JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
: 2442-4005
1
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
SUSUNAN DEWAN REDAKSI
Pelindung/Penasihat
: Dr. Jafar Sembiring, M.Ed.M
Penanggung Jawab
: Rah Utami Nugrahani, S.Sos., MBA
Ketua Redaksi
: Adi Bayu Mahadian, S.Sos., M.I.Kom
Wakil Ketua Redaksi
: Syarif Maulana, S.IP., M.I.Kom
Sekretaris
: Catur Nugroho, S.Sos., M.I.Kom
Redaktur
: Asaas Putera, S.Sos., M.I.Kom Ira Dwi Mayangsari, S.Sos., M.Si Idola Perdini Putri, S.Sos., M.Si Ratih Hasanah, S.Sos., M.Si Drs. Hadi Purnama, M.Si Reni Nuraeni, S.Sos., M.I.Kom
Editor
: Diah Agung Esfandari, B.A., M.Si Nofha Rina, S.Sos., M.Si Ruth Mei Ulina Malau, S.I.Kom., M.I.Kom Berlian Primadani.S.P, S.I.Kom,. M.Si Itca Istia Wahyuni.S.I.kom.MBA
Administrasi/Sirkulasi
: Mohamad Syahriar Sugandi, S.E., M.Si
Creative/cover design
: Fredy Yusanto, S.Sos., M.Ds
Bendahara
: Martha Tri Lestari, S.Sos., MM
Alamat Redaksi & Tata Usaha :Telkom University, Jl. Telekomunikasi No.1 Ters. Buah Batu Bandung 40257.
[email protected]
Redaksi menerima tulisan berupa karya tulis ilmiah yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah dikirimkan tidak lebih dari 14 halaman. Naskah yang masuk akan dievaluasi dan disunting terlebih dahulu untuk keseragaman format penulisan. Naskah dapat dikirim melalui email melalui
[email protected], dengan subject surat “karya ilmiah”.
2
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
ANALISIS PENGAPLIKASIAN ADAT REBU PADA MASYARAKAT KARO (Studi Komparatif Pada Mertua Dan Menantu Masyarakat Karo Di Wilayah Medan Dan Bandung) Oleh: Rivira Tania S. B.1 & Diah Agung E.2
ABSTRAK Di dalam pengaplikasiannya, adat Rebu memiliki banyak aturan-aturan yang berlaku, diantaranya adalah tidak boleh berkomunikasi secara langsung, tidak boleh bertatap muka, dan tidak boleh duduk secara berdekatan antara mertua dan menantu. Adat Rebu tersebut merupakan sebuah tata krama yang membatasi cara-cara berkomunikasi antara orang-orang tertentu demi menjaga hubungan baik dan menghargai satu sama lain. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif komparatif yaitu penelitian kualitatif yang bersifat membandingkan. Penelitian ini menggunakan tiga belas informan yang terbagi ke dalam dua wilayah: Enam informan di wilayah Medan, enam informan di wilayah Bandung, dan satu informan yang merupakan ketua adat untuk mendukung hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan dari pengaplikasian adat Rebu pada tiap-tiap informan. Enam informan yang berasal dari Medan masih mengaplikasian adat Rebu sesuai dengan aturan-aturan yang belaku. Sementara hanya dua orang dari enam informan berasal dari Bandung yang masih mengaplikasikan adat Rebu sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa pengaplikasian budaya berpengaruh pada wilayah dan tempat tinggal. Semakin sedikit masyarakat yang tinggal diwilayah dengan budaya yang bersangkutan, semakin sedikit pula ia mengkaplikasikannya. Kata Kunci: Budaya, Masyarakat Karo, Adat Rebu
1 2
Sarjana Ilmu Komunikasi dari Telkom University. Pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Telkom University.
3
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
1. Pendahuluan Di dalam buku Melestarikan Adat Nggeluh Kalak Karo yang ditulis oleh Parentahen (2007:13), dijelaskan bahwa Kalak Karo (Orang Karo) adalah penduduk asli yang mendiami Tanah Karo. Dari segi pengertian wilayah, Tanah Karo berbeda dengan Kabupaten Karo. Tanah Karo melingkupi Kabupaten Karo dimana sekarang sebagian wilayahnya merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Tenggara Provinsi - Nanggroe Aceh Darusalam, dan sebagian lainnya Kabupaten Dairi. Banyak sekali adat dan kebiasaan yang diaplikasikan oleh masyarakat suku Karo di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal itu dikarenakan “adat adalah salah satu hal yang dapat mempererat persaudaraan” (Parentahen, 2007). Terutama bagi masyarakat suku Karo yang tinggal di wilayah Dataran Tinggi Karo, adat Karo masih sangat dijunjung tinggi oleh mereka. Sebagai contoh, seseorang yang bersuku Karo namun telah menikah dan memiliki anak, maka ia tidak lagi menggunakan nama lahirnya sebagai nama panggilan. Ia akan menggunakan nama dari anak pertamanya. Sebab, menurut masyarakat suku Karo, memiliki anak adalah sebuah tuah (berkah), dan karena itu pulalah orang tersebut harus dihormati. Maka tidak heran apabila di berbagai kesempatan, masyarakat suku Karo (terutama yang belum saling mengenal) akan melakukan ritual ertutur saat mereka berjumpa. Yaitu, proses menanyakan asal usul, keluarga, dan kampung halaman dimana pada akhirnya, sehingga mereka dapat saling menyapa dan mendapatkan nama panggilan yang sesuai terhadap satu dengan yang lainnya. Sampai dengan saat ini, pembahasan secara akademik dari kebudayaan suku Karo masih sangat jarang dilakukan oleh para akademisi. Tidak heran apabila banyak orang Indonesia yang tidak paham akan adat istiadat suku Karo. Atau secara lebih spesifik lagi, belum pernah mendengar adat istiadat suku Karo yang disebut dengan Adat Rebu. Terbukti dengan tingkat kesulitan yang dialami peneliti, dalam mencari buku, dokumen atau sumber-sumber yang membahas Adat Rebu sebagai bahan referensi. Oleh sebab itu, salah satu alasan diadakannya penelitian ini, adalah untuk mengumpulkan data-data yang dapat membantu generasi muda dalam memahami adat istiadat suku Karo (lebih spesifik, Adat Rebu-nya). Secara ringkas, Adat Rebu adalah tradisi yang membatasi cara berkomunikasi antara mertua dan menantu dalam keseharian mereka dengan maksud untuk menghindari atau mengurangi konflik dan/atau ketertarikan. Pada pengaplikasiannya, perempuan suku Karo yang sudah menikah dilarang berkomunikasi langsung kepada bapak mertuanya. Hal itu berlaku juga pada pria suku Karo yang sudah menikah, namun dilarang berbicara secara langsung
4
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
kepada ibu mertuanya. Dengan begitu, agar komunikasi berjalan lancar oleh para pelaku Adat Rebu, dicarilah jalan tengahnya yaitu dengan pengunaan seorang/sebuah perantara - dimana orang ketiga atau benda-benda yang ada di sekitar dapat berperan sebagai mediator. Salah satu contoh bentuk dari percakapan antar pelaku Adat Rebu, “Kursi, tolong beri tahu ke bapak mertua saya bahwa sarapan sudah disiapkan di meja makan.” Sebagai jawaban dari pernyataan tersebut, maka sang bapak mertua akan mengatakan, “Kursi, katakan terimakasihku pada menantuku.” Sampai sejauh ini, Adat Rebu masih di pegang teguh oleh masyarakat suku Karo terutama yang tinggal di wilayah Dataran Tinggi Karo. Namun, mengingat banyaknya masyarakat suku Karo yang telah meninggalkan kampung halaman dan tinggal di berbagai wilayah kota besar, perlu diadakan suatu penelitian yang dapat menjawab “Apakah adat Rebu masih dipertahankan di tempat perantauan?” Sebab berbagai faktor seperti pendidikan, lingkungan dan agama, dan suku yang berbeda di tempat perantauan, sangat memungkinkan untuk berpengaruh pada pengaplikasian adat Rebu sehari-hari. Bisa jadi, adat tersebut semakin mereka junjung tinggi ataupun sebaliknya, yaitu mereka lupakan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik tahun 2010, penduduk Indonesia bersuku Batak yang tinggal di wilayah Sumatra Utara berjumlah 5.785.716 jiwa, sedangkan penduduk Indonesia bersuku Batak yang tinggal di wilayah Jawa Barat berjumlah 467.438 jiwa. Pengerucutan tata letak geografis atau wilayah pada pembahasan kali ini, dilandasi oleh keinginantahuan peneliti memahami dan mengetahui secara pasti bagaimana pengaplikasian Adat Rebu di wilayah yang peneliti tempati/tinggali. Dengan begitu, sebelum melakukan penelitian pada wilayah-wilayah Indonesia lainnya, peneliti merasa harus menemukan dan memahami jawaban dari tempat yang terdekat lebih dahulu. 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Komunikasi Verbal Menurut Mulyana (2007:261), “Bahasa verbal adalah saran utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita.” Sedangkan menurut Hockett dalam DeVito (1997:119), “Bahasa dapat dibayangkan sebagai kode, atau sistem simbol, yang kita gunakan untuk membentuk pesan-pesan verbal kita. Kita dapat mendefinisikan bahasa sebagai sistemproduktif yang dapat dialih-alihkan dan terdiri atas simbol-simbol yang cepat lenyap (rapidly fading), bermakna bebas (arbitrary), serta dipancarkan secara kultural.”
5
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Dengan kata lain, bahasa yang digunakan sehari-hari adalah kode dan/atau simbol yang digunakan untuk mewakili dan/atau merepresentasikan realitas berupa: pikiran, perasaan dan maksud dari masing-masing individu yang sifatnya dapat dengan cepat lenyap, bermakna bebas ataupun kultural. Konsekuensinya (seperti yang telah dijelaskan Mulyana) kata-kata itu tidak akan mampu memberikan arti secara total/menyeluruh/utuh terhadap realitas yang kita gambarkan. Oleh karena itu, tidak heran apabila misscommunication ataupun missunderstanding sering kali terjadi saat kita berkomunikasi karena pikiran, perasaan, persepsi dan budaya antar invidu berbeda satu dengan yang lainnya. Kecuali mereka sudah saling mengenal, memahami dan memiliki kesepakatan akan simbol atau arti terhadap suatu kata, maka barulah komunikasi dapat berjalan dengan lancar.
Seperti yang dijelaskan oleh Larry Samovar (2004) bahwa berbagai cara
mengekspresikan perasaan adalah cara-cara yang mengacu pada keanekaragaman budaya. Korea misalnya, berbeda jauh dengan Amerika, secara verbal, dalam mengungkapkan perasaan, mereka tidak sebebas dan seterbuka orang Amerika. Istri dari orang Korea tidak akan terburu-buru memeluk suaminya di bandara, meskipun mereka tidak bertemu selama bertahun-tahun agar tidak membuat suaminya merasa malu. Menurut Mulyana dan Rakhmat (2009: 18-19), antara budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan karena mereka memiliki keterkaitan yang kuat “[…]Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.” Sebagai contoh, di suku Jawa terdapat adat yang bernama Midodareni, yaitu dimana dua orang yang akan menikah, dalam kurun waktu 1 minggu – 1 bulan diharuskan memasuki masa pingitan. Masa pingitan adalah masa dimana kedua calon pengantin tidak diperbolehkan untuk bertemu sama sekali. Pada malam sebelum menikah, calon pengantin pria mengunjungi rumah calon pengantin wanita, kemudian calon pengantin pria di suguhkan makanan dan minuman oleh keluarga calon pengantin wanita dan setelah itu di wajibkan untuk berpuasa sampai hari pernikahan tiba. Sementara di waktu yang sama, pengantin wanita berada di dalam sebuah kamar untuk di rias secantik mungkin agar terlihat berbeda dari biasanya. Namun calon pengantin pria tidak diperbolehkan melihat hasil riasan tersebut, calon pengantin pria hanya diperbolehkan mendengar tentang bagaimana kecantikan calon pengantin wanita setelah di rias. Apabila adat tersebut tidak
6
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
di jalankan, masyarakat suku Jawa mempercayai bahwa pernikahan tidak akan berjalan lancar kedepannya. Contoh lainnya, bagi seseorang yang berasal dari Toraja, setiap masyarakat suku Toraja yang telah meninggal dunia, harus melalui proses ritual pemakaman yang akan di hadiri oleh ratusan orang. Ritual pemakaman tersebut pun biasanya terjadi selama beberapa hari. Biaya untuk mempersiapakn ritual pemakaman ini cukup mahal sehingga ritual pemakaman boleh di lakukan berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan sampai bertahun-tahun agar keluarga yang di tinggalkan memiliki waktu untuk mengumpulkan uang. Puncak acara dari ritual pemakaman suku Toraja adalah penyembelihan kerbau. Jumlah kerbau yang di sembelih menunjukkan kedudukan orang yang meninggal tersebut, semakin banyak kerbau yang di sembelih artinya semakin tinggi atau kaya orang tersebut di masa hidupnya. Masyarakat suku Toraja percaya bahwa orang yang sudah meninggal memerlukan kendaraan untuk perjalanan menuju puya (akhirat). Hukum adat pun berlaku bagi masyarakat suku Toraja yang tidak menjalani ritual pemakaman ini. Bila ada salah satu anggota keluarga yang meninggal dan keluarga yang di tinggalkan tidak menjalani ritual pemakaman, maka ritual pemakaman itu sendiri akan menjadi hutang bagi keluarga yang di tinggalkan. Dan hutang tersebut akan turun terus-menerus sampai ke anak atau cucu bila tidak di jalankan. 2.2. Komunikasi Antar Budaya Menurut Mulyana dan Rakhmat (2009: 18-19), definisi dari budaya adalah tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan, ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Menurut Budyatna (2012: 36-39), “Budaya dipelajari, bukan pembawaan lahir. Budaya berasal dari lingkungan sosial seseorang, lebih daripada pembawaan sifat. Budaya harus dibedakan dari sifat alamiah atau tabiat pada satu sisi, dan dari kepribadian individual di sisi yang lain. Dimana sesungguhnya letak batas-batas antara sifat alamiah dan budaya antara budaya dan kepribadian, merupakan masalah diskusi di antara para ilmuwan.” 2.3. Budaya dan Penggunaan Bahasa Larry Samovar (2004: 146-150) berpendapat bahwa: “For you to understand the wide range of diversity between cultures in how they actually use languange, we will examine characteristics of languange that include
7
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
rules for (1) directness, (2) the maintenance of social customs and relationships, (3) expression of emotion, and (4) the value of ’talk’.” Untuk memahami keragaman antar budaya mengenai bagaimana mereka menggunakan bahasa, kita akan meneliti karakteristik dari bahasa yang aturan didalamnya adalah: (1) keterusterangan, (2) menjaga sosialisasi dan hubungan, (3) mengekspresikan perasaan, (4) nilai-nilai dari pembicaraan. 1. Keterusterangan Penggunaan bahasa mencerminkan banyak nilai-nilai budaya dari tingkat keterusterangan. Kebanyakan orang Amerika akrab dengan bahsa yang terus terang karena gaya ini merupakan sebuah interaksi di Amerika Serikat. Pengalaman kita sendiri menjelaskan bahwa tidak banyak yang seperti orang Amerika. Justru, bahasa yang digunakan oleh kebanyakan Amerika mencoba untuk menghindari ketidakjelasan dan ambiguitas dan langsung kepada intinya. Bila ingin mengatakan “tidak” mereka akan langsung mengatakan “tidak” tanpa ragu-ragu. Penggunaan bahasa langsung sering terlihat di budaya lain untuk mengabaikan seseorang sehingga dapat menimbulkan rasa malu dan menyinggung perasaan. Hal ini juga merupakan tanda dari seseorang bahwa ia tidak memperdulikan apa yang orang tersebut katakan. Bahkan ada pepatah Asia yang mengatakan “sekali memanah, busurnya tidak akan bisa diperoleh lagi.” Buddha juga menganjurkan kepada pengikutnya untuk tidak berbahasa “kasar.” 2. Menjaga sosialisasi dan Hubungan Bahasa berfungsi untuk mempertahankan dan meningkatkan status sosial dan hubungan antara anggota dari budaya tersebut. Sekali lagi, ini adalah sebuah contoh dimana bahasa berfungsi untuk melestarika nilai-nilai mendalam dari sebuah budaya baik secara formal maupun secara informal. 3. Mengekspresikan Perasaan Berbagai cara mengekspresikan perasaan adalah cara-cara yang mengacu pada keanekaragaman budaya. Korea misalnya, berbeda jauh dengan Amerika, secara verbal, dalam mengungkapkan perasaan, mereka tidak sebebas dan seterbuka orang Amerika. Istri dari orang Korea tidak akan terburu-buru memeluk suaminya di bandara, meskipun mereka tidak bertemu selama bertahun-tahun agar tidak membuat suaminya merasa malu. 4. Nilai dari ‘Bicara’ Di banyak budaya, orang-orang memperoleh banyak kesenangan dari seni percakapan dan berbicara di depan umum. Mengetahui budaya dapat memberikan kesenangan dalam permainan
8
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
lisan dan perdebatan dapat memberikan wawasan penting tentang bagaimana interaksi lisan yang berbeda dari 1 budaya ke budaya lain. (Samovar, 2003:146-150) Dengan demikian, untuk memahami pengaplikasian adat Rebu pada masyarakat suku Karo secara komprehensif diperlukan keempat aspek yang telah diindentifikasikan Samovar diatas. 2.4. Kerangka Pemikiran
Budaya Karo
Adat Rebu
Mertua & Menantu
Tinggal di wilayah Medan
Tinggal di wilayah Bandung
Culture and the Use of Languange (1) directness, (2) the maintenance of social customs and relationships, (3) expression of emotion, and (4) the value of “talk”. (Larry Samovar)
Analisis Pengaplikasian Adat Rebu antara Mertua dan Menantu pada Masyarakat Karo di Medan dan di Bandung
9
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Kebudayaan suku Karo: Adat Rebu Parentahen (2007: 32-33) menjelaskan bahwa Adat Rebu menggambarkan pembatasan yang berupa ngerana (komunikasi), perkundul (kelakuan), perdalan (tingkah laku) dan sebagainya. Rebu bersifat pembatasan tujuan atau ndalanken kehamatan (sopan santun) dan kesopanan adat. Dalam buku berjudul Karo dari Zaman ke Zaman, Yunus (1995: 38-51) memberi penjelasan tentang pengertian kata Rebu dalam bahasa Karo yang dapat disejajarkan dengan kata tabu dalam bahasa Polinesia. Lebih spesifik lagi, Yunus mengungkapkan bahwa kata Rebu berarti ‘pantang’, ‘tidak pantas’, ‘dilarang’, ‘tidak dapat’, ‘tidak diijinkan’ melakukan sesuatu hal atau perbuatan (1995: 3851). Jadi itu berarti bahwa kata Rebu berisi larangan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu. Orang yang melanggar larangan tersebut adalah orang yang tidak tahu adat, dan tidak menuruti tata kebiasaan yang berkalu. Konsekuensinya, orang tersebut akan dicemoohkan atau mendapat sanksi oleh masyarakat. Secara umum, masyarakat Karo, mengenal beberapa macam (tradisi) Rebu. Salah satu contohnya, apabila ada sebuah pesan yang hendak disampaikan oleh satu pihak ke pihak lainnya harus menggunakan perantara walaupun yang melakukam Rebu duduk tidak berjauhan dan pesan tersebut dapat didengar. Perantara dapat berupa manusia, hewan maupun benda-benda mati. Rebu dapat terjadi diantara:
Ayah (mertua laki-laki) ‘Bengkila’
Ibu (mertua perempuan) ‘Mami’
1 3 2 4 Istri (menantu perempuan) ‘Permain’
AnakLakilaki
Anak Perempuan
Suami (menantulaki-laki) ‘Kela’
Keterangan: 1. Panggilan dari menantu perempuan ke mertua laki-laki adalah ‘Bengkila’ dan diwajibkan melakukan Rebu. 2. Panggilan dari mertua laki-laki ke menantu perempuan adalah ‘Permain’ dan diwajibkan melakukan Rebu.
10
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
3. Panggilan dari mertua perempuan ke menantu laki-laki adalah ‘Kela’ dan diwajibkan untuk Rebu. 4. Panggilan dari menantu laki-laki ke mertua perempuan adalah ‘Mami’ dan diwajibkan untuk Rebu. 1. Menantu (Kela) dengan mertuanya baik mertua laki-laki maupun mertua perempuan. 2. Menantu (Kela) dengan silih dan isterinya. 3. Menantu (Kela) dengan Cimbang Mami dan suaminya maupun saudara-saudara Mami dengan perbulangenna 4. Menantu (Kela) dengan Puang Kalimbubu baik singalo bere-bere dan singalo perkempun. 5. Ayah Menantu (Kela) dengan suami isteri atau perbulangen dan Kemberahen, Kalimbubu, Puang Kalimbubu maupun puang nupuang Kalimbubu. Namun pada kesempatan ini, penulis hanya akan membahas tradisi verbal Rebu antara mertua dan menantu baik di Bandung dan Medan sebagai komparasi dari pengaplikasian adat Rebu di daerah perantauan (Bandung) dari tempat asal (Medan) dmana telah dilakukan wawancara terhadap beberapa informan yaitu sebagai berikut: a. Tiga orang berstatus mertua di wilayah Medan, b. Tiga orang berstatus menantu di wilayah Medan, c. Tiga orang berstatus mertua di wilayah Bandung, d. Tiga orang berstatus menantu di wilayah Bandung, dan e. Seorang Ketua Adat yang berdomisili di Medan. Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan, “Apakah adat Rebu masih dipertahankan di tempat perantauan?” 4.1. KESIMPULAN Kesimpulan dari hasil wawancara dengan beberapa informan diatas, menjelaskan bahwa terdapat perbedaan mengenai pengaplikasian Adat Rebu oleh masyarakat Karo yang tinggal di wilayah Medan dan yang tinggal di wilayah Bandung. Perbedaan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Perantara dalam komunikasi verbal yang terjadi diantara mertua dan menantu yang tinggal di wilayah Medan merupakan perantara orang ketiga atau kata ‘Nina’. Perantara orang ketiga tersebut bisa berupa penggunaan kata: istri, suami, mertua atau menantu (yang tidak berlawanan jenis), kakak ipar, abang ipar, dan orang-orang yang berada disekitar ketika
11
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
proses komunikasi tersebut berlangsung. Sebagai contoh, pada saat wawancara, Tetap Ukur Sebayang selaku informan yang berstatus sebagai mertua laki-laki yang berada di wilayah Medan, pada penelitian ini mengatakan “Ja enda Karo nina permain’ (Dimana Nenek berada kata permain?). Nina permain. Padahal ngomongnya langsung dengan dia tapi harus diucapkan dengan kata ‘nina’, supaya dianggap sopan. Kalau ‘Ja enda Karo permain?’ langsung tidak pakai ‘nina’ itu tidak sopan” (Tetap Ukur Sebayang, Minggu, 4 Mei 2014) Enam orang informan yang berada di wilayah Medan selalu menggunakan perantara pada saat berkomunikasi dengan lawan bicaranya yang merupakan pelaku Rebu. Sementara dari enam orang informan yang berada di wilayah Bandung, hanya dua orang yang masih menggunakan perantara orang ketiga pada saat berkomunikasi dengan mertua atau menantu mereka masing-masing. 2. Dalam menyampaikan rasa suka atau hal-hal yang tidak disukai kepada menantu atau mertua masing-masing, dua dari enam masyarakat Karo yang berada di Medan tetap menggunakan orang ketiga sebagai perantara. Sementara sisanya, satu orang menyampaikan melalui mimik wajah, satu orang menyampaikan dengan berperilaku baik, dan dua orang sisanya mengaku tidak pernah menyampaikan ekspresi-ekspresi tersebut karena khawatir akan melanggar aturan-aturan yang berlaku di dalam adat Rebu. Tidak jauh berbeda dengan masyarakat Karo yang berada di Bandung, dua dari enam orang yang mengaplikasikan aturan-aturan tersebut. Sebagai contoh, pada saat wawancara, Mbuah Ginting selaku informan yang berstatus sebagai mertua perempuan di wilayah Medan mengatakan, “Kalo rasa senang pun tidak pernah. Cuma melalui Bibi ndu, ‘Mehuli kel ia, baek kali dia rupanya, sikap dia, terampil’. Begitu aja Iting.”. (Mbuah Ginting, Selasa, 7 Mei 2014) Isi pesan yang disampaikan oleh tiap-tiap informan yang berada di wilayah Medan, selalu menggunakan perantara dalam proses penyampaiannya. Isi pesan itu sendiri kebanyakan merupakan pesan-pesan yang tidak bermakna penting. Hal ini sangat berbeda dengan dua dari enam informan yang berada di Bandung, setiap isi pesan disampaikan secara langsung dan terbuka kepada mertua atau menantu mereka masing-masing. Isi pesan tersebut pun bisa saja membahas tentang hal-hal yang bermakna penting. Dua informan sisanya, selain isi pesan yang disampaikan tidak prinsipil, tetap menggunakan perantara di dalam proses penyampaiannya. Sebagai contoh, Sukahati Sembiring yang merupakan seorang mertua perempuan dan tinggal di wilayah Bandung mengatakan, “O, suka... kalo dia
12
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
bawa mobil juga misalnya saya disampingnya dia ceritakan apa kendala di kantor, kenapa seperti ini misalkan, dia terbuka sama saya, malah lebih terbuka ke saya daripada ke Ibu nya kalau tentang pekerjaan.” Sukahati Sembiring (Minggu, 25 Mei 2014) 3. Dalam menjaga hubungan keluarga, seluruh informan yang diwawancara oleh peneliti, baik itu masyarakat Karo yang tinggal di wilayah Medan maupun masyarakat Karo yang tinggal di wilayah Bandung mengaku bahwa hubungan keluarga yang terjalin antara mertua atau menantu mereka masing-masing tetap terjaga. Hal ini berlaku bagi masyarakat Karo baik yang masih mengaplikasikan adat Rebu maupun bagi yang sudah tidak lagi mengaplikasikan adat Rebu. Bagi yang mengaplikasikan adat Rebu, hubungan keluarga tetap terjaga karena segala hal dapat disampaikan melalui perantara, baik itu perantara orang ketiga maupun perantaara kata ‘Nina. Sementara jelas sekali bagi masyakarat Karo yang sudah tidak lagi mengaplikasikan adat Rebu, hubungan keluarga dengan mudah terjalin karena segala hal dapat diungkapkan secara langsung tanpa harus melalui perantara. Selain keempat aspek diatas, yang dilandasi oleh empat faktor dari Samovar (2004), hasil wawancara juga menunjukan beberapa hal lain yang terjadi saat pelaksanaan adat Rebu, yaitu: Aktivitas dan kegiatan bersama-sama yang dilakukan masyarakat Karo di Medan, hanyalah berupa kegiatan formalitas atau rutinitas keluarga, saja. Tidak ada kegiatan khusus diluar rutinitas yang pernah dilakukan. Hal itu, berbeda dengan masyarakat Karo yang berada di Bandung, kegiatan seperti mengantar-jemput, bertelepon, biasa dilakukan. Sebagai contoh, Sukahati Sembiring mengatakan, “Kalo bersama gitu, ya itu tadi, ya nganter Ibu, ngejemput anaknya atau ngejemput istrinya, suka..” Sukahati Sembiring (Minggu, 25 Mei 2014)
13
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Daftar Pustaka Budyatna, Muhammad. 2012. Komunikasi Bisnis Silang Budaya. Jakarta: Kencana. Devito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: International Books. Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Mulyana, Deddy dan., Rakhmat, Jalaluddin. 2009. Komunikasi Antar Budaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Purba, Parentahen. 2007. Melestarikan Adat Nggeluh Kalak Karo. Medan: CV. RG Pinem Medan Samovar, Larry A., dan Porter, Richard E. 2004. Communication Between Culture. Singapore: Thomson Learning. Yunus, Hadori. 1995. Karo dari Zaman ke Zaman. Medan: CV. RG Pinem Medan
14
ADAPTASI MAHASISWA ASING DAN LUAR DAERAH DI UNIVERSITAS PADJADJARAN KAMPUS JATINANGOR Oleh: Mas’Amah, S.Pd., M.Si3 ABSTRAK Di era globalisasi ini, mobilitas sudah semakin tinggi. Individu bepergian dari satu tempat ke tempat lain sudah bukan lagi hal yang aneh. Ada berbagai alasan individu bepergian, mulai dari bekerja, mengungsi, berwisata ataupun menempuh pendidikan. Bagi individu yang sedang menempuh pendidikan di negara lain atau daerah lain pasti akan mengalami kejutan budaya serta mengalami ketidakpastian dan kecemasan. Begitu juga mahasiswa asing dan mahasiswa yang berasal dari luar daerah yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Padjadjaran (Unpad) kampus Jatinangor. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana proses adaptasi mahasiswa asing dan luar daerah di Universitas Padjadjaran kampus Jatinangor?. Tujuan dari riset ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses adaptasi mahasiswa asing dan luar daerah di Unpad kampus Jatinangor. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Sedangkan lokasi penelitiannya yaitu di Unpad kampus Jatinangor. Informan dalam penelitian ini ditentukan dengan cara purposive sampling, yaitu peneliti menunjuk secara langsung informan yang dibutuhkan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi non – partisan, wawancara dan studi literatur. Data yang diperoleh kemudian dianalasis guna mendapatkan makna terhadap data tersebut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam menghadapi kejutan budaya serta mengurangi ketidakpastian dan kecemasan, mahasiswa asing dan luar daerah yang kuliah di Unpad kampus Jatinangor melakukan strategi adaptasi yang meliputi adaptasi bahasa, adaptasi pergaulan, adaptasi cara berpakaian, adaptasi perbedaan menu dan jadwal makan, adaptasi tempat tinggal dan melakukan berbagai aktivitas di luar kampus. Dengan melakukan berbagai adaptasi tersebut, para mahasiswa yang berasal dari negara asing dan luar daerah dapat merasakan kenyamanan tinggal di Jatinangor. Kata Kunci: Adaptasi, Mahasiswa Asing, Mahasiswa Luar Daerah
3
Pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Nusa Cendana. Kandidat Doktor.
15
JURNAL LIKSI | Lingkar Studi Komunikasi
1. Pendahuluan Sebagian besar individu tinggal dan berada di dalam lingkungan yang familiar, tempat dimana individu tersebut tumbuh dan berkembang. Orang-orang yang ditemui di lingkungan individu pada saat bekerja, menempuh pendidikan, maupun bermain cenderung memiliki kesamaan dalam hal latar belakang etnik, kepercayaan atau agama, nilai bahasa, atau setidaknya memiliki dialek yang sama. Namun ada juga individu yang tidak tinggal pada lingkungan yang familiar. Apalagi pada era globalisasi seperti sekarang ini, individu dapat berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya dengan berbagai tujuan. Beberapa tujuan tersebut antara lain untuk berwisata, mengungsi, menempuh pendidikan atau bekerja. Untuk menempuh pendidikan, dapat dilakukan di dalam dan luar negeri. Individu yang menempuh pendidikan tinggi di luar negeri disebut mahasiswa asing. Menurut Sakurako (2000), mahasiswa asing adalah mahasiswa yang berasal dari luar negeri yang tinggal untuk sementara waktu dalam rangka menyelesaikan pendidikannya. Istilah ini seringkali dipertukarkan karena memiliki kemiripan dengan istilah “pemukim sementara” (sojourner). Perbedaannya adalah, menurut Gajdzik (2005) dan Iversen (2009), sojourner mencakup pebisnis, diplomat, pekerja asing, pelajar atau pekerja sukarela yang tinggal pada lingkungan baru, tak akrab sebelumnya dan berbeda selama jangka menengah, biasanya selama enam bulan hingga lima tahun dan berencana untuk kembali ke negara asal dengan motif yang jelas dan pasti dalam hal alasan tinggal di negara asing. Indonesia merupakan salah satu negara yang menerima mahasiswa asing untuk menempuh pendidikan. Salah satu kota yang menerima mahasiswa asing adalah kota Bandung. Universitas Padjadjaran (Unpad) merupakan salah satu kampus di kota Bandung yang menerima mahasiswa asing. Pada semester genap tahun ajaran 2012/2013 jumlah mahasiswa asing yang terdaftar di Unpad sebanyak 1.083 dengan rincian 1.015 orang asal Malaysia, 52 orang asal Timor Leste dan 16 orang dari Negara lainnya (unpad.ac.id). Selain menerima mahasiswa asing, Unpad setiap tahunnya juga menerima ribuan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan negara multikultur, yaitu sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai suku, adat istiadat, bahasa, nilai dan norma, serta agama yang berbeda-beda. Ada sekitar 250 suku di Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah dari Sabang sampai Merauke. Walaupun keberagaman budaya ini dipisahkan oleh batas-batas wilayah geografis, namun interaksi antarbudaya terjadi dengan sangat dinamis.
16
JURNAL LIKSI | Lingkar Studi Komunikasi
Menurut Gayatri (2007), menempuh pendidikan di perguruan tinggi merupakan periode yang penuh stres luar biasa, badai, ketegangan dan tekanan sehingga seringkali disebut sebagai fase mengerikan (terrible). Sebenarnya mahasiswa manapun, baik tingkat sarjana maupun pasca sarjana, mahasiswa domestik maupun asing, pasti menghadapi sejumlah persoalan dalam transisi memasuki perguruan tinggi. Permasalahan yang lazim ditemui meliputi kejutan budaya, kebiasan baru, hambatan bahasa, maupun kemungkinan perbedaan menu dan jadwal makan. Bagi seorang mahasiswa yang memasuki sebuah budaya baru, kemampuan beradaptasi merupakan hal yang mutlak diperlukan. William B. Gudykunst, dalam berbagai buku dan penelitiannya, menjelaskan bahwa budaya mempengaruhi cara atau perilaku seseorang dalam berkomunikasi. Perbedaan budaya sering kali dapat menjadikan komunikasi tidak efektif. Ini terjadi karena perbedaan dalam perilaku komunikasi yang pada akhirnya sering menimbulkan perbedaan persepsi. Dalam berinteraksi dengan orang yang berbeda budaya, individu sering mengalami berbagai ketidaknyamanan psikologis dan fisik. Ketidaknyamanan tersebut bisa berupa penggunaan bahasa yang berbeda, nilai-nilai, norma masyarakat atau perilaku komunikasi yang berbeda. Pengalaman ini dikenal dengan istilah kejutan budaya (culture shock). Bagi seorang mahasiswa yang akan tinggal dan menetap lebih lama, maka mahasiswa tersebut harus siap mengatasi kejutan budaya dan beradaptasi dengan budaya baru. Selain mengalami kejutan budaya, adanya perbedaan budaya dan belum saling mengenal satu sama lain, akan menyebabkan seseorang secara psikologis akan mengalami kecemasan (nervous) khususnya bagi mahasiswa yang baru pertama kali dalam hidupnya datang ke daerah yang belum pernah didatanginya. Secara teoritik, hal ini disebut uncertainty dan anxiety yang memiliki arti sebagai ketidakpastian dan kecemasan. Bila kedua hal di atas tidak dikelola dengan baik, kondisi ini dapat menjadi penghambat dalam berkomunikasi efektif dengan lingkungan pergaulannya, sehingga mahasiswa tersebut tidak bisa beradaptasi dengan baik dan dengan terhambatnya komunikasi dan adaptasi ini dikhawatirkan akan berdampak pada prestasi akademis mahasiswa. Adaptasi merupakan suatu proses yang dialami oleh sekelompok suku bangsa yang memasuki suatu daerah yang masih baru baginya, dimana kebudayaanya itu terpisah secara fisik dengan kebutuhannya. Kelompok tersebut akan melakukan adaptasi terhadap lingkungan sosial budaya dan fisik di tempat yang baru. Bila suku pendatang ingin bertahan hidup (survive) di tempat yang baru, biasanya mereka akan mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan sosial budaya yang
17
JURNAL LIKSI | Lingkar Studi Komunikasi
dimiliki suku setempat. Agar dapat hidup bertahan di daerah lain, setiap suku bangsa mempunyai strategi penyesuaian untuk itu. Strategi tersebut disebut sebagai kebudayaan yang bersifat adaptif, karena kebudayaan itu melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan fisiologis dari badan mereka, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik geografis maupun lingkungan sosialnya. Berangkat dari paparan di atas, penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul Adaptasi Mahasiswa Asing Dan Luar Daerah Di Universitas Padjadjaran Kampus Jatinangor. 2. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana proses adaptasi mahasiswa asing dan luar daerah di Universitas Padjadjaran kampus Jatinangor?. 3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses adaptasi mahasiswa asing dan luar daerah di Universitas Padjadjaran kampus Jatinangor. 4. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya khasanah pengetahuan ilmu komunikasi khususnya yang berkaitan dengan komunikasi trans budaya. Secara praktis, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan bagi setiap individu yang akan memasuki sebuah budaya baru. 5. Metode Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Sedangkan lokasi penelitiannya adalah Unpad kampus Jatinangor. Informan dalam penelitian ini ditentukan dengan cara purposive sampling, yaitu peneliti menunjuk secara langsung informan yang dibutuhkan. Informan dalam penelitian ini adalah: 1. Shamini, mahasiswa Farmasi semester tujuh berasal dari Malaysia. 2. Pooja, mahasiswa Farmasi semester tujuh berasal dari India. 3. Emanuel Leuape, mahasiswa S2 Fakultas Ilmu Komunikasi semester satu berasal dari Nusa Tenggara Timur. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi non – partisan, wawancara dan studi literatur. Data yang diperoleh kemudian dianalisis guna mendapatkan makna terhadap data tersebut.
