“ WARIS KALÂLAH DALAM PANDANGAN WAHBAH AZ-ZUHAILY ” ( Tafsir QS. Al-nisâ’ (4) ayat 12 dan ayat 176 )
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh: Putri Ajeng Fatimah 107034001546
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYRIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432H/2011M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 22 Juni 2011
Putri Ajeng Fatimah
ABSTRAK
Putri Ajeng Fatimah “ Waris Kalâlah Dalam Pandangan Wahbah Az-Zuhaily ” ( Tafsir QS. Alnisâ’ (4) ayat 12 dan ayat 176 ). Kalâlah dalam warisan Islam pada dasarnya membahas tentang hak kedua saudara dan saudari untuk mewarisi uang, properti,dll, sebagai akibat dari meninggalnya seseorang. Ada pendapat yang berbeda tentang makna kalâlah itu sendiri. Sebagian ulama ataupun mufassir mendefinisikan sebagai seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah atau seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak dan orang tua. Selain itu, beberapa pihak dari ulama atau mufassir pula berpendapat bahwa dipandang hanya dari seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak saja. Berdasarkan analisis dari kedua ayat dalam surat Al-nisâ’ (4) ayat 12 dan ayat 176 ) disini, dapat disimpulkan bahwa terbukti perbedaan makna kalâlah di antara para ulama ataupun mufassir – mufassir dengan Wahbah Az-Zuhaili, yakni mendefinisikan sebagai seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak dan orang tua, seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah ataupun seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak saja. Adapun mengenai pembagian – pembagiannya terhadap orang yang menerima waris, pendapat Wahbah Az-zuhaily memiliki persamaan dengan mufassir lainnya. Hanya saja terdapat penambahan dalam setiap pembagiannya. Dengan demikian yang disebut sebagai kalâlah adalah saudara baik laki – laki maupun perempuan sebagai posisi seseorang yang menjadi pewaris. Ini berarti ketidakmungkinan dari saudara seseorang untuk menerima beberapa warisan jika seseorang meninggal dunia meninggalkan anak (anak laki atau putri) dan ayah.
i
ii
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT Yang Maha Esa, Tuhan pencipta dan pemelihara alam semesta. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman. Atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dalam rangka memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan, penulis tidak luput dari hambatan dan kesulitan. Namun, berkat bantuan, motivasi dan dukungan dari semua pihak yang terkait dengan penulis, alhamdulillah skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah . 3. Bapak Dr. Bustamin, M.Si , selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis. 4. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, Selaku sekretaris Jurusan Tafsir Hadis. 5. Ibu Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA selaku Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dalam memberikan pengarahan, bimbingan serta dorongan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
ii
6. Seluruh staf pengajar Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah meluangkan waktu dan tenaga serta pikiran dan membekali penulis dengan ilmu pengetahuan selama penulis kuliah di UIN Jakarta. 7. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan FUF, Pusat Studi Alqur’an dan Perpustakaan Iman Jama'. 8. Ayahanda tercinta ( H. Lasiyo ) dan Ibunda tersayang ( Hj. Tri Kusmiyati ) yang selalu mencurahkan kasih sayangnya, untaian do’a, dukungan moril maupun materil, semangat dan rasa cintanya yang tak terhingga dan begitu mendalam, yang selalu dicurahkan sepanjang masa. Kakakku tersayang ( Almh. Ayu Wulandari ) yang selalu memberikan arahan dan supportnya sampai engkau menutup mata untuk selamanya. Semoga Allah memberikan tempat yang terindah di surga untukmu. Kemudian adikku (Intan Tri Aisyah dan Nurlatifah Tusa’diyah) dan keponakanku yang imut ( Aluthfi Galih Setyadika ) yang selalu ceria menemaniku dengan segenap keceriaan canda dan tawa. Serta seluruh keluarga besarku yang memberikan motivasi kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini. 9. Teman-teman seperjuangan TH B “07 UIN Jakarta,
Special buat
( Nuril, May, Zahro & Reva, dan Bundaqu Ana Fauziyah & Rafa ). Buat semua Makasih ya untuk kebersamaanya dan supportnya selama ini. Banyak sekali kenangan – kenangan indah yang telah kita lewati bersama.
iii
10. Sahabat-sahabatku, Ka ief, teteh Yati, ka Nca, Jaur, Ie_baL dll. Terimakasih untuk persaudaraan, persahabatan, kebersamaan dan keceriaannnya. Semoga akan terus terjalin indah. 11. Furkon Hidayat ( seseorang yang selalu sabar sekali dalam menghadapi kepusingan saya selama pembuatan skripsi ini dan selalu meluangkan waktunya setiap saat, serta selalu membuat tersenyum dalam kondisi apapun ). makasih untuk smua’a..Ayaah .. 12. Kholis dan Ruri ( yang telah banyak membantu penulis dan meluangkan waktu serta membekali penulis dengan ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan skripsi ini. 13. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Bagaimanapun penulis menyadari bahwa dalam karya tulis ini masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan. Untuk itu, penulis akan sangat berterima kasih atas saran dan kritik yang membangun dari pembaca, besar harapan penulis agar karya tulis ini dapat bermanfaat. Akhirnya, penulis hanya dapat berdo’a kepada Allah SWT semoga segala bantuan dan jasa dari berbagai pihak nantinya akan dilimpahkan pahala yang berlipat ganda baik di dunia maupun di akhirat. Jakarta, Juni 2011
Putri Ajeng Fatimah
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK......................................................................................................
i
KATA PENGANTAR……………………………………………………....
ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………….…...
v
PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………………..... vii
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………….…........
1
A. Latar Belakang Masalah……………………………….…..
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………….……..
9
C. Tujuan Penelitian .…………………………………...……
10
D. Kajian Pustaka …..………………………………………… 10 E. Metodologi Penelitian……………..………………………. 12 F. Sistematika Penulisan……………………………...………. 13
BAB II
TAFSIR AL-MUNIR DAN PENULISNYA ........................... 15 A. Biografi Wahbah az-Zuhaily ………….....……..………… 15 1. Kehidupan dan Pendidikan Wahbah az-Zuhaily……... 15 2. Karir Akademis Wahbah az-Zuhaily………………… 17 3. Karya – karya Wahbah az-Zuhaily…………………... 18 B. Tafsir Al – Munir………………..…..……………………... 19 1. Motivasi......................................................................... 19 2. Sumber Penafsiran.......................................................... 19 3. Referensi Utama............................................................. 20 4. Metode .......................................................................... 21 5. Corak............................................................................. 21 6. Sistematika.................................................................... 22
v
BAB III
PENGERTIAN
KALÂLAH
DAN
PENAFSIRAN
AYAT
KALÂLAH ……………………………………………….…… 24 A. Pengertian.............................................................................. 24 1. Pengertian Warisan…………………………………… 24 2. Pengertian kalâlah………………………………………… 25 B. Penafsiran Ayat kalâlah........................................................ 28 1. Penafsiran Surat al-Nisa (4) ayat 12………………….. 28 2. Penafsiran Surat al-Nisa (4) ayat 176………………… 39 C. Analisa.................................................................................... 43
BAB IV
PENUTUP…………………………………………………….. 52 A. Kesimpulan………………………………………………… 52 B. Saran……………………………………………………….. 53
DAFTAR PUSTAKA……………………..…………………………………... 54
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI1 Konsonan Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan tidak dilambangkan
B
Be
T
Te
Ts
te dan es
J
Je
H
h dengan garis bawah
Kh
ka dan ha
D
da
Dz
De dan zet
R
Er
Z
Zet
S
Es
Sy
es dan ye
S
es dengan garis bawah
D
de dengan garis bawah
T
te dengan garis bawah
Z
zet dengan garis bawah
„
koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
Gh
ge dan ha
1
Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105
vii
F
Ef
Q
Ki
K
Ka
L
El
M
Em
N
En
W
We
H
Ha
„
Apostrof
Y
Ye
Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebai beeriku: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
______َ
a
fathah
___ِ___
i
kasrah
______ُ
u
dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
__َ__ي
ai
a dan i
َ____ و
au
a dan u
viii
Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ــَا
â
a dengan topi di atas
ــي
î
i dengan topi di atas
ـــو
û
u dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tashdid) Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya.
Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). ix
Contoh: no
Kata Arab
Alih aksara
1
tarîqah
2
al-jâmî ah al-islâmiyyah
3
wahdat al-wujûd
Huruf Kapital Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid AlGhazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.
x
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kata “ Qur’an ” menurut bahasa berarti “bacaan”. Adapun definisi AlQur’an ialah : “ Kalam Allah swt yang merupakan merupakan mukjizat yang diturunkan ( diwahyukan ) kepada Nabi Muhammad saw. 1 Sewaktu Al-Qur’an diturunkan pada kira – kira tiga belas setengah abad yang lalu, di dunia sudah terdapat banyak agama dan banyak kitab yang dianggap suci oleh pengikut – pengikutnya, dan itulah salah satu sebab mengapa al-Quran harus diturunkan.2 Al-Quran diturunkan untuk menjadi pegangan bagi mereka ( umat manusia ), yang ingin mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tidak diturunkan hanya untuk suatu umat atau untuk suatu abad, tetapi untuk seluruh umat manusia dan untuk sepanjang masa. Karena itu luas ajaran – ajarannya adalah sama dengan luasnya umat manusia.3 Al-Qur’an diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Pada saat problem itu al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar – dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan utnuk langkah – langkah
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah ( Semarang : CV . Alwaah, 1989) Hal : 16 2 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah ( Semarang : CV . Alwaah, 1989) Hal : 38 3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah ( Semarang : CV . Alwaah, 1989) Hal : 87 1
2
manusia, dan yang sesuai pula untuk setiap zaman. Manusia yang kini tersiksa hati nuraninya dan akhlaknya yang sudah rusak, tidak mempunyai pelindung lagi dari kejatuhannya dalam jurang kehinaan selain al-Quran.4 Sebagaimana Allah telah berfirman dalam surat Tâhâ ayat 123 – 124 :
Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".5 Al-Quran karim sebagai mukjizat yang terbesar bagi Nabi Muhammad saw, amat dicintai oleh kaum muslimin, karena fasahah serta balaghahnya ( keindahan susunan dan gaya bahasanya ) yang tidak dapat dibandingi dari bacaan lainnya dan sebagai sumber kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.6 Al-Quran yang diwahyukan Allah swt. kepada Nabi saw. memiliki sejumlah mukjizat yang tidak akan pernah di kalahkan. Mukjizat yang dikandung al-Quran ini hadir dalam berbagai aspek baik dari segi pemaparannya, pemberitaannya, bahasa dan lainnya. Banyak sekali literature 4
yang sudah
Asep Murdana, Lafazh yang bermakna kebaikan dalam perspektif al-qur’an, ( Jakarta : Hal 1-2 ) 5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah ( Bandung : Diponegoro, 2005) 6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah ( Semarang : CV . Alwaah, 1989) Hal : 110
3
menyusun tentang kemukjizatan ini, salah satu contoh yang paling dekat adalah mufassir Indonesia, M.Quraish Shihab yang menurunkan tema ini dalam bukunya Mukjizat al-Qur’an. Sesunguhnya keagungan al-Qur’an tidak terbatas, Setiap manusia yang hidup di atas muka bumi ini wajib mempelajari dan mendalaminya. Al-qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, pembawa hidayah dan kebenaran kepada umatnya.7
1. Alif laam raa8. inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmah ( Yunus : 1.) Sesuai dengan sejarahnya yang murni dan kandungannya yang lengkap, sempurna dan objektif serta langgeng , adalah wajar apabila al-Qur’an berfungsi sebagai pedoman hidup, petunjuk jalan, pegangan yang kukuh, penerangan yang jelas antara yang benar dan salah bagi umat manusia sepanjang masa . dengan fungsi inilah al-qur’an diturunkan oleh Allah swt kepada nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepda umat manusia di muka bumi ini .
