KERETA APIKU SAYANG, KERETA APIKU MALANG PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
Working Paper No.1, 2008
Tim Riset PEP: Siti Khoirun Nikmah Valentina Sri Wijiyati
NGO in Special Consultative Status with the Economic and Social Council of the United Nations
KERETA APIKU SAYANG, KERETA APIKU MALANG PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
Tim Riset PEP: Siti Khoirun Nikmah Valentina Sri Wijiyati
Working Paper No.1, 2008
Daftar Isi Daftar Singkatan Pendahuluan
1
Perkembangan Perkeretaapian Indonesia
3
Metodologi Penelitian
7
Temuan Penelitian
9
Kesimpulan
16
Rekomendasi
17
Penutup
18
Bibliography
19
-i-
DAFTAR SINGKATAN BAPPENAS BUMN BUMNIS DDT FGD IMF IMO JBIC KA KRL KUHD LBH MRT MTI PDAM PEP PERUMKA PFB PJKA PP PSO SPKA SS-Bond TAC UU UUD VSTP YLKI
: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional : Badan Usaha Milik Negara : Badan Usaha Milik Negara dalam Industri Strategis : Double Double Track : Focus Group Discussion : International Monetary Fund : Infrastructure Maintenance and Operation : Japan Bank for International Cooperation : Kereta Api : Kereta Rel Listrik : Kitab Undang-Undang Hukum Dagang : Lembaga Bantuan Hukum : Mass Rapid Transit : Masyarakat Transportasi Indonesia : Perusahaan Daerah Air Minum : Proyek Efisiensi Perkeretaapian : Perusahaan Umum Kereta Api : Personeel Fabrieks Bond : Perusahaan Djawatan Kereta Api : Peraturan Pemerintah : Public Service Obligation : Serikat Pekerja Kereta Api : Staats Spoor Bond : Track Access Charge : Undang-Undang : Undang-Undang Dasar : Vereniging van Spoor – en Tramweg Personeel : Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
- ii -
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini bisa terselenggara oleh dukungan dan kerjasama dari seluruh pemangku kepentingan perkeretaaapian di Indonesia. Terima kasih kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu proses penelitian. Penelitian ini ditujukan bagi perbaikan layanan publik yang seyogyanya menjadi hak seluruh rakyat, termasuk juga seluruh buruh kereta api yang terus berjuang hingga saat ini dalam menjaga fasilitas perkeretaapian. Penelitian ini tidak akan rampung tanpa supervisi dari DR. George Junus Aditjondro. Jakarta, 30 Mei 2008
Tim peneliti PEP: 1. Siti Khoirun Nikmah 2. Valentina Sri Wijiyati
- iii -
KATA PENGANTAR
Penelitian tentang Proyek Efisiensi Perkeretaapian (Railway Efficiency Project) yang dibiayai oleh utang dari Bank Dunia ini merupakan satu dari tiga penelitian INFID atas proyek-proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia baik melalui utang maupun melalui dana hibah dari berbagai donor melalui manajemen Bank Dunia. Penelitian-penelitian ini dilakukan untuk menelusuri manfaat dari proyek-proyek yang dibiayai utang dan hibah luar negeri yang berpengaruh pada kebijakan dan program pembangunan di Indonesia. Pengaruh itu bisa secara langsung pada sector yang dilaksanakan dengan dana utang dan hibah luar negeri tersebut, atau pun pengaruh pada kebijakan yang tidak ada hubungannya dengan sector yang dibiayai oleh utang atau hibah luar negeri tersebut. Di lihat dari judulnya – Proyek Efisiensi Perkeretaapian – masyarakat umum mungkin akan terbuai dengan harapan-harapan yang berlebihan dari hasil yang mau dicapai oleh proyek yang dibiayai utang sebesar US$ 85 juta dari Bank Dunia ini. Judulnya memberi citra pada peningkatan kinerja dan kualitas pelayanan perkeretaapian Indonesia. Riset ini menunjukkan bahwa Proyek Efisiensi Perkeretaapian, yang didahului oleh dua proyek yang dibiayai utang Bank Dunia sebelumnya, pada dasarnya bertujuan untuk privatisasi perkeretaapian Indonesia. Dalam proses pelaksanaan proyeknya tampak dengan jelas bahwa proyek ini mulai mempromosikan produk-produk perkeretaapian yang ditawarkan oleh Negara-negara kreditor, yang akan dibeli dengan utang dengan skema tied aid dalam periode berikutnya. Dengan kata lain PEP ini mempersiapkan suatu kerangka utang baru yang lebih besar untuk implementasi rekomendasirekomendasinya. Di samping itu, PEP ini juga merekomendasikan pemecatan karyawan PT KA yang dianggap terlalu gemuk dan membuat pelayanan kereta api tidak efisien. Efisiensi tentu saja penting untuk peningkatan kualitas pelayanan, tetapi pemecatan sejumlah besar karyawan mungkin bukan jalan keluar yang tepat untuk efisiensi. Di saat tingginya tingkat pengangguran di Indonesia, pemecatan ribuan karyawan PT KA bukanlah pilihan yang tepat bahkan merupakan pilihan yang tidak manusiawi. Tenaga kerja PT KA termasuk kategori tenaga kerja dengan keahlian yang specialized. Peralihan ke jenis pekerjaan yang lain tanpa pemberian keahlian baru merupakan beban tersendiri. Pemecatan buruh PT KA ini menggelitik para pengamat perburuhan yang memandang bahwa buruh kereta api selama ini termasuk serikat buruh yang solid dan kuat. Ternyata tidak demikian. Pemecatan gelombang pertama sebesar 5,500 buruh (bukan jumlah yang kecil) tidak menimbulkan gelombang resistensi yang berarti. Yang jelas, Serikat Buruh PT KA sendiri tidak memiliki informasi yang jelas bahwa proyek yang dibiayai Utang Bank Dunia ini yang kelak akan dibayar oleh anak cucu mereka sendiri, termasuk anak-cucu dari korban pemecatan, lah yang menjadi pemicu utama hilangnya sumber penghidupan dari ribuan buruh PT KA tersebut. Inilah ironi dari utang luar negeri. Rakyat yang menderita kerugian karena proyek yang dibiayai utang tersebut kelak rakyat yang sama juga yang akan dibebani membayar kembali utang-utang tersebut. Proyek ini telah resmi dianggap oleh Bank Dunia sendiri sebagai gagal, dengan mempersalahkan resistensi internal PT KA sendiri sebagai sumber kegagalannya. Meskipun gagal atau dengan kata lain proyek tersebut tidak bermanfaat untuk perkeretaapian Indonesia, seluruh rakyat Indonesia yang tidak
- iv -
menerima manfaat dari proyek itu sekalipun harus ikut menanggung beban pembayaran utang dan bunganya di kemudian hari. Itulah tragedi pembangunan yang berlandaskan pada rejim utang. Rakyat yang menderita karena proyek yang dibiayai utang kelak akan membayar utang tersebut, meskipun proyek tersebut tidak membawa manfaat sama sekali bagi bangsa. Dengan kata lain proyek utang justru membuat rakyat hidup dalam cengkeraman penderitaan yang berkepanjangan.
Jakarta, 17 Juni 2008
Don Kladius Marut Executive Director
-v-
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
KERETA APIKU SAYANG, KERETA APIKU MALANG HASIL PENELITIAN ATAS PROYEK BANK DUNIA “PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN” I.
