WALI NIKAH ANAK HASIL KAWIN HAMIL Implementasi Bab IV Bagian Ketiga dan Pasal 53 Dalam Kompilasi Hukum Islam di Kabupaten Ponorogo
SKRIPSI
Oleh IMAM MAHFUD FAUJI NIM : 241052016
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAHSHIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO DESEMBER 2009
1
WALI NIKAH ANAK HASIL KAWIN HAMIL Implementasi Bab IV Bagian Ketiga dan Pasal 53 Dalam Kompilasi Hukum Islam di Kabupaten Ponorogo
SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi sebagian syarat-syarat guna memperoleh gelar sarjana program strata satu (S-1) Pada Jurusan Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo
Oleh : IMAM MAHFUD FAUJI NIM : 241052016
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAHSHIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO DESEMBER 2009
2
3
NOTA PEMBIMBING Ponorogo, 5 Desember 2009 Hal: Persetujuan Munaqasah Skripsi Kepada Yang Terhormat Bapak Ketua Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah secara cermat membaca kembali, dan telah diadakan perbaikan/ penyempurnaan sesuai petunjuk dan arahan, maka kami berpendapat bahwa Skripsi Saudara: Nama
: Imam Mahfud Fauji
NIM
: 241052016
Jurusan
: Syariah
Prodi
: Ahwal al-Syahshiyah
Judul
:WALI NIKAH ANAK HASIL KAWIN HAMIL (Implementasi Bab IV Bagian Ketiga dan Pasal 53 Dalam Kompilasi Hukum Islam di Kabupaten Ponorogo)
Telah memenuhi syarat untuk diajukan dalam sidang ujian munaqasah Skripsi Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo. Untuk itu kami mengharap agar skripsi tersebut dapat segera dimunaqasahkan. Atas perhatian Bapak disampaikan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Pembimbing I
Pembimbing II
H. Agus Purnomo, M.Ag. NIP.197308011998031001
Layyin Mahfiana, SH. M.Hum. NIP.197508052000032001
4
DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO PENGESAHAN Skripsi ini telah dipertahankan pada sidang munaqhasah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo Pada: Hari
: Rabu
Tanggal
: 06 Januari 2010
dan telah diterima sebagai bagian dari persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam, pada: Hari
: Kamis
Tanggal
: 14 Januari 2010 Ponorogo, 16 Januari 2010 Mengesahkan Ketua STAIN Ponorogo Drs. H. A. RODLI MAKMUN, M. Ag NIP: 196 111 151 989 031 001
Tim Penguji: 1. Ketua Sidang
: DR. H. Abdul Mun’im, M.Ag
_________________
2. Sekretaris Sidang : Layyin Mahfiana, SH. M.Hum
_________________
3. Penguji I
: Ajat Sudrajat, M. Ag
_________________
4. Penguji II
: H. Agus Purnomo, M.Ag
_________________
5.
5
MOTTO
“ ISLAM DAN AGAMA-AGAMA PADA UMUMNYA MENGAJARKAN KEPADA KITA TENTANG PENTINGNYA MEMELIHARA AGAMA, JIWA, HARTA, KETURUNAN SERTA AKAL
(Imam Al-Sythibi1)
1
Zuhairi Misrawi dkk, Modul Fiqh Tasamuh ”Membangun Toleransi berbasis Pesantren dan Masjid”, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat The Asia Foundation, 2007) 137.
6
ABSTRAK Fauji, Imam Mahfud. Implementasi Wali Nikah Anak Hasil Kawin Hamil Pada Bab IV Bagian Ketiga Dan Pasal 53 Tentang Kawin Hamil Kompilasi Hukum Islam Di Kabupaten Ponorogo. SKRIPSI, Jurusan Syari’ah Program Studi Ahwal al-Syahshiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo, Pembimbing (I) H. Agus Purnomo, M.Ag, (II) Layyin Mahfiana SH. M.Hum. Kata Kunci : Wali nikah, anak hasil kawin hamil, anak sah, anak tidak sah Status hukum anak hasil dari perkawinan wanita hamil dalam hukum Islam adalah apabila anak tersebut lahir dari wanita hamil yang kandungannya minimal berusia 6 (enam) bulan dari perkawinan yang sah maka anak itu adalah anak yang sah. Sedangkan dalam hukum positif di Indonesia status hukum anak hasil dari perkawinan wanita hamil adalah anak yang sah. Hal tersebut diatur dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat atau dalam perkawinan yang sah, meskipun anak tersebut lahir sebelum ataupun setelah 6 bulan dari aqad pernikahan kedua orang tuanya. Persoalan menikahkan wanita hamil apabila dilihat dari Kompilasi Hukum Islam di atas, penyelesaianya jelas dan sederhana hanya dengan satu pasal dan tiga ayat saja. Kekhawatiran yang timbul ketika anak tersebut akan menikah bagaimana tentang status perwaliannya, sehingga ayah yang seharusnya tidak berhak menjadi wali boleh menikahkan sendiri ataukah menyerahkan kepada hakim tentang perkawinan anaknya tersebut, sebab anak hasil kawin tersebut bukan nasab sah dari ayahnya tersebut. Karena tidak ada aturan yang jelas dalam Kompilasi Hukum Islam terkait wali nikah anak hasil kawin hamil, secara tidak langsung Kompilasi Hukum Islam tersebut menyatakan bahwa anak yang lahir akibat kawin hamil mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya, baik yang berkenaan dengan biaya kehidupan dan pendidikannya hak asuh, wali nikah, maupun warisan. Hal tersebut diatas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian terhadap kejadian yang sebenarnya di masyarakat dengan mengambil rumusan masalah 1). implementasi wali nikah anak hasil kawin hamil pada bab IV bagian ketiga dan pasal 53 KHI, serta 2) dampak penerapan pasal tersebut di Kabupaten Ponorogo. Berdasarkan data yang ada penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian lapangan atau penelitian kualitatif (Field Research), yang menggunakan teknik analisa model Miles dan Huberman (pengumpulan data, reduksi data, display data, kesimpulan/verifikasi). Kemudian untuk menunjang penelitian ini penulis juga melakukan penelaahan buku-buku yang relevan dengan topik penelitian ini. Sehingga nantinya bisa diketahui dengan jelas yang terjadi di masyarakat tentang kasus tersebut. Dalam penerapannya ada kekaburan hukum terhadap pasal tersebut. Di satu sisi (Kantor Urusan Agama) membolehkan pihak ayah anak tersebut menjadi wali nikah sebab anak tersebut anak sah di mata hukum, dan di sisi lain (masyarakat) harus menggunakan wali hakim karena anak tersebut termasuk anak zina. Sehingga dalam
7
pelaksanaan perwalian anak hasil kawin hamil di masyarakat seringkali adanya suatu rekayasa hukum, sebab wali anak tersebut diganti dengan dengan wali hakim meskipun dalam pelaksanaannya nanti bapak anak tersebut tetap duduk di tengah waktu proses ijab dan qabul. Sehingga diharapkan nantinya ada suatu peraturan berupa pasal tersendiri yang mengatur tentang perwalian anak hasil kawin hamil sebab hal ini menyangkut hasil keturunan berikutnya.
8
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING................................................................
ii
HALAMAN MOTTO ......................................................................................
iii
HALAMAN ABSTRAK………………………………………………………......................iv HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................
v
KATA PENGANTAR......................................................................................
vi
TRANSLITERASI .......................................................................................... viii DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB I
:
x
PENDAHULUAN .................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................
1
B. Rumusan Masalah ............................................................
10
C. Tujuan Penelitian ………………………………………..
10
D. Kegunaan Penelitian.........................................................
11
E. Metode Penelitian.............................................................
11
1.Pendekatan dan Jenis Penelitian……………………….
11
2. Lokasi Penelitian………………………………………
11
3. Subyek Penelitian……………………………………..
12
4. Sumber Data………………...…………………………
12
5. Teknik Pengumpulan Data……………………………..
12
6. Teknik Pengolahan Data…………………………….….
13
9
7. Teknik Analisa Data……………………………..…….. F. Sistemaika Pembahasan…………………………………..
BAB II
:
13 14
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN ................
16
A. Pengertian Perkawinan .....................................................
16
1. Pengertian ..................................................................
16
2. Rukun Dan Syarat Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Kompilasi Hukum Islam.............................................
19
3. Pengertian Kawin Hamil Menurut Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam.............................................
22
B. Anak Syah dan Anak Zina Menurut Hukum Islam Dan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) .................
26
C. Wali Menurut Hukum Islam Dan Kompilasi Hukum Islam
BAB III
1. Pengertian Wali………………………………………
21
2. Kedudukan Wali Dalam Perkawinan…………………
31
3. Orang-Orang Yang Berhak Menjadi Wali……………
35
4. Syarat – Syarat Wali………………………………….
39
5. Urutan Hak Perwalian………………………………..
40
6. Gugurnya Hak Kewalian……………………………..
44
7. Wali Nikah Anak Hasil Kawin Hamil………………...
45
GAMBARAN UMUM TENTANG KANTOR URUSAN AGAMA JETIS, KANTOR URUSAN AGAMA SAMBIT,
10
SERTA DESA KARANGGEBANG ..………………..............
47
A. Gambaran Umum………………………………………….
47
1. Kantor Urusan Agama Jetis………………………..…… 47 2. Kantor Urusan Agama Sambit…………………………. 50 3. Desa Karanggebang…………………………………….. 53 D. Deskripsi Terhadap Keabsahan Wali Nikah Anak Hasil Kawin Hamil Di Kabupaten Ponorogo…………...……… E.
54
Deskripsi Dampak Penerapan Pasal 53 Tentang Kawin Hamil Dan Bab IV Bagian Ketiga Tentang Wali Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam Terhadap Penetapan Wali Nikah Anak Hasil Kawin Hamil Di Kabupaten Ponorogo………………………………………….........
BAB IV
:
IMPLEMENTASI
WALI
NIKAH
ANAK
57
HASIL
KAWIN HAMIL PADA BAB IV BAGIAN KETIGA DAN
PASAL
53
TENTANG
KAWIN
HAMIL
KOMPILASI HUKUM ISLAM DI KABUPATEN PONOROGO………………..........
61
A. Analisis Keabsahan Wali Nikah Anak Hasil Kawin Hamil Di Kabupaten Ponorogo……………………............
61
1. Praktik kawin Hamil di Kabupaten Ponorogo…………… 61 2. Perwalian Anak Hasil Kawin Hamil di Kabupaten Ponorogo……………………………………………….
11
63
B. Analisis Dampak Penerapan Pasal 53 Tentang Kawin Hamil dan Bab IV Bagian Ketiga TentangWali Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam Terhadap Penetapan Wali Nikah Anak Hasil Kawin Hamil……………………
69
1. Respon Masyarakat Terhadap Kawin Hamil di Kabupaten Ponorogo…………………………………
69
2. Setatus Hukum Perwalian Anak Hasil Kawin Hamil
BAB V
:
di Kabupaten Ponorogo………………………………
72
PENUTUP .............................................................................
77
A. KESIMPULAN................................................................
77
B. SARAN............................................................................ . 78
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BIOGRAFI PENULIS
12
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkawinan adalah suatu aqad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT.2 Dalam Al-Qur’an juga dinyatakan bahwa perkawinan adalah salah satu cara yang positif untuk kelangsungan hidup manusia dalam peran meningkatkan ketaqwaan, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Nisa’ ayat 1:
> = @َ َوBَCD َ ْ َزوBَCGْ Iِ J َ Kَ L َ ٍة َوOَ P ِ وَاR ٍ Sْ Tَ ْUIV WُYZَ Kَ L َ ا =]\ِيWُ Yُ @= ُ_ا َرZ`= س ا ُ B=G] اBَCbcَأBَc 3
ءhَiTِ ًا َوklِm ً َآeBَD ِرBَfCُ Gْ Iِ
Artinya : Wahai manusia, bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menjadikan kamu dari satu diri, lalu ia jadikan daripadanya isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak sekali.”4 Tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis
2
Departemen Agama, Ilmu Fiqh,(Jakarta: 1984/1985), 49.
3
Al-Qur’an, 4:1.
4
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan tafsirnya jilid 2, (Yogyakarta:
Dana Bhakti Wakaf, tt), 116.
13
dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga; sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya antar anggota keluarga.5 Tuhan tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai dengan martabatnya. Memberikan jalan yang paling sentosa pada sex sebagai naluri manusia, memelihara keturunan dengan baik dan menghindarkan kaum wanita dari penindasan kaum laki-laki. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai, dengan upacara ijab qabul sebagai lambang dari adanya rasa ridha-meridhai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.6 Pernikahan merupakan syariah yang sangat luhur dan rentan terhadap kesalahan yang mempunyai implikasi hukum yang besar. Perlu berhati-hati dalam melakukan aqad pernikahan. Oleh sebab itu, pernikahan sarat dengan syarat dan rukun yang sangat lengkap, dan harus dilakukan secara tepat. Pernikahan dihukumi sah apabila telah memenuhi 5 unsur pokok (rukun) yaitu, 1. Calon mempelai laki-laki 2. Calon mempelai perempuan 5
Abdurrahman Ghozaly, Fiqh Munakahat, (Bogor: Fajar Interpratama Offset, 2003), 22
6
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Vol 6, Terj. Thalib (Bandung: Alma’arif, tt), 8.
14
3. Wali dari mempelai wanita 4. Dua Orang saksi. 5. Sighot, (yaitu ijad dari wali mempelai wanita dan qobul dari mempelai laki-laki.7 Sedangkan rukun nikah menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 14 adalah sebagai berikut : a. Calon suami b. Calon isteri c. Wali nikah d. Dua orang saksi e. Ijab qbul Dari pendapat mengenai rukun tersebut di atas, dapat diambil suatu pengertian dan disimpulkan bahwa rukun perkawinan terdiri dari lima unsur penting meskipun dalam penuturannya terdapat sedikit yang berbeda, namun perbedaan tersebut bukan merupakan prinsip. Hal ini memungkinkan adanya sebab atau sistem yang mereka pakai dalam mengambil istinbat hukum adalah berbeda. Hal serupa banyak dijumpai dalam hal-hal yang bersifat furu’iyah, sehingga tidak berpegangan dalam satu nas saja, yang mempunyai multi fungsi interprestasi berbeda-beda. Inilah bukti dari kefahaman dan keelastisitasan hukum Islam yang mampu mengembangkan sejalan dengan laju perkembangan zaman.
7
Masykur Khoir, Risalah Mahrom&Wali Nikah, (Kediri: Duta Karya Mandiri,tt), 97
15
Idealnya seorang laki-laki mengawini seorang yang masih perawan atau belum menikah, atau bisa juga dengan janda yang telah putus tali perkawinannya dan dalam keadaan suci. Namun tidak sedikit masyarakat yang terjadi sebaliknya, wanita yang dikawini bukan hanya tidak suci lagi, akan tetapi sudah mengandung atau dalam keadaan hamil. Perkawinan seperti ini dilakukan dalam keadaan terpaksa.8 Dalam Islam, hamil diluar nikah atau perbuatan zina baik oleh pria yang menghamili maupun wanita yang hamil merupakan dosa besar. Namun, persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa mengurangi kehati-hatian mereka. Sedangkan di Indonesia, persoalan menikahkan wanita hamil sudah dijelaskan dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), bab VIII Kawin Hamil Pasal 53 dari bab tersebut berisi tiga(3) ayat , yaitu : 1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya. 2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
8
Ajat Sudrajat, Membahas Problematika Hukum Islam Kontemporor, (Yogyakarta: Nadi Offset, 2008), 36.
16
3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.9 Persoalan menikahkan wanita hamil apabila dilihat dari Kompilasi Hukum Islam di atas, penyelesaiaanya jelas dan sederhana dengan satu pasal dan tiga ayat saja. Yang intinya bahwa orang yang menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya. Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa anak yang lahir akibat kawin hamil mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya, baik yang berkenaan dengan biaya kehidupan dan pendidikannya hak asuh, wali, maupun warisan. Dalam Islam, wali merupakan rukun perkawinan yang harus ada dalam akad nikah dari pihak istri, terutama yang walinya punya hak Ijbar. Dalam Islam tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya wali Nabi Bersabda :
Uc O هBp وq]_@ e ح اBYT e Artinya : Tidak ada pernikahan (yang sah) melinkan harus dengan wali dan dua orang saksi 10 Juga disebutkan dalam riwayat lain:
st B@ BCP BYGu BCl] اذن وklx@ yzYT اْ ةkI اBfc ْا Artinya : Setiap perempuan yang menikah tanpa mendapat izin dari walinya, maka nikahnya batal 11 9
Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji , Bahan Penyuluhan Hukum, (tt, 2002), 176. 10
Moh. Zuhri dkk, Tarjamah Sunan at-Tirmidzi juz 2, (Semarang: Asy Syifa’, tt), 423-
426.
17
Secara umum hal-hal yang bisa menempatkan seseorang mempunyai hak untuk menjadi wali nikah itu ada 4 sebab : 1. sebab nasab 2. ahli waris 3. sebab memerdekakan 4. sebab kekuasaan Namun tidak berarti setiap orang yang telah menempati salah satu dari 4 sebab wali nikah berhak menjadi wali nikah artinya, diantara orangorang yang berhak menjadi wali nikah, ada yang harus diprioritaskan terlebih dahulu untuk menjadi wali dibanding wali yang lain.12 Dijelaskan di dalam pasal 19 sampai dengan pasal 23 Kompilasi Hukum Islam tentang wali, bahwa wali merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi mempelai wanita yang akan melaksanakan perkawinan. Dalam pasal ini telah dijelaskan bahwa wali nasab hanya garis keturunan laki-laki saja dan wali hakim bisa menjadi wali nikah apabila wali nasab tidak ada. Tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut tidak dijelaskan tersendiri bagaimana status kriteria wali nikah terhadap anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan yang notabene tidak mempunyai nasab dengan ayahnya sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 Kompilasi Hukum Islam.
11
Ibid., 424-427.
12
Masykur, Risalah Mahrom… 87.