7
Syazwani , hak perempuan dalam pembagian harta warisan menurut al-qur’an ,( Jakarta : Hal . 1 ) 8 ialah huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat Al Quran seperti: Alif laam miim, Alif laam raa, Alif laam miim shaad dan sebagainya. diantara ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah Karena dipandang termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang menafsirkannya. golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian para Pendengar supaya memperhatikan Al Quran itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa Al Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad. kalau mereka tidak percaya bahwa Al Quran diturunkan dari Allah dan Hanya buatan Muhammad s.a.w. semata-mata, Maka cobalah mereka buat semacam Al Quran itu.
4
Maka sangatlah pantas apabila Rasulullah saw, sebagai manusia pertama yang menjadi transmitter pewahyuan al-Qur’an yang mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap keutuhan dan keontetikan al-Qur’an. Setiap kali wahyu turun beliau langsung menyampaikannya kepada para sahabatnya serta memerintahkan mereka untuk langsung mencatatnya. 9 Di dalam Al-Quran banyak sekali pembahasan mengenai permasalahan yang terjadi di dunia ini, salah satu masalah pokok yang dibicarakan oleh alqur’an adalah kewarisan. Kewarisan , pada dasarnya, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hukum, sedang hukum adalah bagian aspek ajaran Islam yang pokok . Dari seluruh hukum yang berlaku dalam masyarakat, maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat.10 Oleh karena itu, dalam mengaktualisasikan hukum kewarisan yang terdapat dalam al-qur’an, maka eksistensinya harus dijabarkan dalam bentuk praktik faktualnya.11 Di awal perkembangan dan pertumbuhan Islam, Nabi Muhammad adalah idola yang ideal untuk menyelesaikan hukum kewarisan, karena beliau menduduki posisi yang paling istimewa. Beliau berfungsi menafsirkan dan menjelaskan hukum berdasarkan wahyu yang turun pada beliau. Kemudian beliau berwenang
9
Ahcmad syukron, Takhrij Hadis Hak Waris Di Luar Nikah, ( Jakarta : hal . 1 ) Hazairin, hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-qur’an dan Al-hadits, Tinta Mas, Jakarta, hal 11. 11 Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an, Raja Grafindo , 19995, Jakarta Utara . Hal 1 10
5
pula membuat hukum kewarisan di luar dari wahyu. Lahirlah hadis sebagai pernyataan, pengalaman, taqrir, dan hal – ihwal Nabi Muhammad saw12 setelah beliau wafat. Sebagai pelanjut risalah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad, maka di tangan para sahabat beliau terletak tanggung jawab lebih lanjut menafsirkan ajaran hukum yang terdapat dalam Al-qur’an. Itulah sebabnya, sehingga aspek hukum pada umumnya, termasuk hukum kewarisan, menjadi penting bagi para sahabat Di Makkah dan Madinah. Dengan demikian, permasalahan hukum keluarga semakin kompleks sehingga aktivitas pengalihan harta setelah pewaris wafat memerlukan pemikiran hukum dari para sahabat . Abu
Bakar
sebagai
khalifah
pertama
sekaligus
ulama
pernah
memutuskan bahwa semua harta peninggalan di warisi oleh nenek dari ibu meskipun ia bersama nenek dari ayah.13 Demikian pula Umar bin Khattab, khalifah kedua, pada awalnya hanya memberikan saham kepada ahli waris: suami, ibu, dan dua saudara laki – laki seibu tanpa memberikan saham kepada saudara laki – laki sekandung. Dalam kasus lain, Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat, yang mula – mula mengurangi nilai saham para ahli waris secara proposional karena saham – saham yang telah ditetapkan dalam al-qur’an ternyata melebihi 12
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, hal 3 13 Keputusan Abu Bakar tentang kasus tersebut berdasarkan atas ijtihadnya sendiri dengan pertimbangan bahwa Al-qur’an tidak menyebut secara tegas nenek sebagai ahli waris. Karena itu, nenek dan ibu, beliau lebih utamakan dari pada nenek dari ayah. Meskipun begitu, keputusan beliau ia cabut setelah mendengar pertimbangan dari abd. Rahman bin Sahl, seorang sahabat Nabi, bahwa nenek dari ayah termasuk berhak mendapat warisan. karena itu, Abu Bakar memberkan saham kepada dua nenek secara bersama.lihat Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an.
6
kesatuan. Dalam hal ini, Ali memberikan saham kepada istri kurang dari nilai saham yang seharusnya. Dengan demikian , ahli waris : dua anak perempuan, ayah , ibu, secara otomatis berkurang nilainya secara proporsional14 pula.15 Demikian penafsiran ayat kewarisan dalam Al-qur’an telah dilakukan oleh para sahabat Nabi Muhammad sejauh yang mereka dapat lakukan. Karena itu, sahabat lain pun yang tidak termasuk khalifah16 mempunyai otoritas melakukan pemikiran hukum kewarisan yang dapat menjadi landasan praktis kewarisan untuk masa berikutnya. Oleh karena itu , al-Qur’an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang di ambil dari hadis Rasulullah saw dan ijma para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa hukum dalam syariat Islam sedikit sekali ayat al-qur’an yang merinci suatu hukum, kecuali hukum waris. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan Allah swt. Disamping bahwa harta tonggak penegak kehidupan baik individu maupun kelompok masyarakat . Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap 14
Kasus tersebut disebut mimbariyah karena Ali bin Abi Thalib memutuskan di atas mimbar ketika sementara khotbah pada saat seseorang bertanya tentang persoalan kewarisan. Dalam implementasi pembagian harta warisan, kasus tersebut aul, yakni ahli waris berkurang nilai sahamnya karena adanya factor pembilang dalam aljabar lebih besar dari penyebut.lihat Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an. 15 Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an Raja Grafindo , 19995, Jakarta Utara . Hal 2 16 Sahabat Nabi Muhammad yang termasuk ahli dalam hak kewarisan antara lain; Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Ibn abbas, dan lain – lain
7
manusia, baik laki – laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa memebedakan antara laki – laki dan perempuan, besar atau kecil. Al-qur’an menjelaskan secara rinci dan detail hukum – hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterimanya di jelaskan sesuai kedudukan nasab terhadapa pewaris, apakah ia sebagai anak, ayah , istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah seibu .
Ayat alquran yang dijelaskan di atas adalah mengenai hukum waris Islam yang telah termaktub dalm kitab al-qur’an, sebagian ulama mengatakan bahwa di dalam ayat tersebut terdapat tiga persoalan : 1. Menerangkan alasan pewarisan, yakni kekerabatan; 2. Hubungan kekerabatan secara umum; dan 3. Menyebutkan bagian warisan yang ditetapkan secara global. Di dalam permasalahan kewarisan ini penulis menemukan permasalahan kewarisan yang unik. Dan warisan tersebut di namakan waris kalâlah. Letak keunikan disini dikarenakan seorang yang meninggal yang tidak meninggalkan anak dan orang tua . Jika di lihat permasalahn yang ada terhadap permasalahan waris yakni ketika pembagian harta waris masih menjadi penyebab timbulnya
8
keretakan hubungan keluarga. Ternyata, disamping karena keserakahan dan ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan oleh kekurangtahuan ahli waris akan hakikat waris dan cara pembagiannya. Maka dengan adanya permasalahan waris kalâlah yang memang jarang terdengar ini, penulis tertarik untuk mengetahui apa makna waris kalâlah di sini, dan pembagian warisannya tersebut diperuntukkan untuk siapa kelak . Dalam pembahasan mengenai waris kalâlah ini, penulis menggunakan pendapat seorang ulama fikih kontemporer peringkat dunia, pemikiran fikihnya menyebar ke seluruh dunia Islam melalui kitab-kitab fikihnya, terutama kitabnya yang berjudul al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, dan beliau adalah Syeikh Prof.Dr.Wahbah Az-Zuhaili dalam karyanya tafsir Al - Munir. Dari segi ketokohan Wahbah Az-Zuhaili sebagai seorang ahli fiqih, kemudian menjadi mufassir yang hidup di era global sekarang ini, selain itu beliau banyak berinteraksi dengan tokoh – tokoh dunia. Dan dari segi kitab atau objek kajian bahwa tafsir al-Munir dikonsumsi oleh masyarakat umum. Dikaitkan dengan masyarakat Indonesia, tafsir al-Munir banyak dijadikan referensi, dapat dikatakan seluruh perpustakaan STAIN/IAIN/UIN dilengkapi oleh tafsir al-Munir. Tafsir ini ditulis setelah beliau selesai menulis dua buku lainnya, yaitu Ushul Fiqh al-Islamy (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (8 Jilid). Dalam Muqaddimah, beliau mengatakan bahwa tujuan dari penulisan tafsir ini adalah menyarankan kepada umat Islam agar berpegang teguh kepada al-Qu'ran secara ilmiah.
9
Untuk menjawab apa perbedaannya waris kalâlah dengan waris – waris lainnya, serta permasalahan yang ada pada kalâlah tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas kalâlah ini dengan judul skripsi
“ WARIS KALÂLAH
DALAM PANDANGAN WAHBAH AZ-ZUHAILY ” ( Tafsir QS. Al-nisâ’ (4) ayat 12 dan ayat 176 ).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dari pembahasan latar belakang masalah di atas dapatlah dibataskan lagi pembahasan mengenai kewarisan, kepada beberapa point penting, yaitu : Didalam al-Quran terdapat identifikasi permasalahan mengenai kewarisan. Di awali dengan apa definisi waris, bagian – bagian untuk beberapa ahli waris, syarat – syarat siapa saja yang berhak mendapatkan hak waris, apa itu waris kalâlah, syarat – syarat bagi waris kalâlah, siapa saja yang mendapatkan waris pada kalâlah ini, dan tentunya banyak pula mufasir yang menafsirkan mengenai kalâlah ini. Oleh karena itu dengan keterbatasan waktu dalam penulisan skripsi ini, serta untuk menghindari pembahasan yang berbelit-belit dan tidak mengarah kepada maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini, maka penulis perlu membatasi permasalahan skripsi ini, yakni lebih menitikberatkan pada penafsiran Wahbah az-Zuhaily terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan waris kalâlah dalam tafsîr-nya, yaitu Tafsir Al - Munir . Adapun ayat-ayat yang akan dibahas, penulis membatasinya dalam dua ayat dengan surat yang sama, yaitu : 1.
Surat al-Nisâ’ (4) ayat 12
10
2.
Surat al-Nisâ’ (4) ayat 176
2. Perumusan Masalah Dari pembatasan tersebut, Dengan demikian
penulis merumuskan
permasalahan utama dalam skripsi ini, yakni : Bagaimana Penafsiran Wahbah az-Zuhaily terhadap waris kalâlah ? C. Tujuan Penelitian 1.
Ingin mengetahui lebih dalam permasalahan dalam waris kalâlah, apakah beda dengan waris – waris yang lainnya .
2.
Ingin mengetahui penafsiran Wahbah az-Zuhaily mengenai kalâlah dalam tafsirnya Al – Munir.
Sedangkan kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan penambahan informasi mengenai waris kalâlah yang memamg jarang terdengar dengan harapan dapat menjadi bahan kajian keislaman, khususnya di bidang Tafsir – Hadis, Sekaligus penulis dapat memberikan sumbangsih dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam. Serta Memenuhi tugas akhir perkuliahan untuk mencapai gelar kesarjanaan Strata Satu (S-1) pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. D. Kajian Pustaka Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini dengan skripsi yang lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acuan
11
penulis untuk tidak mengangkat metodologi yang sama, sehingga diharapkan kajian ini tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada. Berdasarkan hasil penelusuran penulis, penulis menemukan ada satu karya yang membahas permasalahan ini, yaitu : 1. Skripsi oleh Imadudin dengan judul “Implikasi Pendefinisian Makna Kalâlah
Menurut
Ulama
Klasik
dan
Orientalis
Terhadap
Pembagian Harta Waris”. Fakultas Syari’ah dan Hukum. UIN Syarif Hidayatullah, tahun 2003, no. 846. ASS s. Skripsi tersebut membahas tentang perbandingan makna kalâlah berdasarkan ulama klasik dengan kaum orientalis, yang kemudian dikaitkan dengan situasi yang ada pada saat itu. Skripsi tersebut-pun tidak menitikberatkan pada ke salah satu tokoh penafsiran baik dari ulama klasik maupun dari tokoh orientalis. 2. Skripsi oleh Mardiono dengan judul ”Pembagian Harta Waris (Studi Komparatif Penafsiran surat Al-nisa’ Ayat 11-12 dengan Adat Minangkbau . Fakultas Ushuluddin. UIN Syarif Hidayatullah, tahun 2010. Skripsi tersebut membahas tentang Pembagian Harta Waris ( Waris secara umum ) didalam surat al-Nisa’ ayat 11-12 yang kemudian dikaitkan dengan menggunakan adat Minangkabau. Skripsi tersebutpun tidak menitikberatkan pada salah satu tokoh penafsiran.