PENDAHULUAN
Tahun 1996, Bank Dunia memberikan utang berupa Railway Efficiency Project atau Proyek Efisiensi Perkeretaapian (PEP) kepada Pemerintah Indonesia. PEP merupakan proyek ketiga yang diberikan Bank Dunia untuk moda transportasi kereta api sampai tahun 1996. PEP sendiri diberikan setelah the first railway project di tahun 1974 dan The Railway Technical Assistance Project yang diberikan pada tahun 1987. Proyek pertama untuk kereta api bertujuan “to arrest the decline in the railway’s share in land transport and to increase its capacity and efficiency through a program of rehabilitation and modernization, including a substantial amount of technical assistance and practical training” (World Bank 1996: 6). Proyek utang kemudian dilanjutkan dengan The Railway Technical Assistance Project yang menurut laporan Bank Dunia dianggap berhasil. Proyek Bantuan Teknis untuk pengelolaan perkeretaapian Indonesia telah mengubah struktur pengelolaan perkeretaapian Indonesia dari Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (PERUMKA) tahun 1990. Dua proyek ini yang mendorong Bank Dunia memberikan utang ketiga untuk pengelolaan perkeretaapian Indonesia melalui PEP. Tujuan utama yang diharapkan dari PEP ini sendiri seperti yang tertuang dalam dokumen Staff Appraisal Report Bank Dunia (World Bank 1996: 27) meliputi a) reformasi sektor perkeretaapian melalui hubungan antara pengelola kereta api (operator) dengan pemerintah, sekaligus membangun landasan dalam mendorong partisipasi swasta, b) rasionalisasi investasi modal sektor perkeretaapian, c) pengembangan manajemen dan operasional perkeretaapian, dan d) peningkatan kapasitas fisik pada koridor utama kereta api. Kalau dibandingkan dengan pemberian utang Bank Dunia untuk sektor transportasi lainnya terutama pengembangan infrastruktur angkutan jalan raya yang berbasis pada otomotif, proyek Bank Dunia untuk kereta api relatif sedikit di mana sampai pada tahun 1996 utang Bank Dunia untuk jalan raya sudah mencapai 15 proyek. PEP terdiri atas lima komponen yang terdiri atas: a) Policy reform involving restructuring of Perumka into a persero and reform of government corporate interfaces; b) Improvements to the railway between Jakarta and Bandung (170 km) to expand capacity, shorten passenger journey times, and improve safety in this important passenger and freight corridor; c) Implementation of a modern track maintenance system on Java; d) Implementation of e diesel electric locomotive unit exchange maintenance system on Java; e) Strengthening of Perumka’s management (World Bank 1996: 27). Secara keseluruhan, besarnya anggaran Proyek Efisiensi Perkeretaapian ini mencapai US$ 207.3 juta yang ditanggung oleh tiga pihak yaitu Pemerintah Indonesia, PT. Kereta Api, dan Bank Dunia. Bank Dunia berkomitmen akan memberikan utang sebesar US$ 105 juta, meskipun kemudian implementasinya hanya mencapai US$ 85,2 juta dengan alasan proyek tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan alias tidak memuaskan (The World Bank 2005: 5). Agustus 1998 terjadi pembatalan US$ 20 juta dari yang direncanakan oleh Bank Dunia, sehingga pinjaman yang diterima tinggal US$ 85 juta, terdiri atas pinjaman pemerintah US$ 65,2 juta dan pinjaman PT KAI US$ 19,8 juta. Pinjaman pemerintah digunakan untuk pengembangan koridor Jakarta-Bandung, perbaikan dan pemeliharaan track. Pinjaman PT KAI digunakan untuk reformasi kebijakan/restrukturisasi perkeretaapian, pemeliharaan lokomotif, dan penguatan kelembagaan (BAPPENAS 2003). Penjelasan mengenai jalannya proyek pada beberapa laporan yang diulas oleh Bank Dunia (2008), PEP berjalan tidak sesuai dengan target yang diharapkan atau unsatisfactory. Hal yang sama juga diungkap -1-
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
dalam laporan pelaksanaan proyek yang dirilis tahun 2005, di mana PEP dianggap tidak sesuai terutama dengan tujuan pertama proyek ini yaitu reformasi sektor perkeretaapian. Menurut Bank Dunia, sampai hari ini belum ada perubahan secara signifikan dalam struktur perkeretaapian yang memberikan ruang bagi masuknya swasta. Adapun penyebab utama tidak tercapainya tujuan tersebut adalah adanya resistensi internal perkeretaapian terhadap perubahan itu sendiri, terutama masuknya peran swasta dalam tubuh perkeretaapian Indonesia. Selain juga karena kondisi obyektif yang terjadi di tahun 1997 yaitu adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia, sehingga berdampak pada terhambatnya beberapa rencana pengembangan sistem perkeretaapian yang sudah direncanakan dalam PEP. Pertanyaan mendasar adalah benarkah penyebab utama gagalnya PEP ini disebabkan oleh faktor internal perkeretaapian itu sendiri, atau karena kondisi obyektif yang tengah terjadi di Indonesia? Kemungkinan lain rekomendasi yang tertuang dalam proyek itu sendiri tidak sesuai dengan kehendak masyarakat perkeretaapian yang meliputi para pengambil kebijakan (regulator), operator (PT KA), atau kehendak masyarakat sebagai pengguna kereta api? lebih tragis lagi bilamana rekomendasi tersebut lebih mencerminkan kepentingan Bank Dunia sendiri terhadap sistem perkeretaapian di Indonesia. Nyatanya, situasi perkeretaapian di Indonesia hingga kini belum menunjukkan peningkatan kualitas layanan secara berarti. Sebaliknya, yang terjadi justru semakin menurunnya kualitas pelayanan kereta api terutama kereta api ekonomi dan juga masih tingginya angka kecelakaan kereta api. Menurut Bank Dunia, kerugian yang harus ditanggung kereta api sangat memberatkan pemerintah dengan pemberian subsidi yang besar. Juga terjadi inefisiensi dalam pengelolaan sistem perkeretaapian akibat sistem ketenagakerjaan yang tidak efisien. Itu sebabnya, perlu ada restrukturisasi dalam pengelolaan kereta api di Indonesia. Belum lagi beban anggaran yang sangat besar yang harus ditanggung untuk merawat dan mengembangkan infrastruktur perkeretaapian yang sebagian besar sudah tua. Bahkan hingga kini masih digunakan infrastruktur kereta api yang dibangun di masa Belanda. Alasan inilah yang dipakai Bank Dunia untuk menyatakan bahwa kereta api harus melakukan efisiensi dengan menerapkan prinsip-prinsip bisnis untuk meraih keuntungan, sehingga ke depan kereta api seyogyanya tidak mendapatkan subsidi pemerintah. Berkaitan dengan hal tersebut, Bank Dunia mendorong diterapkannya sistem pembiayaan melalui sistem public service obligation (PSO), infrastructure maintenance and operation (IMO), dan track access charge (TAC) yang diharapkan transparan dan akuntabel. Saran Lembaga Keuangan Multilateral itu, swasta perlu diberi peranan untuk mengurangi monopoli perkeretaapian di Indonesia yang selama ini dipegang oleh PT Kereta Api (PT KA). Saran tersebut dibarengi dengan saran agar diadakan rasionalisasi buruh PT KA yang selama ini strukturnya dianggap terlalu “gemuk”. Termasuk juga pengembangan beberapa koridor dengan tingkat beban, baik penumpang maupun barang, yang lebih menjanjikan seperti pengembangan koridor Jakarta - Bandung.
-2-
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
II.
