Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
1
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
2
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
Salam Redaksi Pembaca yang budiman, Sebagaimana kita ketahui bahwa rencana kerja dan anggaran yang disusun oleh menteri/pimpinan lembaga disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Hal ini diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Artinya dalam penyusunan RAPBN dan RKA-K/L, Pemerintah wajib menerapkan anggaran berbasis kinerja. Pengalokasian anggaran dengan pendekatan fungsi (money follow function), sebagai salah satu prinsip anggaran berbasis kinerja merupakan pendekatan yang strategis dalam menjaga efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan anggaran yakni anggaran hanya dialokasikan kepada kementerian/lembaga atau satuan kerja yang tugas fungsinya relevan dengan target kinerja yang akan dicapai secara nasional. Dalam beberapa kesempatan, Presiden menyampaikan pemikirannya mengenai anggaran yakni anggaran mesti menggunakan konsep money follow program. Lantas, bagaimanakah sebenarnya penerapan konsep ini dalam penganggaran di Indonesia? Pembahasan ini akan dikupas dalam Warta Anggaran edisi 30 ini. Pada edisi ini akan dibahas mengenai bagaimana sebenarnya konsep anggaran berbasis kinerja itu. Dan bagaimana pula hubungannya dengan konsep money follow program ataupun money follow function. Dalam rubrik suplemen akan disajikan pembahasan berkaitan dengan anggaran berbasis kinerja dalam kinerja DJA serta target-target pembangunan dalam APBN. Informasi yang tak kalah menarik adalah mengenal ekonomi syariah dalam rubrik khazanah. Rubrik komunitas kali ini akan membahas mengenai kegiatan bermusik di DJA dalam komunitas yang menyebut kelompoknya DJAKustik. Dalam rubrik Catatan Perjalanan, akan disajikan perjalanan untuk menyaksikan sisi keindahan negeri ini. Bagi pecinta sinema, resensi film juga disajikan sebagaimana edisiedisi sebelumnya untuk menjadi acuan pemilihan film yang ditonton. Selamat membaca.
Diterbitkan oleh : Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan Redaktur : Haritedjo Soekirno, Walidi, Jati Wibowo, Ari Untung Subardianta, Muslikhudin, Hendra Kurniawan K.H, Wahyu Indrawan, Asrukhil Imro, Dede Solihin, Aries Setiadi, Melissa Candra Puspitasari, Ade Permadi, Agus Slamet Riyadi, Sri Moedji Sampurnanto, Nurokhim Penyunting/editor : Achmad Zunaidi, Cahya Setiawan, Shinta Putri Permata Dewi, Hafiz Yossi Aprilian Desain Grafis/Photografer : Fr. Edy Santoso, Kandha Aditya Sandjoyo, Agus Priyono Sekretariat : Faisal Khabibi, Reza Ibnu Prakoso, Yudanto D. Nugroho Alamat Redaksi : Gedung Sutikno Slamet Jl. Wahidin Raya No. 1, Jakarta 10710 Telepon (021)3866117 pst. 8009 email :
[email protected] Redaksi menerima kontribusi tulisan dan artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi.
3
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
Daftar Isi 38 Menuju Sistem Perlin-
dungan Purna Tugas PNS Yang Baru
41 Konsep Evaluasi Kinerja
Penganggaran Kementerian/Lembaga
43 SIMPONI Quick Response
46 Khazanah : Cara Sederhana Mengenal Riba
Laporan Utama 7
9
Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja Melalui Money Follow Program
Money Follow Function dan Money Follow Program
13 Lonceng Kematian Anggaran Berbasis Kinerja
15 Optimalisasi Peran DJA
Dalam Kerangka Let The Manager Manages
19 Wawancara : Made Arya
Wijaya Konsepsi Dan Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja
4
Suplemen 23 Reviu ADIK Ditjen Pem-
belajaran dan Kemahasiswaan, Kemenristekdikti
27 Gotong Royong Pemerin-
tah Dan Swasta Dalam Pembangunan Infrastruktur
29 Baku Cakap Penelaahan Online
32 Survei Transparansi Anggaran Indonesia
35 Transparansi Anggaran Dan Partisipasi Publik Dalam Penganggaran
48 Renungan : Seberapa Pantas
49 Komunitas : DJAKustik 52 Catatan Perjalanan : “Prau” Di Atas Awan
54 Resensi Film : Now You See Me 2
L I N TA S P E R I S T I WA
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
Sosialisasi Pokok-Pokok Kebijakan Anggaran, 12 Februari 2016
Direktorat Jenderal Anggaran melaksanakan Sosialisasi Pokok-pokok Kebijakan Anggaran kepada Kementerian Negara/Lembaga (K/L) dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), pada hari Jum’at (12/2), bertempat di Auditorium Gedung Dhanapala. Seluruh pihak yang terlibat dalam proses penganggaran di berbagai Kementerian dan Lembaga perlu memiliki kesamaan persepsi sehingga proses penganggaran ke depan dapat berjalan lebih baik dari kondisi sebelumnya.
Sosialisasi Nasional : Penyelenggaraan JKK dan JKM Bagi Pegawai ASN, 25 Februari 2016
Untuk meningkatkan pemahaman mengenai program JKK dan JKM bagi pegawaiASN, pada hari Kamis (25/2) diselenggarakan Sosialisasi Nasional Penyelenggaraan Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi Pegawai ASN. Sosialisasi yang diselenggarakan di Ballroom Dhanapala ini disampaikan kepada sekretariat daerah seluruh provinsi dan sekretariat jenderal seluruh Kementerian Negara/Lembaga.
5
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
Forum Group Discussion : Sistem Jaminan Pensiun dan Hari Tua Aparatur Sipil negara, 8 Maret 2016
Untuk menyempurnakan RPP terkait jaminan pensiun dan jaminan hari tua, Kementerian Keuangan bekerja sama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta PT Taspen (Persero) melaksanakan Forum Grup Discussion : Sistem Jaminan Pensiun dan Hari Tua Aparatur Sipil Negara
Pengukuhan Eselon III dan Eselon IV di Lingkungan DJA
Pada hari Kamis (24/3), dilaksanakan pengukuhan terhadap para pejabat Eselon III dan Eselon IV di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran (DJA). Pengukuhan ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 118/KM.1/UP.11/2016.
Rapat Kerja DJA Tahun 2016
DJA menyelenggarakan Rapat Kerja pada Selasa (5/4). Acara yang diselenggarakan di Ballroom Dhanapala ini mengangkat tema ‘Peningkatan Profesionalisme dan Kualitas Pelayanan DJA Melalui Perbaikan Berkelanjutan dan Semangat Kebersamaan’.
Review Proyeksi PNBP TA 2016, Penyusunan Rencana PNBP TA 2017 Dan Pemberian Apresiasi Pengguna Simponi Direktorat Jenderal Anggaran pada Rabu (6/4), mengundang wakil Kementerian/ Lembaga dalam acara pembukaan (kick off) review proyeksi PNBP TA 2016 dan penyusunan rencana PNBP pada RAPBN TA 2017 dan MTBF TA 2018 – 2020 dan pemberian apresiasi/penghargaan penggunaan SIMPONI TA 2015 kepada Kementerian/Lembaga.
6
L I N TA S P E R I S T I WA
L A P O R A N U TA M A
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
PENERAPAN ANGGARAN BERBASIS KINERJA
MELALUI MONEY FOLLOW PROGRAM
Teks : Achmad Zunaidi
Rumusan program dan kegiatan beserta hasil yang akan dicapai harus jelas, terutama dari sudut pandang rakyat yang akan menerima hasil-hasil pembangunan. Tidak boleh ada kata-kata bersayap. Demikian juga dari sisi kelembagaannya, kelembagaan harus mengikuti apa yang menjadi tujuan/prioritas yang akan dicapai. 7
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
B
aru kali ini pucuk pimpinan pemerintahan Indonesia secara jelas dan tegas membahas konsep penerapan anggaran (berbasis kinerja). Inti pemikiran Presiden Jokowi tentang anggaran tersebut disampaikan pada saat membuka pertemuan kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, 10 Februari 2016 lalu. “Tidak lagi money follow function, jadi yang betul mestinya money follow program, ya program kita apa, kita fokus ke situ”. Apa yang disampaikan Presiden Jokowi merupakan arahan sebagai pimpinan pemerintahan dalam hal penerapan penganggaran berbasis kinerja. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa anggaran berbasis kinerja sebagai pendekatan penganggaran akan mengubah fokus pengukuran pencapaian program dan kegiatan yang semula didasarkan atas besarnya jumlah alokasi sumber daya bergeser kepada hasil yang dicapai dari penggunaan sumber daya tersebut. Apa yang ada dalam undang-undang tersebut sejalan dengan maksud Presiden, “Anggaran kedepan harusnya tidak dibagi-bagi mengikuti organisasi, karena selama ini cara tersebut membuat anggaran kita hilang tidak berbekas. Ke depan, kita punya prioritas dan punya fokus sehingga kalau ada direktur di satu K/L tidak masuk program prioritas maka tidak perlu dianggarkan”. Inilah gambaran akhir yang akan dicapai dari penerapan money follow program. Presiden sepertinya telah memperhatikan bahwa selama ini program-program dan kegiatan yang dilakukan kementerian negara/lembaga tidak fokus pada hasil. Hal ini ditandai dengan nama program dan kegiatan serta hasil yang diharapkan kurang jelas keterkaitannya, kurang jelas dari sisi hasil yang akan dicapai. Padahal, maksud UU Nomor 17 tersebut adalah agar penghitungan alokasi anggaran yang semula dilakukan secara incremental (tambah-kurang) dari alokasi anggaran periode sebelumnya (dikenal dengan anggaran tradisional atau line item budget) diubah menjadi anggaran berbasis kinerja. Kinerjanya terlebih dahulu yang dibahas dan didiskusikan untuk ditetapkan, menyu-
8
L A P O R A N U TA M A
sul kemudian diskusi mengenai besaran anggarannya. Bukan lagi anggaran dibagi dan dikelompokkan menurut organisasi semata. Dengan bahasa orang awam, rumusan program dan kegiatan beserta hasil yang akan dicapai harus jelas, terutama dari sudut pandang rakyat yang akan menerima hasil-hasil pembangunan. Tidak boleh ada kata-kata bersayap. Demikian juga dari sisi kelembagaanya, kelembagaan harus mengikuti apa yang menjadi tujuan/prioritas yang akan dicapai. Meskipun demikian, istilah money follow program sebagai suatu perintah atau arahan pimpinan memang telah jelas. Namun, sebagai suatu konsep perlu diketahui duduk perkaranya apabila dihadapkan dengan konsep money follow function, yaitu konsep yang dipahami para birokrat perencana penganggaran selama ini. Banyak pertanyaan muncul dengan jargon baru ini: Apakah sebenarnya kedua konsep ini berseberangan; Apakah hanya sudut pandang yang berbeda; Barangkali, permasalahan tersebut hanya persoalan optimalisasi peran dan koordinasi antar unit yang terlibat dalam perencanaan dan penganggaran (baca Money Follow Program dan Money Follow Function). Di samping mengenai penggunaan konsep, masih ada permasalahan lain dalam penerapan penganggaran berbasis keinerja di Indonesia. Pertama, upaya berbagai pihak untuk meng-kavling anggaran sesuai sektor-sektor yang menandakan bahwa perencanaan anggaran tidak diperlukan lagi karena alokasi
anggaran terbagi berdasarkan amanat undang-undang sektoral. Secara tidak langsung juga menyiratkan, rumusan kinerja yang jelas atau mempunyai keterkaitan yang kuat antara program dan kegiatan beserta keluarannya tidak diperlukan lagi. Semua itu memang tidak perlu karena masing-masing sektor dengan jaminan anggaran yang dinyatakan dalam undang-undang, tidak membutuhkan perencanaan yang amat canggih (baca Lonceng Kematian Anggaran Berbasis Kinerja). Kedua, penerapan aspek let the managers manage sebagai langkah selanjutnya dari penerapan anggaran berbasis kinerja perlu dielaborasi dan dioptimalkan. Konsep tersebut memang memberikan kebebasan bagi manajer (pimpinan K/L) untuk berkreasi tetapi dengan tujuan kinerjanya berhasil. Di samping itu, bagi central agency bidang penganggaran seperti Ditjen Anggaran, penerapan let the managers manage harus diartikan sebagai peralihan tugas-pekerjaan yang semula bersifat administratif semata (penyusunan dan penetapan dokumen anggaran) menjadi tugas-pekerjaan bersifat strategis, yaitu review baseline atau mengkaitkan tambahan anggaran dengan isu-isu prioritas pembangunan dalam pertemuan forum trilateral meeting (baca Optimalisasi Peran DJA dalam Kerangka Let The Managers Manage). n
L A P O R A N U TA M A
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
MONEY FOLLOW FUNCTION dan MONEY FOLLOW PROGRAM Teks : Hendra Kurniawan K.H.
Pilihan itu muncul seiring dengan isu yang ramai dibicarakan dalam proses perencanaan dan penganggaran di tahun 2016 ini. Isu yang memunculkan dikotomi antara Money Follow Function dan Money Follow Program sehingga menimbulkan perbedaan persepsi, padahal jika kita membandingkan dengan seksama maka keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsip. Kedua-duanya mengedepankan pemilihan untuk mendanai program/kegiatan prioritas, menekankan pada efisiensi alokasi anggaran, serta transparansi dan akuntabilitas yang ditunjukkan dengan kejelasan sasaran kinerja.
9
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
A
da dua alasan yang dikemukakan mengapa Money Follow Function dianggap tidak tepat yaitu, pertama, dianggap menjadi penyebab terjadinya inefisiensi dalam penganggaran, karena melalui pendekatan ini maka semua fungsi-fungsi pemerintahan harus didanai walaupun tidak semuanya termasuk dalam program-program prioritas, metode yang digunakan adalah tambah/kurang sebesar persentase perubahan pagu berdasarkan data tahun sebelumnya; kedua, melemahkan koordinasi antar sektor-sektor pembangunan, karena banyaknya program/ kegiatan yang jalan sendiri-sendiri (tidak terkoordinasi satu sama lainnya). Sebaliknya di sisi lain justru berpendapat bahwa Money Follow Function sangat tepat untuk dilaksanakan saat ini dengan alasan : pertama, memperkuat koordinasi karena dengan program/kegiatan berada dalam fungsi yang sama maka akan memudahkan koordinasinya; kedua, dengan meletakkan anggaran pada fungsi yang tepat dan hanya unit-unit yang secara profesional mempunyai tugas dan fungsi atas suatu kegiatan yang dapat melaksanakan kegiatan tersebut maka akan dapat mendorong terciptanya efisiensi dalam alokasi (menghindari duplikasi kegiatan/program). Lantas sebenarnya apa dan bagaimana paradigma Money Follow Function dan Money Follow Program?
”Konsep money follow function pada prinsipnya menegaskan bahwa pengalokasian anggaran harus berdasarkan fungsi tiaptiap unit dalam organisasi pemerintah. Secara filosofi, konsep penganggaran yang efektif - efisien dan menjaga kesinambungan fiskal dimulai dari pelaksana program/kegiatan oleh fungsi organisasi yang tepat.” 10
L A P O R A N U TA M A
Konsep Money Follow Function pada prinsipnya menegaskan bahwa pengalokasian anggaran harus berdasarkan fungsi masing-masing unit dalam organisasi pemerintah. Secara filosofi maksud dari konsep ini adalah ingin membangun konsep penganggaran yang efektif, efisien, dan menjaga kesinambungan fiskal melalui upaya peningkatan kualitas belanja (quality spending), yang dimulai dari pelaksanaan program/kegiatan oleh fungsi organisasi yang tepat. Jika anggaran atas suatu kegiatan itu dikelola dan dilaksanakan oleh unit organisasi yang tepat maka : (1) akan menghindari terjadinya duplikasi dalam penganggaran, karena sebuah kegiatan hanya akan dilaksanakan oleh unit yang memang melaksanakan tugas dan fungsi tersebut; (2) mendorong terciptanya efisiensi, karena dapat dihindari terjadinya kegiatan yang overlapping, sebuah kegiatan tidak dapat dialokasikan anggarannya jika tidak sesuai dengan tugas dan fungsi unit organisasi; (3) mendorong pencapaian sasaran secara lebih optimal, karena diselenggarakan oleh unit organisasi yang sesuai maka akan lebih profesional dalam pengelolaannya yang pada akhirnya dapat mengarah pada pencapaian sasaran secara lebih optmal.
alokasi yang tinggi pada program-program yang memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat; (2) program dan kegiatan yang akan didanai lebih tegas dan jelas, sehingga jelas sasaran yang akan dicapai lebih optimal dan teratur; (3) mendorong terciptanya efisiensi melalui koordinasi yang jelas antarprogram dan kegiatan.
”Konsep money follow program menegaskan perlunya pendekatan penganggaran yang berdasarkan pada bobot program/ kegiatan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan oleh pemerintah.”
Dalam konsep Money Follow Function tidak serta merta membagi anggaran pada semua unit/organisasi secara merata, tetapi tetap ada proses penilaian (assessment) terhadap usul sebuah program/kegiatan yang akan diusulkan oleh setiap unit/organisasi. Penilaian tersebut utamanya menyangkut apakah program/ kegiatan yang diusulkan termasuk dalam proses prioritas yang harus didanai atau tidak serta bagaimana kontribusi dan dampaknya terhadap pelaksanaan pembangunan.
Pada konsep Money Follow Program juga menegaskan adanya fase penilaian atas program-program yang akan diajukan. Program-program yang memberi manfaat yang besar pada rakyat akan mendapatkan prioritas utama dalam pengalokasian anggaran, baru berikutnya diikuti pengalokasian anggaran pada program-program dengan bobot dibawahnya (lebih rendah). Sebaliknya jika terjadi efisiensi (penghematan) anggaran maka program-program yang memiliki bobot yang memberikan manfaat lebih rendah kepada rakyat yang harus dihemat (dipotong) terlebih dahulu. Prinsipnya tidak semua fungsi pemerintahan yang didanai, jika memang tidak memberikan manfaat yang lebih besar kepada rakyat, maka tidak perlu didanai.
Sementara pada konsep Money Follow Program sebagaimana disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sofyan Djalil, maupun Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dalam beberapa kesempatan, yang menegaskan perlunya pendekatan penganggaran yang berdasarkan pada bobot program/kegiatan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan oleh pemerintah, dimana program/kegiatan dikatakan memiliki bobot yang tinggi jika memberi manfaat yang besar kepada rakyat. Melalui pendekatan ini diharapkan : (1) adanya skala prioritas
Melihat perbandingan dari kerangka berfikir di atas baik Money Follow Function maupun Money Follow Program sebenarnya tidak memiliki perbedaan dalam kerangka konsepnya, yaitu : (1) keduaduanya tetap mengedepankan proses penilaian atas program/kegiatan yang diusulkan, sehingga alokasi anggaran dapat diarahkan untuk mendanai program/ kegiatan yang benar-benar prioritas yaitu program/kegiatan yang memberi manfaat yang besar kepada masyarakat; (2) kedua-duanya menekankan pada upaya pencapaian efisiensi dalam pengalokasian anggaran dengan menciptakan koordi-
L A P O R A N U TA M A
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
(2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara; pasal 14 ayat (2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai, dan Pasal 15 ayat (1) APBN yang disetujui oleh DPR terrinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Selanjutnya dalam penjelasan umum atas UU No 17 Tahun 2003 dimaksud juga ditegaskan kelemahan pengelompokan anggaran berdasarkan kelompok anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang pernah dilaksanakan sebelum tahun 2005, yang dikatakan memberikan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan dan penyimpangan anggaran.
nasi antarprogram/kegiatan; dan (3) kedua-duanya menekankan akuntabilitas, transparansi dan kejelasan atas sasaran kinerja yang ingin dicapai. Alur proses yang berlaku adalah bahwa setiap unit organisasi harus mengusulkan program/kegiatan terlebih dahulu baru memperoleh pendanaan, itupun harus terlebih dahulu “lolos” dalam penilaian yaitu, harus memenuhi kriteria sebagai program/ kegiatan prioritas. Jadi jangan dibalik. Bukan ada anggaran dulu baru membuat program/kegiatan (Function Follow Money/Program Follow Money). Penggunaan data tahun lalu hanya sebagai bahan dalam penyusunan dan penilaian usul alokasi anggaran, jika sebuah kegiatan pada tahun X merupakan kegiatan prioritas yang telah dialokasikan anggarannya pada tahun X, maka tahun X+1 akan dinilai lagi apakah masih temasuk program/kegiatan prioritas atau tidak. Jika masih masuk sebagai program/kegiatan prioritas yang harus dilanjutkan maka akan disediakan kembali alokasi anggarannya sesuai target kinerja pada tahun yang direncanakan, se-
baliknya jika sudah selesai dan tidak lagi menjadi kegiatan prioritas lagi pada unit tersebut, maka tidak akan dialokasikan lagi anggaran untuk mendanai kegiatan tersebut. Berkenaan dengan hal itu sangat terbuka ruang sebuah unit organisasi tidak mendapatkan alokasi anggaran program/kegiatan (kecuali untuk gaji dan operasional perkantoran) jika memang program/kegiatan yang diusulkan oleh sebuah unit tidak menjadi prioritas (tidak memberi manfaat yang besar untuk rakyat). Bahkan konsep Money Follow Function memiliki kelebihan dengan adanya unit-unit yang secara profesional melakukan pekerjaan itu sehingga menghindari terjadinya duplikasi dan mendorong efisiensi anggaran. Sementara itu dari sisi kerangka hukum istilah Money Follow Function lebih dikenal daripada Money Follow Program, hal itu bisa dilihat dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya pada pasal 11 ayat (5) Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja; Pasal 12 ayat
Dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional juga ditegaskan pada Pasal 15 ayat (1) Pimpinan Kementerian/ Lembaga menyiapkan rancangan Renstra-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan berpedoman kepada rancangan awal RPJM Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1); Pasal 21 ayat (1) Pimpinan Kementerian/Lembaga menyiapkan rancangan Renja-K/L sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan mengacu kepada rancangan awak RKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan berpedoman pada Renstra-K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2). Hal di atas dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 Tentang Penyusunan RKA-K/L Pasal 5 ayat (1) Penyusunan RKA-K/L harus menggunakan pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah, Penganggaran terpadu dan Penganggaran Berbasis Kinerja, dan ayat (2) RKA-K/L disusun secara terstruktur dan dirinci menurut klasifikasi anggaran yang meliputi : Klasifikasi Organisasi, Klasifikasi Fungsi
11
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
dan Klasifikasi Jenis Belanja; Pasal 6 ayat (1) RKA-K/L disusun berdasarkan Renja K/L, RKP, dan Pagu Anggaran K/L. Selanjutnya pada pasal 7,8,9,10,11,12, dan 13 sangat jelas digambarkan proses penyusunan anggaran yang diawali dengan pidato presiden yang menyampaikan arah kebijakan dan prioritas pembangunan nasional untuk tahun yang direncanakan, berdasarkan hasil evaluasi kebijakan berjalan, yang menjadi pedoman awal pe-rencanaan dan penganggaran tahun yang direncanakan. Dijelaskan pula tugas Bappenas untuk mengoordinasikan evaluasi perencanaan program dan kegiatan untuk disinergikan prioritas pembangunan nasional, serta Kementerian Keuangan yang bertugas menyusun kapasitas fiskal menyusun pagu, mengkoordinasikan penelaahan dan menetapkan dokumen pelaksanaan anggaran. Selanjutnya dalam Penjelasan Umum PP Nomor 90 Tahun 2010 ditegaskan Penerapan penganggaran berbasis kinerja paling sedikit mengandung tiga prinsip yang salah satunya adalah Prinsip alokasi anggaran program dan kegiatan didasarkan pada tugas fungsi unit kerja yang dilekatkan pada struktur organisasi (Money Follow Funtion). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja
12
L A P O R A N U TA M A
Pemerintah juga ditegaskan pada Pasal 3 ayat (1) Renja-KL disusun dengan berpedoman pada Renstra-KL dan mengacu pada prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif serta memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat; ayat (2) Program dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disusun dengan berbasis kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan penganggaran terpadu. Selanjutnya dalam Penjelasan Umum PP Nomor 20 tahun 2010 juga menegaskan bahwa sebagai pedoman penyusunan RAPBN, RKP juga disusun dengan mengikuti pendekatan baru dalam penganggaran sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara tersebut. Pendekatan baru tersebut mencakup tiga hal : penerapan kerangka pengeluaran jangka menengah, penerapan penganggaran terpadu, dan penerapan penganggaran berbasis kinerja. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan tidak ada perbedaan prinsip atas kedua paradigma tersebut baik Money Follow Function maupun Money Follow Program, kedua-duanya mengan-
dung prinsip-prinsip yang sama dalam penganggaran. Perbedaan persepsi atau sudut pandang dimungkinkan disebabkan oleh tidak optimalnya peran dari masing-masing pihak yang terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran central agency maupun K/L. Bisa juga permasalahan tersebut disebabkan oleh lemahnya koordinasi sehingga antara setting pendanaan dan program yang didanai masih kurang optimal (kurang pas). Selanjutnya yang dibutuhkan saat ini adalah optimalisasi peran dari masingmasing pihak yang terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran, meningkatkan koordinasi, serta memberikan penjelasan yang lebih detail dan informatif terhadap kebijakan yang dilaksanakan, agar dapat memberikan pengetahuan yang sama pada pihakpihak yang berkepentingan, juga dalam rangka memperoleh kesepahaman yang tidak membingungkan khususnya buat Kementerian/Lembaga selaku eksekutor dari alokasi anggaran. n
L O N C E N G K E M AT I A N
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
LONCENG KEMATIAN ANGGARAN BERBASIS KINERJA Teks : Achmad Zunaidi
Melalui penetapan suatu undang-undang, anggaran pendidikan mematok 20% dari belanja negara; anggaran kesehatan mematok 5% dari APBN; anggaran desa mematok 10% dari dan di luar (dana) Transfer ke Daerah. Ini merupakan fakta bahwa politik anggaran sekadar membagi-bagikan anggaran, tanpa tahu apakah programnya dibutuhkan masyarakat atau tidak. Saat-saat seperti ini merupakan lonceng kematian bagi penerapan anggaran berbasis kinerja di Indonesia.