12
3. Skripsi oleh Achmad Syukron dengan judul ” Takhrij Hadis Hak Waris Anak di Luar Nikah ( Studi Kritik Sanad dan Matan ). Fakultas Ushuluddin. UIN Syarif Hidayatullah , tahun 2006. Skripsi tersebut membahas Hak Waris Anak di Luat Nikah yang kemudian menakhrij hadis dengan metode kritik saad dan matan hadis. Jadi, dari hasil penulusuran penulis terhadap karya-karya yang ada. Penulis bisa katakan bahwa skripsi yang sedang dikaji ini adalah benar-benar asli dan berbeda dengan skripsi di atas. Karena skripsi ini membahas seputar penafsiran terhadap dua ayat dalam surat al-Nisâ’ yang berkaitan dengan kalâlah. Dalam hal ini penulis mengambil dari salah satu tokoh ulama fikih kontemporer peringkat dunia, untuk melihat penafsirannya tehadap dua ayat tersebut, yaitu berdasarkan penafsiran Wahbah az-Zuhaily dalam tafsîr-nya Al - Munir, terhadap ayat-ayat yang sudah penulis sebutkan di atas. E. Metodologi Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu suatu metode dengan mengadakan studi kepustakaan terhadap buku-buku/kitab-kitab, kamus, majalah, koran, artikel dan sebagainya yang ada hubungan dengan masalah yang akan dibahas. Ada dua jenis data dalam pembuatan skripsi ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah sumber kepustakaan yang berasal dari sumber utama yang digunakan dalam pembahasan ini, yaitu tafsîr Al - Munir karya
13
Wahbah az-Zuhaily. Sedangkan data sekunder adalah data pendukung berupa buku-buku, tulisan-tulisan dan artikel-artikel, makalah dan lain-lain yang berkaitan dengan pembahasan ini. Teknik pembahasan dalam skripsi ini, adalah deskriftif-analisis, yaitu suatu pendekatan masalah dengan menguraikannya terlebih dahulu sebagai gambaran awal dan setelah itu baru di analisis. Metode deskriftif dimaksudkan untuk menggambarkan objek apa adanya, sedangkan metode analisis dianggap perlu guna menganalisis objek yang telah digambarkan sebelumnya sehingga diharapkan tersingkapnya penafsiran Wahbah az-Zuhaily atas ayat-ayat kalâlah. Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan ini adalah buku “Pedoman Akademik –Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)- yang disusun oleh Hamid Nasuhi, dkk. Terbitan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007-2008 F. Sistematika Penulisan Skripsi ini terbagi menjadi lima bab, setiap bab terdiri dari beberapa subsub bab yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam penyusunan serta mempelajarinya, dengan sistematika sebagai berikut : Bab Pertama merupakan pendahuluan yang meliputi : latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab ini berusaha
14
memberikan gambaran singkat tentang masalah yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya. Bab Kedua merupakan sekilas tentang kitab tafsîr Al – Munir dan Penulisnya, yang berisikan sistematika penulisan yang terdiri dari motivasi, sumber penafsiran, referensi utama, metode penulisan, corak penafsiran dan sistematika. Serta biografi penulis yang berisikan Kehidupan dan Pendidikan Wahbah az-Zuhaily, Karir Ilmiah Wahbah az-Zuhaily, Karya – karya Wahbah azZuhaily. Bab Ketiga membahas tentang Pengertian Kalâlah , [ Pengertian Warisan, ( Lughatan dan istilah ) Pengertian kalâlah ( Lughatan dan istilah ), ] Penafsiran Ayat kalâlah : Penafsiran Surat al-Nisa (4) ayat 12 ( Munasabah, Asbabun Nuzul, Penafsiran ) , Penafsiran Surat al-Nisa (4) ayat 176 ( Munasabah, Asbabun Nuzul, Penafsiran ), dan terakhir Analisa . Bab Keempat merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan yang didasarkan pada keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, juga memuat saran-saran yang diperlukan.
15
BAB II TAFSIR AL-MUNIR FI AL AQIDAH WA ASY-SYARI’AH WA ALMANHAJ DAN PENULISNYA A. Biografi Wahbah Zuhaili 1. Kehidupan dan Pendidikan Wahbah Zuhaili Prof. Dr. Wahbah az- Zuhaili lahir di Dair „Atiyah, yang terletak di pelosok Kota Damaskus, Suriah, pada tahun 1351 H/ 1932 M. Nama lengkapnya Wahbah bin Mushtafa az-Zuhaili . ia putra Syekh Mushtafa az-Zuhaili, seorang petani sederhana nan alim, hafal alquran, rajin beribadah dan gemar berpuasa . Di bawah bimbingan ayahnya, Wahbah mengenyam dasar – dasar agama Islam. Setelah itu, ia bersekolah di madrasah ibtidaiyyah di kampungnya, hingga jenjang pendidikan formal berikutnya. Gelar sarjana diraihnya pada tahun 1953 M di Fakultas Syariah Universitas Damaskus. Tahun 1956 M, ia meraih gelar doktor dalam bidang syariah dari Universitas al-Azhar Kairo.1
Beliau mendapat pendidikan dasar di desanya, Pada tahun 1946, pada tingkat menengah beliau masuk pada jurusan Syariah di Damsyiq selama 6 tahun hingga pada tahun 1952 mendapat ijazah menengahnya, yang dijadikan modal awal dia masuk pada Fakultas Syariah dan Bahasa Arab di al-Azhar dan Fakultas Syari‟ah di Universitas „Ain Syam dalam waktu yang bersamaan. Ketika itu Wahbah memperoleh tiga Ijazah antara lain : 1
Saiful Amin Ghofur , profil para mufassir al-qur‟an,- Yogyakarta:Pustaka Insan Madani, 2088. Hal 174
16
1. Ijazah B.A dari fakultas Syariah Universitas al-Azhar pada tahun 1956 2. Ijazah Takhasus Pendidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas alAzhar pada tahun 1957 3. Ijazah B.A dari Fakultas Syari‟ah Universitas „Ain Syam pada tahun 1957.
Dalam masa lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama dua tahun dan memperoleh gelar M.A dengan tesis berjudul “al-Zira‟i fi asSiyasah as-Syar‟iyyah wa al-Fiqh al-Islami”, dan merasa belum puas dengan pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang diselesaikannya pada tahun 1963 dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Isalmi” di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur. Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di fakultas Syari‟ah Universitas Damaskus dan secara berturut-turut menjadi Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan Fiqh Islami wa Madzahabih di fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Dirasah Islamiyyah. Adapun guru-gurunya adalah Muhammad Hashim al-Khatib al-Syafie, (w. 1958M) seorang khatib di Masjid Umawi. Beliau belajar darinya fiqh al-Syafie; mempelajari ilmu Fiqh dari Abdul Razaq al-Hamasi (w. 1969M); ilmu Hadits dari Mahmud Yassin (w.1948M); ilmu faraid dan wakaf dari Judat al-Mardini (w. 1957M), Hassan al-Shati (w. 1962M), ilmu Tafsir dari Hassan Habnakah al-Midani (w. 1978M); ilmu bahasa Arab dari Muhammad
17
Shaleh Farfur (w. 1986M); ilmu usul fiqh dan Mustalah Hadits dari Muhammad Lutfi al-Fayumi (w. 1990M); ilmu akidah dan kalam dari Mahmud al-Rankusi.
Sementara selama di Mesir, beliau berguru pada Muhammad Abu Zuhrah, (w. 1395H), Mahmud Shaltut (w. 1963M) Abdul Rahman Taj, Isa Manun (1376H), Ali Muhammad Khafif (w. 1978M), Jad al-Rabb Ramadhan (w.1994M), Abdul Ghani Abdul Khaliq (w.1983M) dan Muhammad Hafiz Ghanim. Di samping itu, beliau amat terkesan dengan buku-buku tulisan Abdul Rahman Azam seperti al-Risalah al-Khalidah dan buku karangan Abu Hassan al-Nadwi berjudul Ma dza Khasira al-„alam bi Inkhitat al-Muslimin.