PERKEMBANGAN PERKERETAAPIAN INDONESIA
“Naik kereta api tut.. tut.. tut.. Siapa hendak turut? Ke Bandung.. Surabaya.. Bolehlah naik dengan percuma.. Ayo kawanku lekas naik.. Kretaku tak berhenti lama” Bait pertama lirik lagu anak-anak yang tidak diketahui pasti penciptanya ini mengungkapkan harapan dan cita-cita anak-anak Indonesia atas transportasi publik di Indonesia. Penggalan lirik ‘bolehlah naik dengan naik percuma’ menunjukkan harapan terhadap penyediaan transportasi yang terjangkau oleh rakyat di mana layanan transportasi bisa disediakan secara ‘percuma’ (gratis). Tentu hal ini hanya bisa diraih jika Negara memiliki paradigma pemenuhan hak rakyat, bukan paradigma penyediaan jasa, apalagi liberalisasi layanan publik. Penggalan lirik ‘ayo kawanku lekas naik... keretaku tak berhenti lama’ menunjukkan cita-cita akan adanya layanan transportasi yang efisien, tepat waktu, sehingga penumpangnya tidak perlu membuang-buang waktu karena keterlambatan armada. Cita-cita rakyat Indonesia puluhan tahun lalu, sebagaimana tersirat dalam lagu anak-anak di atas belum tentu sejalan dengan apa yang diterapkan Indonesia saat ini, tergantung konsepsi pelayanan publik yang dianut oleh Indonesia. Secara umum terdapat dua faham tentang pelayanan publik. Pertama, yang didasarkan pada prinsip negara kesejahteraan (welfare state); Kedua, yang menganggap pelayanan publik merupakan usaha untuk mendapatkan keuntungan. Konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) menempatkan layanan publik sebagai tanggung jawab negara dan digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyatnya. Prinsip ini dianut oleh sebagian besar negara Eropa terutama negara-negara Skandinavia di mana welfare state difahami sebagai berikut: “Political system under which the state (rather than the individual or the private sector) has responsibility for the welfare of its citizens, providing a guaranteed minimum standart of life, and insurance against the interruption or earning through sickness, injury, old age, or unemployment. They take the forms of unemployment and sickness benefits, family allowances, and incomes also include health and education, financed typically through taxation, and the provision of subsidized “social housing”. Subsidized public transport, leisure facilities, and public libraries, with special discounts for the elderly, unemployment, and disabled, are other noncore elements of a welfare state” (Encyclopaedia 2008)
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pelayanan publik bagi negara welfare state adalah tanggung jawab negara, termasuk di dalamnya transportasi publik. Pendanaan pelayanan publik oleh negara disediakan baik melalui asuransi sosial yang diterapkan di Jerman maupun melalui pajak seperti yang dilakukan oleh Inggris. Pilihan para pendiri (founding fathers) Indonesia pada sejarah awal pembebasan dari kolonialisme meletakkan landasan konsep Indonesia sebagai negara kesejahteraan. Pendirian para pendiri bangsa ini bisa dilihat dalam amanat konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada Pasal 33 yang menyatakan bahwa: 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; -3-
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Dalam penjelasan pasal 33 terdapat penegasan bahwa “Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada ditangan orang-seorang.” Sebagai bagian agenda liberalisasi pasar global yang didorong oleh IMF dan Bank Dunia, para legislator melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sampai empat kali, dimulai tahun 1999 setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi. Amandemen keempat UUD 1945 yang ditetapkan tahun 2002, secara eksplisit menghilangkan kewajiban negara dalam pengelolaan sumber daya yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan tidak lagi membatasi aktor-aktor ekonomi mana yang akan terlibat. Pasal 34 ayat 3 amandemen keempat hanya menegaskan bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Berangkat dari amanat konstitusi di atas, negara berkewajiban menyediakan layanan transportasi yang mampu menjawab kebutuhan mobilitas warga. Untuk daerah dengan penduduk yang padat, kereta api merupakan sarana transportasi massal dengan daya angkut yang besar, memiliki tingkat keselamatan yang lebih tinggi dibanding dengan sarana transportasi darat lainnya seperti jalan tol, juga merupakan sarana transportasi yang ramah lingkungan. Dengan demikian, penyediaan dan pengelolaan sarana dan prasarana angkutan kereta api seyogyanya menjadi tanggung jawab negara. Sebagai fasilitas publik yang menjadi kebutuhan sebagian besar rakyat Indonesia dan merupakan badan usaha vital bagi peri kehidupan rakyat, negara bertanggungjawab dalam penyediaan dan pengelolaan kereta api. Sejarah kereta api di Indonesia awalnya dibangun pada masa Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J. Baron Sloet van den Beele tahun 1864, di Desa Kemijen, Semarang. Lahirnya kereta api sekaligus juga menandai awal industrialisasi di Indonesia yang melahirkan kelas buruh perkebunan dan buruh pabrik, beriringan dengan masa awal perkembangan industri modern di Eropa. Ketika mengalami kebangkrutan ekonomi akibat perang Diponegoro (1825 – 1830), Belanda menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) dengan mewajibkan penduduk pribumi menanam tanaman untuk pasar Eropa (tebu, kopi, nila, kapas, tembakau), disertai dengan pendirian pabrik gula. Saat itulah, kereta api dibangun dengan fungsi utama sebagai alat angkut (lori) tebu dan hasil perkebunan lainnya sampai tiga tahun pertama. Tiga tahun setelah mulai beroperasi di Indonesia, kereta api mulai digunakan untuk mengangkut penumpang. Pada masa itu, jaringan rel dibangun dengan cepat, sehingga tahun 1939, panjang rel telah mencapai 6.811 km. Pada tahun yang sama, jaringan kereta api telah melebar ke Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan (PT KAI 2007: 03), sehingga kereta api berkembang menjadi tulang punggung utama dalam sistem transportasi darat untuk mengangkut penumpang dan barang. Ironisnya, walaupun jumlah dan mobilitas penduduk terus meningkat, panjang rel mengalami penyusutan. Sampai tahun 2000, panjang rel kereta api turun sampai 41% dalam rentang waktu 1939 sampai 2000. Ini disebabkan oleh ruas jalan yang tidak dipakai lagi atau rusak. Jumlah sarana kereta api juga menurun, seperti jumlah lokomotif menurun dari 1.314 menjadi 530 unit (berkurang 60%). Tidak semua sarana bisa dioperasikan karena sudah tua, bahkan ada sebagian sudah dioperasikan sejak masa Hindia Belanda. Sementarar itu, jumlah penumpang kereta api naik sebesar 30% dalam kurun 45 tahun. Kenaikan ini terjadi dalam dasawarsa terakhir, setelah terjadi kejenuhan moda angkutan jalan raya (lihat tabel di bawah).
-4-
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
Tabel 1. Perkembangan Aset Perkeretaapian Indonesia Panjang jalan kereta api Jumlah stasiun dan pemberhentian Jumlah lokomotif
1939 6.811 km
Tahun 1955/1956 6.096 km
2000 4.030 km
1.516 buah
571 buah
1.314 buah
530 buah
Jumlah penumpang
146.9 juta
191.9 juta
Jumlah penduduk (Jawa & Madura) Jumlah penumpang kereta api
54.5 juta
114.9 juta
132.5 juta
69.2 juta
Turun 40% dalam 61 tahun Turun 62% dalam 45 tahun Turun 60% dalam 61 tahun Naik 30% dalam 45 tahun Tahun 1955 Kkereta api mengangkut 248%, sementara tahun 2000 hanya mengangkut 60%
Sumber: Lubis 2002: II-22
Perubahan kondisi kereta api tidak hanya terjadi di sarana dan prasarana, melainkan juga dalam struktur manajemen. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 61/1971, struktur pengelolaan perkeretaapian Indonesia diubah menjadi PJKA yang memiliki tujuan penuh bagi pelayanan publik. Status badan hukum ini mengalami perubahan seiring dengan keluarnya PP No. 9/1998 tentang pengalihan bentuk usaha dari PJKA ke PERUMKA. Lahirnya PP ini merupakan hasil rekomendasi Proyek Bantuan Teknis untuk Perkeretaapian yang didanai utang Bank Dunia. Pada saat inilah pengelolaan kereta api didorong untuk meraih keuntungan dengan menerapkan prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas. Dorongan untuk meraih keuntungan kemudian diperteguh dalam PP No. 19/1998 tentang pengalihan bentuk usaha dari PERUM menjadi persero (PT) yang tunduk pada aturan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Sejarah gerakan buruh kereta api juga berjalan seiring dengan perkembangan perkeretaapian di Indonesia, baik perkembangan maupun kemundurannya. Gerakan buruh kereta api di Indonesia memiliki sejarah yang panjang seiring dengan sejarah perkeretaapian. Serikat buruh kereta api merupakan serikat buruh pertama di Indonesia dengan berdirinya Staats Spoor Bond (SS-Bond) yang dibentuk oleh para amtenar dan pegawai perusahaan pemerintah tahun 1905, kemudian diikuti berdirinya Vereniging van Spoor – en Tramweg Personeel (VSTP) yang dibentuk oleh buruh kereta api di Semarang tahun 1908 (Sadali 2002: 24). VSTP inilah yang menjadi kekuatan buruh paling progresif di masanya dan menjadi cikal bakal gerakan yang terorganisasi melawan kolonialisme Belanda dan melahirkan organisasi perlawanan rakyat seperti Sarikat Islam di bawah kepemimpinan Semaoen. Serikat buruh kereta api merupakan serikat buruh yang secara aktif memperjuangkan nasib para anggotanya mulai dari tuntutan jam kerja delapan jam sehari, upah yang layak, tunjangan dan penyelesaian perselisihan perburuhan. Secara konsisten serikat buruh terus memperjuangkan hak-hak sosial ekonomi anggotanya hingga memimpin pemogokan besar-besaran di tahun 1923, seperti yang ditulis Sandra (1961:185): “Sejarah perjuangan buruh Indonesia mempunyai tradisi yang perwira, seperti yang dibuktikan oleh pemogokan buruh gula dalam tahun 1920 di bawah pimpinan Personeel Fabrieks Bond (PFB), pemogokan buruh Pengadaian Bumiputra (PPPB), pemogokan buruh Kereta Api dalam tahun 1923 di bawah pimpinan VSTP, dan selanjutnya dibuktikan oleh peranan penting dari buruh dalam pemberontakan rakyat terhadap penjajahan Belanda tahun 1926, pemberontakan di Kapal Perang “Zeven Provincien” tahun 1933.”
Seiring dengan memudarnya gerakan buruh kereta api akibat kebijakan pemerintah Soeharto yang mengkooptasi gerakan buruh dengan menggiring gerakan buruh dalam satu wadah tunggal, kereta api juga mengalami kemunduran baik secara kualitas pelayanan juga kuantitas jangkauan. Hal ini terjadi -5-
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
karena serikat buruh kereta api tidak hanya memperjuangkan hak-hak para buruh kereta api, melainkan juga menuntut kebijakan pemerintah demi eksistensi perkeretaapian Indonesia. Pada era Soeharto, ada usaha penguasa untuk membentuk wadah tunggal buruh di Indonesia melalui pembentukan Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI) tahun 1969 (Nikmah 2003: 35). Upaya ini dilakukan sebagai pengawasan gerakan buruh di Indonesia. Akibatnya, gerakan buruh - terutama buruh kereta api - mulai melemah, termasuk memperlemah perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak terhadap kereta api melainkan memprioritaskan pengembangan jaringan jalan raya berbasis otomotif.
