FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL PADA PASIEN YANG DATANG BEROBAT DI KLINIK INFEKSI MENULAR SEKSUAL PUSKESMAS LIMBA B KECAMATAN KOTA SELATAN KOTA GORONTALO Febrianingsih M. Muda, Rini Zees, Edwina R. Monayo Jurusan Ilmu Keperawatan FIKK UNG Email:
[email protected]
ABSTRAK Febrianingsih M. Muda. 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual pada Pasien yang Datang Berobat di Klinik Infeksi Menular Seksual Puskesmas Limba B Kecamatan Kota Selatan Kota Gorontalo. Skripsi, Jurusan Keperawatan, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan, Universitas Negeri Gorontalo. Pembimbing I, Rini Zees, S.Kep, Ns M.Kep dan Pembimbing II, dr. Edwina R. Monayo, M. Biomed. Daftar pustaka: 52 (2003-2014). Infeksi menular seksual merupakan penyakit yang penularannya terutama melalui hubungan seksual. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kejadian Infeksi Menular Seksual yaitu status perkawinan, status sosial ekonomi dan tindakan pemakaian kondom. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian Infeksi Menular Seksual. Jenis penelitian yang digunakan adalah Cross Sectional Study dengan uji Fisher sebagai teknik pengolahan data. Populasi adalah seluruh pasien IMS yang berkunjung di Klinik Infeksi Menular Seksual Puskesmas Limba B selama tahun 2013 berjumlah 377 orang, sedangkan sampel sebanyak 50 orang yang ditentukan melalui teknik Purposive Sampling. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan signifikan antara status perkawinan (p=0,001), status sosial ekonomi (p=0,000) dan tindakan pemakaian kondom (p=0,009) dengan kejadian Infeksi Menular Seksual, dengan nilai α (0,05). Untuk itu disarankan bagi petugas kesehatan setempat agar sering mengadakan penyuluhan kesehatan tentang pentingnya menghindari penyakit infeksi yang penularannya terjadi lewat hubungan seksual yang sering berganti pasangan. Kata Kunci : Infeksi Menular Seksual, Status Perkawinan, Sosial ekonomi, Kondom1
1
Febrianingsih M. Muda, 841410076, Jurusan Ilmu Keperawatan FIKK UNG, Rini Zees, S.Kep, Ns M.Kep, dr. Edwina R. Monayo, M. Biomed
Infeksi menular seksual adalah penyakit yang penularannya terutama melalui hubungan seksual (Djuanda, 2007). Menurut WHO (2009), terdapat lebih kurang 30 jenis mikroba (bakteri, virus, dan parasit) yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhoeae, chlamydia, syphilis, trichomoniasis, chancroid, herpes genitalis dan hepatitis B. Faktor-faktor yang terkait dengan kejadian infeksi menular seksual diantaranya adalah penyebab penyakit (agent), host (umur, jenis kelamin, pilihan dalam hubungan seksual, status perkawinan dan pemakaian kondom) dan faktor lingkungan (faktor demografi, sosial ekonomi, kebudayaan dan medik). Kejadian IMS biasanya terjadi pada seseorang yang belum menikah , bercerai atau orang yang terpisah dari keluarganya bila dibandingkan dengan orang yang sudah menikah karena pemenuhan kebutuhan seksualnya terpenuhi, namun dilapangan ada juga yang terjadi pada seseorang yang sudah menikah. Data yang dilaporkan di klinik IMS, menunjukan 49,4 % pasien sudah berstatus menikah. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Nadiah (2010), yang menunjukan bahwa Insiden IMS lebih banyak pada kelompok sudah menikah yang aktif seksual karena kelompok ini memiliki faktor lebih besar untuk menularkan atau tertular IMS. Sosial ekonomi sering menjadi alasan seseoarang masuk ke dalam lingkaran hitam prostitusi. Tidak memiliki modal untuk kegiatan ekonomi, tidak memiliki keterampilan maupun pendidikan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sehingga menjadi pekerja seks merupakan pilihan (Utami, 2010). Data yang dilaporkan di klinik IMS menunjukkan, sebagian dari penderita ada yang bekerja sebagai WPS/ PPS dan 65,5 % tidak bekerja dengan umur penderita sebagaian besar > 20 tahun dan diduga kejadian IMS ini ada hubungannya dengan faktor sosial ekonomi. Pemakaian kondom pada kelompok resiko merupakan isu penting dalam kebijakan penanggulangan IMS. Penggunaan kondom yang tidak konsistensi merupakan faktor resiko untuk terjadinya infeksi menular seksual sebesar 1,8 kali lebih (Arifin, 2012). Data yang dilaporkan di klinik IMS, menunjukan bahwa 85% dari pelaku seksual atau kelompok yang beresiko, tidak menggunakan kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan berbagai alasan tertentu, sehingga hal ini dapat meningkatkan resiko penularan IMS. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual pada Pasien yang Datang Berobat di Klinik Infeksi Menular Seksual Puskesmas Limba B Kecamatan Kota Selatan Kota Gorontalo”. Metode Penelitian Penelitian dilakukan di Puskesmas Limba B Kecamatan Kota Selatan Kota Gorontalo tepatnya di klinik IMS sejak tanggal 10 Februari s/d 10 Maret 2014. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi pada penelitian ini yaitu seluruh pasien IMS berkunjung di Klinik infeksi menular seksual Puskesmas Limba B Kecamatan Kota Selatan Kota Gorontalo selama tahun 2013, yang berjumlah 377 orang dan teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan cara purposive sampling. Sampel juga menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil dan Pembahasan a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Jumlah Umur (Tahun) N % 12-16 17-25 26-35 36-45
2 22 25 1
4,0 44,0 50,0 2,0
Total 50 Sumber : data primer 2014
100
Dari tabel 4.1 menggambarkan bahwa dari 50 responden yang diteliti untuk kelompok umur 12-16 tahun sebanyak 2 responden (4,0%), untuk kelompok umur 17-25 tahun sebanyak 22 responden (44,0%), kelompok umur 26-35 sebanyak 25 responden (50,0 %), dan kelompok umur 36-45 sebanyak 1 responden (2,0%). Jadi distribusi tertinggi terdapat pada kelompok umur 26-35 tahun yaitu sebesar 50,0% dan distribusi terendah pada kelompok umur 36-45 tahun yaitu sebesar 2,0%. b. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jumlah Jenis Kelamin N % Laki-laki Perempuan
19 31
38,0 62,0
Total 50 Sumber : data primer 2014
100
Dari tabel 4.2 dapat diketahui distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin yaitu didapatkan bahwa jumlah responden laki - laki berjumlah 19 responden (38,0%) dan jumlah responden perempuan berjumlah 31 responden (62,0%). Jadi distribusi terbanyak berdasarkan jenis kelamin adalah perempuan yang berjumlah 31 responden (62,0 %). c. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Perkawinan Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Status Perkawinan Jumlah Status Perkawinan N % Kawin Tidak kawin
30 20
60,0 40,0
Total 50 Sumber : data primer 2014
100
Dari tabel 4.3 dapat diketahui distribusi frekuensi responden berdasarkan status perkawinan didapatkan bahwa jumlah responden yang berstatus kawin berjumlah 30 responden (60,0%) dan responden yang berstatus tidak kawin berjumlah 20 responden (40,0%). d. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Sosial Ekonomi Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Status Sosial Ekonomi Jumlah Sosial Ekonomi N % Baik Kurang
16 34
32,0 68,0
Total 50 Sumber : data primer 2014
100
Dari tabel 4.4 dapat diketahui distribusi frekuensi responden berdasarkan status sosial ekonomi yaitu responden dengan status sosial ekonomi baik berjumlah 16 responden (32,0%) dan responden dengan status sosial ekonomi kurang berjumlah 34 responden (68,0%). e. Karakteristik Responden Berdasarkan Tindakan Pemakaian Kondom Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Tindakan Pemakaian Kondom Jumlah Pemakaian Kondom N % Baik Kurang
8 42
16,0 84,0
Total 50 Sumber : data primer 2014
100
Dari tabel 4.5 dapat diketahui distribusi frekuensi responden berdasarkan tindakan pemakaian kondom yaitu responden yang tergolong tindakan pemakaian kondom kurang berjumlah 42 responden (84,0%) dan responden yang tergolong tindakan pemakaian kondom baik berjumlah 8 responden (16,0%). f. Karakteristik Responden Berdasarkan Kejadian IMS Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Kejadian IMS Jumlah Kejadian IMS N % Menderita Tidak Menderita
34 16
68,0 32,0
Total 50 Sumber : data primer 2014
100
Dari tabel 4.6 didapatkan bahwa responden yang menderita infeksi menular seksual sebanyak 34 responden (68,0%) dan responden yang tidak menderita infeksi menular seksual sebanyak 16 responden (32,0%).
g.