2. Karir ilmiah Wahbah Zuhaili
Wahbah kemudian mengabdikan diri sebagai dosen di almamaternya , Fakultas Syariah Universitas Damaskus, pada tahun 1963 M. Karier akademiknya terus menanjak . Tak berapa lama ia diangkat sebagai pembantu dekan pada fakultas yang sama. Jabatan dekan sekaligus ketua Jurusan Fiqih al-Islami juga di genggamnya dalam waktu relatife singkat dari masa pengangkatannya sebagai pembantu dekan . Selanjutnya, ia di lantik sebagai guru besar dalam disiplin hukum islam pada salah satu universitas di Suriah.2 Sebagai guru besar, ia menjadi dosen tamu pada sejumlah univesritas di negara-negara Arab, seperti pada Fakultas Syariah dan Hukum serta Fakultas Adab Pascasarjana Universitas Benghazi, Libya ; pada Universitas Khurtum, 2
Saiful Amin Ghofur , profil para mufassir al-qur‟an,- Yogyakarta:Pustaka Insan Madani, 2088. Hal 174
18
Universitas Ummu Darman, Universitas Afrika yang ketiganya berada di Sudan. Dia juga pernah mengajar pada Universitas Emirat Arab. Ketangguhan
pengetahuan
Wahbah
berbanding
lurus
dengan
produktivitasnya dalam ranah tulis-menullis . Selain menyusun makalah/artikel untuk jurnal ilmiah, ia telah merampungkan tak kurang dari 30 buku. 3. Karya – Karya Wahbah Zuhaili Sebagian Karya Wahbah Az-Zuhayli dari Buku-bukunya yang jumlahnya melebihi 133 buah buku dan jika dicampur dengan risalah-risalah kecil melebihi lebih 500 makalah, sebagai berikut ; 1. Usul al-fiqh al islami ( 2 jilid), 2. Al-fiqh al-islami wa adillatuhu ( 8 jilid ), 3. At-tafsir al-munir (16 jilid), 4. Asar al-harb fi al-fiqh al-islami, 5. Takkhrij wa tahqiq ahadis “tuhfah al-fuqaha” ( 4 jilid), 6. Nazariyyat ad-damman wa ahkam al-mas‟ulliyyyat al-madaniyyat wa aljina‟iyyat fi al-fiqih islami, 7. Al-wasaya wa al-waqf, 8. At-tanwir fi at-tafsir ala hamisy al-qur‟an al-azim, 9. Al-qur‟an syariah al-mujtama‟.3 10. Tafsir al-munir 11. Tafsir al-wajiz4
3
Saiful Amin Ghofur , profil para mufassir al-qur‟an,- Yogyakarta:Pustaka Insan Madani, 2088. Hal 175
19
Dari sekian karya wahbah, Tafsir al-Munir bisa dibilang sebagai karya puncak. Dalam tafsir ini, ia mengupas seluruh ayat Al-Qur‟an, dari Surah alFatihah hingga Surah an-Nas. Namun penjelasannya didasarkan atas topik - topik tertentu. B. Tafsir Al- Munir 1. Motivasi Tafsir ini ditulis berdasar pada keprihatinan Wahbah atas pandangan yang menyudutkan tafsir klasik karena dianggap tidak mampu menawarkan solusi atas problematika kontemporer. Di tempat terpisah, di mata Wahbah, para mufasir kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhadap ayat alqur‟an dengan dalih pembaruan. Karena itulah, Wahbah berpendapat bahwa tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan interpretasi. Lalu lahirlah at-Tafsir al-Munir yang memadukan orisinalitas tafsir klasik dan keindahan tafsir kontemporer. Dengan begitu apik, Wahbah mengawinkan keduanya.5 2. Sumber Penafsiran Muhammad Ali Iyazi dalam bukunya, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manahijuhum, mengatakan bahwa pembahasan kitab tafsir ini menggunakan gabungan antara tafsîr bi al-Ma‟tsûr dengan tafsîr bi ar-ra‟yi, serta menggunakan 4
Ahmad Al-Kaf Hudaya, Hawa dan Nafsu ,Menurut Al-Qur‟an Kajian Tafsir AlMunir , Hal 14 5 Saiful Amin Ghofur , profil para mufassir al-qur‟an,- Yogyakarta:Pustaka Insan Madani, 2088. Hal 175
20
gaya bahasa dan ungkapan yang jelas, yakni gaya bahasa kontemporer yang mudah dipahami bagi generasi sekarang ini. Oleh sebab itu, beliau membagi ayatayat berdasarkan topik untuk memelihara bahasan dan penjelasan di dalamnya. 3. Referensi Utama Dalam memahami alquran dengan benar menurut wahbah dapat dilakukan , salah satunya dengan membuka khazanah klasik seperti kitab – kitab tafsir, seperti tafsir ar-razi, tafsir tabari, tafsir qurtubi dan kitab – kitab tafsir lainnya. Menurutnya diantara kitab tafsir yang cukup penting dibaca non arab yaitu kitab tafsir al- kasy-syaf . Dengan memahami seluruh tafsir tersebut kita akan mendapat gambaran yang sangat jelas . Satu ayat bisa mengandung beberapa makna yang dalam , karena banyak menggunkan lafaz tasybih. setelah membuka kitab tafsir klasik yang baru, lalu wahbah menyaring kitab manakah yang paling shahih dengan menyertakan dalil – dalil al-qur‟an. Wahbah dalam tafsir al-Munir menambahkan dalil baik dari Al-qur‟an, hadits dan ijma (kesepakatan/konsensus para ulama pada suatu masa atau suatu hukum). Dalam setiap pembahasan, beliau mengemukakan pendapat – pendapat mujtahid (orang – orang yang melakukan ijtihad, berfikir keras untuk menentukan hokum mengolah al-qur‟an dan sunnah) dengan mutlak atau Fuqaha ( para ahli di bidang Fiqih) yang mu‟tamad ( bisa dpertanggung jawabkan.6
6
Ahmad Al-Kaf Hudaya, Hawa dan Nafsu ,Menurut Al-Qur‟an Kajian Tafsir AlMunir , Hal 16
21
4. Metode Dengan mengamati beberapa metode yang terdapat dalam beberapa kitab „Ulum al-Qur‟an Secara metodis sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah azZuhaili pada setiap awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan surat tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar. Setiap tema yang diangkat dan dibahas mencakup aspek bahasa, dengan menjelaskan beberapa istilah yang termaktub dalam sebuah ayat, dengan menerangkan segi-segi balaghah dan gramatika bahasanya. Sehingga dengan demikian maka metode penafsiran yang dipakai adalah metode tahlili dan semi tematik, karena beliau menafsirkan al-Qur‟an dari surat al-Fatihah sampai dengan surat an-Nas dan memberi tema pada setiap kajian ayat yang sesuai dengan kandungannya, seperti dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat satu sampai lima, beliau memberi tema sifat-sifat orang mukmin dan balasan bagi orang-orang yang bertaqwa. Dan seterusnya sampai surat an-Nas selalu memberi tema bahasan di setiap kelompok ayat yang saling berhubungan.
5. Corak Penafsiran
Ada tujuh corak penafsiran seperti pendapat yang dikemukakan oleh Abd al-Hayy al-Farmawi dalam bukunya muqaddimah fi al-tafsir al-maudhu‟i di antaranya adalah: al-tafsir bi al-ma‟tsur, al-tafsir bi al-ra‟yi, altafsir al-shufi, altafsir fiqh, al-tafsir falsafi, tafsir al-„ilm, dan tafsir adabi „ijtima‟i, maka corak tafsir al-Munir, dengan melihat kriteria-kriteria yang ada penulis dapat simpulkan bahwa tafsir tersebut bercorak „addabi „ijtima‟i dan fiqhi, karena memang
22
Wahbah az-Zuhaili mempunyai basik keilmuan Fiqh namun dalam tafsirnya beliau menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti, penafsirannya juga disesuaikan dengan situasi yang berkembang dan dibutuhkan dalam di tengah-tengah masyarakat. Sedikit sekali dia menggunakan tafsir bi al„ilmi, karena memang sudah disebutkan dalam tujuan penulisan tafsirnya bahwa dia akan meng-counter beberapa penyimpangan tafsir kontemporer. Di mata Wahbah, para mufasir kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhadap ayat alqur‟an dengan dalih pembaruan. Karena itulah, Wahbah berpendapat bahwa tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan interpretasi. Dalam tafsir al-munir Wahbah menginkan kejelasan hukum yang diambil dari ayat – ayat al-qur‟an , ia tidak meringkas penjelasan tentang hukum fiqih secara makna sempit ( ringkas ). menurutnya dalam setiap bab buku ia selalu mengikuti metode para fuqaha. 6. Sistematika Sebelum menafsirkan Surah al-Fatihah, Wahbah terlebih dahulu menjelaskan wawasan yang berhubungan dengan ilmu Al-Qur‟an. Dalam proses penafsiran selanjutnya, ia selalu menguraikan keutamaan dan kandungan surah serta sejumlah tema yang terkait dengan surah tersebut. Tema tersebut lantas diungkap dari tiga aspek.
23
Pertama, aspek bahasa (al-lughah). Ia mengudar istilah-istilah yang termaktub dalam ayat sembari mengupas segi balaghah dan gramatika bahasanya. Kedua, aspek tafsir dan bayan. Wahbah memaparkan ayat dengan bahasa yang ringan sehingga diperoleh kejelasan makna. Jika tidak ada permasalahan yang pelik, ia menyingkat pembahasannya. Akan tetapi, jika ayat yang di tafsir memuat permasalahan tertentu, Wahbah menyuguhkan penjelasan yang relatife panjang, seperti ketika menafsirkan ayat yang berkaitan dengan problem naskh. Ketiga , aspek fiqih kehidupan dan hukum ( fiqh al-hayah wa al-ahkam). Dalam aspek ini, Wahbah merinci sejumlah kesimpulan ayat terkait dengan realitas kehidupan manusia. Dalam pengantar Tafsir al-Munir, Wahbah menerangkan bahwa penafsirannya berlandaskan pada ayat Al-Qur‟an dan hadis – hadis sahih. Ia mengurai asbabun nuzul dan takhrij al-hadis, menghindari cerita – cerita Isra‟illiyat, riwayat yang lemah, dan polemik yang berlarut – larut. Tafsir ini di publikasikan oleh Penerbit maktabah al-Babi al-Halabi ( Kairo ) pada tahun 1957 M7 .
7
Saiful Amin Ghofur , profil para mufassir al-qur‟an,- Yogyakarta:Pustaka Insan Madani, 2088. Hal 177
24
BAB III PENGERTIAN KALALAH DAN PENAFSIRAN AYAT KALÂLAH A. Pengertian 1. Pengertian Warisan , adalah jama‟ dari ,
,
, dan
. Maka dimaksud dengan
, yang di ma‟nakan dengan
, demikian pula , ialah : “harta
peninggalan orang yang telah meninggal yang diwarisi oleh para warisnya.” Orang yang meninggalkan harta yang dipusakai oleh waris disebut muwarits. sedang yang berhak menerima pusaka di namakan “
”.1
Seorang penulis dan ahli hukum Indonesia “ Wirjono Prodjodikoro ” telah mencoba memberikan rumusan mengenai pengertian hukum waris yang disusun dalam bentuk batasan ( definisi ). Sebagai pedoman dalam upaya memahami pengertian hukum waris secara utuh.
Beliau mengemukakan bahwa warisan
adalah : soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak – hak dan kewajiban – kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup.2
2. Pengertian Kalâlah Kalâlah berarti berasal dari akar kata yang tersusun dari huruf-huruf kaf ( )كdan lam ()ل. Menurut Ibnu Faris, makna dasar kata ini berkisar pada tiga Prof.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, FIQHUL MAWARIS, Hukum – hukum warisan dalam syari‟at Islam, Bulan Bintang : Jakarta , Hal : 17 2 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Prespektif Islam, Adat, & BW, Refika Aditama : Bandung , Hal : 3 1
25
hal, yaitu : “tumpul (lawan tajam)”, “melingkari sesuatu dengan sesuatu”, dan “salah satu organ tubuh (dada)‟. Yang pertama, seperti ungkapan kalla as-saifu (
= pedang itu menjadi tumpul), dan kalil (
kedua, seperti iklil (
= pedang tumpul). Yang
) yang berarti ikat kepala atau mahkota. Dinamai demikian
karena melingkari kepala. Selain tiga makna ini, Sayyid Thanthawi, memberikan makna lain lagi, yaitu “hilangnya kekuatan karena lelah”. Makna ini disimpulkannya dari syair Al-A‟sya yang mengatakan : alaitu la urtsi laha min ) yang maksudnya : “saya jadi tidak meratapinya lagi
kallin ( karena lelah.”3
Demikianlah, makna dasar dari kata kalalah. Adapun secara terminologis, seperti diungkapkan oleh Az-Zamakhsyari4 dalam tafsirnya, AlKasyyaf 5, kata kalâlah mencakup tiga hal, yaitu : pertama, orang yang mati, tanpa meninggalkan anak dan bapak; kedua, ahli waris selain anak dan bapak; dan ketiga, kerabat yang tidak berasal dari jalur anak dan bapak. Kerabat demikian, dinamakan kalalah karena pertaliannya dengan pewaris lemah tau tumpul ( tidak
3
Sahabuddin, dkk, ed. Ensiklopedia alqur’an : kajian kosakata. Jakarta: Lentera Hati, cet.I, 2007 hal.422 4 Nama lengkap Az-Zamakhsyari adalah Abu al-Qasim Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari. Ia lahir pada hari Rabu tanggal 27 Rajab 467 H, bertepatan dengan tahun 1074 M di Zamakhsyar. Ia seorang ulama dan imam besar dalam bidang bahasa dan retorika. 5 Kitab tafsir al-Kasyaf ini, menurut sejarahnya, disusun oleh al-Zamakhsyari selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H sampai dengan 528 H, di Makkah alMukarramah, metode penafsiran al-Kasyaf adalah bahwa al-Zamakhsyari menggunakan metode dialog. Artinya, ketika al-Zamakhsyari hendak menjelaskan makna sebuah kata atau kalimat atau kandungan suatu ayat. Ia selalu menggunakan kata “ ”قلت انyang berarti “jika engkau bertanya”. Tafsir al-Kasyaf merupakan salah satu tafsir yang menggunakan corak al-tafsir bi al-ra‟yi.
