Yakkum Working Paper Series Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum) Jakarta Liaison Office - March 2011 E-mail:
[email protected]
Memperbaiki “Technical Faulty” dalam Penurunan AKI dan AKB Advocacy Paper Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (YAKKUM) © Sigit Wijayanta, Paulus Santosa, Bayu Selaaji dan Syamsul Ardiansah Hari ini 30 wakil daerah-daerah yang AKI ( Angka Kematian Ibu / Maternal Mortality rate ) dan AKB (Angka Kematian Bayi/Infant Mortality Rate) terlapor tinggi dari NTT,NTB, Papua, Maluku, Jawa dan beberapa daerah lain yang terlapor rendah dari DIY, Jateng, Aceh, dan Bengkulu, bersama 70 anggota masyarakat kampung dan wakil penggiat MDGs lintas iman berkumpul di Sanggar Ciliwung Merdeka menyampaikan testimoni keadaan yang sesungguhnya kondisi ibu dan anak di wilayah masing-masing, sebagai refleksi peringatan hari ibu 2010. Dari kesaksian mereka dan analysis data sekunder AKB dan AKI, team melihat adanya kesalahan teknis dalam penanganan problem AKB dan AKI yang perlu segera diperbaiki sebagai berikut: 1. Target MDG dan disparitas nasional Membicarakan MMR/IMR dalam lingkup atau scope nasional, biasanya akan terjebak dalam "kesalahan pandang" terhadap masalah kesehatan ibu dan bayi yang sebenarnya ada di lapangan, dan kesalahan inilah yang menyebabkan DEPKES maupun lembaga multilateral seperti WHO, UNICEF, World Bank serta donor donor Bilateral menyusun strategy program yang tidak tepat dan masalah MMR serta IMR tidak terselesaikan hingga sekarang walaupun dana sudah dikucurkan dalam jumlah yang sangat besar. Target MMR dan IMR MDG untuk Indonesia ditentukan dalam konteks nasional, artinya kita hanya mempunyai satu target penurunan MMR dan IMR untuk seluruh negara. Padahal Indonesia secara geografis dan demografis sangat unique, sangat berbeda dengan banyak negara didunia dalam konteks adanya disparitas yang sangat tinggi dalam lingkup yang luas dan mencakup jumlah penduduk yg cukup banyak (mungkin hanya ada segelintir negara didunia yg situasinya mirip dengan Indonesia). Secara geografis, sebetulnya Indonesia dapat dibagi dalam beberapa kawasan (setidaknya ada 8 kawasan geografis/demografis: Sumatra, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku dan Papua). Masalah MMR dan IMR yang paling parah ada di kawasan Indonesia Timur,
khususnya NTB, NTT, Maluku dan Papua; dimana secara demografis penduduknya hanya sekitar 20% dari nasional, hingga dalam perhitungan statistik nasional akan terkaburkan oleh situasi dari wilayah Indonesia yang lain yang berpenduduk lebih besar. Dengan demikian, maka perbaikan angka MMR dan IMR secara nasional sebetulnya tidak bisa dianggap sebagai pencerminan keberhasilan MCH yang sebenarnya dilapangan. Pada saat ini, Jawa Barat merupakan satu wilayah di Jawa dan Indonesia Barat dengan penduduk yg sangat besar; yang mempunyai MMR dan IMR yang tinggi. Dengan mengkonsentrasikan perbaikan MCH di Jawa Barat, maka kemungkinan besar target MDG akan tercapai walaupun seandainya situasi MCH di 4 wilayah Indonesia Timur tidak ada perbaikan atau bahkan bertambah jelek. Kita harus ingat bahwa jiwa MDG adalah Alma Ata dan pesan inti dari Alma Ata adalah penghapusan disparitas keadaan sehat yang ada disetiap wilayah dan negara. Kalau MDG berpegang pada target tunggal nasional, maka khusus untuk Indonesia hal ini merupakan penyangkalan pada semangat Alma Ata, sehingga upaya pelaporan pencapaian MDG di Indonesia sebetulntya merupakan pelanggaran terhadap hakikat keadilan dalam bidang kesehatan. 