berdiskusi tentang psikologi dan manfaatnya untuk umat. 14. Ustad Dr. Adian Husaini, MA. yang memberikan kesempatan berdiskusi langsung saat peneliti akan memulai menulis penelitian ini. Terima kasih atas masukan yang telah diberikan. 15. Ustad Talqis Nurdiyanto, Lc., MA. Terima kasih atas masukan dan koreksi tentang penelitian ini dan dorongan untuk kesempurnaan penelitian ini serta pinjaman buku-buku dan referensi literatur yang disarankan dalam penulisan tesis ini. 16. Kepada teman-teman yang langsung membantu penelitian ini: Mas Wahyu Dewanto, Mba Ima, Mba Juli, Mba Ruli, Mas Wakhid, Mba Wiwin, Mas Hamid, Mba Citra, Difa & Fhajar, Mba Maya, Adrian, Jihad, Halim. Terima kasih banyak telah meluangkan waktu untuk penelitian yang panjang ini di tengah kesibukan teman-teman semua. Mudah-mudahan ini menjadi ilmu dan manfaat untuk kita di masa yang akan datang. 17. Kepada Mba’ Mar’atul Khusna, S.Psi., M.Psi., Psi yang telah memberikan informasi tentang responden penelitian dan mempertemukan peneliti dengan mereka. 18. Kepada teman-teman MAPRONIS 8, tidak terasa kita telah melewati banyak hal selama sekitar dua tahun terakhir. terima kasih atas bantuan dan kelas proses yang telah kita jalani selama ini. Mohon maaf jika banyak salah yang telah saya lakukan. 19. Kepada Abubaker Almabruk dari Leicester University yang bersedia memberikan jurnal penelitiannya melalui email kepada peneliti. Yogyakarta, 14 Januari 2014 Peneliti, Zakwan Adri
ix
Data WHO menunjukkan bahwa usia harapan hidup beberapa negara di dunia terus meningkat. Usia harapan hidup orang Indonesia terus meningkat dari 63 tahun (1990), menjadi 68 tahun (2000) dan 71 tahun (2006) (WHO, 2008). Semakin tingginya usia harapan hidup manusia Indonesia menunjukkan bahwa kualitas kesehatan masyarakat mengalami peningkatan. Namun, banyak masalah kesehatan yang terjadi pada manusia memasuki usia dewasa. Salah satu masalah kesehatan pada usia dewasa hingga lanjut usia adalah penyakit stroke. Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global selama 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau meninggal), berasal dari gangguan aliran darah otak (Setyopranoto, Lamsudin & Dahlan, 2000). Stroke adalah salah satu dari enam penyakit neurologis yang banyak terjadi di dunia (WHO, 2005). Stroke merupakan penyakit kardiovaskular yang menyebabkan tujuh belas juta kematian bersama dengan penyakit jantung di dunia (Yach, Hawkes, Gould & Hofman, 2004). Prevalensi stroke di Indonesia adalah 17:10.000 pada daerah pinggiran dan 22:10.000 pada daerah perkotaan dengan proporsi stroke iskemik sebesar 42,9% (Misbach, 2009). Stroke merupakan penyakit ketiga terbanyak pada kasus rawat inap di DIY dengan jumlah penderita sebanyak 3553 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi DIY, 2012). Setyopranoto (dalam Gusti, 2012) menjelaskan bahwa morbiditas stroke di RSUP Prof. Dr. Sardjito tahun 2011 sebanyak 70 % adalah stroke iskemik akut dan 30 % stroke perdarahan. Stroke tidak hanya terjadi pada manusia berusia di atas 50 tahun, namun stroke dapat terjadi pada usia yang lebih muda. Prevalensi stroke pada usia di bawah 45-50 tahun sebanyak 8.8 sampai 1