18
Kekawatiran yang timbul dari peristiwa di atas adalah ketika anak tersebut akan menikah bagaimana tentang status perwaliannya sehingga ayah yang seharusnya tidak berhak menjadi wali menikahkan ataukah menyerahkan kepada hakim tentang perkawinan anaknya tersebut. Indikasi masalah ini disebabkan karena memang tidak ada aturan yang jelas dalam Kompilasi Hukum Islam yang mengatur bahwa anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan dari aqad nikah adalah termasuk anak luar nikah, yang nasab anak tersebut nantinya hanya kepada pihak ibu saja. Hal ini termasuk masalah yang penting karena sahnya suatu perkawinan serta keturunan berikutnya.13 Hal ini salah satu indikator penyebab terjadinya pergaulan bebas. Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepastian hukum kepada anak yang ada dalam kandungan, dan logikanya untuk mengakhiri status anak zina. Dari keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan sementara seandainya ada seorang perempuan yang dinikahkan oleh wali yang bukan nasabnya atau yang terlebih di luar wewenangnya berarti pernikahannya tidak sah atau batal. Termasuk didalamnya anak hasil zina karena anak hasil zina tidak mempunyai nasab kepada bapaknya melainkan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya.
13
Hasil wawancara dengan Bpk Jarot (Modin desa Karanggebang) pada kamis, 29 Oktober 2009 pukul 19.15 WIB di rumah Bapak Jarot Desa Karanggebang.
19
Melihat banyaknya fenomena yang terjadi di masyarakat Ponorogo terkait wali nikah terhadap anak hasil kawin hamil, maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang bagaimana status keabsahan wali nikah terhadap anak hasil kawin hamil yang terjadi di Kabupaten Ponorogo yang selain peneliti berdomisili di Kabupaten Ponorogo ternyata kasus kawin hamil ini sering terjadi di Kabupaten Ponorogo. Padahal, Kabupaten Ponorogo termasuk kabupaten yang sangat banyak pondok pesantrennya.14
Sehingga
hasil
penelitian
skripsi
ini
nantinya
mengharapkan perlunya ditinjau kembali mengenai bab IV bagian ketiga pasal 19, 20, 21, 22, 23 tentang wali dan pasal 53 mengenai kawin hamil dalam Komplikasi Hukum Islam yang memberi kesan seolah-olah pasal tersebut melegalkan zina. Karena, hal ini merupakan masalah yang sangat sensitif dan mendasar bagi masyarakat Indonesia yang mana mayoritas penduduk beragama Islam. Dari keterangan di atas maka peneliti mencoba mengkaji lebih mendalam masalah tesebut dalam bentuk skripsi dengan judul: WALI NIKAH ANAK HASIL KAWIN HAMIL (Implementasi Bab IV Bagian Ketiga dan Pasal 53 Dalam Kompilasi Hukum Islam di Kabupaten Ponorogo).
14
Ibid.,
20
B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas tentang implementasi wali nikah terhadap anak hasil kawin hamil maka, peneliti merasa ada permasalahan yang perlu dibahas lebih mendalam yaitu: 1. Bagaimana Implementasi terhadap keabsahan Wali Nikah anak hasil Kawin Hamil di Kabupaten Ponorogo. 2. Bagaimana dampak penerapan pasal 53 tentang Kawin Hamil dan Bab IV bagian ketiga tentang Wali Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam terhadap penetapan wali nikah anak hasil kawin hamil di Kabupaten Ponorogo. C. Tujuan Penelitian Ada beberapa hal yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi yang berjudul, “Wali Nikah Anak Hasil Kawin Hamil, Implementasi Bab IV Bagian Ketiga dan Pasal 53 Dalam Kompilasi Hukum Islam di Kabupaten Ponorogo“. Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis dalam pembuatan skripsi ini adalah: 1. Mengetahui Implementasi pasal 53 tentang Kawin Hamil di Kabupaten Ponorogo. 2. Mengetahui dampak penerapan pasal 53 tentang Kawin Hamil dan Bab IV bagian ketiga tentang Wali Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam terhadap penetapan wali nikah anak hasil kawin hamil di Kabupaten Ponorogo.
21
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan studi dalam pembahasan skripsi ini adalah: 1. Kegunaan studi ilmiah, yaitu suatu bahan yang berguna untuk penelitian lebih lanjut tentang hal-hal yang ada kaitannya dengan status wali nikah terhadap anak luar kawin. 2. Kegunaan terapan, yaitu sebagai bahan yang merupakan sumbangan pikiran bagi pelaku nikah yang menghadapi kasus seperti ini serta dalam mengkritisi Undang-undang Kompilasi Hukum Islam. 3. Kegunaan akademis, yakni penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana dalam bidang hukum Islam. E. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan jenis penelitian Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian lapangan atau penelitian kualitatif (Field Research), kemudian untuk menunjang penelitian ini penulis juga melakukan penelaahan buku-buku yang relevan dengan topik penelitian ini. 2. Lokasi Penelitian Adapun lokasi penelitian yang penulis lakukan adalah di wilayah Kabupaten Ponorogo, selain penulis berdomisili di Kabupaten Ponorogo, di daerah ini sangat banyak terjadi kasus kawin hamil sehingga lebih terfokus.
22
3. Subyek Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi subyek utama penelitian adalah pegawai KUA (Penghulu), Modin Desa, serta orang orang yang terlibat dalam kasus ini. 4. Sumber Data 1. Data primer Data primer dalam penelitian ini adalah data yang dikumpulkan langsung dari individu dalam bentuk wawancara yang menjadi obyek penelitian yang telah disebutkan dalam subyek penelitian diantaranya pegawai KUA (Penghulu), Modin Desa, serta orang orang yang terlibat dalam kasus ini 2. Data sekunder Data sekunder yang penulis pergunakan dalam penelitian ini adalah data-data dalam pustaka dan menggunakan data yang telah ada baik yang diterbitkan maupun yang tidak di terbitkan. 5. Teknik Pengumpulan Data Agar memperoleh data yang sesuai dengan maksud dan tujuan yang penulis maksud dalam penyusunan skripsi ini, maka data-data penulis peroleh dan kumpulkan melalui beberapa metode pengumpulan data antara lain:
23
1. Metode interview (wawancara) Yaitu suatu metode untuk menyimpulkan data dengan cara tanya jawab antara dua orang atau lebih secara langsung.15 2. Metode dokumentasi Yaitu metode yang digunakan dalam mengumpulkan data-data yang berupa surat-surat dan dokumen salinan yang mendukung. 6. Teknik Pengelolaan Data Setelah data terkumpul dan diperoleh melalui studi lapangan ataupun pustaka, maka penulis mengolah data dengan cara: 1. Editing, yaitu pemeriksaan kembali semua data yang terkumpul, yang diperoleh dari segi kelengkapan, kejelasan makna, sesuai dan keselarasan diantara masing-masing data serta pemisahan dari data yang tidak ada relevansinya serta korelasinya.16 2. Organizing, yaitu menyusun data-data yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah ada dan direncanakan sebelumnya yaitu sesuai dengan sistematika pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah. 3. Penemuan hasil, yaitu melakukan analisa lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data dengan menggunakan kaidah, teori, dalil dan sebagainya, sehingga memperoleh kesimpulan-kesimpulan tertentu sebagai jawaban dan pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah.
15
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung : CV Alpa Beta, tt), 73-74. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Raja Grafinda Persada, 2002), 129. 16
24
7. Teknik Analisis Data Untuk memudahkan penulis dalam menganalisa data penulis menggunakan model Miles dan Huberman. Yaitu pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, sehingga diperoleh data yang dianggap kredibel.17 Langkah-langkah analisis yang dilakukan adalah mengumpulkan data– data (collection data), setelah data terkumpul dirangkum (reduction data), kemudian penyajian data hasil rangkuman (display data), setelah itu hasil data-data tadi disimpulkan (conclusions) sehingga memperoleh hasil yang maksimal.18 F. Sistematika Pembahasan Untuk memudahkan dalam penyusunan skripsi ini, maka pembahasan dikelompokkan menjadi lima bab, yang masing-masing bab tersebut dibagi beberapa sub bab yang antara masing-masing bab mempunyai korelasi keterkaitan yang erat, artinya bab sebelumnya berperan sebagai pengantar dalam pembahasan berikutnya sehingga dalam pembahasan ini mulai bab satu sampai dengan bab lima merupakan pembahasan yang tidak dapat dipisahpisahkan dan mempunyai hubungan yang erat. Untuk lebih jelasnya, maka sistematika dalam pembuatan skripsi ini disusun sebagai berikut: 17 18
Sugiono, Memahami…91. Ibid., 92
25
BAB I :
Pendahuluan Bab ini berisi tentang gambaran umum pola dasar pembahasan skripsi ini yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan studi, kegunaan studi, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB II :
Perkawinan dan Wali Nikah Dalam bab ini sebagai landasan teori yang meliputi pengertian Perkawinan, wali nikah, anak sah dan anak zina, perwalian anak, serta pandangan ulama tentang anak hasil kawin hamil yang berkaitan dengan perwaliannya.
BAB III:
Bab ini berisi gambaran umum tentang Kantor Urusan Agama Jetis, Kantor Urusan Agama Sambit, Serta Desa Karanggebang sebagai fokus penelitian serta deskripsi terhadap keabsahan wali nikah anak hasil kawin hamil di Kabupaten Ponorogo dan deskripsi dampak penerapan Pasal 53 tentang kawin hamil pada bab IV bagian ketiga tentang wali nikah Kompilasi Hukum Islam
BAB IV:
Bab ini merupakan pokok bahasan skripsi yang didalamnya meliputi, analisa terhadap keabsahan wali nikah anak hasil kawin hamil di Kabupaten Ponorogo dan analisis dampak praktek pernikahan anak hasil kawin hamil, serta perwalian kasus kawin hamil atas penerapan Kompilasi Hukum Islam yang terjadi di Kabupaten Ponorogo.
26
BAB V:
Penutup Bab ini merupakan penutup skripsi yang berisi tentang kesimpulan dan saran
27
BAB II
PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan 1.Pengertian. Pernikahan atau perkawinan dalam literatur figh berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah (حNOP ) dan zawâj ()زواج. Kedua kata ini yang terakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadist Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin,19 seperti yang dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
Artinya : Dan jika kamu takut berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang.20
19
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan vol 1, (Jakarta: Prenada Media, 2006), 35 20 Departemen, al-Qur’an… jilid 2, 117.
28
Secara harfiah, an-nikh al-wath’u (طءWX)ا, adh-dhammu (YZX )اdan al-jam’u ([\]X)ا, Al-wath’u berasal dari kata wathi’a – yatha’u – wath’an
(وطا-ءN_`-ءN^)و, artinya berjalan di atas, memasuki, menaiki, bersetubuh. Adh-dhammu, yang terambil dari akar kata dhamma – yadhummu – dhamman
(N\a-YZ`-Ya),
secara
harfiah
berarti
mengumpulkan,
memegang, menggabungkan, memeluk. Sedangkan Al-Jam’u yang berasal kata dari jama’a – yajma’u – jam’an (Nc\b-[\]`-[\b), yang berarti, mengumpulkan, menghimpun, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun. Itulah sebabnya mengapa bersetubuh atau bersenggama dalam istilah figh disebut dengan ijma’ mengingat persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua aktifitas yang terkandung dalam makna-makna harfiah dari kata al-jam’u.21 Sedangkan pengertian menurut syara’ nikah dalam beberapa pandangan diantaranya : Menurut Imam Syafi’i yang dimaksud nikah ialah suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut majazi nikah itu artinya hubungan seksual.22 Sedangkan nikah menurut Hazairin dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Nasional mengatakan inti perkawinan itu adalah hubungan seksual. Menurut beliau itu tidak ada nikah (perkawinan) bilamana tidak ada hubungan seksual beliau mengambil tamsil bila tidak ada hubungan 21
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di dunia Islam,( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 43. 22 Idris Ramulya, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 1996), 2.
29
antara suami istri, maka tidak perlu ada tenggang waktu menunggu (iddah) untk menikahi lagi bekas istri itu dengan laki-laki lain.23 Dari pengertian di atas ternyata ada perbedaan namun sebenarnya pengertian sama mengenai nikah atau perkawinan perbedaan tersebut disebabkan darimana ia meninjau sehingga kelihatannya perkawinan itu mempunyai arti yang multi atau ragam yang banyak. Dengan demikian akan mempermudah istilah atau pengertian mana yang tepat dan sesuai dengan yang digunakan sebagai makna hakikinya. 2. Rukun Dan Syarat Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan rukun dan syarat tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.24 Yang dimaksud dengan rukun perkawinan adalah hakikat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu unsur penting ini, suatu perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah suatu yang harus ada dan terpenuhi dalam perkawinan tersebut, kalau salah satu syarat dari perkawinan tersebut tidak terpenuhi. Maka, perkawinan 23 24
Ibit., Syarifuddin, Hukum Perkawinan…vol 1, 59
30
menjadi tidak syah. Mengenai rukun perkawinan antara satu mazdhab dengan mazhab yang lain berbeda dalam menyebutkannya. Menurut ulama Syafi’iyah yang menjadi unsur pokok (rukun) suatu perkawinan yaitu, 1. Calon mempelai laki-laki. 2. Calon mempelai perempuan 3. Wali dari mempelai laki-laki 4. Dua orang saksi. 5. Ijab yang dilakukan oleh wali dari wali mempelai wanita dan qobul dari mempelai laki-laki.25 Sedangkan rukun nikah menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 14 adalah sebagai berikut 1. Calon suami 2. Calon Isteri 3. Wali nikah 4. Dua orang saksi 5. Ijab Qobul. Dari pendapat mengenai rukun tersebut di atas, dapat diambil suatu pengertian dan disimpulkan bahwa rukun perkawinan terdiri dari lima unsur penting meskipun dalam penuturannya terdapat sedikit yang berbeda, namun perbedaan tersebut bukan merupakan prinsip. Hal ini memungkinkan adanya sebab atau sistem yang mereka pakai dalam 25
Syarifuddin, Hukum Perkawinan vol 1, 60-61 Dijelaskan juga oleh Masykur Khoir dalam bukunya Risalah Mahrom&Wali Nikah (Kediri: Duta Karya Mandiri,tt, 97
31
mengambil istimbat hukum adalah berbeda. Hal serupa banyak dijumpai dalam hal-hal yang bersifat furu’iyah, sehingga tidak berpegangan dalam satu nas saja, yang mempunyai multi fungsi interprestasi berbeda-beda. Inilah bukti dari kefahaman dan keelastisitasan hukum Islam yang mampu mengembangkan sejalan dengan laju perkembangan zaman. Pernikahan juga tidak akan pernah sah ketika syarat pernikahan belum terpenuhi, Syarat nikah itu sendiri juga terdapat beberapa pendapat tetapi secara global syarat-syarat nikah sebagai berikut: a. kedua belah pihak (calon mempelai) telah mencapai akil baligh. b. Jika salah seorang dari keduanya hilang ingatan atau masih kecil, maka berarti belum mencapai usia baligh, sehingga akad nikah tidak dapat dilaksanakan. c. Menyatukan tempat pelaksanaan ijab qabul. Dengan pengertian, tidak boleh memisahkan antara ijab dan qobul dengan pembicaraan atau halhal lainnya. Meskipun pertemuan pelaksanaan ijab qabul itu berlangsung cukup lama dan qobul dilakukan dengan adanya selang waktu dari ijab serta tidak ada hal-hal yang menunjukkan penolakan dari kedua belah pihak.26 d. Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ijab, kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuan lebih tegas. Jika pengijab mengatakan : Aku kawinkan kamu dengan anak perempuanku, dengan mahar Rp 100,- lalu qobul menjawab: Aku 26
Syaikh Kamil Muhamad ‘Uwaidah, Al-Jâmi’ Fî Fîgh Al-Nisâ’ terj Abdul Ghoffar, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2003), 402-403.
32
terima nikahnya dengan Rp 200,- maka nikahnya syah, sebab qabulnya memuat hal yang lebih baik dari yang dinyatakan pengijab. e. Pihak-pihak yang melakukan aqad harus dapat mendengarkan pernyataan
masing-masing
dengan
kalimat
yang
maksudnya
menyatakan terjadi pelaksanaan aqad nikah, sekalipun kata-katanya ada yang tidak dapat dipahami, karena yang dipertimbangkan disini ialah maksud dan niat, bukan mengerti setiap kata-kata yang dinyatakan dalam ijab dan qobul.27 3. Pengertian Kawin Hamil Menurut Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam Perkawinan yang diakui di Indonesia adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan serta dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku28. Sedangkan yang dimaksud kawin hamil adalah perkawinan yang dilakukan setelah adanya hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seoarang perempuan yang menyebabkan calon isteri hamil sebelum melakukan akad perkawinan yang sah baik menurut hukum agama ataupun menurut hukum negara. Agama Islam menganjurkan menikah, karena ia merupakan jalan yang paling sehat dan tepat untuk menyalurkan kebutuhan biologis (insting seks). selain nikah merupakan pencegahan penyaluran kebutuhan biologis, nikah mengandung arti larangan menyalurkan potensi seks dengan cara-cara di luar ajaran agama Pernikahan juga merupakan sarana 27 28
Sayyid, Fikih…vol 6, 55. Ajat, Membahas Problematik…,47.
