monogami; yakni perkawinan antara satu orang suami dan satu orang istri. Dalam realitas sosiologis di masyarakat, monogami lebih banyak dipraktekkan karena dirasakan paling sesuai dengan tabiat manusia dan merupakan bentuk perkawinan yang paling menjanjikan kedamaian. (Zanden, 1993). Meskipun begitu, Murdock (1949) menyatakan bahwa dari 238 masyarakat di seluruh dunia, hanya seperlimanya yang benar-benar monogami. Pola perkawinan lain yang dijumpai adalah poligami, poliandri, dan group marriage (Murdock dalam Zanden, 1993). Poligami adalah
bentuk perkawinan dimana seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri dalam satu waktu (Kapadia, 1966), Poliandri adalah bentuk perkawinan dimana seorang wanita mempunyai lebih dari satu orang suami dalam satu waktu (Jones, 1994), group marriage adalah bentuk perkawinan dimana terdapat dua atau lebih suami dan dua atau lebih istri yang saling menikah dalam waktu yang bersamaan (Zanden, 1993). Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan yang baik secara sosial maupun oleh ajaran agama. Penelitian yang dilakukan terhadap lebih dari 2000 subjek berusia 18 hingga 90 tahun menunjukkan bahwa seseorang yang menikah cenderung untuk menjadi bahagia daripada seseorang yang tidak menikah (Papalia, 2001). Hasil ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Campbell (dalam Duvall & Miller, 1985) yang menyatakan bahwa perkawinan memberikan sesuatu yang unik, yang penting artinya terhadap perasaan wellbeing seseorang. Pincus (1973) menambahkan bahwa perkawinan tidak hanya menyediakan kesempatan bagi terciptanya kepuasan emosional namun juga bagi perkembangan keperibadian dan kematangan seseorang. Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat adalah poligami karena mengandung pandangan yang kontroversial. Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Pria yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami. Selain
poligami, dikenal juga poliandri. Jika dalam poligami, suami yang memiliki beberapa istri, dalam poliandri sebaliknya, justru istri yang mempunyai beberapa suami dalam waktu yang sama. Akan tetapi dibandingkan poligami, bentuk poliandri tidak banyak dipraktekkan. Praktek poliandri hanya dijumpai pada beberapa suku tertentu, seperti suku tuda dan suku-suku di Tibet. Dalam budaya masyarakat Arab pra-Islam, keberadaan poligami mempunyai sejarah yang panjang bahkan merupakan realitas budaya bagi masyarakat primitif yang dipraktekkan diseluruh belahan bumi, tidak hanya Arab. Praktek poligami sejak jaman pra modern telah dilakukan oleh raja, kaum bangsawan, kaum bojuis atau pemimpin klan, dan ini hampir ada dalam sejarah bangsa dibelahan dunia. Poligami yang diperaktekkan masyarakat arab primitif, secara sosio kultur tidak lepas dari fenomena adanya budaya perbudakan dan tatanan masyarakat yang patriakis. Sebelum datangnya Islam, perbudakan menjadi hal sangat lumrah, bahkan sampai Islam datang hal ini tidak dapat dibersihkan dengan tegas dari akar budaya masyarakat Arab. Orang-orang arab dan kepala suku biasanya memiliki budak-budak laki-laki dan wanita untuk bekerja, selain itu budak-budak perempuan juga dimanfaatkan sebagai pemuas nafsu selain dari istri-istri mereka yang sah. Para budak wanita dijual belikan dipasar untuk dimiliki dan dibawa dalam perjalanan sebagai pemuasa nafsu. Ini seperti yang digambarkan oleh Rasyid Ridla: Para ahli antropologi dan sejarah kebudayaan primitif mengatakan bahwa poligami yang dilakukan dibanyak negara yang
oleh penduduknya dianggap tradisi, adalah sisa-sisa perbudakan kaum wanita, dimana orang-orang yang berkuasa dan pemilik harta memperlakukan wanita semata-mata sebagai pemuas nafsu dan pengendalian diri. Oleh karena itu hal ini biasanya dilakukan oleh para raja, para pangeran, kepala suku dan pemilik harta. Pro dan kontra masalah poligami terus berkembang di masyarakat kita. Adapun cara pandang bagi yang pro biasanya lebih menekankan kepada hal bahwa beristri empat itu dibolehkan. Sedangkan syarat adilnya biasanya dengan merasa adil saja, atau dengan argumen bahwa jika tidak adil dicoba agar mengetahui adil atau tidaknya. Sedangkan cara pandang bagi yang kontra biasanya menekankan pada syarat adil itu. Beranggapan bahwa tidak akan ada manusia yang bisa adil, ini sudah di terangkan menurut AlQur’an dan hadis. Jadi dengan kata lain bahwa sebenarnya ayat ini hanya sekedar permainan kata-kata yang intinya poligami itu haram. Salah satu pertanyaan yang timbul dalam masayarakat bagaimana penyesuaian yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang melakukan poligami. Banyak yang memberi sanggahan dari praktek poligami yang terjadi di Indonesia sendiri, salah satu pendapat yang mengatakan bahwa “berpoligamilah dari pada berzina atau berselingkuh”. Selain itu ada yang “membanggakan poligami sebagai warisan Islam”. Sebagian dari masarakat kita bukan pro poligami tapi penganjuran poligami, sehingga relevan untuk mengetahui apakah masyarakat kita pelaku poligami atau tidak.
Poligami harus di tempatkan proposional. Agar poligami Itu adil. Poligami itu sudah ada dari zaman sebelum Islam ada. Malah pada masa sebelum Islam poligami itu tidak terbatas. Menggambarkan contohnya saja Sulaiman mempunyai 1000 istri. Lalu islam hanya membatasi poligami yang telah ada. Pembatasan buat budaya yang telah mengenal Islam dikatakan sebagai pembatas bukan anjuran (bagi yang monogami agar berpoligami). Nasehat AlQur’an bagi suami yang bermasalah dengan istrinya adalah bersabarlah bersabarlah dan bersabarlah. Tidak pernah disuruh berpoligami. (Danalingga, (2008) Prokontra-poligami-penyesuaian-ayat/seminar.www. polygamy.com). Membicarakan poligami itu harus kasus perkasus dan kontekstual. Poligami bisa jadi potret baik dan buruk, poligami, sebagai salah satu pernik kehidupan pernikahan, bisa menjadi haram sebagaimana monogami juga bisa menjadi haram. Banyak telaah tentang poligami mengatakan bahwa hukumnya poligami itu boleh yang arabnya muba, bukan haram, wajib, sunnah. dan kajian ini ada hanya dalam literature Islam. Mungkin karena inilah kesannya seolah-olah Islam yang membela dan membanggakan poligami.(pndokshabran.org/index.php ?itemid=17&id=101…com..seminar) Penyesuaian diri pada pria yang melakukan pernikahan poligami dalam kehidupan berumah tangga bersama dengan kedua istrinya dalam masyarakat masih menjadikan pertanyaan yang selalu dipertanyakan kepada pria yang berpoligami tersebut. apakah kehidupan perkawinannya bahagia dengan kedua istrinya, bagaimana hubungan dirinya dengan
masyarakat dan keluarga besarnya. (Studi Poligami From: M Ikhsan. 2006) Riset yang telah didapat terhadap keluarga poligami yang sukses seperti keluarga para ulama, puspo wardoyo, Dr. Gina puspita (wanita yang mencarikan istri bagi suaminya) dan sebagainya. Dapat melakukan penyesuaiaan perkawinan dengan baik satu sama lainnya. Berapa % berhasil, berapa % penyebab penderitaan lebih banyak yang berhasil? Come on, don’t dream. Dewasa ini muncul pertanyaan di kalangan masyarakat kita dalam (Danalingga, (2008) Pro-kontrapoligami-penyesuaian-ayat/seminar.www.polygamy.com/101.htm. Salah satu penyesuaiaan dalam poligami yang dilakukan oleh pihak laki-laki adalah penyesuaiaan masalah seksual yang terjadi antara kedua istrinya. Beberapa riset mengemukakan bahwa poligami sumber penyebaran penyakit seksual justru meragukan karena pada poligami, meski pria hanya ada 1 dan istrinya 4, tapi kalo semua bersih maka tidak akan ada penularan penyakit. Justru yang dapat terjadi adalah pada pasangan monogami, sementara si pria sebenarnya tidak cukup berhubungan dengan hanya 1 wanita. Akibatnya pria akan pergi ke tempat pelacuran hal yang terjadi demikian menyebabkan timbulnya penyakit kelamin. Apalagi diketahui dalam pelacuran, seorang pelacur jika melayani 1 pria dalam 1 malam, maka dalam setahun pelacur tersebut akan berhubungan seks dengan 300 pria lebih. Besarnya resiko ketimbang poligami yang hanya 1 pria dan 4 wanita tanpa berganti-ganti pasangan. Tidak dapat di terima oleh kita sendiri jika penelitian ada yang menyimpulkan poligami sebagai
sumber penyakit sementara pelacuran tidak. Ini adalah studi asal-asalan untuk menentang poligami. Indonesia sendiri, kasus poligami terbanyak berasal dari propinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, hal ini setidaknya tercatat sejak tahun 1996 hingga 2001. Pengadilan Agama mencatat bahwa sepanjang tahun 2001 terdapat sejumlah 1130 perkara ijin poligami yang diajukan dari Pengadilan Tinggi Agama di seluruh Indonesia, dan 669 kasus berasal dari kedua propinsi tersebut (Sumber Direktorat Pembinaan Peradilan Agama/Departemen Agama RI). Namun data ini diakui belum memaparkan jumlah kasus poligami yang sebenarnya terjadi di Indonesia (wawancara dengan Bapak Aziz Falahuddin, Kepala Seksi Evaluasi dan Pengendalian Direktorat Peradilan Agama RI). Fakta jumlah perkawinan poligami secara formal memang sulit ditemukan. Hal ini disebabkan karena berbagai pihak lebih suka menutupi tentang perkawinan poligami yang dilakukannya. Proses legalisasi untuk perkawinan kedua dan atau seterusnya juga lebih sulit dilakukan, maka tidak heran jika ditemui berbagai kasus pemalsuan terhadap status perkawinan pria untuk melegalkan perkawinan kedua dan atau seterusnya. Alternatif lain adalah dengan melakukan perkawinan di bawah tangan. Hal ini membuat catatan tentang perkawinan model poligami sulit ditemukan (Farida, 2002). Poligami bukannya tidak memiliki masalah sama sekali. (Suwondo, 1981) mengungkapkan bahwa lelaki yang berpoligami harus mengurus, bertanggung jawab dan memperhatikan dua atau lebih unit rumah tangga, ia harus mengubah
sikap dan perilakunya. Tuntutan untuk membagi waktu, keuangan, pribadi dan lain-lain seadil-adilnya pasti akan ia hadapi. Fungsi-fungsi keluarga harus ia jalankan untuk dua atau lebih unit rumah tangga ini. Konflik keluarga biasanya meningkat, dan ia harus menyesuaikan pada dua atau lebih ragam kehidupan keluarga, dan menghadapi tiga atau lebih unit keluarga besar. Sementara itu bagi istri pertama, poligami yang dilakukan oleh suaminya umumnya menjadi peristiwa traumatis. Ia akan mempertanyakan pada dirinya “saya ini siapa sekarang”, kehilangan identitas yang telah diembannya selama bertahun-tahun. Reaksi-reaksi seperti marah, kecewa, merasa dikhianati, dan menjadi bingung akan dialaminya (Soewondo, 2001). Selain mengalami pengingkaran komitmen perkawinan, istri pertama juga mengalami tekanan psikologis, ekonomi, seksual, fisik, hingga pandangan iba dan sinis dari masyarakat (Farida, 2002). Sebelum mengambil istri kedua dan seterusnya, suami biasanya meminta izin atau setidak-tidaknya memberitahukan kepada istri pertama. Seringkali ia juga harus mengadakan pemberian kepada istri pertamanya itu. Istri-istri itu ada yang tinggal dalam satu rumah, namun ada juga yang diberi rumah sendiri-sendiri (Suwondo, 1981). Penelitian yang dilakukan di Indonesia dan Malaysia menunjukkan bahwa jarang sekali ada istri-istri yang ditempatkan dalam satu rumah (dalam Jones, 1994). Selama ini masalah poligami sering dibahas dan di kaji dari aspek keagamaan sebagai payung boleh tidaknya seseorang melakukan poligami. Masalah poligami jarang