26
tajam). Atau Karena mereka mengelilingi pewaris dari tepian, bukn dari tengah. Seperti ikat kepala yang melingkari tepian kepala sedang tengah-tengahnya kosong. Dalam Al-Qur‟an,kata kalâlah tersebut dua kali. Yang semuanya dalam surah An-Nisa [4] . yang pertama ayat 12 dan yang kedua ayat 176, ayat terakhir dari surah itu. Ayat pertama membicarakan ketentuan kewarisan orang yang meninggal dunia dan tidak memiliki ahli waris utama, tetapi memiliki saudara atau saudari seibu. Bahkan Sa‟ad bin abu Waqqash telah membaca firman Allah tersebut dengan bacaan “Wa lahu akhun au ukhtun min ummin” ( tetapi mempuyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara wanita seibu saja).6 Secara garis besar, ayat ini menetapkan dua ketentuan terkait bagian saudara dan saudari almarhum tersebut, yaitu: pertama, satu orang saudara atau saudari mendapatkan seperenam jika sendirian; dan kedua , mendapatkan bagian bersama sebesar sepertiga jika jumlah mereka banyak, tanpa mempertimbangkan jenis kelamin; laki-laki dari perempuan.7 Ayat kedua yang menyebutkan kata kalâlah biasa disebut dengan ayat “musim panas”. Ayat itu memang turun pada saat musim panas. Seperti kita singgung di atas, kandungannya mengenai ketentuan pembagian warisan orang yang meninggal dunia dan tidak meninggalkan ahli waris utama: hanya 6
Syaikh Asy-Syanqithi ; penerjemah Fathurazi, Tafsir Adhwaul Bayan ( Tafsir Al-qur’an dengan Al-qur’an ), pustaka Azzam Jakarta Selatan , 2006 . Hal 629 7 Sahabuddin, dkk, ed. Ensiklopedia alqur’an : kajian kosakata. Jakarta: Lentera Hati, cet.I, 2007 hal.422
27
meninggalkan saudara atau saudari seayah atau seayah seibu. Dikatakan demikian karena sebab turunnya ayat 176 ini mengenai pertanyaan Jabir bin Abdullah pada ayat terakhir surat an-Nisa‟ ini berkenaan dengan hubungan darah dari pihak ayah.8 Jika dibaca, secara saksama, sedikitnya ada empat ketentuan yang terkandung dalam ayat ini, yaitu : a. Bila yang meninggal laki-laki dan meninggalkan satu orang saudari, maka bagiannya adalah separoh, sedang separohnya yang lain untuk ashabah (asabat), kalau ada, atau dia ambil semua, jika tidak ada ashabah (asabat). b. Bila yang meninggal perempuan dan meninggalkan seorang saudara lakilaki, maka bagiannya adalah seluruh harta. c. Bila yang meninggal laki-laki dan meninggalkan dua orang saudari, maka bagian mereka dua pertiga. d. Jika yang ditinggalkan sejumlah saudara dan saudari, maka ketentuannya, bagian saudara dua kali lipat bagian saudari .9 Dalam pembahasan lain Arti kalâlah telah dijelaskan oleh Allah sendiri dalam Surah Al-nisa‟ : 176, yaitu, jika seorang mati dengan tidak ada baginya walad” (inimru’un halaka laisa lahu walad) sehingga definisi itu baru jelas jika telah diketahui apa maksudnya walad”. Dalam surati al-nisa‟ : 11 dijumpai bentuk jama‟ dari walad yaitu awlad dan disana tegas dinyatakan bahwa awlad itu mungkin anak laki – laki, mungkin anak perempuan, mungkin bergandengan kedua jenis anak – anak itu dan mungkin pula tidak, seperti dalam bagian kalimat 8
Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi , Tafsir Asy-Sya’rawi tim penerjemah Safir al - Azhar , Duta al - Azhar, , PT ikrar mandiri abadi , Jakarta, hal : 491 9 Sahabuddin, dkk, ed. Ensiklopedia alqur’an : kajian kosakata. Jakarta: Lentera Hati, cet.I, 2007 . . hal.422
28
“fa’in kunna nisa’an” maka teranglah bahwa arti walad setiap macam anak boleh anak laki – laki, boleh anak perempuan, sehingga arti kalâlah dalam surah al-nisa : 12 dan al-nisa‟ : 176 ialah keadaan seseorang yang mati dengan tidak ada baginya seorang anakpun, baik anak laki – laki maupun anak perempuan”. Dihubungkan dengan arti mawali dalam surah al-nisa : 33, maka arti anak mesti pula diperluas dengan keturunan, sehingga arti kalâlah selengkapnya ialah keadaan seseorang yang mati punah, artinya mati dengan tidak berketurunan”. Dalam sistim bilateral yang dianut oleh Qur‟an maka keturunan artinya setiap orang digaris ke bawah, tidak peduli apakah garis itu melalui laki – laki atau perempuan.10 B. Penafsiran Ayat Kalalah 1. An-Nisa Ayat 12
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika Isteri-isterimu Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadist, Tirtamas Indonesia.cet III Juni 1964, hlm 50 10
29
itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)11. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”.12 a) Munasabah ayat – ayat yang terdahulu menjelaskan tentang haram memakan harta anak yatim dan diperintahkan menyerahkan semua hartanya kepadanya bila telah dewasa dan juga larangan mengambil mahar perempuan yang sudah dinikahi atau menikahimya tanpa mahar. Maka dalam ayat ini dijelaskan tentang pembagian harta pusaka dan perlakuan terhadap anak – anak yatim dan hartanya.13
11
Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.(Penjelasan dalam Al-Qur‟an) 12 Dalam tafsir al-bayan karya hasbi ash-shiddieqy , semua ulama menetapkan bahwa dikehendaki dengan saudara disini adalah saudara seibu. Al-qurthuby mengatakan bahwa seluruh ahli ilmu menetapkan bahwa yang dikehendaki dengan saudara disini , ialah saudara seibu. lafal kalalah disebut dua kali dalam al-qur‟an , yang satu lagi dalam ayat 176 surat an-Nisa juga . 13 Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Tafsirnya , Jakarta : Departemen Agama RI, Hal 123
30
b) Asbabun Nuzul Dikemukakan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Al Hakim yang bersumber dari Jabir. Jabir berkata : “Isteri Sa‟id bin ar-Rabi menghadap Rasulullah SAW . Lalu berkata : “Ya Rasulullah, kedua anak perempuan saya ini adalah anak Sa‟id bin ar-Rabi yang telah gugur sewaktu bersama engkau di perang uhud. Dan sesungguhnya paman kedua anak perempuan itu mengambil harta bendanya dan tidak ditinggalkannya sedikitpun harta , sedangkan mereka susah nikah kecuali mereka mempunnai harta benda”. maka beliau saw, bersabda : “Allah akan memberi keputusan hukum perkara itu”. Maka turunlah ayatul mirast (ayat mengenai hukum warisan)”14 Al Hafizh Ibnu Hajar, bedasarkan hadis yang mengisahkan kedua anak perempuan sa‟id itu berkata : “bahwa ayat tersebut diturunkan mengenai kedua anak perempuan sa‟id tadi bukan mengenai jabir, karena pada waktu itu jabir belum mempunyai anak”. Beliau berkata lagi : “sebagai jawaban, bahwa turunya ayat tadi mengenai keduanya secara berssama, mungkkin ayat pertama ( ayat 11 ) mengenai kedua anak perempuan sa‟id, sedangkan bagian akhir ayat di ( ayat : 12 “ WAIN KAANA RAJULUN YUURATSU KALÂALATAN”) adalah mengenai kisah jabir . Adapun yang dimaksud kata – kata Jabir : “maka turunlah ayat “ YUUSHIIKUMULLAAHU
FII
AULAADIKUM
”.
ialah
hanya
untuk
menyebutkan hal penetapan hukum waris bagi kalâlah yang terdapat di dalam ayat berikutnya.
Al-Imam Jalaludin As-Suyuti, Riwayat turunya ayat – ayat suci Al-Qur’an, Mutiara Ilmu – Surabaya, Hal 142 14
31
c) Penafsiran Wahbah Zuhaili Penjelasan Wahbah Zuhaili sebelum membahas kalâlah secara jelas, beliau menjelaskan terlebih dahulu pembagian waris untuk anak, orang tua, suami dan istri serta pembahasan untuk mendahulukan hutang dari pada wasiat yang pembahasannya masih bersangkutan dengan pembahasan pada ayat sebelumnya, yakni ayat 11. Kalâlah: menurut Wahbah adalah diambil dari lafadz iklil yang berarti rangkaian bunga yang melingkupi kepala, kata ini digunakan pada pewaris dan yang mewarisi. Kalau dari sisi pewaris, maka diartikan sebagai seseorang yang tidak punya orang tua dan anak . Menurut Abu bakar : kalâlah adalah selain orang tua dan anak. Kalau kalâlah dikatakan sebagai penerima waris maka yang meninggal bukanlah orang tua dan anak .15
Bagian waris untuk anak. Allah memulai ayat tentang waris dengan posisi bagian untuk anak setelah
itu posisi untuk orang tua, Sebab karena mereka ( anak – anak ) masih membutuhkan kasih sayang dan karena mereka lemah. Adapun orang tua masih mempunyai hak yang wajib selain dari orang yang meninggal ataupun mereka mempunyai pekerjaan. “Diberitahukan kepada kalian untuk memberikan kewajiban/pentingnya memberi waris kepada anak” (bagi anak laki-laki Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid IV, Hal.54 15
32
memperoleh dua kali lipat bagian perempuan) . laki – laki lebih berhak dapat lebih karena nantinya di tuntut membayar mahar, memberi nafkah serta menanggung beban keluarganya. Sedangkan wanita mendapatkan lebih kecil, karena wanita tidak dituntut untuk memberikan nafkah atau kerja karena jika sudah nikah merupakan tanggung jawab suami. Jika ahli waris perempuan atau saudara perempuan lebih dari dua maka bagiannya 2/3 secara bersama dari tirkah . Kalau yang ditinggalkan anak perempuan dan tidak anak laki – laki yang dapat ashabah, maka bagiannya ½. Dua anak perempuan yang menerima waris tapi tinggal secara berpisah menurut ibnu abbas diperumpamakan menjadi satu anak perempuan dan mendapatkan ½, karena ayat ini menjelaskan bagian untuk saudara perempuan yang lebih dari dua mendapat 2/3 secara bersamaan. Menurut Jumhur ulama, dua anak perempuan seperti satu saudara, dan dua - duanya dapat 2/3 secara bersamaan. Diqiyashkan lafadz dua saudara perempuan dalam firman Allah )
) dan dapat 2/3 dari tirkah.16
Waris bagi orang tua
Orang tua baik bapak atau Ibu memperoleh bagian 1/6 dari harta peninggalan (pusaka), baik yang meninggal anak laki laki atau perempuan, satu anak ataupun
lebih. Sementara yang tersisa dari beberapa anak memperoleh
Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid III, Hal.273 - 274 16
33
bagian sebagaimana yang telah diterangkan. Jika orang tua tidak mempunyai anak sama sekali dan ahli warisnya hanya kedua orang tua, maka seorang Ibu mendapatkan 1/3. sebab mengapa disamaratakannya bagian bagi bapak dan ibu yang mempunyai anak
adalah menghormati kedua secara samarata. Adapun
sebab mengapa bagian orang tua lebih kecil dari bagian anak karena orang tua dinilai sudah dewasa (tua), cukup, ataupun adanya beberapa anak yang menafkahi mereka. Adapun anak dinilai masih butuh terhadap beberapa nafkah, adakalanya karena sebab masih kecil, adakalanya sebab kebutuhan untuk menikah dan menanggung biaya hidup ketika dewasa nanti. Jika seorang anak (mayit) meninggalkan
orang tua (bapak dan ibu )
sekaligus beberapa saudara kandung baik laki laki ataupun perempuan, maka Ibu mendapatkan bagian 1/6 pengganti dari 1/3. hal ini berlaku ketika saudaranya sekandung ,baik dari bapak ataupun dari ibu. Dua saudara sama saja seperti tiga saudara atau lebih, karena Nabi Saw dan para Khalifah al-Rasyidin menetapkan hukum “Bahwa bagi dua saudara laki-laki dan atau dua saudara perempuan yang menyebabkan
ibu mereka