23 per 100.000 di daerah Amerika Serikat dan Eropa dengan persentase 87% mengalami stroke iskemik dan 13% mengalami stroke hemoragik (Stein, Harvey, Macko, Winstein & Zorowitz 2009). Stroke merupakan penyakit yang menyebabkan disabilitas pada penderitanya (Donnell, Bryan, Smith, Esterman. 2011; Edmans, 2010). Salah satu gangguan yang terjadi pada penderita stroke adalah gangguan kognitif. Beberapa penelitian menjelaskan lokasi lesi yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan kognitif pada pasien pasca stroke: pertama, paramedian thalamus yang menyebabkan gangguan memori, pemrosesan keruangan, kepribadian dan bahasa, yang kedua di inferomedial temporal cortex yang menyebabkan gangguan memori verbal dan visual verbal, yang ketiga di dominant angular gyrus yang menyebabkan gangguan memori, bahasa dan afek, keempat di parieto-temporal association cortex di teritori arteri cerebral tengah yang menyebabkan gangguan atensi dan perilaku abnormal, dan yang kelima di lobus frontalis yang menyebabkan deficit memori dan inisiatif (Stein, 2009). Gangguan kognitif adalah gangguan fungsi luhur otak berupa gangguan orientasi, perhatian, daya ingat, bahasa dan fungsi intelektual (Friedl et al. dalam Setyopranoto, Lamsudin & Dahlan, 2000). Gangguan kognitif yang tidak segera ditangani dapat menyebabkan meningkatnya resiko demensia pada jangka panjang (Desmond, 1996 dalam Setyopranoto & Lamsudin, 1999). Gangguan kognitif dapat disebabkan oleh onset serang stroke yang dialami. Penelitian Setyopranoto, Lamsudin & Dahlan (2000) dengan menggunakan MMSE menunjukkan bahwa gangguan kognitif tujuh hari setelah onset terjadi karena riwayat serangan stroke sebelumnya. 2
Ketika pemeriksaan dilakukan 4 minggu setelah onset, gangguan kognitif terjadi disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan terdapat lesi di hemisfer kanan. Vakhnina, Nikitina, Parvenof & Yakhno (2009) menjelaskan bahwa gangguan kognitif terjadi pada 40%-60% pasien pada masa enam bulan setelah serangan iskemik transient, stroke minor, dan stroke dengan defisit neurologis yang minimal. Gangguan kognitif dapat menyebabkan masalah dalam kehidupan pada pasien stroke. Penelitian Toole, Bhadelia, Williamson & Veltkamp (2004) menyebutkan bahwa pasien pasca stroke yang berusia di atas 65 tahun mengalami penurunan fungsi kognitif pada hemisfer kiri yang lebih cepat dibandingkan penurunan fungsi kognitif pada hemisfer kanan. Penelitian Linden, Samuelson, Skoog & Blomstrand (2005) menyatakan bahwa dari 243 pasien stroke dengan usia antara 70-91 tahun yang menjadi responden penelitian ini, terdapat 15 % mengalami visual neglect, gangguan kognitif terjadi dua kali lipat pada pasien tersebut dan gangguan kognitif terjadi tiga kali lipat jika visual neglect yang terjadi lebih parah. Stephen, Kenny, Rowan, Kalaria, Path, Bradbury, Pearce Wesnes & Ballard (2005) menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan terhadap 339 penderita stroke yang tidak komorbid dengan dementia mengalami gangguan dalam melakukan aktivitas harian seperti mobilitas, mandi, berpakaian, makan dan urusan ke toilet. Penurunan fungsi kognitif mampu meningkatkan risiko kesulitan melakukan aktivitas harian (Willis, Tennstedt, Marsiske, Ball, Elias, Koepke, Morris, Rebok, UnverzaGT, Stoddard & Wright, 2006). Working memory (WM) juga menjadi satu gangguan kognitif yang banyak 3
