WARISAN BUDAYA DAYAK BAGI KELESTARIAN ALAM DAN PEMBANGUNAN KARAKTER MANUSIA Oleh: A.Teras Narang, SH
Disampaikan pada Seminar Internasional “Local Wisdom to Save the Earth”, Yogyakarta, 10 Oktober 2012
WARISAN BUDAYA DAYAK BAGI KELESTARIAN ALAM DAN PEMBANGUNAN KARAKTER MANUSIA1 Oleh A.Teras Narang, SH2 A. Pendahuluan 1. Sejarah Suku Bangsa Dayak Ketika berbicara tentang kata “Dayak” maka secara tidak langsung rujukan yang muncul adalah “suku bangsa yang mendiami Pulau Kalimantan”. Maka, kita akan berbicara tentang apa, siapa, dan bagai mana suku bangsa Dayak itu. Beberapa literatur asing, terutama penulis atau peneliti yang pernah tinggal di Pulau Kalimantan kemudian memberikan sebuah terminologi yang umum tentang Dayak. Namun, dari semua pemaknaan tentang kata Dayak tidak ditemukan makna yang tepat, kecuali bahwa suku bangsa ini yang mula-mula mendiami Pulau Kalimantan berasal dari migrasi suku bangsa Proto Melayu dari Cina Selatan. Dari beberapa penelitian, kurang lebih 200 tahun Sebelum Masehi, terjadi perpindahan bangsa Melayu yang pertama ke Indonesia. Kedatangan secara bergelombang dari daerah Yunan. Mula-mula mereka mendiami daerah pantai, kemudian karena kedatangan bangsa Melayu Muda, maka bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, mereka terdesak masuk ke pedalaman. Hal ini kemungkinan karena kalah perang atau juga disebabkan karena kebudayaan Melayu Tua lebih rendah dibandingkan kebudayaaan Melayu Muda (Riwut, 2003:59). Terlepas dari berbagai pendapat, Dayak adalah nama generik yang digunakan untuk menyebut suku-suku yang mendiami Pulau Kalimantan. Beberapa subsuku bangsa Dayak yang mendiami sepanjang alur sungai besar di Kalimantan Tengah lebih suka mnegidentifikasi diri dengan sebutan uluh (orang), misalnya Uluh Ngaju, Uluh Katingan, Uluh Barito,dan lain-lain (Mahin, 2005:5--6). Akulturasi dan interaksi dengan berbagai suku bangsa lainnya hingga membentuk sebuah kebudayaan baru yang masuk di Pulau Kalimantan yang kita kenal dengan kebudayaan Dayak sekarang ini. Warisan budaya tersebut ternyata menjadi hal yang sangat penting dalam membangun kehidupan berbangsa di tengah konsep kekinian dan upaya untuk tetap bertahan dari perubahan zaman.
Disampaikan pada Seminar Internasional “Local Wisdom to Save the Earth”, yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK), Yogyakarta, 10 Oktober 2012 2 Gubernur Kalimantan Tengah dan Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN). 1
2
2. Perspektif Etnoreligi Masyarakat Keseimbangan Kosmis
Dayak:
Harmonisasi
dan
Etnoreligi Kaharingan memandang bahwa hidup dan tatanan kehidupan manusia tidak terlepas dari campur tangan Tuhan. Menurut Schärer (1963), hubungan antara manusia dengan Tuhan di dalam Kaharingan merupakan hubungan yang tidak boleh tercederai. Kalaupun terjadi, maka manusia harus memberlakukan upaya-upaya restorasi dan rehabilitasi. Upaya-upaya pemeliharaan harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan berdampak kepada keseimbangan kosmis yang akan memberikan kemaslahatan (beneficiary) bagi umat manusia di muka bumi. Oleh karena itu, masyarakat Dayak sangat menghargai dan menghormati hadat (law, custom, right behavior) sebagai tuntunan hidup (belum bahadat) dan berperilaku di dalam masyarakat. Mereka percaya dengan taat kepada hadat dalam kehidupan mereka akan melapangkan jalan menuju surga (setelah ditiwahkan) yang disebut dengan Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan Hakarangan Lamiang. Singkatnya, “hadat” merangkumi perbuatan dan keyakinan, peradaban dan kebudayaan, hukum dan agama, etik dan dogma (Ugang, 1983:50). Sebagai manusia yang menjalani dan menaati “hadat”, masyarakat Dayak sangat menjaga harmonisasi hubungan ketiga dunia tersebut. Apabila terjadi pelanggaran terhadap hadat yang mengatur hubungan triarkis antara manusia dengan Tuhan dan alam, maka kewajiban manusia adalah melakukan restorasi dari sistem kosmis yang dirusak dan melakukan pemulihan (recovery) sehingga keseimbangan kosmis dapat terpelihara dan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia di muka bumi. Masyarakat Dayak Kaharingan percaya bahwa bumi yang ditempati sebagai “pinjaman” atau “dunia yang ditopang oleh kekuasaan dualitas Dunia Bawah (Jatha Balawang Bulau)” bersama-sama dan satu dengan Dunia Atas (Ranying Mahatala Langit). Oleh karenanya, masyarakat Dayak diwajibkan menjaga keselarasan dunia manusia (alam) dan benda-benda ciptaan-Nya. Dengan demikian, mereka dapat memperoleh kemaslahatan dari apa yang diperlakukannya kepada sesama dan alam dalam rangka menuju keselarasan hubungan dengan Tuhan. Di dalam mencapai misi menuju kematian sempurna setelah dilakukan upacara tiwah (good dead, Scharer 1963), mereka terlebih dulu menaati “hadat” melalui perbuatan baik (kepada sesama, Tuhan, dan alam). Masyarakat Dayak Ngaju merangkumi semua tatanan etik dan perilaku ke dalam sebuah pandangan hidup (way of life). Seperti dipaparkan sebelumnya, Kaharingan sebagai etnoreligi menjadi poin fokus (focal point) dalam menjelajahi struktur dalam atau deep structure dari kebudayaan Dayak Ngaju itu sendiri. Kaharingan di satu pihak sebagai etnoreligi memegang peran penting bagi terbentuknya hadat sebagai tatanan perilaku sosial. Schärer (1963) mendefinisikan bahwa “hadat rules a whole of life and thought, and relation between man and the cosmos.It is the guide through 3
life, and only if a man constantly orients himself by it does he step surely and go through life as true man who submits himself obediently to the godhead and carries out its will, and thus receive well-being for himself and the entire of cosmos”. Dengan kata lain, hadat merupakan tuntunan bagi segenap kehidupan manusia (Dayak Ngaju), dan manusia harus diarahkan olehnya (dan dapat mengarahkan dirinya) supaya ia tidak tersesat dari jalan yang benar (Ugang, 1983). Hadat tidak semata-mata mengatur hubungan perilaku antarsesama manusia di bumi, akan tetapi merupakan upaya mempertahankan harmonisasi dan keseimbangan alam semesta (kosmis). Hadat memiliki peran sentral sebagai aturan hukum tak tertulis dan pandangan hidup yang merangkumi semua perikehidupan masyarakat Dayak Ngaju--dari prosesi ritual kelahiran, perkawinan, bermasyarakat hingga kematian. Oleh karena itu, ritus-ritus sebagai bagian dari pemenuhan hadat dan pemenuhan etnoreligi dalam konteks harmonisasi kosmos, mutlak untuk dilakukan. Hadat tidak saja memuat tentang konsep etik, tetapi juga menyangkut amal baik sebagai bagian dari ibadat. Konsepsi ini mempersyaratkan bahwa apabila terjadi kelalaian pemenuhan hadat diyakini akan terjadi disharmoni kosmis. Hal ini dapat dilihat pada terminologi seperti manantarang hadat „melanggar adat‟, malawan hadat „menentang adat‟, dan mangarak hadat „menghancurkan adat‟. Jika kondisi ini terjadi, upaya pemulihan harmonisasi kosmos harus dilakukan perbaikan tatanan—restoration of order. Apabila diabaikan maka diyakini akan munculnya bencana, wabah, dan kutukan sebagai hukuman (punishment) dari Sang Pencipta. Dengan kata lain, seluruh manusia Dayak Ngaju yang tahu hadat akan berperilaku sesuai apa yang dipersyaratkan oleh hadat agar terjadi keseimbangan hubungan sesama manusia (horizontal) dan kepada Sang Pencipta (vertikal). Hadat juga secara kongkret berperan sebagai regulator dan katalisator sosial bagi masyarakat