dibahas yang lain misalnya sosilogi, psikologi, atau ekonomi. Banyak faktor yang melatar belakangi terjadinya poligami misalnya perselingkuhan, kemiskinan, serta konstruksi sosial, budaya dan agama. Selain itu banyak salah satu kasus poligami justru menimbulkan dampak pisikologi terhadap perempuan yang dipoligami meskipun poligami adalah pilihan individu, dampak poligami tidak hanya menyangkut individu pelaku poligami tetapi individuindividu dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Penyesuaian diri pria yang berpoligami memberi pengaruh pada hubungan kekeluargaan, emosi, kesejahteraan keluarga, pola asuh anak, serta hubungan-hubungan antar anggota dalam keluarga yang bersangkutan. (Razuardy.(2007), Buku-poligami– Solutif www.scribd.com). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penelitian tertarik untuk melihat penyesuaian diri pada pria yang melakukan pernikahan poligami. B. Pertanyaan Penelitian 1. Masalah-masalah apakah yang timbul dalam perkawinan poligami ? 2. Bagaimanakah penyesuaian perkawinan pria yang melakukan pernikahan poligami ? 3. Faktor- faktor apa saja yang menyebabkan penyesuaian perkawinan pria yang melakukan pernikahan poligami seperti itu ? 4. Bagaimana proses perkembangan penyesuaian perkawinan pada subjek ?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui masalahmasalah apakah yang timbul dalam perkawinan poligami, bagaimanakah penyesuaian perkawinan pria yang melakukan pernikahan poligami, dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan penyesuaian perkawinan pria yang melakukan pernikahan poligami seperti itu, serta bagaimana proses perkembangan penyesuaian perkawinan pada subjek sendiri. D. Manfaat Penelitian Manfaat Praktis: Penulis berharap bahwa hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis yaitu mengenai penyesuaian perkawinan poligami, dengan cara memberikan tambahan data yang sudah teruji secara ilmiah. Selain itu dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya terkait dengan penyesuaian perkawinan dan poligami Manfaat Teoritis Penulis berharap penelitian ini subjek pelaku perkawinan poligami mampu melakukan penyesuaian diri dengan baik dengan kedua istrinya misalnya dalam masalah keuangan, hubungan mertua ipar, aktivitas sosial dan rekreasi, hubungan dengan teman, kehidupan beragama, mengasuh dan mendisiplinkan anak. Sedangkan pada faktor-faktor yang menyebabkan penyesuaian perkawinan subek mampu menajadi orang tua, mampu menyesuaikan keadaaan keuangan yang stabil dengan kedua istrinya, dapat menyesuaikan dengan keluarga pasangan. Dalam hal menyelesaikan masalahnya
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan bagi masyarakat mengenai masalah penyesuaian perkawinan poligami, dapat memberikan inssight, gambaran dan manfaat kepada individu yang berkaitan dengan masalah ini dan juga pada individu lain yang ingin menambah wawasan tentang kehidupan perempuan yang dipoligami, selain itu penelitian diharapkan dapat meminimalkan masalah-masalah yang mungkin terjadi pada keluarga poligami. Dari hasil penelitian menunjukkan subjek pelaku perkawinan mampu melakukan penyesuaian diri misalnya dalam masalah keagamaan hubungan mertua ipar, hubungan seksual, aktivitas sosial dan rekreasi, hubungan dengan teman, kehidupan beragama, mengasuh dan mendisiplinkan anak. B. Tinjauan Pustaka A. Penyesuaian Perkawinan 1. Pengertian Pengertian Penyesuaian Sebelum membahas teori penyesuaian perkawinan, peneliti merasa perlu untuk menjelaskan konsep penyesuaian (adjustment) secara umum. Menurut Lazarus (1976), penyesuaian dapat dilihat melalui dua perspektif: a. Penyesuaian sebagai hasil (adjustment as an achievement) Disini penyesuaian menyangkut kemampuan, hasil, atau status akhir. Dalam pandangan ini, seseorang dapat dikategorikan mampu menyesuaikan dengan baik (adjusted) atau tidak dapat menyesuaikan dengan baik (maladjusted) (Haber & Runyon, 1984).
b. Penyesuaian sebagai proses (adjustment as a process) Disini penyesuaian dipandang sebagai proses yang sedang berlangsung, atau sebagai suatu keadaan yang tengah atau terus berlangsung. Dalam penelitian ini peneliti akan mengambil sudut pandang penyesuaian sebagai proses: Menurut Atwater (1983: 3) penyesuaian adalah: Penyesuaian menyangkut perubahan pada diri sendiri atau keadaan sekitar, untuk memperoleh hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan sekitar. Menurut Atwater and Duffy (1999:459) Penyesuaian adalah: Penyesuaian adalah proses psikologi di mana manusia mencoba mengatasi tuntutan kehidupan sehari-hari, dengan cara mengubah diri sendiri dan atau lingkungan sekitar. Sedangkan menurut Lazarus (1976:5) penyesuaian itu sendiri dapat didefinisikan sebagai: Penyesuaian menyangkut proses psikologi dimana seseorang mengatasi tuntutan dan tekanan. Dapat disimpulkan, penyesuaian adalah proses psikologis berupa perubahan pada diri seseorang atau keadaan sekitar orang tersebut, untuk mengatasi tuntutan dan tekanan yang ada, sehingga diperoleh hubungan yang memuaskan baik dengan orang lain atau dengan lingkungan sekitar.
2. Pengertian Penyesuaian Perkawinan Perkawinan menyatukan dua individu untuk menjalani hidup bersama. Dalam kehidupan perkawinan, pasangan perlu menyesuaikan diri satu sama lain dan juga dengan masalah-masalah yang muncul, sehingga tercapai hubungan yang sehat dan memuaskan. Areaarea dimana pasangan merasakan masalah menunjukan area di mana pasangan perlu melakukan penyesuaian (Landis, 1954). Penyesuaian perkawinan dapat didefinisikan sebagai: “Penyesuaian perkawinan adalah perubahan dan penyesuaian dalam kehidupan pasangan selama masa perkawinan” (Landis,1954: 18-19). Menurut Scanzoni dan Scanzoni (1976), penyesuaian perkawinan adalah: “Penyesuaian perkawinan adalah proses adaptasi suami dan istri untuk menghindari dan menyelesaikan konflik sehingga keduanya merasa puas dengan perkawinannya” (Sconzoni & Scanzoni, 1976: 21-22) Perkawinan menyatukan dua individu dengan latar belakang dan sifat yang berbeda. Pasangan dalam perkawinan perlu melakukan penyesuaian terhadap satu sama lain sehingga terdapat pengertian dan kebahagiaan di antara mereka. Tahun-tahun pertama perkawinan merupakan periode dimana pasangan saling menyesuaikan satu sama lain. Tahun-tahun pertama perkawinan ini terbukti sulit bagi pasangan, beberapa pasangan merasakan kekecewaan dalam menghadapi masalah-masalah di tahun-tahun
pertama perkawinan (Newman, 1991). Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan penyesuaian perkawinan adalah perubahan atau penyesuaian selama masa perkawinan antara suami dan isteri untuk dapat memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan masingmasing pihak, serta untuk menyelesaikan permasalahan yang ada sehingga kedua belah pihak merasakan kepuasan. Penyesuaian perkawinan adalah suatu proses yang terus-menerus dan berubah-ubah. 3. Area-area Penyesuaian Perkawinan Menurut Landis dan Knox (dalam Feldman, 1989) area-area utama yang biasanya menyebabkan permasalahan dalam sebuah perkawinan sehingga perlu dilakukan penyesuaian perkawinan, yaitu: a. Keuangan Keuangan adalah penting dalam kehidupan perkawinan, karena menentukan bagaimana kehidupan pasangan sehari-hari. Terkadang pasangan berselisih mengenai jumlah dan jenis pengeluaran yang perlu dilakukan, sehingga mereka perlu melakukan penyesuaian di bidang keuangan ini. b. Hubungan mertua ipar Ketika seseorang menikah, ia perlu menjalin hubungan baik dengan pihak keluarga pasangan. Setiap keluarga mempunyai nilai dan cara hidup sendiri tak mudah bagi seseorang untuk menyesuaikan dengan nilai dan cara hidup yang berbeda dengannya.
c. Hubungan seksual Bagian dari penyesuaian perkawinan adalah kemampuan untuk mengekspresikan dorongan seksual yang memuaskan kedua belah pihak. Pasangan harus melakukan penyesuaian sehingga terdapat kepuasan di antara mereka. d. Aktivitas sosial dan rekreasi Pria dan wanita umumnya mempunyai minat yang berbeda menyangkut kehidupan sosial dan rekreasinya. Setelah perkawinan mereka perlu melakukan penyesuaian terhadap perbedaan minat yang ada diantara mereka selain itu pasangan juga harus menyesuaikan dengan keadaan sosial dan rekreasi yang mungkin berubah setelah perkawinan e. Hubungan dengan teman Seperti halnya sosial dan reaksi, suami dan istri mempunyai teman-teman yang berbeda, sehingga dibutuhkan penyesuaian satu sama lain. Pasangan juga perlu menyesuaikan kehidupan pertemanan mereka yang mungkin berubah setelah perkawinan. f. Kehidupan beragama Kehidupan beragama juga membutuhkan penyesuaian. Tak jarang pasangan mempunyai pandangan dan tata cara beragama yang berbeda sehingga dibutuhkan penyesuaian untuk itu. g. Mengasuh dan mendisiplinkan anak Kehadiran seorang anak dalam perkawinan dapat menimbulkan masalah emosional di antara
pasangan. Penyesuaian dibutuhkan dalam area ini. Hurlock, 1980 (dalam Dinda Annisa Paramitha, 2002). Menambahkan, pasangan juga perlu menyesuaikan diri satu sama lain, belajar untuk menjalin hubungan emosional dan berbagai afeksi. 4. Bentuk Penyesuaian Perkawinan Menurut Rusbult dan Zembrodt (dalam Barondan Byrne, 1994) terdapat dua bentuk perilaku yang dapat dilakukan manusia ketika menghadapi suatu hubungan yang tidak membahagiakan, yaitu aktif dan pasif. Hal yang sama berlaku dalam kehidupan perkawinan, dalam menghadapi suatu masalah, pasangan dapat menghadapinya secara aktif maupun pasif. a. Aktif Dengan cara ini, apabila pasangan suami istri menghadapi suatu masalah tertentu, mereka secara aktif memutuskan apakah akan menyelesaikan masalah yang bersangkutan (voice) atau mengakhiri hubungan perkawinan (exit). Mereka dapat memutuskan bahwa mereka harus membicarakan permasalahan ini dan mencoba untuk mencari jalan keluar yang terbaik. b. Pasif Dalam menghadapi masalah secara pasif, pasangan seakan tidak memperdulikan adanya masalah tersebut. Pasangan tidak berusaha untuk menyelesaikan masalah ataupun melakukan tindakan untuk mengakhiri hubungan. Dengan cara ini seseorang dapat berdiam diri secara pasif dan menunggu masalah tersebut terselesaikan
dengan sendirinya (loyalty), atau berdiam diri dan menunggu sehingga masalah semakin parah dan merusak hubungan yang ada (neglect). 4. Faktor-faktor yang Menyebabkan Penyesuaian Perkawinan Menurut Hurlock (1980), terdapat kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan penyesuaian perkawinan, yaitu: a. Saat menjadi orang tua (timing of parenthood) Jangka waktu sejak perkawinan hingga pasangan memiliki anak akan mempengaruhi penyesuaian perkawinan bila anak pertama lahir sebelum pasangan dapat menyesuaikan diri satu sama lain dan atau keadaan keuangan belum stabil, penyesuaian perkawinan akan lebih sulit untuk dilakukan. b. Keadaan keuangan yang stabil (stable financial condition) Keadaan ekonomi pasangan akan mempengaruhi penyesuaian perkawinan. Pasangan yang mempunyai status ekonomi yang baik atau yang diinginkan akan dapat melakukan penyesuaian perkawinan lebih mudah dibandingkan pasangan yang mengalami kesulitan ekonomi keuangan. c. Harapan yang tidak realitis akan perkawinan (unrealistic expectations of marriage) Harapan yang tidak realitis akan kehidupan perkawinan akan mempersulit penyesuaian perkawinan. Terkadang pasangan tidak menyadari permasalahan dan tanggung jawab yang dapat timbul dalam sebuah perkawinan.