U
saha dan taktik para pihak yang berkepentingan untuk memperoleh anggaran tanpa usaha ‘memadai’ kerap dilakukan. Seharusnya, para pihak yang bermaksud memperoleh anggaran negara berinistif merancang program/ kegiatan beserta keluaran yang hendak dicapai sebagai isu yang nantinya menjadi keputusan dalam forum para pengambil kebijakan, baik pada tingkat menteri atau kabinet. Memang upaya ini memerlukan usaha sungguh-sungguh agar program/ kegiatan terlihat menarik dari sisi kebijakan dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Berlawanan dengan itu, pihak yang berkepentingan tidak melakukan seperti tersebut di atas tetapi lebih berorientasi pada bagaimana mendapat alokasi anggaran sebesar-besarnya. Caranya adalah melalui peraturan perundangan setingkat undang-undang yang mengamanatkan adanya keharusan untuk mematok anggaran negara sebesar persentase tertentu dari belanja negara. Upaya dimaksud merupakan upaya sekali ‘pukul’ tetapi berdampak selamanya, tanpa mengacuhkan kondisi keuangan
negara (defisitnya mau berapa besar, masa bodoh). Yang paling utama, alokasi anggaran pada satu sektor sebagaimana amanat undang-undang terjaga sebesar persentase tertentu dari APBN. Mengenai program/kegiatan yang menjadi substansinya, dipikirkan belakangan. Kalaupun program/kegiatan beserta keluaran kegiatannya tidak bermanfaat bagi masyarakat, yang penting adalah kepastian alokasi anggarannya pada sektor tersebut.
13
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
Anggaran Berbasis Kinerja Versus Pematokan Anggaran
melalui penerbitan undang-undang yang mengamanatkan hal tersebut, tentu bertolak belakang. Tanpa ada diskusi, alokasi anggaran dialokasikan dengan bersandar pada amanat undang-undang. Tidak ada lagi upaya adu program beserta capaian kinerja untuk rakyat yang dipertontonkan tetapi hanya sekadar membagikan anggaran belanja sesuai amanat atau norma peraturan perundangan.
Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menjelaskan tujuan reformasi penganggaran yaitu anggaran berbasis kinerja mengubah fokus pengukuran pencapaian program dan kegiatan yang semula didasarkan atas besarnya jumlah alokasi sumber daya bergeser kepada hasil yang dicapai dari penggunaan sumber daya tersebut. Dalam kalimat yang lebih lugas, John Mercer seorang konsultan penganggaran, menggambarkan mengenai anggaran berbasis kinerja dalam beberapa kalimat di bawah ini: • Anggaran berbasis kinerja adalah proses penganggaran yang dapat menjelaskan hubungan antara proyeksi biaya yang dibutuhkan dengan ekspektasi hasil yang akan dicapai oleh pengeluaran pemerintah; • Kegiatan yang dibiayai anggaran akan menghasilkan keluaran(output), dan pada akhirnya kombinasi dari berbagai keluaran kegiatan tersebut dalam suatu program diharapkan menghasilkan dampak positif program (outcome); • Anggaran berbasis kinerja yang efektif memiliki prinsip utama yaitu kejelasan hubungan (linkages) antara ukuran kinerja pada tingkatan bawah dengan hierarki tujuan/sasaran yang lebih tinggi, baik dari sisi organisasional maupun dari sisi dampak positif (outcome).
Kelemahan lain atas modus mematok anggaran sektoral dapat dirinci berikut ini.
No
Dengan landasan anggaran berbasis kinerja seperti tersebut di atas, upaya berbagai pihak untuk mematok anggaran
14
karena adanya ’tembok’ pembatas ini. Ketiga, tidak ada unsur kompetisi bagi kementerian/lembaga sebagai pemangku kepentingan dalam memperoleh anggaran. Hal ini menyebabkan kurangnya rasa memiliki terhadap suatu program/kegiatan, utamanya mengenai tujuan yang ingin dicapai. Peruntukan program/kegiatan dapat dipikirkan belakangan yang penting ketersediaan alokasi anggarannya. Kementerian/lembaga yang bertanggung jawab terhadap program/kegiatan tidak
TABEL BATASAN DALAM PENYUSUNAN POSTUR APBN
Komponen dalam Postur APBN
Besaran Persentase
Keterangan
1.
Defisit
Maksimal sebesar 3% dari GDP (gross domestic bruto)
Amanat UU nomor 17 tahun 2003, penjelasan Pasal 12
2.
Anggaran pendidikan
20% dari APBN
• •
3.
Anggaran Kesehatan
Minimal 5 % dari APBN diluar gaji
• •
Amanat UUD 1945 Amandemen-IV, Pasal 31 Daerah juga mengalokasikan 20% dari APBD Amanat UU nomor 36 tahun 2009, Pasal 171 Daerah mengalokasikan Minimal 10% dari APBD diluar gaji
4.
Anggaran Desa
10% dari dan di luar dana transfer (on top) secara bertahap
Amanat Penjelasan UU nomor 6 tahun 2014, Pasal 72, Ayat (2)
5.
Anggaran Transfer Daerah
DAU sekurang-kurangnya sebesar 26 % dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam.
Amanat UU nomor 33 tahun 2004, Pasal 27
Jadi, anggaran berbasis kinerja menurut pengertian di atas merupakan alat untuk mencapai kinerja tertentu yang diharapkan dari suatu perencanaan penganggaran. Apalagi saat ini Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Anggaran sedang melakukan reformasi penganggaran berbasis kinerja jilid II melalui arsitektur dan informasi kinerja (ADIK). Pada intinya, ADIK berupaya untuk memperjelas keluaran kegiatan yang berdampak kepada masyarakat secara langsung dan memperkuat kejelasan hubungan antara ukuran kinerja pada berbagai tingkatan organisasi.
L O N C E N G K E M AT I A N
Pertama, Pemerintah secara teknis sulit (kalaupun bisa, akan berupaya keras) melakukan harmonisasi dalam proses penyusunan postur APBN. Kesulitannya terletak memadu-padankan antara tujuan dari sisi ekonomi makro (pertumbuhan ekonomi) pada satu sisi dan keharusan memenuhi anggaran belanja pada sektor tertentu berdasarkan undang-undang yang ada. Apalagi mandat tersebut tidak bisa ditawar oleh situasi dan kondisi, misal kondisi perekonomian yang lesu. Kedua, fleksibilitas Pemerintah dalam membuat prioritas anggaran semakin berkurang karena adanya pembatasan anggaran berdasarkan peraturan perundang ini. Pemerintah tidak bisa lagi menggeser peruntukan belanja yang lebih penting/mendesak pada suatu tahun
perlu berpikir sungguh-sungguh, apakah program/kegiatan yang akan dilaksanakan itu efektif untuk kesejahteraan masyarakat atau efisien dalam penghitungan biaya kegiatannya. Di samping itu, apabila pematokan anggaran sampai sebesar 100% (artinya anggaran dibagi habis berdasarkan persentase tertentu) melalui amanat undang-undang, ada ketidakjelasan politik anggaran. Program dan kegiatan prioritas apa yang didukung oleh anggaran? Juga, tidak ada kegunaanya bagi pengambil kebijakan berupa masukan atau umpan balik atas permasalahan yang ada sebagai mekanisme evaluasi perencanaan-penganggaran di masa yang akan datang. Inilah lonceng kematian anggaran yang digembar-gemborkan berbasis kinerja. n
LET THE MANAGERS MANAGE
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
Optimalisasi Peran DJA Dalam Kerangka
LET THE MANAGERS MANAGE
Teks : Hendra Kurniawan. KH
D
ua belas tahun sudah perjalanan reformasi sistem penganggaran di Indonesia sebagai wujud implementasi UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan PP Nomor 21 Tahun 2004 (terakhir diubah dengan PP Nomor 90 Tahun 2010) Tentang Penyusunan RKA-K/L. Berbagai hal sudah dilakukan dalam rangka menerapkan reformasi sistem penganggaran. Penyiapan perangkat aturan, petunjuk dan pedoman teknis, sampai pada pengembangan Sumber Daya Manusia dilakukan agar proses reformasi sistem penganggaran berjalan dengan baik. Dimulai pada 2005, diwujudkan penggabungan dokumen panganggaran dalam satu dokumen Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Semula kita menge-
nal Daftar Isian Kegiatan (DIK) untuk mengalokasikan anggaran yang bersifat rutin/operasional, Daftar Isian Proyek (DIP) untuk menampung alokasi anggaran yang bersifat investasi/pembangunan, atau dokumen-dokumen lain seperti Surat Keputusan Otorisasi (SKO) dan Daftar Isian Kegiatan Suplemen (DIKS). Dokumen ini digunakan untuk menampung alokasi anggaran untuk tujuan tertentu. Dokumen SKO menampung alokasi dari Belanja BUN khususnya belanja lain-lain, sedangkan DIKS menampung alokasi yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Langkah selanjutnya adalah menjadikan Satuan Kerja sebagai satu-satunya entitas dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun pelaporan dan pertanggungjawaban ang-
garan. Beberapa hal dilaksanakan untuk langkah ini antara lain memperkenalkan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (meminta K/L untuk mengisi formulir KPJM dalam RKA-KL), serta menerapkan penganggaran berbasis kinerja secara sederhana (mengalokasikan anggaran dalam RKA-K/L dan DIPA berdasarkan kegiatan/sub kegiatan yang memiliki output dan indikator kinerja tertentu). Sejalan dengan semakin baiknya pemahaman tentang penganggaran berbasis kinerja, konsep dan implementasi tentang penganggaran berbasis kinerja (PBK) telah diperbaiki. Ciri utama PBK adalah anggaran disusun dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan (input) dan hasil yang diharapkan (outcome) sehingga dapat memberikan informasi
15
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
LET THE MANAGERS MANAGE
tentang efektivitas dan efisiensi kegiatan. Perbaikan konsep dan implementasi PBK dilakukan dengan Restrukturisasi Program dan Kegiatan dan melalui Penataan Arsitektur dan Informasi Kinerja penganggaran. Berdasarkan penjelasan umum atas PP Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, ditegaskan bahwa penerapan PBK paling sedikit mengandung 3 (tiga) prinsip, yaitu : a. Prinsip alokasi anggaran program dan kegiatan didasarkan pada tugas fungsi unit kerja yang dilekatkan pada struktur organisasi (money follow function); b. Prinsip alokasi anggaran berorientasi pada kinerja (output and outcome oriented); c. Prinsip fleksibilitas pengelolaan anggaran dengan tetap menjaga prinsip akuntabilitas (let the managers manage);
Prinsip let the managers manage menunjukkan pemberian kewenangan/ keleluasaan kepada pimpinan unit pada Kementerian Negara/Lembaga untuk melaksanakan kegiatan dan mencapai keluaran sesuai dengan rencana. Kewenangan yang diberikan menyangkut fleksibilitas dalam menentukan cara dan tahapan suatu kegiatan untuk mencapai keluaran. Cara dan tahapan kegiatan beserta alokasi anggaran pada saat perencanaan hanya menjadi dasar dalam pelaksanaan kegiatan. Cara dan tahapan tetap memperhatikan akuntabilitas pengelolaannya dengan mempertanggungjawabkan penggunaan dana dan pencapaian kinerja yang telah ditetapkan.
Konsekuensi dari penerapan prinsip ini adalah munculnya pandangan bahwa K/L bebas menentukan (merencanakan dan menganggarkan), sedangkan DJA sudah tidak lagi meneliti alokasi anggaran dalam dokumen penganggaran secara detail. Dengan demikian kewenangan DJA untuk menjaga kualitas belanja dalam APBN menjadi berkurang. Pertanyaan yang muncul adalah apakah kualitas alokasi belanja dalam APBN sudah lebih baik, apakah K/L sudah dapat melaksanakan tugas perencanaan dan pengalokasian anggaran dengan baik pula, dan bagaimana DJA memposisikan dirinya untuk tetap dapat berperan dalam menjaga kualitas belanja yang dialokasikan dalam APBN.
16
Let The Managers Manage Sebagai Sebuah Tuntutan Syarat agar implementasi prinsip let the managers manage berjalan efektif adalah pengelola (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas, aturan/regulasi yang jelas, Standard Operating Procedure (SOP) penganggaran yang baik, serta dukungan seperangkat sistem (teknologi) yang baik. Sinergi keseluruhan unsur ini dalam perencanaan dan penganggaran akan mendorong upaya peningkatan kualitas belanja. Mencermati hasil evaluasi data yang ada, sejujurnya bisa dikatakan bahwa kualitas RKA-KL sebagai salah satu indikator dari perencanaan dan penganggaran masih belum sampai pada taraf kualitas yang baik. Masih banyak ditemukan RKA-K/L yang belum menggambarkan keterkaitan yang tegas antara pendanaan dengan output/hasil. Alokasi anggaran atas suatu output masih “fleksibel”, dapat naik/turun sesuai ketersediaan anggaran. Komponen yang membentuk output juga belum memiliki relevansi yang kuat sehingga tahapan/komponen dapat
berkurang atau bertambah sesuai dengan kebutuhan perencana. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi atas sebuah output dimaksud belum efisien dan efektif.
Apabila tidak segera dicarikan solusi, kondisi seperti ini akan berpotensi terjadi inefisiensi dalam pengalokasian anggaran. Tentunya ini menjadi sebuah dilema. Di satu sisi DJA sudah harus menerapkan konsep Performance Based Budgeting secara penuh, namun di sisi lain ada kewajiban untuk menjaga efisiensi dan efektifitas pengalokasian anggaran sebagai komitmen dan tanggung jawab DJA. Belum lagi jika dilihat dari kualitas pengelola anggaran K/L yang masih belum pada kualifikasi yang diharapkan dan belum siap menerima tongkat estafet “kewenangan”. Bahkan sebagian masih berharap DJA tetap menjadi “pengawas” atas alokasi anggaran yang diusulkan, masih berharap peran DJA untuk melihat kesesuaian usul RKA-K/L dengan peraturan dan prinsip-prinsip efisiensi penganggaran. Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) yang bertugas melaksanakan kewenangan untuk melakukan
LET THE MANAGER MANAGE
reviu atas RKA-K/L masih belum berada pada tingkat kualifikasi yang handal untuk melaksanakan tugas tersebut, sehingga proses assesment RKA-K/L belum berjalan sebagaimana mestinya.
Parameter sederhana yang dapat dijadikan ukuran adalah hasil evaluasi K/L. Alokasi anggaran bisa saja tidak terserap seluruhnya tapi sasaran kinerja tercapai. Bukan karena efisiensi tapi justru kemungkinan terjadinya over alokasi atas sebuah output/kegiatan. Disamping itu masih tingginya revisi anggaran untuk mengurangi alokasi output tanpa mengurangi sasaran kinerja juga menunjukkan hal yang sama (over alokasi). Kondisi objektif ini haruslah disikapi secara wajar, dengan melakukan perbaikan-perbaikan ke arah kemajuan. Hal yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah “komitmen” K/L untuk sungguh-sungguh dalam menyusun dan melakukan penelaahan RKA-K/L. Sudah menjadi hal yang umum terjadi jika pada saat penelaahan RKA-K/L, penelaah dari K/L hanya diwakili sekedarnya saja, staf atau bahkan honorer. Ini menunjukkan bahwa K/L tidak lagi menganggap forum penelaahan itu sebagai forum yang strategis. Mereka lebih memilih hadir di tempat lain daripada harus hadir di forum penelaahan. K/L merasa yakin sekali bahwa DJA tidak lagi sampai membatalkan (mencoret) usul mereka, sehingga tidak ada kewajiban moral dari mereka untuk mempresentasikan usul secara baik dan mempertanggungjawabkan usulan itu dalam forum penelaahan. Mereka yakin bahwa usul mereka akan disetujui dan ditampung dalam DIPA.
Dalam situasi ini, sulit untuk mengatakan bahwa output dari proses penelaahan itu adalah RKA-K/L yang menampung usul belanja, program, kegiatan dan output yang berkualitas.
Reorientasi Peran DJA Situasi seperti di atas haruslah direspon dengan bijak. Tidak harus melihat atau berjalan ke belakang lagi, kebijakan harus tetap berlanjut. Upaya perbaikan kualitas melalui edukasi harus semakin dioptimalkan. Pembuatan regulasi yang jelas, mudah diimplementasikan dan tidak multitafsir, serta penyederhanaan proses bisnis tetap dilanjutkan. Semua itu diharapkan akan semakin mendorong upaya peningkatan kualitas perencanaan dan penganggaran pada semua lini. Di samping itu, DJA harus dapat memperkuat perannya pada sisi-sisi lain dari
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
proses perencanaan dan penganggaran. Mengingat proses perencanaan dan penganggaran merupakan sebuah rangkaian proses dalam sebuah siklus perencanaan dan penganggaran, maka opsi untuk mengoptimalkan alur proses lainnya harus dilakukan yaitu penguatan fungsi-fungsi lainnya yang berkorelasi dalam upaya meningkatkan kualitas belanja dimaksud. Penguatan fungsi dan peran DJA sebagai ikhtiar meningkatkan kualitas belanja dalam APBN tidak harus dilakukan dengan hal yang baru. Fungsi dan peran yang sudah dilakukan sejak dahulu, seperti misalnya reviu baseline, penilaian inisiatif baru, trilateral meeting, serta penerapan standar biaya perlu diperkuat. Upaya ini juga perlu didukung dengan komitmen bersama serta dukungan aturan pelaksanan yang lebih detail, sehingga fungsi dan peran tersebut di atas tidak hanya menjadi rutinitas yang dilakukan
Hal yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan penelaahan “tempo dulu”. Dalam penelaahan, pejabat yang hadir adalah pejabat yang dapat menyampaikan dan mempertanggungjawabkan usul kegiatan yang dialokasikan dalam dokumen penganggaran. Bahkan terkadang usulan didukung dengan dokumen-dokumen yang berlebihan, sebagai wujud kesiapan dan upaya meyakinkan penelaah DJA atas pentingnya alokasi kegiatan tersebut. Apalagi dengan pelaksanaan penelaahan online ke depan, akan sulit mewujudkan forum penelaahan sebagai forum untuk mengklarifikasi dan menilai bahwa output telah disusun dengan komponen yang tepat dan biaya yang efisien.
17
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
setiap tahun tanpa ada komitmen untuk mengoptimalkan proses dan hasilnya.
Forum reviu baseline, sejatinya tidak hanya dalam rangka memperbaiki angka prakiraan maju dan exercise pagu saja, tetapi bagaimana hasil reviu baseline dimaksud secara konsisten digunakan sebagai dasar penetapan Pagu Indikatif. Agar hal tersebut dapat diwujudkan, perlu diperkuat dengan aturan-aturan penunjang yang lebih jelas, metodologi reviu yang terukur dan jelas, menggunakan hasil monev dalam penilaian, dan jika memungkinkan, mendesain rancangan pengembangan SDM untuk melakukan reviu baseline melalui Diklat. Pada saat reviu baseline, dapat dilakukan penilaian kembali atas alokasi anggaran pada setiap output dan dilakukan tambah/kurang atas alokasi yang sudah diberikan atas suatu output yang sudah ditetapkan pada RKAK/L tahun sebelumnya. Selain itu dapat pula dilakukan penilaian penuh untuk menetapkan alokasi anggaran yang efektif dan efisien atas sebuah output.