18
JURNAL LIKSI | Lingkar Studi Komunikasi
6. Hasil dan Pembahasan Ketika seseorang meninggalkan sebuah lingkungan yang sudah biasa ditinggali sejak lama dan memasuki suatu budaya yang sama sekali baru, biasanya akan mengalami kegelisahan dan gangguan emosi. Pengalaman seperti ini dikenal dengan istilah kejutan budaya (culture shock). Kejutan budaya merupakan keadaan mental yang datang dari transisi yang terjadi ketika seseorang pergi dari lingkungan yang dikenal ke lingkungan yang tidak dikenal dan menemukan pola perilaku yang dulu tidak efektif (Samovar, 2010). Kejutan budaya ini, jika tidak segera diatasi akan menghambat seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial. Kejutan budaya ini juga dialami oleh para mahasiswa yang berasal dari negara asing dan luar daerah yang datang menempuh pendidikan di Unpad kampus Jatinangor. Untuk menghadapi kejutan budaya tersebut, mahasiswa asing dan luar daerah berusaha untuk memahami budaya yang ada di lingkungan barunya. Sebab jika tidak segera diatasi akan berimbas pada studi mereka. Berikut ini akan dipaparkan strategi adaptasi yang dilakukan oleh mahasiswa asing yang berasal dari Malaysia dan India, serta mahasiswa yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. 1. Bahasa Bagi mahasiswa yang berasal dari Nusa Tenggara Timur, hambatan komunikasi tidak terlalu menjadi persoalan karena selama proses perkuliahan, menggunakan bahasa Indonesia. Menurut informan, kadang-kadang saat mengajar, bapak/ibu dosen diselingi menggunakan bahasa Sunda, namun hal itu bisa diantisipasi dengan cara menanyakan artinya kepada temanteman yang mengerti bahasa Sunda. Begitu juga saat bergaul dengan teman-teman dan masyarakat sekitar, seringkali ketika sudah asyik berbincang, tiba-tiba teman-temannya menggunakan bahasa daerah. Untuk menghadapi hambatan ini, informan berusaha memahami bahasa setempat. Bagi mahasiswa yang berasal dari Malaysia, hambatan komunikasi juga tidak terlalu menjadi masalah, karena bahasanya hampir sama. Namun, diakui juga saat baru pertama datang ke kampus Jatinangor sempat terjadi kesulitan memahami bahasa Indonesia. Saat ini informan sudah semester tujuh, jadi sudah bisa memahami dengan baik ketika berkomunikasi dengan teman-teman di kampus maupun masyarakat sekitar. Pengalaman agak berbeda dialami oleh mahasiswa asing yang berasal dari India. Saat pertama kali datang, informan ini benar-benar mengalami masalah saat berkomunikasi, baik di kampus maupun di lingkungan masyarakat. Untuk mengatasinya, sang informan berusaha memahami
19
JURNAL LIKSI | Lingkar Studi Komunikasi
bahasa setempat dan banyak berdiskusi dengan teman-teman di kampusnya. Dengan banyak berdiskusi dengan teman-temannya, kemampuan bahasa Indonesianya semakin terasah. Meskipun para informan mengaku saat ini sudah bisa beradaptasi pada saat berkomunikasi, namun mereka sepakat bahwa bahasa menjadi hal yang mendesak karena berperan sebagai sarana interaksi dan komunikasi dengan masyarakat Sunda. Mereka merasa perlu untuk mempelajari bahasa Sunda terutama yang seringkali dipakai sehari-harinya, seperti: kata “punten”, “nuhun” atau “mangga” yang relatif umum diucapkan. Berkaitan dengan persoalan bahasa, terdapat juga dialek dan intonasi bahasa yang berbeda. Menurut informan yang berasal dari NTT, secara umum dialek dan intonasi bicara masyarakat Sunda terkesan halus sehingga dalam kondisi emosional atau marah sekalipun, hal demikian tidak terekspresikan di dalam gaya bahasa yang kasar/keras. Sebaliknya, masyarakat Sunda mempersepsikan intonasi bicara informan asal NTT sebagai wujud kemarahan. Kondisi demikian butuh pemahaman antar nilai-nilai budaya sehingga berpotensi terjadinya miskomunikasi, mispersepsi, dan akhirnya berujung konflik. Sebagai mahasiswa perantauan, maka mahasiswa asing dan mahasiswa asal NTT berusaha untuk beradaptasi dengan nilai-nilai budaya masyarakat Sunda sehingga bisa survive ketika menunaikan studi di tanah Sunda. Ada benarnya kata pepatah “Mengembik di kandang kambing, meraung di kandang singa, dan berkokok di kandang ayam”. Secara perlahan, nilainilai budaya masyarakat Sunda juga turut membentuk karakteristik kepribadian mahasiswa perantauan karena pola pergaulan yang sudah sedimikian intensnya. 2. Pergaulan Dalam riset ini, para informan tidak membatasi pergaulannya dengan berbagai alasan. Informan yang berasal dari NTT mengaku bahwa dia bergaul dengan semua orang, baik saat di kampus maupun di lingkungan masyarakat. Begitu juga dengan dua informan yang berasal dari luar negeri. Mereka bergaul tidak hanya dengan orang-orang yang berkewarganegaan sama, tetapi mereka juga bergaul dengan teman-teman mereka yang berasal dari Indonesia dan negara lain. Baik mahasiswa asing maupun mahasiswa asal NTT sering belajar bersama atau mengerjakan tugas bersama-sama dengan teman satu kelas tanpa memandang latar belakang negara atau tempat asal. Nilai dan kebiasaan sikap dan perilaku/tindakan kelompok budaya Sunda juga menjadi hal penting yang diperhatikan oleh mahasiswa budaya lain dalam pergaulan sehari-harinya, di
20
JURNAL LIKSI | Lingkar Studi Komunikasi
antaranya: penghormatan/penghargaan terhadap orang yang lebih tua (sapa, salam, dan cium tangan) dan jarak fisik (prosemik)4. Bagi ketiga mahasiswa budaya luar ini, ritual cium tangan oleh orang muda/junior terhadap orang lain yang lebih tua/senior dilihat sebagai hal yang berlebihan, bahkan terjadi di dunia akademis. Tetapi hal itu selanjutnya dapat dipahami dan dimaklumi sebagai implementasi nilai-nilai budaya masyarakat Sunda yang sungguh terinternalisasi dalam kepribadian masyarakat Sunda tiap harinya. Kenyataannya, perawakan/pembawaan pribadi masyarakat Sunda yang halus dan menjunjung tinggi sikap menghargai dan menghormati orang lain dalam pergaulan perlahan mempengaruhi pembentukan karakteristik personal mahasiswa budaya luar. Konon, mahasiswa NTT yang menempuh studi di tanah Sunda rata-rata menampilkan perangai yang lebih halus dan kalem dari sebelumnya yang terkesan kasar/keras dalam pergaulannya. Ini tentunya dilihat sebagai kontribusi lingkungan sosial dan budaya masyarakat Sunda yang sangat berperan dalam membentuk karakter personal mahasiswa NTT. 3. Cara berpakaian Para informan dalam penelitian ini mengaku melakukan adaptasi dalam berpakaian supaya merasa lebih nyaman saat berada di lingkungan sosial maupun kampus. Informan yang berasal dari NTT menyesuaikan gaya berpakaian mahasiswa di Jatinagor dan masyarakat sekitar. Hal ini dilakukan mengingat perbedaan cuaca yang sangat ekstrim antara di NTT dan di Jatinangor. Demikian juga halnya dengan mahasiswa yang berasal dari Malaysia dan India. Mereka mengaku pakaian yang digunakan oleh para mahasiswa Unpad terlihat keren dan trendi. Hal ini dikarenakan mahasiswa di Malaysia saat kuliah harus berpakaian rapi dan formal. Unpad sebagai salah satu perguruan tinggi di kota besar yang relatif cukup maju dan modern, maka persoalan berbusana terkesan sangat liberal kendati dalam batas kewajaran. Bagi mahasiswa budaya luar, persoalan berbusana di dalam lingkungan kampus sangat dijamin dalam taraf kewajaran tertentu. Dalam lingkungan kampus, mahasiswa Sunda atau mahasiswa budaya luar umumnya mengenakan busana formal yang selayaknya diperuntukan bagi dunia kampus. Terdapat tren/mode berbusana tertentu hanya dinilai berdasarkan dua perspektif yaitu baik atau buruk, tetapi tidak menjadi persolan yang berarti. Mahasiswa asing maupun NTT cenderung
4
Hal ini terutama nampak dalam pergaulan dengan kaum perempuan masyarakat budaya Sunda. Mengingat mayoritas masyarakat Sunda memeluk agama Islam, maka jarak fisik dengan kaum perempuan (mis: aturan bersalaman) menjadi hal yang perlu diperhatikan dan dipahami guna menghindari perasaan kecemasan/ketersinggungan.
21
JURNAL LIKSI | Lingkar Studi Komunikasi
memilih gaya berbusana pada umumnya. Untuk kesempatan tertentu, di antaranya: kegiatan kampus, mahasiswa budaya luar terkondisi untuk mengenakan busana budaya Sunda atau budaya lainnya sesuai tuntutan tema kegiatan. 4. Perbedaan menu dan jadwal makan Para informan mengaku, ketika pertama kali datang ke Jatinangor menemui masalah yang berkaitan dengan makanan. Para informan ini sering sakit perut saat mengonsumsi makanan yang disantap. Informan yang berasal dari NTT mengaku kesulitan sewaktu mencari makan karena makanan di Jatinagor rata-rata berkuah dan rasanya manis. Demikian juga halnya yang dialami oleh mahasiswa yang berasal dari Malaysia. Dia mengaku sering sakit perut dan pusing ketika baru pertama kali datang. Hal serupa juga dialami oleh informan yang berasal dari India. Saat pertama kali datang sempat stress karena sering mengalami gangguan pencernaan akibat belum terbiasa dengan makanan yang ada di sekitar kampus. Untuk mengatasinya, mahasiswa asing tersebut memesan catering dari rumah makan yang sesuai dengan seleranya. Namun sekarang, ketiga informan ini sudah bisa beradaptasi dengan masalah makanan. Bahkan mereka mengaku sudah biasa beli makanan di warung-warung tenda pinggir jalan. Bagi mahasiswa budaya luar, persolan makanan memang menjadi persoalan yang penting karena berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan fisik. Berada jauh dari daerah asal mengharuskan mahasiswa asing dan NTT untuk harus bisa menyesuaikan pemenuhan kebutuhan fisik makan dan minumnya dengan menu makanan budaya Sunda. Bagi para informan, menu makanan masyarakat Sunda hadir dalam beragam menu, apalagi berupa camilan/makanan ringan. Masyarakat pulau Jawa, khususnya masyarakat Sunda dinilai sangat kreatif dalam menciptakan menu makanan dan minuman yang dapat mengaet/membangkitkan selera makan mahasiswa budaya luar. Para informan ini pada awalnya merasa sangat asing dengan menu makanan masyarakat Sunda yang rata-rata mengandung cita rasa manis. Bahkan sebagai sentilan, mahasiswa NTT berpikir bahwa karena makanan orang sunda manis sehingga mojang Bandung pun manis-manis, dan sebaliknya. Persoalan menu makanan dan minuman untuk mahasiswa luar hanya terkait problem pembiasaan asupan tubuh. Ketika mahasiswa budaya luar sudah terbiasa dengan menu makanan dan minuman masyarakat Sunda maka tubuh secara perlahan akan mengalami penyesuaian asupan makanan dan minuman baru guna menghindari gangguan pencernaan.
22
JURNAL LIKSI | Lingkar Studi Komunikasi
5. Tempat Tinggal Bagi mahaiswa yang berasal dari NTT, urusan tempat tinggal tidak menjadi masalah sebab para mahasiswa senior yang berasal dari NTT juga membantu mencarikan tempat tinggal atau kos yang cukup representatif. Berbeda halnya dengan mahasiswa yang berasal dari Malaysia, dia mengaku ada masalah dengan tempat tinggal. Informan ini mengatakan kalau di Jatinangor tempat tinggalnya sempit, tidak seperti di Malaysia. Mahasiswa yang berasal dari India juga mengalami hal yang sama, dia merasa tempat yang dia tinggali sekarang tidak seluas tempat tinggalnya di India sana. Pendapat kedua mahasiswa asing ini dapat dimaklumi karena saat ini mereka bertempat tinggal di kos-kosan yang tentu saja vasilitasnya tidak sama seperti di rumah pribadi. Sama halnya seperti mahasiswa yang berasal dari NTT, mahasiswa asal Malaysia dan India pun mengandalkan para seniornya yang berasal dari negaranya untuk mencarikan tempat tinggal. Satu hal lagi yang ditemukan dari riset ini, para informan memilih tempat tinggal yang berada di sekitar teman-teman sedaerah atau senegaranya. Ini berkaitan dengan keyamanan sosial dalam interaksi dengan orang di sekelilingnya. Mereka merasa lebih nyaman ketika berada di sekeliling orang yang memiliki kesamaan budaya dengan mereka. Fenomena yang terjadi di kos-kosan Jatinangor adalah satu bangunan kos menjadi tempat tinggal yang terus diwarisi satu kelompok etnis dari satu angkatan ke angkatan lainnya. Walaupun demikian, ada juga mahasiswa asing dan NTT yang memang berhasil berbaur dengan kelompok masyarakat Sunda atau suku lain di sekitarnya. Mereka ini telah berhasil membangun satu relasi sosial yang baik yang ditandai dengan keakraban dan koordinasi makna yang tinggi dalam tiap interaksi dan komunikasi mereka. 6. Aktivitas di luar kampus Selain kegiatan di dalam kampus, para informan juga mempunyai kegiatan di luar kampus. Informan yang berasal dari Malaysia dan India terdaftar sebagai anggota komunitas yang dilatarbelakangi oleh daerah asal mereka. Misalnya mahasiswa asal Malaysia, dia menjadi anggota dari Pelajar Kebangsaan Malaysia di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan (PKPMI) cabang Bandung. Di organisasi tersebutlah mahasiswa asing ini bisa mengekspresikan diri atau menunjukkan identitas diri mereka yang sebenarnya sebagai warga Negara Malaysia ataupun India. Selain mengikuti kegiatan organisasi, para mahasiswa asing ini juga melakukan berbagai
23
JURNAL LIKSI | Lingkar Studi Komunikasi
aktivitas lain selayaknya mahasiswa pada umumnya seperti belanja, jalan-jalan, nonton dan mengikuti kegiatan keagamaan. Bagi mahasiswa NTT yang menjadi informan dalam riset ini, kampus Unpad memiliki beragam kegiatan internal kampus baik yang berkaitan dengan kegiatan kurikuler maupun ekstrakurikuler yang dilakukan di luar kampus. Berbagai kegiatan ini berlangsung terutama pada tingkat S1. Mengingat jadwal kuliah dan tugas yang padat maka informan yang berasal dari NTT tidak berkesempatan aktif mengikuti kegiatan tersebut. Kadangkala, mahasiswa NTT diajak komunitas lain diluar etnis/daerah asalnya untuk berpartisipasi dalam kegiatan di luar kampus, seperti: pegelaran budaya antar Provinsi, kegiatan mendaki gunung dan menjelajahi hutan, seminar, dan sebagainya. Mencermati hasil penelitian di atas, dapat dikatakan bahwa mahasiswa yang berasal dari budaya lain sudah berhasil mengatasi kejutan budaya. Walaupun masing-masing informan mempunyai respon yang bervariasi dalam memberikan respon terhadap kejutan budaya dan jumlah waktu yang mereka butuhkan untuk menyesuaikan diri. Secara umum, proses kejutan budaya terjadi dalam empat tahap (Samovar, 2010), yaitu: 1. Fase kegembiraan. Pada fase pertama ini, seseorang yang datang ke tempat yang baru biasanya penuh dengan rasa gembira, harapan dan euforia seperti yang diantisipasi seseorang ketika berhadapan dengan budaya yang baru. Pada fase ini, yang terpenting adalah adanya keterbukaan dan keingintahuan, bergabung dengan kesediaan untuk menerima apapun yang ada. Dalam tahap ini, penilaian tidak dikerjakan dan bahkan rasa tersinggung juga ditekan supaya dapat berkonsentrasi pada hal-hal yang menyenangkan. Fase kegembiraan ini, oleh para informan dirasakan ketika mereka baru sampai di Jatinangor dengan niatan untuk menempuh pendidikan. Berbagai haarapan dan keinginan untuk hidup di tempat baru sudah tergambar di benak para informan. 2. Fase kekecewaan. Fase kedua ini mulai dialami ketika individu menyadari kenyataan dari ruang lingkup yang berbeda dan beberapa masalah awal mulai berkembang. Misalnya kesulitan adaptasi dan komunikasi mulai timbul, kesulitan tempat tinggal dan sebagainya. Menurut Dodd (dalam Samovar, 2010), fase yang kedua ini kadang ditandai oleh perasaan kecewa, tidak puas, dan segala sesuatunya mengerikan. Hal ini merupakan periode krisis dari kejutan budaya. Orang-
24
JURNAL LIKSI | Lingkar Studi Komunikasi
orang mulai bingung dan heran dengan lingkungan baru mereka. Rasa frustasi ini dapat membuat mereka gampang tersinggung, memiliki sikap bermusuhan, tidak sabar dan marah. Dalam kasus yang ekstrem, perasaan tidak nyaman ini dapat menjadi perasaan benci terhadap segala sesuatu yang asing. Pada fase kekecewaan ini, para informan merasa megalami hambatan berkomunikasi, bermasalah dengan makanan serta merasakan ketidaknyamanan tempat tinggal. Tetapi para informan tidak sampai merasa frustasi karena kemampuan adaptasi yang tinggi. 3. Fase awal resolusi Fase ketiga ditandai dengan pemahaman yang diperoleh dari budaya yang baru. Disini orangorang secara bertahap membuat beberapa penyesuaian dan modifikasi dalam bagaimana mereka berhadapan dengan budaya yang baru. Peristiwa dan orang-orang sekarang kelihatan lebih dapat diprediksi dan tingkat stress sedikit. Pada fase ini, informan sudah mulai memahami budaya yang ada pada tempat baru mereka. 4. Fase berfungsi dengan efektif Dalam fase yang terakhir ini, seseorang mulai mengerti elemen kunci dari budaya yang baru (nilai, kebiasaan khusus, kepercayaan, pola komunikasi, dan lain-lain). Pada tahap ini, orang merasa nyaman dalam budaya yang baru dan mampu bekerja dengan baik. Kemampuan seseorang untuk hidup dan berfungsi dalam dua budaya (yang lama dan yang baru) seringkali diringi oleh perasaan gembira dan puas. Pada fase ini, para informan sudah berhasil menemukan elemen-elemen kunci sehingga bisa melakukan adaptasi dengan baik selama menempuh studi di Unpad kampus Jatinagor. Selain kejutan budaya, hal lain yang dirasakan oleh mahasiswa yang berasal dari luar negeri dan luar daerah jika memasuki sebuah budaya baru adalah suatu kondisi ketidakpastian. Kondisi ketidakpastian ini memang biasa dialami oleh seseorang yang memasuki sebuah budaya baru. Berger dan Calabrese menyebutkan bahwa hal utama ketika seseorang bertemu dengan orang baru adalah pengurangan ketidakpastian (uncertainty reduction theory). Berger mengatakan bahwa ketika dua orang asing bertemu, fokus mereka adalah untuk mengurangi tingkat ketidakpastian mengenai satu sama lain dan mengenai hubungan mereka (West & Turner, 2014). Khusus pada mereka yang kultur ataupun etnisnya berbeda, Gudykunst mengembangkan URT menjadi lebih spesifik yaitu melihat ketidakpastian dan kecemasan di dalam situasi intercultural
25
JURNAL LIKSI | Lingkar Studi Komunikasi
tersebut. Ia menemukan bahwa semua budaya mencoba untuk mengurangi ketidakpastian pada tahap-tahap tertentu dari sebuah hubungan, tetapi mereka melakukannya dengan cara yang berbeda. Keberbedaan ini bisa dijelaskan baik pada individu yang menjadi anggota sebuah konteks budaya tinggi (high-context culture) dan anggota konteks budaya rendah (low-context culture). High-context culture sangat bergantung pada keseluruhan situasi untuk menginterpretasi kegiatankegiatan, dan low-context culture lebih bergantung pada isi pesan yang eksplisit dan verbal. Individu anggota high-context culture seperti negara Indonesia bergantung pada tanda-tanda non verbal dan informasi tentang latar belakang seseorang untuk mengurangi ketidak pastiannya. Sementara individu dari anggota low-context culture seperti negara Amerika bertanya secara langsung tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman, sikap dan keyakinan (Littlejohn, 2002). Pengurangan ketidakpastian pada individu dari budaya yang berbeda juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti: pengalaman dan penguasaan bahasa. Pengalaman dan persahabatan dengan orang-orang dari budaya yang berbeda dapat meningkatkan kepercayaan diri kita ketika menghadapi individu dari kelompok lain atau asing. Demikian juga halnya bila kita menguasai bahasa lokal maka kemampuan bahasa tersebut dapat membantu kita dalam mentoleransi pada hal-hal yang bersifat ambigu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan pengalaman dan penguasaan bahasa berarti meningkatkan percaya diri dan tidak terlalu panik untuk bertemu dengan seseorang dari kelompok yang berbeda dan dapat menggali informasi dan mengurangi ketidakpastian (Littlejohn, 2002). Ketidakpastian dan kecemasan dalam situasi interkultural disebabkan oleh ketidakefektifan dan kelemahan dalam beradaptasi. Semakin sedikit pengetahuan tentang budaya lain, semakin tidak
pasti
dan
cemas
seseorang.
Hal
inilah
yang
menjadikan
pengurangan
dan
pengelolaan ketidakpastian dan kecemasan (manajemen ketidakpastian dan kecemasan) menjadi fokus penting dalam komunikasi antarbudaya. Manajemen ketidakpastian dan kecemasan mengarahkan seseorang untuk berkomunikasi efektif, seseorang akan mengumpulkan informasi untuk membantu mengurangi ketidakpastian dan kecemasan. Nakayama (2003) menyebutkan bahwa orang yang paling mampu mengelola kecemasan dan memprediksi serta menjelaskan perilaku orang lain adalah komunikator yang mampu berkomunikasi secara efektif. Orang-orang tersebut memiliki karakteristik, antara lain: 1)
Memiliki suatu harga diri dan konsep diri yang kuat.
2)
Mempunyai perilaku dan sikap yang fleksibel (toleran terhadap ambiguitas dan ber-empati)
26
JURNAL LIKSI | Lingkar Studi Komunikasi
3)
Mudah dalam mengelompokkan orang lain (misalnya mampu mengidentifikasikan persamaan dan perbedaan dan menghindari streotip). Untuk mengurangi ketidakpastian ini, mahasiswa asing dan luar daerah berusaha mencari
informasi sebanyak-banyaknya tentang lingkungan yang baru ditinggalinya tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa ketidakpastian dan kecemasan dalam situasi interkultural disebabkan oleh ketidakefektifan dan kelemahan dalam beradaptasi. Supaya lebih cepat beradaptasi, para informan juga berusaha untuk memahami bahasa yang digunakan selama di kampus maupun di lingkungan masyarakat. Karena dengan memahami bahasa lokal maka dapat membantu mereka dalam mentoleransi pada hal-hal yang bersifat ambigu. Dengan pemahaman bahasa setempat, setidaknya akan meningkatkan rasa percaya diri sehingga mereka bisa belajar dengan baik dan dapat menggali informasi dan mengurangi ketidakpastian. Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut dia atas, model adaptasi mahasiswa asing dan luar daerah di Universitas Padjadjaran kampus Jatinangor dapat dilihat pada bagan 1. Bagan 1: Model Adaptasi Mahasiswa Asing dan Luar Daerah di Unpad Kampus Jatinangor Mahasiswa Asing dan Luar Daerah Kejutan Budaya
Ketidakpastian dan Kecemasan
• • • • •
Strategi Adaptasi Bahasa Pergaulan Cara berpakaian Perbedaan menu dan jadwal makan Tempat tinggal
Merasakan Kenyamanan hidup di Jatinangor
Sumber: Penulis Dari bagan 1 tersebut, dapat dilihat bahwa seorang mahasiswa, baik mahasiswa asing maupun mahasiswa yang berasal dari luar daerah, pada saat baru pertama datang ke Unpad kampus
27
JURNAL LIKSI | Lingkar Studi Komunikasi
Jatinangor mengalami kejutan budaya serta mengalami ketidakpastian dan kecemasan. Untuk mengatasi masalah tersebut, mereka melakukan strategi adaptasi yang meliputi adaptasi bahasa, adaptasi pergaulan, adaptasi cara berpakaian, adaptasi perbedaan menu dan jadwal makan, adaptasi tempat tinggal dan melakukan berbagai aktivitas di luar kampus. Dengan melakukan strategi tersebut, para mahasiswa asing dan luar daerah mendapatkan kenyaman hidup di Jatinangor. 7. Kesimpulan Hidup dan tinggal di sebuah budaya yang baru dibutuhkan sebuah kemampuan adaptasi yang luar biasa oleh seorang individu. Sebagai mahasiswa yang mempunyai keinginan kuat untuk menyelesaikan studinya, seorang mahasiswa dituntut untuk survive dalam menghadapi kejutan budaya serta ketidakpastian dan kecemasan. Guna menghadapi kejutan budaya serta ketidakpastian dan kecemasan tersebut, mahasiswa asing dan luar daerah yang kuliah di Unpad kampus Jatinangor melakukan strategi adaptasi yang meliputi adaptasi bahasa, adaptasi pergaulan, adaptasi cara berpakaian, adaptasi perbedaan menu dan jadwal makan, adaptasi tempat tinggal dan melakukan berbagai aktivitas di luar kampus. Dengan melakukan berbagai adaptasi tersebut, para mahasiswa yang berasal dari negara asing dan luar daerah dapat merasakan kenyamanan tinggal di Jatinangor. Penulis menyadari bahwa hasil dalam riset ini masih sangat dangkal, sehingga perlu dilakukan riset-riset lanjutan yang lebih komprehensif sehingga diperoleh hasil yang lebih detail dan gamblang, tentu saja dengan menggunakan pendekatan yang bervariatif.
28
JURNAL LIKSI | Lingkar Studi Komunikasi
Daftar Pustaka Gajdzik, P..K. 2005. Relationship between Selfefficacy Beliefs and Socio-Cultural Adjustment of International Graduate Students and American Graduate Students. Gayatri, B, 2007, Stressful Life Events and Behavioural Problems among Pre-University Students. Iversen, G..I. 2009. Social Adjustment and Friendship Patterns of International Students: A study of Norwegian Students Studying Abroad. Littlejohn, S. W. 2002. Theories of Human Communication 7th Edition. USA: Wadsworth Thomson Learning. Nakayama, Thomas. K., & Martin, Judith N. 2003. Intercultural Communications in Contexts. New York: McGraw-Hill. Sakurako, M. 2000. Addressing The Mental Health Concerns of International Students. Journal of Counseling and Development. Samovar, L. A., Porter, R. E., & McDaniel, E. R. 2010. Communication Between Cultures (7th Edition ed.). Boston, USA: Wadsworth Cengage Learning. Smith, Shimmanof. Communications Rules: Theory and Research. Beverly Hils, CA: Sage Publications West, Richard.& Turner, Lyn H. 2014. Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Situs www.unpad.ac.id
29
JURNAL LIKSI | Lingkar Studi Komunikasi
STUDI KASUS DESKRIPTIF PADA POLA KOMUNIKASI VERBAL DAN NONVERBAL KOMUNITAS EBONICS Oleh: Lucy Pujasari Supratman5 ABSTRAK Manusia yang tergabung dalam komunitas tertentu, melakukan aktivitas berkomunikasi untuk menyampaikan maksud mereka dengan menggunakan pesan-pesan verbal dan nonverbal. Rangsangan wicara yang disadari oleh manusia dalam suatu komunitas yang termasuk ke dalam kategori pesan verbal dan nonverbal, dilakukan secara sadar untuk berkomunikasi antar mereka. Komunitas mahasiswa yang beranggotakan tiga mahasiswa dari Jurusan Sastra Inggris ini lebih memilih menggunakan komunikasi verbal dan nonverbal ala Ebonics. Ketiga mahasiswa tersebut telah dua tahun membentuk sebuah komunitas ekslusif yang mereka namakan komunitas mahasiswa Ebonics. Mereka bertiga mengadopsi nama tersebut dari sebuah komunitas warga AfroAmerika yang berada di Amerika Serikat yang juga bernama komunitas Ebonics. Afro-Amerika ini menggunakan pola bahasa Inggris yang jauh dari standar baku. Ketiga mahasiswa yang tergabung dalam komunitas mahasiswa Ebonics ini selalu berkomunikasi dengan menggunakan lambang verbal dan nonverbal milik warga Afro-Amerika. Penggunaan komunikasi verbal dan nonverbal Ebonics ini mereka pergunakan hanya ketika sedang berada dalam proses berkomunikasi antar anggota didalam komunitasnya. Tiga mahasiswa ini memiliki kefasihan berbahasa Inggris Ebonics yang lancar, cara berpakaian yang unik, gerak badan, gesture, ekspresi wajah, kontak mata, serta sentuhan-sentuhan ketika saling berinteraksi diantara mereka. Penulis menggunakan metode penelitian studi kasus. Pada penelitian ini, kasus yang diteliti adalah pola komunikasi verbal dan nonverbal yang dipergunakan oleh komunitas mahasiswa Ebonics. Peristiwa komunikasi yang terjadi dalam komunitas mahasiswa Ebonics ini menggunakan simbol komunikasi verbal dan nonverbal dengan minat pada isu Ebonics yang berlatar belakang pada music hiphop. Dari ketertarikan minat yang sama tersebut, pengungkapan diri menjadi semakin berkembang dan lebih terbuka hingga terkuaklah penilaian konsep diri dari historis pengalaman empiris yang pernah mereka alami. Berdasarkan daya tarik pada minat musik ala Ebonics yang serupa pula, mereka lalu menamakan komunitas ini dengan nama komunitas Ebonics. Ketiga mahasiswa yang tergabung dalam komunitas Ebonics, menggunakan kata-kata Ebonics serta nonverbal kaum blacks sebagai pemilik asli bahasa Ebonics di amerika serikat. Komunitas Ebonics ini akan lebih berani dan terbuka menceritakan mengenai diri mereka, musik atau curhatan-curhatan hanya pada millieu-nya saja. Sifat introvert yang mereka miliki untuk menjalin komunikasi di luar komunitasnya timbul dari kurangnya kepercayaan kepada kemampuan diri sendiri serta rasa traumatik yang pernah dialami di masa lalu, sehingga hinggap rasa inferior dan ketakutan karena tidak sesuai dengan penilaian atau harapan orang lain. Mereka cenderung sedapat mungkin menghindari situasi komunikasi dan hanya mau membuka diri pada seseorang yang memiliki minat yang sama. Kata Kunci: Komunitas Ebonics, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Studi Kasus Deskriptif 5
Pengajar Psikologi Komunikasi di Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Telkom University. Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi pada Program PascaSarjana Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran.