Dayak Ngaju. Dengan demikian, semua tatanan sosial tersebut diharapkan berjalan sesuai hadat, sehingga manusia Dayak dapat menjadi manusia—yang menurut Schärer—sebagai sacred people who lived in the sacred land and get a sacred death, which belongs to a sacred place (lewu tatau/sorga). Dalam hubungan hadat terhadap alam, alam diyakini merupakan “titipan atau pinjaman”dari Tuhan (Lewu Injam Tingang) yang hanya bersifat sementara. Oleh karenanya, manusia hanya mengusahai alam dengan arif dan bijaksana. Mereka tidak memiliki kekuasaan terhadap alam, sebab alam telah diciptakan dan diatur tatanannya oleh Tuhan (Ranying Mahatala Langit). Karena alam berupa “titipan atau pinjaman”, maka manusia hanya memanfaatkan alam seperlunya saja untuk kepentingan mempertahankan hidup. Hal ini tercermin dalam perilaku masyarakat Dayak di dalam menjaga agar komponen di dalam alam dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan. Hutan, misalnya, merupakan 4
komponen penting bagi kelangsungan hidup mereka. Di dalam memanfaatkannya tidak dilakukan dengan sembarangan dan membabi buta. Jauh sebelum adanya pemikiran tentang konservasi dan hutan lindung, masyarakat Dayak sudah mencadangkan kawasan hutan. Mereka memiliki hutan cadangan yang disebut pukung pahewan (hutan adat; hutan cadangan). Hal ini dimaksudkan sebagai penyangga keanekaragaman hayati dan cadangan bagi generasi mendatang. Kearifan lain adalah apabila salah satu warga meninggal dunia akibat tertimpa kayu, maka tetua adat akan melakukan serangkaian upacara ritual mangayau kayu dengan maksud agar setelahnya hubungan manusia dengan alam kembali dipulihkan. Kayu dianggap secara filosofis memiliki 'roh', karena daripadanya masyarakat Dayak memperoleh manfaat bagi kehidupan. Penyucian hubungan tersebut dimaknai sebagai bagian dari upaya menjaga harmonisasi hubungan manusia dengan alam yang berimplikasi kepada keseimbangan kosmis secara menyeluruh. Di pihak lain, berbagai kearifan dan pengetahuan lokal masyarakat Dayak dalam mengusahakan alam dan benda-benda alam dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup dapat dilihat pada berbagai bidang. Pada bidang pertanian dan perkebunan misalnya, berladang terlebih dulu dilakukan ritus-ritus, di mana ritus-ritus tersebut bertujuan untuk meminta izin kepada Sang Pencipta agar diberikan tempat yang mampu memberikan hasil yang maksimal. Budidaya padi dan palawija serta sayur-mayur hutan, buah-buahan hutan, dan lain-lain, termasuk tanaman hutan bagi pengobatan dan kesehatan. Pada bidang perikanan, misalnya terdapat berbagai teknologi lokal yang ramah lingkungan, seperti alat tangkapan ikan tradisional, kegiatan manuwe (menuba) ikan dari getah pohon alami dan tidak berbahaya bagi kesehatan. Beberapa alat tangkapan tradisional lainnya, seperti jerat, dondang (sejenis tombak pelontar), rangkep (perangkap), dan lain-lain, tidak bertujuan untuk mengakibatkan terjadinya kepunahan. Semua aktivitas pengusahaan alam dan hutan didasarkan pada pemahaman pemikiran yang telah dibuktikan berabad lamanya demi kepentingan generasi setelahnya, serta dalam rangka upaya pemenuhan amanat sebagai bakti bumi manusia Dayak terhadap Sang Pencipta. Sumber-sumber yang dianggap relevan untuk memahami religi masyarakat Dayak terhadap keseimbangan kosmis adalah melalui mitemite (Ukur dalam Florus,dkk. , 1994). Termasuk di dalamnya mitos-mitos tentang hutan adat dan satwa tertentu. Perlakuan masyarakat Dayak terhadap aneka satwa, misalnya menyiratkan kearifan mereka di dalam pemenuhan kebutuhan hidup (need for life fulfillment). Mereka percaya bahwa tidak semua satwa dapat dibunuh dan dijadikan makanan. Ada beberapa jenis satwa yang dilindungi, di antaranya burung tingang atau enggang dan elang, misalnya. Burung enggang merupakan simbol