terjadi pada pasien stroke. Penurunan WM terjadi pada pasien dengan infark pada serebral kiri (Godefroy & Bogousslavsky, 2007). Gabungan dari faktor usia dan serangan stroke semakin meningkatkan gangguan kognitif pada lansia. Defisit dalam hal WM dan atensi yang disebabkan oleh stroke seringkali mengakibatkan gangguan dalam kinerja dan fungsi sosial (Westerberg, Jacobaeus, Hirvikoski, Cleverberger, Ostensson, Bartfai & Klingberg, 2007). Tingkat gangguan WM pada seorang pasien dapat digunakan untuk memprediksi penyembuhan dari stroke (Westerberg et al., 2007). Upaya untuk mengatasi gangguan kognitif pada pasien stroke belum menjadi perhatian yang sangat serius (Stein, 2009). Padahal, intervensi diperlukan untuk membantu meningkatkan kualitas pemulihan setelah stroke. Penelitian tentang rehabilitasi pasca stroke pada usia di bawah 50 tahun selama ini banyak difokuskan pada aspek non kognitif seperti interaksi sosial dan motorik pasca perawatan medis misal latihan berkendara, apraxia dan aphasia, depresi (Stein, 2009). Salah satu intervensi yang banyak digunakan untuk meningkatkan kualitas working memory pada pasien stroke dan lansia adalah memory training. Belum banyak penelitian yang tentang memory training khusus untuk penderita stroke khususnya pada pasien yang berusia di bawah 50 tahun. Memory training lebih banyak diberikan untuk lansia. Beberapa di antaranya adalah penelitian Cavallini, Pagnin & Vecchi (2003) menunjukkan bahwa penggunaan memory training mampu meningkatkan rata-rata kinerja responden dewasa, dewasa akhir dan lanjut usia. Valentijn, Hooren, Bosma, Touw, Jolles, Boxtel & Ponds (2005) menjelaskan bahwa 4
pelatihan memori secara kolektif mampu meningkatkan kemampuan recall dibandingkan pelatihan memori yang dilakukan secara individual. Bottiroli, Cavallini & Vecchi (2008) menjelaskan bahwa efek jangka panjang dari memory training menunjukkan peningkatan kinerja memori pada aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan sehari-hari yaitu memori untuk daftar belanja dan tempat. Working memory training yang diberikan terhadap orang lanjut usia juga memberikan dampak terhadap proses kognitif. Penelitian Engvig, Fjell, Westlye, Moberget, Sundseth, Larsen & Walhovd (2010) menjelaskan bahwa pelatihan memori pada orang dengan lanjut usia menyebabkan penebalan pada cortex otak sebelah kanan fusiform dan cortex orbitofrontal lateral yang berpengaruh terhadap kinerja memori. Pelatihan memori juga menyebabkan peningkatan pada bagian prefrontal dan parietal otak (Olesen, Westerberg & Klingberg, 2003; ). Penggunaan memory training menunjukkan bahwa stimulus sensori yang diberikan terhadap pasien pasca stroke dengan gangguan kognitif adalah stimulus dengan short-term memory yang berasal dari materi yang belum lama dilatihkan kepada pasien tersebut. Memory training yang dijelaskan dalam sejumlah artikel ilmiah diberikan dalam bentuk pelatihan dengan mengulang informasi yang baru kepada responden. Informasi baru yang dimaksud adalah informasi yang tidak ada dihafal secara berurutan sebelumnya dan jarang diulang. Cavallini, Pagnin & Vecchi (2003) menjelaskan sejumlah tugas dalam memory training, yaitu: tugas ekologis (story recall, shopping list recall, memory for activities planned for the week, memory for faces/names, memory for places), tugas working memory (digit span, backward digit 5
span, memory for lists or figures, memory for word-lists), Kuesioner (kuesioner metamemori, kuesioner memori harian, kuesioner efikasi diri), dan memory training (loci mnemonics, strategic training). Keberhasilan memori training dalam meningkatkan kemampuan memori pasca stroke dapat dijelaskan dengan teori brain plasticity yang menyebutkan bahwa otak memiliki kemampuan beradaptasi terhadap gangguan yang terjadi. Otak mampu memperbaiki diri jika terjadi kerusakan dengan bantuan stimulus sensori yang cukup dari lingkungan (Moller, 2006). Sensori tersebut membantu otak menuju kematangan dalam perkembangannya (Kral, Hartmann, Tilkein, Heid & Klinke, 2002). Salah satu bukti perkembangan