Harapan atau bayangan bahwa perkawinan akan selalu romantis dan tidak pernah bermasalah sering membawa kekecewaan dan mempersulit penyesuaian perkawinan. d. Jumlah anak (Number of childeren) Kesepakatan pasangan akan jumlah anak yang akan dimiliki akan mempengaruhi penyesuaian perkawinan. Apabila pasangan sepakat akan jumlah anak yang akan dimiliki dan berhasil mencapai jumlah tersebut, penyesuaian perkawinan pasangan tersebut akan lebih mudah. e. Urutan kelahiran dalam keluarga (Ordinal position in the family) Semakin mirip peran dalam perkawinan dengan peran yang pernah dipelajari dalam keluarga, semakin mudah penyesuaian perkawinannya. Urutan kelahiran dalam keluarga mempunyai peran yang penting, karena peran yang dipelajari sesuai urutan tersebut akan terbawa pada kehidupan perkawinan. Menurut Hurlock (1980) penyesuaian perkawinan akan lebih mudah apabila suami adalah anak sulung dengan adik perempuan, sedangkan isteri adalah adik dari kakak laki-laki. f. Hubungan dengan keluarga pasangan (in law relationships) Hubungan dengan keluarga pasangan (pihak mertua dan ipar) akan mempengaruhi penyesuaian perkawinan. Semakin baik hubungan tersebut, semakin mudah pula penyesuaian perkawinannya.
5. Kepuasan dalam Perkawinan Levinson (1995) menyatakan bahwa marital adjustment (penyesuaian perkawinan) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terciptanya kepuasan perkawinan. Dari sekian banyak masalah-masalah penyesuaian dalam perkawinan, ada empat hal yang paling penting bagi terwujudnya kepuasan perkawinan (Hurlock, 1980), yaitu: a. Penyesuaian terhadap pasangan Penyesuaian hubungan interpersonal dalam perkawinan lebih sulit dilakukan dari bentukbentuk hubungan sosial yang lain karena banyaknya faktor yang mempengaruhi. Diantaranya adalah konsep tentang pasangan ideal, pemenuhan kebutuhan, kesamaan latar belakang, adanya aktifitas atau hal tertentu yang menjadi minat kedua belah pihak, kesamaan nilai-nilai yang dipegang, konsep tentang peranan, serta perubahan dalam pola hidup. b. Penyesuaian seksual Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian seksual antara lain adalah sikap terhadap seks, pengalaman tentang seks di masa lalu, keinginan atau gairah seksual, pengalaman melakukan hubungan seksual pra-nikah, sikap terhadap penggunaan alatalat kontrasepsi, serta efek dari vaksektomi pada pria. c. Penyesuaian keuangan Ketersedian maupun kekurangan uang, mempunyai pengaruh terhadap penyesuaian perkawinan yang harus
dilakukan seseorang. Situasi finansial bisa membahayakan penyesuaian perkawinan dalam dua area penting. Pertama, jika istri mengharapkan suami untuk berbagi beban kerja karena istri menglami burn out dalam mengurus rumahtangga. Kedua, jika ada keinginan untuk memiliki barang-barang tertentu sebagai simbol kesuksesan, dan suami tidak mampu memenuhi keinginan ini. d. Penyesuaian terhadap keluarga besar pasangan Dengan perkawinan, seseorang sekaligus juga mendapatkan sebuah keluaraga besar baru. Meskipun banyak yang mendefinisikan perkawinan sebagai penyatuan dua individu, namun pada kenyataannya perkawinan juga merupakan penyatuan dua keluarga secara menyeluruh (Santrock, 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian terhadap keluarga besar adalah adanya stereotype mengenai anggota keluarga tertentu, keinginan akan independensi, kohesivitas keluarga, mobilitas sosial, perawatan terhadap anggota yang lebih tua, serta adanya tanggung jawab finansial terhadap keluarga. 6. Kriteria dari Penyesuaian Perkawinan yang Berhasil Dari penyesuaian perkawinan di atas, ada beberapa hal yang harus di lihat lebih lanjut dalam masalah-masalah dari penyesuaian perkawinan yaitu adanya kriteria dari penyesuaian perkawian yang berhasil, Hurlock (1980) mengemukakan
beberapa kriteria dari penyesuaian perkawinan yang berhasil: 1) Kebahagiaan suami dan istri Suami dan istri yang bahagia bersama memperoleh kepuasan dari peran yang mereka jalankan dan dijalankan oleh pasangannya. Mereka juga mempunyai cinta yang stabil dan matang antara keduanya, mempunyai penyesuaian seksual yang baik, serta telah menerima perannya sebagai orang tua. 2) Hubungan yang baik antara orang tua dan anak Adanya hubungan yang baik antara anak dan orang tua merefleksikan penyesuaian perkawinan yang berhasil, sekaligus turut menyumbang pada keberhasilan penyesuaian perkawinan itu sendiri. Jika hubungan orang tua dan anak kurang begitu baik, suasana dalam rumah akan banyak diwarnai oleh perselisihan, dimana pada akhirnya membuat penyesuaian perkawinan menjadi sulit. 3) Adanya penyesuaian yang baik pada anak Anak-anak yang memiliki penyesuaian diri yang baik, disukai oleh teman-temannya berhasil dan bahagia di sekolah merupakan bukti dari penyesuaian perkawinan dan peran orang tuanya berhasil dilakukan dengan baik. 4) Kemampuan untuk menangani ketidak-cocokan secara memuaskan Adanya ketidak-cocokan dan ketidak-sepakatan antara anggota keluarga, yang merupakan hal
yang tidak dapat dihindarkan, umumnya berakhir dalam salah satu dari ketiga cara berikut: “gencatan senjata” sementara tanpa adanya solusi, adanya salah seorang yang mengalah demi terciptanya kedamaian, atau seluruh anggota keluarga berusaha untuk memahami pendapat anggota keluarga yang lain. Untuk jangka waktu lama, hanya cara terakhir yang bisa mengarahkan pada penyesuaian perkawinan yang memuaskan, meskipun cara pertama dan kedua bisa membantu mengurangi ketegangan yang ditimbulkan oleh perselisihanperselisihan yang terjadi. 5) Kebersamaan Jika penyesuaian perkawinan berjalan dengan baik, seluruh anggota keluarga akan menikmati waktu yang dihabiskan untuk bersama-sama. Jika hubungan yang terjalin baik dalam keluarga dibangun sejak tahun-tahun pertama, pria dan wanita akan tetap memelihara ikatan dengan keluarganya meskipun mereka telah dewasa, menikah, dan membangun keluarganya sendiri. 6) Penyesuaian keuangan yang baik Dalam banyak keluarga, salah satu persoalan yang paling banyak menimbulkan perselisihan adalah seputar uang. Berapapun jumlah pendapatan yang diterima oleh suatu keluarga, keluarga yang belajar untuk mengtur pengeluaranpengeluarannya sehingga bisa menghindari terjadinya hutang dan merasa puas dengan apa yang bisa diusahakan dengan
pendapatannya tersebut, cenderung memiliki penyesuaian yang lebih baik dibandingkan dengan keluarga dimana istri terus-menerus mengeluh tentang pendapatan suaminya atau keluarga dimana suami mencari pekerjaan sampingan untuk menambah jumlah pendapatannya. 7) Penyesuaian dengan keluarga besar Suami dan istri yang mempunyai hubungan baik dengan keluarga besarnya, terutama dengan orang tua dan saudara kandungnya, cenderung tidak memiliki bentuk hubungan yang penuh dengan perselisihan. A. Poligami 1. Definisi Poligami Poligami berasal dari dua kata bahasa yunani, yaitu “poly”, yang artinya banyak dan “gamein” yang artinya kawin. Oleh karena itu menurut makna kebahasaan, arti poligami tidak dibedakan apakah seseorang laki-laki kawin dengan banyak perempuan atau seorang perempuan kawin dengan banyak laki-laki atau dapat berarti sama banyak pasangan laki-laki dan perempuan mengadakan transaksi perkawinan, semua dapat disebut poligami. (media.isnet.org/islam/Gibb/Mo dern.html-Similar) Dalam www.poliygamy.com (dwinanto.blogsome.com/categor y/idea/-similar) berpendapat bahwa, tinjauan secara sosioantropologi yang dinamakan
poligami tidak membedakan pengertian, apakah seseorang lakilaki kawin dengan banyak wanita atau sebaliknya seorang perempuan kawin dengan banyak laki-laki. Di sini poligami mempunyai dua arti: 1. Polyandry, yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa laki-laki 2. Polyginy, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa perempuan. Tetapi, pemahaman yang berlaku secara umum di masyarakat, makna poligami yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih seorang wanita dalam waktu yang sama. Poligami dengan arti ini adalah menyadur arti asli dari poligini, karena itulah beberapa ahli hukum dan sosio-antropologi sering menggunakan kata poligini sebagai akar kata aslinya untuk menyebutkan istilah perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa perempuan. Perkembangan selanjutnya istilah poligami jarang sekali dipakai, banyak intelektual yang secara langsung mempopulerkan pergantian istilah poligini dengan poligami. Bahkan di Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (yang sekarang Departemen Pendidikan Nasional) mensyaratkan definisi poligami dengan arti di atas, yaitu ikatan perkawinan yang laki-laki boleh kawin dengan beberapa wanita dalam waktu yang sama. Dan kata ini dipergunakan sebagai lawan kata dari poliandri, sedangkan dalam bahasa Arab, perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari seorang wanita disebut dengan istilah ta’addud alzaujat yang berarti mempunyai banyak istri. Terdapat istilah yang
cukup dekat artinya dengan makna poligami yaitu kata bigamy. Namun istilah bigamy ini hanya digunakan untuk menyebut suami yang mempunyai dua orang istri (bigini) atau sebaliknya yaitu istri yang hanya mempunyai dua orang suami (bindri) dalam waktu yang bersamaan. (www.poliygamy.cetak.kompas.com/r ead/xml/2008/10/04/01293097similir) Bentuk pekawinaan yang dikenal pada umumnya adalah monogami, yakni perkawinan antara satu orang suami dan satu orang istri pada satu waktu (Zanden, 1993). Selain itu dikenal pula adanya poligami; yakni istilah umum untuk menyebutkan semua bentuk perkawinan plural (Parkin, 1997). Berikut ini beberapa definisi poligami: “the situation in which a man may have more that one wife simultaneously” (Parkin, 1997:43). “… a man may have more than one wives” (Duvall & Miller, 1985:5-6). “Marriags in which a man has mor than one wife at a time” (Jones, 1994:268). Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulan bahwa poligami adalah suatu bentuk perkawinan dimana seorang suami memiliki dua orang istri atau lebih dalam waktu yang bersamaan. 2. Masalah-masalah dalam perkawinan poligami Ahnan & Khoiroh (2001) berpendapat bahwa poligami akan menjadi masalah dalam suatau rumah tangga jika suami melakukan poligami secara sembunyisembunyi, tidak ada keterbukaan dan tidak dengan musyawarah. Sebaliknya, jika ada keterbukaan,
musyawarah, dan sudah diperediksikan dampak dari memiliki lebih dari satu istri tersebut, baik mengenai nafkahnya maupun keadilannya, maka poligami tidak akan menimbulkan masalah bila dijalankan. Kehidupan kaum perempuan yang dipoligini lebih banyak mengalami kekerasan daripada kebahagiaan. Rifka Annisa, sebuah LSM di Yogyakarta yang berfokus pada isu-isu perempuan mencatat bahwa sepanjang tahun 2001 telah terjadi 234 kasus kekerasan terhadap istri, dimana dari angka sebasar itu 2,5% (6 kasus) status korban merupakan istri yang dipoligini resmi, dan 5,1% (12 kasus) merupakan istri yang dipologini secara tidak resmi. Soewondo (2001) berpendapat bahwa kehidupan keluarga asal pasti bermasalah dan tidak bisa lagi sama seperti sebelumnya. Spring (dalam Soewondo,2001) mengemukakan dampak psikologis terhadap istri pertama yang komitmen perkawinannya dikhianati adalah sebagai berikut: a. kehilangan hubungan baik dengan suaminya dan akan bertanya siapakah ia sekarang? Sebelumnya ia adalah seorang yang dicintai, menarik, dan berbagai hal positif lainya. Gambaran ini berubah setelah suami menikah lagi. Gambaran diri berubah menjadi negatif, korban kehilangan identitas diri. b. bukan lagi seorang yang berarti bagi suaminya. Ia akan segera menyadari bahwa ia bukan lagi satu-satunya orang yang berada di sisi suami yang dapat membahagiakan pasangannya.