5
penguasa Alam Atas, sedangkan burung elang dianggap sebagai burung “pemberi tanda” atau “petunjuk” (dahiang). Harmonisasi hubungan manusia dengan alam merupakan manifestasi dari bakti manusia Dayak kepada Tuhan melalui benda-benda ciptaan-Nya. Masyarakat Dayak percaya bahwa “apa yang ditabur, itulah yang dituai”. Oleh karenanya, mereka menganggap pelestarian alam adalah tanggung jawab yang harus diemban manusia. 3. Tradisi Lisan Dayak (Ngaju) a. Tetek Tatum (Mitos Hikayat Asal-usul Manusia Dayak) Manusia Dayak tidak hidup dalam tradisi tulis sama seperti kebanyakan suku bangsa lain di dunia. Namun, masyarakat Dayak bukan berarti tidak mengenal akan sejarahnya. Satu-satunya upaya untuk memahami perjalanan kehidupan suku di masa lalu adalah berbagai bentuk kearifan lokal dan kegiatan bersastranya. Di dalam tradisi lisan, kegiatan bersastra tersebut sangat menonjol yang ditandai dengan berbagai bentuk tuturan. Tuturan tersebut dapat berupa puisi-puisi etnik (lihat Danandjaya 1992; Mage 2008), aneka bentuk pengharapanpengharapan tradisional, ungkapan-ungkapan dan dongeng-dongeng tradisional (bdk. Riwut 1993; dan Riwut 2004). Tetek Tatum merupakan mite yang diceritakan secara turun temurun yang menceritakan tentang asal-usul manusia Dayak. Kegiatan bersastra ini disebut dengan manatum, yakni kegiatan para tua menuturkan kepada generasi di bawahnya dan mengingatkan kembali tentang sejarah leluhur. Tetek Tatum yang terbangun secara “antara nyata dan tiada” sebuah bangunan imajiner sebagai struktur antara kenyataan yang dimitoskan atau mitos yang berusaha dan “seolah-olah” dinyatakan. Ia menjadi satu-satunya rujukan mitis yang menceritakan sejarah asal-usul manusia Dayak, sehingga manusia Dayak tidak melupakan amanah yang diberikan oleh Sang Pencipta. b. Karungut, Sansana, Tanding Tampengan, dan Kesah (cerita rakyat) Karungut adalah semacam pantun yang dilagukan. Ia merupakan ekspresi dari pikiran dan perasaan yang berisikan tentang berbagai nasihat, teladan dan prinsip-prinsip dalam persatuan dan kebersamaan dalam setiap aspek kehidupan (Riwut, 2003:369). Karungut merupakan kearifan linguistik yang menggunakan bahasa Dayak Ngaju sebagai medium sehingga menimbulkan rima yang harmonis diiringi alat musik yang disebut kacapi (kecapi). Contoh karungut yang mengandung nasihat dan semangat untuk membangun kebersamaan, misalnya seperti karya M. Darman (ibid:389) berikut. Peteh Ije Biti Anak Kalteng Pesan dari Seorang Putra Kalteng
6
O, itah Kalimantan Tengah O, kita penduduk Kalimantan Tengah Toh kamiar je haru dumah Ini perjalanan yang baru datang Itah manyambut je bua-buah Kita sambut dengan baik-baik Pendeng punduk harus tandipah Berdiri dan duduk harus berhadapan Ela kilau je helo-helo Jangan seperti yang sudah-sudah Are karabut je hasanselo Banyak berebutan dan saling mendahului Keleh manumon uluh bakas helo Lebih baik meneladani orang tua dahulu Tau hapakat papire lewo Bisa bersatu beberapa kampung Amon itah tau hapakat Kalau kita bisa bersatu Taloh je babehat ulih iangkat Hal yang berat bisa terangkat Sansana merupakan sejenis epos tentang kepahlawanan atau kisah perjalanan hidup seseorang. Tanding Tampengan dapat dikategorikan sebagai pepatah-petitih, yang memuat tentang bimbingan moral (moral guidance) dan character building yang juga memuat tentang ajaranajaran bagi manusia Dayak dalam berkehidupan. Sebagai contoh tanding tampengan sebagai nasihat bagi pemimpin, misalnya: ela manumbal binjai intu lunuk, yang artinya menemukan solusi berdasarkan jenis masalah, kenali