Zakat dan Fiqih Seputarnya Pengertian Zakat Zakat secara bahasa berasal dari kata zakâ –yazkû. Secara bahasa zakat artinya bersih/suci (aththahârah), tambahan dan berkembang (az-ziyâdah wa an-namâ) dan baik (ash-shalâh) [Lihat: Ibn Manzhur, Lisân al-„Arab, bagian zakâ; Ibn Sayidih, al-Mukhashish, bagian az-zakâh; ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh; al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, bagian zakâ; al-Khalil al-Farahidi, Kitâb al„Ayn; Abu Hafash Umar bin Muhammad bin Ahmad an-Nasafi, Thalabah ath-Thalabah, kitâb azZakâh]. Didalam Al-Qur‘an kata zakâ dan bentukannya disebutkan dengan makna ash-shalâh (QS. Al-Baqarah [2]: 232; Al-Kahfi [18]: 19), dan dengan makna bersih atau suci (misal QS. Al-Baqarah [2]: 129, 151, 174; Ali Imran [3]: 77, 164; An-Nisâ‘ [4]: 49; At-Tawabh [9]: 103). Kata az-zakâh dalam bentuk isim makrifat (dengan alî lâm) disebutkan sebanyak 29 kali di 29 ayat, semuanya dengan makna zakat yang kita kenal. Ibn Faris di dalam ash-Shâhibî fî Fiqh al-Lughah dan Imam as-Suyuthi didalam al-Muzhir menyebutkan bahwa orang arab sebelumnya tidak mengenal zakat kecuali dalam arti an-namâ‟ (berkembang). Namun syariah mendatangkan makna baru dan mentransformasi dari makna bahasanya kepada makna baru sehingga menjadi makna syar‘inya. Menurut Umar bin Muhammad bin Ahmad an-Nasafi, zakat harta itu disebut zakat karena dengannya harta akan bersih dengan berkah dan orang akan bersih dengan ampunan. Menurut Imam Abdul Qadim Zalum di dalam al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, istilah syara‘ zakat mengandung kedua makna bahasanya (berkembang dan bersih). Karena pengeluaran zakat itu menjadi sebab datangnya berkah pada harta atau menjadi sebab banyaknya pahala dan akan membersihkan jiwa dari sifat bakhil dan mensucikan diri dari dosa. Adapun pengertian zakat secara syar‘i, menurut Muhammad bin Abi al-Fatah al-Ba‘li al-Hanbali di dalam al-Muthalli‟, zakat adalah sebutan untuk harta khusus yang dikeluarkan dengan sifat-sifat khusus untuk kelompok yang khusus. Al-Jurjani di dalam at-Ta‟rifât mengartikan zakat adalah ungkapan tentang pewajiban (pengeluaran) bagian tertentu dari harta pada harta tertentu bagi pemilik yang khusus. Prof. Muhammad Rawas Qal‘aji di dalam Mu‟jam Lughah al-Fuqahâ‟ mendefisikan zakat adalah pengeluaran bagian tertentu dari harta jika sudah mencapai nishab terhadap pos-pos pembelanjaan tertentu yang telah dinyatakan oleh asy-Syâri‘. Sedangkan menurut Imam Abdul Qadim Zalum, zakat secara syar‘i adalah hak yang telah ditetapkan kadar/jumlahnya yang wajib (dikeluarkan) pada harta-harta tertentu.
Fiqih Seputar Zakat Māl (Harta) dan Zakat Fitrah 1. Hukum Zakat Zakat hukumnya wajib, merupakan salah satu rukun Islam dan merupakan ibadah. Wajibnya zakat didasarkan pada al-Kitab, as-Sunnah dan Ijmak sahabat. Allah SWT berfirman:
ََّآحُْا ال َّش َكاة Dan tunaikanlah zakat (QS. Al-Baqarah [2]: 43, 83, 110) Perintah itu bersifat tegas berdasarkan indikasi bahwa orang yang menunaikan zakat akan mendapat pahala besar dan balasan surga (QS. Al-Baqarah [2]: 277; An-Nisâ‘ [4]:162). Dan banyak hadits menjelaskan bahwa orang yang enggan membayar zakat akan mendapat azab yang pedih.