”Penguatan fungsi dan peran DJA sebagai ikhtiar meningkatkan kualitas belanja dalam APBN tidak harus dilakukan dengan hal yang baru. Fungsi dan peran yang sudah dilakukan sejak dahulu, seperti misalnya reviu baseline, penilaian inisiatif baru, trilateral meeting, serta penerapan standar biaya perlu diperkuat.” Sampai saat ini, penilaian inisiatif baru termasuk kebijakan yang belum konsisten dilakukan padahal PP No. 90 Tahun 2010 tegas mengatur inisiatif baru sebagai bagian dari kebijakan penetapan pagu/ alokasi anggaran. Agar kebijakan ini dapat diterapkan secara efektif, harus ada komitmen bahwa setiap tambahan alokasi atas Pagu Baseline harus disertai dengan proposal inisiatif baru dan sudah dinilai oleh kedua belah pihak (Bappenas dan DJA),
18
LET THE MANAGERS MANAGE
dengan mengacu pada Peraturan Menteri Perencanaan No. 1 Tahun 2011 tanggal 31 Januari 2011 tentang Tata Cara Penyusunan Inisiatif Baru. Selain itu metodologi penilaian inisiatif baru dan SOP-nya juga perlu dipertegas, sehingga akuntabilitas proses dan kualitas hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Saat ini, masih banyak tambahan atas pagu anggaran yang tidak dilengkapi dengan proposal inisiatif baru apalagi proses penilaiannya. Cara-cara seperti ini harus dihilangkan dalam proses perencanaan dan penganggaran. Forum Trilateral Meeting perlu lebih diperkuat dari sisi prosesnya terutama keterlibatan DJA khususnya bagaimana mensinkronkan kegiatan-kegiatan prioritas dengan ketersediaan anggaran. DJA harus ikut mengkonfirmasi atas kegiatankegiatan prioritas yang akan dialokasikan dalam RKA-K/L. Di samping itu DJA juga memperhatikan bagaimana menanggapi usulan tambahan anggaran yang hampir pasti selalu dilakukan oleh K/L. Forum trilateral meeting juga harus dapat mengharmonisasikan semua program baik internal maupun lintas K/L, sehingga sinyalemen adanya perencanaan dan penganggaran yang tidak nyambung menjadi tidak beralasan.
Untuk itu diperlukan keterbukaan dari Bappenas mengenai desain program-program prioritas baik internal maupun lintas K/L (antar sektor). Forum trilateral meeting harus benar-benar bisa merancang skala prioritas belanja K/L. Di samping itu, harus ada komitmen untuk menggunakan rekomendasi yang disepakati dalam kebijakan alokasi dan pagu selanjutnya. Misalnya jika terdapat optimalisasi setelah proses pembahasan di DPR maka prioritasnya sesuai dengan yang disepakati dalam forum trilateral meeting. Demikian pula sebaliknya apabila terjadi pengurangan pagu/alokasi maka yang harus ”dieksekusi” terlebih dahulu adalah yang skala prioritasnya rendah.
Standar Biaya, khususnya standar biaya keluaran, sampai saat ini juga merupakan hal yang sulit dilaksanakan karena ternyata kebijakan standar biaya belum memiliki “nilai jual” yang tinggi. Faktor yang menjadi penyebabnya antara lain, standar biaya keluaran belum menjajikan kemudahan dalam proses penyusunan RKA-K/L, dan menyebabkan kaku/tidak fleksibel bagi K/L dalam menyusun RKAK/L. Untuk itu harus dibuatkan terobosan
bagaimana standar biaya khususnya standar biaya keluaran menjadi “menarik” dan merangsang setiap K/L untuk menyusunnya. Misalnya dengan adanya standar biaya keluaran maka penuangan komponen/rincian belanja dalam RKA-K/L tidak perlu detail, kegiatan-kegiatan yang ditetapkan dalam standar biaya keluaran tidak terikat dalam beberapa kode akun akan tetapi cukup ditetapkan dalam akun tertentu. Demikian pula halnya saat dilakukan audit agar sejalan dengan prinsip performance based budgetting cukup dilakukan dengan melihat capaian dan penyerapan anggaran atas output saja. Hal seperti ini sudah pernah dilakukan dalam kegiatan perencanaan dan penganggaran di masa lalu. Dengan dapat disusunnya standar biaya keluaran atas suatu output tertentu maka diharapkan ada standardisasi atas output baik dari segi pentahapannya maupun dari sisi besaran alokasinya.
Penerapan Prinsip Let The Managers Manage Sesungguhnya penerapan prinsip Let the Managers Manage, sebagai wujud penerapan penganggaran berbasis kinerja secara penuh, tidaklah serta merta mereduksi kewenangan DJA dalam menjaga kualitas belanja dalam APBN. Optimalisasi fungsi dari pelaksanaan tugas-tugas lain dapat menjawab kekhawatiran itu. Banyak sisi dari upaya menjaga kualitas belanja dalam APBN yang dapat dilakukan oleh DJA yang mungkin selama ini belum optimal penyelenggaraannya. Sebagaimana disampaikan di atas, yang paling penting dari semua itu adalah komitmen untuk melaksanakan hal tersebut secara sungguh-sungguh dan komitmen untuk menggunakan rekomendasi yang dihasilkan dalam implementasi kebijakan-kebijakan penganggaran, khususnya kebijakan tentang pagu.
Penting juga dilakukan adalah penjelasan konsep sesungguhnya dari let the managers manage, bukan hanya keleluasaannya saja yang dikedepankan tetapi juga akuntabilitasnya baik proses maupun hasilnya. Dengan konsep let the managers manage bukan berarti K/L dapat untuk tidak bersungguh-sungguh dalam mengikuti proses perencanaan dan penganggaran.n
WAWA N C A R A
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
Made Arya Wijaya
DIREKTUR HARMONISASI PERATURAN PENGANGGARAN K o n s e p s i d a n Pe n e r a p a n Anggaran Berbasis Kinerja
19
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
“Sesuai amanah yang tertuang dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa “Rencana kerja dan anggaran yang disusun oleh menteri/ pimpinan lembaga, disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai”. Hal ini secara tegas dapat dimaknai bahwa dalam rangka penyusunan RAPBN dan dokumen RKA-K/L, Pemerintah wajib menerapkan sistem penganggaran berbasis kinerja.”
A
manah ini tentunya membawa dampak perubahan yang sangat mendasar jika dibandingkan dengan sistem penganggaran yang diterapkan sebelumnya yakni bersifat incremental dan berbasis input. Untuk mendukung penerapan sistem penganggaran berbasis kinerja dalam pengelolaan APBN, Pemerintah yang dimotori oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan telah membangun sistem penganggaran berbasis kinerja dengan mengacu pada best practice dan pengalaman dari beberapa negara yang telah lebih dahulu menerapkan sistem ini, yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan Indonesia. Secara konsepsi penganggaran berbasis kinerja terdiri atas 3 (tiga) prinsip utama yaitu : (1) berorientasi pada kinerja (performance oriented), (2) fleksibilitas dalam pelaksanaan anggaran (let the managers manage), dan (3) pengalokasian anggaran dengan pendekatan fungsi (money follow function). Penjelasan untuk masing-masing prinsip utama dimaksud sebagai berikut :
Pertama, berorientasi pada kinerja. Prinsip ini dalam penerapannya mengamanahkan bahwa setiap rupiah anggaran
20
WAWA N C A R A
yang dialokasikan kepada Satuan Kerja atau kementerian negara/lembaga harus dapat menghasilkan kinerja atau dapat dikaitkan dengan kinerja tertentu yang akan dihasilkan. Di samping itu, melalui prinsip ini juga dapat menjaga bahwa setiap usulan anggaran yang diajukan oleh kementerian negara/lembaga didukung dokumen perencanaan dengan target kinerja yang jelas dan terukur.
Kedua, fleksibilitas dalam pelaksanaan anggaran. Prinsip ini pada dasarnya memberikan keleluasaan kepada para Pengguna/Kuasa Pengguna Anggaran dalam membelanjakan anggarannya guna mendukung pelaksanaan rencana kerja yang telah disusun sehingga target kinerja dapat dicapai dengan lebih efisien. Yang perlu dipahami dengan baik atas prinsip ini adalah para Pengguna/Kuasa Pengguna Anggaran diberikan fleksibilitas dalam menentukan metode pelaksanaan kegiatan atau menggunakan komposisi sumber daya yang paling efektif dan efisien sehingga kinerja yang dihasilkan sesuai dengan yang direncanakan baik dari sisi volume maupun kualitasnya. Ketiga, pengalokasian anggaran dengan pendekatan fungsi. Prinsip ini merupakan pendekatan yang strategis dalam menjaga efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan anggaran yakni anggaran hanya dialokasikan kepada kementerian/lembaga atau satuan kerja yang tugas fungsinya relevan dengan target kinerja yang akan dicapai secara nasional. Di samping itu, melalui prinsip ini juga diharapkan dapat mencegah adanya duplikasi pengalokasian anggaran mengingat secara rumusan tugas fungsi, setiap unit seyogyanya mempunyai tugas fungsi yang spesifik dan tidak overlap dengan tugas fungsi unit yang lain. Selain ketiga prinsip utama di atas, untuk memudahkan dalam mengimplementasikan sistem penggaran berbasis kinerja pada seluruh kementerian/lembaga, juga dibangun 3 (tiga) instrumen atau tools yaitu : (1) Indikator kinerja. Instrumen ini merupakan alat ukur yang digunakan pada saat melakukan pengukuran dan evaluasi kinerja. Melalui indikator kinerja ini, evaluator akan dapat menilai apakah sebuah
unit atau satuan kerja berkinerja baik atau tidak dalam pelaksanaan tugas fungsinya. (2) Standar biaya. Instrumen ini dimaksudkan sebagai alat untuk mengetahui berapa biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan sebuah kegiatan dan menghasilkan kinerja tertentu. Disamping itu, melalui standar biaya ini juga akan dapat diketahui apakah sebuah kegiatan efisien atau tidak dengan membandingkan antara standar biaya yang ditetapkan dengan realisasi dalam implementasinya. (3) Evaluasi kinerja. Instrumen ini merupakan alat untuk mengetahui apakah target kinerja yang direncanakan dapat dicapai dengan baik. Selanjutnya berdasarkan hasil dari evaluasi kinerja ini dapat direkomendasikan langkah-langkah untuk perbaikan ke depan, baik dari sisi desain program, rumusan kinerja, indikator kinerja maupun metodologinya termasuk juga dalam hal rekomendasi terkait pemberian reward atau pengenaan sanksi bagi kementerian/lembaga.
Apakah pendekatan money follow function yang diterapkan selama ini telah mampu mendorong terciptanya efisiensi dalam pengalokasian dana di setiap satuan kerja? Kalau dilihat dari prinsip dan tujuan yang menjadi dasar penerapan pendekatan ini, berdasarkan pengalaman penerapannya pada periode 10 (sepuluh) tahun terakhir, pendekatan money follow function telah mampu mendorong terciptanya efisiensi dalam pengalokasian anggaran walaupun hasilnya belum optimal. Hal ini dapat dilihat
WAWA N C A R A
dari beberapa faktor antara lain : (1) pengalokasian anggaran tidak lagi berdasarkan pada line item atau input base tetapi sudah mengacu pada output dan outcome; (2) semakin tumbuhnya pemahaman tentang manfaat penyusunan dan penggunaan standar biaya keluaran dalam proses perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Hal ini tentunya akan menjadi acuan dalam menilai tingkat efisiensi mengingat salah satu fungsi standar biaya adalah sebagai tools dalam menilai efisiensi anggaran; dan (3) pengalokasian anggaran fokus pada unit atau satuan kerja sesuai tugas fungsinya sehingga dapat dihindari adanya duplikasi pendanaan atau kesalahan alokasi pada unit atau satuan kerja yang tidak relevan.
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
Dengan adanya paradigma ini masingmasing Kementerian Negara/Lembaga berusaha untuk mendapatkan alokasi anggaran yang semakin besar setiap tahun tanpa didukung dengan rencana kinerja yang jelas dan terukur sehingga dalam implementasiannya sangat tidak efisien.
anggaran ditetapkan, langkah selanjutnya adalah mendistribusikan anggaran dimaksud kepada kementerian/lembaga yang tugas fungsinya sesuai dengan target kinerja yang direncanakan. Kalau kita cermati lebih jauh, kedua pendekatan ini sebenarnya tetap digunakan dalam tahapan yang berurutan (sequence).
Selanjutnya, berkaitan dengan pemahaman dalam penerapan pendekatan money follow function, kondisi yang terjadi hingga saat ini masih banyak Kementerian Negara/Lembaga yang belum memahami pendekatan ini dengan baik. Kondisi ini membawa dampak pengalokasian anggaran kepada sebuah Satuan Kerja menjadi tidak tepat dan tidak efisien mengingat alokasi anggaran
Secara prinsip perbedaan yang mendasar adalah pada proses penyusunan dan penetapan alokasi anggaran untuk sebuah program pembangunan. Melalui pendekatan money follow program, penyusunan dan penetapan alokasi anggaran dilakukan berdasarkan urutan prioritas sebuah program pembangunan dengan tetap memperhatikan target kinerja yang akan dicapai. Dengan
Secara konsepsi penganggaran berbasis kinerja terdiri atas 3 (tiga) prinsip utama yaitu : (1) berorientasi pada kinerja (performance oriented), (2) fleksibilitas dalam pelaksanaan anggaran (let the managers manage), dan (3) pengalokasian anggaran dengan pendekatan fungsi (money follow function). Kendala terbesar apa yang menyebabkan implementasi money follow function belum mampu mendorong efisiensi penganggaran di Kementerian Negara/ Lembaga?
diberikan kepada Satuan Anggaran yang tidak sesuai fungsinya atau digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang bukan merupakan tugas fungsinya.
Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara yang pernah dikunjungi sebagai benchmark di dalam penerapan pendekatan money follow function termasuk juga kondisi yang terjadi di Indonesia, ada 2 (dua) penyebab utama yang menjadi kendala yaitu : (1) paradigma dalam menyikapi kebutuhan anggaran; dan (2) pemahaman dalam penerapan pendekatan money follow function.
Akhir-akhir ini di media massa ba nyak dimuat ide Bappenas yang direstui Presiden bahwa perlunya penganggaran dengan menggunakan money follow program. Apakah ada perbedaan yang mendasar di antara kedua pendekatan tersebut?
Berkaitan dengan paradigma dalam menyikapi kebutuhan anggaran yang dimaksud adalah sampai dengan saat ini sebagian besar Kementerian Negara/ Lembaga masih berorientasi pada besarnya pagu anggaran yang dapat dialokasikan (budget oriented), tidak berorientasi pada target kinerja yang akan dihasilkan (performance oriented).
Menurut pandangan saya, pendekatan money follow program merupakan strategi atau kebijakan dalam pengalokasian anggaran yang mengacu pada program prioritas pembangunan. Melalui pendekatan ini, anggaran belanja yang disediakan dalam APBN akan dialokasikan ke dalam program-program pembangunan sesuai prioritasnya. Semakin tinggi prioritas sebuah program maka alokasi anggaran yang ditetapkan semakin besar dan sebaliknya. Setelah alokasi
pendekatan ini, proses penyusunan dan penetapan alokasi anggaran lebih bersifat top-down. Sedangkan untuk pendekatan money follow function, proses penyusunan dan penetapan alokasi anggaran dilakukan berdasarkan usulan rencana kerja dari kementerian/lembaga sesuai tugas fungsinya dengan tetap mengacu pada program prioritas pembangunan yang telah dituangkan dalam RPJMN, RKP atau direktif Presiden. Melalui pendekatan ini, proses penyusunan dan penetapan alokasi anggaran lebih bersifat bottom-up.
Apa yang melatarbelakangi munculnya ide money follow program? Berdasarkan hasil pengamatan saya pribadi dan mencermati komentar serta pandangan publik berkaitan dengan volume APBN yang terus meningkat dari tahun ke tahun, sering kita dengar komentar bahwa volume APBN dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir naik hampir 4 kali lipat atau dalam kurun
21
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
waktu 5 (lima) tahun terakhir naik hampir 2 kali lipat. Tapi bagaimana dikaitkan dengan hasil atau kinerja yang dihasilkan? Secara umum publik berpandangan dengan tambahan volume belanja APBN yang naik sedemikian besar tidak ada perubahan yang signifikan yang dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga publik berkesimpulan pola belanja Pemerintah dinilai tidak efisien atau kurang tepat sasaran. Di samping itu, mencermati statement Bapak Presiden dan arahan kepada para Menteri disampaikan bahwa pendekatan pengalokasian anggaran kepada Kementerian Negara/Lembaga selama ini lebih bersifat “incremental” dan “bagi rata”. Hal ini tentunya tidak dapat memberikan hasil yang optimal bagi masyarakat.
Apakah konsekuensi pada sistem penganggaran yang selama ini existing? Kalau dikaitkan sistem penganggaran
dengan
WAWA N C A R A
yang saat ini sudah diterapkan, menurut pendapat saya secara prinsip tidak ada konsekuensi atau dampaknya, baik terhadap pendekatan pengangaran terpadu, kerangka pengeluaran jangka menengah maupun penganggaran berbasis kinerja. Sebagaimana saya jelaskan di atas, pendekatan money follow program pada dasarnya merupakan strategi dalam pengalokasian anggaran berdasarkan pada program sesuai dengan prioritasnya. Yang perlu menjadi perhatian adalah adanya perubahan proses dalam pengalokasian anggaran yang semula lebih bersifat bottom-up menjadi topdown. Sekali alokasi anggaran untuk sebuah program ditetapkan, proses selanjutnya akan kembali mengikuti sistem penganggaran yang sudah ada.
Bagaimana peran Bappenas ke depan sebaiknya pada sistem penganggaran di Indonesia? Berkaitan dengan peran sebuah unit atau Kementerian Negara/Lembaga dalam sistem pemerintahan menurut pandangan saya harus tetap mengacu pada amanah regulasi dan tugas fungsi yang menjadi tanggung jawabnya. Kalau kita perhatikan sesuai amanah regulasi dan tugas fungsi yang menjadi tanggung jawab Bappenas adalah menyusun arah kebijakan pembangunan dan menyusun perencanaan pembangunan nasional. Di samping itu, kalau kita cermati arahan Bapak Presiden dan Wakil Presiden pada beberapa forum dan kesempatan ditegaskan bahwa peran Bappenas diposisikan sebagai “system integrator” yang diharapkan dapat menghasilkan sebuah perencanaan pem-
22
bangunan nasional yang terintegrasi, baik secara horisontal yakni antar Kementerian Negara/Lembaga maupun bersifat lintas sektor dan secara vertikal yakni antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
“Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara yang pernah dikunjungi sebagai benchmark di dalam penerapan pendekatan money follow function termasuk juga kondisi yang terjadi di Indonesia, ada 2 (dua) penyebab utama yang menjadi kendala yaitu: (1) paradigma dalam menyikapi kebutuhan anggaran; dan (2) pemahaman dalam penerapan pendekatan money follow function.” Selanjutnya untuk mendukung pelaksanaan tugas fungsi Bappenas dalam menyiapkan perencanaan sebuah program/kegiatan pemerintah, diharapkan dapat bersinergi dengan universitas dan lembaga-lembaga penelitian seperti BPPT atau LIPI dalam menyusun design, perekayasaan atau studi kelayakan yang selama ini kegiatan-kegiatan seperti dilaksanakan oleh tenaga konsultan dengan biaya yang cukup mahal/tinggi. Dengan gambaran peran Bappenas sebagaimana dijelaskan di atas, diharapkan dapat menghasilkan perencanaan pembangunan nasional yang berkualitas sesuai dengan prioritas pembangunan dan program kerja Pemerintah sehingga Kementerian Keuangan akan lebih mudah di dalam mendistribusikan alokasi anggaran untuk setiap program/kegiatan yang akan dilaksanakan. n
REVIU ADIK
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
reviu adik Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan
KEMENRISTEKDIKTI Penataan Arsitektur Dan Informasi Kinerja (ADIK) sudah dimulai pada TA 2016. Apabila diperhatikan pada DIPA TA 2016 ada perubahan tampilan yakni pada halaman IA berisi Informasi Kinerja Kementerian/Lembaga mulai dari informasi fungsi, sub fungsi, program, outcome, IKU Program, kegiatan, Indikator Kinerja Kegiatan dan Keluaran (output).
Teks : Asrukhil Imro
A
DIK dalam RKA-K/L adalah gambaran ringkas mengenai suatu program sebagai respon/tanggapan terhadap suatu situasi/permasalahan/kebutuhan pemangku kepentingan dengan menunjuk-
kan hubungan logis antara sumber daya (input) yang digunakan, kegiatan yang dilaksanakan, keluaran (output) yang dihasilkan dan manfaat atau perubahan yang diinginkan atau dihasilkan (outcome)
dengan adanya program tersebut. Dalam PMK 192/PMK.02/2015 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga
23
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
dan Pengesahan DIPA, Penataan ADIK dalam RKA-K/L dimaknai sebagai bukan menyusun dokumen baru atau menambah dokumen perencanaan, penganggaran, dan evaluasi yang sudah ada, melainkan penajaman isi RKA-K/L untuk menghasilkan cara pandang yang ringkas atas suatu program agar dapat terlihat dari perspektif yang utuh, terlihat jelas relevansinya, dan mudah dimengerti oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder).
“Pertanyaannya adalah mengapa harus melakukan penataan ADIK? Berdasarkan evaluasi atas substansi program yang dikelola K/L memberikan hasil sebagai berikut : tidak jelas mana input, atau output, atau outcome; rumusan outcome kurang jelas dan terlalu normatif; sulit melihat relevansi antara input dengan output, dan dengan outcome; dan relevansi outcome terhadap need or problem tidak terlihat karena informasi tersebut tidak dapat diperoleh dalam database RKA K/L.”
REVIU ADIK
or problem tidak terlihat karena informasi tersebut tidak dapat diperoleh dalam database RKA K/L. Berdasarkan evaluasi tersebut, RKAK/L belum dapat menyajikan rumusan informasi kinerja yang terukur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan belum dapat menunjukkan relevansinya dengan sumber daya yang digunakan untuk membantu proses perencanaan, penganggaran, dan evaluasi terhadap program-program pembangunan. Selain itu, ketiadaan output level K/L dan output level eselon I juga menjadi pertimbangan utama perlunya dilakukan penataan ADIK yang menggunakan pendekatan logic model.
Penyempurnaan atas Penataan ADIK PMK 192/PMK.02/2015 mengatur bagaimana melakukan penataan ADIK yakni dengan mulai menyusun informasi kinerja K/L berdasarkan dokumen Renstra K/L dan/atau dokumen Renja K/L yang disusun dengan menggunakan kerangka berpikir/konsep logic model. Penyusunan informasi kinerja juga harus memperhatikan tugas dan fungsi K/L beserta unit-unit organisasi/struktural di lingkup K/L (unit eselon I dan unit eselon II/Satker).
Penyusunan informasi kinerja dilakukan mulai dari level K/L, kemudian dilanjutkan dengan menyusun informasi kinerja pada level Eselon I dan Eselon II/Satker (mekanisme top down). lnformasi kinerja yang berada pada level K/L merupakan informasi yang sifatnya strategis. Informasi kinerja berorientasi kepada customer/ stakeholder diluar K/L. Penerapan konsep Logic Model dengan mekanisme top down akan menghasilkan informasi kinerja yang apabila dilihat dari segi jumlah akan mengerucut dari level Eselon II/Satker dan Eselon I ke level K/L. Selanjutnya informasi kinerja yang telah disusun dituangkan pada Formulir I untuk RKA level K/L; Formulir II untuk RKA level Unit Eselon I; dan Formulir III untuk RKA level Unit Eselon II/Satker. Untuk menjembatani penataan ADIK dengan aplikasi RKA-K/L SPAN, digunakan aplikasi penataan ADIK untuk memasukkan rumusan output dan outcome (informasi kinerja) yang baru tersebut. Untuk mengetahui bagaimana implementasi penataan ADIK untuk TA 2016 marilah kita melihat DIPA Induk Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pembelajaran
Penataan ADIK dalam RKA-K/L sebagai prasyarat keberhasilan Tabel Informasi Kinerja Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) dengan melihat keterkaitan antara anggaran yang dikeNo Program Hasil (Outcome) luarkan (input) dengan kinerja (output). Penentu keberhasilan 1. Pembelajaran dan KemahaMeningkatnya kualitas pembelajaran performance based budgeting tersebut adalah adanya rencana siswaan dan kemahasiswaan pendidikan tinggi strategis yang jelas, relevan, IKU PROGRAM dan terukur, yang didalamnya terdapat titik krusial berupa penentuan hasil (outcome) dan 1. Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi keluaran (output) pada level strategis. 2. Jumlah mahasiswa yang berwirausaha Pertanyaannya adalah mengapa harus melakukan penataan ADIK? Berdasarkan evaluasi atas substansi program yang dikelola K/L memberikan hasil sebagai berikut : tidak jelas mana input, atau output, atau outcome; rumusan outcome kurang jelas dan terlalu normatif; sulit melihat relevansi antara input dengan output, dan dengan outcome; dan relevansi outcome terhadap need
24
3.