33
yang ideal untuk memperoleh keturunan yang syah.29 Karena itu Islam melarang umatnya melakukan perbuatan hubungan sebelum adanya perikatan. Dalam hal mengawini perempuan hamil karena zina ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukumnya. Ulama Malikiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa, perempuan tersebut tidak boleh dikawini kecuali setelah ia melahirkan anak sebagaimana tidak boleh mengawini perempuan dalam masa iddah hamil. Sedangkan ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Zhahiriyah mengatakan bahwa, perempuan yang sedang hamil karena zina itu boleh dikawini tanpa menunggu masa kelahiran bayi yang dikandungnya.30 Dalam hal apakah perempuan tersebut boleh tidaknya digauli oleh suaminya sewaktu masih hamil itu berbeda pendapat pula pendapat mereka. Menurut ulama Hanafiyah, perempuan itu tidak boleh digauli oleh suaminya sebelum ia melahirkan dan habis masa nifasnya. Alasannya adalah karena adanya hadis nabi yang melarang menumpahkan bibit di ladang orang lain, Pendapat ini juga berlaku dikalangan ulama Zhahiriyah. Sedangkan ulama Syafi’iyah bebeda pendapat dengan ini. Menurut mereka suami yang telah mengawini perempuan hamil itu boleh menggauli istrinya itu tanpa menunggu kelahiran anak. Alasannya ialah karena dengan telah menjadi istrinya sudah halal hak dia untuk menggaulinya31
29
Sayyid, Fikih…vol 9, 87. Syarifuddin, Hukum…,132. 31 Ibid., 30
34
Bayi dalam kandungan ibunya memerlukan jangka waktu sampai bayi dilahirkan. Untuk mengetahui anak yang lahir berasal dari suami ibunya atau bukan ditetapkan masa kehamilan minimal enam bulan dari tanggal dilangsungkannya aqad nikah dengan syarat diketahui telah hamil sebelum nikah. Dasar hukum yang dipakai dalam menentukan batas minimal kehamilan anak diluar nikah yaitu diambil dari surat al-Ahqaf ayat 15 :
( $\δöä. çµ÷Gyè|Êuρuρ $\δöä. …絕Βé& çµ÷Fn=uΗxq ( $Ζ≈|¡ômÎ) ϵ÷ƒy‰Ï9≡uθÎ/ z≈|¡ΣM}$# $uΖøŠ¢¹uρuρ #öκy− tβθèW≈n=rO …çµè=≈|ÁÏùuρ …çµè=÷Ηxquρ Artinya : Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.32 Dalam hubungan ini Al-Quran surat Luqman menyebutkan :
È÷tΒ%tæ ’Îû …çµè=≈|ÁÏùuρ 9÷δuρ 4’n?tã $Ζ÷δuρ …絕Βé& çµ÷Fn=uΗxq ϵ÷ƒy‰Ï9≡uθÎ/ z≈|¡ΣM}$# $uΖøŠ¢¹uρuρ ∩⊇⊆∪ çÅÁyϑø9$# ¥’n<Î) y7÷ƒy‰Ï9≡uθÎ9uρ ’Í< öà6ô©$# Èβr& Artinya : Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun33
32 33
al-Qur’an 46:15. al-Qur’an 31:14 (Maksudnya: Selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur
dua tahun.)
35
Ayat pertama menerangkan bahwa masa kehamilan sampai menyapih berlangsung selama 30 (tiga puluh) bulan sedangkan ayat yang kedua menerangkan bahwa masa menyapihnya selama 2 (dua) tahun atau 24 (dua puluh empat) bulan. Dengan demikian masa kehamilan minimal selama tiga puluh (tiga puluh) bulan dikurangi 24 (dua puluh empat) bulan sama dengan 6 (enam) bulan. Jadi untuk menentukan minimal kehamilan seorang wanita adalah 6 (enam) bulan. Keterangan di atas mempunyai arti bahwa anak yang dilahirkan kurang dari 6 (enam) bulan tergolong menjadi anak zina yang mengakibatkan hukum tersendiri dalam sebagian urusan agama baik tentang waris, waliannya, kewarisannya dan lain sebagainya. Di Indonesia, persoalan menikahkan wanita hamil sudah dijelaskan dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), bab VIII Kawin Hamil Pasal 53 dari bab tersebut berisi tiga(3) ayat , yaitu : 1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya 2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya 3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.34
34
Departemen, Bahan…,176.
36
Persoalan menikahkan wanita hamil apabila dilihat dari Kompilasi Hukum Islam di atas, penyelesaiannya jelas dan sederhana dengan satu pasal dan tiga ayat saja. Yang intinya bahwa orang yang menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya. Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa anak yang lahir akibat kawin hamil mempunyai hubungan nasab terhadap kedua orang tuanya baik terhadap laki-laki yang menikahi ( baik yang menghamili atau tidak) dan kepada ibunya. Artinya, si anak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya, baik yang berkenaan dengan biaya kehidupan dan pendidikannya hak asuh, wali, maupun warisan. B. Anak Syah dan Anak Zina Menurut Hukum Islam Dan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Hukum Islam mengatur tentang tata cara hubungan kelamin dalam memenuhi kebutuhan hajat biologis manusia. Guna memperoleh keturunan serta ingin memperoleh ketenangan hidup sesuai dengan kodrat manusia, Yaitu dengan cara melakukan perkawinan yang syah supaya memperoleh keturunan anak yang syah, terhormat, dan terhindar dari cemoohan masyarakat. Pada dasarnya perkawinan yang mengakibatkan sahnya hubungan keturunan itu harus dilengkapi beberapa syarat sebagai berikut 1. Suami memungkinkan menjadi sebab kehamilan isterinya sesuai dengan proses terjadinya akibat hubungan dengan suaminya misalnya suaminya sudah dewasa, sebaliknya jika suami masih
37
kecil atau ia belum mengeluarkan sperma dan
menyebabkan
isterinya hamil maka anak yang dilahirkan nantinya tidaklah diakui sebagai anak keturunan suami tersebut. 2. Bahwa suami tidak mengingkari hubungan keturunan anak itu dengan dia sebaliknya, kalau suami mengingkari hubungan itu, maka harus diadakan Li’an menurut hukum Islam, yang ditetapkan dalam ayat-ayat al-Qur’an.35 3. Lahirnya anak itu harus lebih dari enam bulan sejak suami tersebut menjima’ isterinya, sedangkan bayinya lahir seperti bayi yang cukup umur. 4. Bayi lahir tersebut harus kurang dari empat tahun dan si istri tidak dijima' suaminya.36 Suami yang sudah dewasa dan sudah bisa mengeluarkan sperma akan tetapi suami tersebut belum pernah bertemu ataupun berkumpul dengan isterinya sama sekali, jika isterinya itu hamil kemudian melahirkan anak, maka anak tersebut tidak diakui adanya hubungan keturunan yang sah dengan suami tersebut. Oleh karena itu sama sekali belum pernah bertemu antara keduanya sehingga terjadi kehamilan si istri merupakan suatu hal yang tidak mungkin.
35
17.
Zakariya Ahmad Al Barry, Hukum Anak-Anak Dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, tt),
36
http://www.pta-banjarmasin.go.id/index.php?content=mod_artikel&id=14 Status Hukum Dan Hak Anak Hasil Dari Perkawinan Wanita Hamil (Studi Komparatif antara Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia) Oleh :Fitrian Noor.
38
Menurut Imam Hanafi anak itu diakui sebagai anak dari suami tersebut, karena dimungkinkan terjadi hal-hal yang diluar kebiasaan manusia termasuk karomah wali. Akan tetapi ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tidak diakui anak tersebut sebagai anak suaminya. Mereka menetapkan bahwa suatu perkawinan yang sah menyebabkan sahnya status keturunan anak dengan ayahnya, maka haruslah disertai dengan kemungkinan adanya hubungan atau pertemuan antara suami isteri tersebut.37 Yang dimaksud anak zina yaitu anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah. Di atas telah dijelaskan bahwa perkawinan yang diakui di Indonesia adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan serta dicatat menurut perundangundangan yang berlaku.38 Menurut Islam anak zina suci dari segala dosa yang menyebabkan eksistensi didunia ini, dan tidak menanggung beban dosa orang tuanya. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam suarat al-Najm ayat 38 yang berbunyi ;
∩⊂∇∪ 3“t÷zé& u‘ø—Íρ ×οu‘Η#uρ â‘Ì“s? āωr&
Artinya : (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,39
37
Ibid, 20. Ajat, Membahas…,47. 39 Al-Quran 53;38. 38
39
Karena itu anak zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya di masyarakat nanti, yang bertanggung jawab untuk mencukupi hidupnya adalah ibunya, sebab anak zina hanya mempunyai nasab atau hubungan hukum dengan ibunya. Dalam hal ini ibnu rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid yang artinya : 40
hij هN]X اlm n اYop Nq Nqن زWstj`nNPuXدااn ان اوwjxرWo\]X اz{| وا
Artinya: Fuqaha ulama telah sependapat bahwa anak-anak zina tidak dipertalikan nasabnya kepada ayah-ayah mereka kecuali pada masa jahiliyah.41 Dari uraian tersebut di atas penulis berpendapat bahwa status hukum anak hasil dari perkawinan wanita hamil menurut hukum Islam adalah apabila anak tersebut lahir sekurang-kurangnya enam bulan dari pernikahan yang sah kedua orang tuanya, maka anak tersebut adalah anak sah dan dapat dinasabkan kepada kedua orang tuanya. Sedangkan apabila anak itu lahir kurang dari enam bulan semenjak pernikahan yang sah kedua orang tuanya, maka anak tersebut adalah anak yang tidak sah (anak zina) dan tidak dapat dinasabkan kepada kedua orang tuanya. Anak ini hanya mempunyai hubungan nasab kepada ibunya saja. Sebagai akibatnya anak zina tidak dapat dihubungkan dengan ayahnya. Hal tersebut juga dijelaskan dalam Ketetapan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mempunyai akibat hukum sebagai berikut : 40
Ibnu Rusyd, Bidayatûl Mujtahid Vol 1, (Darul fikri, tt), 268. Ibnu Rusyd, Bidayatûl Mujtahid terj Ma Abdurrahman, Haris Abdullah vol 3,(Semarang : Asy-Syifa’, 1990), 508-507. 41
40
a. Tidak ada hubungan nasab kepada laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah. b.
Tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah.
c. Tidak ada hubungan saling mewarisi.42 Menurut Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, meskipun anak tersebut lahir dari usia kandungan kurang dari enam bulan lamanya sejak pernikahan kedua orang tuanya. Hal ini diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 42 : Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Dan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 99 : Anak yang sah adalah : 1.
Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
2.
Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilakukan oleh istri tersebut.
Pasa1 100 : “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. 43
42
Ajat, Membahas…,47-48. Idris, Hukum…,93-94. hal serupa juga di jelaskan pada situs http://www.ptabanjarmasin.go.id/index.php?content=mod_artikel&id=14 tanggal 06 Nopember 2009 14:43:01 43
41
C. Wali Menurut Hukum Islam Dan Kompilasi Hukum Islam 1. Pengertian Wali Yang dimaksud wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Berwenangnya ia bertindak terhadap dan atas nama orang lain itu karena orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta atau atas dirinya. Dalam perkawinana wali adalah seseorang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.44 Dalam referensi lain bahwa perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar’i atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna. Karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasainya itu, demi kemaslahatannya sendiri.45 2. Kedudukan Wali Dalam Perkawinan Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai rukun dalm perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Dalam akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai
44
Syarifuddin, Hukum…,69. Mugniyah Muhammad Jawad, al-Fîgh ‘ala al-mâdzhâb al—khâmsâh terj Maskur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-kaff. (Jakarta,: Lentera Basritama, 1996), 345. 45
42
perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.46 Untuk sahnya nikah diperlukan adanya izin dari wali calon mempelai wanita sekaligus persetujuan untuk pelaksanaan akad nikah. Karena, menurut jumhur ulama yang demikian itu merupakan syarat sahnya akad nikah.47 Hal ini didasarkan firman Allah.
∩⊄∈∪ Å∃ρá÷èyϑø9$$Î/ £èδu‘θã_é& ∅èδθè?#uuρ £ÎγÎ=÷δr& ÈβøŒÎ*Î/ £èδθßsÅ3Ρ$$sù
Artinya : Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut.48 Dan juga disebutkan dalam hadist yang berarti “Perempuan mana saja yang jika menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal. Dan jika (laki-laki yang menikahinya) mencampurinya, maka wajib baginya membayar mahar untuk kehormatan yang ia peroleh dari kemaluannya. Jika mereka (para wali) bertengkar, maka hakim itu adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”. Masalah wali dalam perkawinan apakah merupakan rukun nikah atau syarat nikah didalam masalah ini para fuqoha berbeda pendapat, diantara mereka yang berbeda adalah : Menurut Imam Syafi’i, Maliki dan Hambali berpendapat: jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak 46
Syarifuddin, Hukum…,69. Muhammad Ali As-Shabûni, al-zâwâj Al-Islami Al-mûbakkîr Sa’âdah Wa Hashanâh, terj M. Abdul Ghoffar E.M, (Jakrta Pustaka An-nabaa’, 2001),78. 48 Al-Qur’an, 4:25. 47
43
mengawinkan dirinya ada pada wali, akan tetapi jika ia janda maka hak itu ada pada keduanya. Sebaliknya wanita itu pun tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri tanpa restu sang wali. Namun, pengucapan akad adalah hak wali. Akad yang diucapkan hanya oleh wanita tersebut tidak berlaku sama sekali.49 Alasanya adalah mempelai yang masih kecil tidak dapat melakukan akad dengan sendirinya maka akad tersebut dilakukan oleh walinya.50 Kesimpulan pandangan Imam Syafi’i beserta pengikutnya bahwa seorang perempuan yang menikah disyaratkan harus memakai wali, yang berarti tanpa wali, nikah itu batal menurut Hukum Islam atau nikahnya tidak sah.51 Menurut Imam Abu Hanifah, jika seorang wanita kawin dengan pria yang tidak sederajat tanpa persetujuan wali ‘ashibnya, menurut pendapat yang diwirayatkan dari abu hanifah dan abu yusuf, pernikahan tersebut tidak sah. Pendapat ini cukup beralasan karena tidak setiap wali dapat mengadukan perkaranya kepada hakim, dan tidak setiap hakim dapat memutuskannya dengan adil. Maka demi untuk menghindari perselisihan lalu mereka berfatwa bahwa pernikahan yang seperti ini tidak sah.
52
Jadi
menurut Imam Abu Hanifah apabila seorang wanita melakukan nikah tanpa wali sedang mempelai pria sebanding sekufu maka dibolehkan tanpa wali, tetapi jika wanita dan mempelai pria tidak sekufu’ maka harus dengan wali.
49
Mugniyah, Al-Figh…,345. Syarifuddin, Hukum…,69. 51 Idris, Hukum…,216. 52 Sayyid, Fikih…vol 7, 12. 50
44
Sedangkan menurut Imam Abu Daud berpendapat bahwa dalam masalah ini ada pemisahan antara gadis dengan janda, untuk pernikahan gadis diperlukan seorang wali sedangkan dalam pernikahan janda tidak disyaratkan wali.53 Perbedaan tersebut di atas bukan merupakan salah satu prinsip, terbukti hal-hal yang dibedakan tersebut mempunyai segi kesamaan misalnya, Abu Hanifah “Jika Sekufu’” dan jika Abu Daud dengan “Jika Janda” dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa wali dalam suatu perkawinan harus ada baik itu merupakan rukun atau merupakan syarat. Dalam melaksanakan tugasnya, wali dalam perkawinan boleh melaksanakan sendiri aqad nikah orang-orang yang dibawah perwaliannya atau boleh perwakilan kepada orang lain untuk mengganti perwaliannya, dalam aqad nikah wakil tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang harus terpenuhi yaitu : 1. Beragama Islam 2. Laki-laki 3. Berakal sehat 4. Dewasa 5. Adil
53
Ibnu Rusyd, Bidayatul…,365.
45
Pada dasarnya mewakilkan dalam aqad nikah bisa dilaksanakan secara lisan dan tanpa saksi, akan tetapi untuk menghindari hal ini apabila orang yang mewakilkan tidak hadir maka disyaratkan untuk perwakilan tersebut dilaksanakan secara tertulis. Terkait hal ini perwalian anak hasil kawin hamil juga bisa melakukan perwalian dengan cara wakil dilaksanakan dengan menggunakan wali hakim dan wali hakim mewakilkan kepada orang lain atau ayah tirinya secara lisan atau tulisan tanpa adanya paksaan. Dengan demikian, jelas bahwa wali menurut hukum Islam adalah sesuatu yang sangat penting dan harus mendapat persetujuan dari gadis yang akan dinikahkannya sebab wali akan menjadi syarat sahnya suatu syarat perkawinan sedangakn khusus janda diperbolehkan nikah tanpa menuggu izin dari walinya. 3. Orang-Orang Yang Berhak Menjadi Wali Yang berhak menempati kedudukan sebagai wali itu ada tiga kelompok: a. Wali Nasab Yaitu wali berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan yang akan kawin. Jumhur ulama yang terdiri dari Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi’ah Imamiyah membagi wali nasab itu kepada dua kelompok : Pertama, Wali dekat atau wali qarib (`sX اwX WX )اyaitu ayah. Kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan
yang
mutlak
terhadap
46
anak
perempuan
yang
akan
dikawinkannya. Ia dapat mengawinkan anaknya yang masih berada dalam usia muda tanpa minta persetujuan dari anaknya tersebut. Wali dalam kedudukan seperti ini disebut wali mujbir54. Ketidakharusan meminta pendapat dari anaknya yang masih usia muda itu karena orang yang masih muda tidak mempunyai kecakapan untuk memberi pesetujuan. Adapun urutan wali Mujbir adalah sebagai berikut a. Bapak b. Kakek dan seterusnya menurut garis lurus keatas. c. Saudara laki-laki seibu-sebapak. d. Saudara laki-laki sebapak. e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu-sebapak. f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak dan seterusnya menurut garis lurus kebawah. g. Paman kandung (saudara bapak). h. Anak laki-laki dari paman kandung. i. Paman (saudara bapak yang sebapak), kemudian putra-putranya dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.55 Kedua: Wali jauh atau wali Ab’ad (cqn اwX WX ;)اyaitu wali dalam garis kerabat selain ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu, karena anak menurut ulama jumhur tidak boleh menjadi wali terhadap ibunya dari segi dia adalah anak, bila anak berkedudukan sebagai wali hakim boleh dia 54
Yang dimaksud dengan Wali Mujbir dalam kitab al-jami’ fii fighi an-Nisa’ terj Abdul Ghoffar vol 7, hal 19 yaitu seorang wali berhak mengakadnikahkan orang yang diwalikan diantara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka lebih dulu. Dan aqadnya berlaku juga bagi orang yang diwakilkan tanpa melihat ridha atau tidaknya. 55 Peunoh Daly Hukum Perkawinan Islam vol I (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 75.