2. Muzakki (Orang Yang Wajib Berzakat) Zakat ini dikhususkan hanya bagi kaum muslimin. Ketika mengutus Muadz bin Jabal diutus ke Yaman, Rasul berpesan diantaranya: َّ … فَأ َ ْعلِ ْوُِ ْن أَ َّى … ص َذقَتً حُ ْؤ َخ ُذ ِه ْي أَ ْغٌِيَائِ ِِ ْن فَخُ َز ُّد فِٔ فُقَ َزائِ ِِ ْن َ ض َعلَ ْي ِِ ْن َ َّللاَ ا ْفخ ََز Maka beritahukan kepada mereka (muslim) bahwa Allah mewajibkan atas mereka (muslim) shadaqah (zakat), yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalkan pada orangorang fakir mereka (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad, lafal menurut Muslim) Zakat merupakan fardhu ‗ain atas setiap orang muslim yang memiliki harta kena zakat yang sudah mencapai nishabnya, kelebihan dari utangnya dan telah berlalu satu haul (satu tahun qamariyah) kecuali untuk zakat pertanian dan buah-buahan dikeluarkan saat panen-. Zakat juga wajib atas harta anak kecil dan orang gila. 3. Harta Yang di Dalamnya Diwajibkan Zakat Pertama, binatang ternak berupa Unta (al-ibil), Sapi (al-baqar) dan Kambing (al-ghanam). Abu Dzar menceritakan bahwa Nabi SAW pernah bersabda: ْ ََج َّأَ ْس َوٌََُ حَ ٌْ ِط ُحَُ بِقُزًَُِِّا َّحَطَ ُؤٍُ بِأ ْ ًث يَْْ َم ْالقِيَا َه ِت أَ ْعظَ َن َها َكا ْ ب إِبِ ٍل َّالَ بَقَ ٍز َّالَ َغٌ ٍَن الَ يُؤَ دِّٓ سَ َكاحََِا إِالَّ َجا َء ظالَفَِِا َ َها ِه ْي ِ اح ِ ص ُ ُ ْ ْ ْ ْ ُكلَّ َوا ًَفِذ َّ َّ َ َ اص َ َث أخ َزاَُا عَادَث َعل ْي َِ أّالَُا َحخٔ يُق ِ ٌضٔ بَ ْييَ ال Tidaklah pemilik Unta, tidak pula pemilik sapi dan tidak pula pemilik domba/kambing, yang tidak menunaikan zakatnya kecuali pada Hari Kiamat kelak datang yang lebih besar dan lebih gemuk menginjaknya dengan kukunya dan menanduknya, setiap kali yang terakhir selesai kembali lagi dari yang pertama hingga diputuskan diantara manusia (HR. Bukhari dan Muslim) Unta, Sapi dan Kambing yang wajib dizakati adalah yang digembalakan pada sebagian besar waktu dalam satu haulnya. Sedangkan yang tidak digembalakan yakni yang dikandangkan, atau dipekerjakan maka tidak wajib zakat. Dalam hal zakat hewan ternak ini terdapat ketentuan rinci tentang nishab dan zakat yang harus dikeluarkan dan telah dijelaskan rinci di dalam kitab-kitab fiqih. Kedua, hasil pertanian dan buah-buahan. Dalam hal ini yang wajib dizakati hanya empat jenis yaitu gandum (al-khinthah), jewawut/barley (asy-sya‟îr), kurma (at-tamr) dan kismis (az-zabîb). Dari Abu Musa al-Asy‘ari dan Muadz bin Jabal bahwa ketika keduanya diutus ke Yaman, Rasul bersabda kepada keduanya: َ ٌْ ال َّش ِعي ُز َّ ْال ِح:َاف ْاألَرْ بَ َع ِت َّ الَ حَأْ ُخ َذا فِي ال طتُ َّال َّشبِيبُ َّالخَّ ْو ُز ِ ٌ ْص َذقَ ِت إالَّ ِه ْي َُ ِذ ٍِ اْألَص Jangan kamu berdua ambil zakat kecuali dari empat jenis ini: jewawut, gandum, kismis dan kurma (HR. al-Hakim, ath-Thabrani, ad-Daraquthni dan al-Baihaqi, al-Baihaqi berkata: para perawinya tsiqah dan (sanadnya) bersambung). Lafal illâ (kecuali) dan didahului oleh huruf nafî atau nahî (dalam hadits ini lafal lâ (jangan)) maknanya adalah pembatasan. Jadi hadits ini jelas hanya membatasi zakat pertanian dan buahbuahan hanya pada empat jenis ini saja. Disamping itu hadits ini dan hadits lain dalam kontek ini menyebutkan kata al-khinthah, asy-sya‟îr, az-zabîb dan at-tamr. Semuanya merupakan isim jamid,
bukan sifat dan bukan ism ma‟ân. Lafal-lafal itu tidak mencakup selainnya baik secara manthuq, mafhum maupun secara iltizâm. Dari lafal-lafal itu tidak bisa diambil makna makanan pokok, bisa dikeringkan, bisa disimpan dan lainnya. Jadi zakat pertanian dan buah-buahan hanya pada empat jenis itu dan selain keempatnya tidak ada kewajiban zakat. Nishab zakat pertanian ini adalah jika jumlahnya mencapai lima wasaq atau lebih. Satu wasaq= 60 sha‘, dan satu sha‘ = 4 mud. Jika diairi denga rair hujan zakatnya 10 % dan jika dengan pengairan buatan zakatnya 5 %. Zakat pertanian dikeluarkan saat panennya (QS al-An‘âm [6]: 141) dan dalam bentuk komoditasnya. Ketiga, zakat barang dagangan. Samurah bin Jundub berkata: َّ إِ َّى َرسُْ َل َّللاِ صلٔ َّللا عليَ ّسلن َكاىَ يَأْ ُه ُزًَا أَ ْى ًُ ْخ ِز َج ال ص َذقَتَ ِهيَ الَّ ِذٓ ًُ ِع ُّذ لِ ْلبَي ِْع Sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan kami agar mengeluarkan zakat dari apa yang kami siapkan untuk dijual (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi) Nishab komoditas perdagangan ini sama dengan nishab zakat atau perak. Jika sudah mencapai nishab salah satunya maka dimulai hitungan haulnya. Setelah berlalu satu haul maka wajib dikeluarkan zakatnya 2,5 %. Keempat, zakat uang, emas dan perak. Nishab emas atau dinar adalah 20 dinar yaitu 85 gram emas. Nishab perak atau dirham adalah 200 dirham (595 gram perak murni). Dan zakatnya sebesar 2,5 %. Zakat ini disebutkan dengan lafal adz-dzahbu (emas), al-fidhah (perak), ar-riqqah, al-wariq, dirham dan dinar. Lafal ar-riqqah, al-wariq dan dirham dalam bahasa arab hanya untuk menyebut dirham yang dicetak saja. Dan lafal dinar hanya untuk menyebut dinar emas yang dicetak saja. Dirham dan dinar yang dicetak itu adalah satuan mata uang dan satuan harga bagi barang dan upah bagi jasa. Karenanya penyebutan zakat ar-riqqah, al-wariq, dirham dan dinar juga menunjukkan zakat uang. Semua yang dijadikan sebagai satuan mata uang maka itu memenuhi sifat dirham dan dinar sebagai satuan mata uang dan standar harga. Karena itu di dalam semua mata uang juga terdapat kewajiban zakat. Mata uang saat ini yang disebut fiat money tidak diback up dengan emas maupun perak. Maka nishabnya mengikuti nishab emas/dinar atau nishab perak/dirham. Jika sudah mencapai nilai salah satu dari nishab emas atau perak, maka di dalamnya ada kewajiban zakat. Maka siapa yang memiliki uang senilai 20 dinar (85 gram emas murni) atau senilai 200 dirham (595 gram perak murni), kelebihan dari utangnya, dan sudah berlalu satu haul, maka saat itu wajib dikeluarkan zakatnya 2,5 % dari jumlah itu. 4. Mustahiq (Orang Yang Menerima Zakat) Harta zakat hanya didistribusikan kepada delapan golongan yang disebutkan di dalam QS. AtTawbah [9]: 60, yaitu: fakir, miskin, amil, mu‘allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, gharim, fî sabîlLlâh yaitu jihad fî sabîlLlâh, dan orang yang sedang dalam perjalanan (ibn as-sabîl). Hal itu karena Allah telah membatasinya dengan lafal innamâ, artinya hanya untuk delapan golongan itu saja. Jadi selain mereka tidak boleh menerima zakat. 5. Membagikan Zakat Kepada Non Muslim Zakat fitrah ataupun zakat mal hanya boleh dibagikan kepada muslim saja. Tidak boleh dibagikan kepada non muslim (kafir). (Abdul Qadim Zalum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 94; Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/883).