Harga dirinya terluka, ia merasa kehilangan penghargaan dirinya. c. Menjadi seorang yang sensitif dan mudah marah. Perilakunya sering tidak dapat dikontrol karena emosinya lebih sering berperan. Ia mudah sedih, sering curiga, tidak seimbang. d. Kehilangan hubungan dengan orang lain. Ia sekarang lebih sering menyendiri karena merasa malu dan rendah diri. Selain dampak-dampak tersebut, perasaan-perasaan yang kerap mendera istri yang dimadu adalah marah, jengkel, sedih, dan terutama cemburu (majalah Amanah, 2002). Namun Helen Ware (dalam Levinson, 1995) mengungkapkan bahwa kecemburuan antar istri lebih merupakan persaingan untuk memperebutkan akses yang paling maksimal dan terjamin kepada suami baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi keturunan mereka daripada kecemburuan seksual. 3.
Alasan Demografis Poligami Poligami telah lama dan telah secara luas dipraktekan di seluruh dunia. Dalam Kitab perjanjian lama dinyatakan bahwa Raja Solomon (Nabi Sulaiman) dan Raja David (Nabi Daud) memiliki beberapa orang istri (Zanden, 1993). Tidak ada penjelasan tunggal mengenai terjadinya poligami, karena konteks dan fungsinya bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat lain, bahkan dalam satu masyarakat, seorang laki-laki bisa saja melakukan poliandri perempuan yang di “warisi” janda dari saudara laki-lakinya (kottak,1991) Kottak (1991) menyatakan beberapa alasan demografis
mengapa poligami banyak terjadi dalam masyarakat: a. Dalam beberapa masyarakat, pria melakukan tugas-tugas dan pekerjaan yang berbahaya, seperti berburu dan berperang. Hal ini menyebabkan banyak dari mereka yang meninggal bahkan dalam usia muda, sehingga jumlah wanita yang bertahan hidup menjadi lebih banyak. b. Pria cenderung menikah lebih lambat (dalam usia yang lebih tua) dari pada perempuan. Sebagai contoh, para wanita Kanuri Nigeria umumnya menikah pada usia 12-14 tahun, sedangkan pria umumnya menikah pada usia 18-30 tahun. Hal ini menyebabkan jumlah janda jauh dan banyak dari pada duda, dan para janda ini membentuk jumlah yang besar dari jumlah keseluruhan para wanita yang terlibat dalam perkawinan plural (poligami). c. Dalam banyak masyarakat, jumlah istri menandakan posisi sosial dan prestige dari sesorang pria. Sebagai contoh di kanuri dan di kepulawan madagaskar, seorang pria yang memiliki lebih banyak istri berarti memiliki lebih banyak pekerja yang produktif untuk mengerjakan lahan pertaniannya. Hal ini sekaligus sebagai cara untuk meningkatkan perekonomianya.
d.
Dalam beberapa kultur masyarakat seorang istri bisa memainkan peranan politik yang penting dalam wilayah non-industerial. Hal ini terutama di lakukan oleh para raja atau pimpinan suatu negara bagian, dimana para istri menjadi agen lokal yang bertugas mengawasi dan melaporkan segala sesuatu yang terjadi di wilayahwilayah yang menjadi wewenang suaminya. Sebagai contoh, hal ini dilakukan oleh raja merina di madagaskar dan raja buganda di uganda. Survey yang dilakukan oleh Kasimin (dalam jones,1994) menemukan beberapa alasan mengapa suami menikah lagi. Diantara alasan-alasan yang paling banyak dikemukakan adalah istri yang sakit dan tidak bisa memberikan keturunan, “membantu istri muda” karena miskin atau berasal dari agama yang berbeda, merasa jatuh cinta, istri muda terlanjur hamil, serta tidak ada alasan yang jelas. Tiga alasan terakhir bisa dianggap mengindikasikan adanya cinta atau ketertarikan seksual sebagai alasan utama suami menikah lagi. 4. Hukum Poligami di Indonesia Beberapa agama membenarkan dilakukannya poligami. Hal itu dikuatkan pula dengan ketentuan yang kemudian dijadikan dasar pembenaran (legitimasi) bagi Pria untuk melakukan poligami dan bahkan dijadikan penguatan bagi perempuan untuk menerima suaminya
berpoligami. Ketentuan tersebut adalah UU No. 7 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 3 ayat 2 yang menyatakan: Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Artinya seorang suami boleh memiliki istri lebih dari seorang. Tetapi bila kita lihat ayat sebelumnya (pasal 3 ayat 1), yang pada pokoknya menyatakan bahwa seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri, demikian pula seorang istri hanya boleh memiliki seorang suami, maka terlihat ada ketidak konsistenan antara keduanya. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam sebuah institusi perkawinan, posisi tawar perempuan lebih rendah dibanding Pria. Pada pokoknya pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu: 1. adanya persetujuan dari istri; 2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka (material); 3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istriistri dan anak-anak mereka (inmaterial). Idealnya, jika syarat-syarat diatas dipenuhi, maka suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau
tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan. Mungkin sangat sulit mengharapkan keadilan, apalagi yang sifatnya immaterial dari suami yang menikah lagi dengan perempuan lain. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan: 1. Hal yang harus di Persiapkan Menghadapi suami yang berniat poligami adalah sangat berat. Mental Anda harus siap menghadapi kemungkinan suami tidak lagi memberikan perhatian dan kasih sayang yang penuh terhadap Anda. Belum lagi menghadapi berondongan pertanyaan dari berbagai pihak, baik itu dari keluarga, masyarakat sekitar, teman dan pihak lainnya. 2. Kewajiban Suami Sebagai konsekwensi dari pembakuan peran dalam UU Perkawinan (suami adalah kepala keluarga dan istri pengurus rumah tangga) maka menjadi kewajiban suami untuk memenuhi nafkah bagi istri dan anaknya, juga memberikan biaya perawatan dan pendidikan anak. Begitupun ketika suami memutuskan menikah dengan perempuan lain, kewajiban itu tetap masih ada. a. Pasal 5 ayat 1 (point b) UU no.1/1974 menyebutkan: salah satu syarat yang harus dipenuhi suami agar permohonan poligaminya disetujui Pengadilan adalah adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. b. Pasal 41 (poin c dan d) Peraturan Pemerintah RI No. 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974 juga menyebutkan
bahwa Pengadilan dapat memeriksa ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istriistri dan anak-anak, dengan memperlihatkan: 1) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat suami anda bekerja; atau 2) Surat keterangan pajak penghasilan, atau; 3) Surat keterangan lain yang dapat diterima Pengadilan. Ingat, Anda harus hadir dalam proses pemeriksaan atas penghasilan suami ini (pasal 42 ayat 1 PP No.9/1975). c. Pasal 34 (ayat 1) UU No.1/1974 yang mengatur masalah hak dan kewajiban suami istri menyebutkan: Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. d. Surat Perjanjian. Kepastian dari suami untuk menjamin kebutuhan hidup Anda dan anakanak Seringkali tidak dilaksanakan. Atau bisa juga, dana untuk kebutuhan itu harus didapatkan dengan susah payah, bahkan terkadang seperti ‘mengemis-ngemis’. Bila keadaan itu menimpa, maka menurut PP No. 9/1974 pasal 41 poin d yang pada intinya menyatakan bahwa Anda dapat meminta agar Pengadilan juga memeriksa ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil memenuhi kewajibannya dengan
memerintahkan suami membuat surat pernyataan atau janji secara tertulis. Jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dapat ditunjukkan dengan membuat surat pernyataan atau janji dari suami (pasal 41 poin d, PP No. 9/1975). Seringkali terjadi, para istri yang menerima suaminya berpoligami, akhirnya enggan untuk mengurus segala sesuatu, misalnya tentang nafkah. Hal ini diakibatkan karena istri sudah merasa kehilangan harapan. Atau bisa juga karena istri tidak mengetahui hak-haknya secara jelas. Bila ini terjadi pada, dapat meminta bantuan kepada beberapa lembaga terdekat yang peduli pada persoalan seperti itu, diantaranya: 1. Lembaga Bantuan Hukum (terutama untuk perempuan) 2. Lembaga lain yang konsern pada persoalan perempuan 3. Lembaga-lembaga Konsultasi Perkawinan 4. Pengadilan yang memberikan izin suami Anda berpoligami Poligami pada hakekatnya merupakan bentuk pengunggulan kaum Pria dan penegasan bahwa fungsi istri dalam perkawinan adalah hanya untuk melayani suami. Ini bisa terlihat dari alasan yang dapat dipakai oleh Pengadilan Agama untuk memberi izin suami melakukan poligami (karena istri cacat badan, tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dan tidak dapat melahirkan keturunan).
5. Dampak Poligami Terhadap Perempuan Dalamwww.theceli.com/apik/poli gami.htm dikemukakan dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami adalah sebagai berikut: a. Timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya. b. Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anakanaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari. c. Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. d. Selain itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak perempuannya karena
perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya. e. Yang paling mengerikan, kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS) dan bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS. Selain dampak-dampak tersebut, perasaan-perasaan yang kerap mendera istri yang dimadu adalah marah, jengkel, sedih, dan terutama cemburu (majalah Amanah, 2002). Namun Helen Ware (dalam Levinson, 1995) mengungkapkan bahwa kecemburuan antar istri lebih merupakan persaingan untuk memperebutkan akses yang paling maksimal dan terjamin kepada suami baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi keturunan mereka daripada kecemburuan seksual. Bertentangan dengan pendapat di atas, Mary Ben David dan Samuel Chapman dalam www.polygamy.com berpendapat bahwa poligami memberikan beberapa keuntungan bagi wanita sebagai berikut : a. Pengasuhan anak tidak hanya dilakukan oleh satu istri, melainkan bisa bekerja sama dengan istri-istri yang lain, sehingga wanita mempunyai pilihan yang efektif untuk berkarir tanpa harus menelantarkan urusan-urusan rumah tangganya. Hal ini juga dinyatakan oleh Levinson (1995), bahwa poligini
b.
c.
e.
f.