-6-
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
III.
METODOLOGI PENELITIAN
Tim Peneliti INFID menggunakan pendekatan kualitatif dalam bentuk analisis evaluatif terhadap kebijakan PEP. Studi ini merupakan studi kasus untuk mengkaji konseptualisasi, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan PEP, dengan unit analisis daerah operasi perkeretaapian di Jawa. Pertimbangannya adalah jalur angkutan penumpang dengan arus paling padat dan divisi yang sedang dipersiapkan untuk diswastakan yaitu Divisi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), letak kantor pusat PT KAI di Bandung, dan letak PT INKA sebagai industri strategis kereta api di Madiun. Pengumpulan data dengan menggunakan enam metode yaitu studi kepustakaan, metode grafis, pengamatan, pengamatan terlibat, wawancara mendalam, dan focus group discussion (FGD). Studi kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan data awal sebagai bahan penyusunan materi wawancara dengan informan kunci dan bahan penyusunan materi awal observasi. Temuan awal studi kepustakaan dikonsolidasikan dengan menggunakan metode grafis menjadi web chart penelitian. Wawancara mendalam dilakukan ke informan kunci sebagai pemangku kepentingan perkeretaapian di Indonesia. Wawancara mendalam ini bertujuan mengumpulkan data primer maupun data sekunder. Adapun informan kunci meliputi : 1. Direktorat Perkeretaapian Dirjen Perhubungan Darat Departemen Perhubungan RI sebagai regulator perkeretaapian; 2. PT KA Pusat dan PT KA Divisi Jabodetabek sebagai operator perkeretaapian yang sedang melakukan restrukturisasi dengan menjadikan Divisi Jabodetabek sebagai Divisi Angkutan Perkotaan mulai Juli 2008; 3. Pengurus Serikat Pekerja Kereta Api (SPKA) yang berkantor di Bandung sebagai serikat buruh kereta api yang masih aktif; 4. Pengurus dan anggota Serikat Pekerja Kereta Api Jabodetabek (SPKAJ) sebagai wadah buruh kereta api di Jabodetabek. Sebagian besar anggota SPKAJ adalah buruh outsourcing di PT KA; 5. PT INKA sebagai penyedia jasa sarana perkeretaapian Indonesia; 6. Salah seorang anggota Tim Revitalisasi Perkeretaapian, dibentuk Departemen Perhubungan di tahun 2007 dengan tugas utama menyiapkan peta jalan revitalisasi perkeretaapian di tahun 2010; 7. Pengamat transportasi dari akademisi dan ahli-ahli di bidang transportasi yang tergabung dalam Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) dan Indonesian Railway Watch; 8. Pengguna kereta api yang tergabung dalam komunitas KRL Mania dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang melakukan pemantauan secara langsung dan berkala terhadap kualitas layanan kereta api; 9. LBH Jakarta sebagai kuasa hukum SPKAJ. Selain studi kepustakaan dan wawancara mendalam, Tim Peneliti juga melakukan pengamatan dan juga pengamatan terlibat terhadap faktor-faktor yang terkait dengan subyek yang diteliti. Pengamatan terlibat dilakukan dengan menjadi penumpang kereta di jalur-jalur KRL Jabodetabek, jalur kereta api di Daerah Operasi Bandung, dan jalur kereta api di Daerah Operasi di Jawa (Yogyakarta dan Madiun).
-7-
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
Dari proses yang dilakukan, Tim Peneliti menggali beberapa asumsi sebagai berikut : Asumsi Bank Dunia 1. Swastanisasi pengelolaan kereta api akan meningkatkan kualitas layanan, dibanding jika tetap menjadi layanan publik, karena itu subsidi harus dicabut. 2. Skema pembiayaan dengan penerapan prinsip bisnis akan meningkatkan kualitas layanan kereta api; 3. Proyek PEP mengambil fokus pengembangan koridor Jakarta – Bandung karena tingginya arus penumpang dan barang yang tidak terlayani secara baik oleh moda transportasi lainnya. 4. Pemisahan Sistem Jabodetabek (commuter) dengan Sistem Antar Kota Antar Propinsi (Java Inter City System) akan meningkatkan efisiensi perkeretaapian di Jawa. Asumsi tim peneliti INFID 1. Perkeretaapian Indonesia dijadikan ladang korupsi dan bagi-bagi jabatan bagi orang-orang di sekitar kekuasaan, akibat tingginya intervensi politik dalam perkeretaapian di Indonesia; 2. Pengembangan sistem perkeretaapian Indonesia tidak didasari oleh rencana induk (master plan) yang memadai; 3. Implikasi utang luar negeri terhadap pengembangan sistem kereta api mendorong diterapkannya prinsip-prinsip bisnis seperti rasionalisasi buruh kereta api; 4. Pelaksanaan PEP bertujuan 1) melariskan produk-produk kereta api dari negara-negara kreditor utama Bank Dunia, seperti gerbong kereta dari Jepang dan Jerman, persinyalan dari Belanda, dan jembatan dari Austria; 2) mendorong dimanfaatkannya skema utang Jepang (JBIC) untuk membangun jalur ganda (double track) Cikampek – Cirebon, Kroya – Yogyakarta, double-double track (DDT) Manggarai – Cikarang, dan Depo KRL Depok. Asumsi-asumsi tersebut merupakan kodifikasi, dalam pengertian pedagogi Paulo Freire, kemudian didekodifikasi melalui FGD yang diselenggarakan di Jakarta, 14 Mei 2008. Hadir dalam FGD tersebut stakeholder yang berkepentingan langsung dalam perkeretaapian. FGD menghasilkan rumusan-rumusan mendasar yang kemudian ditindaklanjuti dengan wawancara mendalam lanjutan dan juga obsevasi lanjutan sebagai verifikasi di lapangan.
-8-
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
IV.