47
mengawinkan ibunya sebagai wali hakim. Adapun wali ab’ab adalah sebagai berikut: a. Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada b. Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada c. Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada d. Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada e. Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada f. Anak paman kandung; kalau tidak ada pindah kepada g. Anak paman seayah h. Ahli waris kerabat lainnya kalau ada Dengan demikian, urusan pernikahan itu diserahkan kepada para wali. Jika masih ada atau hidup, maka yang berhak menjadi wali adalah ayah mempelai wanita, dan jika tidak ada atau sudah meninggal dunia, maka yang berhak menjadi wali adalah saudara laki-laki kandung atau paman.56 Sementara itu, Imam Maliki mengatakan bahwa apabila tidak ada wali yang dekat, maka hakim berhak mengawinkan anak laki-laki dan perempuan kecil, orang gila laki-laki dan perempuan dengan orang yang sekufu’, serta mengawinkan wanita dewasa dan waras dengan izin mereka.57
56 57
As-Shabûni, al-zawaj Al-Islami…,78. Mugniyah, Al-Figh…, 349.
48
b. Wali mu’thiq Yaitu orang yang menjadi wali terhadap perempuan bekas hamba sahaya yang dimerdekakannya. c. Wali hakim Yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.58 Wewenang wali berpindah ke hakim, apabila : 1. Ada pertentangan diantara wali-wali. 2. Bilamana walinya tidak ada dalam pengertian tidak ada yang absolut (mati, hilang) atau karena gaib. Bila datang laki-laki yang sepadan dan melamar kepada perempuan yang sudah baliq dan ia menerimanya tetapi tak seorangpun dari walinya yang hadir waktu itu, misalnya karena ghoib sekalipun tempatnya dekat, yang berhak menjadi wali untuk mengakadkanya adalah wali hakim.59 d. Wali Muhakam Wali muhakam adalah wali yang ditunjuk oleh mempelai perempuan yang mempunyai kriteria atau syarat menjadi wali dan mempunyai pengetahuan agama dengan baik, wali ini ditunjuk disebabkan wali nasab, wali mu’tiq, menolak tugas perwaliannya atau wali nasab tidak berada ditempat, disamping itu wali hakim tidak dapat menggantikan wali nasab karena berbagai sebab.
58 59
Syarifuddin, Hukum... vol 1, 75. Syaikh kamil, al-jami’… ,29.
49
Wali muhakam ini ditunjuk oleh mempelai perempuan yang tidak mempunyai hubungan darah atau kekerabatan dengan mempelai perempuan dan juga penguasa60 berdasarkan hal-hal tersebut di atas yang lazim dan biasa di Indonesia hanyalah Wali Nasb dan Wali Hakim saja. 4. Syarat – Syarat Wali Wali adalah seorang yang menyertai, mengatur dan melindungi dari perkawinan maksudnya ialah orang yang berkuasa mengurus dan mengatur peremuan-perempuan yang dibawah lindungannya. Sedang yang menjadi dasar wali dalam setiap perkawinan adalah merujuk sabda Nabi Muhammad SAW :
Uc O هBp وq]_@ e ح اBYT e Artinya : Tidak ada pernikahan (yang sah) melainkan harus dengan wali dan dua orang saksi 61 Juga disebutkan dalam riwayat lain:
st B@ BCP BYGu BCl] اذن وklx@ yzYT اْ ةkI اBfc ْا Artinya : Setiap perempuan yang menikah tanpa mendapat izin dari walinya, maka nikahnya batal62 Adapun Syarat wali seluruh madzab sepakat bahwa syarat wali adalah : 1. Merdeka.63 2. Baligh 60
Zahri Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, (Bina Cipta, 1978), 30. 61 Zuhri, Tarjamah…,423-426. 62 Ibid., 423-426. 63 Syaikh Kamil, Al-Jami’…, 7.
50
3. Islam 4. Laki-laki 5. Adalah (syarat bagi hakim dan bukan wali yang dekat).64 Seorang wali tidak disyaratkan adil. Jadi seorang yang durhaka tidak kehilangan hak menjadi wali dalam perkawinan, kecuali kalau kedurhakaannya melampaui batas-batas kesopanan yang berat. Karena wali tersebut jelas tidak menentramkan jiwa orang-orang yang diurusnya. Karena itu haknya menjadi wali akan hilang.65 5. Urutan Hak Perwalian Jumhur ulama’ mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam arti selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan selama wali nasab yang lebih dekat masih ada wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali. Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarib. Bila wali qarib tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, Islam, merdeka, berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut urutan tersebut di atas. Bila wali qarib sedang dalam ihrah haji atau umrah, maka kewalian tidak berpindah kepada wali ab’ad, tetapi pindah kepada wali hakim menjadi wali nikah bila keseluruhan wali nasab sudah tidak ada, atau wali qarib dalam keadaan ‘adhal atau enggan mengawinkan tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Begitu pula akad perkawinan dilakukan oleh wali hakim bila wali qarib sedang berada 64 65
Mugniyah, Al-Figh…,349. Syaikh Kamil, Al-Jami’…,7.
51
ditempat lain yang jaraknya mencapai dua marhalah (sekitar 60 km). Demikian adalah menurut jumhur ulama.66 Dalam hal berpindahnya hak kewajiban pada wali hakim terdapat pendapat lain. Menurut ulama Hanafiyah bila wali akrab bepergian ke tempat jauh atau goib dan sulit untuk menghadirkannya hak kewajiban berpindah kepada wali ab’ad dan tidak kepada wali hakim. Pendapat yang sama dikemukakan oleh ulama Malikiyah. Pindahnya Perwalian kepada wali hakim apabila ada sebab-sebab sebagai berikut : 1. Tidak ada wali nasab sam sekali 2. Wali mafqud (dinyatakan hilang tidak diketahui tempatnya). 3. Walinya sakit pitam (ayan) 4. Walinya jauh dari tempat akad perkawinan (ghaib) 5. Walinya berada dipenjara yang tidak boleh ditemui. 6. Walinya berada dibawah pengampuan (mahjur ‘alaih) 7. Walinya bersembunyi (tawari). 8. Walinya jual mahal (sombong atau ta’zzuz). 9. Walinya menolak atau membangkang menjadi wali nikah (‘adlal). 10. Walinya sedang berihram haji atau umrah.67 Dalam keterangan lain pindahnya kewajiban pada wali hakim atau sultan bila seluruh wali tidak ada atau bila wali qarib dalam keadaan enggan mengawinkan. Hal ini menjadi kesepakatan ulama. Dasarnya adalah hadis Nabi dari Aisyah menurut riwayat empat perawi hadist selain 66 67
Syarifuddin, Hukum…, 78-79 Zahri, Pokok-pokok Hukum…,31.
52
an-Nasai yang mengatakan “Bila wali itu tidak mau menikahkan, maka sultan menjadi wali bagi perempuan yang tidak lagi mempunyai wali” sedangkan yang menjadi dasar berpindahnya kewalian kepada hakim pada saat wali qarib berada di tempat lain menurut pendapat jumhur ulama adalah disamakan kepada wali yang tidak ada.68 Kompilasi Hukum Islam berkenaan dengan wali ini menjelaskan secara lengkap dan keseluruhan mengikuti fiqh mazhab jumhur ulama, khususnya Syafi’iyah. Wali ini diatur dalam pasal 19,20, 21, 22, dan 23. 1.
Yang berhak bertindak menjadi wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat Hukum Islam yakni muslim dan akil baligh.
2.
Wali nikah tediri dari; a. Wali nasab b. Wali hakim
3.
Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah,dan seterusnya; Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka; Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-
68
Syarifuddin, Hukum…,78-79.
53
laki mereka; Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka. 4.
Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
5.
Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
6.
Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama, yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka
sama-sama
berhak
menjadi
wali
nikah,
dengan
mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Dalam hal bertindak sebagai wali adhal atau enggan maka wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.69
69
Idris, Hukum...,74-75.
54
6. Gugurnya Hak Kewalian Hak perwalian nikah bagi seseorang itu dapat gugur karena hal-hal berikut : 1. Masih kecil, atau masih dibawah umur. 2. Gila, apabila wali qarib gila maka berpindah kewaliannya kepada wali ab’ad 3. Budak 4. Fasik, kecuali ia sebagai imam a’zam (sulton) 5. Masih berada di bawah pengawasan wali (mahjur ‘alayh) karena tidak cerdas (dungu) 6. Kurang normal penglihatan dan tutur katanya, karena lanjut usia, sehingga tidak dapat melakukan penyelidikan sesuatu yang patut diselidiki 7. Berbeda agama70 Jika seorang wali mempunyai hal-hal yang tersebut di atas maka telah gugur hak kewaliannya, dalam artian ia tidak berhak lagi menjadi wali bagi perwaliannya. 7. Wali Nikah Anak Hasil Kawin Hamil Status hukum anak hasil dari perkawinan wanita hamil dalam hukum Islam adalah apabila anak tersebut lahir dari wanita hamil yang kandungannya minimal berusia 6 (enam) bulan dari perkawinannya yang sah, atau kemungkinan terjadinya hubungan badan antara suami isteri dari
70
Peunoh, Hukum...,76-77.
55
perkawinan yang sah maka anak itu adalah anak yang sah. Dan dalam hukum positif di Indonesia status hukum anak hasil dari perkawinan wanita hamil adalah anak yang sah karena baik Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinanan dan Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat atau dalam perkawinan yang sah. Hak anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil menurut hukum Islam apabila anak tersebut dilahirkan lebih dari enam bulan masa kehamilan dari perkawinan sah ibunya atau dimungkinkan adanya hubungan badan, maka anak tersebut anak sah sehingga memiliki hak terhadap kedua orang tuanya yaitu : 1. hak radla’, 2.
hak hadlanah,
3.
hak walayah (Perwalian),
4.
hak nasab,
5.
hak waris, dan
6.
hak nafkah.71 Apabila anak tersebut dilahirkan kurang dari enam bulan masa
kehamilan dari perkawinan sah ibunya atau dimungkinkan adanya hubungan badan maka anak tersebut dalam hukum Islam adalah anak tidak sah sehingga anak hanya berhak terhadap ibunya. Sedangkan menurut hukum positif di Indonesia bahwa anak yang lahir dari perkawinan hamil
71
http://www.pta-banjarmasin.go.id
56
adalah anak sah dari kedua orang tuanya, sehingga ia memiliki hak-hak yang wajib dipenuhi oleh kedua orang tuanya yaitu kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan, sebagai wali dalam perkawinan, hak nasab dan hak kewarisan.72 Kompilasi Hukum Islam adalah hasil produk hukum Islam jadi, apabila anak itu lahir kurang dari enam bulan semenjak pernikahan yang sah kedua orang tuanya, maka anak tersebut adalah anak yang tidak sah dan tidak dapat dinasabkan kepada kedua orang tuanya. Anak ini hanya mempunyai hubungan nasab kepada ibunya saja.73 Dari data di atas dapat diambil keterangan bahwa seharusnya penetapan wali hakim sebagai wali nikah bagi anak perempuan yang lahir dari perkawinan hamil yang terdeteksi dilahirkan kurang dari enam bulan setelah akad nikah orang tuanya adalah dengan menggunakan wali hakim74
72
http://www.pta-banjarmasin.go.id Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata Cet. 30, (Jakarta : PT Intermasa, 2002),48. 74 http://digilib.uin-suka.ac.id 73
57
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KANTOR URUSAN AGAMA JETIS, KANTOR URUSAN AGAMA SAMBIT, DAN DESA KARANGGEBANG
A. Gambaran Umum 1. Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Jetis75 a). Sejarah Singkat KUA Kec. Jetis Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Jetis merupakan sebuah lembaga pelayanan masyarakat yang keberadaannya sangat dibutuhkan masyarakat, karena KUA merupakan tumpuhan segala hal bagi masyarakat yang berkaitan dengan kehidupan beragama. Sejarah keberadaan KUA Kec. Jetis dengan pelayanan masyarakat akan dijelaskan sebagai berikut: Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Jetis berdiri pada tahun 1974 dengan kepala KUA yang pertama ”PURNOMO”. Sebagai lembaga yang baru berdiri maka segala sesuatunya sangat sederhana dan jauh dari cukup. Bahkan saat itu KUA masih menumpang disebuah rumah Ibu Maskur Desa Wonokerto (Sebelah Masjid Besar Kec. Jetis). Setelah mendapat tanah dari Desa Josari untuk dibangun KUA dengan status tanah hak mendirikan bangunan selamanya, maka KUA pindah kekantor yang baru sampai sekarang dengan menghabiskan biaya Rp. 10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah) dengan luas tanah 42,2 meter persegi. b). Lokasi dan Status Tanah KUA Kec. Jetis Lokasi gedung KUA Kec. Jetis terletak pada tepi jalan raya Ponorogo-Trenggalek yang berdekatan dengan gedung dan kantor tingkat 75
Lihat transkrip dokumentasi nomor 02/D/F-1/25.XI/2009 dalam lampiran skripsi ini.
58
Kecamatan seperti Kantor Kec. Jetis, Kantor Koramil, Kantor Diknas. Sedangkan status tanah KUA Kec. Jetis adalah tanah Desa Josari bukan tanah hasil wakaf. c). Denah Gedung KUA Kec. Jetis. Luas gedung yang baru berukuran 1400 X 750 meter persegi dengan perincian penggunaan sebagai berikut ; 1. Ruang kepala
7. Ruang BP 4
2. Ruang Balai Nikah
8. Ruang Toilet
3. Ruang Tunggu Pertemuan
9. Ruang Pertemuan
4. Ruang Wakil PPN
10. Tempat Parkir
5. Ruang Staf KUA
11. Dapur
6. Ruang Arsif NTCR
12. Gudang
d). Tugas pokok, Fungsi, Visi, dan Misi KUA Kec. Jetis Berdasarkan pasal 729 Peraturan Menteri Agama No. 16 tahun 1975 disempurnakan maka tugas pokok Kantor Agama Kabupaten Ponorogo di Bidang Urusan Agama Islam dalam wilayah Kec. Jetis. Kemudian untuk melaksanakan tugas Pasal 729 di atas maka sesuai Pasal 730, KUA Kec Jetis mempunyai fungsi untuk menyelenggarakan statistik dan dokumentasi serta pencatatan nikah, talak, cerai dan rujuk (NTCR) dan
membina
kependudukan
masjid, zakat, wakaf, baitul mal, dan
membina
keluarga
sakinah
ibadah sosial sesuai
dengan
kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
59
e). Struktur Organisasi KUA Kec. Jetis Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI. No. 27 tahun 1992 susunan organisasi KUA terdiri dari: 1). Seorang Kepala 2). Seorang Petugas Tata Usaha 3). Beberapa Orang Staf Serta dibantu oleh para Pembantu Petugas Pencatat Nikah (PPPN) di setiap desa yang meliputi 19 desa Se-Kecamatan Jetis. f). Pelaksanaan Pelayanan Pernikahan KUA Kec. Jetis Menginat KUA adalah sebagai ujung tombak Depag maka tugastugas pelayanan yang dilakukan oleh KUA dapat membawa citra Depag. Oleh karena itu mekanisme kerja yang ada di KUA Kec. Jetis diatur sebagai berikut: 1) PPPN menyerahkan berkas persyratan nikah kepada PPN untuk diteliti kelengkapannya. 2) Apabila persyaratan nikah tersebut sudah lengkap, maka PPPN kemudian menyerahkan kepada petugas untuk di daftar. 3) Bila pendaftaran syarat-syarat nikah sudah didaftar, maka PPPN memenuhi petugas bendahara khusus untuk membayar biaya pencatatan Nikah Rujuk (NR) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 4) Setelah pelaksananan pendaftaran dan pemenuhan biaya pencatatan selesai maka calon pengantin di periksa oleh
60
petugas dan hasil pemeriksaannya dicatat dalam lembar daftar pemeriksaan kemudian diberi nasehat perkawinan oleh petugas BP 4 Kecamatan. 5) Setelah selasai pemeriksaan dan penasehatan perkawinan maka berkas pemeriksaan diserahkan kepada PPN untuk dibuatkan pengumuman nikah (model C) dan lembar pengumuman ditempelkan di papan pengumuman. 6) Setelah pengumuman dilaksanakan dan ternyata tidak ada reaksi dari pihak
lain
maka
pelaksanaan nikah
bisa
dilangsungkan sesuai waktu yang telah ditentukan dan dihadiri oleh petugas yang berwenang. Setiap pelaksanaan pernikahan diupayakan Kutipan Akta ikah (model N) dapat diserahkan kepada yang bersangkuatan. 2. Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Sambit76 a). Sejarah Singkat KUA Kec. Sambit Kantor Urusan Agama Kec. Sambit merupakan sebuah lembaga pelayanan
masyarakat
yang
keberadaannya
sangat
dituntut
oleh
masyarakat, karena KUA merupakan tumpuhan segala hal bagi masyarakat yang berkaitan dengan kehidupan keluarga. Sejarah keberadaan KUA Kec. Sambit dengan pelayanan masyarakat akan dijelaskan sebagai berikut: Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Sambit berdiri pada tahun 1946 dengan bertempat selalu berpindah-pindah dari rumah penduduk ke rumah penduduk yang lain, yang pada waktu itu rumah yang pernah 76
Lihat transkrip dokumentasi nomor 03/D/F-1/25.XI/2009 dalam lampiran skripsi ini.