memungkinkan adanya pembagian tanggung jawab ekonomi dan domistik. Poligami memberikan kesempatan bagi seorang wanita untuk memiliki teman wanita dalam hidup sebagaimana halnya suami. Jika para istri bekerja, maka poligami memungkinkan sedikitnya tiga pemasukan, sehingga bisa mengurangi ketergantungan dan kekhawatiran akan pengangguran dan keadaan kekurangan. Wanita yang dipoligami lebih mendapatkan kebebasan dibandingkan dengan wanita dalam perkawinan monogami. Hal ini disebabkan pada saat tidak sedang digilir oleh suaminya, ia mempunyai waktu pribadi, tidak harus mengurus suami serta dapat melakukan hal-hal yang disukainya. Oleh Levinson (1995); kebebasan yang didapatkan istri dengan suami berpoligini meliputi dua hal, yakni kebebasan untuk tidak mendapatkan pengawasan terus menerus dari suami karena keadaan hidup terpisah pada waktu-waktu tertentu, serta kurangnya tekanan akan pemenuhan kebutuhan seksual suami secara terus-menerus. Poligami juga membuat seorang wanita menjadi independen, karena wanita “dipaksa” untuk memiliki perasaan yang kuat akan dirinya, apa yang ia lakukan, alasanya, dan harus mempertahankan identitas dirinya; identitas yang tidak bisa tergantung secara penuh pada
suaminya sebagaimana sebagian besar wanita dalam perkawinan monogami, karena suaminya tidak selalu berada di dekatnya. g. Poligami mengurangi jumlah wanita yang belum menikah. Dengan semakin menurunnya jumlah wanita yang belum menikah, maka hal ini bisa meningkatkan “nilai” seorang wanita. Dengan perkataan lain, poligami “memaksa” laki-laki untuk berusaha lebih keras dalam mendapatkan seorang wanita dan memperlakukan wanita secara lebih baik. Jones (1994) menguatkan hal ini dengan menyatakan bahwa poligami bisa menjadi solusi terhadap masalah banyaknya wanita yang belum menikah di usia 30-an, serta dapat menjamin ekspansi dari komunitas muslim. Selain keuntungankeuntungan seperti yang telah disebutkan di atas, pihak-pihak yang menyetujui adanya poligami berargumen bahwa poligami mempunyai beberapa implikasi sosial kemasyarakatan yang terkait di dalamnya, yakni memelihara kelangsungan jenis manusia, kejelasan nasib dari seorang anak, keselamatan dari dekadensi moral, serta ketentraman jiwa dan tumbuhnya kasih sayang (Amanah, 2002). Beberapa fundamentalis bahkan berpendapat bahwa tidak seharusnya wanita menentang poligami karena hal itu sama saja dengan menentang wahyu Allah (Ramli dalam Jones, 1994). Banyak wanita yang “didoktrin” (tentunya tanpa dasar agama yang benar) bahwa jika mereka
menyetujui suaminya menikah lagi, hal ini akan menjamin mereka masuk surga. Muthahhari (2000) mengemukakan bahwa poligami merupakan sumber perlindungan bagi monogami. Menurutnya, jika jumlah kaum wanita yang memerlukan perkawinan melebihi jumlah kaum pria usia kawin, dan dimana kaum pria yang memenuhi syarat finansial dan fisik ini tidak diperkenankan untuk menikah lebih dari seorang wanita, keadaan ini bisa mendorong timbulnya hubungan gelap (affair) dan hal ini justru akan mematikan akar dari monogami yang sejati. Argumen hampir senada dinyatakan oleh mereka yang pro poligami di Malaysia, bahwa lakilaki secara alami memiliki keingginan seksual yang lebih besar dari pada istri ketika mereka samasama bertambah tua. Dan poligini memungkinkan suami menyalurkan keinginan seksual ini dalam suatu pernikahan yang sah (Jones, 1994). Di masa kini, poligami telah menjadi medan perdebatan yang makin terbuka karena dianggap melecehkan kaum perempuan. Munculnya kesadaran akan demokratisasi kehidupan sosial dan keharusan adanya kesetaraan gender dalam interrelasi antara laki-laki dan perempuan membuat banyak orang mempertanyakan poligami secara serius. Di antara pertanyaan itu menyangkut jaminan apakah ada keadilan sebagai salah satu dalam perkawinan model poligami (WMK Anwari, 2002). Sampai saat ini, ada pihak-pihak yang pro maupun anti terhadap praktik poligami. Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Lembaga
Advokasi Hak Asasi Manusia dan bantuan Hukum (LABH) Yogyakarta, oleh Direktur LABH Halimah Ginting SH diketahui bahwa 53,83% dari 830 responden dengan perincian 48,5% perempuan dan 51,5% laki-laki menyatakan tidak setuju adanya poligami (www.kompas.com). 6. Poligami Sebagai Bentuk Kekerasan Harkat dan Martabat Perempuan Akhir-akhir ini marak pemberitaan seputar pemberian anugrah “Poligami Award” terhadap para suami yang dinilai “sukses” berpoligami. Wacana yang dikembangkan adalah adanya dikotomi poligami yang baik dan benar atau sesuai dengan 'ajaran' Islam dan sebaliknya poligami yang tidak baik atau tidak murni sesuai syariat. Wacana ini disatu sisi hanya mengekspos bagaimana poligami dilakukan oleh mereka yang berpoligami, tanpa sama sekali mempertimbangkan perspektif perempuan sebagai korban poligami. Disisi lain dikotomisasi baik-buruk, benar-salah dalam berpoligami mengaburkan masalah mendasar dari institusi poligami itu sendiri sebagai praktek diskriminasi dan kekerasan terhadap salah satu kelompok atas dasar perbedaan jenis kelaminnya. Fakta di seputar poligami menunjukkan banyaknya penderitaan yang timbul akibat poligami. Penderitaan tersebut dialami baik terhadap istri pertama juga istri yang lainnya serta anak-anak mereka. Dari 58 kasus poligami yang didampingi LBH-APIK selama kurun 2001 sampai Juli 2003 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap
istri-istri dan anak-anak mereka, mulai dari tekanan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri dan anak-anak, ancaman dan teror serta pengabaian hak seksual istri. Sementara banyak poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas (35 kasus). Sedangkan dari pemberitaan yang ada, poligami mendorong tingginya tingkat perceraian yang diajukan istri (gugat cerai) (Warta Kota, 12/4/03). (Selengkapnya lihat tabel Kasus Poligami LBH-APIK Jakarta). Praktek poligami sendiri pada hakekatnya merupakan satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pasal 1 CEDAW yang diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1984 telah dengan tegas menyebutkan, diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasam pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita. Sebagai negara yang telah melakukan ratifikasi CEDAW (The Convention on The Elimination of Discrimination Againts Women), Indonesia wajib memberikan perlindungan bagi wanita dari berbagai bentuk diskriminasi, baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun negara. Dalam kasus poligami sebagai bentuk diskriminasi dan suatu bentuk kekerasan terhadap wanita ini, negara tidak saja mendorong untuk
menghapuskannya, tapi justru mengukuhkan institusi poligami tersebut lewat aturan perundangan yang ada. Disisi lain, Dengan mengakomodir praktek poligami lewat UUP ini pada hakekatnya negara telah mengedepankan wacana tafsir agama yang dominan dari kelompok-kelompok agama tertentu. Dalam Pasal 3, 4 dan 5 Undangundang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, pada pokoknya menyebutkan bahwa seorang suami boleh beristri lebih dengan izin Pengadilan. Izin ini dikeluarkan bila istri yang bersangkutan sakit dan tidak dapat melayani suami, tidak dapat memiliki keturunan atau tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai istri karena alasan lain. Dalam berpoligami juga di haruskan adanya persetujuan istri/istri-istri. Namun persetujuan istri ini tidak diperlukan bila mereka tidak mungkin di mintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau karena sebab-sebab lain. Pernyataan pasal tersebut mencerminkan bahwa Perkawinan semata-mata ditujukan untuk memenuhi kepentingan biologis dan kepentingan mendapatkan ahli waris/keturunan dari salah satu jenis kelamin, dan diiringi dengan asumsi bahwa salah satu pihak tersebut selalu siap sedia atau tidak akan pernah bermasalah dengan kemampuan fisik/biologisnya. Ada beberapa alasan mendasar lainnya perlunya penghapusan terhadap praktek poligami: 1. Poligami merupakan bentuk penampakan konstruksi kuasa Pria yang superior dengan nafsu menguasai perempuan, disisi lain
faktor biologis/seksual juga mempengaruhi bahkan demi prestise tertentu. Namun yang nampak dari kesemuanya itu bahwa poligami telah menambah beban kesengsaraan perempuan terhadap sekian banyak beban yang sudah ada, dan jika itu kenyataannya maka poligami adalah konsep penindasan terhadap perempuan yang tidak berpihak kepada rasa kemanusiaan dan keadilan. 2. Selain itu Poligami juga merupakan bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan, hal mana di dasarkan pada keunggulan/superioritas jenis kelamin tertentu atas jenis kelamin lainnya; Pengakuan yang absah terhadap hirarki jenis kelamin dan pengutamaan privilis seksual mereka atas yang lainnya; Ketentuan ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip persamaan, anti diskriminasi serta anti kekerasan yang dianut dalam berbagai Instrumen Hukum yang ada. (UUD 1945, UU HAM, UU No.1/84, GBHN 1999, Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan); a. Realitasnya banyak kasus poligami yang memicu bentukbentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) lainnya yang dialami perempuan dan anakanak, meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi; Poligami sendiri merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dilegitimasi oleh hukum dan sistim kepercayaan yang ada di masyarakat; b. Adanya fakta bahwa sejumlah perempuan menerima poligami
tidak menghilangkan hakekat diskriminasi seksual dalam institusi poligami tersebut; dan Penerimaan mereka terhadap poligami adalah bentuk “internalized oppression”, yang mana sepanjang hidupnya perempuan telah disosialisasikan pada sistem nilai yang diskriminatif. Menyikapi rentannya posisi perempuan di masyarakat dan negara, maka sosialisasi mengenai perlindungan bagi perempuan dari segala bentuk diskriminasi, khususnya poligami masih harus dilakukan secara terus menerus. LBH APIK Jakarta, sebagai lembaga yang mendorong penghapusan kekerasan terhadap perempuan merasa perlu memberikan pandangannya kepada publik mengenai poligami dan diskriminasi terhadap perempuan, berdasarkan pengalaman yang didapat selama mendamping perempuan korban kekerasan dan ketidakadilan. Serta mendorong terwujudnya perundangundangan yang memberikan perlindungan perempuan dari praktek poligami. Untuk menciptakan masyarakat yang bebas poligami dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya terhadap perempuan, LBH APIK Jakarta menyerukan kepada semua pihak, khususnya pada pembuat kebijakan: 1. Agar segera membuat langkahlangkah kongkret untuk menghapuskan setiap bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, khususnya di bidang perkawinan dengan mengurangi praktek poligami di masyarakat.