2. National strategy and national program Pada saat ini upaya penurunan MMR dan IMR masih dilakukan melalui pendekatan sentralisasi dengan dibuatnya satu strategy dan program MCH nasioanl oleh Depkes. Hal inilah yang sebenarnya merupakan alasan utama dari kegagalan pemecahan masalah MMR dan IMR diwilayah yang beresiko tinggi, yaitu wilayah Indonesia Timur. Kebijakan Bidan Desa, Polindes, Desa Siaga yang sama diseluruh wilayah Nusantara. Upaya desentralisasi dan pengembangan kapasitas daerah untuk merencanakan program dan memecahkan masalah setempat macet, khususnya untuk sektor kesehatan, karena DEPKES justru menghambat melalui program program Nasional yang beranggaran tinggi. Pendekatan program secara nasional ini juga menghambat adanya kerja sama lintas sektoral yang sangat dibutuhkan untuk pemecahan masalah seperti kematian ibu dan bayi. Sebagai ilustrasi, kebijakan bidan desa atau polindes: satu bidan/polindes - satu desa, sama sekali mengabaikan keadaan desa yang sangat berbeda yang ada di Jawa dengan di NTT atau Papua, baik secara geographis maupun demographis. Demikian pula strategi maupun program komunikasi yang dibuat secara nasional, peluncuran slogan slogan yg dibuat di Jakarta, yang tidak sensitif terhadap situasi yang sangat beragam didaerah, baik secara teknis maupun kultural. Upaya pemaparan keberhasilan program nasional dalam pencapaian target MDG melalui pendekatan nasional akan memberikan legitimasi pada upaya atau program yang sebetulnya justru merupakan penghancuran dan penyangkalan pemberdayaan kemampuan lokal untuk memecahkan masalah mereka sendiri. Upaya pemaparan keberhasilan nasional ini sudah dilakukan melalui laporan pencapaian target target MDG. Bila keberhasilan ini memang benar (target MMR dan IMR sudah tercapai), maka seharusnya sudah terjadi perbaikan yang besar
diwilayah seperti NTB, NTT, Maluku dan Papua. Perbaikan yang terjadi seharusnya ditunjukkan oleh adanya perbaikan kwalitas hidup yang komprehensive pada masyarakat marginal diwilayah yang tertinggal, bukan sekedar adanya proyek Desa Siaga atau Polindes disitu. Kita semua tahu bahwa peningkatan kwalitas hidup ini sama sekali belum terjadi disana pada saat ini. 3. MMR adalah indikator yang tidak praktis dan applicable di Indonesia Timur MMR merupakan indikator statistik yang sebetulnya tidak tepat secara progrmatik dan pula tidak applicable untuk pengukuran derajat kesehatan ibu, secara kontekstual untuk wilayah Indonesia Timur, seperti di NTT, Maluku atau Papua. MMR adalah statistik kesehatan masyarakat yang hanya bisa dipakai diwilayah dengan penduduk tinggi. MMR menghitung kematian ibu melahirkan dibanding dengan 100 ribu pesalinan dalam setahun. MMR hanya bisa dipakai di Kabupaten dengan penduduk minimal sekitar 4 juta jiwa. Hampir semua kabupaten di NTT, Maluku, Papua dan bahkan sebagian besar kabupaten di Sulawesi dan Kalimatan berpenduduk sedikit sehingga secara teknis penghitungan MMR tidak bisa dilakukan. Dalam era desentralisasi, unit administrasi untuk perencanaan dan management pelayanan kesehatan dilapangan adalah "Kabupaten", bukan