Prosentase lulusan bersertifikat kompetensi
5.
Jumlah mahasiswa peraih medali emas tingkat nasional
4. 6. 7. 8. 9.
Jumlah Prodi terakreditasi Unggul
Jumlah mahasiswa peraih medali emas tingkat internasional Prosentase lulusan yang langsung kerja
Jumlah LPTK yang meningkat mutu penyelenggaraan pendidikan akademik Jumlah calon pendidik mengikuti Pendidikan Profesi Guru
REVIU ADIK
dan Kemahasiswaan pada halaman I A. Berdasarkan dokumen Renstra Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Tahun 2015-2019, informasi kinerja Ditjen Belmawa sudah sesuai dengan sasaran strategis yaitu meningkatnya kualitas pembelajaran dan kemahasiswaan pendidikan tinggi. IKU Program juga sesuai dengan Indikator Kinerja Sasaran Strategis. Demikian pula, dengan tugas dan fungsinya Ditjen Belmawa yakni menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembelajaran dan kemahasiswaan. Selanjutnya kita melihat keluaran (output) dan Indikator Kinerja Kegiatan pada halaman I A. Informasi Kinerja pada DIPA Induk Satker Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan untuk kegiatan (5704) Peningkatan Layanan kemahasiswaan dan Penyiapan Karir, output (5704.003) Layanan kesejahteraan dan Kewirausahaan
IKK (Indikator Kinerja Kegiatan)
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
Mahasiswa : Berdasarkan dokumen Renstra Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Tahun 2015-2019, informasi kinerja untuk IKK dan Output sudah sesuai dengan Sasaran Kegiatan (Output)/Indikator. Penyusunan rumusan keluaran (output) pada level eselon II/Satker berpedoman pada penataan ADIK yakni merumuskan output dengan mengambil sasaran kegiatan yang terdapat dalam dokumen Renstra K/L dan/atau Renja K/L. Idealnya, sasaran kegiatan dalam Renstra K/L dan/atau Renja
Keluaran (Output)
Komponen
Jumlah Mahasiswa penerima bea- Layanan Kesejahteraan dan Kewi- Bantuan Bidikmisi siswa dan bantuan biaya pendidi- rausahaan Mahasiswa kan Jumlah mahasiswa yg dilatih kewirausahaan
Beasiswa ADik
Beasiswa Prestasi Mahasiswa Melaksanakan Belajar Bekerja Terpadu Penyaluran Beasiswa dan Bantuan Biaya Pendidikan PPA Koordinasi, Pengelolaan dan Validasi Data Pelatihan Kewirausahaan Mahasiswa dan Dosen
Seleksi Afirmasi Pendidikan Tinggi 2015 Koordinasi, Pengelolaan dan Validasi Data Sosialisasi Sistem Penetapan dan Penyaluran Bidikmisi Sosialisasi Program ADik
25
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
K/L merupakan output eselon II/Satker dalam RKA KL. Sedangkan penyusunan Indikator Kinerja Output Eselon II/Satker dengan memperhatikan rumusan output eselon II/Satker yang mengacu kepada sasaran kegiatan dalam Renstra K/L atau Renja K/L.
“Berdasarkan dokumen Renstra Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Tahun 2015-2019, informasi kinerja untuk IKK dan Output sudah sesuai dengan Sasaran Kegiatan (Output)/Indikator. “ IKK (Indikator Kinerja Kegiatan)
REVIU ADIK
Untuk penyusunan aktivitas atau tahapan kegiatan yang akan dilakukan dalam menghasilkan output mengacu kepada rumusan output yang akan dihasilkan dan tugas/fungsi serta urusan yang menjadi tanggung jawab eselon II/Satker. Rumusan aktivitas dinyatakan dalam bentuk kata kerja yang saling terkaitan dan menjadi satu kesatuan proses. Berdasarkan Peraturan Menteri Ristek Dikti Nomor 15 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata kerja Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, salah satu tugas/fungsi Direktorat Kemahasiswaan adalah pelaksanaan pengawasan dan pengendalian bidang penalaran, kreativitas, kesejahteraan mahasiswa, kewirausahaan, minat dan bakat, organisasi kemahasiswaan, serta penyelarasan dunia kerja. Untuk menjalankan
Keluaran (Output)
Jumlah Mahasiswa pener- Beasiswa ima beasiswa dan bantuan biaya pendidikan
tugas dan fungsi dibidang kesejahteraan dan kewirausahaan mahasiswa dilaksanakan oleh Subdirektorat Kesejahteraan dan Kewirausahaan yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan, fasilitasi, pelaksanaan pengawasan dan pengendalian, serta pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang kesejahteraan dan kewirausahaan mahasiswa. Dengan mencermati tugas dan fungsi serta sasaran kegiatan pada Renstra tersebut, perumusan nomenklatur output dan aktivitas perlu disempurnakan kembali sehingga lebih fokus kepada hasil akhir berupa pemberian beasiswa dan pelatihan kewirausahaan. Demikian pula aktivitas mampu menjelaskan tahapan dalam mencapai output tersebut. Berikut adalah alternatif rumusan output dan aktivitas dengan tetap mempertahankan IKK. n
Komponen Sosialisasi Program Beasiswa Bidikmisi, Beasiswa ADiK, Beasiswa Prestasi Seleksi Afirmasi Pendidikan Tinggi 2015 Sosialisasi Sistem Penetapan dan Penyaluran Bidikmisi Penyaluran Beasiswa Bidikmisi, Beasiswa ADiK, Beasiswa Prestasi dan Bantuan Biaya Pendidikan PPA Koordinasi, Pengelolaan dan Validasi Data Monitoring dan Pelaporan Beasiswa Bidikmisi, Beasiswa ADiK, Beasiswa Prestasi dan Bantuan Biaya Pendidikan PPA
Jumlah mahasiswa yg dilatih kewirausahaan
Kewirausahaan Mahasiswa
penyiapan perumusan kebijakan pengembangan di bidang kewirausahaan Fasilitasi di bidang kewirausahaan Pelaksanaan dibidang kewirausahaan Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang kewirausahaan
26
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
Gotong Royong Pemerintah dan Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur
Teks : Wahyu Indrawan
P
emerintah senantiasa berupaya untuk menyediakan infrastruktur bagi rakyat sebagai sarana untuk mencapai tujuan nasional. Keberpihakan Pemerintah pada penyediaan infrastruktur antara lain dapat dilihat dari terus meningkatknya anggaran untuk infrastruktur di APBN. Sebagai contoh, pada tahun 2011 anggaran infrastruktur yang tersedia adalah sebesar Rp114,2 triliun kemudian melesat menjadi (hampir 3x lipat) Rp313,5 triliun dalam lima tahun berikutnya pada APBN tahun 2016. Namun, kita juga menyaksikan bahwa kondisi infrastruktur di Indonesia saat ini belum memadai dan belum merata antarwilayah. Kondisi inilah yang menjadi salah satu pertimbangan untuk menjadikan APBN 2016 dan juga tema pembangunan tahun 2017 yang merupakan bagian dari RPJMN 2015-2019 fokus pada percepatan pembangunan infrastruktur dan pengurangan ketimpangan antarwilayah. Di sisi lain Pemerintah juga menyadari bahwa untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di bidang infrastruktur dalam rangka mencapai sasaran-sasaran dan meningkatkan daya saing infrastruktur Indonesia, diperlukan pendanaan yang sangat besar. Berdasarkan kajian BAPPENAS (2014), kebutuhan pendanaan untuk memenuhi target-target
infrastruktur dalam RPJMN 2015-2019 adalah sebesar Rp5.519,4 triliun selama 5 tahun. Dari total kebutuhan pendanaan tersebut, diperkirakan dana dari APBN hanya sanggup mencukupi sebesar 40,14% atau sebesar Rp2.215,6 triliun selama 5 tahun anggaran. Menyadari besarnya kebutuhan pendanaan untuk infrastruktur yang memerlukan anggaran yang besar dan di tengah keterbatasan kemampuan keuangan negara untuk memenuhi kebutuhan investasi infrastruktur sangat terbatas, Pemerintah terus mencari terobosan untuk mencari solusi atas hal ini, salah satunya melalui melalui skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau Public Private Partnership (PPP) dalam model pengadaan infrastruktur untuk meningkatkan partisipasi pihak swasta. Skema ini sejalan dengan juga dengan nilai kegotongroyongan bangsa Indonesia. Melalui KPS, pihak swasta bergotong royong bersama Pemerintah untuk turut serta membangun bangsa melalui investasi di bidang infrastruktur. Gotong royong diimplementasikan dalam bentuk kesediaan pihak swasta untuk ikut membangun infrastruktur, sedangkan Pemerintah memberikan dukungan dalam pelaksanaannya.
Aspek Legal KPS
Pada periode Kabinet pemerintahan sebelumnya, Pemerintah telah mengeluarkan Perpres Nomor 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dalam Penyediaan Infrastruktur sebagaimana telah diubah terakhir berdasarkan Perpres Nomor 66 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 67 Tahun 2005. Seiring berkembangnya sektor infrastruktur yang dianggap potensial untuk dikerjasamakan, Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, sebagai peraturan pengganti Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005. Dalam peraturan ini, KPS yang selanjutnya disebut dengan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) didefinisikan sebagai kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/BUMN/BUMD, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber
27
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR
fasilitas ini yakni Proyek Kereta Api Bandara Soekarno HattaManggarai dan Proyek Pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan di Jawa Timur.
daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko di antara para pihak. Dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015, cakupan jenis infrastruktur yang dapat dikerjasamakan tidak hanya kepada infrastruktur ekonomi tapi juga diperluas kepada infrastruktur sosial.
Dukungan Pemerintah terhadap KPS Untuk mendukung pengembangan infrastrukur dengan skema KPBU, Pemerintah juga telah mendirikan PPP Unit yang selanjutnya disebut Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur (Dit. PDPPI) di bawah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan. Unit ini bertugas untuk mengelola fasilitas Dukungan Pemerintah untuk proyek dengan skema KPBU.
Dalam Nota Keuangan APBN 2016 diuraikan bahwa fasilitas dukungan pemerintah yang diberikan kepada pihak swasta tidak hanya berupa dana dukungan tunai untuk proyek infrastruktur atau Viability Gap Funding (VGF), tetapi juga dalam bentuk penyiapan proyek KPBU dalam tahap penyiapan dan pelaksanaan melalui lembaga pembiayaan infrastruktur (PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero)) dengan skema Project Development Fund (PDF) serta penjaminan risiko infrastruktur yang dilakukan melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (dalam hal ini PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero)). Penyiapan proyek melalui skema PDF merupakan fasilitas yang diberikan Pemerintah kepada Penanggung Jawab Proyek (PJP) dalam rangka mempersiapkan proyek KPBU agar menarik dan siap ditawarkan kepada investor. Saat ini terdapat dua proyek yang mendapat
28
Dukungan kelayakan proyek kerja sama (VGF) merupakan dukungan Pemerintah dalam bentuk kontribusi fiskal yang bersifat finansial atas porsi tertentu dari biaya konstruksi proyek kerja sama. Dukungan kelayakan bertujuan untuk: (1) meningkatkan kelayakan finansial proyek kerja sama; (2) meningkatkan kepastian pengadaan proyek kerja sama dan pengadaan badan usaha pada proyek kerja sama sesuai dengan kualitas dan waktu yang direncanakan; dan (3) mewujudkan layanan publik yang tersedia melalui infrastruktur dengan tarif yang terjangkau oleh masyarakat. Saat ini, Menteri Keuangan telah memberikan persetujuan prinsip Dukungan Kelayakan untuk tiga proyek KPBU yakni Proyek SPAM Bandar Lampung, Proyek SPAM Umbulan, dan Proyek SPAM Semarang Barat. Dalam APBN tahun 2016 telah dialokasikan VGF (termasuk cadangan VGF) sebesar Rp1,1 triliun melalui Bagian Anggaran NonKementerian/Lembaga. Di sisi penjaminan, Pemerintah bersama dengan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) telah memberikan penjaminan untuk proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Jawa Tengah (2 x 1000 MW) setelah mengalami kemunduran jadwal tanggal pemenuhan pembiayaan (financial close date) dikarenakan pembebasan lahan yang belum selesai. Pemerintah telah menargetkan bahwa proyek ini mulai beroperasi pada tahun 2017. Selain Proyek IPP PLTU Jawa Tengah, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) dan Pemerintah telah berkomitmen untuk memberikan penjaminan kepada proyek mulut tambang 9 dan 10 di Sumatera Selatan yang saat ini sedang dalam proses
pelelangan. Adapun skema penjaminan yang akan dilakukan adalah penjaminan bersama/co-guarantee dengan Pemerintah atas prinsip pembagian risiko (risk sharing). Selain fasilitas yang disediakan tersebut, Pemerintah dapat memberikan dukungan dalam bentuk insentif perpajakan dan/atau kontribusi fiskal dalam bentuk finansial berdasarkan usulan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah. Merujuk pada amanat Perpres Nomor 38 Tahun 2015, Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.08/2015 untuk penerapan skema Availability Payment (AP) yang merupakan salah satu struktur pembiayaan guna memastikan pengembalian investasi bagi Badan Usaha (swasta) dalam skema KPBU. Availability Payment diharapkan dapat meningkatkan minat berinvestasi karena adanya kepastian pengembalian investasi bagi Badan Usaha. Availability Payment akan dibayarkan oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah selaku Penanggung Jawab Proyek Kerjasama pada masa operasi dengan suatu komitmen pembayaran jangka panjang berdasarkan target kinerja yang telah disepakati sehingga mengurangi risiko pendapatan Badan Usaha. Proyek Palapa Ring adalah proyek KPBU pertama yang memakai skema Availability Payment di Indonesia. Dengan seperangkat dukungan Pemerintah, terlepas dari tantangan dan kendala dalam pelaksanaannya, Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (Public Private Partnership) diharapkan akan dapat disediakan infrastruktur yang memadai dan merata bagi masyarakat Indonesia. n
BAKU CAKAP
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
Baku Cakap Penelaahan Teks : Dede Solihin
Online
Mengingat begitu strategisnya penelaahan yang dilakukan secara online, maka harus ada upayaupaya ke arah penyusunan suatu pola percakapan online standar sehingga struktur percakapan menjadi sistematis dan produktif. “Apa sih maksud jawaban ini?”, “Ngerti enggak ya, mereka?”, “Lama kali responnya!”, “Bingung, harus tanya apalagi?”, “Eeh ! yang nanya malah tanya!, “Lelet, nih! Jaringannya!”. Cuitan-cuitan itu mucul bukan saat browsing, apalagi update status, baca berita on line, tidak juga!, apalagi nonton youtube, bukan itu!, bukan itu!, tapi ini adalah secuil ekspresi penelaah RKA KL Online. Terus apa hubungannya dengan judul di atas? Santai saja, enggak usah sewot gitu! Alon-alon biar kelakon. Langsung tunjeb point saja (Srimulat), kondisi itu bisa saja terjadi karena pola pembakuan pertanyaan dalam penelaahan online belum ada. Menurut pengamatan penulis, setidak-tidaknya, ada 2 argumen mengapa pembakuan percakapan penelaahan online itu perlu. Pertama, pembakuan atau standardisasi apapun itu, merupakan ciri umum or-
ganisasi ber-good governance. Non sense organisasi telah melaksanakan ini dan itu, jika layanan tak miliki standar pelayanan konsumen/pemangku kepentingan/pihak ekstern. Pendek kata, sudah seharusnya bahwa semua jenis layanan punya standar pelayanan. Entah itu, bentuknya Standar Pelayanan Minimal (SPM), Standard Operating Procedure (SOP) ataupun pengaturan lainnya. Pembakuan adalah bentuk acuan sebagai barometer berucap dan bertindak orang-orang yang terlibat dalam pelayanan. Kedua, tuntutan akan adanya kecepatan dan ketepatan pelayanan. Model konvensional (tatap muka) sulit melaksanakan tugas ini. Kemampuan manusia dalam memproses kecepatan dan ketepatan layanan akan selalu paradoks, misal apabila intensitas proses banyak proses sekali kerja, ada kecenderungan ketelitian menurun. Namun, apabila tugas itu dilaku-
kan melalui pemakaian teknologi informasi, maka akan mempermudah proses kerja. Man power akan diposisikan sebagai quality control dan analisis pekerjaan. Kecepatan dan ketepatan menjadi inti dari suatu layanan. Dalam hal pemanfaatan teknologi informasi, jujur diakui bahwa sektor pemerintah belum bisa menyamai sektor swasta dalam hal penerapan dan pemanfaatan teknologi informasi.
Online bukan perkara aneh apalagi ngawang-ngawang, misal internet banking, jual-beli online, ojek online, taksi online serta ”online online” kata Saikoji dalam lirik lagunya. Dunia seakan mengkerut, perdagangan melalui online lebih nyata manfaatnya dan tumbuh pesat menjelma bagai raksasa pengguna online. Jaman sekarang, orang tidak perlu repotrepot ke pasar nyata untuk memenuhi kebutuhannya, cukup duduk, kalau perlu sambil “siul-siul” di depan komputer ter-
29
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
sambung jaringan internet, lalu goyangkan telunjuk tangan “Klik, klik, klik carilah sesuatu kebutuhan sepuasnya”. Kita tidak menyadarinya, bahwa aktivitas online telah lekat jadi kebiasaan sehari-hari, tidak berkelebihan bila dari bangun tidur sampai tidur kembali pasti ada aktivitas online. Beragam bentuk, umpamanya sosmed (facebook, twitter, instagram. Path, whatsapps, google + dll), jual-beli online, baca berita online, chatting, SMS, atau minimal pasang alarm di handphone. Istilah bahasa komputernya, aktivitas online sudah kebutuhan hingga jadi lengket dengan kegiatan sehari-hari/default. Mundur sedikit melihat kembali judul “Baku Cakap Penelaahan Online” di atas, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus versi online. Arti baku ialah standar atau tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, contoh air baku, bahasa baku, bahan baku. Percakapan dengan kata dasar cakap adalah berdialog, sementara itu online ialah jaringan. Jadi, kalau dirangkai urutan makna Baku Cakap Penelaahan Online adalah dialog ‘percakapan’ atau komunikasi berstandar menggunakan jaringan internet. Sementara itu, menurut petunjuk penyusunan RKA K/L, Penelaahan RKA K/L Online ialah penelaahan dengan menggunakan fasilitas komputer dan internet yang melibatkan peserta penelaah dan berinteraksi dalam sebuah forum online. Penelaahan melalui media online telah diterapkan sejak Tahun Anggaran 2013. Paradigma penelaahan mengalami perubahan dari offline oriented (tatap muka) menjadi online oriented (virtual). Perubahan ini merupakan loncatan besar atas ciri layanan kepada pemangku kepentingan, bolehlah dikatakan “REVOLUSI” atas pelayanan Ditjen Anggaran kepada pemangku kepentingan. Kebijakan itu sama sekali baru dan baru pertama kali, tidak pernah terbayang bahwa proses penelaahan bisa dilakukan secara online. Kebijakan itu berdampak sistemik terhadap pendokumentasian, contohnya penggunaan barcode/digital stamp pengganti tanda tangan pada petikan DIPA, perubahan proses bisnis intern pelayanan DJA serta eksternal (penguatan Biro Perencanaan K/L, Aparat Inspektorat Pemerintah (APIP)), dan sebagainya.
30
BAKU CAKAP
DJA menerapkan penelaahan online secara bertahap kepada K/L, kurang lebih 60 K/L telah melakukan penelaahan online. Rencana besarnya bahwa seluruh K/L akan melakukan penelaahan online dalam pembuatan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (RKA-K/L/DIPA) dan tidak menutup kemungkinan bahwa revisipun akan diolah melalui proses penelaahan online. Sekedar nostalgia saja, rasanya masih hangat dalam ingatan kita gambaran penelaahan offline (tatap muka). Saat itu, orang-orang satuan kerja (satker) berbondong-bondong datang ke DJA untuk melakukan penelaahan. Suasana kala itu sangat tidak nyaman karena fasilitas gedung tidak dirancang untuk keperluan rapat penelaahan dalam skala besar dan kolosal. Oleh karena itu, ruang lobby, selasar ruangan, ruang-ruang kosong disulap menjadi ruang darurat tempat penelaahan. Hiruk-pikuk dan riuh-redam suasana saat itu jadi pemandangan lumrah karena penelaahan dilakukan secara tatap muka (full body contact) dan tinggi nada volume percakapan mirip pasar, tambah ruwet
membicarakan konten RKA-K/L. Kemajuan teknologi informasi membantu terciptanya forum penelaahan nyata dalam dunia maya. Para peserta dari Pihak Pertama (Kasubdit, Kepala Seksi dan Pelaksana DJA), Pihak Kedua (Biro Perencanaan K/L) dan Pihak Ketiga (Bappenas). Mereka semua terhubung melalui Internet Protocol Address (IP address) jaringan komputer server DJA. Jalannya proses komunikasi persis seperti melakukan komunikasi via Short Message Service (SMS), cuma bedanya adalah bahwa komunikasi di antara 3 pihak tersebut diwadahi melalui aplikasi RKA K/L DIPA online. Dialog percakapan ditekankan untuk menelaah 2 tema besar RKA K/L, meliputi; tema administratif dan substantif. Forum penelaahan melalui percakapan online ini menjadi krusial karena dibentuk sebagai pengganti penelaahan offline (tatap muka). Proses ini guna memastikan bahwa penyusunan dan pengesahan Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah sesuai dengan kaidah-kaidah peng-
lagi manakala satker-satker mengerjakan perbaikan langsung di “TKP” karena dikejar deadline. Mereka selonjoran, dudukduduk, berkumpul mengerjakan perbaikan RKA KL/DIPA dekat “matalistrik” atau colokan laptop. Namun, dengan cara online kondisi itu 180 derajat berbeda, suasana hening, “sepi ing pamrih rame ing gawe” penelaahan di create di alam maya
anggaran. Forum proses ini pun ternyata direkam secara baik dan menyimpan data pelaku beserta isi percakapannya. Bilamana diperlukan, misalnya pemeriksaan atau berbagai kepentingan lainnya, maka histori percakapan itu bisa diungkap kembali (audit trail). Apakah antisipasi ke arah sana sudah terpikirkan, terwacanakan? Kiranya belum!