61
ditempati adalah rumah Bapak Margono berlokasi sebelah utara Masjid Jami’ Kecamatan dan rumah Bapak Lakun juga sebelah utara Masjid. Adapun yang terakhir di rumah Bapak Kaderi sampai tahun 1976 yang berlokasi di selatan Masjid Jami’. Pada tahun 1977/1978 Kantor Urusan Agama Kec. Sambit mendapat bantuan berupa gedung permanen yang letaknya ditanah milik penduduk yang akhirnya diwakafkan untuk Kantor Urusan Agama Kec. Sambit. Berdasarkan akta ikrar wakaf PPAIW Kecamatan Sambit tanggal 7-10-1994, No.KM.04:13/W.3/02 tahun 1994. b). Tugas pokok, Fungsi, Visi, dan Misi KUA Kec. Sambit Berdasarkan pasal 729 Peraturan Menteri Agama No. 16 tahun 1975 disempurnakan maka tugas pokok Kantor Agama Kabupaten Ponorogo di Bidang Urusan Agama Islam dalam wilayah Kec. Sambit. Kemudian untuk melaksanakan tugas Pasal 729 di atas maka sesuai Pasal 730 KUA mempunyai fungsi untuk menyelenggarakan statistik dan dokumentasi serta pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk (NTCR) dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul mal, ibadah sosial kependudukan dan membina keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Jadi, Kantor Agama Kecamatan yang secara struktural di komando Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten, namun secara teknis
62
memiliki tugas dan bidang pekerjaan untuk melaksanakan bimbingan dan pelayanan kepada masyarakat secara prima.
c). Struktur Organisasi KUA Kec. Sambit Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI. No. 27 tahun 1992 susunan organisasi KUA terdiri dari: 1). Seorang Kepala 2). Seorang Petugas Tata Usaha 3). Beberapa Orang Staf d). Tugas-tugas KUA Kec. Sambit Tugas Kantor Urusan Agama Kec. Sambit bukan hanya menangani masalah NTCR saja, namun sangat komplit, yakni melaksanakan sebagai tugas umum pemerintahan dibidang agama. Yang pokok kegiatannya sebagai berikut. 1. Kegiatan Setruktural a. Terlaksananya pencatatan NTCR. b. Terlaksananya pembentukan keluarga yang sakinah c. Terlaksananya pembinaan halal dan haram d. Terlaksananya pembinaan sosial keagamaan 2. Kegiatan non Struktural a. Kegiatan Kemasjidan b. Kegiatan BP-4 c. Pemilikan AIW/PPAIW
63
d. Kegiatan LPTQ e. Kegiatan PHBI f. Kegiatan BAZIS 3. Kegiatan lintas sektoral a. Kegiatan keluarga sakinah b. Kegiatan imunisasi c. Perincian NTCR pada usia nikah 3. Desa Karanggebang77 Mengenai jumlah penduduk penduduk Desa Karanggebang adalah berjumlah 3.225 jiwa, dengan luas wilayah 8.700 meter persegi, dengan letak geografis sebagai berikut: Timur : Berbatasan dengan Desa Kradenan dan Desa Mojorejo Barat : Berbatasan dengan Desa Jetis Utara : Berbatasan dengan Desa Tegalsari dan Desa Mojorejo Selatan : Berbatasan dengan Desa Kutu Wetan dan Desa Kutu Kulon Desa Karanggebang terdiri 22 Rukun Tetangga (RT), dan 5 Rukun Warga (RW) dengan Mayoritas penduduk Desa Karanggebang adalah beragama Islam yang mempunyai 2 Masjid dan 14 Musholla, dan selalu aktif dalam kegiatan keagamaan. Sedangkan jumlah perkawinan tahun 2009 ini tercatat sudah 20 perkawinan. Struktur Perangkat Desa Karanggebang adalah sebagai berikut: 1. Kepala Desa
: Abdul Basit
2. Sekretaris Desa
: Khoirul Anwar
77
Lihat transkrip dokumentasi nomor 01/D/F-1/20.XI/2009 dalam lampiran skripsi ini.
64
3. Kamituo
: Agus Wiyono, Setyo Diharjo, Supriyono, dan
Mulyadi
4. Kaur Pemerintahan
: Khoirul Anwar
5. Kaur Keuangan
: Agus Supriyadi
6. Kaur Pembangunan
: Moh Qomarudin
7. Kaur Umum
: Nur Jannah
8. Kaur Kesra
: M. Muhsin
9. Modin
:Tubiyono, Muhsin, serta M. Jarot (mantan modin yang masih selalu selalu diajak musyawarah masalah
dalam yang
menyelesaikan
berkaitan
dengan
pernikahan)
B. Deskripsi Terhadap Keabsahan Wali Nikah Anak Hasil Kawin Hamil Di Kabupaten Ponorogo. Setelah peneliti melakukan wawancara dengan Kantor Urusan Agama Kecamatan Jetis dan Sambit, peneliti memfokuskan penelitiannya di Desa Karanggebang. Sebab hampir setiap tahunnnya di Desa Karanggebang ini terjadi kasus perkawinan anak hasil kawin hamil, Sedangkan daerah atau desa lain semisal Desa Nglewan dan Desa Bulu hanya sebagai penguat data saja, sehingga diharapkan peneliti lebih terfokus pada penelitian ini. Dari keterangan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Jetis dan Sambit78 bahwa perwalian nikah anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan adalah sesuai dengan yang tertuang dalam Kompilasi 78
Lihat transkrip wawancara nomor. 02/ 2-W/ F-2/ 28-X/ 2009 dan transkrip wawancara nomor. 01/ 1-W/ F-1/ 7-VIII/ 2009 dalam lampiran skripsi ini.
65
Hukum Islam (KHI), yaitu boleh menggunakan nasab dari ayahnya atau menggunakan wali hakim sesuai dengan tata urutan yang yang telah tertulis di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 19, 20, 21, 22, 23 tentang wali nikah. Sebab yang dimaksud dengan anak sah di dalam undangundang adalah anak yang lahir akibat perkawinan yang sah, meskipun anak tersebut lahir sesaat setelah prosesi ijab dan qobul. Sebab anak tersebut termasuk anak sah di mata hukum negara dan tidak ada pelarangan terhadap ayah tersebut untuk menjadi wali nikah. Seperti yang diceritakan oleh Pak Choirul Wathoni Kepala Kantor Urusan Agama Sambit : Hal tersebut juga sama mas, meskipun anak tersebut lahir sehari ataupun sesaat setelah proses ijab dan qobul, tidak ada pengkhususan tersendiri terhadap kasus tersebut, Coba anda lihat buku pedoman ini tentang wali nikah ini diterangkan bahwa dalam Kompilasi. 79 Hal serupa juga dijelaskan oleh Pak Moh. Muhlin, Sos.i kepala Kantor Urusan Agama Jetis sebagai berikut : Kami menjalankan amanat undang-undang, dalam undang-undang tidak ada penjelasan mengenai hal tersebut, hanya menjelaskan persyaratan serta wali secara umum tidak ada yang mengkususkan perkawinan anak hasil kawin hamil. Padahal kalau di lihat dari agama anak yang lahir kurang dari enam bulan adalah anak zina yang nasabnya ikut ibunya. 80 Kantor Urusan Agama Jetis, jika mengetahui bahwa status anak tersebut adalah anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan hanya memberikan saran supaya anak tersebut dinikahkan menggunakan
ini.
79
Lihat transkrip wawancara nomor. 02/ 2-W/ F-2/ 28-X/ 2009 dalam lampiran skripsi
80
Lihat transkrip wawancara nomor. 01/ 1-W/ F-1/ 7-VIII/ 2009 dalam lampiran skripsi
ini.
66
wali hakim, tetapi jika si ayah tidak mau menggunakan wali hakim menyerahkan segala urusannya kepada keluarga seperti yang diceritakan oleh kepala Kantor Urusan Agama Jetis Pak Moh. Muhlin,Sos.i : Kami tidak bisa berbuat banyak Cuma menyarankan supaya walinya wali hakim, sebab menurut agama anak tersebut hanya mempunyai nasab kepada ibunya..81 Berbeda lagi yang terjadi di masyarakat terkait dengan perwalian anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan, diantaranya ada yang berpendapat sebagai berikut: Khusus anak yang lahir akibat kawin hamil dibawah 6 bulan tidak mempunyai hubungan nasab terhadap ayahnya yang telah menikahi ibunya tersebut (baik yang menghamili atau tidak). Hal ini juga mempunyai maksud bahwa anak hasil kawin hamil tersebut tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayah, yang berkenaan dengan biaya kehidupan dan pendidikannya hak asuh, wali, maupun warisan anak tersebut ataupun sebaliknya82 Dilain sisi ada sebagian masyarakat yang tetap menggunakan wali nasab dari pihak ayah, meskipun diketahui anak tersebut adalah anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan, dikarenakan masalah perwalian anak tersebut merupakan aib yang tidak perlu diungkap lagi. Hal ini diceritakan oleh Agus salah seorang warga Desa Nglewan sebagai berikut : Kalau di desa saya kasus seperti ini dibiarkan saja, tidak dianggap serius. terserah apakah mau menggunakan wali dari pihak ayah atau menggunakan wali nikah hakim. Sebab hal ini jika diungkit-ungkit akan
81 82
wawancara nomor. 01/ 1-W/ F-1/ 7-VIII/ 2009. Lihat transkrip wawancara nomor. 04/ 4-W/ F-4/ 29-X/ 2009. dalam lampiran skripsi
ini.
67
menyebabkan kegelisahan yang berlarut larut. Kalau mau wali bapaknya terserah mau wali dari hakim terserah keduanya boleh-boleh saja.83 Ada juga masyarakat yang tidak mau tahu tentang masalah tersebut sebab merupakan aib dan jika ikut campur didalamnya dianggap kurang kerjaan. Seperti yang diceritakan oleh Bapak Tubiyono salah satu Modin Desa Karanggebang : Masyarakat ngih Mendel mawon masalae niku aib, badi cawecawe mangke malah dianggap kurang gawean. Sak jane umpami di tingali saking hukum agomo ngih mboten angsal niku anak kowar, paling jelase teng modin mawon pak jarot mantan modin yang terkenal didesa karanggebang Ini. ( Masyarakat hanya diam saja, sebab itu adalah aib, mau ngurus nanti malah dianggap kurang kerjaan. Memang seharusnya hal seperti itu dalam hukum Islam tidak boleh, karena status anaknya adalah anak zina, lebih jelasnya lagi Tanya saja Pak Jarot selaku mantan modin desa yang sangat terkenal di desa ini.84 C. Deskripsi Dampak Penerapan Pasal 53 Tentang Kawin Hamil Dan Bab IV Bagian Ketiga Tentang Wali Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam Terhadap Penetapan Wali Nikah Anak Hasil Kawin Hamil Di Kabupaten Ponorogo Dampak yang terjadi di masyarakat terhadap implementasi pasal 53 di atas terkait dengan pelaksanaan wali nikah anak hasil kawin hamil, adalah munculnya peraturan baru dalam pelaksanaan pernikahan tersebut, yaitu seperti yang dijelaskan oleh Bapak Jarot dengan cara: ketika diketahui anak yang akan menikah adalah anak hasil kawin hamil keluarga anak tersebut diajak musyawarah dengan baik-baik dan dijelaskan tentang status perwalianya, sehingga kedua orang tua anak tersebut menyadari dan menyerahkan hak perwalianya ke hakim. Sedangkan bagi mereka yang menolak bahkan mau menanggung dosa
ini.
83
Lihat transkrip wawancara nomor. 06/ 6-W/ F-6/ 01-XI/ 2009 dalam lampiran skripsi
84
Lihat transkrip wawancara nomor. 03/ 3-W/ F-3/ 28-X/ 2009 dalam lampiran skripsi
ini.
68
yang dia perbuat Pak Jarot tetap berusaha untuk menjelaskan sampai ia menyadarinya.85 Ada beberapa dampak kemungkinan yang terjadi mengenai kasus perwalian anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan diantaranya yaitu: Pertama, Jika anak tersebut adalah anak perempuan, maka perwalian anak tersebut dengan menggunakan wali hakim. Karena anak tersebut dianggap sebagai anak hasil zina atau anak luar nikah, sehingga hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya saja. Meskipun secara hukum yuridis akte anak tersebut mempunyai hubungan nasab dengan kedua orang tuanya, berkenaan dengan pelaksanaanya perkawinannya, ayah dari anak tersebut diajak musyawarah oleh perangkat desa yang diwakili oleh modin desa (selaku pembantu pencatat nikah di desa), dan menjelaskan mengenai status anak tersebut dan menyarankan supaya perwalian anak tersebut langsung oleh hakim. Meskipun nanti waktu pelaksanaan proses akad nikah ayah dari anak tersebut tetap duduk ditengah dari kedua mempelai layaknya akad yang dilakukan oleh wali nasab dari pihak keluarga pada umumnya.86 Kedua, jika anak yang tersebut adalah laki-laki maka anak tersebut bisa menikahkan dirinya tanpa menggunakan wali karena anak laki-laki menjadi wali bagi dirinya sendiri. Tapi dalam kasus tertentu anak laki-laki tersebut tidak boleh menjadi wali bagi saudara atau adik serta keturunannya dari garis ayah dan seterusnya, yang nota bene adalah anak sah dari ayahnya tersebut. Sebab anak laki-laki tersebut bukan anak sah dari ayah tersebut dan tidak berhak menjadi wali bagi saudaranya yang lain karena hal ini bisa mendatangkan mudarat yang lebih besar.87 Dampak lain yang terjadi masyarakat adalah ketika diketahui anak tersebut anak hasil zina dengan melihat akte pernikahan kedua orang tuanya dan akte kelahiran anaknya tersebut ada masyarakat yang tidak terima dan ingin menggunakan atau membuat umur anak tersebut lebih
85 86 87
Wawancara nomor. 04/ 4-W/ F-4/ 29-X/ 2009. Wawancara nomor. 04/ 4-W/ F-4/ 29-X/ 2009. Ibid.,
69
dari enam bulan kehamilan. Seperti yang diceritakan oleh Bapak Jarot mantan Modin Desa Karanggebang sebagai berikut : Yang sering terjadi juga di masyarakat adalah berkenaan tentang akta lahir, jika diketahui anak tersebut anak hasil kawin hamil dan kedua orang tua mereka tidak terima jika dinasabkan pada ibunya mereka kadang malah menentang dan ingin anaknya dituakan atau umur kelahiran anak tersebut diundur untuk mengakhiri status anak zinanya, karena menurut meraka ini adalah aib dan kami tidak mau menanggungnya. Ada seorang warga yang bernama pak Bejo yang mempunyai anak Yeye (nama samaran) yang nota bene adalah anak hasil kawin hamil dan ingin menikahkan sendiri anaknya dengan datang langsung ke Kantor Urusan Agama (KUA) tetapi di sana juga di tolak sebab harus ada rekomendasi atau surat pengantar dari desa, sambil kembali menemui pak Jarot pak bejopun dan berkata : Karepe piye terae lek dosa tak tanggunge dewe (maunya bagaimana biar kalau dosa saya yang menanggung). Kemudian di terangkan dengan baik-baik hingga Pak Bejo menyadari kesalahan yang ia lakukan.88 Hal tersebut di atas dilakukan karena memang tidak ada aturan khusus dalam Kompilasi Hukukm Islam (KHI) yang mengatur mengenai perwalian anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan. Seperti yang diceritakan oleh Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Sambit, Pak Choirul Wathoni sebagai berikut : Kami cuma petugas negara jadi menjalankan hukum harus sesuai dengan hukum yang ada. Seandainya ada peraturan dalam pasal tersendiri yang mengatur untuk memeriksa tanggal pernikahan ayah dan ibu mereka, serta akta lahir untuk persyaratan menikah apakah kelahirannya dulu lebih dari enam bulan atau kurang dari enam bulan didalam kandungan sehingga bisa diketahui apakah anak tersebut anak sah atau bukan anak yang sah. Baik menurut hukum agama maupun hukum umum yang nantinya bisa ditentukan apakah harus menggunakan wali hakim atau wali nasab serta urutan wali yang benar. Itu mungkin bisa kami laksanakan.89
88 89
Wawancara nomor. 04/ 4-W/ F-4/ 29-X/ 2009. Wawancara nomor. 02/ 2-W/ F-2/ 28-X/ 2009.
70
BAB IV IMPLEMENTASI WALI NIKAH ANAK HASIL KAWIN HAMIL PADA BAB IV BAGIAN KETIGA DAN PASAL 53 TENTANG KAWIN HAMIL KOMPILASI HUKUM ISLAM DI KABUPATEN PONOROGO A. Analisis Keabsahan Wali Nikah Anak Hasil Kawin Hamil Pada Bab IV Bagian Ketiga dan Pasal 53 Tentang Kawin Hamil Kompilasi Hukum Islam di Kabupaten Ponorogo 1. Praktik Perkawinan Anak Hasil Kawin Hamil di Kabupaten Ponorogo Di Kabupaten Ponorogo kasus kawin hamil ataupun perkawinan anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan banyak sekali. Di Desa Karanggebang Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo misalnya, dalam kurun waktu 5 tahun mulai tahun 1995 sudah terjadi sekitar lima kasus wali nikah terahadap anak hasil kawin hamil.90 Dalam kehidupan ini sejak zaman dahulu sudah banyak sekali terjadi kasus kawin hamil pada zaman Rasululah seperti yang dijelaskan pada ayat-ayat al-Qur’an tentang zina serta pernikahannya. Sebagai contoh mekanisme yang menyangkut tentang Rukun dan Syarat Perkawinan anak hasil kawin hamil lahir kurang dari 6 bulan yang diterapkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) di Kabupaten Ponorogo adalah Kantor Urusan Agama Kec. Sambit dan Kantor Urusan Agama Kec. Jetis yang kurang lebihnya dijelaskan sebagai berikut :
90
Wawancara nomor. 04/ 4-W/ F-4/ 29-X/ 2009.
71
Yang menjadi rukun pernikahan yaitu : 1. Calon mempelai laki-laki 2. Calon mempelai perempuan 3. Wali dari mempelai wanita 4. Dua orang saksi. Yang menjadi syarat pernikahan yaitu : 1. Calon suami 2. Calon isteri 3. Wali nikah 4. Dua orang saksi 5. Ijab qbul91 Rukun dan persyaratan pernikahan di atas dijelaskan secara medetail oleh Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Sambit. Menurut Kepala KUA Sambit : Bahwa hal tersebut juga berlaku sama dengan syarat dan rukun untuk perkawinan anak hasil kawin hamil yang terjadi di daerah Ponorogo. Karena, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) syarat dan rukun perkawinan tidak dijelaskan secara terperinci dalam suatu pasal ataupun bab melainkan ketentuan perkawinan anak hasil kawin hamil tetap merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ada yaitu rukun dan persyaratan yang sebagaimana disebutkan di atas.92 Perkawinan anak hasil kawin hamil di Kab. Ponorogo intinya sama. Hanya yang terjadi di masyarakat ada pebedaan di dalam menentukan siapa saja yang berhak menjadi wali nikah terhadap anak hasil kawin hamil tersebut. 91 92
Wawancara nomor. 02/ 2-W/ F-2/ 28-X/ 2009 dan nomor. 01/ 1-W/ F-1/ 7-VIII/ 2009. Wawancara nomor. 02/ 2-W/ F-2/ 28-X/ 2009
72
2. Perwalian Anak Hasil Kawin Hamil di Kabupaten Ponorogo Perwalian dalam perkawinan adalah salah satu syarat perkawinan. Syarat perkawinan adalah dasar dari sahnya perkawinan, jika syaratnya terpenuhi maka akan menimbulkan adanya suatu kewajiban dan hak-hak dalam ikatan perkawinan. Wali menurut konsep hukum positif di Indonesia yaitu apabila wali atau orang tua tersebut dinyatakan sah yakni dengan berlangsungnya perkawinan yang sah atau dengan kata lain bahwa antara wali dengan anak tersebut ada ikatan yang sah yakni anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah di mata hukum. Perkawinan yang dilakukan telah tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) khusus bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang non Islam. Perwalian dalam suatu pelaksanaan perkawinan wajib hukumnya hal ini berdasar pada ketentuan Pasal 19, 20, 21, 22, 23 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berkenaan dengan wali nikah. Sehingga dalam pelaksanaanya semua orang yang akan melakukan suatu perkawinan dan perkawinannya itu sah dihadapan hukum maka ia harus mengikuti peraturan pemerintah yang telah dijelaskan oleh pasal 19, 20, 21, 22, 23 dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut. Dalam Kompilasi Hukum Islam, wali nikah dalam suatu perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya dengan tata urutan sebagai berikut :
73
Pertama, yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baliqh. Kedua, wali nikah terdiri dari: 1. Nasab; 2. Wali hakim. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai. 1.
kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya.