syaraf sejak kelahiran adalah penelitian Sharma, Dorman & Kral (2005) menunjukkan bahwa anak dengan kehilangan pendengaran bawaan yang mendapatkan cochlear implant bilateral dan pada usia sebelum 3,5 sampai setelah 7 tahun mengalami perkembangan CAEP (Cortical Auditory Evoked Potential) yang lebih baik dibandingkan anak yang lebih terlambat mendapatkan cochlear implant. Selain itu, syaraf juga mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi pada seseorang setelah melewati fase kritis (critical period) atau periode sensitif (sensitive period) atau waktu yang dibutuhkan oleh syaraf untuk menuju perubahan yang lebih tetap terjadi (Harrison, Gordon & Mount, 2005). Kral, Hartmann, Tillein, Heid & Klinke (2001) melakukan penelitian terhadap anak kucing yang mengalami kehilangan pendengaran sejak lahir. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa kucing yang mendapatkan cochlear implant lebih awal sejak usia sebelum 5-6 bulan lebih baik dalam pelatihan auditori dibandingkan kucing yang lebih tua atau tidak 6
mendapatkan cochlear implant. Penelitian di atas menunjukkan bahwa ketika otak memiliki kehilangan fungsi karena suatu gangguan pada salah satu sensori, maka otak akan dapat beradaptasi dengan memanfaatkan stimulus melalui sensori lain yang diberikan dari lingkungan. Perkembangan otak setiap manusia terjadi apabila mendapatkan stimulus sensori dari lingkungan setiap hari. Stimulus sensori yang cukup dan berulang akan memberikan dampak yang positif terhadap aspek tertentu dari manusia tersebut. Hamilton & Leone (1998) menunjukkan bahwa tuna netra yang mempelajari huruf Braille dan mampu membaca dengan huruf tersebut mengalami aktivasi pada cortex occipital. Pada kasus yang lain Shahid, Krahmer & Swerts (2008) menjelaskan bahwa anak-anak yang bermain bersama temannya lebih bisa menunjukkan ekspresi emosi yang lebih baik dibandingkan anak yang bermain sendiri tanpa keberadaan temannya walaupun tingkat ekspresinya berbeda. Penelitian tersebut menjelaskan pula bahwa anak-anak dari budaya Pakistan lebih bisa menampakkan ekspresi emosinya dibandingkan anak-anak dari Belanda. Penelitian lain yang dilakukan Chuang & Chen (2009) terhadap 108 pelajar kelas tiga setingkat SMP dan SMA yang diberikan stimulus permainan mematikan api. Instruksi yang diberikan berupa tayangan tulisan tentang cara mematikan api dan kelompok eksperimen belajar mematikan api dengan bermain video game. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang mendapatkan stimulus dari video game mengalami peningkatan kemampuan proses recall informasi dan kemampuan mengatasi masalah untuk mengatasi berbagai macam persoalan dengan solusinya. 7
Stimulus yang diterima manusia tidak hanya stimulus yang berdampak positif, tapi juga bisa berdampak negatif. Salah satu stimulus sensori yang berdampak negatif yang banyak terjadi di masyarakat adalah pornografi. Hilton & Watts (2011) menyatakan bahwa otak pelaku pedophilia mengalami kerusakan pada frontostriatal yang hampir mirip dengan pecandu kokain dan metamphetamine. Kerusakan pada bagian frontal otak dapat menyebabkan orang tersebut tidak dapat mengendalikan perilaku seksualnya (Miner, Raymond, Muller, Lloyd, Lim, 2009). Penjelasan di atas menunjukkan bahwa setiap otak manusia memiliki sistem syaraf yang mampu berkembang dan beradaptasi melalui proses belajar dari stimulus sensori yang diterima. Stimulus yang baik akan meningkatkan fungsi otak dan stimulus yang buruk dapat merusak otak manusia dan menyebabkan masalah baik secara neurologis, fisiologis dan juga secara psikologis. Perilaku yang ditampakkan dalam kehidupan sehari-hari akan menunjukkan apa yang terjadi pada otak manusia tersebut. Stimulus sensori yang telah banyak dilatih umat Islam sejak masa anak-anak adalah menghafal Al Qur’an. Beberapa ayat Al Qur’an yang telah dihafal dibaca berulang-ulang di dalam shalat dan di luar shalat. Salah satu surat hafalan Qur’an sering diulang seperti surat Al Fatihah yang diulang sebanyak minimal tujuh belas kali di dalam shalat dalam sehari (Quthb, 2002). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa stimulus mendengarkan Al Qur’an memberikan dampak yang positif terhadap manusia. Penelitian Shafiei, Salari & Sharifi (2011) melakukan penelitian terhadap 180 pasien yang akan menjalani operasi di Rumah Sakit Imam Khomeini di Iran. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahwa pasien yang mendengarkan bacaan Al 8
Qur’an menunjukkan tingkat kecemasan yang lebih rendah dan bacaan Al Qur’an yang diiringi dengan terjemah bahasa Persia menunjukkan tingkat kecemasan yang lebih rendah pada pasien yang akan menghadapi anestesi sebelum operasi. Penelitian lain menunjukkan bahwa membaca Alqur’an juga mampu mempengaruhi tingkat stress, depresi dan kecemasan. Pouralkhas, Rajabi & Pishgar (2012) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan tingkat kecemasan, depresi yang cukup signifikan pada mahasiswa yang membaca Al Qur’an dibandingkan mahasiswa yang tidak membaca Al Qur’an. Penelitian Sooki, Sharifi & Tagharobi (2011) terhadap 57 orang lanjut usia menjelaskan bahwa program membaca Al Qur’an mampu meningkatkan 29,6 % kesehatan mental pada orang lanjut usia yang menghuni panti jompo dengan mengukurnya melalui kuesioner General Health Questionnaire-28 (GHQ-28). Penelitian di atas menunjukkan bahwa mendengarkan dan membaca Al Qur’an memberikan pengaruh yang baik terhadap kesehatan mental dalam menurunkan tingkat stress, depresi dan kecemasan seseorang. Namun Hamka (2000) menjelaskan bahwa membaca Al Qur’an juga berdampak secara kognitif karena Allah memudahkan manusia untuk mempelajarinya seperti yang dijelaskan di dalam surat Al Qamar 54: 17, “Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah yang mengambil pelajaran?” Sebuah hadits juga menjelaskan bahwa perilaku membaca Al Qur’an akan berdampak positif pada otak. Hamka (2000) menjelaskan sebuah hadits dari Ibnu Abbas dan Ikrimah,”Barangsiapa yang mengumpulkan al Qur’an tidaklah akan dikembalikan kepada ardzalil umur. Kepada pikun, Insya Allah!” 9
Penjelasan Hamka (2000) di atas dapat ditelusuri dalam sejumlah literatur psikolingusitik tentang pengaruh penggunaan bahasa terhadap hemisfer kiri otak. Seorang penghafal Al Qur’an melibatkan berbagai indera saat menghafal Al Qur’an seperti telinga. Garman (1990) menerangkan proses masuknya informasi melalui telinga hingga diterima oleh otak. Stimulus suara masuk ke telinga melalui tiga lapisan telinga yaitu lapisan luar yang terdiri dari pinna (daun telinga) yang mengumpulkan suara, lubang udara dan membran timpan dan diteruskan ke lapisan tengah yaitu rantai osikular dan dilanjutkan ke lapisan dalam yang terdiri dari cochlea yang di dalamnya terdapat membrane basilar. Dari cochlea, informasi dilanjutkan ke batang otak melalui medulla dan bersambung ke sel-sel syaraf yang disebut cochlear nuclei. Setelah itu informasi ini dikirim ke dua tempat yaitu superior olivary nuclei dan inferior colliculus hingga menuju ke thalamus. Informasi bahasa yang diterima oleh telinga dapat dipindai dan