BAKU CAKAP
Mengingat begitu strategisnya penelaahan yang dilakukan secara online, maka semestinya harus ada upaya-upaya ke arah penyusunan suatu pola percakapan online terstandar sehingga struktur percakapan menjadi sistematis dan produktif. Perlu digarisbawahi bahwa langkah pertama yang perlu distandarkan itu adalah Pertanyaan Penelaahan. Pembakuan itu penting karena terdapat kaidah umum
yang berlaku dalam menyusun suatu pertanyaan seperti halnya kita ketahui melalui buku buku metodologi penelitian ilmiah atau pedoman penyusunan kuesioner. Rumusan pertanyaan ituharus memenuhi unsur reliabilitas (handal) dan validitas (sahih) dengan kata lain pertanyaan itu hendaknya mengukur apa yang semestinya harus diukur dan dengan alat ukur yang akuntabel. Pertanyaan-pertanyaan itu diturunkan dari ruang lingkup tugas dan fungsi Kementerian Keuangan selaku Chief Financial Officer (CFO). Petunjuk tugas dan fungsi itu bisa digali dari UU Keuangan Negara, PP petunjuk penyusunan RKA K/L dan aturan-aturan turunannya. Hasil perumusan akan menjadi daftar pertanyaan dan membentuk suatu daftar pertanyaan dengan keluasan dan kedalaman yang berbeda-beda. Tentunya keluasan dan kedalaman ini sangat dipengaruhi oleh besar/kecil pagu dan struktur kegiatan K/L. Keluasan pertanyaan terkait
dengan variasi atau ragam pertanyaan karena faktor pagu dan kompleksivitas tiap K/L berbeda-beda (persfektif horizontal) begitupun kedalaman (persfektif vertikal). Misal pertanyaan-pertanyaan untuk K/L yang mengelola sebagian besar belanja operasional/mengikat/non discretionary (K/L kecil) berbeda dengan yang mengelola belanja non operasional/tidak mengikat/discretionary (K/L besar). Pertanyaan-pertanyaan itu akan mem-
bentuk suatu rangkaian tema/topik dan bisa disebut sebagai upaya CFO untuk mengecek ulang dan memastikan bahwa alokasi dana telah memenuhi kebutuhan dasar dan kegiatan strategis Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Respon atau jawaban dari pihak mitra adalah ruang atau cakupan yang harus dianalisa oleh Kasubdit, Kepala Seksi dan Penelaah DJA dan tentunya Bappenas. Jawabanjawaban atas pertanyaan-pertanyaan, bisa merupakan refleksi atas proses penyusunan RKA-K/L yang telah dilampaui (review baseline, tritlateral meeting) dilakukan oleh K/L sebagai Chief Operational Officer (COO). Dari jawaban-jawaban itulah kita bisa mengerti apa saja yang telah dilakukan oleh K/L terkait dengan proses penganggaran. Seperti telah disampaikan sebelumnya, bahwa pertanyaan-pertanyaan itu harus bersumber dari tugas dan fungsi dari
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
CFO melalui UU, PP dan berbagai aturan turunannya. Mengutip dari buku Desain Penelitian MSDM dan Perilaku Karyawan (Umar, Husein, 2008 : 14) bahwa struktur teori dilihat dari tingkatannya adalah dari yang tinggi sampai terendah yaitu bermula dari Paradigma, Teori dan Model, Dalil, Konsep, Dimensi, Indikator. Berdasarkan pola pikir itu, maka pertanyaan-pertanyaan itu sedemikian rupa disusun bersumber dari dan diturunkan dari urutan terakhir yaitu indikator. Alur pikir itu ternyata mirip dengan substansi yang diatur dalam tata urutan peraturan, semakin ke bawah tingkatan maka akan didapat pengaturan semakin operasional. Guna keperluan percakapan yang efektif dan produktif maka tidak salah jika kita juga memahami efektivitas kalimat dengan memperhatikan diantaranya ragam bahasa, kelogisan berbahasa, diksi (pilihan kata). Ragam bahasa misalnya ragam umum dan tak umum, raga umum dan ragam sopan, ragam umum dan ragam sentuh rasa, ragam umum tanpa pesona, ragam umum dan ragam stalistik, ragam umum dan ragam diplomasi, ragam lisan dan ragam tulisan. Kelogisan berbahasa seperti kalimat sintetis dan kalimat analitis, kontradiksi dan analisis komponen, pertentangan makna, tautologi dan predikasi dikutif dari buku Belajar Mengemukakan Pendapat (Parera, Jos Daniel, 1991). Unsur-unsur tersebut sangat membantu dalam proses penyusunan pertanyaan dan menganallisis jawaban dalam forum penelaahan. Apabila pertanyaan-pertanyaan telah disusun dan ilmiah maka wajib hukumnya untuk diujicobakan di lingkungan dan ekstern DJA sehingga reliabilitas dan validitas pertanyaan dapat dipertanggungjawabkan (policy by reseach). Coba simak 2 kalimat yang barangkali kita pernah melihatnya :” Terima Serpis Jok” atau kalimat lainnya, “Menerima Servise Joke”, maksud sama, tulisan berbeda akan dijumpai perbedaan arti. Begitupun pemilihan kata (diksi) untuk kata “menggagahi” dengan “menggagahkan” jauh berbeda. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pembakuan percakapan dalam penelaahan RKA K/L online sangat penting. Akhirnya dengan sepenuh hati, transparan, cepat, akurat dan aman untuk memenuhi kepuasan pemangku kepentingan adalah salah satu nilai-nilai keuangan yang bernama pelayanan. n
31
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
B U D G E T T R A N S PA R E N C Y T O U R
SURVEI TRANSPARANSI ANGGARAN INDONESIA Teks : IG. A. Krisna Murti Rs
Survei transparansi anggaran adalah satu-satunya alat yang digunakan untuk mengukur aktivitasaktivitas yang telah dilakukan oleh sebuah negara dalam mengimplementasikan inisiatif transparansi anggaran, termasuk melihat bentuk partisipasi publik dalam proses penyusunan anggaran hingga pengawasan yang dilakukan oleh legislatif dan lembaga audit.
K
ebanyakan pengukuran/penilaian atas akuntabilitas proses penganggaran pemerintah didasarkan pada dokumen-dokumen atau laporan-laporan keuangan yang telah dihasilkan, lain halnya dengan survei transparansi anggaran yang dilaksanakan oleh lembaga independen ini. Hasil survei ditentukan dari jawaban atas 140 pertanyaan dalam
32
kuesioner dan direviu oleh tenaga ahli. Tiga puluh satu pertanyaan diantaranya ditujukan khusus untuk mengukur tingkat partisipasi publik dalam proses penganggaran. Dari hasil survei tersebut, pemerintah diberi kesempatan untuk melakukan reviu dan memberikan komentar atas hasil survei.
Survei transparansi anggaran mencakup pengukuran atas tiga aspek utama: ketersediaan informasi anggaran untuk publik, kesempatan publik untuk berpartisipasi di dalam proses penganggaran, dan peran strategis lembaga pengawas termasuk legislatif dan BPK. Mayoritas pertanyaan-pertanyaan dalam survei mengukur tentang apa yang telah
B U D G E T T R A N S PA R E N C Y T O U R
dilakukan dan bukan pada apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pengukuran ketersediaan informasi anggaran untuk publik mengacu pada dokumen-dokumen anggaran yang diterbitkan pada setiap tahapan dalam siklus penyusunan anggaran termasuk materi dan data anggaran yang tercantum di dalamnya. Terdapat sedikitnya 8 dokumen utama yang harus dilihat untuk memastikan apakah konten yang terdapat di dalamnya telah memenuhi kriteria atau tidak. Kriteria tersebut disusun dalam panduan survei yang telah disepakati organisasi-organisasi multilateral, seperti IMF (Code of Good Practices on Fiscal Transparency), World Bank, OECD (Best Practices for Fiscal Transparency), dan the International Organization of Supreme Audit (Lima Declaration of Guidelines of Supreme Audit Precepts). Panduan ini dapat diterapkan di beberapa negara yang memiliki sistem penganggaran yang berbeda, termasuk pada negara dengan tingkat pendapatan yang berbeda pula. Survei transparansi anggaran tahun 2015 dilaksanakan juga oleh IBP (International Budget Partnership) bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat di 102 negara selama 18 bulan (di Indonesia bekerja sama dengan Sekretariat Nasional Forum Transparansi Anggaran – Seknas FITRA). Ke 102 negara yang disurvei mencakup seluruh kawasan di dunia dengan tingkat pendapatan yang beragam. Survei transparansi anggaran tahun 2015 ini dilakukan untuk yang kelima kalinya sejak tahun 2006. Setelah tahun 2006, survei serupa dilakukan pada tahun 2008, 2010, 2010, 2012 dengan bebearapa perbaikan metodologi survei. Sebagai panduan dalam menentukan indeks transparansi anggaran, sebagian besar jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner dikategorikan ke dalam 5 skala. Jawaban “a” dan “b” mengindikasikan bahwa inisiatif keterbukaan anggaran telah dilakukan sesuai dengan kriteria dan praktik-praktik pada umumnya. Huruf “a” berarti telah memenuhi standar, sedangkan “b” masih sedikit di bawah standar. Jawaban “c” mengandung arti bahwa usaha-usaha yang telah dilakukan masih kurang sehingga tidak dapat memenuhi standar/
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
kriteria. “D” untuk usaha yang sangat kurang dan tidak memenuhi kriteria. Sedangkan untuk jawaban “e” adalah tidak ada inisiatif sama sekali untuk mengimplementasikan transparansi anggaran. Beberapa pertanyaan lainnya dengan 3 skala, “a” (sesuai standar), “b” (tidak sesuai standar), dan “c” (tidak tersedia/tidak melakukan usaha apapun terkait keterbukaan anggaran). Jawaban untuk skala 5 masing-masing diberi nilai : a=100, b=67, c=33, d=0, e=tidak dimasukkan dalam perhitungan. Nilai untuk jawaban dengan skala 3 : a=100, b=0, c=tidak dimasukkan dalam perhitungan.
Open Budget Index (OBI) Rata-rata nilai jawaban atas 109 pertanyaan survei, setelah direviu oleh tenaga ahli, menghasilkan nilai Indeks Transparansi Anggaran, biasa dikenal dengan OBI dengan skala penilaian 1 – 100. Nilai OBI mencerminkan upaya-
Tabel 1 Dokumen Anggaran
Batas Waktu Publikasi / Penayangan
Pre-Budget Statement (KEMPPKF)
Satu bulan sebelum jadwal pengajuan Executive Budget Proposal ke DPR
Enacted Budget (APBN)
Sekurang-kurangnya 3 bulan setelah ditetapkan DPR
Citizens Budget (Budget in Brief)
Pada masa pembahasan dan sebelum ditetapkan DPR (untuk RAPBN)
In-Year Report (Laporan Bulanan)
Sekurang-kurangnya 3 bulan setelah berakhirnya tahun anggaran
Mid-Year Report (Laporan Semester I)
Sekurang-kurangnya 3 bulan setelah periode pelaporan berakhir
Year-End Report (LKPP)
Sekurang-kurangnya 12 bulan setelah berakhirnya tahun anggaran
Audit Report (Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPP)
Sekurang-kurangnya 18 bulan setelah berakhirnya tahun anggaran
Executive Budget Proposal (RAPBN)
Pada masa pembahasan dan sebelum ditetapkan DPR
33
B U D G E T T R A N S PA R E N C Y T O U R
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam mengimplementasikan transparansi anggaran sesuai kriteria yang ditetapkan atas 8 dokumen utama. Salah satu tolok ukurnya adalah batas waktu penerbitan/penayangan atas 8 dokumen utama tersebut (tabel 1):
dibanding survei tahun 2012 dengan nilai OBI 62 (peringkat 1 di kawasan Asia). Berikut grafik perkembangan indeks
dibandingkan dengan rata-rata nilai OBI dari seluruh negara yang disurvei, nilai OBI Indonesia tahun 2015 masih di atas
Grafik 2
“Secara keseluruhan indeks transparansi anggaran (OBI) Indonesia tahun 2015 adalah 59 (informasi/data anggaran yang disediakan oleh Pemerintah untuk publik masih terbatas).” Pada hasil survei tahun 2015, nilai yang diberikan untuk Indonesia untuk aspek partisipasi publik adalah 35 (skala 100), artinya masih cukup lemah dalam memberi kesempatan kepada publik untuk berpartisipasi dalam proses
Grafik 1
penyusunan anggaran. Nilai untuk aspek pengawasan oleh legislatif dan BPK masing-masing 82 dan 75. Secara keseluruhan indeks transparansi anggaran (OBI) Indonesia tahun 2015 adalah 59 (informasi/data anggaran yang disediakan oleh Pemerintah untuk publik masih terbatas). Nilai indeks ini menurun
34
transparansi anggaran – OBI Indonesia dalam 5 kali survei (Grafik 1). Dibandingkan dengan beberapa negara di kawasan Asia dan Australia, nilai OBI Indonesia tahun 2015 masih berada di peringkat 4, dibawah Selandia Baru, Korea Selatan, dan Filipina. Namun, jika
rata-rata (Grafik 2). Dengan nilai capaian OBI 59, IBP kemudian merekomendasikan kepada Indonesia beberapa hal terkait kriteria transparansi anggaran yang belum/tidak dipenuhi. Salah satunya, pada dokumen Pre-Budget Statement (Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal) yang mendapat nilai kurang pada saat survei tahun 2015 karena dokumen tersebut tidak dipublikasikan, pada survei berikutnya diharapkan dapat dipublikasikan tepat waktu. Rekomendasi lainnya adalah saran bagi Pemerintah untuk menyusun suatu mekanisme yang mengatur tentang partisipasi publik dalam proses penyusunan anggaran, contohnya pada saat public hearing, pelaksanaan survei, atau diskusi/FGD, yang tujuannya adalah untuk menangkap permasalahan-permasalahan anggaran dilihat dari kacamata publik. Yang menarik, dari beberapa rekomendasi yang disarankan, Pemerintah diharapkan dapat menyiapkan atau membentuk suatu entitas yang bertugas untuk membantu legislatif dalam melakukan riset tentang anggaran sehingga pengawasan terhadap proses penyusunan anggaran dapat berjalan secara efektif yang berujung pada meningkatnya kualitas penyusunan anggaran (APBN-red). n
T R A N S PA R A N S I A N G G A R A N
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
dan
Partisipasi Publik dalam Penganggaran
Teks : Aries Setiadi
Publik semakin menunjukan kepedulian terhadap transparansi anggaran dan menuntut akses informasi anggaran pemerintah. Upaya untuk melibatkan publik dalam proses penganggaran juga kini banyak diadopsi baik oleh negara maju maupun negara berkembang dan dalam skala kecil maupun besar. Di era digital, berbagai media berbasis teknologi informasi mendorong peningkatan transparansi anggaran dan partisipasi publik. Open Budget Index Transparansi anggaran mengacu pada ketersediaan anggaran penerimaan dan belanja negara yang dapat diakses oleh publik secara bebas dan tidak terbatas
waktu. Anggaran merupakan dokumen kunci dan sumber informasi masyarakat untuk mengetahui kebijakan pemerintah, program prioritas, dan alokasi pendanaannya. Transparansi menjadi esensial karena dapat menutup ruang bagi pe-
nyalahgunaan anggaran, memberikan ruang bagi publik untuk memberikan masukan kepada pemerintah, serta membantu meningkatkan kepercayaan publik. Keterbukaan anggaran menjadi sebuah prasyarat bagi akuntabilitas pemerintah.
35
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
International Budget Partnership, organisasi internasional yang mengadvokasi peningkatan tata kelola pemerintah dan transparansi anggaran, melakukan penilaian Open Budget Survey setiap dua tahun di lebih dari seratus negara. Survei tersebut meliputi 109 pertanyaan terkait tata kelola, akses informasi, partisipasi publik, dan pengawasan. Hasil Open Budget Survey kemudian dikompilasi menjadi Open Budget Index dan dikelompokan menjadi lima tahapan transparansi anggaran: kurang (skor 0-20), minimal (20-40), terbatas (40-60), substansial (60-80), dan ekstensif (80-100).
Open Budget Index juga diperbandingkan antar negara. Selandia Baru, Inggris, Perancis, Afrika Selatan, dan Norwegia merupakan negara-negara yang bergantian menjadi peringkat lima besar terbaik dalam survei transparansi anggaran ini. Sementara Guinea Khatulistiwa, Irak, Lebanon, Myanmar, dan Qatar dinilai kurang transparan dalam proses penganggaran pemerintahnya. Sejak keikutsertaannya dalam Open Budget Survey di tahun 2006, Indonesia terus melakukan perbaikan dalam transparansi penganggaran. Pada saat pertama kali survei ini dilakukan, Indonesia hanya meraih skor 41 dan berada di bawah rata-rata indeks keterbukaan anggaran global (lihat Grafik 1). Informasi dalam dokumen penganggaran
T R A N S PA R A N S I A N G G A R A N
yang diterbitkan Pemerintah dinilai tidak memenuhi standar keterbukaan informasi untuk publik dan terdapat inkonsistensi dalam penerbitannya. Akses bagi publik untuk memperoleh dokumen anggaran dan berpartisipasi dalam proses dengar pendapat (public hearing) di badan legislatif juga dinilai sangat terbatas. Pada tahun-tahun berikutnya, dengan berbagai upaya untuk mendistribusikan informasi dan dokumen anggaran untuk publik, Indonesia berhasil menunjukan peningkatan dan selalu berada di atas rata-rata indeks keterbukaan anggaran global. Dalam Open Budget Survey tahun 2015, Indonesia mendapatkan nilai indeks sebesar 59, yang menunjukan bahwa Indonesia cukup baik dalam mendistribusi dokumen anggaran serta menjalankan pengawasan anggaran dengan baik oleh badan legislatif maupun badan audit. Meskipun demikian, Indonesia masih tetap dinilai lemah dalam menyediakan kesempatan bagi publik untuk berperan aktif dalam proses penganggaran. Menjawab tantangan tersebut, Direktorat Jenderal Anggaran berupaya untuk terus meningkatkan akses informasi anggaran dan penganggaran untuk publik. Berbagai dokumen anggaran dan buku panduan penganggaran dapat dibaca dan diunduh melalui situs resmi Direktorat Jenderal Anggaran. Informasi dan data
Grafik 1 Perkembangan Open Budget Index, 2006 - 2015
dalam Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pun kini tersedia dalam format infografis yang lebih mudah dicerna. Selain itu, sosialisasi anggaran juga dilakukan dengan mengunjungi sekolah dan universitas di berbagai daerah melalui program DJA Menyapa dan Budget Goes to Campus. Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih relatif lebih transparan dalam proses penganggarannya. Pada tahun 2012, Indonesia bahkan sempat menjadi negara dengan indeks keterbukaan anggaran tertinggi. Namun, Filipina berhasil meningkatkan upaya mereka sehingga berhasil menjadi yang terbaik dalam Open Budget Survey 2015. Dalam lima survei yang telah dilaksanakan International Budget Partnership, Indonesia dan Filipina selalu bergantian menjadi yang terbaik dalam berusaha menyediakan transparansi anggaran di Asia Tenggara (lihat Grafik 2). Sebagai catatan, Open Budget Survey ini tidak mengikutsertakan Singapura sebagai negara yang disurvei di kawasan Asia Tenggara. Dalam berbagai literatur, Singapura disebutkan telah memberikan akses anggaran dan laporan keuangan secara terbuka kepada publik. Untuk melibatkan partisipasi masyarakat, pada tahun 2013, Singapura juga pernah menggelar kompetisi bagi warganya untuk mengajukan berbagai inisiatif anggaran dan kebijakan di bidang sosial, ekonomi dan perpajakan. Sementara Brunei Darussalam dan Laos dianggap sebagai negara yang pemerintahannya kurang memiliki komitmen politik dalam transparansi anggaran.
Penganggaran Partisipatif Penganggaran partisipatif (participatory budgeting) menjadi salah satu topik yang banyak dibahas dalam perkembangan transparansi penganggaran. Penganggaran partisipatif merupakan upaya untuk melibatkan publik dalam proses penganggaran dan pengambilan keputusan. Mekanisme ini dipercaya dapat mengurangi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga dapat meningkatkan kredibilitas pemerintah. Dengan menyediakan media bagi publik untuk menyuarakan pendapatnya, proses anggaran pemerintah menjadi
36
T R A N S PA R A N S I A N G G A R A N
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
Belo Horizonte, Brazil praktik yang sama menunjukan jumlah partisipasi yang meningkat tujuh kali lipat. Sosialisasi melalui media sosial yang lebih mudah dan menjangkau banyak orang menjadi alasan utama di balik peningkatan tersebut.
lebih inklusif. Penganggaran partisipatif umumnya melibatkan beberapa langkah dasar meliputi akses bagi publik untuk mengidentifikasi anggaran pemerintah dan mengajukan proposal anggaran untuk membiayai program tertentu. Publik juga dapat memilih berbagai alternatif proposal anggaran yang ada untuk menjadi program prioritas. Pemerintah lalu mengimplementasikan program prioritas yang diajukan melalui proses penganggaran partisipatif. Berawal di Porto Alegre, Brazil pada tahun 1989, partido dos trabalhadores (partai buruh) menginginkan emansipasi kelas pekerja dengan model demokrasi sosialis pasca rezim militer. Olivio Dutro walikota Porto Alegre dari Partai Buruh saat itu kemudian menggulirkan kebijakan orcamento participativo (anggaran partisipatif) sebagai kontrak sosial dalam menyusun anggaran yang berkeadilan. Penelitian Bank Dunia menunjukkan bahwa penganggaran partisipatif telah membawa perbaikan langsung dalam pengadaan fasilitas publik di Porto Alegre. Misalnya, jumlah sekolah meningkat empat kali lipat sejak tahun 1986 dan cakupan saluran air minum dan limbah meningkat hingga 98 persen rumah tangga dalam satu dekade pertama. Partisipasi aktif publik dalam penganggaran hingga kini berjalan di berbagai negara. Di Kota New York, Amerika Serikat, warga dan dewan kota bekerja sama dalam menentukan program yang akan dianggarkan oleh pemerintah kota. Sementara di Freiburg, Jerman, warga
mendapatkan akses data dan dapat menggunakan simulator penganggaran untuk mengetahui dampak dari setiap alternatif alokasi anggaran.