2.
kelomopk kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
3.
Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki mereka.
4.
kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa
orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. Keempat, apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah. Kelima, apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sam berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Keenam, apabila wali nikah yang paling berhak
74
urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan. Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.93 Dalam melaksanakan tugasnya sebagai wali dalam perkawinan, wali boleh melaksanakan sendiri aqad nikah orang-orang yang dibawah perwaliannya atau boleh perwakilan kepada orang lain untuk mengganti perwaliannya, Dengan demikian jelas bahwa wali menurut hukum Islam adalah sesuatu yang sangat penting dan harus mendapat persetujuan dari gadis yang akan dinikahkannya sebab wali akan menjadi syarat sahnya suatu syarat perkawinan sedangakan khusus janda diperbolehkan nikah tanpa menunggu izin dari walinya Khusus anak yang lahir akibat kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan tidak mempunyai hubungan nasab terhadap ayahnya yang telah menikahi ibunya tersebut (baik yang menghamili atau tidak). Hal ini juga mempunyai maksud bahwa anak hasil kawin hamil tersebut tidak
93
Idris, Hukum, 74-75
75
mempunyai hubungan hukum terhadap ayah, yang berkenaan dengan biaya kehidupan dan pendidikannya hak asuh, wali, maupun warisan anak tersebut ataupun sebaliknya94 Apabila ditinjau dari fiqh munakahat, nasab oleh seorang ayah dari anak hasil kawin hamil adalah tidak sah. Yang mengakibatkan perwalian terhadap anaknya juga tidak sah karena ayah dari hasil kawin hamil menurut Islam adalah bukan ayah yang sebenarnya, sehingga anak yang dilahirkannya termasuk anak di luar nikah. Apabila anak tersebut perempuan jika akan menikah maka wali yang berhak adalah wali hakim dan jika yang terlahir adalah anak laki-laki maka anak tersebut tidak boleh menjadi wali bagi saudaranya yang perempuan.95 Jadi jelas bahwa wali nikah anak hasil kawin hamil yang kuarang dari 6 bulan adalah dari keluarga ibunya atau wali hakim dalam hal ini yang menjadi wali hakim adalah Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Petugas Pencatatan Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama di Kec. Sambit dan Kantor Urusan Kec. Jetis menjelaskan dalam implementasi mengenai pelaksanaan pasal 53 Kompilasi Hukum Islam (KHI) berkenaan dengan perwalian anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan sesuai dengan prosedur yang tertuang ada dalam Kompilasi Hukum Islam itu sendiri meskipun kepala KUA tersebut tahu jika status anak yang akan
94 95
Wawancara nomor. 04/ 4-W/ F-4/ 29-X/ 2009. Ibid.,
76
menikah tersebut adalah anak hasil kawin hamil sebab anak tersebut adalah anak sah di hadapan hukum administrasi negara.96 Jadi, dalam praktiknya jika diketahui anak tersebut adalah anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan, maka Kantor Urusan Agama Kec. Sambit atau Kantor Urusan Agama Kec. Jetis menulis keterangan wali dalam surat pernikahan keterangan wali dengan wali sesuai dari keterangan dari yang dibawa oleh modin Desa, apakah itu merupakan wali hakim atau wali dari nasab.anak tersebut, meskipun tahu anak tersebut merupakan anak zina jika dipandang dari sudut agama. Sedangkan mengenai pelaksanaan di masyarakat terkait perkawinan anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan adalah sebagaimana dijelaskan berikut : Pertama, Jika anak hasil kawin tersebut adalah anak perempuan, maka perwalian anak tersebut dengan menggunakan wali hakim. Karena anak tersebut dianggap sebagai anak hasil zina atau anak luar nikah, sehingga hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya saja. Meskipun secara hukum yuridis akte anak tersebut mempunyai hubungan nasab dengan kedua orang tuanya, berkenaan dengan pelaksanaanya perkawinannya, ayah dari anak tersebut diajak musyawarah oleh perangkat desa yang diwakili oleh modin desa (selaku pembantu pencatat nikah di Desa), dan menjelaskan mengenai status anak tersebut dan menyarankan 96
keterangan : hal ini bisa saja terjadi meskipun anak yang dilahirkan oleh ibunya lahir sesaat setelah pelaksanaan ijab qobul, anak tersebut tetap disebut anak sah dimata hukum. Hal ini dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Tentang anak sah : yang dimaksud dengan anak sah yaitu anak yang dilahirkan karena pernikahan yang sah. Wawancara nomor. 02/ 2-W/ F-2/ 28-X/ 2009.
77
supaya perwalian anak tersebut langsung oleh hakim. Meskipun nanti waktu pelaksanaan proses akad nikah ayah dari anak tersebut tetap duduk ditengah dari kedua mempelai layaknya akad yang dilakukan oleh wali nasab dari pihak keluarga pada umumnya.97 Kedua, jika anak yang tersebut adalah laki-laki maka anak tersebut bisa menikahkan dirinya tanpa menggunakan wali karena anak laki-laki menjadi wali bagi dirinya sendiri. Tapi dalam kasus tertentu anak laki-laki tersebut tidak boleh menjadi wali bagi saudara atau adik serta keturunannya dari garis ayah dan seterusnya, yang nota bene adalah anak sah dari ayahnya tersebut. Sebab anak laki-laki tersebut bukan anak sah dari ayah tersebut dan tidak berhak menjadi wali bagi saudaranya yang lain karena
hal ini bisa mendatangkan mudarat yang lebih besar.98
Berbeda lagi ketika orang tua anak tersebut telah meninggal dunia sehingga yang berhak menentukan perwaliannya adalah dirinya sendiri atau nasab dari pihak ibu dan menyerahkannya kepada hakim. Hal tersebut di atas (anak hasil kawin hamil yang kurang dari 6 bulan) sebenarnya tidak terlalu sulit dilakukan pengawasannya yaitu dengan cara modin desa terus mengawasi dan memeriksa buku perkawinan dan akta nikah anak yang akan melakukan pernikahan serta pemeriksaan akta nikah ayah dan ibunya dulu.99 Sehingga dalam kenyataannya implementasi perwalian anak di Kab. Ponorogo terkesan belum bisa terealisasi, dilihat dari segi hukum dan segi agama bahkan cenderung pasal 97
Wawancara nomor. 04/ 4-W/ F-4/ 29-X/ 2009. Ibid., 99 Ibid., 98
78
tersebut menimbulkan kebingungan sebagian masyarakat. Satu sisi masyarakat harus tunduk pada hukum disisi lain masyarakat harus menjalankan sesuai dengan perintah agama. Hal inilah yang harus diwaspadai dan perlu mendapat perhatian kusus dari pemerintah serta masyarakat terhadap pengawasan kasus perwalian anak hasil kawin hamil. Sehingga tercipta hasil keturunan yang jelas dan sah menurut agama dan sah di mata hukum positif di Indonesia, serta tidak adanya perbedaan penerapan antara Kantor Urusan Agama dengan masyarakat serta perbedaan antara masyarakat dengan masyarakat yang lainnya. B. Analisis Dampak Penerapan Pasal 53 Tentang Kawin Hamil dan Bab IV Bagian Ketiga Tentang Wali Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam Terhadap Penetapan Wali Nikah Anak Hasil Kawin Hamil Di Kabupaten Ponorogo. 1. Respon Masyarakat Terhadap Kawin Hamil di Kabupaten Ponorogo Problematika di masyarakat terkait dengan hak perwalian anak masih banyak diantara masyarakat yang masih kurang pengetahuannya, terlebih di dalam perwalian anak khususnya anak hasil kawin hamil. Siapakah yang berhak menjadi wali apakah wali nasab dari garis keturunan ayah atau wali nikah dari garis keturunan ibu atau dengan cara menyerahkan kepada wali hakim. Sebagian dari masyarakat tidak tahu tentang hukum Islam yang melarang perwalian anak hasil luar kawin oleh bapaknya dan harus diganti
79
dengan hakim, karena memang sebagian mereka tidak tahu hukum dan memang hal ini tidak tertulis di hukum yang berlaku di Indonesia mereka menegaskan Kuwi Ora penting mas seng penting lek uwis enek seng nutupi yo uwis yo kuwi pak ene. (Itu tidak penting mas yang penting kalau sudah ada yang menikahi ya sudah itulah yang nantinya menjadi bapak sekaligus walinya). Bahkan ada yang terjadi di masyarakat seorang ayah yang mempunyai anak hasil kawin hamil marah karena anaknya dianggap anak zina serta mau menikahkan anaknya sendiri dengan caranya sendiri tetapi setelah diajak musyawarah baik-baik orang tersebut mengerti dan membolehkan anaknya dinikahkan dengan menggunakan wali hakim.100 Komentar masyarakat yang peduli dan merespon tentang perwalian anak hasil kawin hamil harus menggunakan wali hakim diantaranya menegaskan bahwa : Kalau memang kasus yang terjadi semacam ini pemerintah harus cepat tanggap dan perlu memberikan solusi yang baik untuk kepentingan umat sehingga keturunan anak yang dihasilkan seterusnya nanti bisa memberkan keturunan anak yang sah baik dipandang dari sudut agama maupun dipandang dari sudut hukum yang berlaku diindonesia.101 Tetapi diantara masyarakat juga ada yang lebih cenderung pasif atas kejadian tersebut dalam keterangannya menjelaskan sebagai berikut : Hal seperti itu tidak perlu diungkit-ungkit sebab hal tersebut adalah aib dan moralitas yang tidak layak untuk di publikasikan. Biar mereka yang nanggung sendiri.102
100
Ibid., Lihat Transkrip Wawancara nomor.05/5-W/F-5/30-X/2009 pada lampiran hasil penelitian skripsi ini 102 Lihat Transkrip Wawancara nomor. 06/ 6-W/ F-6/ 01-XI/ 2009 pada lampiran hasil penelitian skripsi ini 101
80
Selain itu Undang-undang di Negara Indonesia jika dibandingkan dengan Negara Islam lainnya sangat lemah dalam hal urusan nasab, yang nantinya bisa berlanjut pada wewenang perwalian. Hal ini bisa dilihat dengan metode Negara Islam yang lain yang menyatakan status jelas keturunannya yang selalu menyatakan nama ayah dibelakangnya semisal Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan lain sebagainya yang bertujuan untuk menegaskan hasil keturunan yang sah dari anak mereka. Sebab menjaga keturunan (Khifdun Nasab) adalah salah satu tujuan syari’at (Maqasidu Tasri’) yang meliputi di dalamnya juga tentang perwalian terhadap seorang anak hasil kawin hamil yang nantinya akan mengakibatkan hukum yang berkelanjutan sampai keturunan yang tidak terbatas dan hal ini merupakan bentuk sangsi moral terhadap seseorang dan tentunya suatu larangan dalam ajaran agama. Yang memang seharusnya praktek perwalian anak hasil kawin hamil seperti ini harus dijelaskan dengan peraturan yang jelas oleh Undang-undang sehingga pelaksanaan perwalian anak hasil kawin hamil tidak melanggar hukum umum. 2. Status Hukum Perwalian Anak Hasil Kawin Hamil di Kabupaten Ponorogo Menurut hasil wawancara status hukum apakah anak tersebut anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan ataupun lahir lebih dari 6 bulan adalah modin desa karena modin desa lebih mengerti latar belakang ayah mereka apakah anak tersebut telah lahir sebelum batas waktu enam
81
bulan atau lebih setelah pernikahan kedua orang tuanya dengan melihat akta pernikahan ayah dan ibu mereka serta melihat akta kelahiran anak tersebut, apakah lahir kurang dari enam bulan atau lebih dari enam bulan. Jika modin desa atau aparatur desa tidak jeli melihat tentang kasus seperti ini ditakutkan akan ada status yang tidak jelas dan tidak sah menurut ajaran agama.103 Berkenaan dengan anak yang lahir sebelum atapun sesudah 6 bulan seperti yang dijelaskan oleh Pak Jarot,104Desa Karanggebang salah satu desa yang sangat banyak terjadi kasus perkawinan anak hasil kawin hamil, mulai kurun waktu tahun 1995 sampai sekarang saja sudah terjadi kurang lebih 5 kasus perkawinan anak hasil kawin hamil, meskipun Pak Jarot sudah tidak menjabat modin desa lagi tetapi masih tetap dimintai pertolongan oleh modin-modin yang lain untuk menyelesaikan kasus perkawinan anak hasil kawin hamil di desanya.105 Yang sering terjadi juga di masyarakat adalah berkenaan tentang akta lahir, jika diketahui anak tersebut anak hasil kawin hamil dan kedua orang tua mereka tidak terima jika dinasabkan pada ibunya mereka kadang malah menentang dan ingin anaknya dituakan atau umur kelahiran anak tersebut diundur untuk mengakhiri status anak zinanya, karena menurut mereka ini adalah aib dan kami tidak mau menanggungnya. Menurut keterangan Pak Jarot ada seorang warga yang bernama Pak Bejo yang 103
Wawancara nomor. 04/ 4-W/ F-4/ 29-X/ 2009 Bapak jarot menjabat modin atau pembantu Kantor Urusan Agama di Desa mulai tahun 1957-1994 dan sudah banyak mendampingi perkawinan anak hasil kawin hamil. Wawancara nomor. 04/ 4-W/ F-4/ 29-X/ 2009 105 Wawancara nomor. 04/ 4-W/ F-4/ 29-X/ 2009 104
82
mempunyai anak Yeye (nama samaran) yang nota bene adalah anak hasil kawin hamil dan ingin menikahkan sendiri anaknya dengan datang langsung ke Kantor Urusan Agama (KUA) tetapi di sana juga di tolak sebab harus ada rekomendasi atau surat pengantar dari desa, sambil kembali menemui pak Jarot pak bejopun dan berkata : Karepe piye terae lek dosa tak tanggunge dewe (maunya bagaimana biar kalau dosa saya yang menanggung). Kemudian di terangkan dengan baik-baik oleh Pak Jarot hingga Pak Bejo menyadari kesalahan yang ia lakukan.).106 Lain halnya dengan kasus kawin hamil di Desa Nglewan Kecamatan Sambit, di desa tersebut masyarakat terkesan acuh tak acuh dengan perwalian anak hasil kawin hamil. Apakah menggunakan perwalian nasab dari garis keturunan ayah atau harus menggunakan wali hakim yang disebabkan status nasabnya mengikuti nasab ibunya. Memang disamping itu hal tersebut memang belum begitu dipahami oleh seluruh masyarakat memang belum ada sosialisasinya.107 Jika hal ini terjadi dan pihak desa tidak tegas dan mempunyai pandangan yang kuat tentang hukum agama, kadang mereka bisa saja melakukan hal tersebut yang benar-benar menyalahi aturan agama yang ada. Peristiwa tersebut akan berlanjut, apabila tidak ada laporan bahwa status anak tersebut adalah anak hasil kawin hamil KUA Kec. Jetis tidak akan memberikan suatu keputusan kalau anak tersebut seharusnya 106 107
Wawancara nomor. 04/ 4-W/ F-4/ 29-X/ 2009 Wawancara nomor. 06/ 6-W/ F-6/ 01-XI/ 2009.
83
memakai wali hakim saja atau boleh menggunakan wali nasab dan hakim, hanya saja kalau ada laporan dari warga, maka pihak KUA memberi saran untuk menggunakan wali hakim. Hal tersebut terjadi karena Kantor Urusan Agama dalam pelaksanaan pernikahan seseorang tidak perlu menunjukkan buku nikah bapak serta ibunya karena bukan merupakan suatu syarat. Dari keterangan di atas dapat diambil keterangan bahwa status hukum anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan adalah sah menurut hukum umum karena anak yang dilahirkan setelah adanya ijab qabul dikategorikan anak sah meskipun anak tersebut lahir sesaat setelah aqad itu terjadi, tetapi anak tersebut dianggap belum sah jika dilihat dari hukum agama sebab dalam sudut pandang agama bahwa anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari enan bulan termasuk anak luar nikah (zina) yang kemudian nasab anak tersebut hanya mengikuti nasab pihak ibu saja dan tidak menjadi ahli waris dari harta ayahnya tersebut. Hal ini membuktikan bahwa hukum yang ada belum bisa dilaksanakan oleh sebagian masyarakat. Jadi, seandainya ada peraturan dalam pasal tersendiri yang mengatur untuk memeriksa tanggal pernikahan ayah dan ibu mereka serta akta lahir untuk persyaratan menikah apakah kelahirannya dulu lebih dari enam bulan atau kurang dari enam bulan di dalam kandungan sehingga bisa diketahui apakah anak tersebut anak sah atau bukan anak yang sah baik menurut hukum agama maupun hukum umum yang nantinya bisa
84
ditentukan apakah harus menggunakan wali hakim atau wali nasab serta urutan wali yang benar.108 Sehingga diharapkan pembolehan kawin hamil mempunyai akibat hukum anak yang lahir akibat kawin hamil tidak mempunyai hubungan nasab terhadap ayah mereka baik itu anak laki-laki hasil kawin hamil maupun anak perempuan hasil kawin hamil hal tersebut sama saja statusnya, hal tersebut berlaku terhadap laki-laki yang menikahi (baik yang menghamili atau tidak) dan kepada ibunya. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya, baik yang berkenaan dengan biaya kehidupan dan pendidikannya hak asuh, wali, maupun warisan. Hal tersebut di atas bila di telusuri akibat yuridis perwalian anak hasil kawin hamil secara luas dan mendalam serta merenungkannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat bangsa dan negara, baik di tinjau secara sosiologis, psikologis maupun yuridis dengan segala akibat hukum dan konsekwensinya, tentulah sangat luas obyek yang ditimbulkannya serta berdampak sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan peradapan manusia dengan teknologi tinggi dewasa ini baik dalam hubungan sebagai anggota masyarakat bahkan dapat mempengaruhi Negara. Karena hukum menentukan bentuk masyarakat dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku di masyarakat.