mendapatkan 1/6, yang tadinya memperoleh 1/3.” Ibn Jarîr meriwayatkan hadis dari Ibn Abbâs bahwasannya Ibn Abbâs menemui Utsmân RA. Kemudian bertanya “Mengapa dua orang saudara bisa menyebabkan seorang ibu memperoleh 1/6, yang tadinya memperoleh 1/3 ”?, bukankah Allah Swt berfirman (
) “jika dia(mayit) mempunyai beberapa saudara”, adapun
akhawâni (dua saudara) menurut bahasamu dan bahasa masyarakatmu (kaum)
34
bukanlah ikhwah (beberapa saudara)?, Utsmân menjawab : “apakah aku sanggup merubah hukum yang telah berlaku sebelumku, dan banyak orang yang telah melakukan pembagian waris, dan telah berlaku dibeberapa kota/negara? Hal ini menjadi konsesus (ijma‟) para ulama, dan diperkuat oleh bahasa bahwasanya makna dua terkadang digunakan untuk jama (banyak). Allah Swt berfirman “maka sesungguhnya hati kalian berdua telah condong (untuk menerima kebaikan)”. (QS. Al- Tahrîm : 66 : 4), dan firmannya pula “dan adakah sampai kepadamu berita orang –orang yang berperkara (bermasalah) ketika mereka memanjat pagar”?. (QS. Shad :38: 21), kemudian firman Allah yang lain “(kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zhalim kepada yang lain.” (QS. Shad :38:22)17
Mendahulukan membayar hutang kemudian memenuhi wasiat
Bagian dari harta waris seluruhnya dibagikan kepada ahli warisnya, tetapi yang harus didahulukan adalah membayar hutang yang berkaitan dengan tirkah (harta pusaka), kemudian melaksanakan wasiat. Allah Swt berwasiat dan memerintahkan untuk membagi harta warisan sesuai dengan apa yang telah disyaria‟atkan setelah mayit menyampaikan wasiatnya dan setelah mebayar hutang yang ditanggung mayit sebelum dia meninggal. Pada dasarnya wasiat layak didahulukan dari pada membayar hutang sebagai anjuran untuk melaksanakannya, mementingkannya dan menghindari Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid III, Hal.275 - 276 17
35
untuk meniggalkannya. Adapun hutang telah kita ketahui kekuatannya (kewajibannya) untuk dibayar didahulukan ataupun tidak. Kemudian makna ( ) disini bermakna ( bermakna )
) kebolehan, dan bukan
( urutan. Dalil untuk mendahulukan membayar hutang dalah
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh „Ali Karamallahu wajhahu dan diriwayatkannya pula oleh jama‟ah seperti Ibn jarîr al-Thabarî : “kalian membaca ayat
Sesungguhnya Rasul Saw menganjurkan untuk membayar hutang sebelum wasiat, maka tidak ada hak bagi penerima warisan ataupun yang diberi wasiat terkecuali setelah membayar hutang. walaupun tirkah (harta pusaka) habis dikarenakan membayar hutang, maka tidak ada hak bagi siapapun.. Biaya kain kafan dan seluruh keperluan dalam mengurus jenazah lebih diprioritaskan dari hutang ,wasiat, dan pembagian waris. Hal ini sebagai bentuk penghormatan terhadap manusia dan terhadap anak cucu adam. Hutang lebih didahulukan dari pada wasiat dan pembagian waris karena janji mayit tergadaikan dengan hutangnya, melunasi hutang lebih utama dari mengerjakan kebaikan dengan hutang. Mendahulukan wasiat dari pembagian harta waris tidak lebih dari 1/3 tirkah (harta pusaka), karena 1/3 adalah jumlah yang diijinkan dalam wasiat,
36
sebagaimana hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh jama‟ah da Sa‟d : ”1/3 dan 1/3 itu jumlah yang banyak ” (
)
Kemudian al-qur‟an memberikan redaksi Naas dengan mu‟taridho ( menentang ) untuk memperingati / mengingatkan terhadap kebodohan seseorang yang berakibat terhadap beberapa perkara. Kemudian Allah menerangkan kepada mereka hal – hal dalam memberi wasiat dan memberi ukuran . Mereka adalah bapak dan anak kalian, maka janganlah berbuat dosa dalam pembagian, dan janganlah mengosongkan / tidak memberikan. Sebagaimana di lakukan oleh orang Arab pada masa jahiliyah karena ketidaktahuan orang yang dekat dengan si mayit . Dengan demikian Allah mewajibkan dengan kewajiban yang pasti dan Allah swt mengetahui apa yang lebih baik untuk makhluknya, Maha bijaksana Allah dalam mengurusi makhluknya dengan meletakkannya berbagai cara dengan posisi yang luas. Kecuali ada manfaat bagi kalian dan membagikan harta waris diantara kalian berdasarkan hak keadilan dan kemaslahatan. Lakukan pembagiannya sesuai dengan caranya dan takutlah jika tidak memberikan warisan terhadap salah satu yang memang tergolong ahli waris, terlebih lagi itu adalah seorang perempuan atau saudara yang lemah ( sebagaimana yang telah dilakukan oleh kaum jahiliyah).18
Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid III, Hal.276 - 277 18
37
Pembagian waris bagi suami dan istri
Suami mendapatkan ½ dari tirkah yang ditinggalkan oleh istri ketika mayit tidak meninggalkan anak ( baik anak (laki – laki / perempuan) dari suami/suami lain ). Tetapi jika terdapat anak ( walaupun bukan dari istri melainkan dari istri sebelumnya ), maka suami mendapatkan ¼ dan sisanya diberikan kepada kerabat – kerabat istri yang mempunyai hubungan darah dengan istri. Menurut pendapat Hanafi, jika hanya suami yang ditinggalkan dan tidak ada lagi ahli waris selainnya maka sisanya lebih baik diserahkan kapada baitul mal, tetapi hal tersebut boleh dilakukan jika sudah membayar utang dan wasiat istri ( mayit ). Dan jika suami yang meninggal, maka istri mendapatkan ¼ apabila tidak mempunyai anak. Bila mempunyai anak bagian istri adalah 1/8. Lalu jika suami meninggalkan lebih dari satu istri maka bagiannya adalah ¼ atau 1/8 dan di bagi sesuai jumlah istri yang ditinggalkam oleh suami ( mayit ), dan tentu saja hal ini boleh dilakukan jika sudah terlaksanakan hutang dan wasiat yang ditinggalkan oleh suami .19 Allah menjadikan 3 bagian dalam perihal ahli waris : 1. Berhubungan dengan mayit tanpa perantara, tapi harus sehubungan darah dengan mayit, contoh : Anak dan Orang Tua.
Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid III, Hal.277 - 278 19
38
2. Berhubungan dengan mayit tanpa perantara, tapi melakukan akad nikah, contoh : suami dan istri. 3. Berhubungan dengan mayit dengan perantara mereka adalah kalâlah, kalâlah itu selain orang tua dan anak. Karena bagian pertama adalah bagian yang lebih kuat, maka Allah mendahulukan dalam pembagian waris, lalu lanjut ke bagian yang kedua dan lanjut ke bagian yang ketiga . Hal ini disebabkan Karena dua bagian yang pertama tidak terjadi gugur secara langsung, berbeda dengan bagian yang ketiga, yang terkadang terjadi gugur secara keseluruhan .
Harta waris bagi kalâlah
Abu Bakar ra memiliki pendapat yang cukup kuat mengenai kalâlah. Menurutnya kalâlah adalah orang selain orang tua dan anak . Ibnu Jarir meriwayatkan dari Sa‟bi kemudian berkata Abu Bakar ra, “Saya punya pendapat tentang kalâlah jika itu memang benar maka sumbernya adalah dari Allah, tidak ada sekutu baginya, tetapi jika pendapatnya salah maka ini adalah sumberku dan dari syaitan. Tafsirnya diperkuat oleh sumber kalimat, bahwa kalâlah di ambil dari sumber lafadz yang dha‟if (lemah), dan hubungan persaudaraan yang bukan melalui kelahiran adalah kerabat yang lemah dan adapun kerabat yang melalui kelahiran maka ia merupakan kerabat yang kuat ( maka ia tidak disebut kalâlah). Kemudian Allah memberi hukum waris bagi saudara laki – laki / perempuan ketika tidak mempunyai bapak, maka orang tua tidak disebut kalâlah.
39
Hukum warisan bagi kalâlah sesuai dengan ayat Al-qur‟an yaitu ketika saudara laki – laki / perempuan dari ibu, maka masing – masing mendapatkan 1/6, jika jumlah mereka banyak maka mereka mendapatkan 1/3 secara bersama – sama, jadi mereka dihukumi sama/tidak dibedakan antara laki – laki / perempuan . Dalil yang menunjukkan saudara laki – laki / perempuan dalam ayat kalâlah di rincikan menjadi dua yakni saudara ( laki – laki / perempuan) dari ibu terdapat dalam surat an-nisa ayat 12, dan dalil yang menerangkan bagian untuk saudara laki akan datang pembahasannya di akhir surat an-nisa yaitu ayat 176 ( maksud disini yakni akhun/ukhtun adalah saudara sekandung / saudara dari bapak) mereka memperoleh secara penuh jika mereka tunggal . dan mereka memperoleh sisa setelah pembagian dzawil furudh selesai. 2.
An-Nisa Ayat 176
176 ”Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalâlah)20. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
20
kalalah ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.
40
a) Munasabah Awal surah an-Nisa ini telah menerangkan beberapa hukum mengenai harta kekayaan dan bagaimana mengurus dan mewariskannya; maka pada akhir surah ini Allah menutupnya dengan keterangan mengenai harta pusaka kalalah , yaitu harta peninggalan orang yang meninggal yang tidak mempunyai bapak atau anak.21 b) Asbabun Nuzul Seketika Jabir bin Andullah sedang sakit, dia diziarahi oleh Rasul saw, ketika itu sakit jabir sedang amat keras sehingga dia tidak saa\darkan dirinya lagi. Rasulullah saw yang dating berziarah itu lagsung mengambil wudhu‟, kemudia dipercikkanya air ke muka Jabir, sehingga sadarlah dia akan dirinya. Waktu Jabir sadar, bertanyalah dia kepada Rasulullah saw : “Tidak ada yang mewarisku kecuali kalala, bagaimana cara pembagian warisnya?” Lalu turunlah ayat faraidh ini.22 Jabir pernah berkata : “ Bahwa ayat ini ( ayat mengenai pembagian harta warisan bagi saudara – saudara perempuan ) berkenaan pula dengan ayat “ YASTAFTUUNAKA, QILILLAAHU YUFTIIKUM FIL KALÂLAH”.23
Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Tafsirnya , Jakarta : Departemen Agama RI, Hal 344 22 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid ke VI , PT. Pustaka Panjimas, Jakarta 1982, Hal : 97. 23 Al-Imam Jalaludin As-Suyuti, Riwayat turunya ayat – ayat suci Al-Qur’an, Mutiara Ilmu – Surabaya, Hal 200 21
41
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa „Umar pernah bertanya kepada Nabi saw. tentang pembagian waris kalalah. Maka Allah menurunkan Ayat ini sebagai pedoman pembagian waris24 c) Penafsiran Wahbah Zuhaili Seorang meninggal tidak punya anak, tapi punya saudara perempuan kandung/saudara dari bapak, maka ia dapat ½ dari bagian. Umar merasa kesulitan untuk memahami tentang hukum kalâlah yang ia tulis dalam kitab shahihainnya ( Bukhari & Muslim). Tiga perkara yang umar sukai dari baginda Rasulullah saw yakni selalu mengingatkan kepada kami dari 3 perkara itu yang termasuk dalam masalah waris, diantaranya masalah pembagian waris untuk kakek, masalah kalâlah dan masalah riba ( masalah riba disini sebagaimana yang sudah dijelaskan di akhir surat al-baqarah yang menerangkan tentang riba.) Dan Ibnu Majah juga meriwayatkan hadis mengenai 3 perkara ( kalalah, riba, khilafah ) dalam kitabnya. Makna walad disini meliputi meliputi laki/perempuan, karena pembahasan dalam kalalah orang yang tidak punya anak sama sekali ( baik laki/perempuan) dan tidak punya orang tua. Maksud saudara perempuan (sekandung/dari bapak) di jelaskan dalam ayat 176 adapun saudara perempuan dari ibu Allah telah menerangkan hukumnya di awal surat an-nisaa dengan kesepakatan para ulama sebagaimana yang telah diterangkan.