TEMUAN PENELITIAN
Dibantu beberapa asumsi tersebut sebagai pedoman wawancara, maka Tim Peneliti INFID menemukan beberapa temuan, yang telah disusun mulai dari hal-hal yang paling empiris (paling mudah diobservasi) sampai pada hal-hal yang lebih bersifat konseptual. 1. Resistensi Pemangku Kepentingan Struktur manajemen perkeretaapian Indonesia telah mengalami perubahan. Kalau sebelumnya manajemen kereta api berbentuk PJKA yang lebih menekankan pelayanan publik, kemudian menjadi PERUMKA tahun 1990. Setelah itu, menjadi perseroan (PT) tahun 1998. Perubahan ini merupakan hasil rekomendasi utang Bank Dunia dalam bentuk Proyek Bantuan Teknis perkeretaapian dan PEP yang dengan jelas mendorong prinsip-prinsip pengusahaan kereta api dari public services menjadi public utility dan tunduk pada aturan dagang dengan tujuan utama meraih keuntungan. Struktur manajemen ini diperkuat dengan perubahan UU Tentang Perkeretaapian dari No. 13/1996 menjadi UU No. 23/2007 yang secara eksplisit memberi ruang bagi masuknya swasta dalam perkeretaapian. Pandangan ini bisa dilihat pada UU tentang Perkeretaapian No 23/2007 Pasal 23 yang berbunyi: Ayat 1) Penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum sebagai dimaksud dalam pasal 18 dilakukan oleh Badan Usaha sebagai penyelenggara, baik secara sendiri-sendiri maupun melalui kerja sama. lAyat 2) Dalam hal tidak ada Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan prasarana perkeretaapian. Pasal 33 dengan jelas memberi ruang bagi pelibatan swasta dalam pengelolaan prasarana perkeretaapian. Demikian halnya dengan pengelolaan sarana perkeretaapian yang tertuang dalam pasal 31. Swastanisasi kereta api mendapat resistensi dari pemangku kepentingan. Ronny Wahyudi, Direktur Utama PT KA, mengatakan sistem perkeretaapian di negara manapun memang membutuhkan perhatian langsung dari pemerintah, bahkan campur tangan dalam bentuk subsidi. Pasalnya ada kepentingan pemerataan ekonomi di dalamnya (Investor Mei 2008: 94 - 95). Demikian juga Puspawarman sebagai Ketua Umum Serikat Pekerja Kereta Api (SPKA) menekankan, swastanisasi tidak boleh terjadi terhadap aset yang sekarang dikelola oleh PT KA. Restaria Hutabarat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyatakan, konsep swastanisasi dalam pengelolaan kereta api perlu dikritisi lebih dalam, mengingat fungsi utama kereta api sesungguhnya adalah pelayanan publik. Karena itu, tidak realistis jika PT. KA dibebani tanggung jawab meraih keuntungan. Kedua konsep tersebut jelas saling bertentangan, mengingat pelayanan publik adalah tanggung jawab negara, bukan swasta. Pendapat senada juga disampaikan pengamat perkeretaapian Taufik Hidayat dari Indonesian Railway Watch kepada Tim Peneliti INFID, bahwa pelibatan swasta dalam perkeretaapian bukanlah jawaban, karena masalah sesungguhnya adalah kebijakan pemerintah yang belum memberikan prioritas pada pengembangan moda transportasi kereta api. Pemerintah Indonesia harus belajar dari pengalaman swastanisasi sektor air di Indonesia di mana Bank Dunia juga turut andil dalam mendorong masuknya peran swasta dalam pengelolaan air di Indonesia tahun 1996 melalui dana utang yang diberikan (Hadi dkk 2007: 128). Alasan yang dikemukakan pada waktu itu adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Jakarta yang selama ini mengelola air minum tidak menerapkan prinsip-prinsip bisnis yang menguntungkan, sehingga pengelolaan air selalu merugi. Hasil swastanisasi PDAM malah menunjukkan kualitas air tetap keruh dan berbau tidak sedap, sementara tarifnya menjadi lebih mahal, dan Pemerintah kehilangan kontrol atas pengelolaan air bersih. Proses swastanisasi sektor-sektor strategis di Indonesia juga sering kali bahkan hampir selalu melibatkan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Proses swastanisasi PDAM di Jakarta tersebut melibatkan Sigit Harjojudanto, anak Soeharto sebagai calo bagi Thames Water, sehingga maskapai Inggris itu mendapatkan kontrak 25 tahun dengan PDAM Jaya (Aditjondro 2007: 328). -9-
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
Para pemangku kepentingan menekankan swastanisasi perkeretaapian tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Pengguna juga menghawatirkan jika perkeretaapian Indonesia diswastakan, maka tarif kereta api akan naik sebagai kompensasi dari target keuntungan yang diharapkan. Hal ini akan membuat fungsi pelayanan publik terabaikan. Contoh fenomena ini terjadi di Divisi Jabodetabek yang telah meluncurkan kereta api kelas ekonomi AC dengan tarif flat Rp 6.000. Tarif ini dinilai sangat mahal mengingat pada saat yang sama tarif kereta api ekonomi biasa Rp 2.500 (Jakarta Kota – Bogor). Menurut rencana, pada 2010, seluruh kereta api kelas ekonomi akan dihapuskan dan diganti dengan kereta api ekonomi AC (wawancara dengan Akhmad Sujadi, Ka Humas Daop Jabodetabek). Kebijakan ini tentu akan memberatkan penumpang kereta api yang sebagian besar adalah masyarakat ekonomi menengah ke bawah. 2. Menurunnya Kualitas Layanan Penerapan prinsip bisnis melalui mekanisme pembiayaan public service obligation (PSO), infrastructure maintenance and operation (IMO), dan track access charge (TAC) yang direkomendasikan Bank Dunia dalam PEP, ternyata tidak terbukti mampu meningkatkan kualitas layanan KA. Nilai PSO yang diberikan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Tahun 2005, PSO yang dicairkan sebesar Rp 270 miliar, meningkat di tahun 2006 menjadi Rp 350 miliar, dan 2007 menjadi Rp 425 miliar, tetapi kualitas layanan kereta api - terutama kelas ekonomi - semakin buruk. Tidak hanya headway yang tidak pasti, kondisi keamanan yang rawan, dan tingkat keselamatan yang terus menurun. Angka kecelakaan kereta api terus meningkat, di mana pada tahun 2007 terjadi kecelakaan sebanyak 116 kali, meningkat dari tahun 2006 sebanyak 107 kali. Lebih dari 90% kecelakaan yang terjadi di tahun 2007 terjadi akibat kereta anjlok atau terguling (Direktorat Perkeretaapian 2008). Sebanyak 90% kecelakaan kereta api terjadi karena kereta anjlok dan terguling. Data tersebut jelas menunjukkan adanya masalah dalam teknologi kereta api. Berdasarkan penelusuran Tim Peneliti INFID saat melakukan pengamatan di Depo KRL Depok, ditemukan beragamnya komponen kereta api mulai dari rel, bantalan rel, gerbong kereta api, loko, hingga persinyalan. Menurut pengakuan petugas perawatan, komponen yang ada di Depo ini didatangkan lebih dari delapan negara; misalnya rel dari Jepang, gerbong kereta ada juga dari Jepang dan dari Jerman, mesin bubut dari Perancis, dan loko dari Amerika. Menurutnya, beragamnya komponen kereta yang ada menyebabkan kesulitan dalam perawatan, karena tidak semua spesifikasi komponen yang ada sesuai dengan kebutuhan dan kondisi jaringan rel di Indonesia. Ketidaksanggupan PT KA dalam menentukan komponen yang sesuai dan seragam agar lebih memudahkan perawatan teknologi kereta api disebabkan karena pengadaan prasarana dan sarana menjadi kewenangan Departemen Perhubungan. Meskipun dalam UU No. 23/2007 disebutkan, pengadaan dan pengelolaan sarana merupakan tanggung jawab operator, dalam hal ini adalah PT KA, namun pada prakteknya pengadaan sarana lebih banyak dilakukan oleh pemerintah. Menurut pengakuan pemerintah, kondisi ini tidak bisa dihindarkan karena sebagian besar pembiayaan untuk pemenuhan sarana dan prasarana kereta api berasal dari utang luar negeri dan penggunaan komponen kereta api berasal dari negara pemberi utang. Contoh pengalaman ini adalah yang dilakukan oleh Departemen Perhubungan di tahun 2004 dengan mengimpor 40 gerbong kereta rel listrik (KRL) dari Jerman. Impor ini dilakukan sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh Pemerintah RI untuk mendapatkan utang dari Jerman, guna membiayai pembangunan infrastruktur dan perbaikan fasilitas transportasi perkeretaapian di Jabodetabek (Kompas, 30 Oktober 2003a). Bank Dunia turut andil dalam mendorong beragamnya komponen teknologi kereta api. PEP mendorong rencana investasi tidak hanya pembangunan rel ganda Jakarta – Bandung, melainkan juga pembangunan rel ganda untuk Cikampek – Kroya, Kroya – Yogyakarta, dan double double track Manggarai – Cikarang yang didanai oleh JBIC (Jepang) dengan menggunakan komponen dari Jepang. - 10 -
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