Hubungan Status Perkawinan dengan Kejadian IMS Tabel 4.7 Hubungan Status Perkawinan dengan Kejadian IMS pada Pasien yang Datang Berobat di Klinik IMS Puskesmas Limba B Kec.Kota Selatan Kota Gorontalo Kejadian IMS Jumlah Status Perkawinan Menderita Tidak Menderita N % N % N % 15 44,1 15 93,8 30 60,0 Kawin 19 55,9 1 6,2 20 40,0 Tidak Kawin 34 100 16 100 50 100 Total P Value = 0.001 Sumber : Data Primer 2014 Berdasarkan tabel 4.7 diperoleh bahwa responden yang menderita IMS dengan kategori status perkawinan “kawin” sebanyak 15 orang (44,1%) dan responden dengan kategori status perkawinan “tidak kawin” sebanyak 19 orang (55,9%). Sedangkan responden yang tidak menderita IMS dengan kategori status perkawinan “kawin” sebanyak 15 orang (93,8%) dan responden dengan kategori status perkawinan “tidak kawin” sebanyak 1 orang (6,2%). Dari hasil uji Fisher diperoleh nilai p = 0,001 (<0,05). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang bemakna antara status perkawinan dengan kejadian IMS. Dari hasil penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa penderita IMS lebih banyak pada seseorang yang tidak kawin sesuai dengan hasil penelitian yang didapat yakni sebanyak 19 orang (55,9%). Setelah dikaji lebih dalam dengan penderita, IMS terjadi karena pada seseorang yang tidak kawin baik laki-laki maupun perempuan kebutuhan akan seksual lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang sudah kawin, sehingga perilaku seks yang tidak aman dengan pasangan yang beresiko menularkan IMS dapat menjadi sumber terinfeksinya IMS pada diri seseorang yang tidak kawin. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Setyawulan (2007) yang mengemukakan bahwa insiden IMS lebih tinggi pada orang yang belum kawin, bercerai atau orang yang terpisah dari keluarganya bila dibandingkan dengan orang yang sudah kawin karena pemenuhan kebutuhan seksualnya terpenuhi. Selain terjadi pada seseorang yang tidak kawin, IMS juga sering terjadi pada seseorang yang sudah kawin. IMS yang terjadi pada perempuan yang sudah kawin disebabkan karena suami yang suka bergonta ganti pasangan akibat terjadinya kejenuhan dalam rumah tangga sehingga menyebabkan istri rentan terhadap IMS. Sedangkan IMS yang terjadi pada penderita laki-laki yang berstatus kawin berjumlah 4 orang dikarenakan penderita sering merasa bosan dengan pasangan akibat terjadinya kejenuhan karena aktivitas seksual terasa monoton sehingga timbul keinginan untuk “jajan diluar”. Hal ini juga dapat dilihat dari segi usia responden yakni paling banyak (50,0%) responden berusia 26-35 tahun (usia dewasa awal/ pertengahan). Menurut Munajat (2000), ketidakpuasan seksual lebih mudah terjadi pada pernikahan dengan usia pertengahan (middle marriage). Kehidupan seksual terasa lebih gersang sehingga mudah mencapai kebosanan dan Aktivitas seksual terasa monoton karena kurang bervariasi sehingga bisa menyebabkan seseorang suka bergonta ganti pasangan (dalam Anonim, 2011).
h.