24
K.H.Q Shaleh, H.A.A Dahlan , dkk , ASBABUN NUZUL , CV Penerbit Diponegoro , Bandung, cet 10 Hal 180
42
Saudara perempuan mendapatkan
½ kalau seseorang yang meninggal
mempunyai anak perempuan. Kalau misalnya mepunyai anak laki – laki saudara perempuan tidak mendapatkan apa-apa. Adapun ayat tersebut menerangkan saudara perempuan yang memperoleh ½ ketika tidak punya anak laki laki/perempuan, maka hal itu bukanlah yang dikehendaki. Dan diisyaratkan pula dalam memperoleh ½ jika sang mayat tidak punya orang tua. Dan syarat ini sudah menjadikan ijma para ulama . Allah berfirman (
) yakni saudara laki – laki yang mewarisi tirkah
kepada saudara perempuannya secara keseluruhan dengan ashabah , jika saudara perempuan tersebut tidak punya anak & tidak ada ortu yang menghijabnya dari waris. Maksud saudara disini adalah saudara perempuan kandung / saudara dari bapak . Adapun saudara perempuan dari ibu maka ia tidak bisa dapat secara penuh, tetapi bagiannya hanya 1/6. Jika saudara perempuan terdapat dua orang ( sekandung/dari bapak bukan ibu) / lebih, maka bagi keduanya dapat 2/3 dari apa yang ditinggalkan saudara laki – laki. Maksud disini adalah 2 saudara perempuan mendapatkan 2/3 secara bersamaan.
43
Kalau yang menerima waris beberapa saudara laki/perempuan ( kandung ), maka bagiannya laki - laki seumpama bagian 2 wanita. Adapun beberapa saudara dari ibu maka mereka mendapatkan sama 2/3.25 C. Analisa Pendapat Wahbah mengenai Kalâlah adalah seseorang yang meninggal dan tidak memiliki orang tua serta anak .26 Pendapat Wahbah mengenai Kalâlah disini memiliki persamaan dengan ulama sebelumnya yakni Syeikh Asy - Syinqithi dan Buya Hamka yang mendefinisikan Kalâlah adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak lagi memiliki ( ayah ibu dan seterusnya) dan kerabat yang merupakan cabangnya ( anak dan seterusnya)27, ataupun ( ada orang yang meninggal dan tidak ada lagi ayah – bundanya ( telah meninggal lebih dahulu ), serta tidak pula mempunyai anak yang akan menerima pusakanya.28 Namun M.Quraish Syihab tidak sependapat dengan Wahbah dalam mendefinisikan Kalâlah yakni seseorang yang meninggal tidak meninggalkan ayah serta tidak meninggalkan anak,29 dan pendapat Kalâlah menurut M.Quraish Syihab ini memiliki persamaan dengan ulama sebelumnya yakni Ibnu Katsir yang mendefinisikan Kalâlah
Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid IV, Hal.56 - 58 26 Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid IV, Hal.54 27 Syaikh Asy-Syanqithi ; penerjemah Fathurazi, Tafsir Adhwaul Bayan ( Tafsir Al-qur’an dengan Al-qur’an ), pustaka Azzam Jakarta Selatan , 2006 . Hal : 629 28 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid ke IV , PT. Pustaka PAnjimas, Jakarta 1983. Cet. I , Hal : 285 29 M. Quraish Syihab, Tafsir al - Misbah , Pesan,Kesan, dan Keserasian AlQur’an , Jilid 2 , Hal.348 25
44
adalah seseorang yang meninggal dan tidak memiliki anak dan ayah. 30 Lain halnya Syeikh asy – Sya’rawi mempunyai pendapat yang berbeda sendiri mengenai definisi Kalâlah yakni , ( seseorang yang meninggal dunia , dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perenpuan ).31 Penjelasan mengenai bagian – bagian untuk ahli waris :
Bagian untuk saudara laki – laki dan perempuan ( seibu ) yang ditinggalkan oleh pewaris
Pada Pembagian ini Wahbah berpendapat bahwa seseorang yang meninggal dan ia meninggalkan saudara laki – laki atau saudara perempuan dari ibu, maka masing – masing mendapatkan 1/6 dari tirkah32. Akan tetapi jika jumlah mereka banyak, maka mereka mendapatkan 1/3 secara bersama – sama. jadi mereka dihukumi sama atau tidak dibedakan antara laki – laki atau perempuan.33 Pendapat Wahbah mengenai pembagian ini memiliki persamaan dengan para mufasir lainnya, baik ulama sebelumnya maupun penerusnya. Pertama, M.Quraish Shihab berpendapat mengenai pembagian ini jika ada seseorang lelaki meninggal tetapi tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, atau jika ada perempuan yang meninggal tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan dari ibu, maka masing-masing dari kedua jenis 30
M.Nasib ar-Rifa‟I, Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, Penerjemah : Syihabuddin, Gema Insai : Hal 865 31 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi , Tafsir Asy-Sya’rawi tim penerjemah Safir al - Azhar , Duta al - Azhar, , PT ikrar mandiri abadi , Jakarta, hal : 492 32 Wahbah Az-Zuhaili, Pnrjmh abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Fiqih Islam Wa adillatuhu , (Dimasyq : Dar al-Fikri & Jakarta : Gema Insani, Mei 2011 cet I), Jilid 10 Hal : 394 33 Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid III, Hal : 279
45
saudara itu seperenam bagian dari harta warisan. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang 1/3 itu, dibagi dengan rata sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya.34 Kedua, Syeikh AsySyanqithi berpendapat mengenai pembagian ini yang dimaksud dengan saudara – saudara dalam ayat ini adalah jika jumlah saudara itu hanya satu orang maka ia akan mendapat seperenam dari harta warisan, sedangkan jika jumlahnya banyak maka mereka akan bersekutu dalam 1/3 dari harta warisan baik laki – laki maupun perempuan35. dan Ketiga, Buya Hamka berpendapat mengenai pembagian ini seseorang lelaki meninggal dalam keadaan tidak meninggalkan orang tua dan tidak meninggalkan anak, atau demikian juga jika ada perempuan yang meniggal tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan dari ibu, maka masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam bagian dari harta warisan. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Buya Hamka berbeda pendapat, yakni mereka mendapatkan 1/3 dengan ketentuan yang laki – laki mendapat dua kali bagian perempuan.36
Bagian suami jika istri yang meninggal dan bagian istri jika suami meninggal
Pada pembagian suami maupun istri, Wahbah berpendapat Suami mendapatkan ½ dari tirkah yang ditinggalkan oleh istri ketika mayit tidak meninggalkan anak ( baik anak (laki – laki / perempuan) dari suami/suami lain ), 34
M. Quraish Syihab, Tafsir al - Misbah , Pesan,Kesan, dan Keserasian AlQur’an , Jilid 2 , Hal 349 35 Syaikh Asy-Syanqithi ; penerjemah Fathurazi, Tafsir Adhwaul Bayan ( Tafsir Al-qur’an dengan Al-qur’an ), pustaka Azzam Jakarta Selatan , 2006 . Hal 628 36 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid ke IV , PT. Pustaka Panjimas, Jakarta 1983. Cet. I , Hal : 286
46
dan sisa utnuk saudara laki – laki. Tetapi jika terdapat anak ( walaupun bukan dari istri melainkan dari istri sebelumnya ), maka suami mendapatkan ¼.37 Dan jika suami yang meninggal, maka istri mendapatkan ¼ apabila tidak mempunyai anak.38 Pendapat Wahbah tersebut memiliki persamaan pendapat dengan para mufasir lainnya, baik ulama sebelumnya maupun penerusnya. Pertama M.Qurasih Syihab berpendapat mengenai pembagian suami dan istri yakni ( bagi kamu wahai para suami seperdua dari harta yang di tinggalkan oleh isteriisteri kamu, jika mereka, yakni isteri kamu yang meninggal itu masing-masing tidak mempunyai anak dari kamu atau dari selain kamu; tetapi jika isteri- isteri kamu itu mempunyai anak yang berhak mendapat waris, baik lelaki maupun perempuan, maka kamu mendapat seperempat bagian dari harta warisan yang mereka tinggalkan masing-masing sesudah dipenuhi wasiat mereka, yakni sesudah dibayar hutang mereka.Setelah menjelaskan bagian suami, kini dijelaskan bagian istri, yaitu istri baik suami bermonogami maupun berpoligami,yakni baik isteri suami yang meniggal itu seorang diri, maupun empat orang, maka mereka semua memperoleh seperempat harta suami yang ditinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak dari salah seorang diantara isteri-isteri kamu itu. ).39 Dan kedua, Buya Hamka berpendapat mengenai pembagian suami dan istri yakni jika seorang suami meninggal kemudian meninggalkan istri saja, maka istri mendapat ¼ dan berbeda jika ada anak istri mendapat 1/8 atau sebaliknya seorang istri 37
Wahbah Az-Zuhaili, Pnrjmh abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Fiqih Islam Wa adillatuhu , (Dimasyq : Dar al-Fikri & Jakarta : Gema Insani, Mei 2011 cet I), Jilid 10 Hal : 394 38 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid III, Hal : 277 39 M. Quraish Syihab, Tafsir al - Misbah , Pesan,Kesan, dan Keserasian AlQur’an , Jilid 2 , Hal 348
47
meninggal dan meniggalkan suami , maka bagian suami mendapatkan ½ dari tirkah ( jika tidak ada anak ), tetapi bila terdapat anak suami mendapatkan 1/4 .40
Bagian istri – istri yang ditinggalkan oleh suami ( lebih dari satu )
Pada pembagian istri - istri ( lebih dari satu ), Wahbah berpendapat jika suami meninggalkan lebih dari satu istri maka bagiannya adalah ¼ atau 1/8 dan di bagi sesuai jumlah istri yang ditinggalkam oleh suami ( pewaris ), dan tentu saja hal ini boleh dilakukan jika sudah terlaksanakan hutang dan wasiat yang ditinggalkan oleh suami .41Pendapat Wahbah mengenai pembagian ini memiliki persamaan dengan mufasir sebelumnya, yakni Buya Hamka yang berpendapat sama apabila istri yang ditinggalkan suami berjumlah dua, tiga atau empat orang, maka mereka hanya mendapat ¼ atau 1/8 secara rata. 42 Lain halnya pendapat Quraish Syihab yang berbeda dengan Wahbah mengenai pembagian istri – istri ( lebih dari satu ), yakni baik istri dari suami yang meninggal itu seorang diri, maupun empat orang, maka mereka semua memperoleh seperempat harta saja ( jika kamu tidak mempunyai anak dari salah seorang diantara isteri-usteri kamu itu ) dan yang seperempat itu dibagi secara rata tanpa membedakan isteri pertama dengan yang lain, tetapi hal itu dapat di laksanakan sesudah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar hutang-hutang suami.43
40
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid ke IV , PT. Pustaka PAnjimas, Jakarta 1983. Cet. I , Hal : 284 41 Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid III, Hal.58 42 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid ke IV , PT. Pustaka PAnjimas, Jakarta 1983. Cet. I , Hal : 285 43 M. Quraish Syihab, Tafsir al - Misbah , Pesan,Kesan, dan Keserasian AlQur’an , Jilid 2 , Hal 348
48
Bagian dua saudara perempuan atau lebih yang ditinggalkan oleh pewaris.