Peranan Teknologi Informasi Perkembangan teknologi informasi memiliki potensi dalam mendorong peningkatan transparansi anggaran dan implementasi penganggaran partisipatif. Teknologi informasi seperti telepon selular dan internet berperan dalam memberikan akses yang lebih luas serta mobilisasi partisipasi yang lebih mudah dan murah. India dalam proses perencanaan anggaran di tahun 2016/2017 menginisiasi program MyGov dengan menyediakan media daring (online platform) untuk menjaring opini masyarakat dalam memprioritaskan anggaran negara. Hanya dalam beberapa bulan, lebih dari tujuh puluh ribu ide masyarakat India terkait anggaran terkumpul dalam fasilitas tersebut. Menteri Keuangan India, Arun Jaitley, menyebutkan bahwa setidaknya sepuluh dari berbagai program yang direncanakan dalam anggaran Pemerintah India tahun ini merupakan hasil masukan dari publik yang disalurkan melalui media MyGov. Pemanfaatan teknologi informasi dipercaya meningkatkan partisipasi publik secara signifikan. Pengalaman di Rosario, Argentina menunjukan hasil penganggaran partisipatif yang meningkat tiga kali lipat setelah menggunakan media berbasis teknologi. Sementara di
Teknologi informasi juga dapat menjadi media bagi publik untuk memahami dan mengawasi pelaksanaan anggaran Pemerintah ataupun sebaliknya. Pemerintah Meksiko menyediakan media daring Transparencia Presupuestaria yang berisikan informasi mengenai anggaran pemerintah, program pembangunan berjalan, dan peta interaktif yang menunjukan di mana fasilitas publik sedang dibangun. Hal serupa pernah diimplementasikan di Kota Solo. Dengan dukungan sistem informasi geografis, media daring Solo Kota Kita menyediakan peta interaktif bagi warga Solo untuk memantau fasilitas publik seperti klinik kesehatan dan sekolah. Peta dan visualisasi yang dihasilkan dapat dicetak dan digunakan dalam proses musyawarah warga. Sayangnya media ini tidak diperbarui secara rutin. Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam menjaring partisipasi masyarakat. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia sampai dengan Februari 2016, terdapat 88,1 juta pengguna internet dan 48 persen diantaranya adalah pengguna internet aktif harian. Selaras dengan itu, terdapat pula 79 juta pengguna media sosial di Indonesia. Populasi media daring ini dapat menjadi sumber bagi pemerintah untuk menjaring masukan dalam perencanaan pembangunan serta pengalokasian anggaran dan pengawasannya. Tentunya pemerintah tidak boleh semata-mata mengandalkan akses daring untuk memperluas akses transparansi anggaran dan menjaring aspirasi. Pemerintah tetap harus menyalurkan informasi dan mempertimbangkan masukan warga di area yang belum terjangkau fasilitas internet. Transparansi anggaran dan penganggaran partisipatif, baik secara daring maupun luring, pada tujuannya merupakan sarana bagi pemerintah untuk membantu menentukan anggaran prioritas yang dapat memberikan manfaat bagi khalayak banyak. n
37
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
MENUJU SISTEM PERLINDUNGAN
MENUJU SISTEM PERLINDUNGAN PURNA TUGAS PNS YANG BARU
Teks : Ade Permadi dan Heri Yulianto
S
ecara alamiah siklus hidup akan bergerak dari mulai bayi, anak-anak, remaja, dewasa, dan sampailah ke masa tua. Tentu dari setiap fase yang dilewati, setiap orang mendambakan kehidupan yang sejahtera. Dambaan atau harapan itulah yang mendorong manusia untuk bekerja secara optimal. Berpijak dari pemikiran ini, maka tak mengherankan bila unit-unit organisasi/ekonomi berupaya untuk merancang sistem manajemen sumber daya manusia dengan sebaikbaiknya dan selalu berupaya memberikan nilai tambah pada kesejahteraan pegawainya, baik selama aktif maupun pada saat berhenti atau pensiun. Saat ini, berdasarkan perangkat legal yang ada yakni UU No. 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai dan PP No. No. 25 Tahun 1981 yang telah diubah dengan PP No. 20 Tahun 2013 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil
38
(PNS), PNS mendapatkan perlindungan kesejahteraan ketika memasuki masa purnatugas dalam bentuk Pensiun dan Tabungan Hari Tua (THT). Program Pensiun dan Pendanaan Secara umum terdapat dua kutub program pensiun yang lazim dikenal yakni program pensiun manfaat pasti (defined benefit) dan program pensiun iuran pasti (defined contribution) 1. Program pensiun manfaat pasti (PPMP) Dalam PPMP, peserta dijanjikan untuk memperoleh manfaat pensiun dengan besaran yang telah ditentukan. Rumus manfaat pensiun sudah ditetapkan dalam Peraturan. Adapun besaran manfaat pensiun ditentukan berdasarkan perhitungan aktuaris. Besarnya iuran didasarkan pada kebutuhan dana yang harus disisihkan sekarang untuk merealisasikan
pembayaran manfaat pensiun. Pada umumnya, porsi iuran peserta telah ditetapkan dalam peraturan. Sedangkan porsi iuran pemberi kerja disesuaikan dengan manfaat pensiun yang dijanjikan setelah dikurangi dengan porsi iuran peserta. 2. Program pensiun iuran pasti (PPIP) Pada PPIP, besar iuran ditetapkan dalam peraturan. Manfaat pensiun yang diperoleh dari PPIP bergantung kepada hasil pengembangan yang diperoleh. Oleh karena itu, iuran yang dikumpulkan harus diinvestasikan seoptimal mungkin agar hasil pengembangan juga optimal. Setiap peserta memiliki akun untuk mencatat akumulasi iuran dan hasil pengembangannya. Sehingga ketika peserta telah memasuki usia pensiun, saldo yang dimiliki dapat langsung diketahui. Dalam PSAK 24 dinyatakan bahwa program pensiun iuran pasti adalah
MENUJU SISTEM PERLINDUNGAN
program imbalan pascakerja dimana entitas membayar iuran tetap kepada entitas terpisah (dana) dan tidak memiliki kewajiban hukum atau kewajiban konstruktif untuk membayar iuran lebih lanjut jika dana tersebut tidak memiliki aset yang cukup untuk membayar seluruh imbalan kerja terkait dengan jasa yang diberikan oleh pekerja pada periode berjalan dan periode sebelumnya. Dalam pendanaan program pensiun di atas, terdapat beberapa skema pendanaan pensiun yang dikenal antara lain: 1. Pay As You Go. Dalam skema ini, iuran yang terkumpul dari peserta aktif akan digunakan untuk membiayai pembayaran manfaat pensiunan yang telah ada, untuk peserta aktif akan diberikan “janji” atas kontribusi yang diberikannya 2. Fully Funded. Dalam skema ini, iuran dari peserta aktif akan diakumulasikan dalam suatu dana pensiun. Dana pensiun yang terkumpul akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk pembayaran manfaat pensiun di masa yang akan datang. Demikian pula untuk program THT, dikenal program THT manfaat pasti dan program iuran pasti. Seperti halnya dalam PPMP, program THT manfaat pasti juga sudah menghitung manfaat yang akan diterima peserta dari awal dan kemudian menghitung besar iuran untuk dapat memenuhi manfaat tersebut. Sebaliknya, dalam program THT iuran pasti, besarnya manfaat tidak ditentukan di awal dan akan sangat bergantung pada besarnya iuran, hasil pengembangan, dan lamanya bekerja. Praktik Penyelenggaraan Saat Ini Sesuai dengan amanah UU No. 11 Tahun 1969, program pensiun PNS menganut program pensiun manfaat pasti dengan sistem pendanaan fully funded dan dilaksanakan oleh suatu dana pensiun PNS. Adapun formula manfaat pastinya diatur bahwa besarnya manfaat pensiun pokok setiap bulan adalah: 2,5% X jumlah tahun masa kerja X gaji pokok terakhir (catatan: jumlah maksimum adalah sebesar 75% dari gaji pokok terakhir). Mengingat sampai dengan saat ini
dana pensiun PNS belum terbentuk, Pemerintah melaksanakan program pensiun PNS dengan menggunakan sistem pendanaan pay as you go yaitu pembayaran manfaat pensiun kepada PNS yang memasuki usia pensiun dibiayai seluruhnya dari APBN. Iuran pegawai yang dipotong dari gaji hanya diakumulasikan dan dikelola oleh PT Taspen (Persero). Besarnya iuran adalah 4,75% dari gaji
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
sanaan dari Undang-Undang ini yang mengatur mengenai program pensiun PNS. Dengan demikian, sampai saat ini, pelaksanaan jaminan pensiun PNS masih mengacu pada UU No. 11 Tahun 1969 dan peraturan pelaksanaannya. Selanjutnya, di Pasal 91 UU No. 5 Tahun 2014 diatur bahwa pengelolaan program jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS diatur dalam Peraturan Pemerintah
Skema Program Pensiun PNS
pokok plus tunjangan keluarga.
(PP).
Terkait program THT, saat ini PNS mengikuti program manfaat pasti. Manfaat THT dihitung berdasarkan suatu formula/rumusan aktuaria dan mengacu pada gaji pokok terakhir. Pendanaannya berasal dari iuran PNS sebesar 3,25% dari gaji pokok plus tunjangan keluarga. Namun, karena formula manfaat mengacu pada gaji pokok terakhir maka setiap ada kenaikan gaji pokok menimbulkan pembayaran Unfunded Past Service Liability (UPSL). UPSL timbul karena akumulasi dana yang terkumpul tidak dapat memenuhi kewajiban yang harus dibayar. Akumulasi dana dihimpun sepanjang masa kerja pegawai. Biasanya gaji di awal lebih rendah dibandingkan gaji terakhirnya. Padahal, formula perhitungan manfaat menggunakan gaji pokok terakhir. Jika terdapat UPSL maka Pemerintah mengalokasikan dana untuk menutupi kekurangan pendanaan program THT tersebut.
Sehubungan dengan itu, perlu disusun regulasi yang baru dalam bentuk PP untuk memayungi pelaksanaan program jaminan pensiun dan jaminan hari tua ke depan. Dalam rangka penyusunan PP dimaksud paling tidak terdapat 2 rambu yang harus dipedomani yaitu pengaturan dari regulasi yang lebih tinggi yakni undang-undang dan rambu yang bersifat konsepsional yang lazim diterapkan dalam penyusunan program jaminan pensiun dan jaminan hari tua.
Arah Ke Depan Berdasarkan Pasal 130 UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara disebutkan bahwa dengan berlakunya UU ini, maka UU No. 11 Tahun 1969 dan peraturan pelaksanaannya tetap berlaku sampai ditetapkannya peraturan pelak-
Beberapa pengaturan dalam UU No. 5 tahun 2014 yang dapat menjadi pedoman dalam penyusunan PP mengenai program jaminan pensiun dan jaminan hari tua antara lain: • Jaminan pensiun PNS dan jaminan hari tua PNS diberikan sebagai perlindungan kesinambungan penghasilan hari tua, sebagai hak dan sebagai penghargaan atas pengabdian PNS. • Jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS mencakup jaminan pensiun dan jaminan hari tua yang diberikan dalam program jaminan sosial nasional. • Sumber pembiayaan jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS berasal dari pemerintah selaku pemberi kerja
39
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
dan iuran PNS yang bersangkutan. PNS diberikan jaminan pensiun apabila: a. meninggal dunia; b. batas permintaan sendiri dengan usia dan masa kerja tertentu; c. mencapai batas usia pensiun; d. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban.
•
Dari sisi konsepsi, penyusunan program tentu harus didesain dengan hatihati dan cermat. Program harus secara optimal bisa menyeimbangkan kriteria adequacy (kecukupan/memadai), affordability (pembiayaan terjangkau), dan sustainability (keberlanjutan program). Program harus bisa memberikan manfaat yang cukup untuk pesertanya. Makna cukup ini bisa sangat relatif, tetapi International Labor Organization (ILO) merekomendasikan angka Replacement Rate/Replacement Ratio (RR) sebesar 40% dari penghasilan sebagai angka yang dipandang memadai untuk mempertahankan hidup yang layak. RR adalah perbandingan antara penghasilan pensiun dengan penghasilan ketika masih aktif bekerja. Contoh, manfaat pensiun yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan: 1% X (masa iur : 12 bulan) X (rata-rata upah tahunan tertimbang selama mengiur : 12). Secara sederhana formula tersebut dapat dimaknai bahwa apabila seseorang bekerja selama 30 tahun maka dia akan memperoleh pensiun sebesar 30% dari rata-rata gaji bulanan selama bekerja. Saat ini iuran pensiun yang dipotong adalah sebesar 4,75% dari gaji pokok plus tunjangan keluarga. Dengan asumsi persentase iuran tersebut masih terjangkau oleh PNS maka persentase tersebut dapat digunakan sebagai iuran program pensiun yang baru. Tentu sebagaimana amanat UU No. 5 tahun 2014 di atas, pemerintah baik pusat maupun daerah juga akan memberikan kontribusi guna pendanaan program tersebut. Terkait dengan keberlanjutan program,
40
MENUJU SISTEM PERLINDUNGAN
untuk memperoleh hasil yang tepat, tentu harus dilakukan perhitungan secara aktuaria terutama menyangkut arus kas (cash flow) program. Meskipun demikian, ada salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk menilai sustainability program jaminan PNS yang disebut dengan Contingent Fund Reserve (CFR). Apabila program bisa memelihara angka CFR minimal sekitar 11 tahun maka hal ini dipandang sudah cukup memadai. Angka ini menunjukkan berapa lama akumulasi dana program bisa mendanai program bila terdapat masalah/ketidaklancaran dana yang masuk. Berdasarkan simulasi sederhana dan menggunakan kriteria-kriteria di atas yakni RR minimal 40% dari rata-rata penghasilan selama bekerja, iuran pegawai berkisar 4,75% dari penghasilan, dan CFR berkisar 11 tahun sebagai acuan perhitungan maka didapat 2 hasil yaitu: • Replacement Ratio (RR) dapat mencapai 50% dari penghasilan rata-rata selama bekerja. • Iuran pemerintah berkisar 5% s.d 6,2% dari penghasilan bergantung dari pola pembayaran iuran apakah bersifat flate dari awal program atau mulai dari iuran rendah dan secara bertahap meningkat sampai menjadi 6,2%. Dengan hasil simulasi tersebut, apabila besar iuran dipandang terlalu besar tentu persentasenya dapat diturunkan dengan konsekuensi Replacement Ratio (RR) juga akan turun dibawah 50%. Seperti halnya jaminan pensiun di atas, program jaminan hari tua juga dapat dianalisis dengan memakai iuran yang saat ini berlaku yaitu 3,25% sebagai titik awal analisis. Namun, berbeda dengan jaminan pensiun yang menggunakan skema manfaat pasti maka jaminan hari tua ada baiknya dikelola berdasarkan skema iuran pasti. Pertimbangannya, skema manfaat pasti seperti yang saat ini berlaku seringkali menimbulkan kewajiban UPSL bagi pemerintah. Disamping itu, sesuai dengan prinsip investasi yang baik maka diversifikasi perlu dilakukan untuk meminimalisasi risiko yang mungkin terjadi. Jika jaminan pensiun dengan rentang total iuran antara 10%-11% dapat mendanai RR sebesar 50% maka secara sederhana program jaminan hari tua akan
bisa mendanai Replacement Ratio (RR) sebesar 25% apabila total iuran antara 5%-5,5%. Dengan skenario ini dan apabila iuran pegawai tetap dipertahankan sebesar 3,25% maka iuran yang akan dibayar pemerintah, baik pusat maupun daerah berkisar antara 1,75%-2,25%. Tentu pemanfaatan jaminan hari tua tidak seluruhnya bersifat anuitas (dibayar tiap bulan). Peserta bisa saja mengambil misalnya 50% dari total manfaat seluruhnya dimuka dan sisanya dianuitaskan untuk menambah pensiun bulanan. Namun, yang perlu digarisbawahi, skema program jaminan pensiun dan jaminan hari tua sebagaimana dipaparkan di atas kemungkinannya lebih cocok diberikan hanya kepada pegawai baru yang masuk setelah tanggal cut off. Apabila system fully funded diterapkan juga untuk PNS lama maka pemerintah akan menanggung beban UPSL yang sangat signifikan karena selama ini pemerintah belum membayar iuran program. Oleh karenanya, untuk program jaminan pensiun, bisa jadi pilihannya adalah tetap mempertahankan skema lama yaitu pay as you go. Sedangkan untuk jaminan THT perlu dilakukan modifikasi formula manfaat. Formula manfaat pasti dengan gaji mengikuti gaji terakhir kiranya perlu dimodifikasi menjadi manfaat pasti yang gajinya mengacu pada gaji tahun tertentu ditambah selisih gaji plus hasil pengembangannya apabila terdapat kenaikan gaji. Dengan pola kombinasi ini, fairness kepada PNS tetap terjaga dan pemerintah juga terhindar dari kewajiban membayar UPSL apabila terdapat kenaikan gaji. Sebagai penutup, tulisan ini merupakan upaya untuk mendiskripsikan pola pengelolaan program jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS yang saat ini sedang berlangsung. Selanjutnya juga memuat kewajiban perubahan sebagaimana amanat undang-undang dan acuan-acuan umum dalam menyusun regulasi perubahan tersebut. Akan tetapi, penting untuk disampaikan bahwa pilihan-pilihan atas skema jaminan pensiun dan jaminan hari tua, baik untuk PNS lama, maupun PNS baru sebagaimana disajikan di atas adalah analisis pribadi yang belum tentu mencerminkan kebijakan organisasi. n
KO N S E P E VA LUA S I K I N E R JA
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
Konsep Evaluasi Kinerja Penganggaran
Kementerian/Lembaga
Teks : Jati Wibowo
D
efinisi kinerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu 1) sesuatu yang dicapai; 2) prestasi yang diperlihatkan; 3) kemampuan kerja (tentang peralatan). Kinerja menjadi penting dalam bidang apapun karena dengan menganalisis kinerja, seseorang dapat menyimpulkan apakah tujuan suatu organisasi tercapai atau tidak. Selain itu, kinerja dapat menjadi indikator apakah tercipta efisiensi. Kinerja yang optimal tercermin dari terwujudnya efektivitas dan efisiensi. Penganggaran merupakan serangkaian proses yang terjadi pada siklus anggaran. Siklus anggaran dimulai dari fase pe-
rencanaan anggaran, fase pelaksanaan anggaran, dan fase pertanggungjawaban anggaran. Fase perencanaan anggaran berjalan pada satu tahun sebelum tahun anggaran (T-1). Fase ini terdiri dari serangkaian upaya Kementerian/Lembaga (K/L) dalam menyusun anggaran tahun berikutnya. Sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran K/L, tahapan pada fase perencanaan setidaknya terdiri dari penyusunan pagu indikatif, pagu anggaran, dan alokasi anggaran.