2. Mempercepat amandemen Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. 3. Mengkritisi setiap tafsir ajaran agama yang diskriminatif terhadap perempuan dan sebaliknya perlu segera di sebarkan penafsiran ajaran agama yang lebih setara dan adil gender. 4. Menjadikan UU No. 7 Tahun 1984 sebagai acuan dalam penyusunan setiap kebijakan maupun dalam menyelesaikan kasus-kasus yang berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan, khususnya yang mengenai perempuan. C. Penyesuaian Perkawinan pada Pria yang Melakukan Pernikahan Poligami Poligami kini ramai dibicarakan di indonesia. Pasalnya satu yaitu para tokoh panutan dan terpandang kini terang-terangan berpoligami. Siapa saja mereka? Tak perlu disebutkan disini, duniapun sudah tahu alasan mereka berpoligami senada yaitu ingin meneladani ajaran Rasulullah, Islam dalam ajarannya memang menghalalkan kaum pria untuk beristri hingga maksimal berjumlah 4 perempuan, mau wanita tua atau muda, perawan atau janda, kaya atau miskin tentu saja beda cerita. Kontribusi dalam poligami berbagai macam alasan yang ada. Yang pertama karena cinta, bisa karena kasihan, bisa juga karena nafsu dari pada dibilang dosa oleh masyarakat lebih baik dinikahi. Yang kedua memberi alasan, mulai dari karena cinta,
bisa karena terpaksa sebab ketidak berdayaan dalam hal keuangan, bisa juga karena terpaksa sebab ketidak berdayaan dalam hal keuangan, bisa juga karena taat beragama sebab ajaran agama mengajarkan kerelaan. Dan pendapat yang ketiga adalah, pertama jelas agama, kedua adalah hukum kenegaraan yang mengakomodir kebutuhan masyarakat, selanjutnya para psikiater dan psikolog. Bagi yang berpoligami menjadi syarat paling utama dalam pertimbangan poligami adalah masalah kemampuan finansial. Biar bagaimanapun ketika seseorang suami memutuskan untuk menikah lagi, maka yang harus pertama kali terlintas di kepalanya adalah masalah tanggung jawab nafkah dan kebutuhan hidup untuk 2 keluarga sekaligus. Nafkah tentu saja tidak berhenti sekedar biasa memberi makan dan minum untuk istri dan anak, tetapi lebih dari itu. Bagaimana dia merencanakan anggaran kebutuhan hidup sampai kepada masalah pendidikan yang layak, rumah dan semua kebutuhan lainnya. Dimana suami memiliki kebutuhan kualitas dan kuantitas lebih tinggi, sementara pihak istri kurang mampu memberikannya baik dari segi kualitas dan juga kuantitas. Ketidak seimbangan ini mungkin saja terjadi dalam satu pasangan suami istri. Namun biasanya solusinya adalah penyesuaian diri dari masing-masing pihak dimana suami berusaha
mengurangi dorongan kebutuhan untuk kepuasan secara kualitas dan kuantitas dan sebaliknya istri berusaha meningkatkan kemampuan pelayanan dari kedua segi itu, nanti keduanya akan bertemu di satu titik. Penyesuaian diri pada pria yang melakukan pernikahan poligami harus dilihat dari area-area utama yang biasanya menimbulkan permasalahan dalam sebuah perkawinan sehingga perlu dilakaukan penyesuaian perkawinan, yaitu yang berhubungan dengan masalah keuangan, hubungan mertua ipar, hubungan seksual, aktifitas dan relasi, hubungan dengan teman, kehidupan beragama dan cara mengasuh juga mendidik anak. Selain itu ada dua bentuk perilaku yang dapat dilakukan manusia ketika menghadapi suatu hubungan yang tidak membahagiakan, yaitu aktif dan pasif. Hal yang sama berlaku dalam kehidupan perkawinan, dalam menghadapi suatu masalah, pasangan dapat menghadapinya secara akif maupun pasif. Penyesuaian perkawinan pria yang berpoligami, terdapat kondisikondisi yang dapat mempengaruhi penyesuaian perkawinannya. Diantara kondisi-kondisi tersebut adalah saat menjadi orang tua, keadaan keuangan yang stabil, harapan yang tidak realitis akan perkawinan, jumlah anak, urutan kelahiran dalam keluarga, dan hubungan dengan keluarga pasangan. Pria yang melakukan pernikahan poligami, dalam menjalani kehidupan perkawinannya tidak lepas dari masalah-masalah yang timbul dalam pernikahan poligaminya.yaitu dampak psikologis terhadap istri pertama yang komitmen perkawinannya dikhianati,
seperti kehilangan hubungan baik dengan suami, hilangnya penghargaan diri istri terhadap suaminya, menjadi orang yang sensitif dan mudah marah , dan kehilangan hubungan baik dengan orang lain. Pada proses perkembangan penyesuaian perkawinan pria yang melakukan pernikahan poligami tentunya butuh penyesuaian diantaranya hubungan perubahan dimana sebelum dan sesudah pria tersebut melakukan perkawinan poligami yaitu dilihat dari hubungan seksual, akrivitas dan relasi antara kedua belah pihak, juga dalam hal malaksanakan kegiataan keagamaan. Perubahan tersebut terjadi dengan proses berjalannya waktu yang memerlukan proses, kedua belah pihakpun harus memiliki jiwa besar untuk dapat menjalani kehidupan perkawinan yang harmonis. D. Hasil Dan Analisis. 1. Hasil Observasi dan Wawancara a. Gambaran Umum Subjek Subjek berperawakan cukup tinggi sekitar 155cm, berkulit hitam dan berbadan sekal namun tidak terlalu gemuk dengan rambut hitam lurus dan jidatnya yang mengkilat. Saat diwawancarai subjek sangat rapi mengenakan sepatu coklat berikat tali sepatu berjenis buts, berbaju kemeja putih bergaris biru dan celana panjang bahan hitam mengkilat. Subjek mengenakan cincin di jari manis dan cincin berbatu di jari telunjuk kanannya di pergelangan tangan kanan subjek memakai jam yang biasanya di kenakan anak muda dan tangan kirinya memakai gelang berantai yang biasanya dikenakan anak muda zaman sekarang. Penampilan subjek bias dikatakan cukup glamour.
Pada saat wawancara berlangsung, sikap subjek sangat ramah, baik dan terkesan tegas berwibawa saat berbicara, pewawancara sangat berhati-hati berbicara karena subjek sangat serius dan tegas, tidak begitu banyak basa-basi namun subjek sangat lancar bercerita mengenai dirinya istrinya anaknya dan keluarga-keluarganya, subjek amat antusias bercerita, pewawancara nampak seperti pendengar yang baik karena subjek sangat panjang memberi jawaban yang ditanyakan oleh pewawancara. Sikap subjek sangat bersahabat ini dilihat subjek sesekali berkata “ini hanya rahasia kita aja yah”, seakan pewawancara sudah lama kenal dengan subjek padahal jelas pewawancara baru pertama kali bertemu dengan subjek. Namun subjek sesekali tersenyum, terdiam dan kemudian berbicara panjang lebar lagi, terlihat memikirkan sesuatu namun tetap subjek berusaha bercerita sesekali pewawancara memotong pembicaran yang dilakukan subjek. Dalam memberikan pertanyaan sangat lengkap dan jelas tampak serius dan tidak berusaha menutupi atau membanggakan diri, menceritakan baik buruk yang ada subjek tidak pernah merasa malu. Ekspresi wajah subjek saat di wawancara terlihat biasa, namun tegas dan nampak serius. Saat berbicara terjadi kontak mata antara subjek dan peneliti pada saat peneliti melontarkan pertanyaan dan subjek menjawab pertanyaan tersebut. Posisi subjek dikursi dengan kaki keduanya tegak tangan sekali-kali begerak saat dia berbicara. Saat berlangsungnya wawancara intonasi suara subjek cukup lantang namun tidak terlalu keras. Ini disebabkan oleh sering adanya perubahan gaya bicara yang rendah
maupun tinggi, subjek sangat tegas dan nampak serius menjawab pertanyaan. ******* a. Pembahasan 1) Bagaimana gambaran stres dan coping stres yang terjadi pada remaja yang mengalami perceraian pada orangtua? a) Gambaran stres Hasil penelitian baik dari segi wawancara dan observasi, dapat disimpulkan bahwa banyak gejalagejala stres yang muncul. Pertama dari segi gejala perilaku subjek yaitu ketika masa perceraian orangtua terjadi, subjek selalu meghindar karena merasa kurang percaya diri terhadap temantemannya, juga adanya perubahan sikap dari setiap anggota keluarga lainnya termasuk subjek yakni masingmasing menjaga jarak dan berdiam diri. Subjek pun mengalami perubahan dalam pola makan yaitu kurangnya nafsu makan subjek setelah mengalami perceraian orangtua, juga perubahan dalam pola tidur yakni kurangnya waktu tidur subjek dan selalu tidur larut malam Gejala emosi pada masa perceraian orangtua, subjek merasakan kecemasan pasca perceraian seperti kecemasan perubahan sikap temantemannya, kurangnya intensitas pertemuan dengan ayahnya pasca perceraian juga kecemasan untuk mendapatkan ayah baru., sikap subjek menjadi mudah marah atau mudah tersinggung setelah perceraian orangtua subjek. Subjek juga merasa tertekan atau frustasi karena tidak diperbolehkan bertemu ayahnya, merasa tertekan dan sedih jika mengingat masalah perceraian tersebut, dan subjek juga merasakan ketidaknyamanan karena suasana
yang penuh tekanan dalam rumah termasuk setiap anggota keluarga saling berdiam diri, perasaan subjek yang terlalu sensitive dengan kasus perceraian orangtua subjek, prestasi subjek yang mulai menurun, juga dengan intensitas migrainenya yang menjadi lebih sering muncul, ketakutan hilangnya perasaan ayah subjek atas kasih sayangnya.terhadap subjek. Gejala kognitif, subjek merasa kurangnya motivasi atau intensitas dorongan subjek dalam melakukan suatu hal termasuk tidak adanya dorongan dalam mengkonsumsi makanan, Adanya penurunan nilai prestasi subjek pasca perceraian, dan hilangnya konsentrasi subjek dalam melakukan tugas di sekolah, juga ketakutan atau kekhawatiran dari diri subjek memiliki ayah baru Gejala fisik subjek merasakan lemasnya badan dan merasakan pusing sebelum perceraian dan setelah perceraian itu terjadi intensitasnya menjadi lebih sering. b) Gambaran Coping Stres Tiga jenis coping yang diteliti dapat dilihat ada sebagian coping yang digunakan untuk mengungkap gambaran coping yang terjadi pada remaja tersebut dari jenis problem focused coping yakni subjek menyatakan belajar keluar bersama teman adalah langkah aktif yang digunakan, subjek pun merasa perlu untuk menanyakan perihal perceraian terhadap teman-teman subjek dan adanya kebutuhan dari diri subjek sendiri dalam meminta dukungan dari orang disekelilingnya dalam menghadapi cobaan tersebut. Jenis emotion focused coping yakni subjek merasa perlu untuk
menggunakan cara menyangkal atau bertingkah seakan-akan tidak adanya permasalahan dalam diri subjek seperti tidak adanya keinginan untuk mencampuri urusan perceraian orangtuanya dan lebih banyak tidak terlalu memikirkan permasalahan orangtuanya, Subjek merasa bentuk pengalihan perhatian yang negatif seperti menghindar adalah cara terbaik, dan bentuk pengalihan perhatian seperti main bareng temen adalah cara yang paling baik. Subjek juga merasakan kesedihan pasca perceraian orangtua, dan perlunya mengontrol perasaannya dengan menentramkan hatinya juga mengatur perasaannya agar tidak terlalu dalam kesedihan dan dari diri subjek sendiri subjek memiliki pengaturan suasana bathin. Subjek merasa ada sisi positif dari perceraian orangtua subjek yaitu adanya kepasrahan dan keyakinan akan nasib yang diberikan Tuhan YME kepada subjek. Bentuk dukungan moril atau simpati dari orang lain adalah hal yang dibutuhkan oleh subjek. Subjek selalu mendapatkan perhatian dari so baik dari segi kebutuhan, teman share atau yang lainnya termasuk teman-teman subjek dan subjek merasa teman subjek selalu menjadi teman setia yang selalu mendengarkan keluh kesah subjek. 2) Mengapa remaja yang mengalami perceraian pada orangtua memiliki stres dan melakukan coping stres yang demikian? a) Faktor yang mempengaruhi stres Faktor yang dapat meningkatkan kondisi stres pada subjek yang mengalami perceraian orangtua yaitu kehadiran stressor lain dan karakteristik individu. Kehadiran stressor lain merupakan faktor yang
dapat meningkatkan kondisi stres subjek, subjek berpikir tentang biaya kehidupan selanjutnya, ini lebih disebabkan karena ayah subjek setelah perceraian itu tidak pernah lagi memberikan nafkah terhadap keluarganya Selain itu karakteristik subjek menjadi faktor lainnya, meskipun subjek berusaha dengan sikap yang seolah olah tidak terjadi apa-apa terhadap permasalahan yang dihadapinya tetapi itu hanya terlihat diluar diri subjek saja, faktanya subjek begitu tertekan dan merasakan kesedihan akibat perceraian orangtuanya. b) Faktor yang mempengaruhi strategi coping Faktor yang mempengaruhi strategi coping pada subjek yg mengalami perceraian orangtua yaitu keyakinan atau pandangan positif, keterampilan sosial dan dukungan sosial. Keyakinan atau pandangan positif merupakan faktor yang mempengaruhi strategi coping, Adanya keyakinan dalam diri subjek untuk dapat menjalani kehidupan selanjutnya, memasrahkan dan meyakinkan akan nasib yang diberikan Tuhan YME kepada dirinya membuat dirinya yakin dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Lain halnya untuk keterampilan sosial, subjek terbiasa keluar rumah untuk bersosialisasi dengan tetangga, melakukan aktifitas bersama temantemannya seperti mendiskusikan masalahnya ataupun bermain. Begitu juga dengan bentuk dukungan sosial, itu sangat berpengaruh terhadap coping yang subjek lakukan, subjek mendapatkan dukungan berupa bentuk emosional dari teman-teman dan keluarganya dan subjek merasakan
kepuasan bathin dukungan tersebut
terhadap
bentuk
3) Bagaimana proses perkembangan stres dan coping stres pada remaja yang mengalami perceraian pada orangtua? Dalam kasus subjek proses perkembangan stres dan coping tersebut hanya subjek jalani 2 tahap yakni proses alarm reaction dan resistance. Awal proses perkembangan stres, subjek dihadapkan pada respon terhadap kondisi stresnya. Munculnya respon tersebut secara fisik seperti hilangnya nafsu makan dan gangguannya di sekitar kepala dan secara psikologi munculnya respon tersebut seperti perasaan kacau, tidur tidak nyenyak sulitnya konsentrasi, merasakan kesedihan dan perasaan tertekan. Proses adaptasi yang dilakukan subjek untuk meminimalisir kondisi stres yang muncul tersebut dilakukan dengan beberapa cara antara lain subjek berusaha untuk tidak mencampuri urusan dan memikirkan masalah perceraian tersebut, cara itu dilakukan seperti keluar rumah dengan bermain bersama temantemannya, subjek merasa cara itu dapat mengurangi gangguan sakit kepalanya dan dapat menjernihkan kembali pikirannya. Banyaknya dukungan yang subjek rasakan dari keluarga dan temantemannya, seperti dukungan moral, simpati ataupun pengertian dari mereka itu dapat dijadikan suatu cara subjek untuk dapat mengurangi perasaan tertekan dan kesedihannya. Subjek juga mencoba untuk mengontrol perasaannya dengan keyakinan akan nasib yang diberikan Tuhan YME kepada subjek, mencoba untuk menentramkan hatinya, dan mengatur perasaannya agar tidak terlalu dalam kesedihan.