diteruskan ke area otak yang khusus untuk interpretasi. Kimura (1961 dalam Akmajian et al. 1990) menjelaskan bahwa informasi yang masuk ke indra diteruskan ke thalamus yang menjadi stasiun relay yang akan meneruskan informasi itu ke seluruh bagian korteks dimana thalamus berfungsi untuk membuat perhatian menjadi fokus saat penerimaan informasi itu oleh area sensori korteks tertentu. Akmajian et al. (1990) menyatakan bahwa informasi dari pendengaran lebih mudah diolah jika informasi tersebut distimulus melalui telinga kanan yang dikenal dengan istilah REA (Right Ear Advantage) yang umumnya terjadi pada informasi yang memiliki makna. Namun, REA juga terjadi pada suku kata yang tidak bermakna, pembicaraan yang dimainkan dari belakang, 10
suku kata yang terdiri dari huruf hidup dan konsonan. Semua REA tadi mempengaruhi proses di otak kiri. Akmajian, Demers, Farmer & Harnish (1990) menjelaskan bahwa bahasa hemisfer kiri pada otak merupakan satu hal yang vital untuk bahasa dan bicara. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa penggunaan bahasa melalui pendengaran pada telinga berpengaruh terhadap memori. kemudian penghafal tersebut melakukan pengulangan beberapa kali terhadap ayat yang didengarnya tersebut dengan lisannya. Perilaku yang berulang seperti itu dapat meningkatkan kelenturan otak yang dapat memperbaiki otak setelah mengalami suatu gangguan (Huttenlocher, 2006). Penelitian ini bertujuan untuk melihat kemampuan working memory pada pasien pasca stroke iskemik yang mengalami gangguan kognitif melalui hafalan Al Qur’an. Menghafal Al Qur’an adalah sebuah proses memasukkan informasi ayat-ayat Al Qur’an ke dalam memori jangka pendek (encoding), kemudian hafalan tersebut diulang beberapa kali. Menurut teori Law of Exercise, praktik yang berulang akan meningkatkan kekuatan koneksi antara situasi yang merespon dengan stimulus dan koneksi akan melemah jika praktik tidak dilakukan (Olson & Hergenhahn, 2009). Perilaku menghafal Al Qur’an adalah perilaku menghafal kata-kata berbahasa Ara secara verbal. Alfano & Cimino (2008) menjelaskan bahwa materi verbal banyak berpengaruh terhadap hemisfer kiri otak. Ayat Al Qur’an ditulis dalam bahasa Arab yang ditulis dari kanan ke kiri kertas sehingga otak yang aktif dari aktifitas membaca Al Qur’an adalah otak kiri. Salah satu fungsi otak kiri adalah mengatur emosi positif (Alfano & Cimino, 2008). Selain itu, pernafasan lambat saat membaca ayat Al Qur’an 11
mempengaruhi otak yang berdampak pada emosi, kognisi dan kesadaran (Sofro, 2013). Surat Ar Rahman adalah surat yang memudahkan untuk menghafal karena memiliki sedikit huruf halqu (huruf yang dikeluarkan melalui tenggorokan) (Rauf, 2011). Huruf halqu terdiri dari ح, ع, غ, ھـ, ءyang menyulitkan seseorang untuk mengucapkannya. Ayat kedua memiliki huruf عpada lafaz َعَلﱠ َم ْالقُرْ آن. Berdasarkan penjelasan di atas, perilaku menghafalkan Al Qur’an diharapkan akan meningkatkan kualitas memori pasca serangan stroke iskemik pada responden dengan gangguan memori yang terjadi karena kerusakan pada hemisfer kiri otak. Stroke Iskemik Hemiparesis kanan Gangguan memori ADL terganggu, interaksi sosial terganggu
Menghafal Al Qur’an Mendengar ayat Mengulang ayat beberapa kali Pernafasan lambat Penggunaan tajwid
Otak
Brain Plasticity
working memory meningkat Bagan 1 Alur Pikir Penelitian
12
HIPOTESIS PENELITIAN Hipotesis penelitian ini adalah: menghafal Al Qur’an surat Ar Rahman ayat 112 mampu meningkatkan working memory pada pasien stroke iskemik rawat jalan dengan gangguan memori.