Pada pembagian dua saudara perempuan ini Wahbah berpendapat Jika ahli waris perempuan atau saudara perempuan seayah lebih dari dua maka bagiannya 2/3 secara bersama dari tirkah.44 Dan dua saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3.45 Pendapat Wahbah mengenai pembagian dua saudara perempuan
ini memiliki persamaan tersebut
memiliki persamaan pendapat
dengan para mufasir lainnya, baik ulama sebelumnya maupun penerusnya.yakni Sya’rawi berpendapat (apabila “kalal” atau (laki-laki) yang meninggalkan dua orang saudara perempuannya atau saudara perempuan atau lebih (mereka seayah), maka mereka mewarisi 2/3 dari harta yang ditinggalkannya.)46 lalu Ibnu Katsir berpendapat ( seseorang yang meninggal dan ia meninggalkan dua orang saudara perempuannya atau lebih (mereka seayah), maka mereka mewarisi 2/3 dari harta yang ditinggalkannya. )47. Berikutnya Quraish Syihab berpendapat jika saudara perempuan itu dua orang ( sekandung atau tidak dan mereka seayah ), maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang di tinggalkan oleh yang meninggal. 48 Dan yang terakhir Buya Hamka berpendapat mengenai pembagian dua saudara
Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid III, Hal.274 45 Wahbah Az-Zuhaili, Pnrjmh abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Fiqih Islam Wa adillatuhu , (Dimasyq : Dar al-Fikri & Jakarta : Gema Insani, Mei 2011 cet I), Jilid 10 Hal : 394 46 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi , Tafsir Asy-Sya’rawi tim penerjemah Safir al - Azhar , Duta al - Azhar, , PT ikrar mandiri abadi , Jakarta, hal 492 47 M.Nasib ar-Rifa‟I, Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, Penerjemah : Syihabuddin, Gema Insai : Hal 867 48 M. Quraish Syihab, Tafsir al - Misbah , Pesan,Kesan, dan Keserasian AlQur’an , Jilid 2 , Hal 656 44
49
perempuan seayah yakni jika yang meninggal saudara laki – laki dan meninggalkan dua saudara perempuan seayah, maka untuk keduanya itu dua pertiga dari apa yang dia ditinggalkan.49serta mengenai pembagian dua saudara perempuan seibu, jika seseorang meninggal dan meninggalkan dua saudara perempuan seibu maka mereka mendapatkan sepertiga.50
Bagian saudara perempuan atau laki – laki ( se-ayah ) yang ditinggalkan oleh pewaris tanpa ada ahli waris selainnya.
Pada pembagian saudara – saudara tersebut Wahbah
berpendapat
( seseorang yang meninggal dan tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan kandung/saudara dari bapak, maka saudaranya tersebut mendapatkan ½ dari tirkah ).51 pendapat Wahbah ini memiliki persamaan dengan mufasir sebelumnya di antaranya adalah, Sya’rawi berpendapat yang sama (jika seseorang meninggal dunia , dan dia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perenpuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki – laki mempusakai ( seluruh harta saudara perempuan ) jika dia tidak mempunyai anak. 52 lalu Ibnu Katsir berpendapat (jika saudara laki meninggal maka saudara perempuannya mendapatkan ½ dari tirkah apabila tidak ada anak, dan jika saudara perempuan 49
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid ke VI , PT. Pustaka Panjimas, Jakarta 1982, Hal :
50
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid ke IV , PT. Pustaka Panjimas, Jakarta 1983, Hal :
97. 286 51
Wahbah Az-Zuhaili, Pnrjmh abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Fiqih Islam Wa adillatuhu , (Dimasyq : Dar al-Fikri & Jakarta : Gema Insani, Mei 2011 cet I), Jilid 10 Hal : 406 52 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi , Tafsir Asy-Sya’rawi tim penerjemah Safir al - Azhar , Duta al - Azhar, , PT ikrar mandiri abadi , Jakarta, hal 492
50
yang meninggal maka saudara laki – lakinya mewarisi seluruh harta saudara perempuan.53 Begitu juga Buya Hamka berpendapat bahwa saudara perempuan orang kalalah itu mendapat separuh. Lain halnya Asy - Syanqithi yang berbeda pendapat (jika jumlah saudaranya hanya satu orang maka ia akan mewarisi seluruh harta seorang diri).54
Saudara laki – laki dan perempuan ( se-ayah ) yang ditinggalkan oleh pewaris dengan jumlah yang banyak
Pada pembagian saudara – saudara tersebut Wahbah berpendapat ( kalau yang menerima waris beberapa saudara laki/perempuan ( kandung ), maka bagiannya laki - laki seumpama bagian 2 wanita. Adapun beberapa saudara dari ibu maka mereka mendapatkan 1/3 ).55 Pendapat Wahbah tersebut memiliki persamaan
dengan
mufasir
lainnya,
baik
ulama
sebelumnya
maupun
penerusnya.yakni diantaranya Asy - Syanqithi berpendapat (jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara – saudara laki dan perempuan , maka bagian seorang saudara laki – laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan.”),56 lalu Sya’rawi berpendapat (dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudarasaudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak
53
M.Nasib ar-Rifa‟I, Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, Penerjemah : Syihabuddin, Gema Insai : Hal 866-867 54 Syaikh Asy-Syanqithi ; penerjemah Fathurazi, Tafsir Adhwaul Bayan ( Tafsir Al-qur’an dengan Al-qur’an ), pustaka Azzam Jakarta Selatan , 2006 . Hal 628 55 Wahbah Az-Zuhaili, , Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid IV, Hal.58 56 Syaikh Asy-Syanqithi ; penerjemah Fathurazi, Tafsir Adhwaul Bayan ( Tafsir Al-qur’an dengan Al-qur’an ), pustaka Azzam Jakarta Selatan , 2006 . Hal 629
51
bahagian dua orang saudara perempuan).57 Berikutnya Ibnu Katsir berpendapat ( seseorang yang meninggal dan meninggalkan saudara laki – laki dan perempuan, maka bagian saudara laki – laki mendapat dua bagian perempuan).58 Dan yang terakhir Buya Hamka juga berpendapat yang sama, tetapi beliau menyebutkan perihal jumlahnya yakni ( jika ahli waris terdiri dari saudara laki – laki dan perempuan mendapatkan 2/3, maka bagian saudara laki – laki sebanyak bagian dua orang perempuan, dan bagian dari saudara seibu mendapatkan ½ )59.
Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi , Tafsir Asy-Sya’rawi tim penerjemah Safir al - Azhar , Duta al - Azhar, , PT ikrar mandiri abadi , Jakarta, hal 492 58 M.Nasib ar-Rifa‟I, Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, Penerjemah : Syihabuddin, Gema Insai : Hal 867 59 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid ke IV , PT. Pustaka PAnjimas, Jakarta 1983. Cet. I , Hal : 286 57
52
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa : Definisi Kalâlah memiliki beberapa arti. Wahbah mendefinisikan sebagai seseorang yang seseorang yang meninggal dan tidak memiliki orang tua serta anak . Pendapat beliau memiliki persamaan dengan Asy-syanqithi, dan Hamka. Namun pendapat tersebut di bantah oleh Quraish Syihab, dan M.Nasib Ar-rifa’i yang
mendefinisikan
Kalâlah
adalah
seseorang
yang
meniggal
tidak
meninggalkan ayah serta tidak meninggalkan anak. Lain halnya Asy-Sya’rawi yang mendefinisikan Kalâlah adalah seseorang yang meninggal dunia , dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perenpuan. Selanjutnya mengenai bagian – bagian untuk ahli warisnya, seperti Bagian untuk saudara laki – laki dan perempuan yang ditinggalkan oleh pewaris, Bagian suami jika istri yang meninggal dan bagian istri jika suami meninggal, Bagian istri – istri yang ditinggalkan oleh suami ( lebih dari satu ), Bagian dua saudara perempuan atau lebih yang ditinggalkan oleh pewaris, Bagian saudara perempuan atau laki – laki yang ditinggalkan oleh pewaris tanpa ada ahli waris selainnya, dan Saudara laki – laki dan perempuan yang ditinggalkan oleh pewaris dengan jumlah yang banyak. Dari semua pembagian, pendapat Wahbah memiliki persamaan dengan beberapa mufasir lainnya, diantaranya yang penulis lampirkan dalam skripsi ini yakni ( Ibnu Katsir,Asy-Sya’rawi, Buya Hamka, Asy-Syanqithi, dan
53
M.Quraish Shihab). Namun terdapat pula penambahan – penambahan yang di jelaskan dalam penafsiran Wahbah tersebut, tetapi tidak berbeda di dalam pembagian awalnya . B. Saran – saran Tidak banyak yang dapat penulis sarankan dalam skripsi ini kecuali beberapa hal: 1. Dalam Skripsi ini penulis hanya memfokuskan pada permasalahan makna kalalah dan pembagian – pembagiannya dalam tafsir al – munir. Maka dari itu penulis berharap di kemudian hari, ada penulis yang menyempurnakan penelitian ini dengan menambahkan pembahasan yang lebih luas lagi. Karena penulis sadar kesimpulan akhir dari skripsi ini tidak menutup kemungkinan ada kesimpulan lain dari analisis yang dilakukan penulis. 2. Penulis juga berharap ada penelitian lanjutan yang lebih komprehensif, terhadap permasalahan waris kalalah dan tidak hanya menggunakan tafsir al- munir saja. Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan sedikit pengetahuan bagi penulis khususnya, dan bagi para pembaca sekalian. Amiin. Wallahu A’lam Bi as-Sawwab.
54
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah ( Bandung : Diponegoro, 2005). ………………………., Al-qur’an dan Tafsirnya , Jakarta ). ………………………., Al-Qur’an dan Terjemah ( Semarang : CV . Alwaah, 1989). Ghofur, Saiful Amin , Profil Para Mufassir Al-Qur’an,- Yogyakarta:Pustaka Insan Madani, 2008. Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid ke IV , PT. Pustaka PAnjimas, Jakarta 1983. Cet. I. ………, Tafsir al-Azhar, Jilid ke VI , PT. Pustaka Panjimas, Jakarta 1982. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadist, Tirtamas Indonesia.cet III Juni 1964. Hudaya, Ahmad Al-Kaf , Hawa dan Nafsu ,Menurut Al-Qur’an Kajian Tafsir AlMunir, : Jakarta. Ismail, M. Syuhudi, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, Bulan Bintang, Jakarta, 1988. Murdana, Asep Lafazh yang bermakna kebaikan dalam perspektif al-qur’an, ( Jakarta ). Parman, Ali, Kewarisan Dalam Al-Qur’an Raja Grafindo , 19995, Jakarta Utara . Ar-Rifa’I M.Nasib , , Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, Penerjemah : Syihabuddin, Gema Insani. Sahabuddin, dkk, ed. Ensiklopedia alqur’an : kajian kosakata. Jakarta: Lentera Hati, cet.I, 2007.
55
Shaleh, Dahlan. A , dkk , ASBABUN NUZUL , CV Penerbit Diponegoro , Bandung, cet 10. Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, FIQHUL MAWARIS, Hukum – hukum warisan dalam syari’at Islam, Bulan Bintang : Jakarta. Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia Dalam Prespektif Islam, Adat, & BW, Refika Aditama : Bandung. As-Suyuti, Al-Imam Jalaludin, Riwayat turunya ayat – ayat suci Al-Qur’an, Mutiara Ilmu – Surabaya. Asy-Syanqith,i Syaikh; penerjemah Fathurazi, Tafsir Adhwaul Bayan ( Tafsir Alqur’an dengan Al-qur’an ), pustaka Azzam Jakarta Selatan , 2006. Sya’rawi, Syeikh Muhammad Mutawalli , tim penerjemah Safir al - Azhar , Duta al - Azhar, Tafsir Asy-Sya’rawi , PT ikrar mandiri abadi , Jakarta. Syazwani , hak perempuan dalam pembagian harta warisan menurut al-qur’an , Jakarta. Syihab, M. Quraish, Tafsir al - Misbah , Pesan,Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an , Jilid 2. Syukron, Ahcmad Takhrij Hadis Hak Waris Di Luar Nikah, : Jakarta. Az-Zuhaili, Wahbah, Pnrjmh al-Kattani, abdul Hayyie, dkk. Fiqih Islam Wa adillatuhu , (Dimasyq : Dar al-Fikri & Jakarta : Gema Insani, Mei 2011 cet I), Jilid 10. ..............................., Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid III.
56
.............................., Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I, Jilid IV.