Hubungan Status Sosial Ekonomi dengan Kejadian IMS Tabel 4.8 Hubungan Status Sosial Ekonomi dengan Kejadian IMS pada Pasien yang Datang Berobat di Klinik IMS Puskesmas Limba B Kec.Kota Selatan Kota Gorontalo Kejadian IMS Jumlah Sosial Menderita Tidak Menderita Ekonomi N % N % N % 5 14,7 11 68,8 16 32,0 Baik 29 85,3 5 31,2 34 68,0 Kurang 34 100 16 100 50 100 Total P Value = 0,000 Sumber : Data Primer 2014 Berdasarkan tabel 4.8 diperoleh bahwa responden yang menderita IMS dengan kategori status sosial ekonomi baik sebanyak 5 orang (14,7%) dan responden dengan kategori status sosial ekonomi kurang sebanyak 29 orang (85,3%). Sedangkan responden yang tidak menderita IMS dengan kategori status sosial ekonomi baik sebanyak 11 orang (68,8%) dan responden dengan kategori status sosial ekonomi kurang sebanyak 5 orang (31,2%). Dari hasil uji Fisher diperoleh nilai p = 0,000 (<0,05). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang bemakna antara status sosial ekonomi dengan kejadian IMS. Dari hasil penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa IMS sebagian besar disebabkan karena status sosial ekonomi yang kurang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dari 34 responden yang menderita IMS terdapat 29 orang (85,3%) yang memiliki status sosial ekonomi kurang dengan penghasilan per bulannya <1.250.000, berpendidikan SD/SMP sederajat dan tidak memiliki pekerjaan. Berdasarkan kajian lebih dalam dengan penderita IMS, desakan ekonomi sering menjadi penyebab penderita untuk berperilaku negatif demi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sulitnya mencari pekerjaan, sehingga menjadi pekerja seks (PPS/ WPS) merupakan pekerjaan termudah. Kemiskinan sering memaksa orang bisa berbuat apa saja demi memenuhi kebutuhan hidup termasuk melacurkan diri ke lingkaran prostitusi. Hal ini menyebabkan seseorang dapat lebih rentan untuk tertular/ menularkan IMS. Dari hasil penelitian ini juga menununjukan bahwa, IMS tidak hanya terjadi pada seseorang dengan status sosial ekonomi kurang, akan tetapi dapat juga terjadi pada seseorang dengan status sosial ekonomi baik. Sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dari 34 responden yang menderita IMS terdapat 5 orang (14,7%) yang memiliki status sosial ekonomi baik dengan penghasilan per bulannya >1.250.000, berpendidikan SMA/sederajat atau perguruan tinggi dan memiliki pekerjaan. Berdasarkan kajian lebih dalam dengan penderita, hal ini disebabkan karena tingginya kebutuhan akan seks, kurangnya perhatian dari pasangan dan terjadinya kejenuhan dalam rumah tangga menyebabkan seseorang melakukan hal-hal negatif “jajan diluar”. Dengan status sosial ekonomi yang baik mereka merasa mampu untuk membeli seks dan suka bergonta ganti pasangan sehingga menyebabkan seseorang dapat lebih rentan untuk tertular/ menularkan IMS.
i.
Hubungan Tindakan Pemakaian Kondom dengan Kejadian IMS Tabel 4.9 Hubungan Tindakan Pemakaian Kondom dengan Kejadian IMS pada Pasien yang Datang Berobat di Klinik IMS Puskesmas Limba B Kec.Kota Selatan Kota Gorontalo Kejadian IMS Jumlah Pemakaian Menderita Tidak Menderita Kondom N % N % N % 2 5,9 6 37,5 8 16,0 Baik 32 94,1 10 62,5 42 84,0 Kurang 34 100 16 100 50 100 Total P Value = 0,009 Sumber : Data Primer 2014 Berdasarkan tabel 4.9 diperoleh bahwa responden yang menderita IMS dengan kategori tindakan pemakaian kondom baik berjumlah 2 orang (5,9%) dan responden dengan kategori tindakan pemakaian kondom kurang sebanyak 32 orang (94,1%). Sedangkan responden yang tidak menderita IMS dengan kategori tindakan pemakaian kondom baik berjumlah 6 orang (37,5%) dan responden dengan kategori tindakan pemakaian kondom kurang sebanyak 10 orang (62,5%). Dari hasil uji Fisher diperoleh nilai p = 0,009 (<0,05). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang bemakna antara tindakan pemakaian kondom dengan kejadian IMS. Dari hasil penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa tindakan pemakaian kondom yang kurang pada kelompok beresiko, dapat lebih rentan terinfeksi IMS. Sesuai dengan hasil penelitian yang menunujukkan bahwa sebagian besar dari penderita IMS dengan kategori tindakan pemakaian kondom yang kurang yakni sebanyak 32 orang (94,1%). Berdasarkan kajian yang lebih dalam dengan penderita, didapatkan bahwa sebagian besar dari kelompok beresiko tidak ingin menggunakan kondom. Antara lain karena kondom membuat seks menjadi kurang spontan dan mengurangi sensasi seks terutama pada pria dan terlebih lagi pada pasangan yang sudah menikah. Pengetahuan yang kurang tentang tindakan pemakaian kondom yang baik juga sering menjadi alasan penderita untuk tidak memakai kondom, sehinggga menjadikan kelompok resti tersebut dapat lebih mudah tertular atau menularkan IMS. Dari hasil penelitian ini juga menununjukan bahwa, IMS tidak hanya terjadi pada seseorang dengan tindakan pemakaian kondom kurang, akan tetapi dapat juga terjadi pada seseorang dengan tindakan pemakaian kondom baik. Hal ini dapat terjadi karena cara pemakaian kondom yang tidak benar, kondom rusak atau/ bocor, penggunaan kondom secara berulang dan menggunakan kondom yang melewati masa kadaluarsa. Menurut Saifuddin (2006), penggunaan kondom secara konsisten dan benar merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah penularan IMS pada kelompok beresiko terutama pada WPS/PPS. Beberapa penyebab dari kegagalan menggunakan kondom yaitu selalu memasang kondom saat penis dalam keadaan ereksi, menggunakan kondom yang melewati masa kadaluarsa, menggunakan kondom secara berulang, kegagalan kondom bisa disebabkan oleh kecacatan produksi, kondom robek saat mulai berhubungan dan kerusakan pada proses pembuatan kondom (Sukmawati, 2014).