Fase perencanaan anggaran berakhir dengan diterbitkannya DIPA sebagai dasar pelaksanaan anggaran K/L. Perencanaan menjadi sangat penting karena perencanaan anggaran yang berkualitas menjadi awal dari sebuah keberhasilan. Tidak heran, muncul pernyataan “fail to plan, is plan to fail” (gagal dalam merencanakan berarti merencanakan kegagalan). Fase pelaksanaan anggaran mencakup satu tahun anggaran berjalan (1 Januari s.d. 31 Desember). Pada periode tersebut, K/L melaksanakan berbagai kegiatan sebagaimana yang telah direncanakan pada tahun sebelumnya (T-1). Dengan
41
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
adanya dinamika kebijakan penganggaran, perubahan kondisi di lapangan, dan faktor lainnya, K/L diberi celah untuk melakukan revisi anggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang penganggaran. Pelaksanaan revisi yang ideal apabila revisi tersebut dilakukan dalam rangka memastikan target kinerja K/L tercapai. Kelihaian pengelola anggaran menjadi kunci pelaksanaan anggaran berjalan optimal. di akhir tahun anggaran berjalan akan terlihat tingkat efektivitas pelaksanaan anggaran. tingkat efektivitas yang tinggi akan semakin bermakna apabila diikuti dengan efisiensi anggaran. Fase pertanggungjawaban anggaran muncul ketika tahun anggaran telah berakhir. K/L wajib menyampaikan laporan kinerja penganggaran kepada Menteri Keuangan. Tingkat partisipasi satuan kerja dalam menyampaikan kinerja penganggaran melalui aplikasi monev kinerja penganggaran menjadi keharusan karena sebagus apapun kinerja yang dicapai sepanjang tidak dilaporkan dengan baik dan benar maka hasil analisis atas data tersebut menjadi tidak berkualitas. Hasil dari kinerja dapat tercermin pada laporan kinerja penganggaran tidak lama setelah tahun anggaran berakhir. Namun untuk menghasilkan laporan yang komprehensif, diperlukan audit atas kinerja penganggaran. Untuk saat ini, belum ada unit yang
42
melakukan audit terhadap kinerja penganggaran. Ke depan unit yang melakukan audit kinerja perlu menyentuh aspek penganggaran, karena dengan penerapan penganggaran berbasis kinerja, audit terhadap kinerja setidaknya akan mengungkap tingkat kualitas kinerja penganggaran K/L. Pengukuran dan evalusi atas kinerja penganggaran tentu harus mencakup ketiga fase tersebut. Melalui kegiatan pengukuran dan evaluasi, Kementerian/Lembaga diharapkan dapat mengetahui tingkat kinerja penganggaran pada setiap fase. Keakuratan penilaian tingkat kinerja di setiap fase salah satunya ditentukan oleh variabel yang digunakan. Variabel sangat berperan sebagai indikator yang mewakili kinerja pada setiap fase. Hasil penilaian atas setiap fase tersebut memudahkan unit yang terlibat dalam penganggaran untuk menjawab pertanyaan sederhana yang muncul dari pihak manapun ketika mereka ingin tahun K/L mana saja yang perencanaan anggarannya sangat baik dan bisa dijadikan benchmark bagi K/L lainnya. Manfaat lain dari penilaian setiap fase tersebut yaitu K/L lebih mudah mengidentifikasi fase mana yang kinerjanya kurang optimal dan perlu ditingkatkan. Sehingga, hasil pengukuran dan evaluasi pada ketiga fase tersebut bermanfaat dalam rangka perbaikan dalam penyusunan anggaran di
tahun berikutnya. Arah perbaikan tersebut sesuai dengan fungsi evaluasi kinerja yang dijelaskan dalam PMK No 249 Tahun 2011 yaitu fungsi peningkatan kualitas (improving) di samping fungsi akuntabilitas (proving). Selain dalam rangka kebutuhan evaluasi, kinerja penganggaran selama ini juga dimanfaatkan dalam implementasi sistem penghargaan dan sanksi. Untuk lebih menyelaraskan konsep evaluasi kinerja dengan sistem penghargaaan dan sanksi maka ada satu fungsi dari evaluasi yang dapat dipertimbangkan yaitu fungsi pemberian penghargaan (rewarding), yaitu hasil evaluasi kinerja penganggaran menjadi dasar dalam pemberian penghargaan dan pengenaan sanksi kepada K/L. Apabila fungsi rewarding dapat diterapkan maka kaitan antara hasil evaluasi dengan penerapan sistem penghargaan dan sanksi akan semakin erat. Fungsi rewarding akan menjadi pendorong/stimulus bagi K/L dalam rangka meningkatkan kinerja penganggaran. Kunci sukses dari fungsi rewarding adalah ketepatan rumusan variabel kinerja dan bentuk penghargaan bagi K/L yang kinerja penganggarannya sangat baik. Apabila bentuk penghargaan kepada K/L selaras dengan harapan dari individu-individu di internal K/L tersebut maka percepatan peningkatan kinerja penganggaran akan terwujud. Semoga. n
PNBP
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
QUICK RESPONSE Teks : Muslikhudin
“Perilaku Utama Pelayanan adalah melayani dengan berorientasi pada kepuasan pemangku kepentingan serta bersikap proaktif dan cepat tanggap (KMK 312 Tahun 2011 tentang Nilai-Nilai Kemenkeu)”
S
istem Informasi PNBP Online, atau SIMPONI, adalah sistem informasi yang dikelola oleh Ditjen Anggaran Kemenkeu, dalam rangka memfasilitasi pengelolaan PNBP, yang meliputi: sistem perencanaan PNBP, sistem billing, dan sistem pelaporan PNBP. SIMPONI ditujukan untuk memberi kemudahan bagi Wajib Bayar/Wajib Setor guna membayar atau menyetor PNBP dan penerimaan nonanggaran. Pembayaran dapat dilakukan melalui berbagai channel pembayaran seperti teller (Over The Counter), ATM (Automatic Teller Machine), EDC (Electronic Data Capture), dan internet banking. Saat ini, SIMPONI telah menjadi sarana sentral dalam pembayaran/penyetoran PNBP dan penerimaan Nonanggaran yang cepat dan mudah, namun tetap mengutamakan aspek akuntabilitas penerimaan negara. Seiring dengan terus meningkatnya transaksi pembayaran PNBP melalui SIMPONI, Ditjen Anggaran berkomitmen untuk terus melakukan peningkatan pelayanan. Hal ini sejalan dengan Imbaun Menteri Keuangan melalui Surat Menteri Keuangan Nomor S-535/MK.02/2015 untuk melakukan pembayaran/penyetoran PNBP melalui SIMPONI. Untuk melayani seluruh pengguna SIMPONI secara optimal, selain pelayanan melalui Pusat Layanan Direktorat Jenderal Anggaran, SIMPONI menyediakan helpdesk berupa Frequently Asked Questions (FAQ). FAQ ini disediakan untuk menyediakan informasi, bantuan, perbaikan (troubleshooting), dan petunjuk teknis terkait penggunaan sistem billing serta
pembayaran dan penyetoran PNBP. Berbeda dengan FAQ pada umumnya, FAQ dalam SIMPONI digunakan sebagai sarana korespondensi (komunikasi) dua arah antara pengelola SIMPONI dengan User SIMPONI, sehingga FAQ dalam SIMPONI bersifat dinamis, bukan statis. Setiap pertanyaan dan permohonan bantuan yang diajukan oleh pengguna SIMPONI melalui FAQ akan direspon dengan cepat. Hampir semua pertanyaan dan permohonan bantuan yang diajukan, sudah dapat diselesaikan pada hari yang sama. Karena sifatnya yang dinamis, berbagai jenis pertanyaan dan permohonan muncul setiap harinya. Pertanyaan dan permohonan bantuan dalam FAQ SIMPONI yang kerap muncul, beserta solusinya antara lain terkait, 1. Tata cara pembuatan billing dalam SIMPONI • Tata cara pembuatan billing dalam SIMPONI merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Anggaran Nomor Per-16/AG/2016 tentang Tata Cara Pembayaran/ Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Non Anggaran Secara Elektronik. • Panduan atau tutorial SIMPONI terkait registrasi dan pembuatan billing dapat diunduh di website Ditjen Anggaran dengan alamat www.anggaran.kemenkeu.go.id. 2. Kedudukan dari Bukti Penerimaan Negara (BPN) hasil cetakan dari SIMPONI, sebagai bukti administrasi yang sah • Sesuai Pasal 1 angka 17 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
32/PMK.05/2014 tentang Penerimaan Negara Secara Elektronik, disebutkan bahwa Bukti Penerimaan Negara adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank/Pos Persepsi atas transaksi penerimaan negara dengan teraan NTPN dan NTB/NTP sebagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran. • Sesuai Surat Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan atas nama Dirjen Perbendaharaan No. S-4607/PB.6/2014 tanggal 18 Juli 2014 kepada Para Kepala Biro Keuangan K/L perihal Petunjuk Pencatatan Setoran PNBP dan Penerimaan Nonanggaran melalui Sistem MPN G2, dokumen hasil cetakan dari SIMPONI dapat digunakan sebagai dokumen sumber pencatatan penyetoran PNBP ke dalam sistem akuntansi dan pelaporan keuangan. 3. Akun yang digunakan untuk penyetoran penerimaan negara (PNBP dan Penerimaan Nonanggaran) • Akun yang digunakan untuk penyetoran penerimaan negara merujuk pada Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor KEP-428/PB/2016 tentang Kodefikasi Segmen Akun pada Bagan Akun Standar. 4. Integrasi SIMPONI dan Sistem Aplikasi Satker (SAS) • Terwujudnya integrasi SIMPONISAS diharapkan memudahkan bendahara satker dalam men-
43
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
PNBP
jalankan tugas dan fungsinya. Data transaksi setoran PNBP yang terekam dalam SIMPONI dapat diunduh (download) untuk digunakan sebagai data input pada aplikasi SAS. Sehingga, satker tidak perlu memasukkan (input) ratusan atau bahkan ribuan data secara manual, dan meminimalisasi terjadinya kesalahan pelaporan data. Agar bisa mengunduh ADK SIMPONI untuk digunakan dalam aplikasi SAS, User SIMPONI
Kementerian/Lembaga. Laporan Realisasi tersebut dapat digunakan untuk memonitor Pembayaran PNBP pada Kementerian/Lembaga. 6. Penambahan User Billing • User yang dapat digabungkan dalam satu username adalah User Billing Kementerian/Lembaga & User Billing Nonanggaran. Sementara untuk user billing lain, sebaiknya mendaftar lagi dengan user yang berbeda. Sebagai contoh, apabila User
(satker) harus mengajukan permohonan admin satker ke
[email protected]. go.id dengan menyebutkan kode Kementerian/Lembaga, Unit, dan Satuan Kerja serta contact person. • Aplikasi SAS adalah aplikasi yang dikembangkan oleh Ditjen Perbendaharaan. Apabila terdapat permasalahan terkait aplikasi SAS, user dapat menghubungi (021) 3813024 atau (021) 3449230 Ext 5322, 5673. 5. Rekap Realisasi Penerimaan melalui SIMPONI • Di dalam SIMPONI terdapat menu Manajemen report yang dapat menyajikan laporan rekap billing yang sudah disetorkan. User dapat memantau pembayaran/penyetoran PNBP dengan memilih menu manajemen report--> Laporan Reali-sasi->Laporan Pembayaran PNBP
Billing Kementerian/Lembaga atau User Billing Nonanggaran ingin menambahkan user billing SDA nonmigas, maka Wajib Bayar/Wajib dianjurkan mendaftar kembali di SIMPONI sebagai user billing SDA nonmigas, sebab untuk user billing SDA non Migas, Wajib Bayar/Wajib Setor harus mengisi nama badan usahanya, sementara di User Billing Kementerian/Lembaga & User Billing Nonanggaran tidak terdapat pilihan tersebut. 7. Pembayaran Perhitungan Pihak Ketiga (PFK) • Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 212/ PMK.05/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/ PMK.05/2014 tentang Dana Perhitungan Fihak Ketiga, Dana PFK merupakan sejumlah dana yang dihimpun dari: 1) Iuran Wajib Pegawai;
•
44
2) Iuran Pemda; 3) Iuran tabungan perumahan; 4) Iuran jaminan kesehatan PPNPN Pusat/ PPNPN Daerah; • 5) Iuran jaminan kesehatan pensiunan pada PT Taspen (Persero); 6) Iuran jaminan kesehatan pensiunan pada PT Asabri (Persero); dan 7) Iuran beras Bulog, untuk dibayarkan kepada pihak ketiga
•
Untuk Pembayaran PFK melalui SIMPONI, maka wajib Bayar/ Wajib Setor menggunakan Billing Non anggaran, dengan cara sebagai berikut: 1) Memilih Jenis Setoran : Pembayaran Pihak Ketiga/ PFK 2) Memilih atau mengisi rincian --> Kementerian/Lembaga : 999 Bendahara Umum Negara, unit : 99 Pengelola transaksi khusus, Satuan Kerja : 440780 pengembalian penerimaan PFK. (Sesuai Pasal 14 Ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 212/PMK.05/2015, Menteri Keuangan selaku BUN adalah PA bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran Kementerian Negara/Lembaga) 8. Setoran atas Pengembalian Belanja • Untuk setoran pengembalian be-
PNBP
lanja, terdapat 2 jenis perlakuan, yaitu 1) Pengembalian belanja yang telah lewat tahun atau belanja tahun anggaran yang lalu akan menjadi setoran PNBP TAYL dengan MAP 423xxx. Setoran ini tidak perlu dikaitkan dengan program dan kegiatan. Pengembalian TAYL di-input menggunakan user billing K/L, dengan cara memilih Kelompok PNBP Umum, dan jenis penerimaan pengembalian belanja TAYL (Akun: 423xxx). 2) Sementara itu, pengembalian untuk tahun berjalan penyetorannya tertuju ke program, kegiatan dan akun belanja yang digunakan (sesuai dengan Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA)). Belanja tahun anggaran berjalan ini menggunakan user billing Nonanggaran, dengan cara memilih jenis setoran Pengembalian Belanja. 9. Troubleshooting Pembayaran Billing • Kode billing yang sudah dibayarkan melalui Bank Persepsi, kadang kala belum ada kon-
firmasi di email serta status kode billing dalam history billing masih “belum bayar” (belum ada NTPN). Maka, 1) Wajib Bayar/Wajib Setor menyampaikan informasi dimaksud dengan memberitahukan nomor billing-nya. 2) Pengelolaan SIMPONI akan melakukan pengecekan kode billing 3) Apabila kode billing sudah terbayarkan di-settlement (Perbendaharan negara), maka Simponi akan segera memberikan notifikasi ke email dan merubah status billing pada history billing. 4) Apabila kode billing sudah terbayarkan di settlement (Perbendaharan negara), maka SIMPONI (MPN G2) akan meminta Bank untuk
segera melimpahkan data pembayaran kode billing dimaksud ke Perbendaharaan negara yang kemudian akan diteruskan oleh SIMPONI dengan memberikan notifikasi ke email dan merubah status billing pada history billing. 10. Bank Persepsi • Sampai dengan saat ini, telah
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
terdapat 75 Bank Persepsi dan 1 Pos Persepsi yang dapat melayani transaksi Setoran PNBP dan Nonanggaran melalui SIMPONI. Ke depannya, seluruh bank dan pos persepsi akan melayani transaksi Setoran PNBP dan Nonanggaran. • Untuk Pembayaran PNBP dan Nonanggaran dengan menggunakan USD, sampai saat ini baru dapat disetorkan melalui tiga bank, yaitu BRI, BNI ,dan Mandiri. Seluruh history pertanyaan dan permohonan bantuan yang dilengkapi dengan solusi serta pemecahan masalah, tersimpan dan dapat dilihat di manajemen FAQ SIMPONI. Untuk mempermudah pencarian solusi dan pemecahan masalah, user dapat menggunakan fasilitas search. n
Apabila user simponi tidak menemukan jawaban, silakan ketik permasalahan, permohonan informasi, bantuan, dan perbaikan, kami siap membantu, karena kepuasan user SIMPONI adalah concern kami.
45
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
KHAZANAH
CARA SEDERHANA MENGENAL RIBA
Teks : Walidi ”Bank syariah itu kan sama dengan bank biasa. Namanya aja kearab-araban....” Banyak pihak saat kini menyatakan bahwa transaksi perbankan syariah sama dengan bank konvensional. Betulkan pernyataan tersebut ? Fenomena penyamaan transaksi di perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah dengan industri perbankan pada umumnya, perlu kita cermati. Ini agar kita tidak masuk dalam golongan orang sebagaimana disebutkan oleh Allah SWT dalam QS Al Baqoroh 275 ; ….. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…..[2:275]. Perlu dikenali dengan mendalam tentang jenis transaksi riba dan sejenisnya, agar kita tidak masuk dalam kategori dalam kebanyakan pihak sebagaimana disindir oleh Sang Khalik.
46
Pengkajian tentang riba harus dimulai dengan pemahaman tentang kaedah fiqih. Kaedah fiqih menyatakan bahwa untuk urusan yang berkaitan dengan ibadah mahdhoh, maka berlaku ketentuan bahwa semua ibadah dilarang kecuali yang diperintahkan. “Hukum asal dalam beribadah adalah haram dan batal kecuali yang ada dalil yang memerintahkan”. Sedangkan dari sisi muamalah terdapat kaidah hukum yang menyatakan bahwa “Hukum asal dari sesuatu (muamalah/keduniaan) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)” (Imam As Suyuthi, dalam al Asyba’ wan Nadhoir: 43) Kegiatan ekonomi adalah bagian dari kegiatan muamalah maka merujuk pada kaedah fiqih yang kedua yang menyatakan bahwa hukum asal dari sesuatu (muamalah/keduniaan) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memak-
ruhkannya atau mengharamkannya) ini bermakna bahwa dalam kerangka fiqih muamalah maka semua kegiatan ekonomi dibolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Yang dilarang dalam transaksi mualamah yaitu transaksi maysir, gharar, dan riba yang orang sering menyingkatnya dengan dengan MAGRIB. Maisyr terkait transaksi spekulasi, gharar terkait transaksi yang tidak jelas dan riba transaksi yang memberikan tambahan yang diharamkan. Pada kesempatan ini, kita akan coba sedikit mengurai tentang transaksi riba. Secara garis besar riba bisa dikelompokkan menjadi dua yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah.
Riba Fadhl (jual beli/barter) Riba fadhl adalah riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar menukar
KHAZANAH
benda. Namun bukan dua jenis benda yang berbeda, melainkan satu jenis barang namun dengan kadar atau takaran yang berbeda terhadap barang tertentu yang disebut dengan “barang ribawi”. Harta yang dapat mengandung riba sebagaimana disebutkan dalam hadits nabawi, hanya terbatas pada emas, perak, gandum, terigu, kurma dan garam saja. Rasulullah SAW bersabda:” Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu, kurma dengan korma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai (HR Muslim). Jadi barang – barang tersebut tidak bisa ditukarkan apabila kualitasnya beda misalnya barter emas dengan emas hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, emas 10 gram 24 karat tidak boleh ditukar langsung dengan emas 20 gram 23 karat. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masingmasing benda itu. Barang ribawi dalam riba fadl, apabila kita cermati terdapat dua jenis barang yaitu barang mata uang (emas & perak) dan barang bahan makanan pokok (gandum, terigu, kurma dan garam). Hal ini mengindikasikan terhadap kedua jenis barang tersebut untuk menyikapinya dalam perdagangan/pertukaran harus hati – hati karena terkait ketahanan finansial dan ketahanan pangan. Perlakukan hukum terhadap emas perak digunakan untuk menghukumi produk yang setara yaitu uang. Oleh karena itu, fenomena penukaran uang baru dengan uang lama (yang biasanya dilakukan di waktu lebaran) dengan jumlah yang berbeda diharamkan. Perlakukan hukum terhadap kurma dan gandum disetarakan dengan makanan pokok. Oleh karena itu, pertukaran beras dan jagung harus merujuk pada kaedah terhadap komoditi tersebut (diqiyaskan).
Riba Nasi’ah (utang piutang) Riba Nasi’ah berasal dari kata nasa’ yang artinya penangguhan. Sebab riba ini terjadi karena adanya penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita kenal di masa sekarang ini. Dimana seseorang memberi utang berupa uang kepada pihak lain, dengan ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan hanya pokoknya saja, tetapi juga dengan tambahan persentase bunganya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. Praktik riba seperti inilah yang saat ini lazim dilakukan masyarakat sekarang ini. Riba ini terjadi karena tiga unsur kumulatif dalam suatu transaksi. Tiga unsur tersebut adalah (1) adanya akad pinjaman/utang piutang, (2) adanya tambahan pengembalian, (3) tambahan tersebut bersifat wajib. Bila ada tambahan dan tambahannya wajib maka namun bukan utang piutang maka transaksi tersebut adalah jual beli. Bila ada tambahan transaksi utang piutang namun bukan suatu kewajiban maka tambahan tersebut merupakan hadiah. Maka, berkumpulnya tiga unsur tersebut dalam suatu perekonomian adalah suatu keharusan untuk dikategorikan sebagai
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
transaksi riba nasi’ah. Contoh praktik perbankan saat ini yang sering disamakan adalah praktik jual ’mark up’ (dengan sistem murabbaha) yang secara umum dilaksanakan oleh bank syariah. Termasuk transaksi yang ditujukan untuk menggantikan kredit mobil dan kredit rumah. Praktik jual ’mark up’ (murabaha) ini banyak diminati oleh Saudara kita yang di Glodok karena mereka tidak perlu berpikir naik turunnya bunga bank dan dolar. Kembali kepada pandangan bahwa transaksi perbankan syariah sama dengan transaksi konvensional maka sebenarnya kesyariahan suatu produk perbankan merupakan tanggung jawab Dewan Syariah yang memastikan suatu transaksi sesuai dengan kaedah syariah (syariah comply), sedangkan umat dapat mengikuti aja. Dan seharusnya otoritas Dewan Syariah Nasional melakukan audit atas kesyariahan sebuah produk perbankan apakah mengandung transaksi maysir, gharar atau riba. Bila keraguan masih menghantui bagi praktisi muamalah islami maka mengalirkan dana ke sektor riil adalah sebuah pilihan yang menentramkan dan memastikan bahwa dana kita mendorong bagi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Wallahua’lam. n
47
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
RENUNGAN
SEBERAPA PANTAS
S
Teks : Cahya Setiawan
iang ini saya pergi ke tukang sol untuk memperbaiki sepatu anak saya yang rusak. Pilihan saya jatuh pada seorang tukang sol yang kiosnya terletak di depan toko peralatan olah raga. Kenapa? Tentunya karena tukang sol memiliki kelebihan dibanding yang lain. Hasil pekerjaannya yang rapi sudah terkenal di lingkungan saya. Walaupun di sekitar kios tukang sol itu terdapat beberapa orang tukang sol yang lain, namun tukang sol yang saya datangi ini jauh lebih ramai dibanding tukang sol yang lain.
Sampai di tempat tukang sol, ternyata antrian sudah cukup panjang. Banyak sekali orang yang bertujuan sama dengan saya. Selain itu juga antrian sepatu yang menunggu untuk diperbaiki. Karena tidak mungkin untuk menunggu sepatu saya diperbaiki pada saat itu, saya putuskan untuk meninggalkan sepatu untuk diperbaiki dan mengambilnya pada pekan berikutnya. Saya tidak langsung meninggalkan kios tukang sol tersebut. Saya memesan minuman dingin di depan kios dan duduk-duduk di bangku yang memang tersedia di depan kios. Selain saya, ada beberapa orang pelanggan tukang sol itu yang duduk disana. Bebebapa dari mereka
48
sedang memperbincangkan tukang sol itu. “Padahal disini ongkosnya lebih mahal dari tukang sol yang lain ya. Tapi pelanggannya paling banyak di antara tukang sol yang ada di sekitar sini”, kata salah seorang pelanggan.
Pelanggan yang lain menimpali,”tapi kalo melihat hasil kerjaannya, saya rasa pantas dia ngasih harga segitu. Meskipun ongkosnya lebih mahal dari tukang sol yang lain, tapi hasilnya memuaskan. Bener-bener halus kerjaannya”. Memang, jika dilihat dari hasil pekerjaannya, tampak sekali kalau tukang sol ini mengerjakan tugasnya dengan cara terbaik yang dia mampu. Sebenarnya, hal-hal seperti ini sering juga kita jumpai di peristiwa yang lain. Ketika tiba pembagian raport bagi anak sekolah, sering kali orang mengomentari anak yang mendapat nilai yang bagus.” Pantas saja si A mendapatkan nilai yang bagus. Pantas saja si B jadi juara kelas. Dia anak yang rajin belajar”. Kata-kata seperti itu sangat sering kita dengar. Atau pada orang yang berhasil dalam usaha atau aktivitas yang dilakukannya, sering pula kita dengar komentar yang sama. “Pantas dia berhasil. Dia adalah orang yang tekun dalam menjalankan usahanya”.
Jika melihat kondisi ini, tentunya hal ini berlaku pula di lingkungan kerja lain. Misalnya bagi yang bekerja di instansi pemerintah ataupun bekerja pada orang lain. Setiap bulan, pegawai/pekerja mendapatkan sejumlah penghasilan berupa gaji atau upah yang nilainya sudah ditentukan. Dengan jumlah penghasilan itu, pegawai/pekerja diharapkan dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaikbaiknya. Memberikan kemampuan yang dimiliki secara optimal. Tujuannya, agar dapat menghasilkan output yang terbaik.
Setiap pegawai/pekerja memiliki tugas masing-masing yang telah ditetapkan. Ketika pegawai tersebut melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, dengan seluruh potensi yang dimilikinya, dengan kemampuan terbaik yang dimilikinya, pada hakikatnya pegawai tersebut sedang memantaskan dirinya untuk sejumlah penghasilan yang diterimanya setiap bulan sebagai imbalan. Sebagai seorang pegawai yang menerima sejumlah penghasilan setiap bulan, ada satu pertanyaan yang pantas kita paksakan untuk melintas di benak kita yaitu
“Sudah seberapa pantaskah kita menerimanya?” n
K O M U N I TA S
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
D J A Ku s t i k Teks : Cahya Setiawan & Yudanto Dwi Nugroho
Berjalan menuju ballroom Dhanapala, mulai terdengar alunan musik dan lagu-lagu indah menyambut. Semakin dekat ke pintu masuk, semakin terdengar selaras karena keseluruhan suara instrumen musik menjadi terdengar jelas. Demikian juga dengan lagu yang dinyanyikan. Sajian seperti ini membuat suasana ruangan menjadi lebih sejuk dan akrab.
M
enjelang acara-acara yang diselenggarakan DJA, kita akan disambut dengan sajian alunan musik dan lagu yang indah oleh para pegawai DJA. Mereka tergabung dalam komunitas musik “DJAkustik”. Sebuah nama yang dipilih untuk mewakili komunitas ini karena musik yang disajikan dengan nuansa akustik, tanpa sound sistem yang berat dan suara-suara distorsi dari sound effect pada instru-
mennya. Cukup sederhana namun tidak mengurangi keindahan alunan musik yang disajikan.
orang, namun tetap dapat memberikan sajian apik dalam setiap penampilannya.
DJAkustik adalah sebuah komunitas di DJA yang memiliki aktivitas di bidang musik dan lagu. Anggotanya adalah hanya para pegawai DJA saja. Tak ada anggota dari luar DJA. Walaupun saat ini anggotanya yang aktif hanya sekitar sebelas
Dari masa ke masa Berawal dari kompetisi menyanyi yang diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan pada Hari Oeang, muncullah pegawai-pegawai yang memiliki talenta
49
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
K O M U N I TA S
akhirnya sepakat mengubah namanya menjadi DJAkustik di 2015”, jelas Gunawan.