propinsi. Oleh karena itu perencanaan program dan pelaporan hasil pembangunan kesehatan ibu, khususnya MMR secara teknis tidak bisa dilakukan di banyak Kabupaten di Indonesia. Hal ini sudah diketahui oleh pihak otoritas kesehatan yang kemudian menganjurkan dipakainya indikator proxy, yaitu jumlah pesalinan ibu oleh bidan (sebagai indikator proxy untuk MMR). Walaupun demikian, di tingkat nasional pelaporan pencapaian target MDG masih berkiblat pada MMR dan pengukurannya dilakukan secara nasional (BPS/SDKI) tanpa menampilkan adanya disparitas keadaan kesehatan ibu di yang sangat besar yang ada diberbagai wilayah. Hal ini sebetulnya menyebabkan terjadinya situasi yg "chaotic" dalam hal pelaporan kesehatan ibu oleh propinsi maupun kabupaten. Secara nasional DEPKES telah melaporkan adanya keberhasilan nasional dalam upaya penuruan MMR (Th 2002 AKI 307/100.000KH menjadi 248/100.000 KH di th 2007). Pelaporan penurunan AKI nasional ini tentu saja diikuti oleh pelaporan penurunan AKI oleh tingkat propinsi diseluruh wilayah di Indonesia, termasuk Indonesia Timur. Bahkan hampir semua Kabupaten juga ikut melaporkan penurunan AKI, walaupun secara teknis sudah jelas pelaporan ini sama sekali tidak benar. Walaupun salah, hal ini tidak mendapatkan perhatian serius dari tingkat nasional Untuk wilayah seperti NTT, Maluku dan Papua, maka terjadilah kontroversi pelaporan sbb; misalnya Dinkes propinsi NTT melaporkan terjadinya penurunan MMR yang drastis: bahwa AKI NTT th 2006 adalah 554/100,000 kemudian turun menjadi 307/100,000 di th 2007 (hanya dalam kurun waktu 1 th). Pelaporan ini sama sekali tidak matching dengan situasi pesalinan dengan bidan karena dilaporkan lebih dari 20% ibu masih bersalin dengan dukun (2007). Kalau ditelaah lebih dalam, maka pelaporan dalam tingkat propinsi diwilayah seperti NTT, Maluku dan Papua sebetulnya sangat diragukan keabsahannya karena kelemahan teknis dari methode pengumpulan datanya. Selain itu yang memprihatinkan pula adalah terjadinya pengkaburan
adanya disparitas yang tinggi yang ada diantara kabupaten didalam satu propinsi. Misalnya di NTT, dipulau Flores saja, disparitas pesalinan dengan bidan diantara kabupaten sangat tinggi. Misalnya, di Kabupaten Sika pesalinan dengan bidan sangat tinggi mencapai lebih dari 90%, sedangkan pesalinan dengan bidan di kabupaten Manggarai hanya sebesar 36% (2006). Disparitas yang tinggi diantara kabupaten di propinsi seperti NTT ini memperkuat disparitas ditingkat nasional yang mempertanyakan keabsahan dari statement tentang keberhasilan penurunan AKI di Indonesia dengan memamerkan hasil survey AKI secara nasioanal. Apa artinya pelaporan pencapaian target MDG untuk penurunan AKI nasional 102/100.000KH, bila di Manggarai hanya 40% ibu bersalin dengan pertolongan bidan dan sebagian dari dukun bayi masih memotong talipusat dengan sembilu. Dengan sistem informasi kesehatan yg ada seperti sekarang, maka situasi setempat seperti yg ada di NTB, NTT, Maluku, Papua dan bahkan dipelosok di Sulawesi dan Kalimantan atau Mentawai, dimana ibu ibu meninggal dalam pesalinan dengan dukun, tidak akan mendapat perhatian oleh pembuat kebijakan ditingkat nasional. Ironisnya, semua pelaporan DEPKES, Lembaga PBB atau Donor, melaporkan keberhasilan nasional dalam upaya penurunan AKI dan hal ini justru diperkuat