30
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
1. Pendahuluan Manusia telah berkomunikasi selama puluhan ribu tahun. Manusia adalah makhluk Tuhan yang sarat dengan pemakaian simbol-simbol baik verbal maupun nonverbal dalam kehidupannya. Sebagaimana sifat komunikasi yang omni present pada diri manusia, setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang merupakan aktivitas komunikasi. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Soemirat (2008:18-19),
“Manusia
sebagai
makhluk
komunikasi (homo communicare) dari jaman dahulu hingga kini, selalu dan akan selalu membutuhkan kehadiran orang lain untuk diajak berkomunikasi dalam wujud berbicara dan mengungkapkan perasaan”. Agar manusia dapat berkomunikasi efektif, pesan dan makna yang ditransferkan harus serupa dengan apa yang dimaksud komunikator terhadap komunikan. Proses pentransferan pesan tersebut dilakukan melalui komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Komunikasi verbal yaitu pola komunikasi yang disampaikan secara lisan antar manusia dengan menggunakan simbol atau pesan berupa pengucapan kata-kata. Sedangkan komunikasi nonverbal biasanya berupa ekspresi wajah, jabatan tangan, lambaian, tepuk tangan, bentuk pakaian, dan aksesoris tubuh. Komunikasi verbal dan nonverbal tersebut berada dalam ranah komunikasi interpersonal. Manusia yang tergabung dalam komunitas tertentu berkomunikasi untuk menyampaikan maksud mereka dengan menggunakan pesan-pesan verbal dan nonverbal. Rangsangan wicara yang disadari oleh manusia dalam suatu komunitas termasuk ke dalam kategori pesan verbal dan nonverbal yang dilakukan secara sadar untuk berkomunikasi antar mereka. Proses penyampaian pesan verbal dari pengirim kepada penerima disalurkan melalui sistem tanda/lambang bermakna berupa bahasa. Sedangkan pesan nonverbal meliputi seluruh aspek perilaku manusia. Komunikasi verbal dan nonverbal dapat dikatakan berhasil apabila pesan-pesan yang disampaikan pengirim diterima persis sama dengan apa yang ada dalam pikiran penerima. Pernyataan manusia yang dilambangkan dengan komunikasi verbal dan nonverbal harus tertuju kepada pengalaman berkomunikasi yang sama antara komunikator dengan komunikan sehingga mereka sama-sama mengerti makna yang dimaksud, sebab proses komunikasi akan berlangsung efektif bila individu yang terlibat di dalamnya memahami lambang-lambang yang digunakan. Tanpa pemahaman terhadap pemaknaan lambang yang
31
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
dipergunakan, tidak akan terjadi proses berkomunikasi dalam suatu komunitas. Ini disebabkan dalam berkomunikasi verbal dan nonverbal, lambang-lambang tersebut difungsikan sebagai alat untuk menyampaikan pikiran dari individu kepada individu lainnya. Jalinan komunikasi dalam sebuah komunitas merupakan pola berkomunikasi yang berlangsung setiap saat antar anggota komunitas yang didasarkan pada adanya dorongan kepentingan agama, pekerjaan, dan minat. Peranan komunikasi verbal dan nonverbal bagi suatu komunitas adalah untuk memenuhi kebutuhan berkomunikasi komunikan yang terus menerus berubah. Setiap komunitas memiliki pola komunikasi masing-masing yang ditentukan oleh faktor geografis dan usia. Individu yang terbentuk karena kesamaan usia membentuk pola komunikasi sesuai dengan nila dan pola pikirnya. Komunitas yang tergolong dalam komunitas usia remaja setingkat mahasiswa biasanya menginginkan ciri-ciri pemakaian kata-kata serta penggunaan atribut-atribut yang membedakan mereka dari komunitas lain. West & Turner (2006:153) menjelaskan mengenai jenis komunitas pengguna bahasa gaul sebagai varian dari komunikasi verbal, “Para remaja adalah komunitas yang paling menguasai bahasa yang membedakan mereka dengan orang dalam dan luar, terutama pada penguasaan bahasa gaul. Bahasa gaul biasanya dipergunakan oleh remaja-remaja untuk mendisparitaskan komunitas mereka dari komunitas luar (seperti orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat), agar diterima dalam kelompoknya, serta untuk mengungkapkan pengalaman sehari-hari dan perasaan mereka.” Menurut Mastuti (2008:86), alat identifikasi komunikasi verbal dan nonverbal yang digunakan oleh komunitas remaja yang menggunakan bahasa gaul, disertai gesture yang dipergunakan, semisal “miss ring ring”, “capcus”, “secara” dan masih banyak kosa kata lainnya, tidak berdasarkan kaidah kebahasaan Indonesia (Mastuti, 2008:86). Penggunaan bahasa gaul tersebut mereka padukan dengan ekspresi nonverbal, seperti mengucapkan “miss ring ring” (pesan verbal) sambil mengayun-ayunkan sebelah tangan seakan-akan tengah menelpon (nonverbal). Atau kata “capcus” yang berarti ucapan selamat tinggal (pesan verbal) disertai dengan memutarkan telapak tangan ke kanan dan kiri secara diagonal berulang-ulang. Berbeda
halnya
dengan
komunitas
remaja,
komunitas
mahasiswa
yang
beranggotakan tiga mahasiswa jurusan sastra inggris ini lebih memilih menggunakan komunikasi verbal dan nonverbal ala Ebonics. Ketiga mahasiswa tersebut telah dua tahun
32
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
membentuk sebuah komunitas ekslusif yang mereka namakan dengan komunitas mahasiswa Ebonics. Mereka bertiga mengadopsi nama tersebut dari sebuah komunitas warga AfroAmerika yang berada di Amerika Serikat yang juga bernama komunitas Ebonics. Kata Ebonics sendiri berasal dari Ebonics berasal dari kata ebony (kayu hitam) dan phonics (berkenaan dengan bunyi bahasa) yang merujuk pada pola bahasa orang kulit hitam. Afro-Amerika ini menggunakan pola bahasa Inggris gaul yang jauh dari standar baku bahasa Inggris standar dan dipergunakan oleh warga keturunan afrika untuk saling berkomunikasi dalam komunitasnya. Selain pemakaian bahasa inggris gaul ini, para Afro-Amerika selalu memadankannya lewat ekspresi nonverbal ketika tengah berbicara. Misalnya ketika remaja afro-amerika saling bertemu dan menyapa, “Hey whats up man?”, mereka selalu menggerak-gerakan badannya ke kanan dan ke kiri, sambil memainkan kedua belah tangannya ke arah depan bergantian. Tentunya makna lambang verbal dan nonverbal komunitas tersebut hanya diketahui oleh anggota dari komunitas Ebonics saja. Ketiga mahasiswa yang tergabung dalam komunitas mahasiswa Ebonics ini selalu berkomunikasi dengan menggunakan lambang verbal dan nonverbal milik warga AfroAmerika. Penggunaan komunikasi verbal dan nonverbal Ebonics ini mereka pergunakan hanya ketika sedang berada dalam proses berkomunikasi antar anggota didalam komunitasnya. Tiga mahasiswa ini memiliki kefasihan berbahasa inggris Ebonics yang lancar, cara berpakaian yang unik, gerak badan, gesture, ekspresi wajah, kontak mata, serta sentuhan-sentuhan ketika saling berinteraksi diantara mereka. Perbendaharaan kata serta aksen yang mereka lontarkan sangat jauh berbeda dengan bahasa inggris standar, sehingga terkadang komunikasi verbal yang dilakukan komunitas mahasiswa Ebonics ini sering menghasilkan terjemahan yang membingungkan. Begitu pula dalam lambang komunikasi nonverbal mereka. Komunitas mahasiwa Ebonics merasa memiliki kemampuan dan perbendaharaan komunikasi verbal dan nonverbal Ebonics, mereka dapat sama-sama memahami serta bertutur sapa menggunakan simbol-simbol tersebut di lingkungan komunitasnya itu. Sedangkan mahasiswa-mahasiswa lain di luar komunitas yang sama sekali tidak menguasai lambang verbal dan nonverbal Ebonics, tidak akan bisa memahami substansi obrolan komunitas mahasiswa Ebonics. Ini dikarenakan pemakaian lambang verbal dan nonverbalnya yang sangat khas dan membuat para warga komunitas yang lain sulit mengetahui dan memahami maknanya. Lambang verbal dan nonverbal yang
33
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
khas itu hanya dipakai, dipahami, dan dimiliki oleh kalangan mereka sendiri. Dasarnya adalah saling kesepahaman dan rasa solidaritas diantara warga komunitas bersangkutan. Penulis sengaja mempelajari glossaries bahasa dan paralinguistik/tone Ebonics terlebih dahulu agar dapat dengan mudah memahami pola komunikasi verbal dan nonverbal komunitas mahasiswa Ebonics. Pengamatan langsung ini sengaja penulis lakukan agar dapat dengan mudah memasuki dunia sosial subjek penelitian dan menggali sumber informasi dari mereka. Dengan cara itu, mereka bertiga akan mau menerima penulis sebagai bagian dari komunitasnya. Sebab menurut Mulyana (2004:162) salah satu ciri penerapan pengamatan langsung adalah, “Penerapan peran partisipan yang menuntut hubungan langsung dengan pribumi di lapangan”. Cukup sulit pada awalnya untuk memahami lambang verbal dan nonverbal Ebonics ketiga mahasiswa komunitas mahasiswa Ebonics ini disebabkan keminiman pengetahuan penulis mengenai lambang verbal dan nonverbal Ebonics. Sebab mayoritas lambang-lambang tersebut mereka adaptasikan dari musik-musik rap dan hiphop. Terlihat ketika Jay (salah seorang informan anggota komunitas, nama disamarkan) mengenakan kaos polo baru, Matt (salah seorang informan anggota komunitas, nama disamarkan) berkomentar, “Hey dude, your shirt awesomely bad.” dengan intonasi tinggi seakan-akan sedang marah. Sejujurnya, penulis pasti akan langsung sakit hati karena dia mengatakan kaos yang baru dibeli itu terlihat jelek. Secara harfiah, makna verbalnya memang menunjukkan ungkapan ketidaksukaan. Tetapi, bahasa Ebonics ini menyelewengkan makna verbal yang sebenarnya. Maksud komentar Matt tersebut adalah ingin menunjukkan rasa sukanya pada kaos polo yang dikenakan Jay. Keluarlah feedback respon Jay dari komentar Matt tersebut yang juga berbahasa inggris gaul Ebonics, “You damn rite, dude”. Panggilan dude di setiap statement kalimat tersebut saja sudah menunjukan sebagai suatu panggilan resmi diantara komunitas mahasiswa Ebonics. Dude yang memiliki pengertian serupa dengan Brother, yang biasa disingkat Bro, bermakna ‘Kawan’. Sedangkan damn yang berarti ‘sialan’ berubah arti menjadi very dalam bahasa inggris gaul Ebonics. Sehingga arti dari You damn right, dude secara keseluruhan adalah ‘Kamu benar sekali, kawan.”. Intonasi tinggi yang termasuk pada paralinguistik (komunikasi nonverbal) juga merupakan ciri komunitas mahasiswa Ebonics. Ketiga mahasiswa dalam komunitas mahasiswa Ebonics lebih menyukai bahasa inggris gaul Ebonics serta lambang-lambang nonverbalnya dalam keseharian mereka ketika berkumpul bersama. Namun menurut Alif Danya Munsyi (2005), pemakaian bahasa gaul asing
34
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
adalah bentuk dekarakterisasi. Dalam artikelnya, ia memaparkan bahwa terdapat kekuasaan yang ekpansif atau hegemonistik yang tersembunyi dibalik pengunaan bahasa gaul asing. Dekarakterisasi ini muncul dikarenakan mahasiswa lebih bangga menggunakan bahasa asing dibandingkan bahasa nasional saat berkomunikasi dalam kelompoknya sehari-hari. Maraknya penggunaan bahasa gaul terlahir dari kondisi mental yang minder/inferior pada bahasa nasionalnya sendiri. Hingga pada akhirnya, berpengaruh pada keberlangsungan komunikasi mahasiswa pemakai bahasa verbal tersebut yang juga sekaligus mengadopsi cara berperilaku (gesture), tanpa adanya pemfilteran budaya lokal. Hal ini sah-sah saja, sebab Alwasilah pernah memberikan ilustrasi mengenai pentingnya mempelajari bahasa asing dan bagaimana mengekspresikan bahasa inggris tersebut. Alwasilah (1997:29) memberikan ilustrasi mengenai signifikansi pemahaman mempelajari bahasa Inggris dengan tampilan gesture-nya, “Dalam masyarakat kita, untuk menunjukkan rasa sopan sewaktu melewati orang lain, kita biasa membungkuk-bungkuk, sementara tangan kanan dikedepankan. Hal ini kalau dilakukan sewaktu berkomunikasi dalam bahasa Inggris, akan nampak aneh dan canggung bagi penutur asli bahasa Inggris.” Bila budaya barat tersebut diterapkan pada budaya timur, sudah pasti akan mengalami misinterpretasi. Sama halnya pada ketiga mahasiswa yang asyik berkomunikasi menggunakan lambang komunikasi verbal dan nonverbal Ebonics tanpa mau memfilternya terlebih dahulu dengan local genius setempat. Penempatan pola berkomunikasi menggunakan budaya asing tersebut akhirnya menjadi tidak sesuai dengan ruang dan waktu setempat. Menurut Alif Danya Munsyi (2005), bukan hanya sekedar faktor eksternal saja yang mensukseskan hegemoni bahasa gaul asing tersebut, melainkan faktor internal-psikologis masyarakat sendiri juga berpengaruh. Walau begitu, tak dapat dipungkiri bila setiap manusia pasti memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Salah satu wujud dari interaksi dengan lingkungan ini dilakukan melalui komunikasi verbal dan nonverbal. Meski secara teoretis komunikasi verbal dan nonverbal dipisahkan, namun pada kenyataannya hampir pada setiap peristiwa komunikasi keduanya digunakan secara bersama-sama dan tidak dapat dipisahkan. Keduanya dapat berlangsung serempak, spontan dan non konsekuensial. Perbedaaan yang menonjol antara keduanya hanyalah bahwa pesan verbal terpisah-pisah, sedangkan pesan nonverbal bersinambung. Artinya seseorang dapat mengawali dan mengakhiri pesan verbal kapanpun ia menghendakinya, sedangkan pesan nonverbal akan tetap mengalir sepanjang ada orang di
35
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
dekatnya. Biarpun antara komunikasi verbal dan nonverbal memiliki perbedaan, namun kedua lambang tersebut dibutuhkan untuk berlangsungnya tindak komunikasi yang efektif. Fungsi dari lambang-lambang verbal dan nonverbal adalah untuk menghasilkan makna yang komunikatif dalam suatu komunitas. Berdasarkan keunikan kasus dalam sebuah komunitas mahasiswa yang menggunakan lambang verbal dan nonverbal Ebonics, penulis tertarik untuk meneliti pola komunikasi verbal dan nonverbal serta pemaknaannya dari komunitas mahasiswa Ebonics ini. Ketiga mahasiswa yang tergabung dalam komunitas mahasiswa Ebonics memang menggunakan pola komunikasi verbal dan nonverbal yang tidak lazim digunakan mahasiswa-mahasiswa jurusan sastra inggris lainnya. Komunikasi verbal dan nonverbal Ebonics oleh ketiga mahasiswa komunitas Ebonics ini merupakan suatu kasus yang penulis lihat sebagai suatu masalah tersendiri. Sebab, mereka menggunakan lambang verbal dan nonverbal Ebonics setiap kali saling berkumpul dalam komunitasnya. Sedangkan ketika mereka bertiga berinteraksi dengan mahasiswa di luar komunitas mahasiswa Ebonics, mereka menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris standar saja. Penulis memilih menggunakan metode penelitian studi kasus yang memfokuskan pada masalah ‘bagaimana’ pola komunikasi verbal dan nonverbal komunitas mahasiswa Ebonics tiga mahasiwa jurusan sastra Inggris. Seperti yang dikatakan oleh Yin (2008:1), “Studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why”. 2. Identifikasi dan Rumusan Masalah Identifikasi masalah yang dijabarkan oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pola komunikasi verbal komunitas mahasiswa Ebonics? 2. Bagaimana pola komunikasi nonverbal komunitas mahasiswa Ebonics? 3. Bagaimana interpretasi dari pola komunikasi verbal dan nonverbal komunitas mahasiswa Ebonics? 4. Bagaimana fungsi pola komunikasi verbal dan nonverbal Ebonics bagi komunitas ini? 3. Tinjauan Pustaka 3.1. Komunikasi Antarpribadi Komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi yang paling banyak dilakukan orang dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi ini dilakukan dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi dan biasanya dilakukan dengan anggota keluarga, teman-teman, kawan sejawat, dan
36
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
sebagainya. Menurut DeVito (1997:231), komunikasi antarpribadi didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung di antara dua orang yang mempunyai hubungan yang mantap dan jelas. Proses komunikasi antarpribadi berlangsung secara dialogis, dan menjadi karakteristik jenis komunikasi tersebut. Proses komunikasi secara dialogis lebih baik daripada secara monologis. Dalam komunikasi antarpribadi terjadi proses yang dinamis antara komunikator dan komunikan. Komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan, pada saat yang sama komunikan menerima pesan lalu merespon pesan tersebut dan menyampaikan gagasannya kepada komunikator. Pada saat itu kedudukan komunikan berubah menjadi komunikator. Proses tersebut berlangsung terus-menerus sehingga masingmasing menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian. Dalam proses komunikasi dialogis tampak adanya upaya para pelaku komunikasi untuk terjadinya pengertian yang sama (mutual understanding) dan empati. Komunikasi antarpribadi memiliki karakteristik terjadinya keakraban diantara pelaku komunikasi, biasanya terjadi di antara orang-orang yang memiliki kesamaan dalam kerangka referensi (frame of reference) dan bidang pengalaman (field of experience). Kedua faktor tersebut biasanya pada kesamaan hobi, minat, ideologi, suku bangsa, tingkat pendidikan dan sebagainya. Dikarenakan memiliki ciri keakraban karena komunikasi antarpribadi umumnya berlangsung tatap muka (face to face) yang memungkinkan terjadinya kontak pribadi (personal contact), sehingga komunikator dapat mendapatkan umpan balik seketika (immediate feedback) baik yang positif maupun negatif. Selanjutnya, DeVito (1997:242) mengemukakan perbedaan komunikasi antarpribadi dengan jenis komunikasi-komunikasi lainnya: (1) prediksi lebih didasarkan atas data psikologis ketimbang data sosiologis, (2) prediksi didasarkan atas pengetahuan yang menjelaskan (eksplanatory knowledge) tentang satu sama lain, dan (3) perilaku didasarkan pada aturanaturan yang ditetapkan secara pribadi. Komunikasi antarpribadi dapat berlangsung secara diadik dan triadik. Diadik adalah komunikasi antarpribadi yang berlangsung antara dua orang, yakni komunikator yang menyampaikan pesan dan komunikan yang menerima pesan, biasanya dialog terjadi secara intens karena komunikator hanya memfokuskan perhatiannya kepada seorang penerima pesan. Sedangkan komunikasi triadik adalah komunikasi antarpribadi yang pelakunya terdiri dari tiga orang, yaitu seorang komunikator dan dua orang komunikan.
37
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Komunikasi antarpribadi sebagai komunikasi antar orang-orang secara tatap muka, memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal.
Komunikator memusatkan perhatiannya kepada seorang atau
dua orang komunikan, sehingga ia dapat melihat umpan baliknya berupa verbal dan nonverbal secara langsung. Sebab komunikasi verbal dan nonverbal termasuk kedalam bagian dari komunikasi antarpribadi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. 3.1.1. Komunikasi Verbal dan Nonverbal 3.1.1.1. Komunikasi Verbal Komunikasi verbal merupakan bagian yang esensial dari kemampuan manusia untuk menyatakan dirinya masuk kedalam realitas yang ada di sekitarnya melalui bahasa verbal (kata-kata). Dengan menggunakan bahasa verbal, manusia bisa berkomunikasi dan bertukar pikiran. Ciri pokok yang dimiliki oleh manusia adalah manusia pada umumnya memiliki kemampuan berbicara yang bermakna. Komunikasi verbal berfungsi untuk mengungkapkan perasaan, saling berbagi informasi satu sama lain serta mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam berinteraksi melalui penggunaan simbol bahasa. Seperti yang diutarakan oleh Trenholm dan Jensen (2004:94), “Bahasa adalah alat yang komunikasi yang sangat ampuh. Bahasa memungkinkan kita untuk mengungkapkan perasaan, berbagi informasi dan mencapai tujuan-tujuan hidup.
Setiap hari kita
menggunakan bahasa untuk mengendalikan dunia kita.” Bahasa merupakan bagian yang esensial dari manusia untuk menyatakan dirinya maupun realitas yang ada di sekitarnya. Hanya dengan bahasalah manusia berkomunikasi dan bertukar pikiran, mengungkapkan perasaan, menerima dan memahami perbuatan satu sama lain. Ciri pokok yang membedakan manusia dengan spesies yang lebih rendah adalah kemampuan untuk melakukan simbolisasi dan berbicara. Bahasa hidup dalam komunikasi, sebab bahasa tidak mempunyai makna jika tidak dikomunikasikan. Bahasa dan komunikasi merupakan produk dari interaksi suatu komunitas, sehingga setiap komunitas akan memiliki pola komunikasi yang berbeda dengan komunitas yang lain. Bahasa didefinisikan sebagai sesuatu set/simbol khusus yang memungkinkan seseorang berkomunikasi dengan orang lain yang mengenal sistem tersebut. Studi pada komunikasi verbal pada dasarnya berpusat pada kata-kata yang disimbolkan melalui bahasa. Adler dan Rodman (dalam Sendjaja, 1994:27) menegaskan bahwa, “Batasan komunikasi verbal yaitu tindakan berkomunikasi dengan menggunakan
38
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
kata-kata.” Kata-kata dalam bahasa verbal sangat mempengaruhi kualitas respon dari pelaku komunikasi. Kata-kata sendiri tidak bermakna apa-apa kecuali bila manusia sebagai pelaku komunikasi memaknainya. Ini dikarenakan kata-kata bukanlah objek yang diwakilinya. Seperti ketika seseorang berbicara (komunikator) dengan lawan bicaranya (komunikan), ia hanya menyampaikan kata-kata saja. Bila komunikan tidak menyampaikan makna/kesamaan makna dibalik kata-kata tersebut, maka pembicaraan tidak akan berjalan dengan lancar. Pembicaraan bisa berjalan dengan baik bila komunikator memberikan makna serupa dengan makna yang diberikan lawan berkomunikasinya/komunikan. Komunikasi verbal merupakan simbol bahasa yang kompleks. Dikatakan demikian karena komunikasi verbal terbentuk dari proses pengorganisasian simbol-simbol yang diinteraksikan secara konsensus oleh manusia. Simbol tersebut akan memiliki arti khusus bila diterapkan pada komunitas tertentu. Tubbs & Moss (2005:78) menjelaskan hal tersebut, “Kita semua dapat menggunakan bahasa secara khusus, memberi makna pada kata semau kita, maka berlakulah bahasa khusus dalam bahasa yang kita pergunakan”. Bahasa khusus yang dimaksud tersebut seperti bahasa subkultur komunitas Afro-Amerika yang dieprgunakan tiga mahasiswa pengguna bahasa gaul Ebonics dalam komunitas mahasiswa Ebonics. Ketiga mahasiswa yang tergabung dalam komunitas mahasiswa Ebonics ini menggunakan simbol bahasa yang memiliki makna yang tidak sesuai dengan translasinya. 3.1.1.2. Komunikasi Nonverbal Komunikasi nonverbal dapat didefinisikan sebagai komunikasi tanpa kata-kata. Menurut Adler dan Rodman dalam Sendjadja (1994: 227), batasan yang sederhana tentang komunikasi nonverbal merupakan langkah awal untuk membedakan apa yang disebut dengan vocal communication yaitu tindakan komunikasi yang menggunakan mulut dan verbal communication yaitu tindak komunikasi yang menggunakan kata-kata. Meskipun secara teoretis komunikasi verbal dan nonverbal dapat dipisahkan, namun pada kenyataannya hampir pada setiap peristiwa komunikasi keduanya digunakan secara bersama-sama dan tidak dapat dipisahkan. Tidak ada struktur yang pasti, tetap, dan dapat diramalkan mengenai hubungan antara komunikasi verbal dan nonverbal. Keduanya dapat berlangsung serempak, spontan dan non konsekuensial.
Perbedaan antara komunikasi
verbal dan nonverbal terletak pada saluran komunikasinya. Komunikasi verbal bersaluran tunggal sedangkan perilaku nonverbal bersifat multisaluran. Alur pesan pada komunikasi verbal terpisah-pisah, namun bagi pesan nonverbal bersinambungan. Artinya seseorang
39
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
dapat mengawali dan mengakhiri pesan verbal kapanpun ia menghendakinya. Berbeda halnya dengan pesan nonverbal yang tetap mengalir sepanjang masih terdapat komunikan lain di dekatnya. Walaupun antara komunikasi verbal dan nonverbal memiliki perbedaan, namun kedua lambang tersebut dibutuhkan untuk berlangsungnya tindak komunikasi yang efektif. Fungsi dari lambang-lambang verbal dan nonverbal adalah untuk menghasilkan makna yang komunikatif. Menurut West & Turner (2006:121), pesan komunikasi nonverbal ini meliputi seluruh aspek perilaku manusia, seperti: cara berpakaian, ekspresi wajah, sikap tubuh, gerakan tangan, dan sebagainya. Untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaan dalam komunikasi nonverbal, seringkali disampaikan secara akurat melalui gerakan mata, gerakan wajah, dan gerakan-gerakan tubuh.
Penulis akan menjabarkan unsur-unsur yang terdapat pada
komunikasi nonverbal. Pertama, kontak mata/tatapan yaitu pola komunikasi yang dipergunakan oleh pelaku komunikasi dengan cara memandang pelaku lain yang diajak bicara. Cara berkomunikasi dengan kontak mata mempunyai banyak fungsi. Ketika hal ini dilakukan, pelaku berarti menunjukkan sikap menaruh perhatian. Sikap bagaimana cara memandang juga mengungkapkan jangkauan emosi para pelaku komunikasi seperti: rasa sayang, kemarahan atau ketakutan. Intensitas kontak mata juga dapat digunakan untuk memperlihatkan dominasi. 3.2. Ebonics Komunitas mahasiswa Ebonics ini menggunakan lambang verbal dan nonverbal Ebonics.
Ebonics adalah sebuah istilah yang berasal dan digunakan oleh orang-orang
keturunan Afrika yang tinggal di Amerika Serikat untuk saling berkomunikasi. Istilah tersebut diproklamirkan tahun 1973 oleh seorang psikolog bernama Robert Williams pada sebuah konferensi ‘Cognitive and Language Develompment of the Black Child’ yang diselenggarakan di St.Louis, Missouri. Tahun 1975, istilah Ebonics itu muncul pertama kali pada sebuah buku teks yang ditulis oleh Williams berjudul ‘Ebonics, The True Language of Black Folks’. William menjelaskan bahwa Ebonics berasal dari kata ebony (kayu hitam) dan phonics (berkenaan dengan bunyi bahasa) yang merujuk pada pola bahasa orang kulit hitam. Istilah Ebonics mulai dikenal luas semenjak tahun 1996 setelah kemunculan suatu resolusi dari Dewan Sekolah Oakland yang mengenalkan Ebonics sebagai bahasa pengantar bagi pengajaran bahasa Inggris standar kepada anak-anak sekolah keturunan Afro-Amerika.
40
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Penggunaan kosa kata negatif seperti ‘ain’t’ untuk mengganti ‘not’ dilegalkan bagi pengajaran bahasa Inggris di kelas. Misalnya seperti “He ain’t coming” dari ‘He isn’t coming’ yang memiliki makna serupa, walaupun dari segi fonologis berbeda bunyi bahasanya. Penjelasan mengenai aplikasi Ebonics yang dipergunakan oleh anak sekolah keturunan Afro-Amerika ini terdapat dalam tulisan Abha Gupta yang berjudul “What's up wif Ebonics, Y'all?”. Gupta mengetengahkan suatu penelitan mikro berdasarkan risetnya pada anak-anak keturunan Afro-Amerika. Setting penelitian yang dia lakukan berada di ruangan kelas siswa-siswi sekolah dasar. “Saya pernah nimbrung pada sebuah diskusi bersama para siswa di ruang kelas lima mengenai sebuah buku milik Katherine Paterson yang berjudul Bridge to Terabithia. Karya sastra yang indah ini penuh dengan rentetan cerita emosionil. Salah satu karakter dalam bukunya, Lesley, mengalami kecelakaan dan tewas.
Beberapa murid tampaknya tidak
menerima alur kejadian ini. Di tengah-tengah diskusi, Marcus berkata, “Tidak, Lesley gak mati—dia cuma pura-pura mati saja)” Kejadian yang sama pada penggunaan kata ‘aint’ serta ‘gonna’ terulang kembali pada kelas lima di tahun berikutnya. Saat itu setiap murid diharuskan mengerjakan tugas membuat sebuah cerita. Nicole, menulis sebuah cerita tentang kakek buyutnya yang meningggal karena sakit jantung. Dalam draf tulisannya, dia menyisipkan sebuah lagu yang kakeknya biasa nyanyikan: “It ain't gonna rain no more, no more, it ain't gonna rain no more. How in the heck can I wash my neck if it ain't gonna rain no more?” (Gak akan ada hujan lagi. gak akan ada hujan lagi, gak akan hujan lagi. Gimana saya bisa mandi jika hujan gak turun lagi?) Munculah perdebatan antara para ahli komunikasi bahasa mengenai kedudukan bahasa ini. Mengingat kemunculan awal komunikasi bahasa Ebonics tahun 1970 telah diterapkan di beberapa sekolah publik di Oakland, tanpa sebelumnya menuai kontroversi sama sekali. Selain dalam dunia pendidikan, penggunaan bahasa Ebonics pun lambat laun menyebar pula pada lirik-lirik genre musik rap dan hiphop. Sebelum adanya Ebonics, mereka menggunakan Negro Speech/Negro English yang merupakan istilah yang dipakai di tahun 1960. Hingga akhirnya di tahun 1970, istilah itu diganti menjadi BE (Black English) atau BEV (Black English Vernacular). Di tahun 1991, para linguis menggunakan istilah African American Vernacular English (AAVE). Istilah Ebonics mendapat pengakuan secara resmi dikarenakan dewan sekolah Oakland menggunakan istilah
41
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
ini dalam proposalnya untuk menggunakan AAVE dalam pola pengajaran komunikasi bahasa Inggris standar di Sekolah-sekolah Oakland. Sebelum Ebonics dipergunakan oleh masyarakat luas di Amerika, Robert William lah yang menjadi pencetus lahirnya istilah tersebut pada tahun 1973. Dalam pembahasan artikel milik Johnson (1998), Ebonics atau Black American Inggris muncul pada tahun 1600an. Ebonics ini tercatat pertama kali pada persidangan di Salem Witch tahun 1692.
Seorang budak dari keluarga Afrika bernama Tituba yang diadili oleh
hakim John Hathorne, dalam persidangannya mengatakan: “He tell me he God”. Pernyataan kalimat ‘He tell me he God’ oleh Tituba merupakan testimoni yang lazim dipakai budak-budak Afrika. Dalam kalimat tersebut, copula (is/was) sengaja dihilangkan. Ditambah penggunaan kata kerja pertama yang tidak tepat (seharusnya memakai verb kedua tell yaitu told). Maka, makna seharusnya dari pernyataan itu adalah “He told me he was/is God”. Hal ini membuat banyak orang berpikir tentang komunikasi Ebonics sebagai komunikasi bahasa Inggris yang kurang sempurna. Menurut Johnson (1998), Ebonics tidak memiliki struktur yang ada seperti pada komunikasi bahasa Inggris yang digunakan oleh orang kulit putih. Contoh tersebut dapat terlihat pada kalimat “He tell me he God” yang tidak menyisipkan ‘is’ serta intonasi dan intensitas berbicara yang cepat. Ditambah orang kulit hitam yang mempelajari bahasa Inggris dari orang kulit hitam lagi, bukan dari orang kulit putih. Awal mula kelahiran Sejarah mengenai kelahiran Ebonics ini dimulai ketika blacks (orang kulit hitam) dibawa ke Amerika Serikat dari negara Afrika untuk menjadi budak. Pada saat itu blacks berkomunikasi pada tuan mereka dan berkomunikasi dengan komunitasnya menggunakan bentukan pola bahasa Inggris sederhana yang disebut Pidgin English (bahasa Inggris pasaran). Sebagian budak Afrika yang baru datang juga berkomunikasi menggunakan bahasa Wolof. Wolof yaitu komunikasi bahasa dari kekaisaran kuno negara Afrika. Komunikasi bahasa Wolof tersebut akhirnya menjadi usang dan tidak dipergunakan lagi oleh budak Afrika di akhir tahun 1600an. Namun beberapa katanya masih dipergunakan, seperti: banana (pisang), okay (baiklah), honky (mengklakson), guy (orang), bug out (melotot), hip (keren), dig (mengerti), dan wow (hebat sekali). Para budak yang lahir di Amerika hanya mengetahui Pidgin English. Akhirnya mereka menyatukan kosa kata dari Pidgin English itu menjadi suatu pola komunikasi bahasa yang lengkap dan dikenal menjadi Creole English. Komunikasi bahasa Inggris Creole kebanyakan menggunakan kata-kata bahasa Inggris namun penempatannya menggunakan cara
42
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
penempatan kata yang lebih sederhana sekaligus mengandung pemaknaan yang berbeda pula. Creole English menjadi lebih dikenal sebagai Ebonics. Semakin hari pemakaian Ebonics ini menjadi seperti pemakaian standar komunikasi bahasa Inggris. Blacks akan menggunakan Ebonics hanya ketika sedang berada dalam komunitasnya, sedangkan ketika mereka sedang berada dalam komunitas lain yang mengharuskan mereka menggunakan komunikasi standar Inggris, maka mereka akan menggunakannya dengan baik. 4. Metode Penelitian 4.1. Studi Kasus Penulis menggunakan metode penelitian studi kasus pada penelitian ini karena rumusan permasalahannya menggunakan kalimat tanya ‘bagaimana’. Seperti yang dikatakan oleh Yin (2008:1), “Studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why”. Mulyana (2004:201) memberikan definisi mengenai studi kasus, “Studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program atau suatu situasi sosial”. Peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti. Dengan mempelajari semaksimal mungkin seorang individu, suatu kelompok, atau suatu kejadian maka peneliti dapat memberikan pandangan yang lengkap dan mendalam mengenai subjek yang diteliti. Pada penelitian ini, kasus yang akan diteliti adalah pola komunikasi verbal dan nonverbal komunitas Ebonics. 5. Hasil dan Pembahasan 5.1. Hasil Penelitian 5.1.1. Komunitas Mahasiswa Ebonics Seperti yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa komunitas adalah sekumpulam manusia yang tergabung bersama dengan dilandasi oleh minat yang sama serta menggunakan pola pemaknaan yang hanya diketahui oleh komunitas tersebut saja. Kuantitas sekumpulan manusia dalam suatu komunitas, kemudian dijelaskan oleh Bungin (2008:29), “Community, pengertian manusia yang hidup bersama dalam ilmu sosial tidak mutlak jumlahnya, bisa saja dua orang atau lebih. Hubungan antara manusia itu kemudian melahirkan keinginan, kepentingan, perasaan, kesan, penilaian dan sebagainya”. Berdasarkan indikator itulah komunitas mahasiswa Ebonics yang beranggotakan tiga mahasiswa jurusan sastra Inggris lahir. Mereka bertiga membentuk suatu komunitas dengan minat yang besar
43
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
pada isu Ebonics dengan latar belakang musik hiphop serta sisi historis pengalaman hidup mereka (ditinjau dari keinginan, perasaan, kesan serta penilaian yang serupa). “Susah kalo kita ngajak ngobrol dengan temen-temen lain, mereka pada gak ngerti apa itu hiphop, Clive Campbell, Koo Herc, ato sega hal yang ada hubungan dengan bling-bling stuff”6 Menurut Bay, Clive Campbell adalah pencetus budaya hiphop yang kental dengan lirik Ebonics di setiap lagunya. Sebagai seorang rapper yang pernah satu panggung dengan grup rapper Indonesia terkenal semacam Saykoji, Clive Campbell merupakan sosok idolanya. Namun masih banyak orang yang belum mengetahui siapa itu Clive Campbell. ”Mungkin saya cuma bisa ngomongin tentang Campbell pas bareng dengan Jay atau Matt aja. Awal pertemuan kami sebetulnya karena kebiasaan ngobrol kami yang almost fully english. Sering nyampur antara Inggris Ebonics gitu kalo lagi di kantin bareng. Well, we ain’t really a prop english, lebih ke slangnya. Udah deh, jadi keseringan ketemu, ya kita mutusin mingle untuk buat community. Ma truly breaking...”7 Intensitas mereka bertemu dilakukan di seputaran kampus, biasanya sehabis perkuliahan usai. Mereka biasanya membicarakan tentang musik hiphop, curhatan-curhatan perkuliahan, kisah hidup mereka atau info-info musik blacks. Obrolan-obrolan tersebut terlihat lebih mendominasi dibarengi dengan terkadang analisa substansi isi lirik lagu tersebut. Berbeda dengan Matt dan Jay yang hanya mengadopsi bahasa-bahasa Ebonics dari lirik lagu yang didengarkan, Bay lebih ber-invent dengan bahasa tersebut. Malah single lagu dengan lirik Ebonicsnya telah tersebar di internet. Dia merasa bangga bila orang tidak mengerti maksud yang dibicarakan. Semua lirik serta ujaran-ujaran yang dipakai Bay selalu dibarengi efek metafor. Pada awalnya, dia tertarik pada hiphop milik Public Enemy, Quasimoto, The Last Poets sampai Company Flow. Dia selalu mencoba untuk mengkonstruksi kembali rhyme dari lagulagu tersebut dengan cara menggunakan metafor. Sebagai seorang rapper, dia menemukan eksotisme atas rima yang didapat dari hobinya meng-arrange rima. Bay tidak suka dengan penulisan lirik-lirik lagu bergaya bahasa Inggris standar. Dia selalu terus mencari proses kreatif
6 7
Bay, Wawancara di Hall Kelas tanggal 7 April 2014 Bay, Wawancara di Hall Kelas tanggal 7 April 2014
44
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
dalam lirik dan bahasa yang dia pergunakan. Namun semuanya tetap berasal dari beat inspirasi milik Clive Campbell yang selalu enak untuk didengar dari segi speed, irama, nada, intonasi. Bahkan dalam berkomunikasi dalam komunitasnya, bahasa Ebonics tetap menjadi acuan utama untuk mengekspresikan dirinya bersama Matt dan Jay. Lagu-lagu berjenis hiphop yang lirik Ebonics-nya selalu menjadi sorotan utama mereka, membuat komunitas ini tak lelah untuk saling berbagi info terbaru seputar dunia hiphop. Kesukaan mereka pada jenis musik ini berasal dari kisah hidup yang mereka alami ketika masa-masa lalu. Musik Ebonics yang didengungkan oleh kaum Ebonics dahulu kala merupakan kaum minoritas yang tertindas sebagai kaum budak yang didatangkan dari Afrika ke Amerika. Itulah salah satu daya tarik kenapa mereka mempelajari dan menggunakan Ebonics sebagai representasi kisah masa lalu mereka yang dijadikan kaum minoritas oleh lingkungannya. Tengok saja Bay yang memang pernah terlibat kasus ketika SMP dan SMA dan membuatnya dialienasi oleh beberapa familinya, Matt yang dari kecil berpindah-pindah sekolah serta rumah, dan Jay yang memiliki darah Pakistan dalam keluarganya namun lebih dididik seperti layaknya seorang wanita. Walaupun Jay seorang lelaki perokok, namun tingkah laku serta geraknya begitu feminim. Sehingga membuat dia merasa perlu dilindungi. Dia mendapat perlindungan itu dari Matt dan Bay. Dari beragam jenis musik hiphop yang ada, ternyata masing-masing dari mereka mereka memiliki sumber inspirasi utama yang berbeda. Walau Clive Campbell tetap mereka akui sebagai pencetus awal dari musik-musik hiphop berlirik Ebonics. Jay yang sangat terispirasi oleh cara Beyonce Knowless, seorang penyanyi kulit hitam, lewat penampilan gaya pakaian serta cara bicaranya di depan publik. Bay yang terispirasi oleh Public Enemy -selain Clive Campbell-, sebuah band Amerika yang juga berkulit hitam yang substansi lirik lagunya penuh dengan keminoritasan kulit hitam. Matt terinspirasi Axl Rose, penyanyi kulit putih dari band Guns N’ Roses dengan lirik-lirik lagu menggunakan Ebonics. “Saya punya DVD Public Enemy yang gak dijual di Indonesia. Dan gak akan ada yang ngejualnya walau di Aquarius sekalipun. Saya dapet dari paman saya yang memang stay di NY. Dia juga cerita tentang kehidupan blacks yang ada di Bronx. Isinya buat saya inspiratif banget yo..”8 “Kalo saya emang suka dengan segala hal bling-bling stuff punya Beyonce. Caranya dia dandan, gaya hidupnya, saya suka aja. Selain itu juga dia orang 8
Bay, Wawancara di Canteen tanggal 16 April 2014
45
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
kulit hitam yang nggak nyombong. Liat aja misal Britney Spears atau Christina Aguilera. Brit makin kesini tuh mirip whore, rite? Christina sih gak pedean. Masa tampil manggung pake blazer cuma buat nutupin skinny-nya. Bodi Beyonce tuh bohai, gilanya dia tampil apa adanya ‘gue gitu lho’. Ya saya udah jatuh cinta aja sama Beyonce dari dulu pas gabung dengan Destiny’s Child, surfing di internet aja and pasti simak wawancaranya di YouTube.com. Temen-temen jadi pada bilang, saya jadi mirip orang blacks deh “9 “Hmm..saya justru lebih cenderung sama Axl Rose, yang walau dia orang kulit putih, tapi dia punya jalur hidup yang bersih. Iya even Guns N’ Roses udah bubar, Axl doang yang gak nge-drugs. Dari situ saya sering ngikutin gaya-gaya ngomongnya, kata-kata yang Axl Rose omongin, walo ada juga kata yang saya ngerti, saya suka nanya-nanya Bay ato Jay. Nah, Bay bilang kalo liriknya itu punyanya blacks amerika. Pantes aja awalnya temen yang lain rada aneh kalo denger saya ngomong, katanya rada gak sopan gitu hahahaha....”.10 Mereka menjadikan lirik dari musik-musik bernuansa blacks sebagai teman curhat mereka. Sebab menurut mereka semua, tanpa mempelajari sejarah dari setiap genre musik, tak mungkin dapat menjiwai musik tersebut sepenuhnya. Aliran musik tersebut memiliki konten positif pada perkembangan diri mereka, bukan hanya sebatas tema percintaan saja. Kritikan politik, kisah tentang subkultur Afro-Amerika dan sebagainya menjadi acuan utama mereka untuk mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang tertindas. Ketika penulis menanyakan alasan ketertarikan mereka pada jenis musik ini, semua anggota komunitas Ebonics ini menyuarakan pendapat mereka dengan panjang lebar. “Jadi orang ketindas itu gak enak, dijauhin sama temen udah pasti. Paling sedih kalo keluarga plus sodara-sodara yang udah jauhin. Sakit banget rasanya. Waktu SMP saya juga minum bir, trus bolos, trus masuk anggota skinhead, gak tahu gimana lagi mau ceritaan masa kelam saya. Tapi Tuhan maha adil, Dia mau kasih saya kesempatan buat tobat. Cuma kadang saya suka nyendiri aja inget masa-masa dulu”.11 “Kalo saya sih orangnya gak bisa stick lama sama satu orang. Saya suka make friends, tapi big questions-nya adalah, bisa gak mereka bikin saya nyaman. Emang saya perokok, tetep aja walo perokok yang pengen dibuat gentle, saya suka rasa aman. Kedengaran aneh emang ya”.12 9
Jay, Wawancara di Canteen tanggal 16 April 2014 Jay, Wawancara di Canteen tanggal 16 April 2014 11 Bay, Wawancara di Canteen tanggal 25 April 2014 12 Jay, Wawancara di Canteen tanggal 25 April 2014 10
46
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
“Jadi masalah juga untuk berkawan buat saya, coz ayah yang kerjaannya pindah-pindah mulu. Ayah saya dulu dinas di Telkom, Kalimantan. Waktu SMP ampe SMA aja saya pindah empat kali, spontan aja saya punya fobia keramaian. Jauh dari hangout bareng dengan temen-temen. Hobinya diem di kamar, dengerin lagu-lagu blacks trus nerjemahin. Ampe kakak saya ngasih CD Rose buat ultah, dari situ saya mulai suka Rose. Di depan kaca, pura-pura jadi Rose yang juga dijauhin sama temen-temen band Guns N’ Roses karena gak terlibat narkoba. Kayak saya banget gitu, sendirian”.13
Hiphop yang menjadi referensi komunitas mahasiswa Ebonics dalam berkomunikasi verbal dan nonverbal juga mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Menurut mereka, hiphop sekarang ini dikombinasikan dengan musik-musik lain seperti rock, reggae, techno, dan sebagainya serta sebagai perpaduan yang dinamis antara sebuah genre musik dan sebuah kebudayaan yang tumbuh sekitar tahun 1970-an. Genre serta budaya yang tumbuh di tahun 1970-an itu dibawa oleh seorang Afrika-Amerika. “Hiphop tuh berkembang pesat di kota New York tahun 1970-an. Enggak cuma sebagai musik aja, tapi jadi gaya hidup juga. Clive Campbell yang awalnya ngembangin hiphop. Cuma Campbell lebih well-known dengan panggilan DJ Kool Herc. Dia jadi inspirasi buat kami. Jaman itu, pemerintahan Amerika beneran ngekang kebebasan blacks. Perang ras kulit deh.. Jadinya hampir semua lirik-lirik dari hiphop isinya nyeritain kehidupan blacks and teriakan-teriakan protes suara hati mereka sama ketidakadilan pemerintah. Lirik-liriknya itu keras, tegas dengan bahasa milik khusus punya kaum Ebonics”.14 5.1.2. Latar Belakang Membentuk Komunitas Mahasiswa Ebonics Berdasarkan pada kesamaan minat dan pengalaman yang serupa, akhirnya indikatorindikator tersebut melatarbelakangi pembentukan konsep diri pada ketiga anggota komunitas mahasiswa Ebonics ini. Terbentuknya komunitas mahasiswa Ebonics di tahun 2007 pada awalnya hanyalah sebatas obrolan sharing mengenai musik-musik Ebonics. Perlahan keakraban mereka tercipta hingga seringkali topik obrolan mengarah pada hal personal. Mereka saling mencurahkan perasaan hatinya tanpa ada ejekan, atau mentertawakan pengalaman empiris pribadi mereka sendiri.