Selain itu, fasilitas persinyalan untuk koridor Jakarta – Bandung didatangkan dari Belanda, dan pada saat yang sama Bank Dunia terlibat dalam pengadaan bantalan rel yang berasal dari India. Terbukti sebanyak 10.680 bantalan rel yang didatangkan Departemen Perhubungan tahun 1999 dengan nilai US$ 466.400 juta, terbuang percuma dan tidak bisa digunakan karena tidak sesuai dengan rangkaian rel yang sudah ada. Keterlibatan Bank dunia dalam proyek pengadaan bantal rel dari India terjadi melalui Task Force Team Leader yang dibentuk Bank Dunia sebagai bagian PEP melalui pemberian persetujuan tender (Indomedia, 4 Maret 2003). 3. Pemiskinan Buruh dan Pelemahan Organisasi Buruh Implikasi PEP dengan mendorong rasionalisasi buruh kereta api telah menimbulkan dampak kemiskinan bagi sebagian besar buruh kereta api. Tuntutan pengurangan buruh kereta api secara jelas dimintakan oleh Bank Dunia dalam rangka efisiensi kereta api. Dalam wawancara dengan Tim Peneliti INFID, Ahmad Sujadi selaku Kepala Humas Divisi Jabodetabek menyatakan Bank Dunia meminta adanya pengurangan buruh kereta api sekitar 10.000 orang. Kalau sekarang buruh kereta api berjumlah 27.000 orang, menurut Bank Dunia idealnya jumlah buruh kereta api berjumlah 17.000 orang. Kebijakan ini jelas memiskinan buruh kereta api karena ancaman kehilangan pekerjaan dan kehilangan pendapatan. Meskipun tidak melakukan pemecatan secara langsung, namun PT KA menerapkan sistem kerja outsourcing terutama untuk bidang pekerjaan ketertiban, keamanan, pelayanan portir, dan loket di stasiun maupun di atas kereta api. Praktek outsourcing telah dilaksanakan terutama di Divisi Jabodetabek sejak tahun 2007 dengan menggandeng rekanan dari tiga perusahaan yaitu PT. Laksana Bintang Jakarta, PT. Bawata, dan PT. Kencana Lima. Sampai saat ini, jumlah tenaga kerja yang telah di-outsourcing dari tiga perusahaan tersebut sebanyak 550 personel, terdiri dari personel PT. Laksana Bintang Jakarta sebanyak 150 orang, PT. Bawata 100 orang, dan dari PT. Kencana Lima 300 orang. Menurut para buruh kereta api dalam wawancara mendalam dengan Tim Peneliti INFID, rencananya sebanyak 223 orang buruh kereta api dan 181 pekerja harian lepas yang selama ini bernaung di bawah Koperasi Wahana Usaha Jabotabek (Kowasjab) akan dialihkan ke manajemen PT Kencana Lima dengan status kerja outsourcing. Namun para buruh menolak, karena sudah bekerja selama puluhan tahun. “Kami sebenarnya ditawari gaji lebih tinggi sebesar Rp 1.050.000 dari sebelumnya Rp 871.000 dan dijanjikan perbaikan penampilan dengan menggunakan seragam. Namun kami menolak karena nasib kami ke depan belum jelas dengan status kontrak ini,” kata Pupuh Saifulloh, Ketua SPKAJ. Akibat penolakan terhadap praktek oursourcing ini, sebagian buruh belum dipekerjakan kembali, sisi lain ada keluarga yang harus mereka hidupi. Praktek kerja outsourcing ini juga ditengarai sebagai upaya memperlemah organisasi buruh kereta api mengingat sistem kerja outsourcing menyebabkan kontrak kerja yang ada tidak lagi antara buruh dengan PT KA melainkan dengan perusahaan lain yang menjadi rekanan PT KA. Sehingga ketika terjadi perselisihan hubungan industrial, para buruh tidak bisa menuntut secara langsung ke PT KA melainkan ke PT yang sudah mengontrak mereka. Pelemahan organisasi buruh kereta ini terjadi mengingat dalam sejarahnya, organisasi buruh kereta api adalah gerakan buruh yang paling maju yang mendorong lahirnya gerakan perlawanan di masa kolonialisme Belanda. Kekuatan buruh kereta api dalam mengorganisasi dirinya juga sangat dikhawatirkan oleh penguasa seperti rencana mogok kerja yang dilakukan oleh SPKA dalam menuntut uang pensiun. 4. Lemahnya Keberfihakan Negara Gencarnya pembangunan infrastruktur jalan tol yang dilakukan oleh Pemerintah dengan dukungan Bank Dunia, menjadikan arus transportasi darat lebih menggantungkan pada jaringan jalan raya yang berbasis pada industri otomotif. Terbukti dari besarnya dukungan Bank Dunia melalui utang yang - 11 -
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
dikucurkan untuk pembangunan jalan tol. Sampai tahun 1996 saat PEP diluncurkan, utang Bank Dunia untuk pengembangan jalan darat mencapai 15 proyek (World Bank 1996: 5). Industri otomotif mulai gencar didorong sekitar tahun 1980-an termasuk juga di Indonesia. Pemerintah gencar membangun infrastruktur jalan raya yang memberi ruang bagi otomotif untuk terus berkembang dibanding mengembangkan industri strategis jalan raya berbasis rel. Pengoperasian Tol Cipularang pada Mei 2005 yang menghubungkan Jakarta dengan Bandung jelas menimbulkan dampak bagi penurunan jumlah penumpang kereta api koridor Jakarta-Bandung. Padahal PEP dirancang untuk pengembangan Jalur Jakarta-Bandung dengan pembangunan rel ganda yang bertujuan mengurangi waktu tempuh, sehingga jumlah penumpang semakin meningkat. Pilihan koridor Jakarta-Bandung sendiri diambil karena arus penumpang Jakarta-Bandung yang sangat tinggi. Namun dengan pembangunan Jalan Tol Cipularang, jumlah penumpang angkutan kereta api menurun tajam mencapai lebih dari 70%. Hal ini menimbulkan dampak penurunan tarif kereta api rata-rata 30% untuk semua kelas baik kelas bisnis maupun kelas eksekutif (Hidayat: 2008). Kebijakan pembangunan Tol Cipularang menjadikan target pengembangan koridor Jakarta-Bandung tidak berhasil. Dana yang sudah dikucurkan untuk proyek pembanguna rel ganda koridor Jakarta – Bandung sebesar USD 98,4 juta, terbuang sia-sia. Kebijakan negara yang lebih mengembangkan jaringan jalan raya dibanding jalan rel, jelas menunjukkan lemahnya keberfihakan negara terhadap pengembangan kereta api. Belum lagi rencana induk (master plan) perkeretaapian yang tidak memadai. Industri kereta api sudah ada di Indonesia sejak tahun 1864, namun Pemerintah baru merumuskan rencana induk perkeretaapian tahun 2005. Pemerintah juga baru membentuk Direktorat Perkeretaapian tahun 2005 yang sebelumnya berada di Direktorat Perhubungan Darat Divisi Jaringan Jalan Rel. Lemahnya keberfihan negara terhadap pengembangan sarana transportasi publik, juga bisa dilihat dari tidak adanya integrasi antar moda transportasi. Pilihan pemerintah membangun tol Cipularang, menunjukkan pemerintah tidak memiliki rencana transportasi yang komprehensif. Satu sisi mendorong pengembangan kereta api, sisi lain mengembangankan jalan tol. Parahnya lagi, antara pengembangan infrastruktur satu dengan lainnya, tidak ada kesatuan antar moda. Contohnya Jakarta, Pemerintah Daerah sedang giat mendorong angkutan umum melalui pengoperasian busway yang bertujuan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi, sisi lain pemerintah daerah malah membangun jalan tol dalam kota yang dengan sendirinya mengundang pemakaian kendaraan pribadi. Sehingga yang terjadi, busway hanya menjadi pemanis di tengah semrawutnya jalan yang dipenuhi kendaraan pribadi. Lemahnya keberfihakan negara pada transportasi publik inilah yang menjadikan kereta api di Indonesia semakin menurun kualitasnya. 5. Akumulasi Utang Luar Negeri Posisi utang luar negeri Indonesia sampai tahun 2007 mencapai US$ 62.25 miliar, dimana 30,6%-nya (US$ 19.05 miliar) berasal dari utang multilateral termasuk dari Bank Dunia (Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang 2008). PEP sekalipun dinilai gagal - bahkan oleh Bank Dunia sendiri - sebagai proyek yang kinerjanya tidak memuaskan, tetap saja PEP menambah menjadi beban utang Indonesia. Selain itu, PEP juga mendorong Indonesia terjebak dalam akumulasi utang luar negeri. PEP merekomendasikan pemisahan pengelolaan (spin off) daerah operasi Jabodetabek dari sistem kereta api antar kota yang menghubungkan Jakarta dengan kota-kota lainnya di Jawa, menjadi divisi khusus angkutan penumpang yaitu Divisi Jabodetabek yang pengelolaannya terlepas dari PT KA. Konsekuensi pemisahan pengelolaan tersebut, tidak hanya merubah manajemen pengelolaan divisi Jabodetabek melainkan juga merekomendasikan pembangunan double double track (DDT) Manggarai - Bekasi Cikarang untuk optimalisasi penumpang. Rekomendasi tersebut direspon pemerintah dengan utang ke pemerintah Jepang melalui Japan Bank for International Corporation (JBIC) sebesar Rp 281 miliar (41 miliar - 12 -
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