108
Wawancara nomor. 02/ 2-W/ F-2/ 28-X/ 2009 dan nomor 01/ 1-W/ F-1/ 7-VIII/ 2009,
85
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan Dari keseluruhan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya maka penulis dapat mengambil kesimpulan : 1. Ketentuan wali nikah anak hasil kawin hamil pada bab IV bagian ketiga dan pasal 53 KHI di Kabupaten Ponorogo belum direalisasikan. Di pandang dari sudut hukum positif anak hasil kawin hamil adalah anak sah menurut hukum positif, karena anak tersebut dilahirkan setelah adanya ijab qabul, maka dikategorikan anak sah meskipun anak tersebut lahir sesaat setelah aqad itu terjadi. Di sisi lain anak tersebut dianggap belum sah jika dilihat dari hukum agama, sebab dalam sudut pandang agama bahwa anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari enan bulan termasuk anak luar nikah (zina) yang kemudian nasab anak tersebut hanya mengikuti nasab pihak ibu saja. 2. Dampak yang tejadi terhadap penerapan terhadap hak perwalian anak yang lahir sebagai hubungan sebelum nikah (Kawin Hamil) yang terjadi di Kabupaten Ponorogo adalah : a.
Adanya kekaburan hukum, terlihat ketika hukum positif tidak lagi dapat diterapkan dalam masyarakat sehingga banyak pro dan kontra antar masyarakat itu sendiri.
b.
Bagi sebagian masyarakat yang mengerti hukum agama pelaksanaan perwalian anak hasil kawin hamil menggunakan cara bermusyawarah
86
untuk merekayasa hak perwalian anak tersebut kepada wali hakim karena dianggap bukan anak. c.
Bagi mereka yang kurang tahu tentang perwalian anak hasil kawin hamil, mereka cenderung pasif dan tetap menggunakan ayah anak tersebut sebagai wali nikah.
B. Saran Setelah melakukan pembahasan permasalahan terhadap perwalian anak hasil kawin yang terjadi di Kabupaten Ponorogo, serta memperhatikan kesimpulan di atas, kiranya penulis mempunyai beberapa harapan, sebagaiamana berikut : 1. Adanya penambahan pasal tersendiri terkait dengan persyaratan pernikahan untuk memeriksa tanggal pernikahan ayah dan ibu mereka serta akta lahir sebagai persyaratan pernikahan, sehingga bisa diketahui apakah kelahirannya lebih dari enam bulan atau kurang dari enam bulan. Yang nantinya bisa diketahui apakah anak tersebut anak sah atau bukan anak yang sah baik menurut hukum agama maupun hukum umum. 2. Adanya pelatihan dan sosialisasi terhadap masyarakat yang lebih intensif, terutama modin serta aparatur desa tentang perwalian anak hasil kawin hamil. Sehingga dalam pelaksanaan perwalian anak hasil kawin hamil modin serta aparatur desa mengetahui bagaimana mereka bersikap dan bertindak.
87
DAFTAR PUSTAKA Al Barry, Zakariya Ahmad. Hukum Anak-Anak Dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, tt. As-Shabuni, Muhammad Ali. al-zawaj al-Islami al-Mubakkir Sa’adah Wa Hashanah, terj M. Abdul Ghoffar E.M, Jakrta Pustaka An-nabaa’, 2001. Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam vol I Jakarta: Bulan Bintang, 1988. Departemen Agama Republik Indonesia. Alquan dan tafsirnya jilid 2, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, tt. Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Bahan Penyuluhan Hukum, tt, 2002 Departemen Agama. Ilmu Fiqh. Jakarta : 1984/1985 Ghozaly, Abdurrahman. Fiqh Munakahat, Bogor: Fajar Interpratama Offset, 2003. Hadi, Sutrisno. Metodologi Research jilid2, Yogyakarta : Andi Offset, 2004. Hamid, Zahri. Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Bina Cipta, 1978. Jawad, Mugniyah Muhammad. Al-Figh ‘ala al-madzahib al—khamsah terj Maskur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-kaff. Jakarta,: Lentera Basritama, 1996. Khoir, Masykur. Risalah Mahrom&Wali Nikah, Kediri: Duta Karya Mandiri,tt. Misrawi, Zuhairi dkk, Modul Fiqh Tasamuh Membangun Toleransi berbasis Pesantren dan Masjid, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat The Asia Foundation, 2007. Ramulya, Idris. Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 1996. Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid tej Ma Abdurrahman, Haris Abdullah, Semarang : Asy-Syifa’, 1990.
88
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah Vol 6, Terj. Thalib Bandung: Alma’arif, tt. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata Cet. 30, Jakarta : PT Intermasa, 2002. Sudrajat, Ajat. Membahas Problematika Hukum Islam Kontemporor, Yogyakarta: Nadi Offset, 2008. Sugiono. Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung : CV Alpa Beta, tt. Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam Di dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Suatu Pengantar Jakarta: PT. Raja Grafinda Persada, 2002. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan vol 1, Jakarta: Prenada Media, 2006. Uwaidah, Syaikh kamil muhamad. Figh Wanita, terj Abdul Ghoffar, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2003. Zuhri, Moh. dkk, Tarjamah Sunan at-Tirmidzi juz 2, Semarang: Asy Syifa’, tt. http://digilib.uin-suka.ac.id www.pta-banjarmasin.go.id
89
Lampiran 1 TRANSKRIP WAWANCARA Kode : 01/ 1-W/ F-1/ 7-VIII/ 2009. Nama Informan : Moh. Muhlin,Sos.i (Kepala KUA Jetis) Tanggal : 7 Agustus 2009 Jam : 08. 35- 09. 50 WIB Disusun Jam : 15. 02- 16.15 WIB Tempat Wawancara : Ruang Kantor Kepala KUA Jetis Topik Wawancara : Kasus Anak Hasil Kawin Hamil
Peneliti Informan Peneliti Informan
Peneliti Informan Peneliti Informan Peneliti
Peneliti Informan Peneliti Informan
Materi Wawancara Apakah di KUA Jetis ada kasus anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan pak? Ada mas. Bagaiman kasus yang terjadi? Kasus yang terjadi yaitu ketika salah seorang modin desa yang notabene adalah tangan panjang Kantor Urusan Agama melaporkan bahwa anak yang akan menikah adalah anak hasil kawin hamil, tetapi hanya satu atau dua orang saja. Sepengetahuan bapak kasus yang terjadi di Ponorogo bagaimana pak? Ya banyak mas terlebih kasus kawin hamil di Ponorogo sangat banyak tentunya sebagian anak tersebut ya anak kawin hamil. Apa yang dilakukan Kantor Urusan Agama mengenai kasus tersebut? Kami tidak bisa berbuat banyak Cuma menyarankan supaya walinya wali hakim, sebab menurut agama anak tersebut hanya mempunyai nasab kepada ibunya. Apakah tidak ada peraturan yang mengatur hal tersebut? Kami menjalankan amanat undang-undang, dalam undang-undang tidak ada penjelasan mengenai hal tersebut, hanya menjelaskan persyaratan serta wali secara umum tidak ada yang mengkususkan perkawinan anak hasil kawin hamil. Padahal kalau di lihat dari agama anak yang lahir kurang dari enam bulan adalah anak zina yang nasabnya ikut ibunya. Jika diketahui ada kasus perkawinan anak hasil kawin hamil bagaimana mengenai perwalianya pak? Perwaliannya tetap menggunakan wali dari pihak ayah, tetapi kami menyarankan supaya walinya adalah wali hakim Mengenai status hukum anak hasil kawin itu sendiri bagaimana? Anak tersebut termasuk anak sah, sebab yang dimaksud anak sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah dihadapan Negara.
90
Peneliti Informan
Terhadap kasus diatas menurut bapak sendiri bagaimana? Ya seharusnya masyarakat sadar dan malu mengenai kasus seperti ini, Ponorogo sendirikan dikenal dengan banyak pondok pesantrennya. Menurut saya adanya kritik undang-undang dinilai sangat perlu sehingga adanya peraturan tersendiri mengenai hal tersebut sebab ini merupakan masalah yang penting menyangkut keturunan berikutnya. Selain itu ada kemungkinan kesalahan atau keteledoran waktu penyusunan Kompilasi Hukum Islam. Sehingga status perwalian mereka jelas apa harus menggunakan wali dari pihak ayah atau harus diserahkan kepada wali hakim.
91
Lampiran 2 TRANSKRIP WAWANCARA Kode : 02/ 2-W/ F-2/ 28-X/ 2009. Nama Informan : Choirul Wathoni SH (Kepala KUA Sambit) Tanggal : 28 Oktober 2009 Jam : 08.15-10.17 WIB Disusun Jam : 14. 11-16. 15 WIB Tempat Wawancara : Ruang Kantor Kepala KUA Sambit Topik Wawancara : Perkawinan Anak Hasil Kawin Hamil
Peneliti Informan Peneliti Informan
Peneliti Informan Peneliti
Informan
Materi Wawancara Apakah di KUA Sambit ada kasus pernikahan anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan pak? Di KUA Sambit kasus seperti itu belum ada mas tetapi kalau kasus kawin hamil itu ada Jika kasus kawin hamil ada berarti kasus perkawinan anak hasil kawin hamil kemungkinan ada pak? Kalau dilihat dari kejadian tersebut memang ada, tapi dalam kasus kawin hamil itu kadang modin biasanya hanya memberi informasi saja bahwa mempelai dalam status hamil. Tetapi, kalau kasus perkawinan anak hasil kawin hamil tidak ada laporan dari modin, soalnya tidak ada masalah dengan hal tersebut. Kalau memang ada yang lebih tahu adalah modin desa karena mereka langsung melihat langsung apa yang terjadi dimasyarakat. Kalau boleh tahu maksud bapak tentang hal tersebut tidak ada masalah itu apa pak? Memang Tidak ada aturan mengenai hal tersebut, untuk mengetahui ataupun mengecek data apakah anak itu termasuk anak hasil kawin hamil atau bukan. Bagaimana syarat dan rukun perkawinan anak jika diketahui anak itu hasil kawin hamil Kemudian Kepala KUA Sambil mengambil buku tebal yang menurut penulis itu adalah buku panduan Kantor Urusan Agama tentang perkawinan Dalam pelaksanaanya Kantor Urusan Agama Sambit mengenai syarat dan rukun perkawinan berdasarakan pada Undang-undang yang berlaku mas : Yang menjadi Rukun pernikahan yaitu : 5. Calon mempelai laki-laki 6. Calon mempelai perempuan 7. Wali dari mempelai wanita 8. Dua Orang saksi.
92
Peneliti Informan
Yang menjadi syarat pernikahan yaitu : 6. Calon suami 7. Calon isteri 8. Wali nikah 9. Dua orang saksi 10. Ijab qobul Jika diketahui ada kasus perkawinan anak hasil kawin hamil bagaimana mengenai perwalianya pak? Hal tersebut juga sama mas, meskipun anak tersebut lahir sehari ataupun sesaat setelah proses ijab dan qobul. Tidak ada pengkususan tersendiri terhadap kasus tersebut, Coba anda lihat buku pedoman ini tentang wali nikah ini diterangkan bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam wali nikah dalam suatu perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.dengan tata urutan sebagai berikut : Pertama, yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baliqh Kedua, wali nikah terdiri dari: 1. Nasab; 2. Wali hakim. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuei erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai. i. : kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya. ii. kelomopk kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. iii. Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki mereka. iv. kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. Keempat Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah. Kelima Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sam
93
Peneliti Informan
Peneliti Informan
berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Keenam Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya. wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut. Yang pada intinya wali anak tersebut adalah bapak yang menikahi ibunya itu sendiri. Sesaat penulis melihat tentang buku tersebut memang tidak ada Bab tersendiri terkait dengan masalah perkawinan anak hasil kawin hamil. Jadi status hukum anak hasil kawin itu sendiri bagaimana? Pihak KUA tetap menggunakan hukum positif sebagai acuannya, meskipun diketahui anak tersebut adalah anak hasil kawin hamil statusnya adalah anak sah dimata hukum, karena dilahirkan dari perkawinan yang sah menurut administrasi Negara. meskipun anak tersebut lahir sehari ataupun sesaat setelah prosesi ijab qobul terjadi. Karena perkawinan bapak mereka sudah terdaftar secara sah di mata hukum Terhadap kasus diatas menurut bapak sendiri bagaimana? Kami Cuma petugas negara jadi menjalankan hukum harus sesuei dengan hukum yang ada. Seandainya ada peraturan dalam pasal tersendiri yang mengatur untuk memeriksa tanggal pernikahan ayah dan ibu mereka, serta akta lahir untuk persyaratan menikah apakah kelahirannya dulu lebih dari enam bulan atau kurang dari enam bulan didalam kandungan sehingga bisa diketahui apakah anak tersebut anak sah atau bukan anak yang sah. Baik menurut hukum agama maupun hukum umum yang nantinya bisa ditentukan apakah harus menggunakan wali hakim atau wali nasab serta urutan wali yang benar. Itu mungkin bisa kami laksanakan.
94
Lampiran 3 TRANSKRIP WAWANCARA Kode : 03/ 3-W/ F-3/ 28-X/ 2009. Nama Informan : Tubiyono (Tokoh Masyarakat) Tanggal : 28 Oktober 2009 Jam : 16. 49-17. 54 WIB Disusun Jam : 22. 30-23. 15 WIB Tempat Wawancara : Rumah Tubiyono Desa Karanggebang Kecamatan Jetis. Topik Wawancara : Kasus Perkawinan Anak Hasil Kawin Hamil
Peneliti Informan Peneliti Informan
Peneliti Informan
Peneliti Informan
Materi Wawancara Bapak nate miring kasus perkawinan anak hasil kawin hamil (Bapak pernah dengar tentang kasus kawin hamil) Maksute piye? (maksudnya bagaimana) Kasus Pernikahan anak ingkang bapak lan ibu anak puniko naliko nikah ibue sampun ngandut (kasus pernikahan anak yang bapak dan ibu anak tersebut ketika menikah sudah dalam keadaan hamil) Kasus ngoten niku katah mas, jenenge bapak tutup, yo maksute bapak sia anak wau ngepek bojo ibue seng meteng maeng. (Kasus seperti itu banyak mas di desa ini, namanya bapak nutup, maksudnya yang jadi ayah anak tersebut yang telah mengawini ibunya tadi). Menurut panjenengan pripun pak dateng kasus kawin hamil puniko?(menurut bapak bagaiman tentang kasus kawin hamil ini). Ngih pripun mas ngih, kulo mboten ngertos. Kados mben taun mesti ono kasus kawin hamil teng mriki, ngih ketingalane mboten mriki mawon seng wonten ngoteniku tapi sedoyo deso pun roto, la seng metengi niku ngih tiang deso liyo, mungkin ya sebaliknya. (Ya bagaimana ya mas saya kurang tahu, hampir setiap tahun pasti ada kasus kawin hamil seperti ini, kelihatannya bukan disini saja yang terjadi kasus seperti ini tapi desa lain juga banyak, soalnya yang mengahamili dari desa lain, begitu juga sebaliknya) Tindakane masyarakat dumateng masalah puniko pak? (Bagaimana upaya masyarakat terhadap kasus ini pak?) Masyarakat ngih Mendel mawon masalai niku aib, badi cawe-cawe mangke malah dianggap kurang gawean. Sak jane umpami di tingali saking hukum agomo ngih mboten angsal niku anak kowar, paling jelase teng modin mawon pak jarot mantan modin yang terkenal didesa karanggebang Ini. ( Masyarakat hanya diam saja, sebab itu adalah aib, mau ngurus nanti malah dianggap kurang kerjaan. Memang seharusnya hal seperti itu dalam hukum Islam
95
tidak boleh, karena status anaknya adalah anak zina, lebih jelasnya lagi Tanya saja pak jarot selaku mantan modin desa yang sangat terkenal di desa ini.
96
Lampiran 4 TRANSKRIP WAWANCARA Kode Nama Informan Tanggal Jam Disusun Jam Tempat Wawancara Topik Wawancara
Peneliti Informan
Peneliti Informan
Peneliti Informan
: 04/ 4-W/ F-4/ 29-X/ 2009. : Jarot (Mantan Modin Desa Karanggebang) : 29 Oktober 2009 : 19.15-22. 12 WIB : 30 Oktober 2009 : O5.15-08. 28 WIB : Rumah Bapak Jarot Desa Karanggebang Kecamatan Jetis : Proses Perwalian Anak Hasil Kawin Hamil.