13 14
Matt, Wawancara di Canteen tanggal 25 April 2014 Jay, Wawancara di Canteen tanggal 16 April 2014
47
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Para anggota komunitas Ebonics membuat mereka merasa teralienasi oleh penilaian lingkungan terhadap ‘diri’ mereka. Sehingga akhirnya mereka dapat saling berkomunikasi dalam komunitas ini tanpa harus ada yang mentertawakan kelemahan-kelemahan mereka itu. Respons orang lain yang ditafsirkan secara subjektif sebagai data mengenai diri mereka, membentuk konsep diri pada masing-masing individu. Respon yang berasal dari orang lain itu berasal dari persepsi dan perasaan individu tersebut tentang ‘diri’ melalui kaca orang lain. Cooley menganggap bahwa perasaan diri bersifat sosial, karena maknanya diciptakan melalui komunikasi bersama, karena itu interpretasi subjektif individu mengenai sikap dan tindakan individu didasarkan kepada penilaian orang-orang yang mereka anggap penting dan punya hubungan dekat dengan mereka (significant others). Konsep diri yang penulis temukan di lapangan berbentuk psikologis, sosial dan fisik. a.
Fisik: (diri), Bagaimana pandangan kami mengenai penampilan kami? Ketiga anggota komunitas mahasiswa Ebonics ini meniru penampilan musisi mereka yang kental dengan Ebonics, sehingga mereka merasa mendapat rasa secure dan seakan-akan mewakili mereka lewat gaya penampilan yang dipakai sehari-hari.
b.
Sosial: (lingkungan), Bagaimana orang memandang kami? Ketiga anggota komunitas Ebonics ini memiliki kemapuan berbahasa Inggris yang lancar, baik secara lisan dan tulisan. Namun karena nilai ‘diri’ yang sudah tertanam oleh significant others saat mereka tengah berada di bangku sekolah, membuat mereka agak kesulitan untuk lebih membuka diri pada lingkungan yang baru dikenalnya. Sehingga tak jarang mereka mendapat sebutan ‘freak’ atau orang aneh dari lingkungan temantemannya. Penghargaan bagi ‘diri’ tersebut, mereka dapatkan dalam komunitas ini.
c.
Psikologis: (diri), Bagaimana watak kami yang sebenarnya? Watak mereka yang introvert dan tidak mau mingle dengan millieu-nya membuat suatu hambatan bagi sosialisasi di kampus. Mereka tidak masalah sebenarnya untuk bergabung atau bergaul dengan mahasiswa lain, hanya ada satu kendala yang terkadang mencemaskan mereka, akankah mereka masih mau menerima saya dengan historis masa lalu atau keadaan at the present seperti ini? Hal yang membuat mereka bahagia adalah bila ada yang mau medengar dan menerima mereka apa adanya.
48
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Meskipun mereka berupaya berperilaku sebagaimana yang diharapkan orang lain, namun mereka merasa tidak bisa memenuhi pengharapan orang lain. Sebab ketika mereka berinteraksi, pengharapan, kesan, citra orang lain sangat memengaruhi konsep diri mereka. Penilaian orang lain telah mencetak mereka dan mengasumsikan apa yang orang lain asumsikan sebagai ‘freak’ bagi konsep diri Matt atau ‘sisy’ bagi konsep diri Jay. Pengaruh konsep diri bagi mereka bertiga terletak pada sisi afeksi yang mengarah pada kondisi emosi diantara mereka. Mereka memiliki konsep diri yang serupa, sehingga emosi yang muncul pun sama. Proses terbentuknya konsep-diri pada diri mereka berawal dari masa lalu mereka. Konsep-diri tersebut diperoleh dari penilaian luar dirinya (significant others). Sebab, significant others mempunyai pengaruh yang sangat besar pada sikap perilaku dan persepsi mereka. Mereka akhirnya merefleksikan stimuli dari pengalaman indrawi yang dicerap dari significant others mereka. Tanpa adanya penanaman nilai-nilai positif sebagai acuan pengembangan konsep diri positif, konsep diri mereka justru terkalahkan oleh nilai negatif. Penilaian dari luar itu sangat berperan penting dalam proses pembentukan konsep diri bagi seseorang. Penilaian tersebut berperan membentuk persepsi seseorang atas dirinya dan pada akhirnya membuat mereka menyadari diri mereka sendiri sehingga berani mengungkap siapa mereka pada komunitas ini. Terjadilah apa yang disebut dengan interpretasi sharing makna. Mereka dapat saling memahami dengan saling berkaca satu sama lain yang mengacu kepada identitas spesifik diri mereka sendiri. Proses pengungkapan diri mereka dalam komunitas mahasiswa Ebonics ini terjadi secara timbal balik dan berlangsung efektif. Mereka bersedia saling mengungkapkan diri mereka masing-masing karena tekanan-tekanan batin yang terjadi pada diri mereka. Baik itu pengalaman traumatik yang dibawa dari masa lalu, masa sekarang, atau kegelisahan di masa depan. Mereka mengungkapkan diri dalam komunitasnya melalui ungkapan dan tindakan. Sebab dari ungkapan serta tindakan tersebut, mereka ingin menginformasikan bahwa itulah cara melakukan suatu keterbukaan pada anggota komunitasnya. Lama kelamaan, mereka saling mengenal lebih dalam hingga pada akhirnya hubungan pun berkembang. Komunitas mahasiswa Ebonics ini telah mengalami, apa yang disebut oleh Altman dan Taylor, penetrasi sosial. Penetrasi sosial merupakan proses yang bertahap, dimulai dari komunikasi basa-basi yang tidak akrab dan terus berlanjut sampai pada topik obrolan yang lebih personal dan akrab. Sejalan dengan semakin berkembangnya hubungan, masing-masing para anggota komunitas mahasiswa Ebonics ini akan membiarkan mereka
49
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
untuk mengenal dirinya step by step. Mereka akan menggunakan persepsinya untuk mengukur keseimbangan antara ganjaran dan upaya yang diterima dalam komunitas dalam rangka memperkirakan prospek hubungan. Perkiraan hubungan yang terjalin antara ketiga anggota komunitas mahasiswa Ebonics ini menjanjikan kesenangan dan keuntungan sehingga mereka secara bertahap bergerak menuju tingakatan hubungan yang lebih intensif. Mereka saling barter memberi dan menerima informasi mengenai diri masing-masing pada saat interaksi tengah berlangsung. Hingga mencapai titik kedalaman dan keluasan orbrolan personal yang terus berlangsung, meningkat dan berubah. Hubungan intensif antara anggota komunitas mahasiwa Ebonics ini melahirkan process view. Process view menjelaskan bahwa mutu dan sifat hubungan individu dapat dinilai dengan menggunakan atribut. Atribut dalam hal ini adalah simbol komunikasi verbal dan nonverbal yang dipergunakan oleh komunitas mahasiswa Ebonics. Simbol-simbol komunikasi verbal tersebut berupa bahasa gaul inggris Ebonics serta disertai simbol-simbol nonverbal.
Process view
membutuhkan waktu dalam memahami atribut-atribut yang digunakan diantara orang-orang dalam dalam komunitas tersebut. Hubungan dalam interaksi komunitas mahasiswa Ebonics ini saling berkontribusi satu sama lain. Mereka telah mengevaluasi hubungan mereka atas pertimbangan konsekuensi serta ganjaran yang didapat dan memutuskan untuk tetap tinggal dalam hubungan pertemanan tersebut. Comparison level antara untung rugi dalam interaksi hubungan pertemanan komunitas mahasiswa Ebonics lebih didominasi pada segi ke’untung’an. Sebab bila mereka merasa mendapatkan keuntungan dari hubungan pertemanan dalam komunitas tersebut, maka akan timbul rasa puas pada hubungan yang terbina itu. Keuntungan dari hubungan pertemanan itu bukan untuk saling mengeksploitasi, namun mereka lebih merasa bahwa relasi yang didapat dari komunitas ini memberikan suatu kepuasaan pada masing-masing anggotanya. Hubungan yang ideal yang bersumber dari rasa kepuasan bersama, memberikan keuntungan yang dapat diandalkan bagi kepuasan mereka. Lain halnya bila pada awalnya mereka merasa ‘rugi’ atau saling mengeksploitasi diri, maka bisa jadi mereka akan meninggalkan komunitas itu cepat atau lambat. Inilah dasar terbentuknya komunitas mahasiswa Ebonics yang memiliki konsep diri serupa. Mereka seakan mendapatkan sisi ‘satu perasaan’ dalam komunitas ini. Diakibatkan bahwa seseorang berusaha untuk mengidenditifikasikan dirinya dengan sebanyak mungkin orang dalam komunitas tersebut, sehingga mereka bertiga menyebutkan diri mereka sebagai
50
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
“satu komunitas”. Rasa “satu perasaan” lebih menekankan pada perasaan solider dengan orang lain. Pada unsur seperasaan, kepentingan-kepentingan seseorang diselaraskan dengan kepentingan-kepentingan komunitasnya. Komunitas yang tergabung tadi akan mencari perlindungan pada kelompoknya apabila dia berada dalam kesepian, kesoliteran dan sebagainya. 5.1.3. Pola Komunikasi Verbal dan Nonverbal Di bawah ini adalah deskripsi dari bentuk-bentuk komunikasi verbal dan nonverbal komunitas mahasiswa Ebonics sebagai hasil observasi di lapangan. Adapun simbol-simbol verbal yang penulis amati adalah berupa simbol verbal yang meliputi connotation meaning dan denotation meaning. Sedangkan simbol nonverbal meliputi (1) kontak mata, (2) ekspresi wajah, (3) gerakan tubuh, (4) penampilan fisik (5) proksemik, (6) sentuhan, (7) paralinguistik. Penulis tidak menemukan temuan yang spesifik mengenai ‘bau-bauan’ yang merupakan salah satu aspek dari simbol nonverbal ketika berada di lapangan.
Maka, penulis tidak
mencantumkannya sebagai bagian dari penelitian ini. Hasil temuan yang terpilih, penulis kategorisasikan sesuai kategori simbol verbal dan nonverbal yang penulis telah rancang untuk kemudian dimaknai berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh ketiga mahasiswa pengguna komunikasi verbal dan nonverbal Ebonics sebagai para informan dalam penelitian komunitas mahasiswa Ebonics. 4.1.4.1 Simbol Komunikasi Verbal Komunitas Mahasiswa Ebonics Komunikasi verbal yang dikomunikasikan oleh komunitas ini sengaja penulis rekam. Observasi yang ada di lapangan penulis kategorisasikan sesuai lokasi pembicaraan yang mereka lakukan. Obrolan ini penulis rekam pada tanggal 8 Mei 2014 sebagai kebiasaan mereka ketika saling bertegur sapa, Matt: What’s up dude? Bay: Hey, what’s up Matt: How’s the bitch kitty? Bay: I dunno it, play it cool Matt: Hahahaha..what kinda shit Bay: Dude, scratch my back i scratch yours mother fucker Matt: Tounge in her cheek dude Jay: You guys throw stones of Mrs.England? Hehe..pancake madame Bay: Cueball for sure Matt: Do her nut Bay, just do the bith kitty Bay: I ain’t apple polisher dude Matt: Hell ya
51
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Pembicaraan ini mereka lakukan menggunakan bahasa Ebonics, dari permulaan greetings sampai pada pembahasan mengenai salah seorang pengajar yang profilnya mereka analogikan dengan Mrs. England. Mereka tengah membicarakan mengenai sebuah tugas yang sangat sulit dari Mrs.England, pengajar lulusan negara Inggris yang pedagogiknya sangat ortodok. Matt, Bay dan Jay merasa tidak nyaman dengan metode pengajaran Mrs. England sekaligus pembebanan tugas yang harus selalu perfeksionis. Bay dan Jay akhirnya meminta bantuan Matt untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Mrs. England tersebut. Obrolan selanjutnya penulis rekam keesokan harinya pada tanggal 9 Mei 2014 di kantin kampus. Matt: The bitch real a sex pot Bay: Bite the bullet dude, tell her Jay: You daffy about bitch, rite Matt Matt: Yeah man, I’m breakin Come asshole, she’s vanilla Jay: Gosh Matt, me vanilla..me vanilla.. Bay: You a cueball Jay! You ain’t vanilla Jay: (Hening, diam) Bay: Sorry dude, just do her nut Jay: I ain’t like your whizbang Jay, the way she talkes was so last year Bay: Owkie dowkie Jay, vanilla is you then Jay: (tersenyum) Obrolan mereka tengah menggambarkan kemolekan seorang mahasiswi yang ditaksir oleh Matt. Matt yang introvert merasa tidak memiliki rasa kepercayadirian untuk mengungkapkan rasa sukanya dikarenakan memang tidak memiliki keberanian itu. Maka Bay mendukung Matt untuk setidaknya mencoba dulu menyapa dia sebagai perkenalan awal. Jay yang sensitif ikut nimbrung dan mulai membandingkan dirinya yang gemulai dengan mahasiswi tersebut. Bay tergelitik untuk menyindirnya dengan maksud bercanda padanya, ternyata Jay malah tersinggung. Pada akhirnya Bay merubah candaan dan menggoda Jay agar tidak tersinggung lagi. Obrolan ini penulis rekam di tanggal yang sama, 8 Mei 2014 setelah tak sengaja menghampiri mereka yang baru saja mengikuti perkuliahan untuk mengerjakan latihan soal dari dosen yang bersangkutan. Bay: How’s the river dude? Jay: Just so-so, how’s you?
52
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Bay: Suits to my book dude, the river such an easy cake Jay: Thanks lord, its hunky dory Percakapan ini penulis ambil ketika mereka tengah bercakap-cakap mengenai kesan-kesan setelah ujian. Bay dan Jay saling bertanya mengenai perasaan yang dialami sesudah ujian. Mereka saling menanyakan pendapat soal-soal ujian yang baru saja dijalani. Bay mengungkapkan bila ujiannya mudah sekali, sedangkan bagi Jay ujian tersebut berada pada level kesulitan yang standar. Jay merasa beruntung sebab akhirnya ujian itu sudah terlakasanakan dengan baik. Obrolan terakhir penulis rekam di pelataran kampus sesaat mereka akan saling berpamitan. Matt: See you around dude, Im off Bay: Yeah, take leave of you dude Saat mereka terlibat dalam percakapan, mereka melakukan beberapa tindakan yaitu melaporkan, menyatakan, memperingatkan, menjanjikan, meminta dukungan, dan sebagainya. Percakapan yang dilakukan oleh mereka melibatkan tiga orang partisipan komunikasi. Tetapi distribusi bebrbicara antar partisipan tidaklah benar-benar acak. Hal tersebut diatur oleh konvensi pengambilan giliran berbicara yang mennetukan siapa yang berbicara, kapan dan untuk berapa lama berbicara. Pada beberapa jenis situasi percakapan, penggiliran berbicara didasarkan pada tingkatan peserta percakapan. Dalam hal ini pernyataan hak berbicara adalah penunjuk status atau kekuasaan pembicara dan pendengar, baik dengan tingkatan yang sama maupun berbeda. Pengambilan giliran berbicara adalah sebuah cara yang menunjukkan bahwa perasan status seseorang cukup dipertimbangkan dalam percakapan. Pengambilan giliran bicara juga berkaikan erat dengan pemilihan topik, karena sangat jelas bahwa orang mengambil giliran berbicara ketika mereka memiliki suatu kontribusi terhadap topik yang sedang dibicarakan atau ketika mereka ingin mengganti topik. Berikut adalah simbol komunikasi verbal berdasarkan semantic meaning yang diambil oleh penulis dari lapangan:
1 2
Bagan Komunikasi Verbal Komunitas Mahasiswa Ebonics Connotation Denotation Meaning Cash Money Uang Owkie Dowkie Alright Iya
53
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
3 4
Ahem.. I sayin there Give her the air
I just said that.. Break up
5 6 7 8
Bootlicker She is fully experienced Friend Out of date
9 10
Apple-polisher The bitch has been around Asshole The way she talked was so last year There you go What kinda shit
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
I dunno it Pop the hood Hell ya! Talikin Breakin Ride Bite the bullet Bitch kitty Blitz Cueball Daffy about Do her nut Pancake
24 25 26 27 28
Apathetic Moron Lying Examination Helping each other
29 30 31 32 33
Play it cool Rockhead Talking rot River Scratch my back and i scratch yours Second-hand Sex pot I was on the shelf He like to be in a stew Throw stones
34 35 36 37 38
Tounge in her cheek Vanilla Whiz bang Hunky Dory Suits to my book
Teasing An interesting student Joke Finished Fun
Yes What are you talking about I don’t know it Get a afight Oh my god Talking Getting excited Motorcyle She’s brave A difficult task Play truant Freak Fall in love to Piss off A stubborn woman
Used to A sexy woman Introvert He was interrupted Having a grapevine
Hm, saya tadi bilang Memutuskan hubungan cinta Penjilat Dia sudah makan garam Teman Ketinggalan zaman Iya Apa yang sedang kamu bicarakan Saya tidak tahu Serang/penjahat Ya ampun Membicarakan Semangat Motor Dia berani Tugas yang susah Membolos Orang aneh Jatuh cinta pada Marah sekali Wanita yang keras kepala Cuek, acuh Orang yang bodoh Membual Ujian Saling tolong menolong Tidak baru Wanita yang seksi Tidak banyak bergaul Dia merasa terganggu Membicarakan watak orang Menyindir Mahasiswa yang menarik Lelucon Beres/selesai Menyenangkan
54
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
39 40
Take leave of you Up anchor
Bye..bye.. Go
Selamat tinggal Pergi
Jika suatu komunitas menggunakan lebih banyak kosakata untuk suatu hal atau suatu aktivitas, maka hak atau aktivitas tersebut adalah penting bagi komunitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan yang erat antara komunikasi verbal dan pikiran adalah bahwa sebenarnya bahasa (lewat penciptaan kata-kata, istilah-istilah baru) dapat digunakan oleh suatu rezim atau sekelompok orang untuk merendahkan, atau dan menguasai kelompok atau orang lain. 4.2. Pembahasan 4.2.1. Komunikasi Verbal dan Nonverbal bagi Komunitas Mahasiswa Ebonics Komunikasi verbal dan nonverbal pada komunitas mahasiswa Ebonics memiliki sejumlah fungsi penting. Mereka menggunakan komunikasi nonverbal untuk menekankan pesan-pesan penting dari komunikasi verbal yang mereka lakukan. Mereka juga menggunakan komunikasi nonverbal dan verbal untuk memperkuat tali interaksi bagi komunitasnya. Dikarenakan komunikasi nonverbal bersifat komunikatif, perilaku nonverbal dalam suatu interaksi pasti akan selalu mengkomunikasikan sesuatu. Sebagai komunitas ekslusif, mereka ingin mengkomunikasikan rasa ingin diterima apa adanya oleh lingkungan di luar komunitas. Pesan-pesan tersebut mereka kirim agar secara sadar dan tidak sadar diterima oleh millieu mereka. Walau terkadang, mereka merasa tersandung oleh pembentukan konsep diri yang sudah dibentuk oleh significant others. Kesamaan perlakuan significant others pada konsep diri mereka, melahirkan suatu empati dari dalam diri masing-masing anggota. Hingga mereka memutuskan untuk membentuk komunitas berdasarkan perilaku-perilaku verbal dan nonverbal mereka. Gaya berpakaian, berbicara, tingkat kontak mata, gerak badan dan sebagainya telah memberikan petunjuk bagi penulis untuk membuat penilain itu. Segala perilaku verbal dan nonverbal, betapapun kecilnya, sangatlah penting. Sebab setiap perilaku itu mempunyai makna, yang masing-masingnya melakukan komunikasi. Dikarenakan mereka memiliki kesamaan perilaku verbal dan nonverbal, penulis menyimpulkan bahwa mereka telah merasa saling menyukai satu sama lain dengan suatu kenyamanan diri berada dalam komunitas tersebut. Penulis dapat melihat kesamaan perilaku
55
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
mereka dalam pemilihan kata Ebonics sebagai perilaku verbal, juga perilaku nonverbal yang ditampilkan mereka ketika berkumpul dalam komunitasnya.
Bagan Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pola Komunikasi Verbal & Nonverbal Komunitas Mahasiswa Ebonics
Identifikasi diri sebagai penyuka musik Ebonics: hiphop, rapp, R&B
Pengungkapan diri untuk berinteraksi lebih intens
Media
Membentuk Social Action:
Simbol Komunikasi Nonverbal
Simbol Komunikasi Verbal
Connotation Give her the air Apple polisher What kinda shit I dunno it Hell ya Ride Bite the bullet Bitch Kitty Cueball about 5. Daffy Simpulan Hunky dory
Denotation Break up Bootlicker What are you talking about I dont know
Kontak mata Ekspresi wajah
Motorcycle She’s brave A difficult task Freak Fall in love with Finished Stubborn wom
Penampilan Fisik
Gerakan tubuh
Proksemik Sentuhan
Paralinguistik
*Intensitas Tatapan Tajam *Ekspresif hanya pada komunitasnya saja *Bebas berekspresi menggunakan emblim, ilustrator, affect display, regulator, adaptor *Terisnpirasi oleh Public Enemy, Axl Rose, Beyonce *Kedekatan yang intim kala berkomunikasi satu sama lain *Menciptakan greeting pertemuan dan perpisahan untuk menciptakan kekompakan
56
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Peristiwa komunikasi yang terjadi dalam komunitas mahasiswa Ebonics menggunakan simbol komunikasi verbal dan nonverbal dengan minat pada isu Ebonics yang berlatar belakang music hiphop. Dari ketertarikan minat yang sama tersebut, akhirnya pengungkapan diri lebih terbuka hingga terkuaklah penilaian konsep diri dari historis pengalaman empiris yang pernah mereka alami. Diusunglah pembetukan komunitas oleh mereka bertiga atas dasar kesamaan konsep diri yang dimiliki oleh ketiga mahasiswa ini. Berdasarkan daya tarik pada minat musik ala Ebonics yang serupa, mereka lalu menamakan komunitas Ebonics. Ketiga mahasiswa yang tergabung dalam komunitas Ebonics, menggunakan kata-kata Ebonics serta nonverbal kaum blacks sebagai pemilik asli bahasa Ebonics di amerika. Komunitas Ebonics ini akan lebih berani dan terbuka menceritakan mengenai diri mereka, musik atau curhatan-curhatan hanya pada millieu-nya saja. Sedangkan kepada komunikan di luar komunitasnya, mereka cenderung pasif dan bersikap seadanya saja. Malah, insiatif untuk melakukan komunikasi dua arah selalu muncul dari partisipan di luar komunitas mereka. Feedback yang diberikan oleh partisipan tersebut selalu negatif, sehingga perkembangan komunitas ini hanya diperuntukkan bagi komunitas eksklusif mereka saja. Sisi introvert yang mereka miliki untuk menjalin komunikasi di luar komunitasnya timbul dari kurangnya kepercayaan kepada kemampuan diri sendiri serta rasa traumatic yang pernah dialami di masa lalu, sehingga hinggap rasa inferior dan ketakutan karena tidak sesuai dengan penilaian/harapan orang lain. Maka mereka cenderung sedapat mungkin menghindari situasi komunikasi dan hanya mau membuka diri pada seseorang yang memiliki minat yang sama. Padahal, bila seseorang berani untuk berusaha membuka diri, dia akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman dan gagasan-gagasan baru. Adapun media berkomunikasi yang dipergunakan oleh komunitas mahasiswa Ebonics ini adalah komunikasi verbal dan nonverbal yang merujuk pada akar sejarah Ebonics serta manifestasinya terhadap musik hiphop.
57
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Daftar Pustaka Alwasilah, Adeng Chaedar. 1997. Dari Cicalengka Sampai Chicago.. Angkasa: Bandung. Denzin, Norman K dan Yvonna, S Lincoln (editor). 1994. Handbook of Qualitative Research. London, New Delhi : Sage Publication Devito, Joseph. A. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Edisi Ke-5. Terjemahan Agus Maulana. Profesional Book: Jakarta. Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. PT. Citra Aditya Bakti: Bandung. Kaye, Michael. 1994. Communication Management. Prentice Hall: Australia Mastuti, Indari. 2008. Bahasa Gaul. Grasindo: Jakarta. Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. PT.Remaja Rosdakarya: Bandung. Sendjaja, Sasa Djuarsa. 1994. Teori Komunikasi. Universitas Terbuka: Jakarta. Soemirat, Soleh. 2008. Perspektif Ilmu Komunikasi Sebagai Pilar Profesionalisme Public Relations Dalam Konstelasi Pembangunan Nasional: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran: Bandung Trenholm, Sarah & Arthur Jensen. 2004. Interpersonal Communication. Oxford University Press: New York, USA. Tubbs, Sylvester & Sylvia Moss. 2005. Human Communication: Prinsip-prinsip Dasar. Terjemahan Deddy Mulyana. PT.Remaja RosdaKarya: Bandung. West, Richard & Lynn H. Turner. 2006. Understanding Interpersonal Communication: Making Choices in Changing Times. Thomson Learning, Inc: Belmont, USA. Yin, Robert K. 2008. Studi Kasus: Desain & Metode. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta. Laporan Penelitian Antin, Titi. 2005. Pola Komunikasi Verbal Dan Non Verbal Anak Autis. Bandung: Tesis Jurusan Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran
Sukmayadi, Vidi. 2007. Komunikasi Nonverbal Praktisi Seni Beladiri Aikido (Studi Fenomenologis Praktisi Aikido di Perguruan Aikido Nonafiliasi Bandung Aiki Jutsu). Bandung: Tesis Jurusan Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran
58
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Jurnal dan Artikel Munsyi, Alif Danya. 22 Oktober 2005. Bahasa Gaul Menuju ke Bahasa Seni dalam HU Pikiran Rakyat, Rubrik Budaya. Johnson, Marry Ann. September 1998. The Ebonics Debate: Perspectives and Possibilities dalam Jurnal The Journal of Pedagoy, Pluralism & Practice, Issue. Lesley College, Cambridge, Massachusetts. Issue 3, Vol.1 Rickford, John. R. December, 2008. Artikel yang berjudul Suite for Ebony and Phonics dalam Majalah Discover Monthly USA
59
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
ANALISIS IKLAN TOKOBAGUS.COM VERSI “BARANG BAYI TAK TERPAKAI” (Studi Semiotika Roland Barthes) Oleh: Muhammad Bronto Latief, S.I.Kom15 , & Ratih Hasanah, M.Si.16 ABSTRAK Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan menggunakan analisis semiotika untuk menganalisis objek yang diteliti. Teknik analisis data dilakukan berdasarkan teori semiotika yang di paparkan oleh Roland Barthes deskripsi mengenai iklan Tokobagus.com versi “Barang Bayi Tak Terpakai” dianalisis pada tataran sistem penandaan pertama yang memunculkan makna denotasi, tataran sistem kedua yang memunculkan makna konotasi serta tataran mitos dan ideologi yang terkandung dalam iklan Tokobagus.com. Pada tataran denotasi, iklan Tokobagus.com versi “Barang Bayi Tak Terpakai” menggambarkan sebuah aktifitas disebuah keluarga kecil yang mendapat masalah ketika seorang bapak memakaikan baju kekecilan kepada anaknya karena pakaian tersebuat merupakan pakaian bekas sewaktu anak masih bayi untuk kemudian Tokobagus.com muncul sebagai sarana yang tepat untuk menjual barang bekas. Sedangkan pada tataran konotasi, banyak makna-makna yang muncul yang bersumber dari mitos seperti seorang wanita atau ibu lebih tahu tentang cara merawat anaknya ketimbang sang ayah. Di samping hal tersebut, di dalam ini peneliti menemukan adanya sebuah ideologi kapitalis yang dikonstruksi pada iklan Tokobagus.com versi “Barang Bayi Tak Terpakai” dimana barang bekas dapat dijadikan sebagai modal atau barang yang dapat dijual, bahkan untuk pakaian bayi sekalipun dapat dijadikan uang Kata Kunci: Iklan, Semiotika, Roland Barthes
15 16
Sarjana Ilmu Komunikasi dari Telkom University. Pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Telkom University
60
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
1. Pendahuluan Dalam ketatnya persaingan industri e-commerce Indonesia, sejumlah situs ecommerce melakukan pemasangan iklan melalui media televisi karena media iklan melalui televisi dirasa masih sangat efektif untuk memasarkan suatu produk dan jasa di Indonesia. Sebagian besar konsumen Indonesia masih menjadikan media televisi sebagai sumber informasi dan hal tersebut dimanfaatkan oleh para produsen untuk memasang iklan mereka pada televisi. Dari sekian banyak situs e-commerce yang ada saat ini, Tokobagus.com dan Berniaga.com merupakan situs e-commerce yang melakukan pemasangan iklan pada media televisi. Terlihat pada prime time di stasiun televisi nasional, kedua situs ini menampilkan iklan mereka. Namun dari kedua situs e-commerce, Tokobagus.com masih menjadi pemimpin dalam persaingan situs e-commerce di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya penghargaan yang diperoleh oleh Tokobagus.com. Pada tahun 2013, Tokobagus.com memenangkan Gold Brand Champion 2013 of Most Widely Used Brand -menjadikannya sebagai pemimpin pasar e-commerce-. Tokobagus.com merupakan situs online classified terbesar di Indonesia yang menyediakan media yang mudah, cepat dan gratis bagi para penjual untuk memasang iklan dan sekaligus bagi pembeli untuk mencari beragam produk barang bekas dan barang baru untuk kebutuhan sehari-hari, mulai dari handphone, komputer, perangkat rumah tangga, mobil dan sepeda motor, rumah dan properti, bahkan lowongan kerja dan layanan lainnya. Sejak berdiri pada tahun 2005, Tokobagus.com telah meraih berbagai penghargaan, antara lain Gold Brand Champion 2013 of Most Widely Used Brand dari majalah MarkPlus Insight dan Marketeers, Situs E-commerce Terbaik Kategori Online Shopping Top Brand Award 2012 dari Frontier Consulting Group dan majalah Marketing, Situs E-commerce Terbaik (“The Great Performing Website”) Kategori Communication, dalam Digital Marketing Award 2012 dari majalah Marketing, dan lembaga survei independen SurveyOne. Melihat fenomena tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pada salah satu iklan televisi Tokobagus.com, karena melalui iklan tersebut Tokobagus.com menyampaikan pesan bahwa barang bekas sebaiknya dijual saja di Tokobagus.com dengan berbagai keberhasilanya penulis berusaha mengungkapkan makna yang terkandung di dalam iklan televisi Tokobagus.com.