Penutup Simpulan Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan signifikan antara status perkawinan (p=0,001), status sosial ekonomi (p=0,000) dan tindakan pemakaian kondom (p=0,009) dengan kejadian Infeksi Menular Seksual. Saran 1. Bagi Masyarakat terutama pada kelompok resti (WPS/PPS, waria, LSL, pelanggan dan pasangannya) agar segera memeriksakan diri ke klinik/ puskesmas/ rumah sakit terdekat terlebih apabila terdapat tanda dan gejala IMS dan disarankan agar lebih meningkatkan kesadaran untuk memakai kondom karena mampu mengurangi kejadian IMS. 2. Bagi Pemerintah Kota/ Provinsi Gorontalo untuk dapat memberikan informasi tentang infeksi menular seksual secara berkesinambungan dan melakukan screening setiap bulan agar kelompok resti mau memeriksakan kesehatannya di klinik secara rutin. 3. Bagi Puskesmas setempat disarankan agar sering mengadakan penyuluhan kesehatan tentang pentingnya menghindari penyakit infeksi yang penularannya terjadi lewat hubungan seksual yang sering berganti pasangan. 4. Bagi Profesi Keperawatan diharapkan ada pengembangan informasi pengetahuan dan wawasan dalam pendidikan keperawatan komunitas tentang infeksi menular seksual. 5. Bagi Peneliti Selanjutnya diharapkan bisa dijadikan pedoman dengan memperluas variabel-variabel lainnya, misalnya usia. DAFTAR PUSTAKA Aat. 2010. Hubungan sosial ekonomi keluarga dengan status gizi balita. Jurnal Ilmu Pendidikan (Online). (http://www.scribd.com/doc/29551686/KTI-AAT-Sosial-EkonomiKeluarga-Dengan-Status-Gizi-Balita, diakses 23 Desember 2013). Arifin, N.F. 2012. Penggunaan Kondom Dan Vaginal Higiene Sebagai Faktor Risiko Kejadian Infeksi Menular Seksual Pada Wanita Pekerja Seks Di Lokasi Batu 24 Kabupaten Bintan. Jurnal: UNDIP Arikunto, S. 2008. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Anonim. 2012. Hubungan Status Perkawinan Dengan Aspirasi Karir. Skripsi: UII. Anonim, 2011. faktor risiko yang memengaruhi komplikasi kehamilan terhadap kematian maternal. Skripsi : USU. Ardhiyantoro dan Kumalasari, 2010. Kesehatan Reproduksi untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Arifianti, N. 2008. Analisis feaktor-faktor penyebab niat wps yang menderita ims berperilaku seks aman dalam melayani pelanggan di kabupaten tegal. Jurnal Kesehatan (Online). (http//docs.google.com/jurnal/3208102114.pdf, diakses 25 Desember 2013). Ambarwati. 2011. Asuhan Kebidanan komunitas. Yogyakarta: Nuha Medika. Bobak, I.M. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC. Chandra, B. 2009. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta: EGC. Chiuman, Linda. 2009. Gambaran Pengetahuan dan Sikap Remaja SMA Wiyata Dharma Medan Terhadap Infeksi Menular Seksual. Skripsi. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Cunningham, F.G. 2006. Obstetri Williams, Edisi 21. Jakarta: EGC. Depkes RI. 2007. Krikulum dan Modul Pelatihan Pengelolaan Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR). Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman Dasar Infeksi Menular Seksual dan Saluran Reproduksi Lainnya pada Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu. Departemen Kesehatan (Online). (http://www.perpustakaandepkes.org:8180/handle/123456789/951, diakses 02 Januari 2014). Daili, S.F. 2004. Penyakit Menular Seksual. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Daili, S.F., Makes, W.I., Zubier, F., 2009, Infeksi Menular Seksual, Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Djuanda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Da Ros, Schmitt, C.S. 2008. Global Epidemiology of Sexually Transmitted Diseases. Brazil: Urology Deparment. Hakim, L. 2009. Epidemiologi Infeksi Menular Seksual. Dalam: Daili, S.F. 2009. Infeksi Menular Seksual. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Handoyo, A. 2010. Remaja dan Kesehatan: Permasalahan dan Solusi Praktisnya. Jakarta: PT Perca. Hapsari Gretta. 2012. Perilaku Pemakaian Kondom Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual. Jurnal Keperawatan Ilmiah. Surabaya: Stikes Hang Tuah. Hidayat, A.A.A. 2010. Metode Penelitian Kebidanan dan Tehnik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika. Hidayat, A.A.A. 2008. Metode Penelitian Kebidanan dan Tehnik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika. Hidayat, A.A.A. 2007. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah, Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika Karyati, S. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsistensi Wanita Penjaja Seks dalam Pemakaian Kondom Untuk Mencegah Penularan PMS dan HIV di Pati. Tesis: UI. KPA Nasional. 2010. Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2007-2010. http://www.aidsindonesia.or.id/, diakses 2 Januari 2014. Kusuma A, 2009. Penyakit Menular Lewat Hubungan Seksual. http://www.afand.cybermq.com/post/detail/1932/penyakitmenular-lewat-hubunganseksual-pms- penyakit menular lewat hubunganseksual, diakses 2 Januari 2014. Lestari, C.I. 2008. Penyakit Menular seksual. http:/cintalestari.wordpress.com/2008/09/06/penyakit-menular-seksual/, diakses 03 Januari 2014. Lokollo, F.Y. 2009. Studi Kasi Wanita Pekerja seksual Tidak Langsung Dalam Pencegahan IMS, HIV dan AIDS Di PUB & Karaoke, Café, dan Diskotik. Semarang: Universitas Diponegoro. Lubis, R.D. 2009. Penggunaan Kondom. Makalah: USU Muthialah, Sonhaji. 2010. Infeksi Saluran Reproduksi. http://biologytamansiswa.blogspot.com/2010/11/infeksi-saluran-reproduksi-isr.html, diakses 04 Januari 2014. Nadiah. 2010. Studi retrospektif uretritis gonore sub divisi infeksi menular seksual bagian ilmu kesehatan kulit dan kelamin rsup dr. Wahidin sudirohusodo Makassar. Skripsi: Universitas Hasanudin. Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Price, S.A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC Purwanti, F. 2010. The “O” Project. Jakarta: Kepustakaan populer gramedia. Reliviana, Pipit. 2012. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Tingginya Kejadian Pms di Lokalisasi Gang Sadar Baturaden Kabupaten Banyumas Tahun 2011. Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol.3. Purwokerto: Akademi Kebidanan YLPP. Saifuddin. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Saifuddin. 2003. Buku Panduan Praktis Pelayanan kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Setyawulan. 2007. Hubungan praktek pencegahan penyakit menular seksual dengan kejadian penyakit menular seksual (online). http//digilib.unimus.ac.id/download.php?id = 2404, diakses 3 januari 2014. Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sofianty D, 2009. Waspada Terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS). http://www. surabayaehealth.org/ dkksurabaya /berita/ waspada terhadap-infeksi-menular-seksualims, diunduh 03 Januari 2014. Setiadi. 2013. Konsep Dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu Setiadi. 2007. Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu Sugiyono. 2012. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta Sugiyono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta. Sukmawati. 2014. Penyebab Kegagalan Menggunakan Kondom. http://www.pilihdokter.com/id/berita/penyebab-kegagalan-menggunakan-kondom, diakses 7 Juli 2014. Suyanto. 2012. Metodologi dan Aplikasi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika Utami, C.W. 2010. Manajemen Ritel. Jakarta: Salemba empat Widyastuti. 2009. Kesehatan reproduksi. Yogyakarta : Fitramaya. Wiknjosastro, Hanifa. 2009. Ilmu Kandungan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo World Health Organization. 2009. Sexually Transmitted Infection. Geneva: WHO.