oleh pelaporan dari Kabupaten dan Propinsi yg tertinggal dengan menampilkan angka angka yang sebetulnya diragukan keabsahannya. Yang ada justru memberikan legitimasi pada proyek proyek nasional yang sebetulnya justru menghalangi dan bahkan merusak pemberdayaan masyarakat dan otoritas lokal dalam pembangunan kesehatan ibu dan anak. 4. Disparitas dalam konteks indikator proxy "Pesalinan dengan Bidan" Survey di DKI dan beberapa Propinsi seperti DIY, Bali, Jatim menunjukkan korelasi yang baik antara kecilnya AKI dan pesalinan dengan bidan. Kesulitan teknis dalam pengukuran AKI di daerah dengan jumlah penduduk rendah menyebabkan pemakaian indikator proxy pesalinan dengan bidan. Jumlah kunjungan ANC, pesalinan dengan bidan serta kunjungan Paska Pesalinan telah menjadi indikator kesehatan ibu yg utama di Indonesia. Kabupaten Sika di Flores merupakan kabupaten dengan angka pesalinan dengan bidan yang tertinggi di NTT: lebih dari 92% pesalinan dilakukan oleh bidan. Angka ini hampir sama dengan DIY. Sampai saat ini pengertian seperti inilah yang ada dalam program kesehatan ibu nasional. Satu hal yang sangat penting yang belum sempat didiskusikan secara nasional, adalah adanya celah(gap) atau ketimpangan kwalitatip yang sangat besar yang mempertanyakan keabsahan dari pemikiran deduktif seperti ini. Ketimpangan yang dimaksudkan adalah ketimpangan kwalitas pelayanan yang ada yang sangat besar diantara DIY dan Flores. Disini tidak mempertanyakan kwalitas teknis keterampilan bidan (karena dikatakan bahwa bidan telah mendapat pendidikan yg sama dan pelatihan Asuhan Pesalinan Dasar dll), tetapi mempertanyakan kwalitas dari sarana yang tersedia di Polindes, serta sistem rujukan yang ada dan prasarana pendukung seperti jarak Polindes ke Puskesmas dan Rumah Sakit terdekat, keberadaan transportasi publik dan jalan penghubung, bank darah dan obat obatan dasar.
Catatan: Kader Maluku, Papua, NTB dan NTT, menyampaikan kekawatiran mereka bahwa bila situasi gawat darurat pesalinan betul betul terjadi, maka tindakan membawa ibu ke bidan atau Polindes justru akan membunuh ibu karena keterbatasan atau keadaan Polindes yang ada didaerah ini (banyak Polindes yang tak terurus). Survey yang menunjukkan bahwa pesalinan oleh bidan yg tinggi di Sika dilakukan secara retrospektif, yaitu wawancara dengan ibu yg mempunyai anak dibawah 2 tahun. Kelemahan dari methode ini adalah tidak bisa menangkap ibu yang meninggal dalam pesalinan. Selain itu pesalinan oleh bidan di NTT sebagian besar yang dilakukan dirumah, sedang pesalinan dengan bidan di DIY lebih banyak dilakukan di fasilitas kesehatan. Selain dari kwalitas sarana dan prasarana, maka faktor kesehatan umum ibu, pendidikan ibu, budaya setempat dan masalah ketimpangan gender sangat mempengaruhi keamanan atau keselamatan pesalinan. Pengaruh penyakit endemik seperti malnutrisi, anemia dan malaria yang berbeda di NTT dan DIY juga pasti mempengaruhi keselamatan ibu dan bayi nya merupakan celah yang harus diperhitungkan bila kita membicarakan pesalinan. Pada pokoknya, besarnya angka pesalinan dengan bidan yg ada di NTT dan DIY, tidak menjamin bahwa AKI akan sama. Kemungkinan adanya disparitas yang ada antara DIY dan NTT karena faktor faktor diatas sebagai variable AKI yang mempertanyakan keabsahan pesalinan bidan sebagai indikator proxy untuk AKI belum pernah diteliti. 