61
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Dalam penelitian ini iklan televisi Tokobagus.com versi “Barang Bayi Tak Terpakai”, menggambarkan sebuah keluarga kecil yang terdiri dari suami, istri dan seorang anak. Kedua pasangan ini memperdebatkan baju yang dikenakan anaknya sudah terlalu kecil dan pada akhirnya mucul voice over yang menyarankan untuk dijual di Tokobagus.com. Iklan ini memiliki tanda-tanda yang mempresentasikan suatu pesan yang tersembunyi oleh visualisasivisualisasi melalui model iklan, warna ekspresi dan unsur lainnya serta dikemas dengan unik dan menarik sehingga membuat iklan ini memiliki tanda yang bisa dikaji secara semiotika untuk mendapatkan makna yang terkandung di dalam iklan tersebut. Disamping hal tersebut terdapat suatu mitos yang diangkat pada iklan ini yaitu mitos “barang bekas sebaiknya dijual saja”. Karena itu, peneliti ingin meneliti lebih jauh tentang makna yang tersembunyi pada iklan tersebut dan menafsirkannya. Dengan begitu peneliti dibantu dengan analisis semiotika dari Roland Barthes yang meneliti makna dibalik tanda-tanda yang ada pada iklan. Teori semiotika Roland Barthes mengembangkan dua sistem penandaan bertingkat, yang disebutnya sistem denotasi dan konotasi. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau konsep abstrak di baliknya. Pada sistem konotasi atau sistem penandaan tingkat kedua, rantai penanda/petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi. Disamping itu pada teori semiotika Roland Barthes terdapat peta tanda yang dapat membantu peneliti dalam memaknai sebuah tanda baik denotatif maupun konotatif yang terdapat pada iklan Tokobagus.com yang kemudian tanda-tanda denotatif maupun konotatif menjadi sebuah mitos yang terdapat pada iklan tersebut. 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Iklan Menurut Morrissan (2010:17), iklan atau advertising dapat didefinisikan sebagai “any paid form of non personal communication about an organization, product, service or idea by an indentified sponsor” (setiap bentuk komunikasi nonpersonal mengenai suatu organisasi, produk, servis, atau ide yang dibayar oleh satu sponsor yang diketahui). Adapun maksud kata “nonpersonal” berarti suatu iklan melibatkan media massa (televisi, radio, majalah, koran) yang dapat mengirimkan pesan kepada sejumlah besar kelompok individu pada saat bersamaan. Dengan demikian, sifat nonpersonal iklan berarti pada umumnya tidak tersedia kesempatan untuk mendapatkan umpan balik yang segera dari penerima pesan (kecuali
62
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
dalam hal direct response advertising). Karena itu sebelum pesan iklan dikirimkan, pemasang iklan harus betul-betul mempertimbangkan bagaimana audiensi akan menginterpretasikan dan memberikan respons terhadap pesan iklan dimaksud. Iklan merupakan betuk promosi yang paling dikenal dan paling banyak dibahas orang, hal ini dimungkinkan karena daya jangkauannya luas. Menurut Rendra dalam Widyatama (2005: 45), berdasarkan bentuknya, iklan televisi dapat dikelompokan dalam beberapa jenis iklan, yaitu: 1. Live Action Live action adalah video klip iklan yang melibatkan unsur gambar, suara dan gerakan secara bersama. Gambar yang diperlihatkan sangat beragam, meliputi kehidupan manusia, tempat dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Live action yang paling banyak diperluhatkan dalam iklan televisi adalah berupa cuplikan kehidupan sehari-hari. 2. Animation Animasi merupakan iklan yang dibangun berdasarkan gambaran-gambaran kartun (baik dua maupun tiga dimensi) baik gambar kartun yang digambarkan dengan keterampilan tangan maupun animasi komputer. Iklan bentuk animasi banyak digunakan untuk mengiklankan produk-produk yang membidik konsumen anak-anak. 3. Stop Action Stop action adalah iklan yang terbentuk perpaduan antara teknik live action dengan teknik animasi sehingga memberikan efek iklan yang dramatis. Stop action banyak digunakan produk makanan, minuman, obat dan sebagainya. 4. Still Still merupakan iklan yang disampaikan dengan cara tidak melibatkan unsur gambar gerak melainkan gambar beku (diam). 5. Musik Musik yaitu iklan televisi yang disampaikan melalui musik sebagai media penyampaian pesan. 6. Super Impose Super impose adalah bentuk iklan televisi dalam bentuk gambar iklan yang diperhatikan di atas gambar lain.
63
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
7. Program Sponsor Program Sponsor adalah bentuk iklan televisi yang dari pihak pengiklan atau sponsor membiayai program acara televisi tertentu dan sebagai imbalannya sponsor tersebut dapat menyampaikan pesan iklan dengan mendominasi. Program sponsor dapat melakukan blocking time yaitu acara sponsor membeli waktu siaran televisi selam durasi tertentu dimana waktu yang telah dibelinya tersebut digunbakan untuk menyampaikan pesan. 8. Running Text Running text adalah bentuk dari iklan televsi yaitu pesan yang diperlihatkan muncul secara perlahan bergerak dari kanan masuk pada layar lalu menghilang pada layar sebelah kiri. Biasanya running text diperlihatkan dibawah layar sehingga tidak mengganggu tayangan yang sedang berlangsung. 9. Backdrop Backdrop adalah bentuk iklan televisi yang pesan iklan diperlihatkan pada latar belakang acara yang diadakan. Backdrop dapat berupa gambar still maupun klip iklan. 10. Caption Caption adalah bentuk iklan televisi yang menyerupai super impose. Bedanya dalam caption pesan yang digunakan hanya berupa tulisan saja yang muncul dibawah layar. Biasanya untuk mendukung iklan. 11. Credit Title Credit title merupakan bentuk iklan televisi yaitu iklan yang biasaya berupa gambar still diperlihatkan pada bagian akhir ketika sebuah acara sudah selsai. 12. Ad Lip Ad lip adalah bentuk iklan televisi yang pesan iklannnya disampaikan secara langsung oleh penyiar, baik diantara acara yang satu dengan yang lain maupun disampaikan oleh pembawa program acara tertentu. 13. Property Endorsement Dalam siaran televisi apapun yang diperlihatkan dalam layar dapat digunakan sebagai iklan.
64
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
2.1.1. Elemen Iklan Di dalam sebuah iklan tendapat berbagai macam elemen yang saling mendukung untuk membentuk iklan itu sendiri. Menurut Rositer dan Percy (2012: 27-28) iklan secara umum terdiri dari enam elemen: 1. Heard Word and Sound Effect (kata-kata yang didengarkan dan efek suara) Suara iklan memuat kata-kata yang terdengar dan efek suara tertentu dalam iklan agar diketahui apa yang disampaikan. 2. Music Ilustrasi musik yang terdengar dalam suatu tayangan iklan ini dibagi dalam dua jenis: jingle dan musik latar belakang. 3. Seen Word (kata-kata yang terlihat) Kata-kata yang terlihat dalam tayangan iklan untuk menegaskan informasi yang disampaikan dalam iklan untuk mendukung manfaat dari produk yang diiklankan. 4. Picture (gambar) Gambar-gambar yang digunakan dalam iklan berhubungan dengan objek yang diiklankan. 5. Color (warna) Komposisi keserasian warna dan pengaturan cahaya dari objek yang di iklankan.
Warna
Tabel 1 Asosiasi Suasana Oleh Warna Asosiasi
Merah
Cinta, nafsu, kekuatan, berani, menarik
Kuning
Cerah,
bijaksana,
bahagia,
hangat,
pengecut Biru
Damai, setia, depresi, lembut, iklas
Ungu
Misteri, kuat, formal, pendiam, agung
Hitam
Kematian, keahlian, kuat, duka cita, resmi
Hijau
Tumbuh, harapan, murni, cinta, terang
Putih
Senang, harapan, murni, cinta, terang
Sumber: Marian L. Davis dalam Darmaprawira (2002: 37) 6. Movement (gerakan) Dalam iklan yang mempengaruhi emosi seseorang untuk larut di dalamnya. Movement ini meliputi adegan dan fragmen.
65
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Gambar 1 Contoh Gerakan Isyarat
Sumber: Stewart L. Tubb & Slyvia Moss dalam Sobur (2009) 2.1.2. Iklan Pada Media Televisi Penempatan iklan pada media tertentu sangat menentukan efektifitas penyampaian pesan tersebut terhadap khayalak, termasuk iklan Tokobagus.com yang menjadi fokus penelitian ini yang menempatkan iklannya pada media televisi. Menurut Raymon (1993) yang dikutip oleh Bungin (2008: 107) iklan bagaikan sebuah benda magis yang dapat mengubah komoditas ke dalam gemerlapan yang memikat dan mempesona. Sebuah sistem yang keluar dari imajinasi dan muncul ke dalam dunia nyata melalui media. Apa yang menarik dari iklan televisi adalah teknik pengambilan gambar (shot) dari kamera. Pengambilan gambar pada iklan televisi yang berfungsi sebagai penanda yang masing-masing mempunyai makna tersendiri. Selain shot kamera yang dikenal juga dikenal gerakan kamera (camera moves) yang berfungsi sebagai penanda. Di bawah ini adalah tabel tentang teknik pengambilan gambar dan pergerakan kamera serta maknanya.
Penanda
Tabel 2 Teknik Pengambilan Gambar Definisi Pertanda
(pergerakan kamera) Pan down
(makna) Kamera mengarah
Kekuasaan, kewenangan
ke bawah Pan up
Kamera mengarah
Kelemahan, pengecilan
ke atas Dolly in
Kamera bergerak
Observasi, fokus
kedalam Close up
Hanya wajah
Keintiman
66
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Medium shot
Hampir seluruh
Hubungan
tubuh Long shot
Full shot
Setting dan
Personal konteks, scope,
karakter
jarak public
Seluruh tubuh
Hubungan sosial
Sumber: Berger (2000: 33-34)
Dalam menganalisis iklan Tokobagus.com, karena media yang digunakan adalah televisi maka tentu saja iklan ini menggunakan unsur visual serta audio. Ada gramatika yang berlaku dalam iklan ini. Penyusunan gambar, pemhambilan gambar yang baik. Meliputi visualisasi, pictuarization dan editing. Visualisasi merupakan pengungkapan ide, gagasan yang telah dituangkan dalam rangkaian kata-kata yang menjadibentuk gambar. Ada hal-hal yang harus diperhatikan: komposisi, ukuran, teknik pembingkaian. Pictuarization adalah teknik menghubung gambar satu dengan yang lainnya sehingga menjadi satu seri gambar yang menarik karena hal itu menjadi kunci keberhasilan gamabr. Editing merupakan gambar dalam urutan adegan sehingga mampu menunjuka suatu kontinuitas yang baik dalam arti yang wajar dan logis. Menurut Bovee dalam Bungin (2008: 111), iklan televisi adalah salah satu dari iklan lini atas (above-the-line). Umumnya iklan televisi terdiri atas iklan sponsorship, iklan layanan masyarakat, iklan spot, promo ad, dan iklan politik. Iklan di televisi memiliki berbagai kelebihan dibandingkan dengan jenis media lainnya yang mencakup daya jangkau luas, selektivitas, fleksibilitas, fokus perhatian, kreativitas dan efek, prestise, serta waktu tertentu. Kelebihan iklan televisi dipaparkan lebih jelas menurut Morrissan (2010: 240) yaitu: 1. Daya Jangkau Luas Harga pesawat televisi yang semakin murah menyebabkan banyak orang yang sudah menikmati siaran televisi. 2. Selektivitas dan Fleksibilitas Televisi dapat menjangkau audiensi tertentu yang lebih selektif karena adanya variasi komposisis audiensi sebagai hasil dari isi program, waktu siaran, dan cakupan geografis televisi.
67
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
3. Fokus Perhatian Siaran iklan televisi akan selalu menjadi pusat perhatian audiensi pada saat iklan itu ditayangkan. 4. Kreativitas dan Efek Televisi merupakan media iklan yang paling efektif karena dapat menunjukkan cara bekerja suatu produk pada saat digunakan. 5. Prestise Perusahaan yang mengiklankan produknya iklan di televisi biasanya akan menjadi sangat dikenal orang. 6. Waktu Tertentu Suatu produk dapat diiklankan di televisi pada waktu-waktu tertentu ketika pembeli potensialnya berada di depan televisi. 2.2. Semiotika 2.2.1. Pengertian Semiotika Menurut Littlejohn (1996: 64), tanda-tanda (sign) adalah basis dari seluruh komunikasi. Manusia dengan perantaraan tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Banyak hal bisa dikomunikasikan di dunia ini. Semiotika sendiri lahir dari kajian teori mengenai asal-usul bahasa yang telah lama menjadi objek kajian para ahli psikologi, antropologi, dan filsafat. Menurut Sobur (2013: 5), semiotika berakar dari pemikiran Ferdinand de Saussure. Meskipun lebih menaruh perhatian pada tanda sebagai sebuah sistem dan struktur, tetapi tidak berarti mengabaikan penggunaan tanda secara konkret oleh individu-individu di dalam konteks sosial. Semiotika komunikasi yang mempunyai jejaknya pada pemikiran Peirce, meskipun menekankan ‘produksi tanda’ secara sosial dan proses interpretasi yang tanpa akhir (semiosis), akan tetapi tidak berarti mengabaikan sistem tanda. Kedua semiotika ini justru hidup dalam relasi saling mendinamisasi. Dalam definisi Saussure, semiologi merupakan “sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat” dan dengan demikian menjadi bagian dari displin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang mengaturnya. Pada jenis kedua, tidak dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Sebaliknya, yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima
68
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasinya. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Menurut Littlejohn (1996: 64) Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dengan suatu tanda. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan sambil, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentang tanda merujuk kepada semiotika. Pines menyebutkan dalam Berger (2000: 14). Dengan tanda-tanda, kita mencoba mencari keteraturan di tengah-tengah dunia yang centang-penerang ini, setidaknya agar kita sedikit punya pegangan, “Apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah mengajarkan kita bagaimana menguraikan aturan-aturan tersebut dan membawanya pada sebuah kesadaran.” 2.2.1.1.
Semiotika Dalam Periklanan
Dalam komunikasi perikalanan, ia tidak hanya menggunakan bahasa sebagai alatnya, tetapi juga alat komunikasi lainnya seperti gambar, warna, dan bunyi. Iklan disampaikan melalui dua saluran media massa, yaitu; 1. Media cetak surat kabar, majalah, brosur, dan papan iklan atau billboard. 2. Media elektronik (radio, televisi, film). Pengirim pesan adalah, misalnya, penjual produk, sedangkan penerimanya adalah khalayak ramaiyang menjadi sasaran. Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya lewat system tanda dalam iklan. Iklan menggunakan system tanda yang terdiri atas lambang, baik verbal maupun yang berupa ikon. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama iklan radio, televisi, dan film. 2.2.2. Semiotika Roland Barthes Roland Barthes dikenal sebagai salah seoran pemikir strukturalis yang rajin mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Barthes (2001:208) menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peran sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 70-an.
69
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Ia berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsiasumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Ia mengajukan pandangan ini dalam Writing Degree Zero (1953) dan Critical Esssays (1964). Dalam setiap esainya, Barthes, seperti dipaparkan Cobley & Janz (1999: 44), membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologi tersebut biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat. Salah satu area penting yang dirambah oleh Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar menguls apa yang disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem yang lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemakanaan tataran kedua yang dibangun diatas bahasa sebagai sistem pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang didalam Mytologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Menurut Sobur (2009), semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiology, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Sistem tanda, menurut Barthes, dapat dipilih dalam dua artikulasi seperti dalam lingustik terdiri atas tingkatan, yakni ekspresi (E; Expression) dan tingkat isi (C; content) yang keduanya dihubungkan dengan suatu relasi (R; relation). Kesatuan dari tingkat-tingkat dan relasinya ini membentuk sebuah system (E R C). Gambar 1 Dua Sudut Artikulasi Barthes 1.konotasi E 2.denotasi E
C C
E
C
metabahasa E
C objekbahasa
Sumber: Barthes dalam Sobur (2006:70)
70
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Sistem signifikasi tanda yakni pada tingkat artikulasi pertama (gambar sebelah kiri), sistem primer (E R C) mengkonstitusi tingkat ekspresi untuk sistem kedua: E R C – R C. Pada proses ini system pertama berkorespondensi dangen tingkat denotasi dan sistem kedua dengan tingkat konotasinya. Pada artikulasi kedua (gambar sebelah kana), sistem primer (E R C) mengkonstitusi tingkat isi untuk system kedua: ER-ERC. Sistem pertama berkorespondensi dengan objek bahasa dan sistem kedua dengan metabahasa (metalanguange). Signifikasi dua tahap (two order of satisfaction) Barthes seperti terlihat dalam gambar berikut : Gambar 2 Peta Tanda Roland Barthes 1.Signifier (penanda)
2.Signified (petanda)
3. denotative sign (tanda denotatif)
4. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Sumber: Sobur (2009:69) Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Menurut Cobley dan Jansz (1999: 51), dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material; hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki tanda tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaaannya. Menurut Budiman (1999: 28), dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-
71
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
dua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Dengan teori Roland Barthes diatas, peneliti menggunakan teori tersebut untuk mengkaji objek penelitian iklan televisi Tokobagus.com versi “Barang Bayi Tak Terpakai” melalui makna denotatif, konotatif serta mitos yang ada pada teori Semiotika Roland Barthes. 2.2.2.1. Denotasi Menurut Fiske (2012: 140), tatanan signifikasi yang pertama adalah studi yang dilakukan Saussure. Pada tahap ini menjelaskan relasi antara penanda (signifier) dan petanda (signified) didalam tanda, dan antara tanda dengan objek yang diwakilinya (its referent) dalam realitas eksternalnya. Barthes menyebutnya sebagai denotasi. Denotasi merujuk pada apa yang diyakini akal sehat/orang banyak (common-sense), makna yang teramati dari sebuah tanda. 2.2.2.2.
Konotasi
Menurut Fiske (2012: 140) Konotasi merupakan istilah yang digunakan Barthes untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda kedua signifikasi tanda. Konotasi menjelaskan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pengguna dan nilai-nilai dalam budaya mereka. Hal ini terjadi ketika makna bergerak ke arah pemikiran subjektif atau setidaknya intersubjektif; yakni ketika interpretasi (interpretant) di pengaruhi sama kuatnya antara penafsir (interpreter) dan objek atau tanda itu sendiri 2.2.2.3. Mitos Menurut Fiske (2011: 120-121), mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berfikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua penanda, mitos merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda 2.2.2.4. Kode Menurut Bertens dalam Sobur (2006:63), “Sosok Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang giat mempraktikan model lingustik dan semiologi Saussure.” Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi daru suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Menurut Leche dalam Sobur (2009; 65-66), Barthes menciptakan lima kode yang ditinjaunya yakni:
72
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
1. Kode hermeneutik, yakni kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. 2. Kode semik, yakni kode konotatif yang banyak menawarkan banyak sisi. 3. Kode simbolik, yakni didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau perbedaan baik dalam taraf bnyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. 4. Kode proaretik, yakni kode tindakan atau lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang. 5. Kode gnomik, yakni banyaknya jumlah kode kultural. 2.2.2.5. Ideologi Pengertian yang paling umum terutama biasa dalam kalangan ilmuwan sosial adalah “ideologi” sebagai istilah bagi segala macam sistem nilai, moralitas, interpretasi dunia, pokoknya terhadap apa saja yang berupa “nilai” dan “berlawanan” dengan “pengamatan”, tanpa nada peyoratif, jadi netral. Ada tiga arti kata “ideologi” karena dipergunakan dalam arti yang berbeda-beda. Tak ada kesatuan pengetian tentang apa yang dimaksud dengan ideologi. Maka kita tidak dapat bicara tentang “ideologi” kecuali memerincikan dulu apa yang kita maksud. Berikut tiga arti ideologi; pertama adalah “Ideologi sebagai kesadaran palsu” yaitu kiranya kata ideologi paling umum dipergunakan dalam arti “kesadaran palsu”. Itu berlaku baik dikalangan filsuf dan ilmuwan sosial, maupun sebagian besar masyarakat di Barat. Kedua “ideologi dalam arti netral” yaitu arti kedua kata ideologi ini terutama ditemukan dalam negara-negara komunis yang menyebut Marxisme-Leninisme sebagai “ideologi komunisme”, dan mereka tidak malu, melaikan justru bangga, tetapi juga kita di Indonesia. Arti kedua itu netral dengan ideologi dimaksud keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap-sikap dasar rohani sebuah gerakan, kelompok sosial atau kebudayaan. Ketiga “ideologi: keyakinan yang tidak ilmiah” yaitu dalam filsafat ilmu-ilmu sosial yang berhaluan positivistik, segala pemikiran yang tidak dapat dites secara matematis-logis atau empiris disebut ideologi. Jadi segala penilaian etis dan moral, anggapan-anggapan normatif, begitu pula teori-teori dan pahampaham matafisik dan keagamaan atau filsafat sejarah.
73
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
2.2.2.6. Ideologi Kapitalisme Terlepas dari sejauh mana kita mengapresiasi; memahami atau memaknai pariwara iklan televisi tersebut, dalam bidang semiotika atau ilmu tanda para ahli telah menemukan berbagai cara untuk memahami suatu teks. Menurut Sobur (2001: 129), salah satu di antaranya adalah dengan memahami teks sebagai mitos untuk menemukan ideologi yang tersembunyi dalam teks. Kita bisa menemukan ideologi dalam teks dengan dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat di dalamnya. Salah satu cara adalah mencari mitologi dalam teks-teks semacam itu. Ideologi adalah sesuatu yang abstrak. Mitologi (kesatuan mitos-mitos yang koheren) menyajikan informasi makna-makna yang mempunyai wadah dalam ideologi. Ideologi harus dapat diceritakan. Cerita itulah mitos. Menurut Purwantari (1998:42), sebagai medium ideologis, sangat menarik mengamati dan membongkar isi pesan sebuah iklan. Terutama karena ia tidak semata-mata membentuk makna yang ideologis, namun juga karena makna ideolgis yang itu dibungkus oleh kepentingan akumulasi modal. Ini berarti, makna-makna ideologi yang diciptakan iklan dipakai oleh kapitalisme untuk kelangsungan hidupnya. Sebaliknya, perubahan dan perubahan kapital memungkinkan diproduksinya makna-makna ideologis yang baru. Ideologi kapitalisme berasal dari inggris abad ke-18, dan kemudian ia menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara. Para ilmuwan sepakat bahwa “Kapitalisme merupakan sebuah revolusi yang bersifat fundamental dalam pembentukan masyarakat modern.” Dewasa ini, kapitalisme dianggap sebagai suatu peradaban yang berakar pada sebuah ideologi yang muncul pada bagian terakhir abad pertengahan dan yang kemudian mencerminkan suatu “gaya hidup” (way of life). Dalam definisi Milton H. Spencer dalam Winardi (1986: 33) “Kapitalisme merupakan sebuah sistem organisasi ekonomi yang dicirikan oleh hak milik privat atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah, pabrik-pabrik, jalan-jalan kereta api, dan sebagainya) dan pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif.” 3. Metode Penelitian Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Metode ini digunakan karena untuk mengetahui tentang fenomena pemaknaan iklan televisi Tokobagus.com mengenai bentuk pemasaran melalui pemsangan iklan ditelevisi dan untuk selanjutya dari makna tanda-tanda tersebut dapat diketahui maksud isi pesan yang ingin di sampaikan pengiklan kepada khalayak umum. Data yang tersaji dalam penelitian ini bersifat
74
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
deskripsi kualitatif dimana hal ini untuk menjelskan makna-makna dalam gejala sosial tersebut. Pada penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah dengan metode analisis semiotika. Semiotika adalah ilmu tentang tanda. Semiotika merupakan studi mengenai arti dan analisis dari kejadian-kejadian yang menimbulkan arti (meaning-producing event). Dipilih sebagai metode penelitian karena semiotika bisa memberikan ruang yang luas untuk melakukan interpretasi terhadap iklan sehingga pada akhirnya bisa didapatkan makna yang tersembunyi dalam sebuah iklan. Metode analisis pendekatan semiotika bersifat interpretatif kualitatif, maka secara umum teknik analisis datanya menggunakan alur yang lazim digunakan dalam metode penulisan kualitatif, yakni mengidentifikasi objek yang diteliti untuk dipaparkan, dianalisis, dan kemudian ditafsirkan maknanya. Menurut Sobur (2003: 116), dalam mengkaji iklan melalui perspektif semiotika, mengkajinya melalui sistem tanda dalam iklan. Pada dasarnya, lambang yang digunakan dalam iklan terdiri atas dua jenis, yaitu verbal dan nonverbal. Lambang verbal adalah bahasa yang dikenal; lambang nonverbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan, yang tidak secara khusus meniru rupa atas bentuk realitas. Ikon adalah bentuk dan warna yang serupa atau mirip dengan keadaan sebenarnya seperti gambar benda, orang atau binatang. Ikon di sini digunakan sebagai lambang. Kajian sistem tanda dalam iklan juga mencakup objek. Objek iklan adalah hal yang diiklankan. 3.1. Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan langkah yang paling penting dalam sebuah penelitian karena tujuan utama dalam sebuah penelitian adalah mendapatkan data. Menurut Loflanf (Moleong, 2007:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini antara lain: 3.1.1. Data Primer Menurut Sugiyono (2010: 225), sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Data penelitian yang diperoleh langsung dari penelitian melalui objek penelitian iklan televisi Tokobagus.com versi anak kecil dalam bentuk format video yang didokumentasikan.
75
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
3.1.2. Data Sekunder Menurut Sugiyono (2010: 225), sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen. Data yang diperoleh oleh peneliti merupakan data melalui pengumpulan sumbersember yang relevan melalui buku-buku, karya tulis, jurnal ilimah dan artikel-artikel dari media online. Peneliti tidak melakukan teknik wawanacara dengan pihak-pihak yang terkait karena pada semiotika dokumen hasil karya ilimiah yang dianalisis secara mendalam. 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Shot Pertama Scene Kedua Pada shot pertama scene kedua ini ditampilkan dengan teknik pengambilan gambar long shot sehingga terlihat setting objek yang terdapat pada ruangan tesebut. Pada shot pertama scene kedua ini terlihat barang-barang yang disusun sedemikian rupa sehingga hampir semua barang terlihat pada satu frame shot tersebut. Di dalam shot tersebut telihat barang-barang perlengkapan bayi antara lain kuda-kudaan yang berwarna merah, baby walker, boneka panda berwarna hitam-putih, mainan bayi berupa boneka-boneka kecil pernak perniknya, pakaian bayi, lemari bayi berwarna putih, boneka sapi dan stroller yaitu kereta dorong bayi yang biasa digunakan untuk membawa bayi. Kemudian muncul voice over “Jual saja di Tokobagus.com, kalau bisa jadi duit kenapa engga.” Table 2 Deskripsi Visual Shot Pertama Scene Kedua NO
Shot/ Scene/
Tanda Visual
Durasi 12
1/1/2
Objek Narasi
Pengambilan
Audio
Gambar
Jual saja di Medium shot Tokobagus.com, (voice over) jual saja di Tokobagus.com, kalau bisa jadi duit kenapa engga.