Dalil tidak bolehnya memberikan zakat kepada non muslim, adalah sabda Nabi SAW kepada Muadz bin Jabal ra yang diutus oleh Nabi SAW ke Yaman: ―…Maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat pada harta-harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka [di kalangan muslim] dan dibagikan kepada orang-orang fakir mereka [di kalangan muslim].‖ (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, Ibnu Majah, Ahmad). Namun kepada non muslim yang fakir boleh diberi harta selain zakat, seperti shadaqah, kaffarah, nadzar, dan lain-lain. Demikian pendapat Imam Abu Hanifah, Muhammad bin Al-Hasan, dan Zufar. (Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/883). Hal itu berdasarkan keumuman lafazh ―al-fuqara`‖ (orang-orang fakir) pada nash-nash Al-Qur`an, seperti dalam firman-Nya (artinya): ―Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.‖ (TQS. Al-Baqarah [2] : 271). 6. Siapakah Amil Zakat? Dalam hal ini, Imam at-Thabari (w. 310 H), yang juga mujtahid mutlak, menyatakan: Amil adalah para wali (Istilah as-su‟ât adalah jamak dari kata as-sâ‟i, yaitu setiap orang yang diangkat untuk mengurus urusan suatu kaum; mereka biasanya disebut sâ‟in „alayhim. Umumnya kata ini digunakan untuk menyebut para wali yang ditugaskan untuk memungut dan mendistribusikan zakat. Lihat: Ibn Manzhur, Lisân al-‟Arab, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., XIV/387) yang diangkat untuk mengambil zakat dari orang berkewajiban membayarnya, dan memberikannya kepada yang berhak menerimanya. Mereka („amil) diberi (bagian zakat) itu karena tugasnya, baik kaya ataupun miskin (Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, Dar al-Fikr, Beirut, 1405 H, X/160). Imam al-Mawardi (w. 450 H), dari mazhab as-Syafi‘i, menyatakan: Amil adalah orang yang diangkat untuk mengumpulkan zakat dan mendistribusikan-nya. Mereka dibayar dari zakat itu sesuai dengan kadar upah orang-orang yang sepadan dengan mereka (AlMawardi, Al-Iqnâ‟, t.t., I/71). Imam al-Qurthubi (w. 671 H), dari mazhab Maliki, menyatakan: Amil zakat adalah para wali dan pemungut zakat yang diutus oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk mengumpulkan zakat dengan status wakalah (Al-Qurthubi, Al-Jâmi‟ li Ahkâm al-Qur‟ân, ed. Ahmad ‗Abd al‘-Alim al-Barduni, Dar as-Sya‘b, Kaero, cet. II, 1372 H, VIII/177). Imam as-Syaukani (w. 1250 H), dari mazhab Zaidiyah, menyatakan: Amil adalah orang yang diangkat menjadi wali dan memunggut zakat, yang diutus oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk mengumpulkan zakat. Mereka berhak mendapatkan bagian dari zakat itu (Asy-Syaukani, Faydh al-Qadîr, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., II/372). Imam as-Sarakhsi, dari mazhab Hanafi, menyatakan:
Amil adalah orang yang diangkat oleh Imam/Khalifah menjadi pekerja untuk mengumpulkan sedekah (zakat). Mereka diberi dari apa yang mereka kumpulkan sekadar untuk kecukupan mereka dan kecukupan para pembantu mereka. Besarnya tidak diukur dengan harga (upah) (As-Sarakhsi, Al-Mabsûth, Dar al-Ma‘rifat, Beirut, 1406, III/9). Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para fuqaha‟ dari berbagai mazhab di atas, dapat disimpulkan, bahwa Amil Zakat adalah orang/wali yang diangkat oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk memungut zakat dari para muzakki, dan mendistribusikannya kepada para mustahiqnya. Tugas yang diberikan kepada Amil tersebut merupakan wakalah (mewakili) dari tugas yang semestinya dipikul oleh Imam/Khalifah (kepala negara). Sebab, hukum asal tugas mengambil dan mendistribusikan zakat tersebut merupakan tugas Imam/Khalifah. Allah SWT berfirman: ص َذقَتً حُطَِِّ ُزُُ ْن َّحُ َش ِّكي ِِ ْن بَِِا َ ُخ ْذ ِه ْي أَ ْه َْالِ ِِ ْن Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka (QS. At-Taubah [9]: 103). Konteks perintah ayat ini, Khudz min amwalihim shadaqatan (ambillah sedekah/zakat dari sebagian harta mereka), bersifat memaksa, dan perintah tersebut ditujukan kepada Nabi SAW. dalam kapasitas baginda sebagai kepala negara Islam di Madinah. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh para khalifah sepeninggal beliau. Karena itu, tidak ada pengertian Amil Zakat dalam khazanah fikih Islam, kecuali untuk menyebut orang-orang yang diangkat oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk tugas-tugas yang terkait dengan zakat. Adapun apa yang berkembang saat ini, seperti lembaga amil zakat (LAZ) atau pembentukan amil zakat yang dilakukan di tiap-tiap masjid, maka mereka sebenarnya tidak mempunyai otoritas/kewenangan (shalahiyyah) sebagaimana yang dimiliki oleh Amil Zakat yang sesungguhnya. Mereka tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa wajib zakat (muzakki), misalnya, sebagaimana kewenangan yang melekat pada Amil Zakat. Ketika Amil Zakat ini tidak ada, karena ketiadaan mandat yang diberikan oleh Imam/Khalifah (kepala negara) kepada orang-orang tertentu, maka yang ada tinggal: orang yang wajib berzakat (muzakki) dan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq). Dalam konteks seperti ini, muzakki bisa saja membayarkan zakatnya langsung kepada mustahiq, tanpa melalui Amil, karena memang Amil-nya tidak ada. Namun, ia bisa juga mewakilkan kepada orang-orang tertentu untuk mendistribusikan zakatnya kepada para mustahiq. Hanya saja, status wakalah orang yang wajib mengeluarkan zakat (muzakki) kepada orang-orang ini berbeda dengan status wakalah Imam/Khalifah kepada ‗Amil Zakat. Wakalah Imam/Khalifah meliputi wakalah untuk mengambil dengan paksa dari muzakki dan mendistribusikannya kepada yang berhak (mustahiq). Adapun wakalah muzakki hanyalah wakalah untuk mendistribusikan zakat sesuai dengan amanah yang diberikan oleh yang bersangkutan. Harus dicatat, bahwa frasa „Amilina „alayhâ (petugas yang ditugaskan untuk zakat) merupakan sifat mufhimah (sifat yang memberikan makna/pengertian tertentu). Dalam konteks ashnaf (kelompok penerima zakat), orang tersebut diberi bagian dari zakat, karena predikatnya sebagai petugas yang ditugasi oleh Imam/Khalifah untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat. Predikat tersebut juga bisa dijadikan sebagai „illat hukum, yang menentukan siapa saja yang berhak mendapatkan bagian zakat atas nama Amil. Karena predikat tersebut tidak melekat pada orang/lembaga lain, seperti LAZ atau wakil dari muzakki, maka bagian zakat atas nama „Amil tersebut tentu tidak berhak diberikan kepadanya. Selain itu, zakat adalah ibadah, yang ketentuannya dinyatakan oleh nas, sehingga tidak boleh ditarik melebihi apa yang ditentukan oleh nas itu sendiri.
Karena sifat tersebut umum, maka para fuqaha‟ berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya Bani Hasyim menjadi Amil. Sebab, konsekuensi dari statusnya sebagai Amil meniscayakannya berhak menerima zakat. Imam asy-Syaukani menyatakan, sebagian dari fuqaha‟ menyatakan tidak boleh, sementara yang lain menyatakan boleh. Yang membolehkan, tentu termasuk dengan konsekuensi kebolehan memberikan bagian dari zakat kepada mereka. Meski demikian, lebih tepat, bahwa kebolehan mereka menjadi Amil itu karena keumuman frasa al-‟Amilina „alayhâ, tanpa takhshîsh (pengkhususan). Adapun bagian zakat untuk mereka atas nama Amil tidak bisa diberikan, karena ada takhshîsh larangan Bani Hasyim menerima zakat. Dalam konteks ini, mereka bisa diberi imbalan dari Baitulmal (Asy-Syaukani, Faydh al-Qadîr, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., II/372). Adapun tentang besaran zakat yang diberikan kepada Amil, para ulama berselisih pendapat. Imam Mujahid dan Imam asy-Syafi‘i menyatakan, bahwa mereka boleh mengambil bagian dari zakat dalam bentuk nilai (ats-tsaman). Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya menyatakan, bahwa besarannya disesuaikan dengan kadar upah pekerjaan mereka. Imam Malik menyatakan, bahwa mereka akan diberi imbalan dari Baitulmal (maksudnya, bukan bagian dari zakat) sesuai dengan kadar upah mereka. Namun, pendapat yang terakhir ini dibantah oleh Imam asy-Syaukani. Beliau menyatakan, kalau Allah telah memberitahukan bahwa mereka berhak mendapatkan bagian dari zakat tersebut, mengapa mereka tidak boleh mendapatkannya, dan harus diberi dengan harta yang lain? (Asy-Syaukani, Faydh al-Qadîr, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., II/372) 7. Nisab Zakat Māl (Harta) dan Waktunya Zakat māl (harta) tidak wajib sebelum mencapai nisab dan sudah berjalan penuh satu tahun. Dari Ali bin Abi Thalib dari Nabi SAW bersabda: ―Jika Anda memiliki 200 dirham, dan sudah berjalan satu haul (tahun), maka zakatnya 5 dirham. Dan tidak ada kewajiban atas kamu sesuatupun – yaitu dalam emas – sampai memiliki 20 dinar. Jika telah memiliki 20 dinar dan telah berlalu satu haul (tahun), maka zakatnya ½ dinar.