dulu masalah, baru temukan solusi yang tepat, dan tapuruk pai tau injawut, tapuruk pander dia tau inangkaluli, artinya sekali kaki terperosok (ke dalam lubang) bisa ditarik, namun sekali omongan terucap maka tidak bisa ditarik lagi. Hal ini mengingatkan seseorang untuk lebih dulu berpikir secara matang dan dewasa sebelum bertindak. Kesah merupakan cerita rakyat dituturkan secara turun temurun yang bertemakan pendidikan karakter dan bimbingan moral lainnya. Kesah sering disimbolisasi melalui fabel (dongeng binatang). c. Seni Tari, Seni Ukir dan Lainnya Beberapa seni lainnya yang berkaitan dengan kearifan tradisional adalah seni tari. Seni tari memuat pesan-pesan filosofis tentang alam, lingkungan, dan keagungan Pencipta. Berbagai pesan moral lainnya dapat dilihat pada arsitektur dan ukir-ukiran yang sarat dengan kehidupan sosial dan hubungan dengan Tuhan. Seni tato, misalnya, mengandung makna simbolik si pemilik, apakah keturunan rendah atau tinggi, seorang perkasa atau orang kebanyakan. Beberapa benda yang berkaitan dengan alam yang menghiasi rajah tubuh tersebut meliputi gambar bulan, matahari, 7
flora dan fauna yang dianggap sakral dan memiliki hubungan yang baik dengan manusia. B. Budaya Dayak Keindonesiaan
dalam
Dinamika
Berbangsa
dan
Konteks
1. Budaya Betang Budaya Betang merupakan simbolisasi terhadap etika sosial dalam masyarakat yang heterogen. Toleransi yang tinggi sesama penghuni betang atau rumah panjang menjadikan landasan dalam berkehidupan bagi masyarakat Dayak. Meski hidup dalam perbedaan agama, latar belakang etnis, dan status sosial, masyarakat Dayak menjunjung tinggi dan menghormatinya, sehingga mampu melebur dalam konteks kebhineka-an. Budaya Betang menjunjung tinggi etika sosial yang egaliter, sehingga semua orang diharapkan menjadi teladan untuk belom bahadat, atau hidup bermartabat, hidup beradat. Dengan demikian, akan tercipta harmonisasi kehidupan, baik dalam hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan alam, maupun hubungan antarsesama manusia di muka bumi. Konteks belum bahadat merupakan intisari dari aktualisasi dan implementasi dari hukum adat, yang mana kehidupan manusia Dayak sebagai pengemban amanah Tuhan untuk menjaga harmonisasi ecological equilibrium (eco-librium) itu sendiri. 2. Belum Penyang Hinje Simpei (Hidup Bersama dalam Semangat Persatuan dan Kesatuan) Persatuan, kesatuan dan kebersamaan semua komponen yang ada di Kalimantan Tengah menjadi modal dasar bagi strategi pembangunan. Tanpa itu semua, niscaya tidak akan berhasil. Dalam periode kedua pembangunan Provinsi Kalimantan Tengah, setiddaknya telah diterbitkan beberapa dasar hukum bagi pelesatrian adat dan hukum adat sebagai aturan yang hidup dan mengakar pada masyarakat Dayak, di antaranya Peraturan Daerah Nomor 16/2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah, Peraturan Gubernur Nomor 13/2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat di Atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah, dan Peraturan Gubernur Nomor 17/2011 tentang Pengajaran Muatan Lokal di Provinsi Kalimantan Tengah. Terbitnya beberapa regulasi tersebut menyiratkan keseriusan Pemerintah Daerah dalam upaya untuk tetap memelihara tatanan warisan budaya agar kepentingannya dapat terus adaptif dengan tuntutan zaman dan eskalasi pembangunan. Dalam konteks tanah adat, misalnya, upaya konservasi dan pengetahuan lokal tentang hutan adat dapat terlembagakan. Kita menyadari, kearifan lokal masyarakat Dayak dalam menjaga hutan adatnya, seperti pukung pahewan, merupakan warisan yang sangat bernilai bagi kelangsungan hidup generasi mendatang, juga bagi kelestarian keanekaragaman hayati.