Materi Wawancara Apakah di desa ini terdapat pernikahan anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan pak? Ada mas desa Karanggebang salah satu desa yang sangat banyak terjadi kasus perkawinan anak hasil kawin hamil, mulai kurun waktu tahun 1995 sampai sekarang saja sudah terjadi kurang lebih 5 kasus perkawinan anak hasil kawin hamil. Meskipun saya sudah tidak menjabat modin desa lagi, tetapi saya masih tetap dimintai pertolongan oleh modin-modin yang lain untuk menyelesaikan kasus perkawinan anak hasil kawin hamil didesanya. Bagaiman mengenai hubungan nasab anak hasil kawin hamil ini? Khusus anak yang lahir akibat kawin hamil di bawah 6 bulan tidak mempunyai hubungan nasab terhadap ayahnya yang telah menikahi ibunya tersebut (baik yang menghamili atau tidak). Hal ini juga mempunyai maksud bahwa anak hasil kawin hamil tersebut tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayah, yang berkenaan dengan biaya kehidupan dan pendidikannya hak asuh, wali, maupun warisan.anak tersebut ataupun sebaliknya Bagaimana mekanisme pelaksanaan wali nika anak hasil kawin hamil tersebut pak? Pertama: Jika anak tersebut adalah perempuan maka perwaliannya dengan menggunakan wali hakim, karena anak tersebut dianggap juga sebagai anak hasil zina atau anak luar nikah. Sehingga hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya meskipun secara hukum yuridis akte anak tersebut mempunyai hubungan nasab dengan kedua oarang tuanya. Berkenaan dengan pelaksanaan perkawinannya ayah dari anak tersebut sudah diajak musyawarah oleh perangkat desa yang
97
diwakili oleh modin desa (selaku pembantu pencatat nikah di desa) dan menjelaskan mengenai status anak tersebut dan menyarankan supaya perwalian anak tersebut langsung oleh hakim meskipun nanti waktu pelaksanaan proses akad nikah ayah dari anak tersebut tetap duduk ditengah dari kedua mempelai layaknya akad yang dilakukan oleh wali nasab dari pihak keluarga pada umumnya. Kedua, jika anak yang tersebut adalah laki-laki maka anak tersebut bisa menikahkan dirinya tanpa menggunakan wali, karena anak laki-laki menjadi wali bagi dirinya sendiri. Tapi, dalam kasus tertentu anak laki-laki tersebut tidak boleh menjadi wali bagi saudara atau adik serta keturunannya dari garis ayah dan seterusnya yang nota bene adalah anak sah dari ayahnya tersebut. Sebab anak laki-laki tersebut bukan anak sah dari ayah tersebut dan tidak berhak menjadi wali bagi saudaranya yang lain karena hal ini bisa mendatangkan mudarat yang lebih besar. Peneliti Informan
Bagaimana respon masyarakat terhadap tindakan bapak tersebut Ada sebagian dari masyarakat tidak tahu tentang hukum tersebut marah-marah sehingga diantar mereka menanggapi kasus ini dengan kasus yang sepele malah ada diantara mereka yang mengatakan : Kuwi Ora penting mas seng penting lek uwis enek seng nutupi yo uwis yo kuwi pak ene. (Itu tidak penting mas yang penting kalau sudah ada yang menikahi ya sudah itulah yang nantinya menjadi bapak sekaligus walinya). Bahkan ada yang terjadi dimasyarakat seorang ayah yang mempunyai anak hasil kawin hamil marah karena anaknya dianggap anak zina serta mau menikahkan anaknya sendiri dengan caranya sendiri tetapi setelah diajak musyawarah baik-baik orang tersebut mengerti dan membolehkan anaknya dinikahkan dengan menggunakan wali hakim.
Peneliti
Dampak yang timbul di msyarakat berkenaan dengan kasus ini apa pak? Yang sering terjadi juga dimasyarakat adalah berkenaan tentang akta lahir, jika diketahui anak tersebut anak hasil kawin hamil dan kedua orang tua mereka tidak terima jika dinasabkan pada ibunya mereka kadang malah menentang dan ingin anaknya dituakan atau umur kelahiran anak tersebut diundur untuk mengakhiri status anak zinanya, karena menurut meraka ini adalah aib dan kami tidak mau menanggungnya. Ada seorang warga yang bernama pak Bejo yang mempunyai anak Yeye (nama samaran) yang nota bene adalah anak hasil kawin hamil dan ingin menikahkan sendiri anaknya dengan datang langsung ke Kantor Urusan Agama (KUA) tetapi di sana juga di tolak sebab harus ada
Informan
98
Peneliti Informan
rekomendasi atau surat pengantar dari desa, sambil kembali menemui saya lagi pak bejopun dan berkata : Karepe piye terae lek dosa tak tanggunge dewe (maunya bagaimana biar kalau dosa saya yang menanggung). Kemudian di terangkan dengan baikbaik hingga Pak Bejo menyadari kesalahan yang ia lakukan Apakah ada cara tertentu untuk melihat bahwa anak tersebut adalah anak hasil kawin hamil Hal tersebut diatas sebenarnya tidak terlalu sulit dilakukan pengawasannya yaitu dengan cara modin desa terus mengawasi dan memeriksa buku perkawinan dan akta nikah anak yang akan melakukan pernikahan serta pemeriksaan akta nikah ayah dan ibunya dulu.
99
Lampiran 5 TRANSKRIP WAWANCARA Kode : 05/ 5-W/ F-5/ 30-X/ 2009. Nama Informan : Imam Mustofa (Masyarakat) Tanggal : 30 Oktober 2009 Jam : 18. 25-19. 02 WIB Disusun Jam : 21. 12-21. 57 WIB Tempat Wawancara : Masjid An-Nurkalam Desa Bulu Kecamatan Sambit Topik Wawancara : Respon Masyarakat terhadap Pernikahan Anak hasil Kawin Hamil
Peneliti Informan Peneliti Informan Peneliti Informan
Materi Wawancara Menurut anda siapa yang berhak menjadi wali anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan? Yang berhak adalah wali hakim. Pernikahannya tidak sah jika dilakukan oleh ayahnya itu sendiri, sebab anak tersebut bukan anak sah dari dia. Bagaimana status perkawinan mereka? Perkawinan mereka tidak sah jika walinya menggunakan wali nasab dari pihak ayah. Bagaimana seharusnya praktik perkawinan anak hasil kawin hamil tersebut? Kalau memang kasus yang terjadi semacam ini pemerintah harus cepat tanggap dan perlu memberikan solusi yang baik untuk kepentingan umat sehingga keturunan anak yang dihasilkan seterusnya nanti bisa memberkan keturunan anak yang sah baik dipandang dari sudut agama maupun dipandang dari sudut hukum yang berlaku diindonesia
100
Lampiran 6 TRANSKRIP WAWANCARA Kode : 06/ 6-W/ F-6/ 01-XI/ 2009. Nama Informan : Agus (Masyarakat) Tanggal : 1 November 2009 Jam : 15. 07-16. 17 WIB Disusun Jam : 20. 10-21. 00 WIB Tempat Wawancara : Rumah Agus Desa Nglewan Kecamatan Sambit. Topik Wawancara : Respon Masyarakat terhadap Pernikahan Anak hasil Kawin Hamil
Peneliti Informan Peneliti Informan Peneliti Informan
Peneliti Informan
Materi Wawancara Menurut anda siapa yang berhak menjadi wali anak hasil kawin hamil yang lahir kurang dari 6 bulan? Wali anak hasil kawin adalah bapaknya itu sendiri, sebab sudah disahkan menurut hukum. Bagaimana status perkawinan mereka Hal seperti itu tidak perlu diungkit-ungkit sebab hal tersebut adalah aib dan moralitas yang tidak layak untuk di publikasikan. Biar mereka yang nanggung sendiri. Bagaimana status hukum perwalian anaknya tersebut? Kuwi Ora penting mas seng penting lek uwis enek seng nutupi yo uwis yo kuwi pak ene. (Itu tidak penting mas yang penting kalau sudah ada yang menikahi ya sudah itulah yang nantinya menjadi bapak sekaligus walinya Bagaimana seharusnya praktik perkawinan anak hasil kawin hamil tersebut? Kalau di desa saya kasus seperti ini dibiarkan saja, tidak dianggap serius. terserah apakah mau menggunakan wali dari pihak ayah atau menggunakan wali nikah hakim. Sebab hal ini jika diungkitungkit akan menyebabkan kegelisahan yang berlarut larut. Kalau mau wali bapaknya terserah mau wali dari hakim terserah. Keduanya boleh-boleh saja.
101
Lampiran 7 TRANSKRIP DOKUMENTASI Koding
: 01/D/F-1/20.XI/2009
Bentuk
: Tulisan
Isi Dokumen
: Gambaran Umum Profil Desa Karanggebang
Tanggal Pencatatan : 20 Nopember 2009 Jam Pencatatan Bukti Dokumen
: 08.00 WIB Mengenai jumlah penduduk penduduk Desa Karanggebang adalah berjumlah 3.225 jiwa, dengan luas wilayah 8.700 meter persegi, dengan letak geografis sebagai berikut: Timur :Berbatasan dengan Desa Kradenan dan Desa Mojorejo Barat : Berbatasan dengan Desa Jetis Utara :Berbatasan dengan Desa Tegalsari dan Desa Mojorejo Selatan: Berbatasan dengan Desa Kutu Wetan dan Desa Kutu Kulon Desa Karanggebang terdiri 22 Rukun Tetangga (RT), dan 5 Rukun Warga (RW) dengan Mayoritas penduduk Desa Karanggebang adalah beragama Islam yang mempunyai 2 Masjid dan 14 Musholla, dan selalu aktif dalam kegiatan keagamaan. Sedangkan jumlah perkawinan tahun 2009 ini tercatat sudah 20 perkawinan. Struktur Perangkat Desa Karanggebang adalah sebagai berikut: 1. Kepala Desa : Abdul Basit 2. Sekretaris Desa : Khoirul Anwar 3. Kamituo : Agus Wiyono, Setyo Diharjo, Supriyono, dan Mulyadi 4. Kaur Pemerintahan : Khoirul Anwar 5. Kaur Keuangan : Agus Supriyadi 6. Kaur Pembangunan : Moh Qomarudin 7. Kaur Umum : Nur Jannah 8. Kaur Kesra : M. Muhsin 9. Modin :Tubiyono, Muhsin, serta M. Jarot (mantan modin yang masih selalu selalu diajak musyawarah dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pernikahan)
102
Refleksi
Dengan jumlah penduduk 3.225 jiwa serta tercatat 20 perkawinan yang ada di desa terdapat kurang lebih satu kali perkawinan anak hasil kawin hamil pertahunnya.
103
Lampiran 7 TRANSKRIP DOKUMENTASI Koding
: 02/D/F-1/25.XI/2009
Bentuk
: Tulisan
Isi Dokumen
: Gambaran Umum Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Jetis
Tanggal Pencatatan : 25 Nopember 2009 Jam Pencatatan Bukti Dokumen
: 15.15 WIB a). Sejarah Singkat KUA Kec. Jetis Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Jetis merupakan sebuah lembaga pelayanan masyarakat yang keberadaannya sangat dibutuhkan masyarakat, karena KUA merupakan tumpuhan segala hal bagi masyarakat yang berkaitan dengan kehidupan beragama. Sejarah keberadaan KUA Kec. Jetis dengan pelayanan masyarakat akan dijelaskan sebagai berikut: Kantor Urusan Agama Kec. Jetis berdiri pada tahun 1974 dengan kepala KUA yang pertama ”PURNOMO”. Sebagai lembaga yang baru berdiri maka segala sesuatunya sangat sederhana dan jauh dari cukup. Bahkan saat itu KUA masih menumpang disebuah rumah Ibu Maskur Desa Wonokerto (Sebelah Masjid Besar Kec. Jetis). Setelah mendapat tanah dari Desa Josari untuk dibangun KUA dengan status tanah hak mendirikan bangunan selamanya, maka KUA pindah kekantor yang baru sampai sekarang dengan menghabiskan biaya Rp. 10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah) dengan luas tanah 42,2 meter persegi. b). Lokasi dan Status Tanah KUA Kec. Jetis Lokasi gedung KUA Kec. Jetis terletak pada tepi jalan raya Ponorogo-Trenggalek yang berdekatan dengan gedung dan kantor tingkat Kecamatan seperti Kantor Kec. Jetis, Kantor Koramil, Kantor Diknas. Sedangkan status tanah KUA Kec. Jetis adalah tanah Desa Josari bukan tanah hasil wakaf. c). Denah Gedung KUA Kec. Jetis. Luas gedung yang baru berukuran 1400 X 750 meter persegi dengan perincian penggunaan sebagai berikut : 13. Ruang kepala
104
19. Ruang BP 4
14. Ruang Balai Nikah 15. Ruang Tunggu Pertemuan 16. Ruang Wakil PPN 17. Ruang Staf KUA 18. Ruang Arsif NTCR
20. Ruang Toilet 21. Ruang Pertemuan 22. Tempat Parkir 23. Dapur 24. Gudang
d). Tugas pokok, Fungsi, Visi, dan Misi KUA Kec. Jetis Berdasarkan pasal 729 Peraturan Menteri Agama No. 16 tahun 1975 disempurnakan maka tugas pokok Kantor Agama Kabupaten Ponorogo di Bidang Urusan Agama Islam dalam wilayah Kec. Jetis. Kemudian untuk melaksanakan tugas Pasal 729 diatas maka sesuai Pasal 730 KUA mempunyai fungsi untuk menyelenggarakan statistik dan dokumentasi serta pencatatan nikah, talak, cerai dan rujuk (NTCR) dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul mal, ibadah sosial kependudukan dan membina keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. e). Struktur Organisasi KUA Kec. Jetis Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI. No. 27 tahun 1992 susunan organisasi KUA terdiri dari: 1). Seorang Kepala 2). Seorang Petugas Tata Usaha 3). Beberapa Orang Staf Serta dibantu oleh para Pembantu Petugas Pencatat Nikah (PPPN) di setiap desa yang meliputi 19 Desa SeKecamatan Jetis. f). Pelaksanaan Pelayanan Pernikahan KUA Kec. Jetis Menginat KUA adalah sebagai ujung tombak Depag maka tugas-tugas pelayanan yang dilakukan oleh KUA dapat membawa citra Depag. Oleh karena itu mekanisme kerja yang ada di KUA Kec. Jetis diatur sebagai berikut: 7) PPPN menyerahkan berkas persyratan nikah kepada PPN untuk diteliti kelengkapannya. 8) Apabila persyaratan nikah tersebut sudah lengkap, maka PPPN kemudian menyerahkan kepada petugas untuk di daftar. 9) Bila pendaftaran syarat-syarat nikah sudah didaftar, maka PPPN memenuhi petugas bendahara khusus untuk membayar biaya pencatatan NR sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 10) Setelah pelaksananan pendaftaran dan pemenuhan biaya pencatatan selesai maka calon pengantin di
105
periksa oleh petugas dan hasil pemeriksaannya dicatat dalam lembar daftar pemeriksaan kemudian diberi nasehat perkawinan oleh petugas BP 4 Kecamatan. 11) Setelah selasai pemeriksaan dan penasehatan perkawinan maka berkas pemeriksaan diserahkan kepada PPN untuk dibuatkan pengumuman nikah (model C) dan lembar pengumuman ditempelkan di papan pengumuman. 12) Setelah pengumuman dilaksanakan dan ternyata tidak ada reaksi dari pihak lain maka pelaksanaan nikah bisa dilangsungkan sesuai waktu yang telah ditentukan dan dihadiri oleh petugas yang berwenang. Setiap pelaksanaan pernikahan diupayakan Kutipan Akta ikah (model N) dapat diserahkan kepada yang bersangkuatan.
106
Lampiran 7 TRANSKRIP DOKUMENTASI Koding
: 03/D/F-1/25.XI/2009
Bentuk
: Tulisan
Isi Dokumen
: Gambaran Umum Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Sambit
Tanggal Pencatatan : 25 Nopember 2009 Jam Pencatatan Bukti Dokumen
: 19.00 WIB a). Sejarah Singkat KUA Kec. Sambit Kantor Urusan Agama Kec. Sambit merupakan sebuah lembaga pelayanan masyarakat yang keberadaannya sangat dituntut oleh masyarakat, karena KUA merupakan tumpuhan segala hal bagi masyarakat yang berkaitan dengan kehidupan keluarga. Sejarah keberadaan KUA Kec. Sambit dengan pelayanan masyarakat akan dijelaskan sebagai berikut: Kantor Urusan Agama Kec. Sambit berdiri pada tahun 1946 dengan bertempat selalu berpindah-pindah dari rumah penduduk ke rumah penduduk yang lain, yang pada waktu itu rumah yang pernah ditempati adalah rumah Bapak Margono berlokasi sebelah utara Masjid Jami’ Kecamatan dan rumah Bapak Lakun juga sebelah utara Masjid. Adapun yang terakhir di rumah Bapak Kaderi sampai tahun 1976 yang berlokasi di selatan Masjid Jami’. Pada tahun 1977/1978 Kantor Urusan Agama Kec. Sambit mendapat bantuan berupa gedung permanen yang letaknya ditanah milik penduduk yang akhirnya diwakafkan untuk Kantor Urusan Agama Kec. Sambit. Berdasarkan akta ikrar wakaf PPAIW Kecamatan Sambit tanggal 7-101994, No.KM.04:13/W.3/02 tahun 1994. b). Tugas pokok, Fungsi, Visi, dan Misi KUA Kec. Sambit Berdasarkan pasal 729 Peraturan Menteri Agama No. 16 tahun 1975 disempurnakan maka tugas pokok Kantor Agama Kabupaten Ponorogo di Bidang Urusan Agama Islam dalam wilayah Kec. Sambit. Kemudian untuk melaksanakan tugas Pasal 729 diatas maka sesuai Pasal 730 KUA mempunyai fungsi untuk menyelenggarakan statistik dan dokumentasi serta pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk (NTCR) dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul
107
mal, ibadah sosial kependudukan dan membina keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Jadi, Kantor Agama Kecamatan yang secara struktural di komando Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten, namun secara teknis memiliki tugas dan bidang pekerjaan untuk melaksanakan bimbingan dan pelayanan kepada masyarakat secara prima. c). Struktur Organisasi KUA Kec. Sambit Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI. No. 27 tahun 1992 susunan organisasi KUA terdiri dari: 1). Seorang Kepala 2). Seorang Petugas Tata Usaha 3). Beberapa Orang Staf d). Tugas-tugas KUA Kec. Sambit Tugas Kantor Urusan Agama Kec. Sambit bukan hanya menangani masalah NTCR saja, namun sangat komplit, yakni melaksanakan sebagai tugas umum pemerintahan dibidang agama. Yang pokok kegiatannya sebagai berikut. 1. Kegiatan Setruktural a. Terlaksananya pencatatan NTCR. b.Terlaksananya pembentukan keluarga yang sakinah c. Terlaksananya pembinaan halal dan haram d. Terlaksananya pembinaan sosial keagamaan 2. Kegiatan non Struktural a. Kegiatan Kemasjidan b. Kegiatan BP-4 c. Pemilikan AIW/PPAIW d. Kegiatan LPTQ e. Kegiatan PHBI f. Kegiatan BAZIS 3. Kegiatan lintas sektoral a. Kegiatan keluarga sakinah b. Kegiatan imunisasi c. Perincian NTCR pada usia nikah
108