detik
Keterangan
-
Muncul banyak barang yang tidak terpakai disertai price tag sambil
76
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
diiringi voice over “jual saja di Tokobagus.com, kalau bisa jadi duit kenapa engga." Sumber: Olah Data Penulis (2014) 4.1.1. Sistem Penandaan Tingkat Pertama (Denotasi) Pada shot pertama scene kedua ini menampilkan sejumlah barang yang cukup banyak dan berhubungan dengan perlengkapan bayi. Barang-barang tersebut diletakkan di atas lemari dan di lantai berwarna putih dan pada setiap barang tersebut dilengkapi dengan animasi tipografi berupa price tag atau harga pada setiap barang. Dengan teknik pengambilan gambar long shot memungkinkan semua barang telihat dengan jelas pada satu frame di dalam shot ini. Berikut barang- barang yang terdapat pada shot ini beserta price tag-nya, antara lain kuda-kudaan kayu berwarna merah 500.000, boneka panda yang berukuran cukup besar berwarna hitam-putih 65.000, baby walker 485.000, perlengkapan bayi 230.000, pakaian bayi 2.500.000, mainan bayi beserta pernak perniknya 35.000, lemari bayi 2.500.000, boneka sapi berwarna putih-hitam 40.000, dan yang terakhir stroller 625.000. Setelah muncul animasi tipografi yang berjumlah Rp. 6.980.000 jumlah itu adalah hasil penjumlahan dari semua barang yang tertera pada animasi sebelumnya. Pada shot ini pun muncul pesan verbal berupa voice over yang berisi kata-kata “Jual saja di Tokobagus.com, kalau bisa jadi duit kenapa engga.” Dari analisis di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pemaknaan tingkat pertama (denotasi) dalam shot pertama scene kedua ini adalah sejumlah barang perlengkapan bayi yang ditampilkan dengan animasi price tag pada setiap barang dan muncul voice over “Jual saja di Tokobagus.com, kalau bisa jadi duit kenapa engga.” 4.1.2. Sistem Penandaan Tingkat Kedua (Konotasi) Dari unit analisis yang teramati pada shot pertama scene kedua, peneliti mengungkapkan makna konotasi sebagai berikut: Pada shot pertama scene kedua ini diambil dengan teknik pengambilan gambar long shot yang dapat memperlihatkan setting tempat dan berbagai objek di dalamnya dengan lengkap, karena menurut Widagdo (2007: 8), fungsi dari teknik fotografi long shot yaitu menyampaikan keadaan obyek yang beraktivitas dengan keluasan suasana lingkungan dimana obyek berada. Long shot biasanya menyisakan area kosong yang seakan-akan merupakan area beraktivitas objek foto. Dalam shot ini sejumlah barang perlengkapan bayi
77
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
yang ditampilkan beserta animasi tipografi berupa price tag, barang-barang tersebut antara lain kuda-kudaan kayu berwarna merah 500.000, boneka panda yang berukuran cukup besar berwarna hitam-putih 65.000, baby walker 485.000, perlengkapan bayi 230.000, pakaian bayi 2.500.000, mainan bayi beserta pernak perniknya 35.000, lemari bayi 2.500.000, boneka sapi berwarna putih-hitam 40.000, dan yang terakhir stroller 625.000. Hal tersebut menunjukan bahwa barang bekas memilki nilai rupiah yang cukup tinggi jika dijual kembali. Setalah itu muncul pesan verbal melalui kata-kata yang terdengar melalui voice over yang berisi “Jual saja di Tokobagus.com, kalau bisa jadi duit kenapa engga.” Pesan verbal ini memilki makna bahwa barang bekas sebaiknya dijual saja di Tokobagus.com, karena Tokobagus.com merupakan situs online classified terbesar di Indonesia. Tokobagus.com menyediakan media yang mudah, cepat dan gratis bagi para penjual untuk memasang iklan dan sekaligus bagi pembeli untuk mencari beragam produk barang bekas dan barang baru untuk kebutuhan sehari-hari, mulai dari handphone, komputer, perangkat rumah tangga, hingga mobil dan sepeda motor, rumah dan properti, bahkan lowongan kerja dan layanan lainnya (http://www.tokobagus.com/about.html diakses 19 April 2014 00:24 WIB). Jadi melalui website Tokobagus.com kita dapat menjual berbagai jenis barang bekas termasuk barang-barang perlengkapan bayi bekas. Dari hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa pemaknaan tingkat kedua (konotasi) dalam shot pertama scene kedua ini adalah sejumlah barang perlengkapan bayi yang ditampilkan beserta animasi tipografi berupa price tag, memilki makna bahwa barang bekas memilki nilai jual yang cukup tinggi jika dijual kembali termasuk barang perlengkapan bayi bekas. Makna tersebut didukung dengan voice over “Jual saja di Tokobagus.com, kalau bisa jadi duit kenapa engga.” menunjukan bahwa barang bekas sebaiknya dijual di Tokobagus.com. 4.1.3. Mitos pada Shot Pertama Scene Kedua Makna denotasi dari shot pertama adalah pemaknaan tingkat pertama (denotasi) dalam shot pertama scene kedua ini adalah sejumlah barang perlengkapan bayi yang di tampilkan dengan animasi price tag pada setiap barang dan muncul voice over “Jual saja di Tokobagus.com, kalau bisa jadi duit kenapa engga.” Makna denotasi ini merupakan tanda denotatif atau denotative sign. Sedangkan makna konotasi dari shot pertama scene kedua ini adalah sejumlah barang perlengkapan bayi yang ditampilkan beserta animasi tipografi berupa price tag, memiliki makna bahwa barang bekas memilki nilai jual yang cukup tinggi jika dijual
78
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
kembali termasuk barang perlengkapan bayi bekas. Makna tersebut didukung dengan voice over “Jual saja di Tokobagus.com, kalau bisa jadi duit kenapa engga.” menunjukan bahwa barang bekas sebaiknya dijual di Tokobagus.com. Makna konotasi ini menjadi tanda konotatif atau connotative sign. Gambar 3 Peta Tanda Shot Pertama Scene Kedua Barang Barang bekas perlengkapan perlengkapan bayi bayi (Penanda) (Petanda) Barang bekas perlengkapan bayi memiliki nilai jual (Tanda Denotasi) Barang perlengkapan bayi bekas memiliki nilai jual pada Tokobagus.com (Penanda Konotasi)
Barang bekas dapat dijual pada Tokobagus.com sebagai lembaga penyedia iklan gratis (Petanda Konotasi)
Barang bekas memilki nilai jual dan dapat dijual melalui Tokobagus.com sebagai website penyedia layanan iklan gratis (Tanda Konotasi) Sumber: Olah Data Penulis (2014) Melalui price tag yang ditampilkan melalui animasi pada shot pertama scene kedua ini menunjukan bahwa hampir setiap barang bekas memilki nilai ekonomis atau nilai jual di pasaran, namun dari setiap barang yang ditampilkan pada shot ini ada salah satu barang yang tampak kurang etis jika dijual kembali yaitu baju bayi bekas (pakaian bayi) karena biasanya orang Indonesia mempunyai kebiasaaan bahwa barang bekas seperti baju atau baju bayi yang sudah tidak terpakai lebih baik diwariskan kepada sanak-keluarga atau keluarga terdekat yang sedang membutuhkan. Kebiasaan lainya adalah disimpan untuk kemudian di berikan kepada seseorang yang membutuhkan baju tersebut. Dengan penjelasan tersebut menunjukan bahwa iklan Tokobagus.com versi “Barang Bayi Tak Terpakai” mengkonstruksi makna bahwa barang perlengkapan bayi salah satunya adalah pakaian bayi sebaiknya dijual saja agar mendapatkan uang tambahan, ini menunjukan adanya sebuah ideologi kapitalisme. Hal ini menunjukan bahwa nilai barang bekas dilihat dari aspek ekonomi bukan lagi secara moral sehingga apa pun itu bisa dijadikan sebagai modal untuk menghasilkan uang termasuk pakaian
bayi
bekas
sekalipun
yang
budayanya
pada
masyarakat
Indonesia
79
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
diwariskan/diberikan kepada sanak-keluarga terdekat sehingga jika baju bayi tersebut dijual untuk mendapatkan keuntungan terkesan tidak etis karena tidak sesuai dengan budaya yang diterapkan masyarakat sekitar. 4.2. Shot Kedua Scene Kedua Pada shot kedua scene kedua ini merupakan penutup dari rangkaian shot-shot dalam iklan ini yang di tampilkan melalui animasi berupa kemunculan logo Tokobagus.com beserta taglinenya yang dikemas dengan warna merah dan memilki latar berwarna putih. Pada shot ini juga diiringi backsound suara musik yang cukup ceria dengan kemunculan dua buah kotak persegi tidak sama sisi yang di dalam kedua kotak tesebut memilki titik dan garis melengkung pada sisi bagian bawah. Kedua persegi tersebut muncul dari kedua sisi kemudia bertemu pada sisi kanan dan bergabung manjadi sebuah logo yang membentuk emotikon smile. Pada shot ini terdengar juga voice over “Tokobagus.com, cara tepat jual cepat!”. Table 3 Deskripsi Visual Shot Kedua Scene Kedua NO
14
Shot/ Scene/ Durasi 2/3/ 3 detik
Tanda Visual
Objek Narasi Audio
Pengambilan Gambar
Keterangan
Tokobagus.com cara tepat jual cepat
Medium shot
-
dan ditutup dengan munculnya logo Tokobagus.com disertai voice over “Rokobagus.com cara tepat jual cepat” Sumber: Olah Data Penulis (2014)
4.2.1. Sistem Penandaan Tingkat Pertama (Denotasi) Shot kedua scene kedua ini ditampilkan dengan animasi tipografi berupa logo Tokobagus.com yang memilki warna merah kemudian diikuti dengan munculnya logo berbentuk persegi empat berwarna merah dari kedua sisi frame pada shot ini dan kuduanya saling berputar dan bersatu pada sisi bagian kiri Tokobagus.com. Pada persegi itu pula terdapat sebuah titik dan garis lengkungkungan. Pada tampilan ini juga diikuti dengan pesan
80
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
verbal yang disampaikan melalui voice over “Tokobagus.com, cara tepat jual cepat”. Pada shot ini ditampilkan dengan latar atau background berwarna putih yang berlawanan dan cukup kontras jika dibandingkan dengan warna logo Tokobagus.com yang berwarna merah sehingga memuncukan kesan yang difokuskan pada objek logo pada shot ini. Pada pemaknaan denotasi disimpulkan shot ini menyampaikan sebuah logo dan tagline Tokobagus.com melalui animasi dan voice over yang ditampilkan. 4.2.2. Sistem Penandaan Tingkat Kedua (Konotasi) Dari hasil unit analisis yang diamati oleh peneliti pada shot kedua scene kedua, peneliti mengungkapkan makna konotasi sebagai berikut: Dengan munculya animasi berupa tipografi dan logo Tokobagus.com yang berwarna merah dan memilki latar berwarna putih sehingga menumbulkan kesan pada shot ini difokuskan kepada tipografi dan logo Tokobagus.com. Warna merah sendiri memilki makna cinta, kekuatan, berani, dan menarik. Warna merah dalam logo tersebut mewakili bahwa Tokobagus.com memilki kekuatan sebagai salah satu situs e-commerce yang memiliki jasa iklan gratis untuk memasarkan produk. Pada sisi sebelah kiri tipografi Tokobagus.com terdapat sebuah logo berupa persegi yang tidak memilki sama sisi yang memilki desain yang cukup simple. Retapi bukan hanya simple dan minimalis saja kesan yang muncul di benak peneliti, melainkan makna yang tersirat di balik logo tersebut. Sepintas logo tersebut cuma ilustrasi wajah orang (mata dan mulut yang tersenyum). Namun bila diperhatikan dengan sudut pandang lain, logo tersebut mirip dengan ilustrasi orang sedang bersalaman. Mungkin itulah kesan yang sengaja disisipkan di dalam logo oleh pihak Tokobagus.com. Seperti yang kita ketahui bahwa Tokobagus.com adalah layanan jual beli online di mana mereka tidak menjual barang, tetapi cuma sebagai wadah jual beli tempat di mana penjual memasang iklan dagangannya di Tokobagus.com, kemudian pembeli yang melihat dan tertarik bisa menghubungi penjual melalui nomor yang tercantum di iklan penjual. Setelah itu mereka bisa melakukan perjanjian untuk bertemu langsung atau pembeli minta barang dikirim melalui jasa pengiriman. Ketika pembeli dan penjual sudah saling sepakat biasanya mereka bersalaman. Disinilah kesan yang menurut peneliti ingin dibangun oleh pihak Tokobagus.com. Di dalam shot ini juga terdapat pesan verbal yang di sampaikan melalui voice over yang berisi pesan “Tokobagus.com - cara tepat jual cepat” Pesan tersebut adalah tagline yang
81
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
berusaha membangun posisi di benak penonton bahwa Tokobagus.com adalah tempat yang tepat untuk menjual barang terutama barang bekas seperti yang digambarkan pada iklan Tokobagus.com versi “Barang Bayi Tak Terpakai”. Tagline sendiri merupakan salah satu cara mengasosiasikan atau menghubungkan merek dengan pelanggan dan konsumen potensial. Ia sering digunakan secara bersamaan mendampingi logo. Tagline berupa susunan kata atau frase yang digunakan untuk merangkum atau mengekspresikan tujuan dan semangat merek. Kehadiran tagline bukanlah sesuatu yang mutlak. Namun ia mempunyai peran unik dan manfaat khusus dalam mendukung komunikasi merk. Secara spesifik, tagline digunakan untuk menambah energi aktif pada logo, memberikan dorongan motivasi pada khalayak, mengonsolidasikan filosofi perusahaan atau merek, dan memberikan detail singkat tentang apa yang ditawarkan dan dijanjikan merek (brand promise). Berbeda dengan byline, tagline mampu mendeskripsikan atau mendramatisasi manfaat-manfaat fungsional dan emosional. Tagline memberitahu khalayak bagaimana mereka merasakan terhadap merek tersebut, mencerminkan kepribadian merek, memberi kejelasan merek, menciptakan makna pada merek, membedakan merek dengan kompetitor, dan bersifat visioner. Di dalam dunia e-commerce tampaknya tidak hanya Tokobagus.com yang memilki tagline yang baik dan tepat, kompetitornya pun seperti Berniaga.com menggunakan tagline “jualnya gampang, belinya senang” untuk memperkuat posisi
mereka
sebagai
website
e-commerce
penyedia
layanan
iklan
gratis
(http://www.berniaga.com/ diakses 23 april 2014 23.40). Dari hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa pemaknaan tingkat kedua (konotasi) dalam shot kedua scene kedua ini adalah Tokobagus.com sebagai website ecommerce yang menyediakan media yang mudah, cepat dan gratis bagi para penjual untuk memasang iklan dan sekaligus bagi pembeli untuk mencari beragam produk barang bekas. Pesan tersebut dimunculkan melalui tagline dan logo Tokobagus.com 4.2.3. Mitos pada Shot Kedua Scene kedua Makna denotasi dari shot kedua scene kedua ini adalah pada pemaknaan denotasi. Disimpulkan shot ini menyampaikan sebuah logo dan tagline Tokobagus.com melalui animasi dan voice over yang ditampilkan. Sedangkan makna konotasi dari shot kedua scene kedua ini adalah Tokobagus.com sebagai situs e-commerce yang menyediakan media yang mudah, cepat dan gratis bagi para penjual untuk memasang iklan dan sekaligus bagi pembeli untuk
82
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
mencari beragam produk barang bekas. Pesan tersebut dimunculkan melalui tagline dan logo Tokobagus.com. Gambar 4 Peta Tanda Shot Kedua Scene Kedua Tokobagus.com Tokobagus.com adalah e(Penanda) commerce (Petanda) Tokobagus.com sebagai situs yang dapat menjual barang (Tanda Denotasi) Tokobagus.com sebagai situs yang Tokobagus.com situs jual menyediakan layanan iklan gratis beli di Indonesia yang (Penanda Konotasi) menyediakan jasa iklan gratis (Petanda Konotasi) Tokobagus.com merupakan situs e-commerce terbesar di Indonesia yang menyediakan layanan pemasangan iklan gratis. (Tanda Konotasi) Sumber: Olah Data Penulis (2014)
Barang bekas yang biasanya disimpan atau di wariskan kepada keluarga, namun pada iklan ini dijelaskan bahwa barang bekas memilki nilai jual, yang pada iklan ini brang bekas diwakili melalui barang perlengkapan bayi yang sudah tidak bisa dipakai. Iklan Tokobagus.com versi “Barang Bayi Tak Terpakai” ini berusaha menyampaikan pesan bahwa Tokobagus.com adalah tempat yang tepat untuk menjual barang bekas dengan cepat sehingga dapat mendapatkan penghasilan tambahan dari pada barang tersebut disimpan. Tokobagus.com menyediakan media yang mudah, cepat dan gratis bagi para penjual untuk memasang iklan dan sekaligus bagi pembeli untuk mencari beragam produk 5. Simpulan dan Saran 5.1. Simpulan Dari hasil penelitian melalui unit analisis yang terdiri dari tiga belas shot dan dua scene dalam iklan Tokobagus.com versi “Barang Bayi Tak Terpakai” periode bulan Januari – April tahun 2014, maka peneliti memperoleh temuan sebagai berikut: 5.1.1. Makna Denotasi Makna denotasi yang terangkum dari tiga belas shot di dalam dua scene yang di teliti dari iklan Tokobagus.com versi “Barang Bayi Tak Terpakai” yaitu bahwa iklan ini menggunakan
83
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
tiga orang tokoh atau model iklan yang terdiri dari laki-laki dewasa, anak kecil (balita umur lima tahun), dan yang terakhir adalah seorang wanita. Dengan menggunakan setting ruangan di sebuah kamar tidur anak yang terlihat dari perlengkapan tidur yang terdapat pada ruangan tersebut seperi tempat tidur berukuran sedang disudut sebelah kiri, dua buah lemari pakaian berwarna putih dan perlengkapan anak seperti boneka. Shot pertama dimulai ketika seorang laki-laki yang sedang memakaikan baju kepada anak kecil tersebut tahap demi tahap dari memakaikan baju dan celana. Tak lama berselang setalah memakaikan pakaian datang seorang wanita yang membawa katung plastik dan berpakaian dengan jaket dan helm menanyakan apa yang sedang dikerjakan oleh laki-laki dewasa tersebut kepada anak kecil, wanita tersebut terkejut ketika baju yang dipakaikan oleh laki-laki dewasa tersebut telalu kecil dan sempit dan menyarankan mengambil baju di laci lemari yang berbeda bukan lemari baju bayi. Pada akhir shot ini di akhiri oleh scene kedua yang didalamnya terdapat dua shot, dengan shot memilki tampilan seluruh perlengkapan bayi seperti pakaian, perabotan lainya dan disandingkan dengan animasi price tag pada setiap barang bayi tersebut. Sedangkan pada shot kedua di tampilkan sebuah logo Tokobagus.com diringi dengan voice over berisi tagline. Secara garis besar makna denotasi yang terdapat pada iklan Tokobagus.com versi “Barang Bayi Tak Terpakai” ini berisikan kegiatan sebuah keluarga kecil yang didalamnya terdapat aktifitas seperti yang digambarkan pada iklan ini: Seorang lakilaki yang sedang memakaikan baju kepada seorang anak untuk kemudian ditegur oleh seorang wanita karena baju yang dipakaikan terlalu kecil dan diakhiri dengan sebuah voice over yang memberikan saran bahwa barang bayi tak terpakai sebaiknya dijual saja di Tokobagus.com. 5.1.2. Makna Konotasi Makna konotasi yang peneliti temukan dari ketiga belas shot dan dua scene iklan Tokobagus.com versi “Barang Bayi Tak Terpakai” adalah sebuah keluarga kecil, sedang melakukan rutinitasnya dan di dalamnya terdapat pembagian tugas pada setiap anggota keluarga seperti yang digambarkan pada iklan ini seorang ayah merawat anaknya dengan cara memakaikan anaknya pakaian dan setelah itu muncul seorang ibu yang baru saja pulang dari berbelanja kebutuhan pokok sehari-hari, memberi teguran kepada suami bahwa pakaian yang dipakaikan kepada anak mereka terlalu kecil karena baju tersebut baju anak sewaktu masih bayi.
84
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Dari keseluruhan adegan tersebut menggambarkan sebuah akibat barang bekas yang masih tersimpan. Pada akhir iklan ini disampaikan Tokobagus.com sebagai media yang tepat untuk menjual barang bekas dan mendapatkan keuntungan melalui barang bekas yang di jual melalui situs Tokobagus.com. Karena Tokobagus.com adalah situs jual yang menyediakan layanan iklan gratis dan merupakan suatu langkah yang tepat jika ingin menjual barang bekas dengan cepat. 5.1.3. Mitos Dari hasil penelitian pada iklan Tokobagus.com versi “Barang Bayi Tak terpakai” yang digambarkan melalui situasi keluarga kecil yang sedang melakukan rutinitas mereka. Pada kegiatan rutinas tersebut peneliti menemukan beberapa mitos mengenai aktivitas yang ditampilkan pada iklan tersebut seperti seorang ayah yang sedang merawat anaknya dengan memakaikan pakaian, hal ini bersinggungan dengan mitos bahwa merawat anak seperti memakaikan baju identik dengan pekerjaan seorang ibu. Sedangkan pada shot-shot setelah itu ada sebuah situasi dan kondisi di mana seorang ayah tidak tahu bahwa pakaian yang dipakaikan kepada anaknya terlalu kecil hal ini membuktikan mitos mengenai seorang ayah yang tidak terlalu paham mengenai cara merawat anak, dalam kasus ini digambarkan dengan memakaikan pakaian kepada anak. Karena seoarang ayah yang biasanya identik dengan sibuk bekerja di luar rumah dan tidak begitu berurusan dengan detail-detail merawat anak seperti memakaikan pakaian yang tepat dan pas. Pada bagian akhir dari iklan ini disampaikan melalui voice over “barang bayi ada yang tak terpakai, ngapain disimpan?, jual saja di Tokobagus.com, kalau bisa jadi duit kenapa engga?”. Melalui pesan verbal yang di sampaikan melalui voice over tersebut hal tersebut menunujukan bahwa iklan Tokobagus.com versi “Barang Bayi Tak Terpakai” mengkonstruksi makna bahwa barang perlengkapan bayi terutama pakaian bayi yang sudak tak terpakai, sebaiknya dijual saja agar mendapatkan uang. Hal ini bersinggungan dengan mitos bahwa barang bekas seperti pakaian terutama pakaian bayi sebaikanya di berikan kepada keluarga yang membutuhkan atau diwariskan kepada keluarga lain yang membutuhkan. Dari pengamatan tersebut peneliti menyimpulkan bahwa pada iklan ini terdapat idiologi kapitalisme. Kapitalisme adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya.
85
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
5.2. Saran Setelah dilakukan penelitian dan melihat hasil dari penelitian ini, maka saran yang dapat peneliti berikan adalah: 1) Pada saat menonton sebuah iklan, sebaiknya penonton atau audiens tidak pasif menerima segala informasi yang disuguhkan dalam iklan, tetapi bersikap lebih kritis dalam memahami pesan yang disampaikan oleh pembuat iklan. sehingga audiens tidak mudah terpengaruh dan lebih mengerti maksud makna dari pesan yang diiklankan. 2) Diharapkan kedepannya untuk iklan Tokobagus.com dapat menyuguhkan ide-ide dan tema yang lebih segar, dan kreatif dalam penyampaian pesannya. Tetapi tetap menjaga dan tidak melupakan etika periklanan.
86
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Daftar Pustaka Buku Alexander, Morrissan. 2010. Periklanan: Komunikasi Pemasaran Terpadu. Ramdina Prakarsa.
Jakarta.
Asa Berger, Arthur. 2000. Tanda-tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Barthes, R. 2007. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa: Semiotika atau Semiologi Tanda, Simbol, dan Representasi. Yogyakarta: Jalasutra Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Cobley, Paul dan Litza Jansz, 1999. Introducing Semiotics. New York: Icon Books- Totem Books. Effendi, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti Fiske, John. 2011. Cultural and Communication Srudies. Yogyakarta: Jalasutra. Ghony, Djunaidi., Almanshur, Fauzan. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: ArRuzz Media Hardjana. 2003. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Yogyakarta: Kanisius. Kasali, Rhenald. 1992. Manajemen Periklanan. Jakarta: Temprint Lee, and Carla Johnson. 2004. Prinsip-Prinsip Pokok Periklanan Dalam Perspektif Global. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Littlejohn, Stephen W dan Foss, Karen A. 2009. Theories of Human Communication. Usa: Thomson Higher Education. Moleong, Lexi. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung, Remaja Rosdakarya. Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Piliang, Yasraf Amir. (2003). Hipersemiotik: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta, Jalasutra Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest (ed). 1996. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
87
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung. PT Remaja Rosdakarya. Sugiyono, Rachmat. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: Alfabeta. Suseno, Franz-Magnis. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kasinus. Syafiie, I.Kencana. 2009. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Pustaka Reka Cipta Widyatama, Rendra. 2007. Pengantar Periklanan. Yogyakarta: Pustaka. Winardi. 1986. Kapitalisme vs Sosialisme. Bandung: Remadja Karya CV.
Situs http://swa.co.id/tag/nielsen (diakses pada tanggal 20 februari 2014 pukul 10.00 WIB) http://www.the-marketeers.com/ (diakses pada tanggal 20 februari 2010 pukul 13.00 WIB) http://www.tokobagus.com/ (diakses pada tanggal 21 februari 2014 pukul 09.00 WIB) http://www.tokobagus.com/about.html (diakses pada tanggal 21 februari 2014 pukul 14.00 WIB) http://arfen-media.blogspot.com /2012/10/liberalisme-kapitalisme-dan diakses pada tanggal 22 april 2014 23.12 WIB)
sosialisme.html
88
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
MENGOMUNIKASIKAN IDEOLOGI LEWAT SENI (Redefinisi Peran Seni melalui Kasus Uni Soviet dan Seni Realisme Sosialis) Oleh: Syarif Maulana, S.IP., M.I.Kom17 Abstrak Di awal abad ke-20, komunisme berkembang dari sebuah pemikiran filosofis, menjadi ideologi politik dan juga ekonomi sebuah negara. Uni Soviet adalah yang pertama kalinya menjadikan paham komunisme –yang dicetuskan oleh Karl Marx, seorang pemikir asal Jerman di abad ke-19- sebagai sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di bawah pimpinan Vladimir Lenin, seluruh masyarakat diharapkan untuk bersatu agar cita-cita komunisme dapat tercapai: Mewujudkan suatu komunitas yang setara dan tidak ada ketimpangan sosial (sebagaimana lawan ideologi mereka yaitu kapitalisme). Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu yang dilakukan adalah mengubah peran seni. Seni yang tadinya ditujukan murni untuk keluhuran estetika semata, oleh Lenin diredefinisi menjadi bertujuan untuk kepentingan komunisme. Karya seni rupa misalnya, harus melukis hal-hal yang terkait dengan ideologi, seperti lukisan buruh, petani, atau peristiwa-peristiwa kemenangan kaum komunis. Artikel ini hendak menunjukkan bahwa peran seni dalam peradaban tidak selalu stabil dan objektif. Ada masa dimana seni merupakan bagian dari ritual keagamaan, ada masa dimana seni merupakan ekspresi pribadi yang murni dari pengaruh eksternal, dan ada masa dimana seni merupakan campur tangan kekuasaan untuk mewujudkan suatu cita-cita ideologi. Keyword: seni, ideologi, realisme sosialis, uni soviet
17
Pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Telkom University.
89
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Ketika komunisme awal mula berkuasa di Rusia pada tahun 1917 di bawah Vladimir Lenin, ada perdebatan seru tentang bagaimana sebaiknya ideologi komunis memperlakukan seni. Perdebatan tersebut terjadi di Teater Bolshoi antara Lenin dan pengikut-pengikutnya. “Seni harus diberangus karena identik dengan kaum borjuis. Seni adalah sarana pemuas kaum borjuis yang tidak lagi layak berada di tengah-tengah ideologi kita yang memihak kaum proletar,” ujar para pengikutnya. Lenin kemudian berpikir sejenak sebelum akhirnya angkat bicara, “Tanpa seni, kita nol besar. Tanpa seni, kita bukan siapa-siapa dan hidup kita menjadi kering. Maka itu pertahankan seni, tapi ubah tujuannya. Tujuan seni tidak lagi sebagai pemuas kaum borjuis melainkan kita belokkan arahnya menjadi memihak kaum proletar.” Sekilas Tentang Komunisme Komunisme diawali dari pemikiran Karl Marx pada abad ke-19 yang melihat sejumlah ketertindasan yang dialami kaum buruh oleh kaum pemilik modal pada jaman revolusi industri. Ia melihat ketertindasan tersebut sebagai sesuatu yang lumrah dalam sejarah. Artinya, sejarah dibentuk oleh pertentangan antara kelas buruh yang ia beri nama dengan proletar dan kelas pemilik modal yang ia beri nama dengan borjuis. Berbeda dengan pendahulunya yaitu George Wilhelm Friedrich Hegel yang mengatakan bahwa pertentangan kelas tersebut sudah bagian dari keniscayaan sejarah, Marx justru menawarkan suatu pemikiran yang persis kebalikannya: Pertentangan kelas bukan keniscayaan sejarah, justru tugas para pemikir adalah memikirkan bagaimana caranya pertentangan kelas tidak terjadi lagi dalam sejarah (dalam terminologi Marx: “Para filsuf hanya memikirkan dunia, padahal yang terpenting adalah mengubahnya!”). Bagaimana cara agar pertentangan kelas tersebut diakhiri? Marx mengatakan bahwa secara ekonomi, masyarakat harus mengalami kesamarataan. Ini terang saja berlawanan dengan doktrin kapitalisme yang menyatakan bahwa keadilan adalah soal siapa yang lebih banyak berusaha, ia berhak mendapatkan lebih. Kata Marx, doktrin semacam itu hanya menimbulkan keserakahan di satu pihak dan ketertindasan di pihak lain. Kaum proletar yang berada di pihak tertindas, kata Marx, harus bersatu agar bisa menggulingkan kaum borjuis yang secara kuantitas memang lebih sedikit. Ketika kaum proletar tersebut berhasil mengambil alih sejumlah aset yang tadinya dipegang oleh para borjuis, maka ditunjuk diantara mereka seorang yang disebut dengan diktator proletar untuk mendistribusikan seluruh sumber daya tersebut secara merata. Menurut Marx, jika pendistribusian itu dilakukan dengan baik, maka akan tercipta masyarakat tanpa kelas. Marx bahkan melanjutkan
90
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
bahwa pada ujungnya, jika dalam masyarakat sudah tidak ada kelas, maka negara pun tidak dibutuhkan lagi. Komunisme di Rusia Pada bulan Oktober 1917, seiring dengan meningkatnya pengaruh pemikiran Marx di Eropa, Vladimir Lenin melakukan revolusi yang dinamakan Revolusi Bolshewik. Lenin, beserta para pengikutnya yang merupakan kaum buruh, menggulingkan pemerintahan sebelumnya, Republik Rusia yang dianggap gagal dan menyebabkan kekacauan baik dari segi politik maupun ekonomi. Keberhasilan Lenin melakukan coup d’etat tersebut memberi kesempatan bagi kelompoknya untuk menerapkan pemikiran Marx di Rusia. Pada tahun 1922, Rusia resmi menjadi Uni Soviet dan hanya mempunyai satu partai tunggal yaitu partai komunis. Baik urusan politik maupun ekonomi, keduanya sama-sama terpusat dan diurus hampir sepenuhnya oleh negara. Uni Soviet sendiri merupakan gabungan dari sejumlah negara yang mempunyai ideologi yang sama yaitu Rusia, Ukraina, Belarusia, dan Transkaukasia (Berisi negara Armenia, Georgia, dan Azerbaijan. Mereka dinamakan Transkaukasia karena dipisahkan oleh Pegunungan Kaukasus). Uni Soviet didirikan pada tanggal 30 Desember 1922 dan dideklarasikan resmi di Teater Bolshoi. Seni Realisme Sosialis Kata-kata dari Lenin yang diucapkannya di Teater Bolshoi ternyata berkembang menjadi suatu aliran seni tersendiri. Ideologi komunisme dan aliran seni realisme sosialis menjadi hal yang nyaris tidak terpisahkan. Ucapan Lenin tersebut kemudian diformalisasi oleh seorang politisi bernama Andrei Zdhanov. Pada sekitar tahun 1946 dan 1947, ia menelurkan doktrin yang berisi kalimat, “Satu-satunya pertentangan dalam kebudayaan Uni Soviet adalah hanya antara yang bagus dan yang terbaik.” Kalimat yang dikenal sebagai doktrin Zdhanov tersebut mengisyaratkan bahwa dalam soal seni maupun kebudayaan Uni Soviet, semuanya akan diterima selama berpegang pada ideologi dan garis partai. Dengan keberadaan doktrin tersebut, ia mendapat wewenang untuk melakukan sensor ketat terhadap berbagai praktik seni dan kebudayaan di Uni Soviet. “Mereka yang tidak sesuai dengan garis partai,” kata Zdhanov, “boleh dilenyapkan.” Sebelum masuk membahas seni realisme sosialis, penting kiranya untuk membahas terlebih dahulu kecenderungan seni di Eropa pada umumnya di masa itu, yang sangat bertolak belakang dengan sifat-sifat seni realisme sosialis. Di abad ke-19, dunia seni Prancis tengah mengusung kredo l’art pour art yang dapat diartikan sebagai “seni untuk seni”.
91
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Kredo tersebut diusung pertama kali oleh Théophile Gautier yang secara umum dapat diartikan bahwa seni sebaiknya tidak ada kaitannya dengan moralitas dan hal-hal praktis atau fungsional. Dalam arti kata lain, Gautier hendak menekankan bahwa seni hanya terkait dengan urusan estetika atau keindahan semata. Kredo l’art pour art ini menjadi dasar estetika bagi dunia seni rupa modern Eropa pada umumnya. Seni yang berkembang adalah seni yang dimaksud oleh Immanuel Kant sebagai disinterestedness atau tidak punya kepentingan apapun. Contoh seni semacam ini tentu saja banyak. Dalam dunia seni rupa misalnya, karya Impression, Sunrise dari Claude Monet atau The Starry Night karya Vincent van Gogh adalah dua karya yang dapat dikatakan mengusung kredo l’art pour art. Dalam dunia seni musik, karya-karya Ludwig van Beethoven atau Richard Wagner, digolongkan sebagai musik yang diciptakan tidak untuk kepentingan apapun kecuali demi keluhuran estetika itu sendiri. Seni realisme sosialis adalah persis kebalikan dari l’art pour art. Bagi seni realisme sosialis, justru seni harus mempunyai tujuan dan juga kepentingan. Seni bertanggungjawab atas keberlangsungan ideologi, yang dalam hal ini terkait dengan ide-ide komunisme. Walhasil, seni realisme sosialis kemudian lebih banyak menyoroti tema-tema seperti perjuangan para buruh, karisma kepemimpnan seorang pemimpin buruh, kehidupan seharihari yang realistis dan tidak didramatisasi, serta dukungan terhadap negara maupun partai. Contoh dari seni realisme sosialis yang ada di Uni Soviet adalah lukisan potret Stalin oleh Isaak Brodsky. Stalin yang merupakan pemimpin Uni Soviet dari medio 1920-an ini, dilukiskan tengah berpidato. Tidak hanya Stalin, pemimpin Uni Soviet lainnya yaitu Lenin pun dijadikan objek oleh Brodsky. Oleh pengusung kredo l’art pour art, seni semacam ini tidak dihargai tinggi karena dianggap tidak menunjukkan kreatifitas seorang seniman. Tapi dalam konteks ideologi komunis, Brodsky diakui sebagai seniman papan atas. Ia mendapatkan penghargaan Order of Lenin yang merupakan sebuah pengakuan bagi warga Uni Soviet yang dianggap telah berjasa bagi negara. Selain karya-karya dari Isaak Brodsky, seni realisme sosialis di Uni Soviet juga kental dengan nama Ilya Repin yang terkenal dengan lukisannya yang berjudul A Demonstration on 17 October 1905. Sesuai judulnya, lukisan yang dibuat pada tahun 1911 tersebut menggambarkan demonstrasi dari rakyat Rusia yang menginginkan agar kekuasaan autokrasi Tsar Nicholas diperkecil dan suara rakyat lebih didengar. Demonstrasi tahun 1905 tersebut merupakan salah satu penanda runtuhnya kekuasaan pra-komunis. Meski dibuat sebelum
92
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Lenin berkuasa, namun lukisan tersebut tetap dijadikan sebagai salah satu contoh seni realisme sosialis. Selain pada seni rupa, dimana lagi seni realisme sosialis menampakkan dirinya? Seni musik merupakan ranah lainnya. Dmitri Shostakovich adalah salah seorang komposer besar Uni Soviet yang tergabung juga bersama Partai Komunis. Seperti halnya seni rupa, musikmusik dari Shostakovich juga ditujukan bagi kedigdayaan ideologi. Misalnya, ia pernah membuat komposisi berjudul Simfoni no. 12 dalam D Minor yang ia persembahkan bagi Lenin dan Revolusi Bolshewik. Selain itu, Shostakovich juga menulis karya untuk kuartet gesek yang berjudul String Quartet no. 8 in C Minor yang ia tujukan bagi para korban fasisme –fasisme yang dimaksud olehnya adalah Jerman yang pada masa itu memang sangat tidak akur dengan Uni Soviet-. Selain Brodsky dan Repin di dunia seni rupa, Shostakovich di dunia seni musik, seni realisme sosialis juga mengenal nama-nama semisal Maxim Gorky di dunia seni sastra dan Constantin Stanislavsky di dunia seni teater. Pembahasan Sejak awal Uni Soviet berdiri, pemerintah sudah sangat memperhatikan seni sebagai elemen penting dalam penanaman ideologi. Tanpa seni, proses penanaman tersebut akan berlangsung lama, alot, dan diwarnai kekerasan. Pertanyaannya, apakah sah jika kita membiarkan seni digunakan untuk sebuah kepentingan? Mengingat bagaimana seni adalah sebentuk ekspresi kebebasan dari sang seniman yang semestinya hanya bertanggungjawab atas estetika semata. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penting kiranya untuk menengok peran seni sebelum zaman modern. Pada 500 tahun sebelum masehi, Darius, Raja Persia, menggunakan seni untuk mempertahankan kekuasaan. Penggunaan tersebut dilakukannya melalui penggambaran diri sang raja pada koin mata uang yang beredar baik di Persia maupun daerah-daerah jajahannya yang masa itu terbilang luas. Pada koin emas yang bernama daric tersebut, Darius digambarkan sebagai prajurit yang memegang busur dan panah. Ketika kekuasaan Darius berhasil ditaklukkan oleh anak muda dari Makedonia yang bernama Aleksander, peran seni pun tetap vital bagi pelanggengan kekuasaan. Aleksander, sebagaimana halnya Darius, mencitrakan diri dalam koin mata uang yang beredar luas seolah-olah hendak menunjukkan pada rakyat siapa yang sedang berkuasa sekarang. Cara lain yang juga dikenal adalah penggambaran Darius pada sebuah dinding oleh Philoxeno dari Eretria. Pada mosaik yang
93
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
diketahui berasal dari 300 tahun sebelum masehi tersebut, tergambar bagaimana Aleksander bertempur dengan gagah berani melawan Darius. Jauh melompat ke awal-awal tahun masehi, ada contoh yang menarik tentang peran seni di wilayah Romawi. Kaisar Augustus mencitrakan diri dalam sebuah patung marmer mewah dan dinamai dengan Augusto di Prima Porta. Menurut pemaparan Nigel Speavey dalam film documenter How Art Made The World, lewat patung tersebut, Kaisar Augustus digambarkan sebagai seorang negarawan yang rendah hati. Hal tersebut tercermin dari bagaimana ia bertelanjang kaki dan tidak mengenakan atribut perang yang berlebihan. Penggambaran tersebut, menurut Speavey, adalah contoh bagaimana kekuasaan dicitrakan secara sebaliknya –atau Speavey hendak mengatakan tentang pencitraan sebuah ideologikarena kenyataan bahwa kekuasaan Kaisar Augustus jauh dari kerendah-hatian. Kaisar Augustus dikenal sebagai pemimpin yang senang berperang dan senang membantai. Tidak ada hal yang patut dikenang dari dirinya kecuali kenyataan bahwa namanya diabadikan menjadi nama bulan yaitu Agustus –itupun melalui sebuah paksaan kekuasaan-. Di masa Abad Pertengahan, peran seni pun tidak mengalami perubahan. Ia dibuat sebagai abdi gereja dan segala kesenian harus difungsikan dalam rangka menyokong spirit keagamaan. Runtuhnya Abad Pertengahan tidak membuat seni terbebaskan begitu saja. Sebagai contoh di dunia seni musik pada zaman Barok, Johann Sebastian Bach adalah seorang komposer yang mengabdi pada raja maupun gereja tempat ia dipekerjakan. Atas dasar itu, musik-musiknya pun mesti disesuaikan dengan pesanan –meskipun ada juga beberapa karyanya yang sekuler dan merakyat-. Hal tersebut menunjukkan bahwa seni sebagai sebuah kebebasan ekspresi tak terbatas memang lambat laun baru dipelopori oleh kredo dari Théophile Gautier seperti yang sudah disinggung di atas. Sebelumnya, seni sangat tergantung pada ideologi apa yang sedang berkuasa. Dalam arti kata lain, seni adalah cara terbaik agar ideologi dapat dikomunikasikan pada rakyat. Sekarang mari kita lihat di sekeliling kita, pada zaman kita hari ini. Adakah seni merupakan sebentuk kebebasan, atau tidak lepas juga dari peran ideologi? Keduanya samasama ada benarnya. Seni sebagai sebuah ekpresi estetika semata dapat kita lihat di galerigaleri. Mereka berdiri sendiri tanpa campur tangan penguasa. Orang-orang yang datang adalah orang-orang yang bertujuan untuk menikmati keindahan dan keagungan tanpa harus takut dipengaruhi sebuah faham. Namun perhatikan kebudayaan visual di sekitar kita secara lebih luas. Dimana-mana sesungguhnya terdapat ideologi yang mengepung kita mulai dari
94
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
spanduk pilpres, iklan kampanye politik di televisi, gambar yang pop-up begitu saja di internet, hingga iklan komersial dimana-mana dalam bentuk apa saja. Semua hal tersebut tentu saja tidak bisa kita samakan dengan seni realisme sosialis yang berkembang di Uni Soviet. Namun semuanya tidak diciptakan dalam kredo l’art pour art, melainkan punya keinginan untuk mengomunikasikan sesuatu dan membuat kita tertarik kepadanya. Baik politik maupun ekonomi, keduanya mempunyai ideologinya secara mandiri. Politik misalnya, ia mau tidak mau adalah sebuah konsep tentang bagaimana caranya berkuasa. Ekonomi? Ia adalah tentang pemenuhan kebutuhan dan juga pengerukan keuntungan sebanyak-banyaknya. Kedua hal tersebut, jika didefinisikan secara gamblang, terasa agak mengerikan dan tidak bersahabat sama sekali. Atas dasar itu, keduanya membutuhkan seni agar ideologi tidak tampak seperti seharusnya. Rakyat butuh sesuatu yang halus, menipu, dan mampu melunakkan hatinya agar kerakusan sebuah ideologi tidak tampil secara telanjang. Seni menjadi kendaraan yang paling sah untuk mencapai tujuan semacam itu. Dalam arti kata lain, dunia hari ini tidak ada yang benar-benar berubah dari yang lampau. Apa yang digadangkan sebagai l’art pour art barangkali hanya berakhir menjadi etalase galeri semata dan tidak berhubungan apapun dengan masyarakat secara umum. Seni yang digdaya adalah seni yang ideologis. Seni yang digdaya adalah seni yang berhasil mengomunikasikan suatu maksud pada masyarakatnya. Barangkali bagan di bawah ini dapat menjelaskan secara lebih gamblang tentang bagaimana sebuah ideologi dikomunikasikan lewat seni: Seni
Ideologi politik
Menjalankan amanah rakyat untuk kesejahteraan bersama
Meraih dan melanggengkan hasrat untuk berkuasa.