‖ (HR. Abu Dawud). Dan perhituagan tahun di sini adalah tahun hijriyah bukan tahun masehi, yakni jika harta yang sudah mencapai nisab itu telah berjalan 354 hari, maka ia sudah berjalan satu haul (tahun), sehingga wajib dikeluarkan zakatnya. Dan ketika zakat sudah wajib atas harta seorang Muslim, maka kewajiban itu tidak akan gugur darinya –hingga dikeluarkan zakatnya. Oleh karena itu, jika pemilik harta yang sudah mencapai nisab itu telah berjalan satu tahun penuh, seperti yang telah kami jelaskan, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Sehingga tidak ada artinya menghabiskan harta tersebut atau sebagian, setelah berjalan satu tahun, sebab zakatnya tetap wajib dikeluarkan. Dengan demikian, Anda wajib mengeluarkan zakatnya secara penuh, baik harta yang telah dihabiskan atau yang masih tersisa. Zakat yang belum dikeluarkan ini adalah hutang yang menjadi tanggungan Anda hingga dikeluarkannya. Untuk itu bersegeralah mengeluarkannya, semoga Allah merahmati Anda. Hal ini, jika harta itu dihabiskan setelah berjalan satu tahun. Namun jika harta itu dihabiskan sebelum berjalan satu tahun, maka zakat yang wajib dikeluarkan sejumlah yang ada, dan telah berjalan satu tahun. 8. Membayar Zakat Perdagangan dalam Bentuk Sembako Para ulama berbeda pendapat mengenai cara mengeluarkan zakat perdagangan (zakat ‗uruudh attijarah). Ada dua pendapat :
Pertama, pendapat ulama Hanafiyah (madzhab Hanafi), bahwa boleh memilih antara mengeluarkan zakat dalam bentuk ‗ain (barang dagangannya) atau qimah (nilai barang dagangannya). Kedua, pendapat jumhur ulama (Malikiyah, Syafi‘iyah, dan Hanabilah) bahwa wajib dikeluarkan dalam bentuk nilainya (qimah), bukan dalam bentuk barang yang diperdagangkan. (Wahbah azZuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/794-795). Pendapat yang dianggap rajih (kuat) dan dipilih oleh Imam Abdul Qadim Zalum, adalah pendapat ulama Hanafiyah, yaitu boleh memilih antara membayar dalam bentuk barang dagangannya atau nilainya. Karena terdapat dalil-dalil yang membolehkan amil zakat mengambil nilai (qimah) sebagai ganti dari mengambil harta zakatnya itu sendiri (‗ainul mal). Di antaranya, sebagaimana disebutkan oleh Abu Ubaid, bahwa ‗Amr bin Dinar ra meriwayatkan dari Thawus ra, bahwa Nabi SAW telah mengutus Muadz ke Yaman. Maka Muadz mengambil baju (tsiyab) sebagai ganti zakat gandum (al-hinthah) dan jewawut (asy-sya‘ir). (Abdul Qadim Zalum, Al-Amwal fi Daulah AlKhilafah, hal. 168-169; 178). Jadi zakat perdagangan boleh dikeluarkan dalam bentuk barang yang diperdagangkan atau dalam bentuk nilai barangnya (qimah), yaitu dikeluarkan dalam bentuk mata uang yang beredar (an-naqd al-mutadawal). (Abdul Qadim Zalum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 180). Berdasarkan ini, maka pedagang yang menjual suatu barang dagangan (misalnya baju), jika nilai barang dagangannya telah mencapai nishab (senilai 85 gram emas atau 595 gram perak; dan sudah berlalu satu tahun / haul), wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5 % (dari seluruh nilai barang dagangan termasuk labanya). Bentuknya, dapat berupa barang dagangannya itu sendiri, yaitu baju, atau berbentuk mata uang yang beredar yang senilai. (Abdul Qadim Zalum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 180).
Jadi, bolehkah membayar zakat perdagangan dalam bentuk sembako? Menurut pemahaman kami, boleh. Dengan catatan, sembako itu harus mempunyai nilai (qimah) yang sama dengan nilai zakat perdagangan yang wajib dikeluarkan. Ini dikarenakan zakat perdagangan boleh dikeluarkan dalam bentuk barang yang diperdagangkan, atau dalam bentuk nilainya (qimah). 9.
Zakat Uang Tabungan
Uang kertas (an-nuquud al-waraqiyah; fiat money) –baik disimpan di tabungan maupun tidak– wajib dizakati jika memenuhi dua kriteria sebagaimana zakat emas dan perak. Pertama, telah mencapai nishab, yaitu senilai nishab emas (20 dinar/85 gram emas), atau senilai nishab perak (200 dirham/595 gram). Kedua, telah berlalu satu tahun (haul). Zakatnya adalah sebesar 2,5 %. (Abdul Qadim Zalum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 177). Kewajiban zakat atas uang kertas itu diqiyaskan dengan kewajiban zakat atas emas perak, karena ada kesamaan ‗illat (sebab hukum) pada keduanya (uang kertas dengan emas-perak), yaitu sifat sebagai mata uang (an-naqdiyah) dan sebagai harga (ats-tsamaniyyah). Illat ini adalah illat yang diistinbath (‗illat istinbath) dari berbagai hadits yang mengisyaratkan adanya sifat sebagai mata uang (an-naqdiyah) dan sebagai harga (ats-tsamaniyyah), yang menjadi landasan kewajiban zakat pada emas dan perak. (Abdul Qadim Zalum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 177). Misalnya hadits Nabi SAW: Fa-haatuu shadaqata ar-riqqah ―Maka datangkanlah (bayarlah) zakat riqqah (perak yang dicetak sebagai mata uang).‖ (HR. Bukhari, dari Ali bin Abi Thalib ra).