Metode Penelitian Responden Peneliti melakukan pencarian responden sesuai kriteria inklusi selama sekitar dua bulan di 22 lembaga dan sejumlah organisasi, media sosial dan individu: enam rumah sakit besar DI Yogyakarta, 12 puskesmas di Kabupaten Sleman, empat tempat praktik pribadi neurolog, pengumuman di media sosial facebook, informasi melalui rekan-rekan kuliah, tiga orang fisioterapis, satu komunitas stroke. Pencarian tersebut menghasilkan data lima responden penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Lima responden
tersebut
menyatakan
bersedia
mengikuti
penelitian
dengan
menandatangani informed consent. Kemudian dua responden mengundurkan diri pada saat pretest yang pertama dan ketiga. Responden yang berpartisipasi penuh dalam penelitian ini berjumlah tiga orang. yang telah mengalami serangan stroke iskemik dengan hemiparesis kanan. Responden terdiri dari orang laki-laki yang berusia 51 tahun dan dua orang perempuan yang masing-masing berusia 27 tahun dan 44 tahun. Responden berasal dari suku Jawa dengan tingkat pendidikan yang berbeda yaitu SD dan SMA. Responden mengalami stroke pada waktu yang berbeda: responden BY mengalami stroke sejak tahun 2013, responden GT sejak tahun 2011 dan responden 13
YP sejak tahun 2010. Responden BY dan YP memiliki skor MMSE sama yaitu 27. Semua responden tidak memiliki kemampuan dalam membaca tulisan berbahasa Arab. Responden GT tidak mengundurkan diri dari penelitian pada sesi ke-4. Responden meminta izin untuk mengikuti sesi ke-4 dan pada sesi ke-5 responden tidak dapat dihubungi sehingga penelitian terhadap responden GT tidak dapat dilanjutkan sampai selesai. Berikut gambaran demografis responden penelitian:
Tabel 1. Data Demografis Responden Aspek
Responden BY
Responden YP
Jenis kelamin
Perempuan
Perempuan
Suku
Jawa
Jawa
Pendidikan
SD
SMA
usia onset
8 bulan
3 tahun
usia responden
44 tahun
27 tahun
Diagnosis
Stroke iskemik
Stroke iskemik
Hemiparesis
Kanan
Kanan
Skor MMSE
27
27
Therapeutic Window
10 jam
8 jam
Kemampuan
membaca Tidak mampu
Tidak mampu
tulisan berbahasa Arab
Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah: beragama Islam, jenis kelamin laki-
14
laki atau perempuan, tidak sedang dalam perawatan dokter di rumah sakit, mengalami stroke yang pertama, onset stroke di bawah empat tahun, tidak mengalami afasia, hemiparesis kanan, mengalami gangguan kognitif ringan atau sedang dengan menggunakan alat ukur MMSE responden berusia di bawah 55 tahun. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah beragama selain Islam, mengalami stroke lebih dari satu kali, hemiparesis kiri, mengalami gangguan kognitif berat dalam skala MMSE (Mini Mental State Examination), mengalami dementia pasca stroke masih dalam perawatan medis di rumah sakit. Responden memiliki jumlah hafalan Al Qur’an yang berbeda-beda: Tabel 2. Jumlah Hafalan Ayat Al Qur’an Responden Penelitian No
BY
YP
1
Al Fatihah (7)
Al Fatihah (7), Al Baqarah 1-4 (4),
2
Al Kautsar (3)
Adh Dhuha (11), At Tiin (8), Al Qadr (5),
3
Al Kafirun (6)
Az Zilzal (8), Al ‘Adiyat (11), Al Qari’ah (11),
4
Al Lahab (5)
At Takatsur (8), Al ‘Ashr (3), Al Humazah (9),
5
Al Ikhlas (4)
Al Fil (5), Quraisy (4), Al Ma’un (7),
6
Al Falaq (5)
Al Kautsar (3), Al Kafirun (6), An Nashr (3),
7
An Naas (6)
Al Lahab (5), Al Ikhlas (4), Al Falaq (5), An Naas (6).
8 Jumlah
36 ayat
133 ayat
15
Desain Penelitian Desain penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan berupa hafalan Al Qur’an terhadap memori pada pasien pasca stroke iskemik dengan gangguan kognitif. Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen subjek tunggal dengan desain A-B-A dengan multiple baseline. Multiple baseline adalah salah satu syarat untuk menghasilkan validitas penelitian yang baik. pengukuran keadaan baseline dapat dilakukan sebanyak 3 atau 5 kali untuk melihat kejelasan level data perilaku yang akan diintervensi (Sunanto, Takeuchi & Nakata, 2005). A1
B
A2
Keterangan: A1 = Pengukuran sebelum intervensi (Digit Span) B = Intervensi menghafal Al Qur’an A2 = Pengukuran setelah intervensi (Digit Span)
Alat dan Materi: 1. Software Al Qur’an Digital (Ayat v-1.2.2 standard) yang dibuat oleh King
Saud
University
(KSU),
http://quran.ksu.edu.sa/ayat/?l=en).
Arab
Saudi
Software
ini
(diunduh digunakan
dari: untuk
membantu responden dalam mengingat kembali ayat di dalam Al Qur’an pada saat intervensi.
2. Komputer Jinjing Komputer jinjing digunakan sebagai alat yang membantu responden
16