Yen). Kontribusi PEP terhadap akumulasi utang luar negeri juga terjadi melalui skema pengembangan infrastruktur kereta api seperti pembangunan rel ganda Cirebon – Kroya dengan dana utang dari pemerintah China mencapai USD 194.88 juta dan pembangunan rel ganda Kutoarjo – Yogyakarta dengan dana utang dari pemerintah Jepang sebesar Rp 822 miliar (Departemen Perhubungan 2007). Akumulasi utang luar negeri tidak berhenti sampai disitu. Pemerintah juga mengandalkan utang luar negeri untuk pembiayaan infrastruktur kereta api lainnya. Seperti pengembangan kereta api bawah tanah (subway) atau angkutan massal cepat (mass rapid transit/MRT) di DKI Jakarta. Pemerintah Propinsi telah menandatangani perjanjian utang sejak 27 November 2006 dengan JBIC untuk engineering service. Total dana yang dibutuhkan US$ 800 juta (Bisnis Indonesia, 3 Maret 2008). Dengan sendirinya, komitmen dan pencairan utang PEP meningkatkan akumulasi utang luar negeri Indonesia yang semakin akut. Ironis, karena hasil temuan penelitian menunjukkan banyak implikasi negatif yang timbul dari pelaksanaan proyek. Utang yang mencakup persyaratan penggunaan sarana perkeretaapian dari Negara-negara kreditor utama Bank Dunia oleh PT KA diakui berimplikasi negatif oleh para pemangku kepentingan perkeretaapian Indonesia. Selain itu, implementasi negatif terhadap pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak serta demokratisasi dunia perburuhan Indonesia. Utang untuk moda transportasi kereta api juga tidak diimbangi dengan perbaikan kinerja operasional yang signifikan. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh terus meningkatnya angka kecelakaan kereta api (Kompas, 18 Oktober 2003b). 6. Kurangnya Transfer Teknologi PEP mensyaratkan penggunaan sarana dan prasarana perkeretaapian dari negara-negara kreditor utama Bank Dunia. Syarat ini meliputi penggunaan gerbong dari Jepang dan Jerman, sistem persinyalan dari Belanda, dan jembatan dari Australia. Persyaratan ini dengan sendirinya menutup peluang bagi pengembangan kekuatan pelaku industri teknologi perkeretaapian dalam negeri, sekaligus tidak memberikan transfer tekhnologi. Sisi lain, Indonesia sebenarnya memiliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di lingkup industri strategis yang sebenarnya sudah memiliki kapasitas untuk menyediakan sarana-prasarana perkeretaapian. PT INKA berdiri tahun 1981, memiliki kompetensi dan kapasitas untuk menyediakan produk sarana perekeretaapian. Keunggulan produk PT INKA pun sudah mendapatkan pengakuan internasional dengan diekspornya produk PT INKA ke Malaysia, Muangthai, Australia, dan Bangladesh. Skema PEP menghilangkan kesempatan Indonesia, terutama PT INKA dan Badan Usaha Milik Negara dalam Industri Strategis (BUMNIS) lain, untuk mengembangkan kekuatan teknologi perkeretaapian. Sebagian besar komponen kereta api berasal dari luar negeri. Mulai dari mesin loko, rel, alat persinyalan, sampai gerbong kereta. Indonesia tidak hanya bergantung dengan teknologi negara lain, tetapi juga menjadi negara tempat pembuangan barang bekas. Tahun 2006, Departemen Perhubungan mendatangkan 40 set atau 160 gerbong KRL bekas dari Jepang. Setelah tahun sebelumnya, PT KA juga mengimpor 16 unit KRL bekas dari negara yang sama (Kompas, 14 Maret & 12 Januari 2006). Baik Departemen Perhubungan maupun PT KA menyatakan mendatangkan kereta bekas dari Jepang, karena harganya lebih murah dibandingkan dengan produksi PT INKA. Menurut Akhmad Sujadi, Kepala Humas Divisi Jabodetabek, harga rata-rata KRL bekas produksi Jepang antara Rp 800 juta sampai Rp 1 miliar per gerbong, sementara harga yang baru Rp 10 miliar per gerbong. Harga yang ditawarkan PT INKA, sekitar Rp 11,523 miliar per gerbong. Jika dibandingkan dengan harga gerbong baru dari Jepang, belum termasuk biaya ongkos kirim, produksi PT INKA masih kompetitif. Rata-rata umur kereta yang diimpor 30 tahun, padahal penyusutan kereta di Jepang sendiri sampai 13 tahun. Pada usia tersebut, nilai bukunya sudah mendekati nol. Meskipun secara teknis umur kereta sampai 30 tahun, namun harus di-scrap untuk menjaga mutu dan biaya scrap di Jepang sangat mahal (Investor Daily, 10 Maret 2008). Malah, Indonesia memilih barang bekas. - 13 -
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
Pengalaman menggunakan barang bekas, bukan hal baru bagi Indonesia. Tahun 1996 saat B.J. Habibie menjabat Menristek, melalui skema utang luar negeri dengan Pemerintah Jerman, pemerintah Indonesia mendatangkan 39 kapal perang bekas. Terdiri atas 16 jenis Parchim, 14 Frosch, dan 9 Condor seharga US$ 442.8 juta, lebih dari US$ 100 juta dari yang disetujui Menteri Keuangan, Mar’ie Muhammad. Selain disain kapal yang tidak sesuai dengan perairan Indonesia, juga tidak memberikan manfaat bagi Indonesia karena tinggal 14 kapal yang bisa digunakan, itupun hanya untuk kapal patroli. Padahal untuk perawatannya, pemerintah harus berutang lagi ke Pemerintah Jerman (Aditjondro 2007: 5 – 6). 7. Pelemahan Kedaulatan Ekonomi Dalam kacamata ilmu ekonomi, setiap investasi di sektor riil memiliki efek ganda (multiplier effect). Melalui penyediaan sarana perkeretaapian oleh PT. INKA, efek ganda kegiatan produksi memiliki sumbangan besar bagi perekonomian nasional. Pilihan memproduksi sarana perkeretaapian di dalam negeri, dapat menyediakan lapangan kerja yang besar dan menggerakkan perekonomian secara riil. Ini terjadi karena penyediaan komponen sarana perkeretaapian, mulai dari komponen-komponen teknis sampai komponen interior kereta yang tidak seluruhnya bisa ditangani oleh PT. INKA, bisa disubkontrakkan kepada koperasi dan usaha kecil-menengah di Indonesia. Dengan sendirinya, pilihan untuk tidak memakai produk sarana perkeretaapian dalam negeri menghilangkan peluang efek ganda bagi pengembangan perekonomian nasional. Bukti adanya kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan nasional, bisa dilihat dalam porsi nilai proyek yang ditangani PT INKA dan kontraktor nasional dalam proyek prasarana dan pengadaan sarana perkeretaapian melalui utang luar negeri. Pengembangan Divisi Jabodetabek, rehabilitasi angkutan batubara Sumatera Selatan, Jalur Citayam – Nambo, dan pengadaan sarana kereta api senilai US$ 525 juta, porsi kerja PT INKA dan kontraktor nasional sangat kecil. Belum lagi jika ditilik minimnya dukungan pemerintah bagi PT. INKA untuk bersaing di ranah internasional, relatif kecil dibanding dengan perlakuan pemerintah negara lain terhadap masing-masing pelaku industri nasional. Industri lokal hanya dijadikan pendamping perusahaan asing dalam proyek rehabilitasi, modernisasi, serta pembangunan sarana dan prasarana perkeretaapian nasional. Kebijakan tersebut tentunya bisa mematikan industri lokal (Kompas, 18 Oktober 2003b). Pengalaman implikasi pilihan-pilihan yang tidak bijak ini, terbukti ditahun 2004-2005, di mana PT. INKA mengalami krisis karena adanya kebijakan yang tidak berpihak pada industri nasional. Saat itu PT. INKA nyaris bangkrut. Hanya reposisi bisnis dengan mengembangkan divisi produk non-kereta api yang menyelamatkan PT INKA dari jurang kebangkrutan. Pengembangan produk non-kereta api berupa medical mobile train, rail bus, mini train, dump truck, micro car, early warning system, container office, articulated bus, dan modular container office mampu mengembalikan kepercayaan investor kepada PT. INKA. Keterlibatan PT. INKA dalam pameran produk nasional pada Agustus 2006 menjadi salah satu tonggak pemulihan PT. INKA. Jika mau jujur, semua pengadaan sarana perkeretaapian Indonesia diserahkan kepada PT. INKA. Di samping untuk pengembangan kekuatan teknologi nasional, ada hal lain yang harus diraih berupa efek ganda berupa pengembangan perekonomian nasional bidang perkeretaapian. Meski manfaat dan keuntungan yang diperoleh dari penggunaan produk dalam negeri telah terbukti meningkatkan kinerja perkeretaapian nasional, namun alasan penggunaan tekhnologi dari negara lain karena mendesaknya penyediaan sarana perkeretaapian sebagai bagian transportasi massal, dan dihadapkan dengan keterbatasan dana Pemerintah, membuat PT. INKA juga ‘memaklumi’ dan tidak bisa memaksa semua penyediaan sarana perkeretaapian Indonesia diserahkan kepada PT INKA.
- 14 -
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
Bisa diprediksi kerugian ekonomi nasional yang akan timbul jika PT INKA harus dilikuidasi. Bisa diestimasi juga, kerugian ekonomi dan teknologi nasional jangka panjang jika pilihan-pilihan kebijakan yang berpihak pada kepentingan nasional harus tunduk pada intervensi modal semata. Pelemahan kedaulatan ekonomi Indonesia diperkuat dari pemakaian gerbong bekas dari Jepang. Padahal kapasitas PT INKA cukup untuk mendukung penyediaan sarana perkeretaapian. Sebagai pembanding, Pemerintah India mampu menyelamatkan Indian Railway yang nyaris bangkrut tahun 2001 akibat buruknya kualitas layanan dan keselamatan. Upaya penyelamatan dilakukan dengan (a) pemisahan peran kelembagaan (pengambil kebijakan, regulasi, dan manajemen), (b) penuntasan diferensiasi antara tangung jawab sosial dan kinerja imperatif, serta (c) penciptaan tim kepemimpinan yang committed dan kapabel. Dan yang patut dicatat, upaya penyelamatan Indian Railway oleh Pemerintah India dilakukan tanpa campur tangan Bank Dunia (Hidayat, 2007). Jika India bisa melakukan, mengapa Indonesia tidak?