Dengan proses adaptasi tersebut, subjek akhirnya dapat meminimalisir kondisi stresnya, proses adaptasi itu subjek jalani sampai sekarang. Kondisi subjek yang semula normal dan mengalami respon terhadap kondisi stres yang muncul karena perceraian tersebut akhirnya dapat berjalan kembali seperti semula. E. Penutup 1. Kesimpulan a. Masalah-masalah yang timbul dalam perkawinan poligami? Berdasarkan hasil analisis didapat bahwa masalah perkawinan subjek dengan kedua istrinya terjadi ketika subjek menikah lagi dengan istri keduanya. Awal pernikahan monogami yang dilakukan subjek dengan hanya satu istrinya, yaitu istri pertama subjek saja. Awalnya dalam perkawinan tersebut subjek dan istri pertama hidup dalam rumah tangga yang harmonis namun ketika subjek memutuskan untuk berpoligami maka hubungan subjek dengan istri pertama menjadi renggang bahkan sempat mengalami pisah ranjang, hal tersebut terjadi berlarut-larut terjadi pada subjek dengan istri pertamanya. Keputusan yang diambil oleh istri pertama subjek untuk tidak tidur lagi saat subjek sudah menikah lagi dengan istri kedua, membuat hubungan antara keduanya menjadi renggang adalah hal hubungan suami istri. Sedangkan hubungan antara istri pertama subjek dan istri keduanya tidak pernah terjalin hubungan yang harmonis. Istri pertama subjek sendiri lebih bersikap tertutup dan membatasi diri dalam hubungan seksual mereka. Dampak psikologi terhadap istri pertama subjek lebih berpengaruh sekali karena istri pertama subjek menjadi
korban karena merasa kehilangan identitas diri, kehilangan penghargaan diri, mudah sedih, sering curiga dan tidak seimbang, lebih suka menyendiri karena adanya perasaan malu. Masalah ini subjek sadari sepenuhnya namun subjek juga berusaha tidak membuat keterpurukan istri pertamanya. Dengan penyesuaian perkawinan yang baik subjek mampu memberikan kebahagiaan dengan istri pertamanya lagi walaupun memerlukan waktu yang panjang namun subjek berhasil membuat istri pertama bahagia. Dan akhirnya pernikahan yang dijalani subjek dengan kedua istrinya berjalan baik sampai saat ini. Hubungan yang tidak harmonis yang terjadi antar istri pertama dan istri kedua subjek memang berlanjut sampai sekarang, namun ketika ada masalah subjek berusaha menjadi penengah yang baik diantara keduanya, subjekpun berusaha bersikap bijak dan adil agar tidak terjadi kecemburuan diantara kedua istrinya. Selama dalam perkawinan yang subjek bina belum pernah terjadi pertengkaran yang besar terjadi diantara kedua istrinya. Subjek berusaha untuk bersikap adil dan subjek mengaku sangat mencintai dan menyayangi kedua istrinya dan keluarga besar yang dimilikinya. b. Penyesuaian perkawinan poligami dalam kehidupan perkawinan suami yang memiliki dua istri? Subjek melakukan penyesuaian perkawinan juga diantara kedua istrinya tersebut, diantaranya dalam hal keuangan kepada penyesuaian hubungan mertua ipar antara kedua istrinya,
penyesuaian hubungan seksual dengan kedua istrinya, penyesuaian aktifitas sosial dan relasi pada masing-masing istrinya, penyesuaian hubungan dengan teman diantara kedua belah pihak terhadap kedua istrinya, penyesuaian kehidupan beragama bersama kedua istrinya dan penyesuaian pola asuh anak dari istrinya. Ketika subjek menghadapi suatu masalah, subjek dalam menghadapinya secara aktif. Aktif yaitu apabila subjek menghadapi masalah dengan kedua istrinya, subjek secara aktif memutuskan apakah akan meyelesaikan masalah yang bersangkutan atau mengakhiri hubungan perkawinan. Subjek dan kedua istri dapat memutuskan bahwa mereka harus membicarakan permasalahan ini dan mencoba untuk mencari jalan keluar yang terbaik walupun hubungan yang pasif kadang timbul namun tidak menjadi ancaman bagi rumah tangga subjek dengan kedua istrinya. Dan dalam menghadapi masalah secara pasif subjek dan kedua istri seakan tidak memperdulikan adanya masalah yang timbul dalam perkawinannya. Jelasa dapat di simpulkan bahwa penyesuaian perkawinan subjek dengan kedua istri berjalan dengan baik, masing-masing bisa melakukan penyesuaian diri dengan baik pula. Subjek juga selalu berusaha melakukan penyesuaian kepada kedua istrinya.
c.
Faktorfaktor yang menyebabkan penyesuaian perkawinan poligami. Berdasarkan hasil rangkuman dan analisis diketahui mengenai faktor-faktor atau kondisi yang menyebabkan penyesuaian perkawinan subjek yaitu, saat subjek menjadi orang tua, dalam jangka waktu sejak perkawinan hingga subjek memiliki anak akan mempengaruhi penyesuaian perkawinan bila anak pertama lahir sebelum pasangan dapat menyesuaikan diri satu sama lainnya. Sementara bagi subjek sendiri, saat subjek dan istri pertama memiliki anak subjek tidak mendapat kesulitan ketika sudah menjadi orang tua bagi anak-anaknya, kondisi ini tidak mempengaruhi penyesuaian perkawinan subjek. Keadaan keuangan yang stabil, kondisi yang mempengaruhi keadaan ekonomi subjek dengan kedua istrinya tidak menjadi persoalan, karena subjek mempunyai status ekonomi yang baik subjek dapat melakukan penyesuaian perkawinan lebih mudah. Harapan yang tidak realitis akan kehidupan perkawinan subjek akan mempersulit penyesuaian perkawinan demikian yang terjadi dalam perkawinan subjek dengan kedua istrinya, terkadang subjek tidak menyadari permasalahan dan tanggung jawab yang timbul dalam suatu perkawinan. Harapan atau bayangan bahwa perkawinan akan selalu romantis terhadap kedua perkawinan subjek dengan kedua
e.
istrinya terkadang sulit di dapati, namun masalah yang terjadi tidak berlarut-larut menjadi persoalan kedua belah pihak pada akhirnya mendapati penyelesainnya meski membutuhkan waktu yang panjang. Jumlah anak yang dimiliki subjek dengan istri pertamanya tidak mereka sepakati, subjek tidak menuntut istri harus memiliki anak dalam jumlah berapanya. Pada rumah tangga subjek dan istri kedua tidak dianugerahi anak, namun subjek tidak pernah mempersoalkan masalah ada atupun tidaknya kehadiran anak dalam pernikahan mereka berdua. Kondisi lainnya yaitu masalah urutan kelahiran dalam keluarga subjek dan kedua istrinya, kondisi ini pun tidak menjadi persoalan bagi subjek dan tidak menjadi permasalahan. Dan kondisi yang terakhir yaitu hubungan subjek dengan keluarga pasangan, yaitu keluarga dari istri pertama dan istri keduanya. Dilihat dari kondisi ini juga subjek dapat melakukan penyesuaian yang baik. Adanya kondisi-kondisi yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan subjek dengan kedua istrinya, tidak menjadi penghalang untuk subjek dalam membina keluarga yang harmonis. Proses Perkembangan Penyesuaian Perkawinan Poligami Dari kesimpulan diatas dapat disimpulkan bagaimana proses perkembangan penyesuaian prkawinan poligami subjek, hal demikian dilihat pada
area-area penyesuaian perkawinan yang mana penyesuaian terjadi peroses perubahan dimana sebelum dan sesudah subjek melakukan pernikahan poligami, hal tersebut dapat dilihat dari hubungan subjek dengan istri pertamanya dalan hal hubungan seksual subjek. Pada saat subjek melakukan pernikahan dengan istri pertama hubungan seksual subjek berjalan dengan baik, namun setelah subjek menikah dnengan istri keduanya hubungan seksual diantara subjek dengan istri pertamanya tidak terjadi lagi. Kesepakatan tersebut disepakati diantara subjek dan istri pertamanya dan selama perkawinan poligami subjek, hal demikian tidak menjadi hambatan dan persoalan dalam rumah tangga subjek dan istri pertamannya. Dalah masalah hubungan sosial dan relasi terjadi perubahan sebelum dan sesudah subjek melakukan pernikahan pligami. Hal ini dikarenakan subjek harus membagi waktu antara istri pertama dan istri keduanya. Sebelum subjek melakkan pernikahn poligami tentunya waktu subjek hanya dihabiskan dengan istri pertamanya saja, namun setelah subjek menikah lagi maka subjek harus membagi peran dan kewajibanya diantara kedua istrinya. Dan hal yang ketiga yaitu kegiatan keagamaan antara istri pertama dan istri keduanya. dimana setelah perkawinan poligami subjek tentunya harus membagi waktu antara kedua
istrinya. Adanya perubahaan yang terjadi dalam kehidupan perkawinan subjek dengan istri pertamanya membutuhkan peroses penyesuaian. Namun hubungan harmonis sebagaimana hubungan suami dan kedua istrinya saat berumah tangga tetap terjalin harmonis diantara masing-masing pihak. 2. Saran 1.
2.