Siapakah Mereka? Saat ini, anggota yang aktif berlatih dan tampil berjumlah sebelas orang. Sengaja tidak ditunjuk seorang ketua dalam komunitas ini. “Ini kan kumpulan nonformal. Jadi sampai saat ini belum perlu ditunjuk ketua. Supaya tidak berjenjang. Biar lebih akrab dan memudahkan komunikasi”, ujar Juniartha. Walaupun tidak ditunjuk ketua, tapi tetap ada koordinator. Tujuannya untuk memudahkan komunikasi terutama dengan sesama anggota.
menyanyi. Awalnya hanya untuk mengikuti kompetisi itu. Namun nyatanya, hasilnya cukup menggembirakan. Beberapa prestasi diraih di ajang kompetisi itu. Hal ini memunculkan talenta-talenta baru di bidang musik. Awal terbentuknya komunitas ini bisa dibilang cukup unik. Bisa dibilang berawal dari perintah. Mulai tahun 2011, di setiap kegiatan yang diadakan oleh setiap unit di Kementerian Keuangan, diharapkan ada hiburan yang bisa membuat kegiatan menjadi tidak monoton. DJA juga tak ketinggalan. Dari situ, pegawai-pegawai bertalenta menyanyi ini dihimpun dan dibuatkan wadah. Pada kegiatan yang diadakannya, diharapkan grup ini dapat mengisi hiburan dengan nyanyian. “Sebenarnya pada awalnya namanya nggak ada. Hingga pada suatu kegiatan DJA, pembawa acara menyebutnya dengan nama DJA All Star untuk mempermudah penyebutannya”, kata Juniartha, salah seorang anggota komunitas ini. Merasa kurang pas dengan nama DJA All Star, ada yang berinisiatif untuk mengganti nama komunitas ini menjadi DJA Voice. Nama ini dirasa lebih tepat untuk mewakili komunitas ini mengingat kegiatan yang dilakukan saat itu hanya menyanyi, sedangkan pemain musiknya adalah personil dari luar DJA. Keadaan ini mendorong komunitas ini untuk mencari para pegawai yang mempunyai talenta bermain musik. De-
50
ngan demikian biaya untuk tampil akan lebih bisa ditekan. Nyatanya, banyak juga pegawai DJA yang mempunyai talenta bermain musik dan mau tampil di kegiatan yang diselenggaran DJA. Berawal dari sini, komunitas ini tampil dengan pemusik yang berasal dari internal DJA, dan menggunakan instrumen musik milik pribadi masing-masing pemusiknya. “Karena alat musik yang ada memang bersifat akustik,
Keterbatasan waktu karena kesibukan pekerjaan, dan tidak adanya ruangan khusus untuk berkumpul, membuat komunitas ini tidak memiliki jadwal latihan rutin. Jadwal latihan baru disusun jika ada permintaan tampil di suatu acara. Selain itu, instrumen musik yang digunakan saat ini adalah milik pribadi masing-masing musisinya. Hal ini juga membuat jadwal latihan menjadi kurang fleksibel. Kenyataanya, keterbatasan ini tidak mengurangi performa mereka ketika tampil di suatu acara. Penyanyi-penyanyi yang
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
membahas materi. Di samping itu, diperlukan pula ajang untuk tampil sehingga latihan yang dilakukan bisa diaplikasikan. Berkumpul dalam sebuah komunitas, tentunya juga memberikan kesenangan tersendiri. “Senengnya, karena di balik pekerjaan, ada kegiatan yang sesuai dengan hobi sehingga ada penyaluran”, ujar Juniartha. “Menjadi kenal dengan pegawai dari unit lain”, kata Niar. “Kalo saya sih banyak sukanya. Dukanya sampai saat in belum ada”, kata Poppy. Intinya, di balik pekerjaan rutin sesuai tugas masingmasing, juga ada kegiatan untuk menyalurkan hobby. Sebuah apresiasi bagi yang mempunyai hobby.
handal itu didukung oleh musisi yang mumpuni dan fleksibel dan mudah menyesuaikan dengan kondisi para penyanyi. Hal ini membuat komunitas ini tetap eksis hingga saat ini.
Keinginan untuk berkembang ini, tentunya juga perlu didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai, diantaranya studio dan instrumen musik yang memadai dan sekretariat untuk berkumpul dan
Bekerja, menjalani hobby, bersosialisasi, dan berkesempatan menghibur. Sebuah kebahagiaan tersendiri bagi DJAkustik. n
Keinginan Untuk Berkembang Pada awal terbentuknya komunitas ini, banyak pengorbanan yang dihadapi oleh anggotanya. Kurangnya dukungan sarana dan prasarana membuat anggotanya sempat putus asa sehingga tidak ingin melanjutkan komunitas ini. Peran dari anggota senior terutama Fredij Geraard Josias Matatula, dan panggilan dari hobi,memberikan semangat untuk tetap eksis. Dalam kondisinya saat ini, komunitas ini berharap untuk lebih berkembang. “Sebenarnya pengen ada regenerasi. Kita mencari siapa yang mau. Semakin banyak anggota akan menjadi semakin bagus. Jadi banyak ragam yang musik yang bisa dimainkan”, ungkap Niar Afdhal Luthfi. Tidak ada persyaratan khusus untuk bisa menjadi anggota DJAkustik. “Kalau kamu suka menyanyi, dan mau tampil menyanyi di depan orang banyak, bergabunglah”, imbuhnya. “Kebutuhan saat ini terutama dari kurangnya musisi”, sambung Juniartha dan ditegaskan pula oleh Gunawan.
51
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
C ATATA N P E R J A L A N A N
“PRAU” DI ATAS AWAN Teks : Hafiz Yossi Aprilian
S
uksesnya film “5 cm” pada tahun 2012 menimbulkan fenomena baru di masyarakat Indonesia, khususnya para pemuda. Dengan mengambil latar perjalanan sekelompok pemuda yang melewati segala rintangan dalam perjalanannya menuju puncak Gunung Semeru, film ini cukup menginspirasi pemuda untuk mencoba mendaki gunung. Tak luput dari pengaruh fenomena tersebut, penulis pun tertarik untuk mencoba menantang diri untuk mendaki gunung. Sebagai ‘pemuda’ yang belum pernah sama sekali mendaki gunung, penulis memutuskan mendaki sebuah gunung yang rumornya cocok bagi para pendaki pemula, Gunung Prau. Gunung Prau menjulang dengan tinggi 2.565 mdpl dan terletak di Kawasan Dataran Tinggi Dieng, tepatnya di perbatasan antara Kabupaten Wonosobo dan Kendal, Jawa Tengah. Kawasan Dieng yang terkenal membuat gunung ini cukup ramai dikunjungi oleh para pendaki.
Perjalanan dan Pendakian
Bersama 8 kawan, penulis berangkat dari Jakarta melalui jalur darat – tepatnya kereta – menuju stasiun besar terdekat dengan tujuan, yakni Stasiun Purwokerto. Pada hari Jumat sekitar pukul 9 malam, kami meluncur dan tiba di Purwokerto sekitar pukul 6 pagi. Setelah sejenak
52
merapikan diri, kami meneruskan perjalanan melewati Purbalingga, Banjarnegara, dan Wonosobo menggunakan mobil sewa. Perjalanan lebih dari tiga jam ini sebagian besar kami lalui dengan terlelap. Sempat mampir sejenak di Wonosobo untuk mencicipi masakan khas kota ini, Mie Ongklok. Sekitar pukul 12 siang kami tiba di basecamp Patak Banteng, titik awal pendakian Gunung Prau. Letaknya cukup strategis, tak jauh dari jalan raya Wonosobo-Dieng. Fasilitas di basecamp ini cukup lengkap, meski bisa dibilang belum terintegrasi dengan baik. Basecamp ini sebenarnya ruang istirahat bagi para pendaki, sekaligus menjadi pos pelayanan. Di sini calon pendaki membayar retribusi Rp10.000 per orang sebelum naik. Petugas basecamp menjelaskan tata tertib, serta jalur pendakian yang akan ditempuh agar perjalanan aman dan nyaman. Setelah bersiap, kami memutuskan mulai menyusuri jalur pendakian sekitar pukul 2 siang. Jalur pendakian ini melalui tiga pos sebelum ke puncak. Pos I Sikut Dewo, Pos II Canggal Walangan, dan Pos III Cacingan. Berdasarkan medannya, jalur pendakian ini bisa saya bagi menjadi beberapa jenis. Awal pendakian, kami disuguhi jalur pendek tetapi lang-
sung menguras tenaga: beberapa puluh anak tangga melewati permukiman warga. Setelah lepas dari jalur ini, kami melewati jalur jalan batu yang membelah ladang warga sepanjang beberapa ratus meter, dilanjutkan jalan setapak menanjak di sela-sela perbukitan ladang warga setempat. Setelahnya, kami mulai memasuki kawasan hutan. Pos Sikut Dewo berada di ujung wilayah ladang. Di sini kami masih menemui aktivitas warga yang meladang maupun yang membuka warung makanan. Banyak pendaki yang beristirahat sejenak di sini sambil membeli makanan. Pos berikutnya adalah Pos II Canggal Walangan yang menandai perjalanan kami telah memasuki hutan, yakni hutan pinus. Jalur pendakian masih bisa terlihat jelas. Sepanjang perjalanan, kami berpapasan dengan para pendaki yang menuruni gunung. Pada umumnya pendaki memulai pendakian pada siang hari agar dapat mendirikan tenda di puncak pada sore hari dan berkemah, selanjutnya baru menuruni puncak antara pukul 9 pagi hingga sore hari esoknya. Tak terasa dua jam lebih kami berjalan, dan sampailah kami di Pos III Cacingan.
Baik Pos I maupun Pos II, tak lebih hanya sekadar tempat yang agak landai dan diberi penanda. Bukan masalah, saya yakin setiap pendaki di sini terutama pemula pasti sangat senang ketika berhasil mencapai pos-pos ini. Tak lain karena pos ini sebagai bentuk achievement bertahap yang dilalui pendaki. Dengan melihat tanda pos, pendaki bisa beristirahat sambil merasa berbangga hati karena berhasil menyelesaikan satu tahapan perjalanan pendakian, bagaimanapun kondisinya. Beranjak dari Pos III ini medan semakin terjal, pohon semakin jarang, dan tanah semakin berdebu. Ditambah angin yang cukup kencang di sore hari membuat kami berhati-hati, untuk mengatasi debu beterbangan yang menusuk mata dan hidung, dan mencari pijakan dan pegangan agar tak tergelincir dan jatuh ke jurang.
Puncak Perahu Terbalik
C ATATA N P E R J A L A N A N
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
Puncak Prau di malam hari sangat dingin, terutama karena hembusan angin langsung dari lembah. Perlu Anda ketahui, kawasan puncak berupa tanah lapang berumput dan jarangnya pepohonan yang bisa melindungi tenda dari angin. Hal ini menambah dinginnya udara di puncak. Kami melewati malam dengan memasak makanan, ngobrol ringan, sambil sesekali mencoba mempraktikkan fotografi ponsel. Menantang seorang kawan, apakah kamera ponselnya bisa menangkap gambar secara jelas dalam mode slow speed shutter. Tak lama kemudian kami istirahat sambil berusaha menahan dinginnya puncak Prau.
an megah. Dapat kita saksikan puncak gunung-gunung menyembul di atas awan. Gunung Ungaran, Sumbing, Sindoro, bahkan Merbabu dan Merapi. Selain itu terdapat punggungan bukit-bukit kecil di bagian bawah puncak Prau yang dijuluki bukit Teletubbies. Di sinilah para pengunjung biasanya mengabadikan momen untuk dibagikan di media sosial.
Mengatasi dinginnya suhu puncak, disarankan agar mendirikan tenda sedekat mungkin dengan rumpun pepohonan atau kumpulan tenda lain. Begitu gelap, segeralah memasak makanan dan air untuk menambah energi. Semakin malam ,angin bertambah kencang, perlu diwaspadai tenda roboh. Pastikan tenda didirikan dengan kuat dan kokoh. Selama di puncak kenakan pakaian sehangat mungkin, serta lindungi mata, hidung, dan ruang dalam tenda dari debu. Pada musim kemarau, rumput mengering dan menyebabkan debu mudah beterbangan masuk ke dalam tenda.
Menanti Fajar
Tujuan utama sebagian besar pendaki Gunung Prau ini saya yakin adalah menikmati pemandangan matahari terbit, walaupun lebih dari itu yang bisa didapat. Memang gunung ini tenar tak hanya karena ramah kepada pendaki pemula, tetapi juga karena panorama sunrise yang katanya terbaik di Pulau Jawa. Pemandangan di khatulistiwa sebelah timur selain matahari terbit adalah jajaran pegunung-
Kami bergegas bangun. Setelah Subuh kami bersiap menanti sajian utama di puncak Prau: matahari terbit. Pemandangan menakjubkan, seperti yang dikatakan ba nyak orang. Tak mau melewatkan kesempatan ini kami mengabadikan dalam foto dan video hingga matahari mulai meninggi. Sungguh pengalaman pertama yang tak kan terlupakan. Puas dengan sajian utama, kami bersegera menyiapkan sarapan dan selanjutnya merapikan tenda, bersiap turun. Tak lupa kami memastikan tak ada sampah tertinggal demi menjaga kelestarian lingkungan Prau. Sekitar pukul 9 pagi kami memutuskan turun dan menghabiskan kurang dari tiga jam untuk sampai ke basecamp Patak Banteng. Perjalanan turun cenderung lebih cepat dibanding kala mendaki. Cukup lama kami beristirahat sambil membersihkan badan di basecamp. Setelah itu kami menyempatkan membeli oleh-oleh berupa Carica. Carica adalah buah endemik kawasan Dieng yang berkerabat dengan pepaya, dan disajikan dalam bentuk manisan buah kemasan. Sekitar pukul satu lebih, kami meninggalkan Patak Banteng menuju Purwokerto untuk kemudian kami lanjutkan menuju Jakarta. Perjalanan yang melelahkan tetapi menambah pengalaman. n
Lewat pukul lima sore, kami telah mencapai bagian puncak Gunung Prau. Beberapa saat kami beristirahat sambil menikmati pemandangan Kawasan Dieng, yang belum sempat kami pandang selama mendaki. Nampak dari kejauhan Telaga Warna yang membiru, wilayah permukiman warga dengan ladang sayuran, serta di seberang Gunung Pakuwaja. Segera kami bergegas mencari tempat terbaik untuk mendirikan tenda karena senja sudah menggantung di ufuk barat. Udara makin dingin, angin makin kencang, tetapi kawasan puncak semakin ramai oleh para pendaki.
53
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
RESENSI FILM
Teks : Yudanto Dwi Nugroho
Melihat suksesnya film Now You See Me pada tahun 2013 silam, sang sutradara seakan sudah mengetahui “bumbu” apa yang dapat membuat penonton memberikan rating tinggi dan menanti sekuel setelahnya. Memperoleh nilai 7,3 dari 10 dalam laman IMDb dalam film pertama, bukanlah merupakan prestasi yang dapat diremehkan begitu saja. Sayangnya, dalam sekuel yang kedua ini, sang sutradara masih menggunakan “bumbu” yang sama dengan film yang pertama sehingga menghasilkan rasa yang itu-itu saja.
P
ada awal film, penonton diajak untuk kembali pada tahun 1982. Saat itu, diceritakan bahwa Dylan Rhodes kecil sedang menyaksikan pertunjukkan ayahnya, Lionel Shrike, yang sedang melakukan debut terbarunya dengan menenggelamkan diri pada sebuah danau dengan kondisi terkunci dalam sebuah brankas besi. Hadir juga Thaddeus Bradley, diperankan oleh Morgan Freeman, yang meliput langsung debut tersebut pada siaran TV lokal. Thaddeus juga dikenal kerap mengungkap trik-trik sulap Lionel Shrike dalam setiap debut sebelumnya. Diceritakan bahwa Thaddeus meragukan debut nekat Lionel Shrike kali ini, yang bertujuan agar rahasia dibalik debut kali ini tidak berhasil diungkap oleh Thaddeus. Naas, debut tersebut berujung
54
pada tenggelamnya pesulap tenar, Lionel Shrike. Hal ini tentu membuat Dylan Rhodes menaruh rasa dendam kepada Thaddeus dalam hidupnya.
Film yang kedua ini pun masih penuh dengan unsur pembalasan dendam atas kesalahan seseorang di masa lalu. Setelah berhasil membalaskan dendamnya kepada Thaddeus dengan menjebloskannya ke penjara dalam film pertama, Dylan, yang kemudian terungkap sebagai The Fifth Horsemen, memutuskan untuk vakum beberapa tahun dan menjalankan pekerjaan rutinnya sebagai anggota FBI. The Four Horsemen, yang dulunya terkenal sebagai pesulap jalanan, terdiri dari Daniel Atlas, Merritt McKinney, dan Jack Wilder yang ketiganya masih diperankan oleh pemeran yang sama dengan film
yang pertama, Jesse Eisenberg, Woody Harrelson, dan Dave Franco. Namun, Henley Reeves yang diperankan oleh Isla Fisher harus absen dalam sekuel kali ini karena kehamilannya. Namun jangan khawatir, Lizzy Caplan akan hadir sebagai Lula, yang hadir dengan karakter yang nyeleneh dan memberikan warna tersendiri dalam aksi The Four Horsemen. Namun, tidak dijelaskan secara gamblang, mengapa Henley Reeves tidak terlibat dalam aksi The Four Horsemen. Sesungguhnya produser film telah menyajikan modal cerita yang dibeberkan pada awal film ini. Sayangnya, modal cerita tersebut dirasa tidak cukup untuk membekali penonton dengan alur cerita yang bergerak cepat. Sepanjang film, penonton dibuat bertanya-tanya dengan
RESENSI FILM
twist-twist cerita yang begitu banyak. Belum sempat terjawab seluruhnya, dan penonton masih harus mendapat sajian kebingungan-kebingungan setelahnya.
Sebagai aksi come-back-nya, The Four Horsemen berencana akan membongkar aksi jahat seorang CEO perusahaan teknologi ternama, OCTA, yang menyalahgunakan data privasi konsumen dalam acara peluncuran sebuah produk terbaru perusahaan tersebut. Belum tuntas menyelesaikan aksinya tersebut, The Four Horsemen harus dihentikan dan kemudian diculik ke Republik Rakyat Tiongkok, Makau.
Adalah Walter Mabry, yang diperankan oleh Daniel Radcliffe, orang yang berada dibalik kekacauan itu. Ia adalah putera dari seorang pemimpin perusahaan asuransi Arthur Tressler. Dalam sekuel pertama, The Four Horsemen mencuri uang Arthur yang tersimpan dalam brankas bank yang dijaga sangat ketat. The Four Horsemen saat itu berhasil membobol keamanan bank dan menyebar uang klaim asuransi yang ditahan oleh Arthur dengan segala alasan tersebut kepada para penonton dalam sebuah perhelatan besar. Tidak menyerah begitu saja, Arthur bersama dengan Walter kemudian menyusun rencana untuk membalaskan dendamnya kepada para The Four Horsemen. Peran Daniel Radcliffe kali ini masih sangat kental dengan sosok anak lakilaki yang bergelut dengan dunia sihir dalam perannya sebagai Harry Potter pada tahun 2001 s.d. 2011. Hal ini mungkin dikarenakan target penonton Now You See Me 2 kurang lebih sama dengan target penonton film Daniel sebelumnya. Terlebih lagi, kedua film itu sama-sama mengandung unsur magic di dalamnya. Namun, pada kesempatan ini, Daniel mencoba menjadi tokoh antagonis dibanding tetap berdiri sebagai tokoh protagonis. Daniel, dengan kecanggihan sains dan teknologi terkini, berniat akan mengalahkan kekuatan magic yang dimiliki oleh para The Four Horsemen. Lebih dari itu, pendapat-pendapat penonton yang meragukan perannya ini dimentahkan kembali oleh Daniel melalui dialognya, “Science beats magic”. Kesulitan untuk menolong temantemannya, Mark Ruffalo, yang berperan sebagai Dylan Rhodes, mendatangi Thaddeus yang dirasa mengetahui
tentang kekacauan ini. Dengan syarat membebaskan dirinya, Thaddeus bersedia untuk membantu Dylan menolong The Four Horsemen.
Di Makau, Walter menggunakan keahlian mereka, membobol sebuah perusahaan teknologi dan mencuri sebuah chip yang dapat mengakses seluruh komputer di dunia. Tidak ada pilihan lain, The Four Horsemen harus berkomplot dengan Walter. Namun di balik itu semua, juga berniat mengkhianati mereka semua setelah aksinya berhasil. Arthur dan Walter berhasil membalaskan dendamnya kepada Dylan dengan menguncinya ke dalam sebuah brankas dan menenggelamkannya ke dalam danau, cara yang sama dengan tenggelamnya sang ayah. Namun, ia berhasil diselamatkan dengan bantuan Thaddeus, melalui trik tersiratnya, dan tentunya The Four Horsemen.
Berkaca dalam film sebelumnya, tentunya aksi The Four Horsemen tidak jauh dari kehebohan dunia sulap. Namun, penonton jangan mengharapkan dapat melihat sebuah real magic dalam film ini. Penonton harus memaklumi bahwa semua hanyalah sebatas cerita fiktif dan rekayasa teknologi dunia perfilman. Hadirnya wajah-wajah baru seperti Jay Chou yang berperan sebagai Li, Tsai Chin sebagai Bu Bu, dan Sanaa Lathan sebagai Deputi Direktur Natalie Austin, dan David Warshofsky sebagai Agen Cowan seakan tidak cukup untuk memberikan nafas segar dalam film ini. Atensi penonton lebih condong memerhatikan peran Daniel Radcliffe yang hadir sebagai villain dan tampil sebagai penjahat yang berkarakter geek dan konyol, bukan ganas dan garang.
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
tercengang dalam film tersebut. Memang, penonton dihadirkan sebuah aksi sulap yang menakjubkan dan aksi pertengkaran dengan bumbu-bumbu kungfu khas Tiongkok, namun hal tersebut juga tidak mampu memenuhi ekspektasi penonton. Hal ini terjadi mungkin karena penonton sudah membangun ekspektasi yang sangat tinggi dengan membandingkan twist dalam ending film pertamanya. Selain itu, penonton juga sudah menanti dan menerka-nerka twist apa yang akan diberikan dalam akhir film. Dan ketika pihak film memutuskan menggunakan cara yang sama dengan film pertama, para penonton tidak terlalu mendapatkan apa yang sebenarnya mereka inginkan. Namun, beragam konflik yang dimunculkan dalam film ini patut diapresiasi sehingga tidak melulu menceritakan sebuah cerita yang datar.
Di akhir film, ditunjukkan bahwa The Four Horsemen berjalan menuju sebuah pintu dan sebuah tangga yang membentuk ornamen “The Eye”. Tidak dijelaskan kemana arah tangga itu akan berujung. Mungkin penonton diantarkan menuju lanjutan serial dalam film Now You See Me 3 yang sampai sekarang masih belum diumumkan tanggal mainnya. Kita tunggu saja bagaimana aksi The Four Horsemen dalam sekuel selanjutnya. n Sutradara
:
Hon M. Chu
Penulis Naskah
:
Ed Solomon
Pemain
:
Jesse Eisenberg, Mark Ruffalo, Woody Harrelson, Dave Franco, Daniel Radcliffe, Lizzy Caplan, Morgan Freeman
Durasi
:
129 menit
Skor
:
5 dari 10
Yang perlu digarisbawahi lagi, film ini tetap menggunakan “bumbu” yang sama dengan “bumbu” pada film sebelumnya sehingga tidak ada kejutan-kejutan berarti yang membuat penonton
55
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016
56