- 15 -
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
V.
KESIMPULAN
Dari keseluruhan proses dan temuan penelitian, bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. PEP tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan (tidak memuaskan) disebabkan oleh rekomendasi PEP tidak sesuai dengan kebutuhan para pemangku kepentingan sektor perkeretaapian di Indonesia. Reformasi kebijakan yang merubah pengelolaan perkeretaapian Indonesia dari public service menjadi public utility dengan menekankan keuntungan, jelas mendapat resistensi dari masyarakat. Resistensi didasari amanat konstitusi Bangsa Indonesia sebagai wujud penerapan negara yang bertujuan mensejahterakan warganya, menempatkan kereta api sebagai cabang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dan seharusnya dikuasai oleh negara. Tidak seharusnya pengelolaan perkeretaapian diserahkan dan dikelola swasta. 2. Lemahnya keberfihakan negara menyebabkan tidak ada kekuatan pengimbang terhadap agenda Bank Dunia terhadap pengembangan sektor transportasi yang lebih bias ke otomotif, seperti pembangunan tol Cipularang. Dorongan Bank Dunia terhadap pengembangan jaringan jalan raya yang berbasis otomotif justru menyebabkan PT.KA dalam kondisi yang semakin lemah dan terkalahkan oleh ekspansi industri otomotif. Lemahnya keberfihakan juga terjadi terhadap buruh kereta api. PEP tidak memperbaiki kinerja buruh kereta api, melainkan memiskinkan dan memperlemah organisasi buruh kereta api dengan rasionalisasi. Penerapan prinsip-prinsip bisnis seperti PSO, IMO, dan TAC ternyata juga tidak serta merta mendorong perbaikan layanan kereta api. 3. PEP mendorong Indonesia semakin terjebak dalam akumulasi utang luar negeri. Akumulasi utang luar negeri terjadi karena PEP sendiri menambah besaran akumulasi utang luar negeri Indonesia. Selain juga, PEP merekomendasikan utang-utang lain untuk pengelolaan perkeretaapian Indonesia. Yang menjadi catatan penting, pembengkakan utang di sektor perkeretaapian, menjadikan Indonesia terus bergantung pada teknologi dari negara lain. 4. PEP menghilangkan peluang diperolehnya efek ganda bagi perekonomian Indonesia, karena PEP meniadakan peluang pelaku industri dalam negeri (PT INKA) menjadi tulang punggung pengadaan sarana perkeretaapian Indonesia. Industri lokal hanya dijadikan pendamping perusahaan asing dalam proyek rehabilitasi, modernisasi, serta pembangunan sarana dan prasarana perkeretaapian nasional tanpa bisa menggunakan kompetensi dan kapasitasnya secara optimal. Kebijakan yang tidak berpihak ini juga menyulitkan pelaku industri nasional berkompetisi di ranah internasional.
- 16 -
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
VI.
REKOMENDASI
1. Sesuai dengan amanat UUD 1945, kereta api adalah cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dan harus dikuasai oleh negara. Berdasarkan ketentuan ini, pemerintah harus membatalkan rencana swastanisasi perkeretaapian dan mengembalikan kereta api sebagai layanan publik yang merupakan hak rakyat. 2. Pemerintah harus mewujudkan komitmen dalam pengembangan perkeretaapian di Indonesia melalui kebijakan transportasi yang komprehensif dan berkelanjutan. Pengambangan jaringan jalan raya hendaknya bertumpu pada jaringan jalan rel. Karena itu, kebijakan transportasi harus disertai dengan realisasi sarana dan prasarana yang memadai bagi pengembangan sistem perkeretaapian Indonesia. 3. Pemerintah harus mewujudkan kebijakan yang mendorong sinergi industri strategis nasional untuk mendukung pengembangan kekuatan teknologi dan perekonomian nasional dan melepaskan ketergantungan terhadap produk impor. 4. Pembelian komponen-komponen bekas dari negara-negara kreditor utama Bank Dunia harus dihentikan, dan pemerintah harus menolak pembayaran utang yang selama ini mengerdilkan kemampuan PT INKA.
- 17 -
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
BIBLIOGRAFI Aditjondro, George Junus (2006), Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga – Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa. Yogyakarta: LKiS. -------------- (2007), Sailing Over Troubled Waters: A Case Study of Odious Debt, Involving a German Company and Its Indonesian Cronies. Jakarta: INFID. Lubis, Harun Al Rasyid (2002). Studi Mobilisasi Sumber Daya dalam Pengembangan Perkeretaapian Indonesia. Bandung: PT KAI. Bank Dunia (2008), Laporan Indonesia Country Assistance Strategy Tahun Anggaran 2004-2007. Jakarta: Kantor Perwakilan Bank Dunia. BAPPENAS (2003),Urgensi Perkeretaapian. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Maret. Bisnis Indonesia (2008), ‘Pembangunan subway di Jakarta kian mundur’, 3 Maret. Center for European Reform (2007), The Future of Public Service in Europe. Diakses dari: http://www.unison.org.uk/acrobat/B1846.pdf. Departemen Perhubungan (2007), Informasi Transportasi. Jakarta: Departemen Perhubungan. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (2008), Posisi Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Berdasarkan Sumber Pinjaman. Jakarta: Departemen Keuangan. Diakses dari http://www.dmo.or.id/content.php?section=46 Direktorat Perbendaharaan (2006), Jerman Siapkan Tukar Utang dengan KRL. Jakarta: Departemen Keuangan. Diakses dari: http://www.perbendaharaan.go.id/modul/terkini/index.php?id=385 Direktorat Perkeretaapian (2008), Kinerja Perkeretaapian 2003 – 2007. Jakarta: Direktorat Perkeretaapian Departemen Perhubungan. Hadi, Syamsul, Dewi Sinorita Sitepu, Dichiya Soraya, Devi Kusumaningtyas, Herjuno Ndaru dan Mutiara Arumsari [Tim Penulis CIReS] (2007), Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia. .Jakarta: Marjin Kiri. Hidayat, Taufik (2007), ‘Tragedi perkeretaapian Kita.’ 27 September. ---------- (2008), ‘KA Bandung – Jakarta Pasca Penurunan Tarif.’ Pikiran Rakyat Online, 31 Mei. Tiscali.reference (2008), Encyclopaedia, diakses dari: http://www.tiscali.co.uk/reference/encyclopaedia/hutchinson/m0028820.html Indomedia (2003), ‘Bantalan Rel KA Asal India Dinilai Mubazir’. 4 Maret. Diakses dari http://www.indomedia.com/sripo/2003/03/04/0403bis2.htm Investor, (2008), ‘Buah Simalakama Revitalisasi Kereta Api.’ Mei, hal. 94 - 95. Investor Daily (2008), ‘KA Bandara Akan Gunakan Gerbong Bekas Jepang’. 10 Maret. Kompas (2003a), ‘Dephub Impor 40 Gerbong KRL Jerman’. 30 Oktober. - 18 -
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
--------- (2003b), ‘Utang Luar Negeri KA Membengkak, Kinerja Memprihatinkan’. 18 Oktober. Nikmah, Siti Khoirun (2003): Serikat Pekerja dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Malang. Ombudsman (Mei 2008), ‘Outsourcing Kok Puluhan Tahun’. Mei, hal. 76 - 77. PT. INKA (2007), Business Overview. Madiun: PT INKA. PT. KAI (2007), Profil Perusahaan. Bandung: PT KAI. Sandra (1961), Sedjarah Pergerakan Buruh Sebuah Kajian Sedjarah. Djakarta: PT Pustaka Rakjat. Sadli (2002), Sejarah Gerakan Buruh Indonesia. Pustaka Pena. World Bank (1996), Staff Appraisal Report – Railway Efficiency Project. Document No 15646-IND. Washington, DC: World Bank. --------------- (2005), Implementation Completion Report. Document No 31719. Washington, DC: World Bank.
--- 000 ---
- 19 -
PROYEK EFISIENSI PERKERETAAPIAN
Address: Jalan Mampang Prapatan XI No.23 – Jakarta 12790 – Indonesia Phone (6221) 79196721, 79196722, Fax (6221) 7941577 Email:
[email protected],www.infid.org
- 20 -