Penyebutan kata ―riqqah‖ (perak yang dicetak sebagai mata uang) –dan bukan dengan kata fidhdhah (perak)— menunjukkan adanya sifat sebagai mata uang (an-naqdiyah) dan sebagai harga (ats-tsamaniyyah). Dan sifat ini tak hanya terwujud pada perak atau emas yang dijadikan mata uang, tapi juga pada uang kertas yang berlaku sekarang, meski ia tidak ditopang dengan emas atau perak. Maka uang kertas sekarang wajib dizakati, sebagaimana wajibnya zakat atas emas dan perak. Karena itu, siapa saja yang mempunyai uang yang telah memenuhi dua kriteria, yaitu nishab dan haul, wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. (Abdul Qadim Zalum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 177). Mengenai nishab, mungkin ada pertanyaan, manakah standar yang dipakai, nishab emas (85 gram emas) ataukah nishab perak (595 gram perak), jika fakta (manath) uang kertas yang ada tidak dijamin oleh emas dan perak seperti halnya di Indonesia? Dalam masalah ini kami cenderung pada pendapat Wahbah az-Zuhaili, yang menyatakan bahwa pendapat yang lebih tepat (ashoh), adalah mengunakan nishab emas untuk zakat uang, bukan nishab perak. Sebab nishab emas itu nilainya setara dengan nishab binatang ternak (onta, sapi, dan kambing), juga mengingat meningkatnya standar biaya hidup dan melonjaknya berbagai kebutuhan. (Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/773). Contoh kasus : jika sekarang (September 2008) harga emas adalah Rp 200 ribu per gram (sebagai contoh saja), berarti nishab zakat uang adalah = 85 gram emas x Rp 200 ribu = Rp 17 juta. Kalau misalkan seseorang punya uang tabungan sebesar Rp 20 juta, berarti uangnya sudah melebihi nishab (Rp 17 juta). Kalau uang yang telah mencapai nishab ini sudah dimilikinya selama satu tahun (haul), dengan standar tahun hijriyah bukan tahun syamsiyah, maka zakatnya adalah = 2,5 % x Rp 20 juta = Rp 500 ribu. Uang tabungan tidaklah sama atau tidak selalu sama dengan gaji (penghasilan). Uang tabungan dapat berasal dari gaji, sebagaimana dapat pula berasal dari selain gaji, misal dari warisan, pemberian, hadiah, zakat, dan sebagainya. Jadi, yang ada dalam Syariah Islam itu adalah zakat uang, bukan zakat penghasilan (zakat profesi). Zakat uang itu bersifat umum ditinjau dari segi asal uangnya, baik uang itu berasal dari penghasilan (gaji), maupun dari selain penghasilan. Kami sendiri tidak setuju dengan apa yang disebut dengan zakat profesi, karena dalil-dalil yang mendasarinya sangat lemah dan terdapat istidlal (penggunaan dalil) yang keliru. Namun bukan di sini tempatnya untuk membentangkan kekeliruan zakat profesi tersebut. Mudah-mudahan di lain waktu kami mendapat kesempatan untuk membahas kekeliruan zakat profesi itu. Sebagai informasi, untuk kritik yang mendalam terhadap zakat profesi, silakan telaah kitab Dr. Al-Yazid bin Muhammad Ar-Radhi, berjudul Zakat Rawatib Al-Muwazhzhafin wa Kasb Ash-hab Al-Mihan Al-Hurrah.
Khusus Zakat Fitrah 10. Hikmah Disyari’atkan Zakat Fitrah Di antara hikmah zakat fitrah adalah untuk menyucikan hati orang yang berpuasa dari perkara yang tidak bermanfaat dan kata-kata yang kotor. Ibnu Abbas ra berkata,
“Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkara yang sia-sia dan perkataan kotor, sekaligus untuk memberikan makan orang-orang miskin.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Dalam Shohih wa Dho‟if Sunan Abu Daud) Selain itu juga, zakat fitrah akan mencukupi kaum fakir dan miskin dari meminta-minta pada hari raya ‗idul fitri sehingga mereka dapat bersenang-senang dengan orang kaya pada hari tersebut dan syari‘at ini juga bertujuan agar kebahagiaan ini dapat dirasakan oleh semua kalangan. (Lihat: Minhajul Muslim, 23 dan Majelis Bulan Ramadhan, 382) 11. Hukum Zakat Fitrah Zakat Fitrah adalah shodaqoh yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim pada hari berbuka (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan. Hal ini dapat dilihat dari perkataan Ibnu Umar ra, ―Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah dengan satu sho‘ kurma atau satu sho‘ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun yang budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa.‖ (HR. an-Nasai. Dalam Shohih wa Dho‘if Sunan Nasa‘i, al-Albani mengatakan hadits ini shohih) Perlu diperhatikan bahwa shogir (anak kecil) dalam hadits ini tidak termasuk di dalamnya janin. Karena ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa janin juga wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini kurang tepat karena janin tidaklah disebut shogir dalam bahasa Arab juga secara ‗urf (anggapan orang Arab) (Lihat Shifat Shaum Nabi, 102). Namun jika ada yang mau membayarkan zakat fitrah untuk janin tidaklah mengapa karena dahulu sahabat Rasulullah, Khalifah Utsman bin ‗Affan ra pernah mengeluarkan zakat fitrah bagi janin dalam kandungan. (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 381) 12. Yang Berkewajiban Membayar Zakat Fitrah 1. Setiap muslim sedangkan orang kafir tidak wajib untuk menunaikannya, namun mereka akan dihukum di akhirat karena tidak menunaikannya akibat kekafirannya. 2. Yang mampu mengeluarkan zakat fitrah. Setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang kaya maupun miskin, baik tuan maupun budak/sahaya, baik dewasa maupun anak-anak. Hanya saja bagi anak dan istri yang menjadi tanggungan suami, apakah perlu mengeluarkan zakat sendiri-sendiri? Menurut Imam Nawawi, kepala keluarga wajib membayar zakat fitrah keluarganya. Bahkan menurut Imam Malik, Syafi‘i dan mayoritas ulama wajib bagi suami untuk mengeluarkan zakat istrinya karena istri adalah tanggungan nafkah suami. (Syarh Nawawi ‗ala Muslim, VII/59). Namun menurut Syaikh Ibnu Utsaimin, jika mereka mampu, sebaiknya mereka mengeluarkannya atas nama diri mereka sendiri, karena pada asalnya masing-masing mereka terkena perintah untuk menunaikannya. Begitu pula bagi hamba sahaya, maka tuannya lah yang mengeluarkan zakatnya. Maka seseorang akan mengeluarkan zakat bagi orang-orang yang berada dalam tanggungannya (istri, anak, pembantu, hamba sahaya). 13. Kapan Seseorang Mulai Terkena Kewajiban Membayar Zakat Fitrah? Seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat fitrah pada saat terbenamnya matahari di malam hari raya. Jika dia mendapati waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat fitrah. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Syafi‘i dan Imam Nawawi dalam Syarh Muslim VII/58, juga dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Majlis Syahri Ramadhan. Alasannya karena zakat ini merupakan saat berbuka dari puasa Ramadhan. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan demikian (disandarkan pada kata fithri) sehingga hukumnya juga disandarkan pada waktu fithri tersebut.