Seni
Ideologi ekonomi
Mengeruk keuntungan sebanyakbanyaknya.
Kemakmuran dan peningkatan taraf hidup untuk semua orang.
95
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Pada gambar ini cukup jelas bahwa seni adalah semacam saringan estetis agar suatu maksud tidak sampai sebagaimana aslinya. Teori komunikasi atau psikologi mengatakan ini adalah sebentuk dramaturgi. Tapi pembahasan dramaturgi tidak pernah benar-benar menyentuh peran sentral dari sebuah seni. Kenyataannya, seluruh dramaturgi dibangun melalui sebuah “ideologi estetika” yang terancang dengan baik dan sistematis. Simpulan Bermula dari pembahasan mengenai ideologi komunisme dan seni realisme sosialis, kita memasuki tentang bagaimana dunia hari bekerja lewat seni dan komunikasi visual dalam rangka memenangkan pertarungan kepentingan. Dalam kacamata posmodernisme, sikap seperti ini adalah sebentuk kematian seni (end of art) karena pertama, seni tidak ada lagi sesuatu yang dapat dikatakan baru. Kedua, itu tadi, fungsi seni beralih dan dia sama sekali tidak sanggup melepaskan diri dari komunikasi sebuah ideologi. Tapi jika kita mau berbesar hati, mungkin memang demikianlah kita harus menerima kondisi seni hari ini. Dimana-mana orang ketika mau menyampaikan ide maupun fikirannya agar diterima orang lain, terlebih dahulu ia mesti memikirkan sungguh-sungguh soal estetika penyampaiannya. Bahkan estetika penyampaian ini punya kapasitas agar apa yang disampaikan menjadi berbalik sepenuhnya dengan apa yang diterima orang-orang (seperti apa yang terjadi dalam kasus Uni Soviet dan seni realisme sosialis). Tulisan ini adalah semacam peneguhan bahwa hubungan seni dan ideologi masih amat erat seperti sebelumnya. Kredo seni untuk seni tidak mencerabut hubungan keduanya sama sekali. Bahkan dunia hari ini semakin membutuhkan seni untuk kepentingankepentingan praktis. Dimana kita mencari seni yang non-ideologis? Barangkali tinggal tersisa di galeri atau tempat-tempat sunyi. Masih ada orang yang datang ke sana untuk menikmati keheningan.
96
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Daftar Pustaka Buku Dobrenko, Evgeny. 2007. Political Economy of Socialist Realism. Yale University Press. Gombrich, Ernst. 1995. The Story of Art. Phaidon Press Situs http://www.globalmuseumoncommunism.org/timeline_of_communism http://www.foreignaffairs.com/articles/46266/george-f-kennan/communism-in-russianhistory https://www.princeton.edu/~achaney/tmve/wiki100k/docs/Socialist_realism.html http://www.ancient.eu.com/Darius_I/ http://www.bbc.co.uk/history/historic_figures/alexander_the_great.shtml http://www.roman-empire.net/emperors/augustus-index.html http://russiapedia.rt.com/prominent-russians/politics-and-society/andrey-zhdanov/ http://www.allmusic.com/artist/dmitry-shostakovich-mn0001517893
97
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
REPRESENTASI ETNIS CINA DALAM STAND UP COMEDY (Analisis Semiotik Sosial Theo Van Leeuwen Tentang Representasi Etnis Cina Dalam Stand Up Comedy oleh Comic Ernest Prakasa) Oleh: Adi Bayu Mahadian18 Fakultas Komunikasi & Bisnis, Universitas Telkom
Abstrak Permasalahan tentang Etnis Cina di Indonesia tidak pernah benar-benar selesai hingga kini. Berbagai usaha yang dilakukan pemerintah atau pihak terkait lainnya banyak menemui kendala. Diantaranya disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap realitas tentang Etnis Cina di Indonesia. Dengan menggunakan metode analisis semiotik sosial yang dikemukakan oleh Theo Van Leeuwen, penelitian ini berupaya untuk memahami realitas tentang Etnis Cina yang terepresentasikan dalam pertunjukan stand up comedy oleh Ernest Prakasa. Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu: Pertama, dari dari ragam wacana tentang Etnis Cina yang terepresentasikan dalam pertunjukan stand up comedy oleh Ernest Prakasa menunjukan bahwa Etnis Cina tidak nyaman dengan keminoritasannya; Kaum muda Etnis Cina mencintai sekaligus membenci tradisi dan budayanya; Etnis Cina menganggap diri sebagai ras unggul; Etnis Cina memandang penting kekayaan; dan Istilah “Cina” tidak dianggap menghina. Kedua, Etnis Cina terepresentasikan pada bagian set up dan punchline dalam struktur humor stand up comedy, dimana sebuah set up humor stand up comedy yang merepresentasikan Etnis Cina, berfungsi mengkomunikasikan kepada audiensnya tentang: keberadaan kelompok minoritas Etnis Cina di Indonesia, dengan berbagai karakteristiknya, dan berbagai budaya Cina yang menjadi bagian budaya masyarakat Indonesia. Sementara itu, sebuah punchline humor stand up comedy yang merepresentasikan Etnis Cina, berfungsi untuk mengajak audiensnya untuk mentertawakan orang Cina, dan mentertawakan pemahaman orang lain tentan Etnis Cina. Ketiga, dalam pertunjukan stand up comedy yang merepresentasikan Etnis Cina, Ernest Prakasa memilih fashion dengan mengenakan kaos oblong, celana jeans, dan memakai sepatu kets; dan berpotongan rambut side-shaves. Sementara itu, Ernest Prakasa menggunakan gaya berbicara jakartaan dalam melakukan pertunjukan stand up comedynya. Keempat, dalam pertunjukan stand up comedynya, Ernest Prakasa merepresentasikan Etnis Cina dalam bahasa yang menunjukan tingkat modalitas tinggi, dan modalitas rendah. Kata kunci: Stand up comedy, Etnis Cina, Ernest Prakasa, Semiotik Sosial Theo Van Leeuwen
18
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi Bisnis Universitas Telkom, Bandung Tenhnoplex Jl. Telekomunikasi Terusan Buah Batu, Bandung, West Java, Indonesia 40257. E-Mail:
[email protected]
98
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Pendahuluan Permasalahan Etnis Cina di Indonesia tidak pernah benar-benar ‘selesai’. Tahun 1740, ribuan orang Etnis Cina di Batavia menjadi korban pembantaian. Tahun 1912, Etnis Cina di Kudus terlibat kerusuhan dengan kaum Pribumi. Gerakan anti-Cina di tahun 1959-1960, mengakibatkan lebih dari 100.000 orang WNI (Warga Negara Indonesia) beretnis Cina kembali ke Republik Rakyat Cina (Suryadinata, 1999: 14). Kerusuhan pada pertengahan Mei 1998, menghasilkan puluhan korban kekerasan fisik dan psikis WNI beretnis Cina (Anggraeni, 2010: 5). Berbagai peristiwa yang melibatkan Etnis Cina tersebut menunjukan bahwa permasalahan Etnis Cina di Indonesia seringkali kembali muncul dalam rentang periode tertentu. Leo Suryadinata (2010: 185) berpendapat bahwa permasalahan tersebut cenderung timbul dari anggapan-anggapan umum, seperti anggapan Etnis Cina yang pro-Belanda, antinasionalisme, ekslusif, hanya mencari keuntungan, agen komunisme, hingga anggapan sebagai pengeruk kekayaan Indonesia, menghasilkan berbagai peristiwa memilukan. Usaha penyelesaian tanpa memahami permasalahanpun kerap dilakukan. Usaha ‘penyelesaian’ masalah, dengan mendorong terjadinya pembauran Etnis Cina dalam masyarakat Pribumipun telah banyak dilakukan. Tahun 1960, Pemerintah Indonesia melarang penggunaan bahasa Cina, dan menginstruksikan kepada warga beretnis Cina untuk menggunakan bahasa Indonesia untuk nama-nama toko. Tahun 1965, Pemerintah melarang semua surat kabar berbahasa Cina untuk diterbitkan. Tahun 1967, Presiden Soeharto memberlakukan peraturan perubahan nama terhadap nama, dan mengeluarkan larangan merayakan hari raya dan melakukan tradisi lainnya di depan umum. Institusi seperti LPKB dan Baperki yang didirikan untuk menyelesaikan berbagai masalah tersebut, tidak pernah mampu menyelesaikan berbagai masalah yang ada. Beberapa peristiwa tersebut merupakan bukti nyata atas keberadaan permasalahan yang tidak pernah benar-benar ‘diselesaikan’. Tiga puluh dua tahun pemerintahan Orde Baru, melalui politik wacana SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), menghasilkan suatu suasana eskalasi polarisasi dalam hubungan antara golongan Etnis Cina dengan masyarakat luas. Sehingga memupuk sentimen ‘anti-Cina’ (Tan, 2008: 206). Demikianpun pada era kempimpinan Presiden Abdurahman Wahid, ketika pemerintah memberikan kebebasan lebih pada warga beretnis Cina untuk berekspresi dan berpendapat, perbincangan tentang isu SARA tidak serta merta menjadi ramai di ruang publik.
99
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Kini, setelah lebih dari satu dekade peristiwa kerusuhan besar, di pertengahan Mei 1998 lalu, warga Etnis Cina lebih bebas berekspresi dan beraktifitas. Beraktifitas melalui perniagaan, jasa hiburan, hingga politik. Berekspresi melalui buku, film, hingga pertunjukan komedi. Ernest Prakasa, seorang comic19 beretnis Cina menjadi salah satu yang memanfaatkan situasi tersebut. Dengan membangun karakter panggung “comic-Cinabetawi”, Ernest Prakasa berbicara banyak tentang ke-Cina-annya dalam stand up comedy. Ernest Prakasa menunjukan ke-Cinaannya tidak hanya melalui penampilan fisik, namun seringkali mempertunjukannya melalui pesan verbal dalam pertunjukannya, seperti berkata “…gua Cina…”, atau “…Engkong gua Cina…”. Stand up comedy, merupakan sebuah seni pertunjukan yang menampilkan seorang komedian melakukan monolog berisi humor dihadapan audiens secara langsung, yang sejak pertengahan tahun 2011 menjadi ‘trend ‘di Indonesia. Stand up comedy merupakan pengembangan dari tradisi berlesque20 dan vaudeville21 yang telah ada sejak abad ke-15 di Italia (Gilbert, 1997: 317). Amerika merupakan negara yang dianggap mempopulerkan bentuk pertunjukan ini, dengan tokoh-tokohnya seperti Leny Bruce, George Carlin, Jay Leno, Chris Rock, Jerry Senfeld, Eddy Murphy, Adam Sandler, dan Jim Carey. Stand up comedy dianggap sebuah genre komedi yang berbeda dengan komedi-komedi lainnya. Adde Malmberg (dalam Sjöbohm, 2008: 4) mengemukakan delapan ciri untuk menjelaskan stand up comedy, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
One has to be funny One has to be alone One has to stand up One has to talk directly to the audience One has to be oneself, neither wearing costumes nor interpreting a character One should not be dependant upon the context, stand up by oneself without much specific explanation 7. One shall not use props 8. One shall not use a written script Dari kedelapan ciri tersebut di atas, dapat dijadikan acuan untuk membedakan stand up comedy dengan bentuk pertunjukan komedi lainnya. Stand up comedy mengutamakan pesan verbal dalam pertunjukannya. Layaknya melakukan sebuah pidato, seorang comic harus menyusun naskah terlebih dahulu untuk ‘pidato’ humornya. Attardo (dalam Schwarz, 2010: 81) menyebutkan stand up comedy sebagai “a highly artificial, scripted genre”. Naskah
19
Sebutan untuk stand up comedian Sebuah seni pertunjukan teater, yang sering disisipi adegan humor 21 Sebuah seni pertunjukan menari dan menyanyi, yang dapat disisipi unsur humor 20
100
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
menjadi salah satu bagian penting bagi seorang comic. Pemilihan tema, humor yang terkandung dalam berbagai cerita, lazimnya terlebih udipersiapkan. Seorang comic bahkan tidak hanya mempersiapkan naskah, namun harus ‘menguji coba’ naskahnya dalam acara open mic22. Naskah merupakan ‘kekuatan’ sekaligus pembeda stand up comedy dengan jenis pertunjukan komedi lainnya, seperti Lawak Tunggal, Joke Telling atau jenis pertunjukan komedi lainnya, yang lebih leluasa mempergunakan humor, lelucon, cerita lucu yang dibuat orang lain. Comic ‘wajib’ memiliki materi humornya sendiri, dan ‘haram’ bagi mereka untuk menggunakan humor yang sudah umum dikenal. “Kodian”, sebutan untuk humor atau materi lawakan yang sudah umum dikenal, sangat dihindari oleh seorang comic profesional. Seorang comic harus membangun humornya sendiri untuk menjaga orisinalitas pertunjukannya. Seorang comic bernama Dika Angkasaputra Moerwani (Raditya Dika) berpendapat bahwa: “terdapat tiga sumber dalam melakukan penggalian materi yaitu iner self, outer self, dan the world within, yang kemudian dibangkitkan melalui kegelisahan”. Sementara comic bernama Ramon Papana (2012: 46) dalam bukunya berpendapat, “cari dan gali materi dari hidup dan lingkunganmu sendiri dan jadikan materi originalmu”. Sejalan dengan pendapat para comic tersebut, Dineh Davis (dalam Raskin, 2008: 543) berpendapat bahwa, “humor, therefore, is simply a manifestation of a person’s outlook life”. Maka humor tidak hadir begitu saja, humor merupakan representasi pikiran yang dikonstruksi secara sosial. Demikianpun Jaeni (2012: 54) memandang sebuah seni pertunjukan hadir atas dasar kesengajaan, yang dibangun dengan berlandaskan nilai, kepercayaan, serta pandangan terhadap dunia. Cerita humor yang dibangun dalam pertunjukan stand up comedy merepresentasikan pikiran dan cara pandang penampil terhadap ‘dunia’. Melalui bahasa, seorang comic mengolah tanda-tanda untuk menjadi sebuah ‘kisah humor’. ‘Kisah humor’ yang merepresentasikan realita yang terjadi berdasarkan sudut pandang komedian. Seorang comic bernama Ronny Immanuel sering mengangkat tema tentang “orang Manado”, karena ia berasal dari Manado. Seorang comic bernama Asmara Wreksono sering mengangkat tema
22
Pertunjukan stand up comedy yang menampilkan para stand up comedian pemula atau stand up comedian profesional yang mau mencoba materi lawakan baru. Pertunjukan ini biasanya dilakukan dicafe atau restoran, dengan tanpa memungut tiket pada para penonton.
101
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
tentang feminisme, karena ia seorang wanita. Sementara comic bernama Ernest Prakasa sering mengangkat cerita tentang Etnis Cina, karena ia beretnis Cina. Melalui stand up comedy Ernest Prakasa bercerita tentang ‘ke-Cina-annya’. Seperti dari ketidaksukaannya disapa dengan sapaan “koh”, kekhawatirannya terhadap sweeping orang Cina oleh ormas tertentu, hingga rasa terima kasihnya terhadap Gus Dur karena telah ‘membebaskannya’ dari tindakan diskriminatif. Melalui kata-kata dan tanda-tanda yang digunakan, terepresentasikan persepsi dan cara pandang tentang realita Etnis Cina. Seperti yang pernah diungkapkannya dalam sebuah pertunjukan: “..hidup Cina!...Puji Tuhan malam ini saya bukan minoritas...puji Tuhan yah…”23. Terbesit masih ada kekhawatiran, bahkan dendam dalam bahasa yang digunakannya. Seperti yang pernah dikatakannya dalam sebuah standupnite: “...dalam hati gua berterimakasih sama Gus Dur. Kita jadi, rasisme sedikit berkurang. Engga kayak jaman gue kecil, kemana-mana…akew!...akew!...”24. Namun tentu diperlukan sebuah kajian yang komprehensif untuk memahami makna yang terkandung dalam tanda-tanda yang digunakan. Karena kekayaan makna tanda seringkali tereduksi oleh pengetahuan, aturan, dan kode-kode yang dipakai oleh konvensi budaya tertentu (Denzin & Lincoln, 2009: 617). Sementara bahasa seringkali merepresentasikan kehidupan sosial, struktur kelompok, dan praktik-praktik budaya. Dalam kajian ilmu komunikasi, memahami makna tanda yang digunakan menjadi bagian penting untuk memahami peristiwa komunikasi secara menyeluruh. Manning & Swan (dalam Denzin & Lincoln, 2009: 617) berpendapat bahwa “seluruh komunikasi antarmanusia sesungguhnya merupakan tanda; teks yang harus ‘dibaca’ terlebih dahulu agar dapat dimengerti maksudnya”. Dengan menggunakan analisis semiotika sosial memungkinkan untuk memahami makna atas tanda-tanda yang dikonstruksi secara sosial. Diantara beberapa teknik analisis semiotika yang ada, teknik analisis semotika sosial yang dikemukakan oleh Theo Van Leeuwen dianggap mampu mengeksplorasi lebih luas atas penggunaan tanda yang digunakan dalam stand up comedy dalam merepresentasikan Etnis Cina. Melalui empat dimensi analisis yang dikemukakan Leeuwen (2004: 91), yaitu discourse, genre, style, dan modality, peneliti dapat mengeksplorasi makna tanda dengan menggunakan berbagai sumber semiotika (semiotic resource). Dimensi ‘wacana’ (discourse), memungkinkan untuk memahami realitas tentang Etnis Cina dengan mengeksplorasi wacana 23 24
Pada Standupnite3, tanggal 24 Agustus 2011. Pada Standupnite3, tanggal 24 Agustus 2011.
102
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
yang terepresentasikan dalam stand up comedy. Dimensi genre, memungkinkan peneliti untuk memahami unsur-unsur yang membangun humor stand up comedy. Unsur-unsur yang membangun sebuah humor, dalam struktur humor stand up comedy. Sehingga mampu memahami bagaimana pesan-pesan tentang Etnis Cina disampaikan pada peristiwa komunikasi dalam sebuah bentuk humor stand up comedy. Dimensi gaya (style), memungkinkan untuk mengeksplorasi dan memahami makna gaya yang digunakan. Sebagai bagian dari bentuk penyajian seni pertunjukan, yang dibangun dalam sebuah sistem nilai dan ideologi, dari pertunjukan stand up comedy yang merepresentasikan Etnis Cina. Sementara dimensi modalitas (modality), memungkinkan untuk mengeksplorasi derajat kenyataan, dan derajat kebenaran, atas realitas yang ditampilkan dalam pertunjukan stand up comedy yang merepresentasikan tentang Etnis Cina. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan sebuah penelitian untuk memahami realita tentang Etnis Cina saat ini. Memahami pertunjukan stand up comedy sebagai sebuah bentuk komunikasi, yang mampu merepresentasikan realitas melalui tanda-tanda dalam bahasa. Dengan menggunakan analisis semiotik sosial sebagai metode analisis, maka dilakukan sebuah penelitian dengan judul “Representasi Etnis Cina Dalam Stand Up Comedy”. Fokus Penelitian Fokus penelitian ini adalah mengkaji sumber-sumber semiotik yang terkandung dalam stand up comedy, yang merepresentasikan Etnis Cina oleh comic Ernest Prakasa. Penelitian ini akan berusaha untuk mengidentifikasi sumber-sumber semiotik, memahami makna potensial, serta penggunaan sumber-sumber semiotik tersebut dalam konteks sosial yang ada. Penelitian dilakukan dengan menganalisis dokumen hasil rekaman pertunjukan stand up comedy, serta sumber semiotik lainnya yang diperlukan untuk memahami makna sumbersumber semiotik tersebut. Sebagai alat analisis akan digunakan analisis semiotika sosial yang dikembangkan oleh Theo Van Leeuwen. Metode tersebut dipandang mampu menganalisa makna tanda dalam stand up comedy melalui kelima dimensinya, yaitu: ‘wacana’, ‘genre’, ‘gaya’, dan ‘modalitas’. Melalui dimensi ‘wacana’, diharapkan mampu memahami realitas dengan mengidentifikasi ragam wacana tentang Etnis Cina yang ditampilkan dalam stand up comedy. Selain itu, melalui dimensi ‘wacana’ diharapkan mampu memahami sejarah sejarah wacana, dan bagaimana wacana tersebut tersaji dalam konteks sosial tertentu. Dimensi ‘genre’, memungkinkan peneliti untuk memahami unsur-unsur yang membangun humor stand up comedy. Unsur-
103
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
unsur yang membangun sebuah humor, dalam struktur humor stand up comedy. Sehingga mampu memahami bagaimana pesan-pesan tentang Etnis Cina disampaikan pada peristiwa komunikasi dalam sebuah bentuk humor stand up comedy. Melalui dimensi ‘gaya’, diharapkan mampu memahami Etnis Cina, dengan memahami gaya yang ditampilkan comic Ernest Prakasa pada pertunjukannya, dalam menampilkan sumber-sumber semiotik tentang Etnis Cina pada stand up comedy. Melalui dimensi ‘modalitas’, diharapkan mampu memahami Etnis Cina, melalui pemilihan fakta atau imajinasi yang digunakan oleh comic Ernest Prakasa dalam merepresentasikan Etnis Cina pada stand up comedy. Sementara itu, pemilihan comic Ernest Prakasa didasarkan pada hasil pengamatan peneliti, dimana comic Ernest Prakasa sebagai seorang comic profesional ber-Etnis Cina, yang menggunakan ‘karakter panggung’ comic-Cina-Betawi, serta sering menggunakan tema-tema tentang Etnis Cina dalam pertunjukannya. Secara singkat fokus penelitian ini dikemukakan sebagai berikut: “bagaimana representasi Etnis Cina dalam stand up comedy oleh comic Ernest Prakasa”, dengan pertanyaan penelitian: Bagaimana wacana yang digunakan Ernest Prakasa dalam merepresentasikan Etnis Cina pada stand up comedy?; Bagaimana struktur humor yang digunakan Ernest Prakasa dalam merepresentasikan Etnis Cina pada stand up comedy?; Bagaimana gaya komunikasi Ernest Prakasa dalam merepresentasikan Etnis Cina pada stand up comedy?; dan, Bagaimana fakta dan imajinasi yang digunakan Ernest Prakasa dalam merepresentasikan Etnis Cina pada stand up comedy? Metodologi Penelitian Objek penelitian ini adalah sumber-sumber semiotik yang berpotensi memiliki makna untuk merepresentasikan realitas tentang Etnis Cina, yang dikomunikasikan melalui stand up comedy oleh comic Ernest Prakasa. Sumber-sumber semiotik yang menjadi objek kajian tersebut tidak terbatas pada kata-kata (pesan verbal) yang diucapkan oleh comic Ernest Prakasa, namun sumber-sumber semiotik lain yang berpotensi dimaknai, seperti pesan nonverbal, lokasi, dan waktu pertunjukan. Dengan mengidentifikasi sumber-sumber semiotik tersebut, diharapkan dapat memahami realitas tentang Etnis Cina yang terepresentasikan dalam pertunjukan stand up comedy oleh Ernest Prakasa. Pemilihan comic Ernest Prakasa itu sendiri didasarkan pada beberapa alasan: pertama, Ernest Prakasa merupakan seorang comic profesional yang menggunakan ‘karakter panggung’ sebagai seorang komedian beretnis Cina;
104
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
kedua, Ernset Prakasa sering menggunakan materi humor yang menampilkan Etnis Cina, serta menceritakan tema-tema tentang Etnis Cina dalam pertunjukan stand up comedy-nya. Unit analisis dalam penelitian ini adalah pertunjukan stand up comedy yang dilakukan oleh comic Ernest Prakasa pada Standupnite3, Stand Up Koper, Stand Up Comedy Indonesia 2, Merem Melek Tour sesi Bandung dan StandupniteBali3. Pemilihan unit analisis tersebut didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, kelima pertunjukan stand up comedy tersebut diselenggarakan pada waktu, dan tempat yang berbeda, sehingga diharapkan mampu memberikan keunikan dan keragaman data atas unit analisis dalam penelitian ini. Kedua, rentang waktu antara Standupnite3 hingga Merem Melek Tour sesi Bandung, sekitar sepuluh bulan, diharapkan mampu menunjukan konsistensi Ernest Prakasa sebagai comic yang sering menggunakan tema-tema tentang Etnis Cina dalam pertunjukan stand up comedy-nya. Ketiga, pertunjukan Standupnite3, StandupniteBali3, dan Merem Melek Tour sesi Bandung merupakan pertunjukan stand up comedy tidak ditayangkan di televisi, sementara Stand Up Koper, dan Stand Up Comedy Indonesia 2 (bintang tamu 6 besar) ditampilkan di televisi, sehingga mampu memberikan gambaran atas pertunjukan stand up comedy Ernest Prakasa yang ditayangkan televisi maupun yang tidak ditayangkan televisi. Penelitian ini merupakan sebuah penelitan kualitatif. Metode penelitian semiotik sosial yang dikemukakan oleh Theo Van Leeuwen, yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan berlandaskan pada paradigma pemikiran post-strukturalis (Daniel Chandler, 2007: 217). Paradigma ini memandang bahwa tindakan manusia dapat dipahami dengan memahami tanda. Dimana tanda tersebut diproduksi dan digunakan dalam konteks tertentu. Dengan memahami tanda, maka akan mampu memahami realitas, karena tanda itu sendiri berpotensi menciptakan ‘realitas’. Untuk itu, maka penelitian inipun akan menggunakan peradigma post-strukturalis untuk memahami realita. Dengan menggunakan paradigma post-strukturalis, penelitian ini akan berusaha untuk menafsirkan makna atas sumber-sumber semiotik yang tercipta dalam peristiwa komunikatif. Dimana sumber-sumber semiotik tersebut mampu merepresentasikan kehidupan sosial, struktur kelompok, kepercayaan, praktik-praktik budaya, dan relasi sosial (Denzin & Lincoln, 2009: 617). Stand up comedy sebagai sebuah peristiwa komunikatif dalam sebuah konteks sosial, yang mengandung sumber-sumber semiotik untuk dapat merepresentasikan ‘realitas lain’ dalam kehidupan sosial manusia. Oleh karena itu, maka akan
105
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
digunakan analisis semiotik sosial yang dikemukakan oleh Theo Van Leeuwen sebagai alat analisis. Data utama dalam penelitian ini adalah dokumen berupa hasil rekaman pertunjukan stand up comedy oleh Ernest Prakasa. Data utama berupa hasil rekaman diperoleh dengan merekam langsung oleh peneliti, mengunduh melalui internet, dan hasil rekaman yang dilakukan oleh pihak lainnya. Data dokumen berupa hasil rekaman kemudian dipilih berdasarkan keragaman dan keunikan wacana yang digunakan dalam merepresentasikan Etnis Cina pada sebuah standupnite25. Analisis teks dilakukan terhadap rekaman pertunjukan stand up comedy yang dilakukan oleh subjek penelitian dalam berbentuk audio visual, yang kemudian di alih bentukkan ke dalam bentuk tulisan untuk memudahkan proses analisis. Penelitian ini akan menganalisis lima buah rekaman pertunjukan stand up comedy yang dilakukan oleh subjek penelitian, yaitu Standupnite3 (24 Agustus 2011, di Rolling Stones Café Jakarta), Stand Up Koper (tayang di Metro TV pada tanggal 19 Februari 2012), StandupniteBali2 (25 Februari 2012, di Veranda Café Denpasar), Merem Melek Tour sesi Bandung (21 April 2012 di Saung Angklung Udjo), dan Stand Up Comedy Indonesia 2 (tayang di Kompas TV pada tanggal 2 Juni 2012). Pemilihan kelima pertunjukan tersebut didasarkan atas keunikan dan keragaman wacana yang ditampilkan dalam pertunjukan stand up comedy yang dilakukan oleh subjek penelitian. Sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran lebih ‘lengkap’ atas representasi Etnis Cina melalui sumber-sumber semiotik dalam stand up comedy. Selain itu, interval waktu pertunjukan ‘cukup’ lama (sepuluh bulan), diharapan mampu menunjukan ‘konsistensi’ atas wacana yang merepresentasian Etnis Cina dalam pertunjukan stand up comedy oleh Ernest Prakasa. Kajian literatur dilakukan untuk mencari referensi dalam memahami makna sumbersumber semiotik pada stand up comedy dalam konteks sosial yang ada. Literatur yang digunakan antara lain buku, artikel, karya ilmiah, dan laporan penelitian-penelitian terkait sumber-sumber semiotik yang dianalisis, serta literatur lainnya yang mendukung dalam upaya mengidentifikasi, menafsirkan, dan memahami makna sumber-sumber semiotik tersebut. Dalam melakukan analisis semiotik, terdapat tiga kegiatan yang dilakukan. Pertama, mengumpulkan dokumen, dan mengumpulkan secara sistematis daftar sumber semiotik, 25
Sebuah pertunjukan yang diselenggarakan secara khusus menampilkan beberapa stand up comedian, yang bergiliran tampil melakukan stand up comedy. Biasanya penonton diharuskan membayar tiket pertunjukan.