Kepada Subjek Diharapkan untuk tetap bersikap baik dalam melakukan penyesuaian perkawinan dengan kedua istrinya. Subjek harus bersikap adil dan memperhatikan lagi kedua istrinya, subjekpun harus mampu menjaga perasaan kedua istrinya. Diharapkan lagi subjek mempertahankan komitmen untuk berbuat adil diantara kedua istrinya. Kepada Istri-istri Subjek Kepada kedua istri subjek diharapkan dapat menerima keberadan subjek yang tentunya hanya sebagai manusia biasa tidak dapat berlaku adil sesuai yang diharapkan. Mengingat tanggung jawab yang diembani subjek sangat besar diharapkan untuk kedua istri subjek dapat berbesar hati menerima keberadaaan ini dan keadaan yang terjadi dalam rumah tangga. Bagi istri pertama subjek harus lebih ikhlas menerima keberadaan istri kedua subjek dan harus dapat membentuk hubungan yang harmonis diantara kedua belah pihak, agar subjek sendiri lebih bisa menjalani kehidupan rumah tangga yang bahagia sesuai
3.
dengan harapan dan keinginannya mewujudkan kelurga yang sakinah, mawaddah dan warohmah. Kepada Wanita yang akan dinikahi secara Poligami Dalam rangka menegakan kesetaraan dan keadilan jender inilah perlunya digiatkan upayaupaya pemberdayaan perempuan, terutama agar mereka mengerti akan hak-hak mereka sehingga memiliki posisi tawar tinggi dalam kehidupan rumah tangga. Pertama dan utama adalah meningkatkan kualitas diri perempuan melalui pendidikan, baik formal maupun non formal, sehingga memiliki wawasan yang luas, skill (keterampilan) yang memadai dan kemampuan intelektual yang cukup untuk memahami dan memperjuangkan hak-hak asasinya. Kedua, membuat perempuan mandiri secara ekonomi sehingga tidak sepenuhnya tergantung pada penghasilan orang tua atau suami. Ketiga, tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan moralitas dan religiusitas perempuan sehingga tidak mudah terjebak dalam pengaruh kehidupan yang hedonistik, materialistik, perempuan muslimah yang di dambakan adalah perempuan yang berpendidikan dan berwawasan luas, aktif dan dinamis, madiri secara ekonomi, bebas dalam mengambil keputusan, sangat peduli pada persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan, bertanggung jawab dan tetap berakhlak karimah. Dengan adanya hal
4.
tersebut dari diri wanita, kemungkinan besar bahwa poligami yang akan dilakukan akan berakhir, bahwasanya lakilaki tidak akan berusaha mencari wanita lain untuk dijadiakan istrinya lagi apabila terpenuhnya hal yang demikian pada diri seorang wanita tersebut Kepada Pria yang akan melakukan Poligami Bagi pria yang mau berpoligami, hendaknya memahami makna dan hakekat poligami itu sendiri serta sejarah panjang poligami, bukan membayangkan bahwa poligami akan menjadikan hidup lebih bahagia,. Tidak sedikit orang keliru memahami praktek poligami , poligami yang disyariatkan agama Isalm memperbolehkan laki-laki mengawini lebih dari satu orang wanita. Kebanyakan laki-laki yang demikian itu berdalil mengikuti sunah Rosul yaitu Nabi Muhammad Saw., termasuk kaum Muslim sendiri, ada anggapan bahwa Poligami itu sunnah Nabi. Jika dilihat sejarahnya demikian mengapa Nabi tidak melakukan Poligami sejak awal berumah tangga? Padahal jelas dalam mayarakat Arab jahiliah ketika itu Poligami merupakan tradisi yang sudah berurat akar? Dalam prakteknya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Nabi bermonogami selama kurang lebih 28 tahun dengan Khadijah istri pertamanya dalam suasana yang penuh diliputi ketenangan dan kebahagiaan, sementara berpoligami hanya sekitar 7 tahun, Nabi menikah pertama
kali dengan Khadijah bin Khuwailid. Ketika itu usia beliau 25 tahun, sementara khadijah berumur 40 tahun, dua tahun setelah khadijah wafat, baru nabi menikah lagi, yaitu dengan Saudahbin Zam’ah. Usia saudah saat dinikahi Nabi sudah lanjut dan sebagian riwayat menyebutkan ia sudah menopause, tidak berapa lama setelah menikahi saudah, Nabi menikah dengan Aisyah bin Abu Bakar. Di waktu inilah nabi memulai kehidupan poligaminya. Sejarah mencatat, Nabi melakukan Poligami setelah usianya lewat dari 54 tahun, suatu usia di mana kemampuan seksual laki-laki biasanya sudah sangat menurun. Nabi terlalu mulia untuk menyakiti perasaaan kaum perempuan, bahkan beliau diutus untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan yang ketika itu sudah sangat terpuruk. Terbukti Nabi berpoligami tidak memiliki perempuan muda dan cantik sebagaimana lazimya dilakukan laki-laki. Nabi berpoligami bukan memenuhi hasrat biologisnya, melainkan sematamata untuk kepentingan dakwah dan keselamatan umat menuju tegaknya masyarakat madinah yang didambakan. Menjadi renungan yang cukup panjang bagi kaum lakilaki yang mau melakukan peraktek poligami, bahwasanya berpoligamilah seandainya kamu mampu berbuat adil terhadap istri-istri mu. Dan janganlah menjadikan poligami sebagai pelampiasan nafsu duniawi
5.
semata karena akan membuat kehidupan rumah tangga pada akhirnya tidak akan seutuhnya bahagia. Kepada Masyarakat Kepada masyarakat, khususnya para kaum muslim disarankan agar dapat dipahami ayat yang diturunkan Allah SWT: dengan firmannya ”kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi. Dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seseorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (QS An-nisaa”(3):4). Demikian ayat alquran yang telah diatur didalamnya, yang membuat masyarakat harus dapat menjadikan bahan renungan yang baik. Dengan adanya ayat tersebut maka masyarakat harus dapat melihat juga bagaimana kehidupan perkawinan pria yang melakukan pernikahan poligami, bahwa pernikahan poligami tidak bisa berjalan baik hanya karena adanya materi yang dapat dipenuhi oleh pria yang melakukan pernikahan poligami, akan tetapi harus dipikirkan hubungan antara istri pertama dan istri kedua dalam mejalankan kehidupan perkawinan, istri yang memiliki satu suami akan menimbul permasalahan yang akan muncul dalam perkawinan yang dijalankan bersama dan sikap ikhlas dalam menerima sikap suami yang memutuskan untuk berpoligami menguji kesabaran hati istri sendiri. Hanya kesiapan jasmani dan rohanilah yang dapat membentuk
perkawinan poligami berjalan dengan baik. Sehingga akan tercipta keluarga sakinah, mawaddah dan marohmah 6.
Kepada Peneliti Selanjutnya a. Dalam menerapkan metode penelitian selanjutnya disarankan agar menggunakan metode kuantitatif, sehingga hasil penelitian dapat digeneralisasikan. b. Diharapkan dapat mengembangkan penelitian mengenai perkawinan poligami, misalnya mencari gambaran kehidupan perkawinan poligami dalam masyarakat yang tidak memiliki ekonomi yang mapan. Diharapkan untuk subjek agar mampu mengatasi stres yang dialaminya, sekiranya subjek berusaha untuk dapat menghadapi situasi- situasi dari lingkungan yang menurutnya tidak menyenangkan, berusaha untuk menerima kenyataan bahwa untuk bisa berkumpul lagi dirasakan tidak mungkin, Subjek juga jangan terlalu fokus dalam kekecewaan, jangan mudah menyerah dan tidak berdaya untuk menghadapi stressor, karena hal tersebut tidak akan membantu mengatasi masalah dan bukan merupakan strategi coping yang efektif. c. Bagi Orangtua Diharapkan bagi orangtua agar tetap menjaga komunikasi dengan anakanaknya, tetap meluangkan waktu untuk berkumpul, tetap memberikan perhatian dan kasih sayangnya. dBagi Masyarakat
Bagi masyarakat juga janganlah memandang negative tentang perceraian untuk diperbincangkan karena hal tersebut dapat membawa dampak psikologis terhadap anakanak dan keluarga yang mengalami perceraian tersebut. . e. Bagi peneliti selanjutnya Untuk para peneliti selanjutnya diharapkan mencoba untuk mencari aspek-aspek-aspek lain yang berkaitan dengan remaja yang mengalami perceraian pada orangtua dengan teori dan metode yang lebih spesifik.
DAFTAR PUSTAKA Atwater, E. (1983). Psychology of adjustment. 2nd ed. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Ahnan, M, & Khoiroh, U. (2001). Poligami dimata Islam. Jakarta : Putra Pelajar Bakry, H. (1985). Undang-undang dan peraturan perkawinan di indonesia. Jakarta: Djambatan. Barnouw, V. (1982) An introduction of anthropology; etnology. Illinois: The Dorsey Press Basuki, A.M.H. 2006. Pendekatan kualitatif. Depok : Universitas Gunadarma Benokraitis, V. (1996). Marriages and families changes, choices, and constraints. 2ed ed. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Duvall, E. M. & Miller, B. C. (1985). Marriage and family development. 6th ed. New York: Harper & Row Publisher Inc. Farida. (2002). Poligami: Dilema bagi perempuan. Jurnal Perempuan, No. 22,69-79. Faisal,
S. 2003. Format-format penelitian sosial. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada
Gilmer, B. V. (1975). Applied psychology adjustment in living and work. 2nd ed. New Delhi: McGraw-Hill Inc.
Asia. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Karni, A. S., Rasyid, F. & Fitriyah, N. (2003, April). Adat bersendi poligami. Gatra, No. 23 tahun VIII. Kartono, K. (1977). Psikologi wanita gadis remaja dan wanita dewasa Jilid 1. Bandung: Penerbit Alumni. Kottak,
C. P. (1991). Cultural anthropology. 5th ed. New York: McGraw-Hill, Inc.
Kottak, C. P. (1991). Anthropology: The exploration of human diversity. 5th ed. New York: McGraw-Hill, Inc. Gray-Little, B. & Burks, N. (1983). Power and satisfaction in marriage: A Review and Critique. Psychological bulletin. 95 (5): 513-538.
Levinson, D. (1995). Encyclopedia of marriage and the family. New York: Simon & Schuster Macmillan.
Hurlock, E. B. (1980). Developmental psychology: A life-span approach. 5th ed. New York: McGraw-Hill, Inc.
Minichello. (1995). In-depth interviewing: principles, techniques, analysis. 2nd ed. Australia: Longman.
Hyde, J. S. (1985). Half the human experience: The psychology of women. 3th ed. Kanada: D.C. Heath & Company.
Muthahhari, M. (2000). Hak-hak wanita dalam Islam. Jakarta: Lentera.
Indrasari, N. (1985). Gambaran kepuasan perkawinan pria dan wanita pada tahap “Active Parenting”. Skripsi (Tidak diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Jones, G. W. (1994). Marriage and divorce in Islamic South-East
Nabilah. (2002). Kesejahteraan psikologi wanita dewasa madya dengan suami berpoligami. Skripsi (Tidak diterbitkan) Depok: Fakultas Psikologi UI. Nabuko, C & Achmadi, A. 2002. Metode penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia
Olson, H. D. & Hamilton, I. (1983). Families: What makes them works. Beverly Hills: Sage Publisher. Papalia, D. E. (2002). Adult development and aging. 2nd ed. New York: McGraw-Hill Inc. Papalia, D. E. (2001). Human development. 8 th ed. New York: McGraw-Hill Inc. Parkin,
R. (1997). Kinship: An introduction to the basic concepts. USA: Blackwell Publishers Inc.
Patton,
M.Q. (1990). Qualitative evaluation and research methods. Newbury Park: Sage Publications.
Pincus, L. (Ed). (1973). Marriage studies in emotional conflict and growth. London: Institute of Marital Studies. Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia. Roberts, G. L. (1968). Personal growth and adjustment. Boston: Holbrook Press Inc. Santrock, J. W. (1999). Life-span development. 7th ed. New York: McGraw-Hill Inc. Sigelman, C. K. (1999). Life-span human development. 3rd ed.
USA: Brooks Cole Publishing Company. Soerato. 1987. Metode riset kasus. Jakarta : Karunia Jakarta universitas Terbuka.
Soewondo, S. (2001). Keberadaan pihak ketiga, poligami dan permasalahan perkawinan (Keluarga) ditinjau dari aspek psikologi. Dalam (Munandar,S. C. U. (Ed.), Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Keperibadian dari Bayi Sampai Lanjut Usia. (154-183). Jakarta: UI Press. Suwondo, N. (1981). Kedudukan wanita indonesia dalam hukum dan masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia. Thalib, M. (2001). Tuntunan poligami dan keutamaannya. Bandung: Irsyad Baitus Salam. Turner, J. S. & Helms, D. B. (1995). Lifespan development. 5th ed. USA: Harcourt Brace & Company. Yin, R. K. (1994). Case study research: Design and methods. 2nd ed. USA: Sage Publications Inc. Zanden, J. W. V. (1993). Human development. 5th ed. New York: McGraw-Hill Inc. www.kompas.com www.theceli.com/apik/poligami.htm
Danalingga. (2008). Pro-kontrapoligami-penyesuaian-ayat/-seminar. www poligamy.Com) Razuardy.
(2007).
Buku-poligami–
Solutif. www.scribd.com). (Dwinanto.(2007).
Category/idea/-
similar. www. blogsome.com)