Misalnya adalah apabila seseorang meninggal satu menit sebelum terbenamnya matahari pada malam hari raya, maka dia tidak punya kewajiban dikeluarkan zakat fitrah. Namun, jika ia meninggal satu menit setelah terbenamnya matahari maka wajib untuk mengeluarkan zakat fitrah darinya. Begitu juga apabila ada bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari maka tidak wajib dikeluarkan zakat fitrah darinya, tetapi dianjurkan sebagaimana perbuatan Utsman ra di atas (zakat bagi janin yang masih di dalam kandungan –dengan tambahan syarat dari para ulama yakni bila janin tersebut telah berusia 4 bulan setelah ditiupkan baginya ruh-). Namun, jika bayi itu terlahir sebelum matahari terbenam, maka zakat fitrah wajib untuk dikeluarkan darinya (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 385). 14. Macam Zakat Fitrah Benda yang dijadikan zakat fitrah adalah berupa makanan pokok manusia, baik itu kurma, gandum, beras, kismis, keju, dsb dan tidak dibatasi pada kurma atau gandum saja (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 383 & Shohih Fiqh Sunnah, II/82). Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Malikiyah, Syafi‘iyah, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu‘ Fatawa dan hal ini diselisihi oleh Hanabilah. Adapun Nabi SAW mewajibkan zakat fitrah dengan satu sho‘ kurma atau gandum karena ini adalah makanan pokok penduduk Madinah. Seandainya itu bukan makanan pokok mereka tetapi mereka mengkonsumsi makanan pokok lainnya, maka beliau SAW tentu tidak akan membebani mereka mengeluarkan zakat fitrah yang bukan makanan yang biasa mereka makan. Sebagaimana juga dalam membayar kafaroh diperintahkan seperti ini. Sebagaimana Allah SWT berfirman, ―Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.‖ (QS. Al Maidah [5] : 89). Dan zakat fitrah merupakan bagian dari kafaroh. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/82) 15. Ukuran Satu Sha’ dalam Zakat Fitrah Ukuran zakat fitrah adalah satu sha‘ bahan makanan pokok. Sha‘ itu adalah ukuran takaran (alkail), bukan ukuran berat (al-wazan) atau volume. Satu sha‘ gandum (al-qamhu) beratnya adalah 2176 gram. (Abdul Qadim Zalum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 60). Walaupun takarannya sama (satu sha‘) akan tetapi setiap biji-bijian akan mempunyai berat yang berbeda. Satu sha‘ gandum beratnya tidak sama dengan satu sha‘ beras, tidak sama pula dengan satu sha‘ jagung, dan seterusnya. Kami sendiri belum pernah mengadakan percobaan untuk mengukur satu sha‘ itu berapa gram untuk beras. Namun ada ulama Indonesia yang sudah mengukur dan menghitungnya. Di antaranya adalah Prof. Mahmud Yunus. Menurut Prof. Mahmud Yunus dalam kitabnya Al-Fiqhul Wadhih Juz 2 hal. 10, 1 sha‘ beras itu setara dengan 2187,5 gram beras. Beliau menyatakan : ―Wa yukhriju al-muzakkiyyu ‗an kulli syakhsin shaa‘an min al aruz, wa qadruhu kiluwaani wa mi‘atun wa sab‘atun wa tsamaanuuna wa nishfu qiraamin‖ ―Muzakki mengeluarkan (zakat fitrah) untuk setiap jiwa sebesar satu sha‘ beras, dan kadarnya (beratnya) adalah dua kilogram dan seratus delapan puluh tujuh setengah gram ( 2187,5 gram).‖ (Mahmud Yunus, Al-Fiqhul Wadhih, Juz 2 hal. 10) Dalam pendapat lain, sebagaimana satu sho‘ dari semua jenis ini adalah seukuran ‗empat mud atau empat cakupan penuh telapak tangan yang sedang‘ sebagaimana yang disebutkan dalam Kamus AlMuhith. Dan apabila ditimbang akan mendekati ukuran 3 kg. Jadi kalau di Jawa makanan pokoknya
adalah beras, maka ukuran zakat fitrahnya sekitar 3 kg dan inilah yang lebih hati-hati. (Lihat pendapat Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu‟ Fatawa-nya V/92 atau Majalah Al Furqon Th. I, ed 2) Maka bagi yang ingin mengeluarkan zakat fitrah baginya maupun untuk seluruh yang dalam tanggungannya, sebaiknya dengan timbangan 3 kg. dan inilah yang lebih hati-hati, lebih baik lebih daripada kurang. Mengingat sho‘ adalah ukuran takaran, bukan ukuran timbangan sehingga agak sulit untuk dikonversi secara pasti. Akan tetapi para ulama telah melakukan konversi tersebut sehingga mempermudah kita. Dalam hal ini maka ukuran zakat fitrah untuk satu orang adalah 3 kg. maka jika ia ingin berzakat fitrah dengan beras maka ia berzakat dengan beras –disesuaikan dengan beras yang ia makan sehari-hari- sebanyak 3 kg. 16.