106
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
termasuk sejarahnya. Kedua, menginvestigasi bagaimana sumber semiotik tersebut digunakan dalam peristiwa sejarah yang spesifik, budaya, konteks institusional, dan bagaimana orang berbicara tentangnya dalam konteks tersebut berdasarkan dimensi-dimensi analisis yang digunakan. Ketiga, melakukan penemuan dan pegembangan sumber semiotik baru dan penggunaannya. Mendasarkan pada pendapat Umberto Eco (Denzin & Lincoln, 2009: 618), bahwa dalam semiotik, sebuah tanda dapat diuji validitas atau kebenarannya hanya dengan tanda lain. Dimana dalam pengujiannya tersebut, tidak ada batasan definitif atau akhir. Oleh karena itu, maka peneliti akan berusaha memahami sumber semiotik dengan berdasarkan sumber semiotik lainnya dengan dukungan berbagai refernsi (multiple reference) yang dianggap kredibel. Hasil Penelitian Unit Analisis 1: Standupnite 3 Standupnite 3 dilakukan di Rolling Stones Café Jakarta pada tanggal 24 Agustus 2011. Acara tersebut merupakan pertunjukan stand up comedy berbayar yang diselenggarakan oleh komunitas StandUpIndo. Dalam acara tersebut Ernest Prakasa menjadi salah satu comic pengisi acara bersama comic-comic lainnya, seperti Pandji Pragiwaksono, Asep Suadji, Miund, Raditya Dika, dan lainnya. Pada pertunjukan tersebut, Ernest Prakasa melakukan pertunjukan stand up comedy sekitar 11 menit. Berikut hasil penelitian terhadap pertunjukan stand up comedy yang merepresentasikan Etnis Cina, yang dilakukan oleh Ernest Prakasa pada Standupnite 3, dengan menggunakan analisis semiotik sosial yang dikemukakan oleh Theo Van Leeuwen. 1. Ragam wacana tentang Etnis Cina yang ditampilkan dalam stand up comedy oleh Ernest Prakasa pada Standupnite3 Melalui dimensi analisis wacana, peneliti berusaha untuk mengeksplorasi ragam wacana yang merepresentasikan Etnis Cina, dalam stand up comedy yang dilakukan oleh Ernest Prakasa. Berikut wacana-wacana yang merepresentasikan tentang Etnis Cina dalam pertunjukan stand up comedy oleh Ernest Prakasa pada Standupnite3: a) Etnis Cina sebagai kelompok minoritas
107
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Secara implisit, Ernest Prakasa mengungkapkan wacana tentang keminoritasan Etnis Cina dalam pertunjukan stand up comedynya. Berikut penggalan kalimat yang diungkapkan oleh Ernest Prakasa dalam pertunjukan stand up comedynya: “Ini by the way yang Cina di sini tepuk tangan oey!. Yang Cina!. Oey banyak banget, hidup Cina! Puji Tuhan malam ini saya bukan minoritas. Puji Tuhan yah…” Dalam pertunjukannya, Ernest Prakasa secara khusus menyapa audiensnya yang beretnis Cina. Dalam sapaan tersebut, Ernest Prakasa memperoleh umpan balik berupa tepuk tangan meriah dari penonton. Tepuk tangan meriah yang berasal dari penonton beretnis Cina yang banyak, menjadikan Etnis Cina kelompok ‘mayoritas’ pada pertunjukan tersebut. Hal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Ernest Prakasa untuk menciptakan sebuah punchline dalam humor stand up comedynya, bahwa Etnis Cina tidak lagi menjadi kelompok minoritas seperti biasanya. Humor tersebut secara implisit menampilkan wacana keminoritasan Etnis Cina yang terjadi. Kalimat Ernest Prakasa yang mengatakan “puji Tuhan malam ini saya (beretnis Cina) bukan minoritas”, merupakan bagian humor yang menyajikan sesuatu yang berkebalikan dengan anggapan umum. Hal tersebut dapat dimaknai sebagi bentuk ketidaknyamanan Ernest Prakasa, sebagai seorang Etnis Cina, yang selama ini menjadi kelompok minoritas. Ketidaknyamanan tersebut hadir ketika Ernest Prakasa ‘harus’ menghadirkan sapaan khusus terhadap Etnis Cina yang menonton pertunjukannya, serta ungkapan “kegembiraan” karena dirinya tidak menjadi minoritas. Selain menampilkan secara implisit wacana tentang keminoritasan Etnis Cina, dalam pertunjukannya Ernest Prakasa mengungkapkan wacana tentang tindakan diskriminatif yang diterima oleh Etnis Cina. Tindakan diskriminatif sebagai bagian dari keminoritasan Etnis Cina, yang sering dialami oleh orang-orang Cina. Ernest Prakasa menampilkan tindakan diskriminasi berdasarkan ras yang ‘biasa’ diterima oleh orangorang Cina dalam bentuk sweeping oleh FPI26. Berikut penggalan kalimat yang diungkapkan oleh Ernest Prakasa dalam pertunjukan stand up comedynya: “Tapi gini yah, ini kan bulan Ramadhan ni yah. Suka ada sweepingsweeping, ni gua kasih tau buat yang Cina-Cina semua yang ada di sini. Jangan khawatir yah, jangan khawatir karena tadi udah, udah survey ya. Kalo sampe ada sweeping FPI di sana ada semak-semak, Kita ngumpet di sono yah. Oke! ngga mau ngumpet? mendingan disuruh 26
Front Pembela Islam
108
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
ngumpet daripada disuruh ngaji lo. Ngumpet aja lu sono. Dah, pokonya kalo ada FPI kita ngumpet di sana yah…” Dalam penggalan humor stand up comedy yang dilakukan oleh Ernest Prakasa tersebut, ditampilkan wacana tentang tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh sebagian dari kelompok mayoritas. Terhadap Etnis Cina sebagai kelompok minoritas melalui sweeping. Dengan setting waktu di bulan Ramadhan, Ernest Prakasa mengungkapkan kemungkinan dan kekhawatirannya terjadi sweeping yang ‘biasa’ dilakukan oleh sebuah Organisasi Kemasyarakatan FPI. Ernest Prakasa mengajak sesama Etnis Cina lainnya untuk bersembunyi di semak-semak bila terjadi sweeping. Hal tersebut menampilkan cara pemikiran Ernest Prakasa yang memandang dirinya dan sesamanya yang beretnis Cina, rentan terhadap tindakan diskriminiasi. Sweeping yang dilakukan, lebih populer dilakukan oleh FPI terhadap pemeluk agama Islam yang tidak menjalankan ajaran agamanya, dan bukan terhadap Etnis Cina. Namun ketika hal tersebut dikaitkan dengan peristiwa ‘pembantaian’ Etnis Cina di pertengahan tahun 1998 lalu, dimana banyak dikisahkan Etnis Cina di sweeping kemudian ‘dibantai’, maka cerita Ernest Prakasa dapat dimaknai sebagai sebuah sindiran anggota kelompok minoritas terhadap kelompok mayoritas. Pada kesempatan lainnya, Ernest Prakasa mengungkapkan wacana tentang tindakan rasisme, sebagai salah satu bagian dari keminoritasan Etnis Cina. Ernest mengungkapkan bahwa dirinya dan orang-orang Cina lainnya sering dihina dengan panggilan “akew”. Namun demikian, Ernest Prakasa mengungkapkan rasa terimakasihnya kepada Gus Dur, karena jasanya yang berdampak pada berkurangnya tindakan rasisme tersebut. Berikut penggalan kalimat yang diungkapkan oleh Ernest Prakasa dalam pertunjukan stand up comedynya: “Tapi sekarang ini gue rasa kalo Cina-cina di Indonesia sejak jaman Gus Dur ke sini nasibnya sudah lebih baik ya. Sudah lebih ee…, apa namanya. Hidup gus dur!. Gue ber, ee... dalam hati gue berterima kasih sama Gus Dur, kita jadi, rasisme sedikit berkurang. Engga kaya jaman gue kecil kemana-mana “A Kew! A Kew!”. Ni gue kasih tau sama lo, lo, yang ngga tau ya. Orang Cina namanya banyak, ada A Kiong, A Siung, ada A Liong. Kenapa A Kew doang gitu. Ngga semua juga depannya “A” ada Fey fey, ada Fang fang, ada Cen cen. Kenapa disamaratain semuanya, A Kew. Hadooh…” Ernest Prakasa memulainya dengan ungkapan rasa terimakasih kepada Gus Dur. Gus Dur dianggap sebagai salah satu tokoh yang berjasa oleh orang-orang Cina di
109
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Indonesia. Berjasa karena menghapus beberapa peraturan yang dianggap diskriminatif pada saat menjabat sebagai Presiden. Seperti menghapus Inpres. No. 14 Tahun 196727 atau mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2000. Ernest Prakasa memandang bahwa Gus Dur telah mampu mengurangi tindakan ‘rasisme’ yang kerap diterima oleh Etnis Cina. Selanjutnya Ernest Prakasa menceritakan tindakan ‘rasisme’ yang terjadi ketika ia masih kecil. Ernest Prakasa yang beretnis Cina sering diejek, dengan ejekan “akew”, yang ditunjukan dalam kalimat: “…gue berterima kasih sama Gus Dur, kita jadi, rasisme sedikit berkurang. Engga kaya jaman gue kecil kemana mana, Akew! Akew!”. Kata “Akew” dalam konteks kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah kata penghinaan atau ejekan. Ejekan untuk menyapa atau memanggil seorang beretnis Cina. Ernest Prakasa pun memandang hal tersebut sebagai tindakan rasisme yang dilakukan oleh sebagian orang yang bukan Etnis Cina terhadap orang-orang yang beretnis Cina. Sementara itu, Ernest Prakasa mengungkapkan pula wacana tentang tindakan kekerasan terhadap Etnis Cina, sebagai bagian dari keminoritasan Etnis Cina. Ernest Prakasa mengungkapkan tentang tindakan kekerasan berupa pemerasan terhadap dirinya yang beretnis Cina di masa lalu. Berikut penggalan kalimat yang diungkapkan oleh Ernest Prakasa dalam pertunjukan stand up comedynya: “Gue bukan apa-apa ya, FPI tuh, gue bukan takut sih. Cuma somehow memunculkan trauma gue jaman gue SMA. Gua dipalakin mulu ama-anak STM, ya kan. Kan putih putih, FPI kan putih putih dengan peci SNI nya, mereka ngga pake helm kan. Iya kan. Peci nya udah SNI, ngapain pake helm. Dengan peci SNI nya, gue inget jaman gue SMA git. Gue, gue pernah satu kali ni yah, gua naek bis tingkat. Ini yang angkatan Justin Bieber kaga bakal tau dulu bis ada yang tingkat yah. Dulu ada bis tingkat, swear. Iya kan ada bis tingkat dulu. Gue naek bis tingkat blok M kota, ya kan. Gua duduk di atas, entah kenapa pagi itu sepi banget yah. Gua duduk sendiri, serem banget kaga ada supirnya ya kan. Ya lah, ngapain supirnya dua. Gue duduk di atas, tiba tiba di Gajah Mada Plaza iya kan, tempat tongkrongan miund juga, tiba tiba di Gajah Mada Plaza, brrek…, naik anak STM serombongan. Udah, sebagian, dia tujuannya malak-malakin orang penumpang yang ada di bis ya kan. Sebagian naik ke atas, sebagiannya di bawah. Udah, gue di atas sendiri, gue bisa apa gitu, gue pasrah aja, kecuali gue jago kungfu ya kan..maju lo.. ya kan” …
27
tentang larangan menjalankan tradisi dan budaya Cina,
110
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
“Ya, anyway gue ga bisa Kungfu. Gue ga bisa apa apa yah, gue pasrah aja iya kan. Kan terus si anak STM nya nyamperin gue “Cina!” dia bilang gitu “anak mana lo?!”, gitu kan. Ada dua hal yang mengganggu gue dengan Kalimat ini, satu, saat dia bilang “Cina!”. Gue bingung dia tau darimana gue Cina ya kan. Mata?. Kalo mata gua diginiin baru keliatan Cina, ya kan?” Ernest Prakasa menceritakan pengalamannya di masa lalu, ketika ia mendapatkan tindakan kekerasan karena dirinya beretnis Cina. Kekerasan yang terjadi ketika Ernest Prakasa masih bersekolah di SMA (Sekolah Menengah Atas). Ernest Prakasa dipalak (diperas) oleh siswa dari STM (Sekolah Teknik Menengah). Ernest Prakasa memandang keCinaannya dirinya meningkatkan potensi untuk menjadi korban pemerasan yang terjadi saat itu. Hal tersebut nampak dari kalimat ”…kan terus si siswa STM nya nyamperin gue, Cina!”. Kalimat tersebut menampilkan Ernest Prakasa yang semakin tidak berdaya, ketika siswa STM yang hendak memerasnya menyadari calon korbannya adalah etnis minoritas. Ketidakberdayaan tersebut timbul dari keminoritasan Etnis Cina, sebagai kelompok etnis yang tidak memiliki ‘kekuasaan’, dan berjumlah lebih sedikit dari kelompok mayoritas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indoenesia, minoritas dapat diartikan sebagai: “Golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat dan karena itu didiskriminasikan oleh golongan lain itu”. Artinya bahwa, keminoritasan Etnis Cina di Indonesia tidak terbatas pada jumlah Etnis Cina yang lebih sedikit dari Pribumi. Walaupun pada beberapa bidang, Etnis Cina telah dianggap sebagai kelompok elit, seperti pada bidang perekonomian, dimana mereka dianggap menguasai bidang perekonomian di Indonesia. Namun demikian, tindakan diskriminasi berdasarkan ras, atau rasisme, yang menjadi bagian dari keminoritasan Etnis Cina, seperti yang diungkapkan oleh Ernest Prakasa tersebut diatas, dipandang tetap berlangsung hingga kini. 2. Struktur Humor stand up comedy yang ditampilkan Ernest Prakasa dalam merepresentasikan Etnis Cina pada Standupnite3 Melalui dimensi analisis genre, peneliti berusaha untuk memahami struktur humor stand up comedy yang ditampilkan oleh Ernest Prakasa. Dimana stand up comedy yang ditampilkan oleh Ernest Prakasa tersebut merepresentasikan realitas tentang Etnis Cina. Dengan memahami struktur humor yang digunakan dalam stand up comedy, maka mampu
111
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
untuk memahami bagaimana Etnis Cina terepresentasikan dalam peristiwa komunikasi yang terjadi dalam pertunjukan tersebut. Berikut analisis terhadap struktur humor stand up comedy yang dilakukan oleh Ernest Prakasa pada Standupnite3: a) Etnis Cina sebagai kelompok minoritas Dalam pertunjukan stand up comedynya, Ernest Prakasa mengungkapkan pandangannya tentang keminoritasan Etnis Cina. Berikut Struktur Humor dalam stand up comedynya: Tabel 2.2 Struktur humor Etnis Cina sebagai kelompok minoritas Humor Ini by the way yang Cina di sini tepuk tangan oey! yang Cina! Oey banyak banget, hidup Cina! Puji Tuhan malam ini saya bukan minoritas. Puji Tuhan yah…
Struktur Humor Set Up 1 Punchline 1
Ernest Prakasa menampilkan keminoritasan Etnis Cina, dalam kalimat sapaan pada set up. Sapaan yang merupakan pertanyaan kepada audiensnya, yang sekaligus menanyakan keberadaan audiens Etnis Cina di tempat tersebut. Ernest Prakasa menggunakan teknik humor satire. Dimana Ernest Prakasa melebih-lebihkan situasi. Situasi dimana Etnis Cina nampak menjadi ‘mayoritas’ pada tempat tersebut. Hingga mengambil kesimpulan yang dilebih-lebihkan, bahwa ia (Etnis Cina) bukan minoritas malam itu. Selain dalam bentuk ‘sapaan’ terhadap audiens yang beretnis Cina, Ernest menuturkan dampak lain dari keminoritasan Etnis Cina, yaitu tindakan diskriminatif. Berikut Struktur Humor dalam stand up comedynya: Tabel 2.3 Struktur humor Etnis Cina sebagai kelompok minoritas Humor
Struktur Humor Tapi gini yah, ini kan bulan Ramadhan ni yah. Suka ada sweeping-sweeping, Set Up 1 ni gua kasih tau buat yang Cina-Cina semua yang ada di sini. Jangan khawatir yah, jangan khawatir karena tadi udah, udah survey ya. Kalo sampe ada sweeping FPI di sana ada semak semak, Kita ngumpet di Punchline 1 sono yah. Oke? ngga mau ngumpet? mendingan disuruh ngumpet daripada disuruh ngaji Punchline 2 lo. Ngumpet aja lu sono. Dah, pokonya kalo ada FPI kita ngumpet di sana yah..
112
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Ernest Prakasa menampilkan kalimat ‘persuasi’, yang didahului oleh kalimat ‘menakutnakuti’ audiens yang beretnis Cina dalam set up. Menakut-nakuti Etnis Cina yang berpotensi di sweeping oleh FPI. Ernest Prakasa menggunakan teknik humor satire. Dimana Ernest Prakasa melebih-lebihkan tindakan sweeping yang dianggap sering dilakukan oleh FPI. Situasi tersebut menjadi berlebihan, mengingat FPI dikenal tidak melakukan sweeping terhadap Etnis Cina, namun Ernest Prakasa mengungkapkannya untuk menghadirkan kelucuan. 3. Gaya yang ditampilkan oleh Ernest Prakasa dalam pertunjukan stand up comedy yang merepresentasikan Etnis Cina pada Standupnite3 Melalui dimensi gaya, peneliti berusaha untuk mengeksplorasi gaya yang ditampilkan oleh Ernest Prakasa, ketika ia melakukan pertunjukan stand up comedy yang merepresentasikan Etnis Cina. Berikut sumber-sumber semiotik yang teridentifikasi, yang berkaitan dengan gaya yang ditampilkan oleh Ernest Prakasa pada pertunjukan Standupnite 3: a) Fashion yang dikenakan oleh Ernest Prakasa pada Standupnite 3 Dalam pertunjukan stand up comedy Standupnite 3, Ernest Prakasa mengenakan kaos oblong berwarna hitam. Kaos oblong yang ia kenakan dipadukan dengan celana jeans, berwarna biru gelap. Untuk alas kaki, Ernest Prakasa mengenakan sepatu kets berwarna putih. Di tangan kiri, Ernest mengenakan jam tangan hitam. Sementara itu, dipergelangan tangan terikat sebuah wristband28 berwarna hitam. Pada pertunjukan tersebut, Ernest Prakasa masih mempertahankan potongan rambut side-shaves, yaitu potongan rambut, yang membiarkan rambut bagian atas cukup panjang, sementara kedua bagian sisinya dipotong tipis. b) Gaya berbicara Ernest Prakasa Dalam pertunjukan stand up comedy Standupnite 3, Ernest Prakasa menuturkannya dalam bahasa Indonesia dengan gaya bahasa Jakartaan. Gaya bahasa tersebut merupakan gaya bahasa Indonesia percakapan, yang dipengaruhi oleh dialek Betawi. Seperti penggunaan kata ganti orang pertama tunggal “gue”. Namun dialek Betawi tersebut tidak terlalu sering diucapkan, sehingga Ernest Prakasa nampak tidak terlalu menunjukan dirinya sebagai bagian dari masyarakat Betawi, namun seperti warga Jakarta. Sesekali
28
Gelang tangan
113
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Ernest Prakasa menggunakan istilah-istilah asing, seperti “sing a long”, atau “something very simple”, dalam pengucapan yang fasih. 4. Modalitas tentang Etnis Cina yang ditampilkan dalam stand up comedy oleh Ernest Prakasa pada Standupnite3 Melalui dimensi modalitas, peneliti berupaya untuk memahami realitas tentang Etnis Cina. Realitas yang berpotensi tercipta melalui pemilihan fakta dan imajinasi tentang Etnis Cina, yang terepresentasikan dalam pertunjukan stand up comedy oleh Ernest Prakasa. Berikut hasil penelitian tentang pemilihan fakta dan imajinasi tentang Etnis Cina yang terepresentasikan dalam pertunjukan stand up comedy oleh Ernest Prakasa di Standupnite 3: a) Etnis Cina sebagai kelompok minoritas Pada pertunjukan stand up comedynya, Ernest Prakasa menampilkan realitas tentang Etnis Cina sebagai kelompok minoritas yang kerap mendapatkan tindakan diskriminatif. Berikut realitas tersebut disajikan dalam bahasa yang diciptakan oleh Ernest Prakasa dalam pertunjukan stand up comedynya: “Ini by the way yang Cina di sini tepuk tangan oey!.Yang Cina!. Oey banyak banget, hidup Cina! Puji Tuhan malam ini saya bukan minoritas. Puji Tuhan yah…” Ernest Prakasa berbicara tentang keminoritasan dalam sebuah bit humor stand up comedy singkat. Keminoritasan Etnis Cina yang diungkapkan oleh Ernest Prakasa didasarkan pada keriuhan audiens yang bertepuk tangan di tempat tersebut, yang menunjukan bahwa Etnis Cina tidak lagi minoritas. Ketidak-minoritasan Etnis Cina yang diungkapkan oleh Ernest Prakasa disajikan dengan bahasa yang menunjukan tingkat modalitas tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh keriuhan tepuk tangan penonton, dan penggunaan kata “malam ini”. Konteks waktu yang singkat memungkinkan terjadinya ketidak-minoritasan Etnis Cina, yang didasarkan pada jumlah penonton beretnis Cina yang terungkap melalui tepuk tangan yang riuh, ketika ia meminta penonton beretni Cina untuk bertepuk tangan. Namun, penempatan pernyataan yang tidak logis (punchline), yaitu ketika Ernest Prakasa mengatakan: “Puji Tuhan malam ini saya bukan minoritas”, ‘meruntuhkan’ tingkat modalitas yang sebelumnya disajikan. Oleh karena itu, maka tema tentang Etnis Cina yang bukan minoritas disajikan dalam tingkat modalitas kebenaran yang rendah, karena menyajikan “kesimpulan” dalam sebuah punchline, yang
114
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
menunjukan bahwa kalimat tersebut merupakan bagian inkonsisten, atau tidak logis dari paragraf tersebut. Selanjutnya, Ernest Prakasa ‘menanggalkan’ ketidak-minoritasan Etnis Cina pada malam itu, dengan kembali menceritakan persitiwa yang menampilkan tindakan diskriminatif sebagai bagian dari keminoritasan Etnis Cina. Berikut realitas tersebut disajikan dalam bahasa yang diciptakan oleh Ernest Prakasa dalam pertunjukan stand up comedynya: “Tapi gini yah, ini kan bulan Ramadhan ni yah. Suka ada sweepingsweeping, ni gua kasih tau buat yang Cina-Cina semua yang ada di sini. Jangan khawatir yah, jangan khawatir karena tadi udah, udah survey ya. Kalo sampe ada sweeping FPI di sana ada semak semak, Kita ngumpet di sono yah. Oke? ngga mau ngumpet? mendingan disuruh ngumpet daripada disuruh ngaji lo. Ngumpet aja lu sono. Dah, pokonya kalo ada FPI kita ngumpet di sana yah”. Ernest mengungkapkan ajakan pada audiensnya yang beretnis Cina untuk bersembuyi bila ada sweeping. Ajakan terebut dibangun dengan bahasa yang menampilkan modalitas kenyataan yang rendah. Walaupun diawal bit humor stand up comedynya, Ernest Prakasa menampilkan dasar pemikiran yang cukup logis, yaitu pada kalimat: “…ini kan bulan Ramadhan ni yah. Suka ada sweeping-sweeping…”. Namun tidak menghubungkan dengan logis keterkaitannya dengan Etnis Cina. Sehingga situasi yang terjadi, “sweeping di bulan Ramadhan”, seolah tidak terkait dengan Etnis Cina. Maka wacana tentang Etnis Cina yang di sweeping ditampilkan dalam modalitas yang rendah. Pada pertunjukan stand up comedy yang sama, Ernest Prakasa mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Gus Dur, karena jasanya yang membuat tindakan rasisme pada Etnis Cina berkurang.
Berikut realitas tersebut disajikan dalam bahasa yang
diciptakan oleh Ernest Prakasa dalam pertunjukan stand up comedynya: “Tapi sekarang ini gue rasa kalo Cina Cina di Indonesia sejak jaman Gus Dur ke sini nasibnya sudah lebih baik ya. Sudah lebih ee…, apa namanya. Hidup gus dur!. Gue ber, ee... dalam hati gue berterima kasih sama Gus Dur, kita jadi, rasisme sedikit berkurang. Engga kaya jaman gue kecil kemana mana “Akew! Akew!”. Ni gue kasih tau sama lo, lo, yang ngga tau ya. Orang Cina namanya banyak, ada Akiong, Asiung, ada Aliong. Kenapa Akew doang gitu. Ngga semua juga depannya “A” ada Fey fey, ada Fang fang, ada Cen cen. Kenapa disamaratain semuanya, Akew. Hadooh…” Ernest Prakasa mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Gus Dur, karena jasanya yang membuat tindakan rasisme pada Etnis Cina berkurang. Ernest Prakasa memberi contoh tentang tindakan rasisme yang berkurang tersebut, yaitu ejekan dengan menggunakan kata
115
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
“Akew”. Rasa terimakasih Ernest Prakasa terhadap Gus Dur ditampilkan dalam bahasa dengan tingkat modalitas rendah. Hal tersebut nampak dari penggunaan kata “sudah lebih baik”. Penggunaan kata “sudah lebih baik” menunjukan bahwa ‘kebaikan’ yang nampak tidak terlalu menonjol. Hal tersebut didukung pula ketika Ernest Prakasa menggunakan kata: “rasisme sedikit berkurang”. Penggunaan kalimat “sudah lebih baik”, dan “sedikit berkurang”, menunjukan pandangan Ernest Prakasa tentang rasisme yang membaik, namun tidak terlalu berarti. Maka ketika dikaitkan dengan kalimat “dalam hati gue berterimakasih sama Gus Dur”, rasa terimakasih Ernest Prakasa ditampilkan dalam modalitas rendah, atau dengan kata lain “Ernest Prakasa tidak terlalu berterima kasih”. Demikianpun penggunaan kata “dalam hati”, tetap mengaburkan derajat kebenaran tentang Ernest Prakasa yang “berterima kasih”. Dimana Ernest Prakasa tidak secara terbuka berterimakasih pada Gus Dur.
Simpulan Sebuah pertunjukan stand up comedy merupakan sebuah peristiwa komunikasi. Dimana didalamnya terdapat proses pemaknaan atas pesan-pesan yang tercipta. Metode analisis semiotika sosial yang dikembangkan oleh Theo Van Leeuwen, berusaha untuk memahami pesan sebagai sumber semiotik, dan makna potensial atas sumber-sumber semiotik tersebut. Makna potensial atas sumber semiotik, yang yang diproduksi dalam peristiwa komunikasi pertunjukan stand up comedy yang dilakukan oleh seoran comic Ernest Prakasa. Dengan mendasarkan pada dimensi analsis semiotika sosial, yaitu wacana, genre, gaya, dan modalitas, maka penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1) Dari ragam wacana tentang Etnis Cina yang terepresentasikan dalam pertunjukan stand up comedy yang dilakukan oleh Ernest Prakasa, menyimpulkan bahwa: Etnis Cina tidak nyaman dengan keminoritasannya; Kaum muda Etnis Cina mencintai sekaligus membenci tradisi dan budayanya; Etnis Cina menganggap diri sebagai ras unggul; Etnis Cina memandang penting kekayaan; dan Istilah “Cina” tidak dianggap menghina 2) Etnis Cina terepresentasikan pada bagian set up dan punchline dalam struktur humor stand up comedy yang dilakukan oleh Ernest Prakasa. Sebuah set up humor stand up comedy yang merepresentasikan Etnis Cina, berfungsi mengkomunikasikan kepada audiensnya tentang: keberadaan kelompok minoritas Etnis Cina di Indonesia, dengan berbagai karakteristiknya, dan berbagai budaya Cina yang menjadi bagian budaya masyarakat Indonesia. Sementara itu, sebuah punchline humor stand up comedy yang
116
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
merepresentasikan
Etnis
Cina,
berfungsi
untuk
mengajak
audiensnya
untuk
mentertawakan orang Cina, dan mentertawakan pemahaman orang lain tentan Etnis Cina. 3) Dalam pertunjukan stand up comedy yang merepresentasikan dirinya, Ernest Prakasa memilih fashion, dengan mengenakan kaos oblong, celana jeans, dan memakai sepatu kets; dan berpotongan rambut side-shaves. Sementara itu, Ernest Prakasa menggunakan gaya berbicara jakartaan dalam melakukan pertunjukan stand up comedynya. 4) Dalam pertunjukan stand up comedynya, Ernest Prakasa merepresentasikan Etnis Cina dalam bahasa yang menunjukan tingkat modalitas tinggi. Dimana berpotensi untuk dimaknai sebagai sebuah kebenaran, diantaranya adalah: Etnis Cina sebagai keturunan orang-orang dari Daratan Cina; Etnis Cina di Indonesia sebagi korban tindakan rasisme; Banyak orang Cina miskin di Indonesia; orang Cina terampil beladiri Kungfu; dan orang Cina suka berjudi. Sementara itu, sebagian lainnya disajikan dalam bahasa yang menunjukan tingkat modalitas yang tinggi. Dimana tidak berpotensi untuk dimaknai sebagi sebuah kebenaran, diantaranya adalah: Etnis Cina sebagai kelompok minoritas; orang Cina korban diskriminasi; orang Cina jago dagang; orang Cina dulu hidupnya susah.
Saran 1) Berdasarkan temuan hasil penelitian ini, nampak bahwa sebagai kelompok minoritas, Etnis Cina di Indonesia membutuhkan pemahaman yang lebih baik dari kelompok mayoritas. Pemahaman yang hanya dapat diperoleh melalui empati, yang dilakukan untuk memahami Etnis Cina dari sudut pandang Etnis Cina itu sendiri. Bukan pemahaman yang dipaksakan dari sudut pandang observer. Oleh karena itu, disarankan kepada para pembuat kebijakan dan kelompok mayoritas untuk melibatkan empati dalam kaitannya untuk memahami dan menerima keberadaan Etnis Cina di Indonesia, sehingga pembauran dapat berjalan dengan lebih baik. 2) Pertunjukan stand up comedy kini telah menjadi bagian dari produk budaya masyarakat Indonesia yang berkembang dengan pesat. Sebagai sebuah produk budaya, maka hendaknya setiap pihak yang terlibat dalam proses berkembangnya stand up comedy di Indonesia, memanfaatkan momentum tersebut dengan lebih arif dan bijaksana. Tidak semata-mata berorientasi mengumpulkan laba dan keuntungan semata. Karena stand up comedy memiliki potensi lebih besar, tidak sekedar sebagai sebuah hiburan. Namun
117
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
berpotensi mendukung proses pembudayaan demokrasi di Indonesia. Dimana tema, isu, atau wacana yang terepresentasikan dalam stand up comedy berpotensi dimaknai sebagai sebuah realita, dan menginformasikan banyak hal. Sehingga seorang comic dapat menyisipkan pesan, nilai, kepercayaan, dan ideologi dalam humornya untuk kebaikan bersama. 3) Penelitian ini memiliki banyak keterbatasan, baik keterbatasan teknis maupun metodologis. Keterbatasan teknis hadir dikarenakan terbatasnya unit analisis yang diperoleh untuk melakukan penelitian ini. Serta terbatasnya infomasi yang diperoleh berkaitan dengan konteks situasional atas peristiwa-peristiwa yang dianlisis. Sehingga penelitian ini dapat dipandang lemah dalam hal analisiss kontekstual. Sementara itu, keterbatasan metodologis hadir karena kurangnya literatur pendukung, serta penelitian serupa yang dijadikan referensi. Hal tersebut dikarenakan metode analisis semiotik sosial The Van Leeuwen yang digunakan dalam penelitian ini, relatif baru di Indonesia. untuk itu, disarankan pada peneliti yang akan melakukan penelitian serupa, untuk dapat memperkaya data yang digunakan melalui peningkatan kualitas dokumentasi unit analisis yang digunakan. Demikian pula disarankan kepada peneliti yang akan melakukan penelitian serupa, untuk menggunakan metode penelitian lainnya, seperti penggunaan metode analisis wacana kritis, atau metode semiotika lainnya.
118
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
DAFTAR PUSTAKA Afif, Afthonul. (2012). Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan mencari jati diri. Depok: Penerbit Kepik Agus, Bustanuddin. (2006). Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar antropologi agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Anggraeni, Dewi. (2010). Mereka Bilang Aku China: Jalan mendaki menjadi bagian bangsa. Yogyakarta: Bentang Pustaka Attardo, Salvatore. (1994). Linguistic Theories of Humor. Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Co Barnard, Malcolm. (2011). Fashion Sebagai Komunikasi: Cara mengomunikasikan identitas sosial, seksual, kelas, dan gender. Yogyakarta: Jalasutra Blake, Marc. (2005). How To Be A Comedy Writer. Chichester UK: Summerdale Publisher Ltd. Bonavia, David. (1980). China dan Masyarakatnya (diterjemahkan oleh: Dede Oetomo). Jakarta: Penerbit Erlangga Booth., W. C.(2004). The Rhetoric of Rhetoric. Malden USA: Blackwell Publishing Chandler, Daniel. (2007). Semiotics: The basic. New York: Routledge Denzin, N.K., & Lincoln, Y.S. (2009). Hanbook of Qualitative Reseach. Yogyakarta: Pustaka Pelajar -----------------------------------. (2011). Hanbook of Qualitative Reseach 1: edisi kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar -----------------------------------. (2011). Hanbook of Qualitative Reseach 2: edisi ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Giddens, Anthony. (2010). Teori Strukturasi: Dasar-dasar pembentukan struktur sosial masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Gilbert, J.R. (2004). Performing Marginality: Comedy, Identity, and Cultural Critique. Michigan: Wayne State University Press Hidajat, Z.M.(1993). Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia. Bandung: Tarsito Ibrahim, Idi Subandy. (2007). Budaya Populer Sebagai Komunikasi: Dinamika popscape dan mediascape di Indonesia kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra Jaeni. (2012). Komunikasi Estetik: Menggagas kajian seni dari peristiwa komunikasi. Bogor: IPB Press Jahja, Junus.H. (2002). Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Keping, Wang. (2007). Etos Budaya China. Jakarta: PT Elex Media Komputindo King, Larry. (1994). Seni Berbicara: Kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja. diterjemahkan oleh Marcus Prihminto Widodo. Jakarta: PT Gramedia Kusumohamidjojo, Budiono. (2010). Sejarah Filsafat Tiongkok: Sebuah pengantar komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra Kuypers., J.A.(2009). Rhetorical Criticism. Playmouth UK: Lexington Books Leeuwen, Theo Van. (2004). Introducing Social Semiotic. New York: Routledge --------------------------.(2008). Discourse and Practice: New tools for critical discourse analysis. New York: Oxford University Press Limon, John. (2000). Stand-up Comedy in Theory, or, Abjection in America. London: Duke University Press Littlejohn, S.W., & Foss, K.A. (2009). Encyclopedia of Communication Theory. United States of America: SAGE Publishing
119
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
--------------------------------------------. (2009). Teori Komunikasi (diterjemahkan oleh: M. Y. Hamdan). Jakarta: Salemba Humanika Machin, D., & Leeuwen, T. V. (2007). Global Media Discourse: A critical introduction. New York: Routledge Mulyana, Deddy. (2008). Komunikasi Humoris. Bandung: Simbiosa Rekatama Media --------------------.(2009). Komunikasi: Suatu pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya --------------------.(2009). Komunikasi: Suatu pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya --------------------.(2012). Cultures and Communication: An Indonesian scholar’s perspective. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Mulyana, D., & Rakhmat, J. (2010). Komunikasi Antarbudaya: Panduan berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Noordjanah, A. (2010). Komunitas Tionghoa di Surabaya. Yogyakarta: Ombak Nordholt, H.S., & Klinken, G.V. (2007). Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV Ode, L.M.D. (2012). Etnis Cina Indonesia Dalam Politik: Politik etis Cina Pontianak dan Singkawang di era reformasi 1998-2008. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia Onghokham. (2009). Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Depok: Komunitas Bambu Papana, Ramon. (2012). Kitab Suci: Kiat tahap awal belajar stand up comedy. Jakarta: PT TransMedia Pragiwaksono, Pandji. (2012). Merdeka Dalam Bercanda. Jakarta: Bentang Pranoto, Eko Dharma. (2009). Resep Kaya Ala Cina. Jakarta: Penerbit Andi Poerwanto, Hari. (2005). Orang Cina Khek Dari Singkawang. Jakarta: Komunitas Bambu Rahoyo, Stefanus. (2010). Dilema Tionghoa Miskin. Yogyakarta: Tiara Wacana Rakhmat, Jalaluddin. (2002). Retorika Modern: Pendekatan praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Raskin, Victor. (2008). The Primer of Humor Reseach. Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Co Santosa, Iwan. (2012). Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan perjalanan dari barat ke timur. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara Saptono, Andri. (2010). Pangu, Fu, & Nuwa: Kisah-kisah mitologi China. Jakarta: PT Suka Buku Setiadi, E.M., & Kolip, U. (2011). Pengantar Sosiologi: Pemahaman fakta dan gejala permasalah sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Seng, Ann Wan. (2007). Rahasia Bisnis Orang Cina. Jakarta: Hikmah Setiawan, Teguh. (2012). Cina Muslim: Dan runtuhnya republik bisnis. Jakarta: Republika Sobur, Alex. (2001). Analisis Teks Media: Suatu pengantar untuk analisis wacana, analisis semiotik, dan analisi framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya -----------------.(2003). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Sunyoto, Danang. (2009). Mengapa Banyak Orang Cina Kaya dan Berhasil?. Jakarta: Surya Media Suryadinata, Leo. (1999). Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: PT Pustaka Lp3ES Indonesia -----------------------. (2010). Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah bunga rampai 1965-2008. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara -----------------------. (2002). Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indoensia. Jakarta: LP3ES Susanto., A.S. (1975). Pendapat Umum. Bandung: Binacipta Sutopo, FX. (2009). China : Sejarah Singkat. Jogjakarta: Garasi Tan, Mely. G. (2008). Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Tubbs, S.L., & Moss, S. (2005). Human Communication: Konteks-konteks komunikasi (buku kedua). Bandung: PT Remaja Rodakarya
120
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Vermuelen, J.T. (2010). Tionghoa Di Batavia dan Huru-hara 1740. Jakarta: Komunitas Bambu West, R., & Turner, L.H. (2010). Introducing Communication Theory: Analysis and application. New York: McGraw-Hill Wibowo, Ignatius. (2000). Harga Yang Harus Dibayar: Sketsa pergulatan etnis Cina di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Wibowo, Ignatius., & Lan, Thung Ju. (2010) Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa pasca-peristiwa Mei 1998. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara Wibowo, Ivan. (2008). Pemikiran Tionghoa Muda: Cokin? So what gitu loh!. Jakarta: Komunitas Bambu Wijaya, J.A. (2011). The Power Of Bisa: Yes I can saya bisa bukan karena kepepet. Jakarta: Andi Publisher Wijayakusuma, M.H. (2005). Pembantaian Massal 1740: Tragedi berdarah angke. Jakarta: Pustaka Populer Obor West, R., & Turner, L.H. (2008). Pengantar Teori Komunikasi: analisis dan aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika Yin, R. K. (2011). Studi Kasus: desain & metode. Jakarta: PT Raja Grafinso Persada Jurnal & Penelitian Falk, Oskar. (tanpa tahun). Representation of Ethnicity in Stand-Up Comedy: A study of the comedy of Dave Chappelle. University of Gothenburg. Gautama, M. I. (2004). Inul Dalam Media: Analisis semiotika sosial pemberitaan goyang ngebor tabloid Bintang Indonesia, Cek & Ricek, dan Citra. Bandung: Universitas Padjadjaran. (Tesis) Hemmingson, Michael. (2008). Make Them Gigle: Ethnography as stand-up comedy. California. (article) Hirji, Faiza. (2009). “Somebody Going to Get Hurt Real Bad”: The race-based comedy of Russell Peters. Canada: Canadian Journal of Communicatin Jaeni. (2005). Komunikasi Seni Pertunjukan Teater Rakyat. UNPAD. (Tesis) ------. (2011). Komunikasi Estetik Dalam Pertunjukan Teater Rakyat: Studi etnografi komunikasi pada pertunjukan sandiwara Cirebon “Dharma Samudra” sebagai peristiwa komunikasi antar pelaku dan publik di Desa Cangkring, Plered, Cirebon. UNPAD. (desertasi) Lynch, O.H. (2002). Humorus Communication: Finding a places for humor in communication reseacrh. International Communication Association: jurnal --------------. (2005). Humor At Work: Using humor to study organization as a social process. Texas: Texas A & M University. (Disertasi) Texas A&M University Oliar, D., & Sprigman, C. (tanpa tahun). The Emergence of Intellectual Property Norms in Stand-Up Comedy. University of Virginia. (article) Restiasih, Tanti. (2006). Orang Cina di Bandung, 1930-1960: Merajut geliat siasat minoritas Cina. (artikel pada Konferensi Nasional Sejarah VIII) Schwarz, Jeannine. (2010). Linguistic Aspect of Verbal Humor in Stand Up Comedy. Universitat des Saarlandes. (dessertation) Sjarifah, N.A. (2010). Transformasi Identitas Pelaku Konvensi Agama Etnis Cina di Kota Bandung: Studi Fenomenologi terhadap perubahan pola komunikasi dan konsep diri pelaku konvensi agama Etnis Cina di Mesjid Lautze Kota Bandung. Bandung: Universitas Padjadjaran. (Desertasi).
121
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Sjöbohm, Juan. (2008). Stand Up Comedy Around The World: Americanisation and the role of globalised media. Swedia: Malmö University. Sturges, Paul. (2010). Comedy as Freedom of Expression. Loughborough University: Journal of Documentation Rujukan Elektronik: www.antaranews.com/berita/338102/lemhanas-gelar-kuliah-umum-tentang-diaspora-china (diakses tanggal 1 November 2012, pukul 23.18 WIB) http://web.budaya-tionghoa.net/home/107-etnis-tionghoa-adalah-bagian-dari-integralbangsa-indonesia (diakses tanggal 8 September 2012. Pukul 22:15) bangka.tribunnews.com/mobile/index.php//2012/09/20/istri-ahok-tak-hiraukan-ancaman (diakses tanggal 20 September 2012, pukul 18.12) www.indosiar.com/raga/cina-benteng_39129.htm (diakses tanggal 1 November 2012, pukul 23.33 WIB) budaya-tionghoa.net/budaya-tionghoa/marga-tionghoa-chinese-surname/1296pertanyaan-mengenai-nama-generasi (diakses tanggal 22 September 2012, pukul 21.10)
122
JURNAL LISKI | Lingkar Studi Komunikasi
Mitra Bebestari
Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA Dr. Dewi K. Soedharsono, M.Si Dr. Harliantara, M.Si Dr. Dede Mulkan, M.Si
123