8
C. Penutup Masyarakat Dayak dewasa ini adalah masyarakat yang telah terbukti untuk tetap bertahan di tengah heterogenitas bangsa. Dengan warisan beraneka kearifan tradisional dan pengetahuan tradisionalnya, mereka mampu untuk terus eksis dan berkembang untuk selalu melakukan adaptasi dan aktualisasi menuju tatanan berkehidupan yang harmonis. Warisan budaya tersebut menjadi modal dasar bagi pembangunan Provinsi Kalimantan Tengah, khususnya, dan pembangunan nasional, secara umum. Prinsip-prinsip falsafah Budaya Betang, misalnya adalah miniatur dan implementasi yang realistis dari bangunan ke-bhinneka-an Pancasila. Di samping itu, hal yang tidak kalah penting adalah, dalam upaya penyelamatan Bumi, masyarakat Dayak telah melakukannya berabad-abad lamanya. Falsafah tentang harmonisasi dengan alam, dengan Tuhan Sang Pencipta, dan sesama manusia, telah pula terbangun pada implementasi kearifan ekologi seperti konservasi pukung pahewan, menjalankan hadat sebagai bakti bumi, dan menjaga keseimbangan ekologis yang ada. Di dalam konteks lain tentang pembangunan karakter bangsa, berbagai tradisi lisan pada masyarakat Dayak menjadi sangat relevan, di tengah karut-marut persoalan moralitas bangsa. Seni sastra seperti karungut, tanding tampengan, dan berbagai karya seni leluhur lainnya, seolah mutiara yang tidak akan pernah pudar warnanya. Ia membimbing kita menuju sebuah gerbang harmonisasi eco-librium tersebut. Di mana semua terbingkai dalam persatuan dan kesatuan, saling hormatmenghormati dan menghargai, sehingga tujuan pembangunan manusia dapat terwujud demi kejayaan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-bhinneka tunggal ika yang kita cita-citakan bersama. Referensi Danandjaja, James. 1986. Folk;or Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers Mage, Arnusianto. 2008. “Upaya Pendokumentasian Puisi Etnik dan Teks Ritual (Canon) Budaya Dayak dalam Usaha Memperkaya Khasanah Kebudayaan Nasional”. Makalah tidak diterbitkan. Mahin, Marko. 2005. Tamanggong Nikodemus Ambo Djajanegara. Menyusuri Sejarah Sunyi Seorang Temenggung Dayak. Banjarmasin: Lembaga Studi Dayak-21 Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan. Disunting oleh Nila Riwut dan Agus Fahri Husein. Yogyakarta: Tiara Wacana Riwut, Tjilik. 2003. Maneser Panatau Tatu Hiang (Menelusuri Kekayaan Leluhur). Pusakalima: Palangka Raya.
9
Schärer, Hans. 1963. Ngaju Religion: The Conception of God Among A South Borneo People. Translated by Rodney Needham. The Hague: Martinus Nijhoff. Ugang, Hermogenes. 1983. Menelusuri Jalur-Jalur Keluhuran. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Ukur, Fridolin. 1971. Tantang Djawab Suku Dajak. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Ukur, Fridolin. 1994. “Makna Religi dari Alam Sekitar dalam Kebudayaan Dayak” dalam Florus (Ed.). Kebudayaan Dayak: Aktualiasi dan Transformasi. Prosiding Seminar dan Ekspo Kebudayaan Dayak. Jakarta: Grasindo-LP3S-Institut Dayakologi.
10