5. IMR/AKB dan Angka kematian Balita Pada saat ini konsentrasi dari upaya peningkatan kesehatan anak difokuskan pada fase neonatal, yaitu bayi baru lahir hingga usia 1 tahun. Upaya pengurangan kematian anak pada kurun usia 0-1 tahun ini memang bisa effektif dilakukan bersamaan dengan program pelayanan kesehatan maternal melalui pesalinan yg aman dan pelayanan paska pesalinan (post natal care). Dari statistik kita belajar adanya perbaikan dalam penurunan IMR atau Angka Kematian Bayi di NTB dan bukan AKI (Angka Kematian Ibu). Walau ada penurunan Angka Kematian Bayi, tetapi kalau Angka Kematian Balita sangat tinggi, maka sia sia saja upaya penurunan kematian bayi (diabawah 1 tahun). Jadi fokus pada kematian bayi tidak benar selama kematian Balita tinggi. Dari situasi di NTB kita bisa belajar bahwa upaya pencegahan kematian anak hingga usia lima tahun, lebih tergantung pada upaya peningkatan kwalitas hidup keluarga dari pada melalui upaya sektor kesehatan. Dari hasil survey yg dilakukan oleh Dinkes dan AusAID di th 2004 dan 2006, nampak adanya korelasi antara kematian anak dengan tingginya (mungkin yg tertinggi di Indonesia) migrasi dari kepala keluarga di NTB (meninggalkan keluarga/daerah dan bekerja sebagai buruh migrant). Survey atau penelitian yg lebih mendalam sangat diperlukan untuk penyusunan strategi pencegahan atau penurunan angka kematian Balita. Dengan adanya sentralisasi strategi dan program untuk penurunan AKI yang terfokus pada AKB, maka masalah kematian Balita yg sangat tinggi (tertinggi secara nasional) yang disebabkan oleh faktor sosial lokal tidak akan pernah berhasil.
Mendengarkan kesaksian para kader, kita dapat belajar bahwa : 1. Hampir semua wilayah yang dilaporkan problem unik faktor pendukung peningkatan AKI dan AKB yang berbeda satu sama lain baik dari aspek availability, aksesebility, affordability, acceptability dan quality 2. Setiap wilayah perlu penanganan unik dengan penekanan yang berbeda baik dari segi teknis medis maupun rekayasa sosial untuk pengentasan akar masalah. 3. Dari aspek teknis medis ada banyak “technical foulty” sebagaimana dibahas dalam advocacy paper di atas, yang perlu diselesaikan segera 4. Khusus untuk wilayah Indonesia bagian timur yang mempunyai AKB dan AKI tinggi, selain problem kemiskinan yang harus dipecahkan, juga problem akses terhadap pelayanan kesehatan ibu dan anak khususnya ketersediaan fasilitas rujukan. Untuk itu pemerintah perlu membuka peran CSO baik nasional maupun internasional untuk mengisi kesenjangan tersebut. 5. Setiap daerah mempunyai kapasitas yang unik dalam penurunan AKI dan AKB, namun demikian pendekatan sentralistis dan seragam secara nasional mematikan kapasitas lokal tersebut, untuk itu strategi penanganan perlu lebih didesentralisasi 6. Hampir semua wilayah pasca bencana melaporkan kerentanan kesehatan Ibu dan Anak, untuk itu diperlukan perhatian khusus penanganan kesehatan ibu dan anak di wilayah bencana. 7. Aktor yang paling penting namun selama ini diabaikan adalah para ibu itu sendiri. Para Ibu banyak diexploitasi dalam peran sebagai pelaksana sehingga menambah beban ibu. Derajat peran serta para Ibu perlu ditransformasi ke pengambil keputusan dan mengotrol sumber daya untuk seluruh program AKB dan AKI
Jakarta, 20 Desember 2010