Bolehkah Zakat Fitrah Dengan Uang?
Ada khilafiyah di kalangan fuqaha dalam masalah ini menjadi dua pendapat. Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. (As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107; Ibnu Taimiyah, Majmu‟ al-Fatawa, XXV/83). Dalil mereka antara lain firman Allah SWT (artinya),‖Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS. At-Taubah [9] : 103). Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (mal), yaitu apa yang dimiliki berupa emas dan perak (termasuk uang). Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. (Rabi‘ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha‟am, hal. 4) Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi SAW, ―Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta pada hari seperti ini (Idul Fitri).‖ (HR. ad-Daruquthni dan al-Baihaqi). Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin dalam zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. (Abdullah Al-Ghafili, Hukm Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3) Kedua, pendapat yang tidak membolehkan dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (ghalib quut al-balad). Ini adalah pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi‘iyah, dan Hanabilah. (Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392; Al-Majmu‟, VI/112; Al-Mughni, IV/295). Dalil mereka antara lain hadits Ibnu Umar ra bahwa, ―Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah berupa satu sha‘ kurma atau satu sha‘ jewawut (sya‟ir) atas budak dan orang merdeka, lakilaki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa, dari kaum muslimin.‖ (HR. Bukhari). Hadits ini jelas menunjukkan zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk bahan makanan, bukan dengan dinar dan dirham (uang), padahal dinar dan dirham sudah ada waktu itu. (Rabi‘ Ahmad Sayyid, Tadzkir alAnam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha‟am, hal. 9). Maka yang rajih adalah pendapat jumhur yang tak membolehkan zakat fitrah dengan uang dan mewajibkannya dalam bentuk makanan pokok. Alasannya: Pertama, ayat QS. At-Taubah : 103 memang bersifat global (mujmal), yaitu zakat itu diambil dari harta (mal). Namun telah ada penjelasan (bayan) dari As-Sunnah yang merinci bahwa harta yang dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah bahan makanan, bukan uang. Kedua, hadits yang dijadikan dalil adalah dhaif (lemah), karena ada seorang periwayat hadits bernama Abu Ma‘syar yang dinilai lemah. Demikianlah menurut Imam Nawawi (al-Majmu‟, VI/126), Ibnu Hazm (al-Muhalla, VI/121), Imam Syaukani (Nailul Authar, IV/218), Imam azZaila‘i (Nashbur Rayah, II/431), Ibnu Adi, (al-Kamil fi adh-Dhu‟afa, VII/55), dan Nashiruddin alAlbani (Irwa`ul Ghalil, III/844). Padahal hadits dhaif tidak layak dijadikan dasar hukum.
Kalaupun dianggap sahih, hadits itu bersifat mutlak, tanpa penjelasan bagaimana caranya mewujudkan kecukupan (ighna`). Maka as-Sunnah memberikan pembatasan (taqyid) mengenai caranya, yaitu mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan, bukan dengan uang. (Nada Abu Ahmad, Ahkam Zakat al-Fithr Hal Yajuzu Ikhrajuha Qiimah, hal. 35). Kesimpulannya, tidak boleh membayar zakat fitrah dalam bentuk uang, melainkan wajib dalam bentuk bahan makanan pokok.
17. Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah Zakat fitrah/fithri disandarkan kepada kata ‗fithri (berbuka artinya tidak berpuasa lagi)‘. Karena fithri inilah sebabnya, maka zakat ini dikaitkan dengan fithri tersebut dan tidak boleh didahulukan. Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat itu ada dua macam. Pertama adalah waktu utama (afdhol) yaitu mulai dari terbit fajar pada hari idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‗ied. Dan kedua adalah waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum ‗ied sebagaimana yang pernah dilakukan Ibnu Umar. (Lihat: Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, 640 & Minhajul Muslim, 231) atau sejak terbenamnya fajar Ramadhan (menurut sebagian ulama). Ibnu Abbas ra berkata, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkara yang sia-sia dan perkataan kotor, sekaligus untuk memberikan makan untuk orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat „ied, maka itu adalah zakat yang diterima. Namun, barangsiapa yang menunaikannya setelah salat „ied maka itu hanya sekedar shodaqoh.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Dalam Shohih wa Dho‟if Sunan Abu Daud) Hadits ini merupakan dalil bahwa pembayaran zakat fitrah setelah shalat ‗ied tidak sah karena hanya berstatus sebagaimana sedekah pada umumnya dan bukan termasuk zakat fitrah (At-Ta‟liqot Ar-Rodhiyah, I/553, ed) Namun kewajiban ini tidak gugur di luar waktunya. Kewajiban ini harus tetap ditunaikan walaupun statusnya hanya sedekah. Abu Malik Kamal (Penulis Shohih Fiqh Sunnah) mengatakan bahwa pendapat ini merupakan kesepakatan para ulama yaitu kewajiban membayar zakat fitrah tidaklah gugur apabila keluar waktunya. Hal ini masih tetap menjadi kewajiban orang yang punya kewajiban zakat karena ini adalah utang yang tidak bisa gugur kecuali dengan dilunasi dan ini adalah hak sesama anak Adam. Adapun hak Allah, apabila hak tersebut diakhirkan hingga keluar waktunya maka tidak dibolehkan dan tebusannya adalah istigfar dan bertaubat kepada-Nya. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/84). Wallahu a‟lam bish showab. Alhamdulillahilladzi bi ni‟matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu „ala nabiyyina Muhammad wa „ala alihi wa shohbihi wa sallam. Penyusun: Inshany al-Fatah MRv