ANALISIS KAWIN HAMIL (STUDI PASAL 53 KHI DALAM PERSPEKTIF SADD AL-DZARI’AH)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Meraih Gelar Sarjana Hukum Islam Jurusan Al-Ahwal al-Syakhsiyyah
ABTADIUSSHOLIKHIN 072111041
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012
ii
NOTA PEMBIMBING
iii
MOTTO
"Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan". (Q.S. Al-Isra: 32).1
1
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 429.
iv
PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan teruntuk : Ayahanda (Muslih) dan Ibunda (Nur Khasanah) tercinta, karya ini terangkai dari keringat, airmata dan do’amu berdua. Setiap keringat dan airmata yang keluar karenaku menjelma dalam setiap huruf; setiap do’a yang terpanjat menyatu menyampuli karya hidupku. Kakak-Kakakku (Mukhtasibah & Rudi Sahrul Amran), semoga karya ini mampu menjadi pengganti peran sebagai adik yang selama ini terabaikan oleh ego dan keinginanku. Seluruh teman-teman baikku, kalian telah menuntunku pada alur kehidupan yang lebih dewasa. Fakultas (Syari’ah)ku tercinta, semoga karya ini menjadi bukti cintaku kepadamu dan bukan menjadi lambang perpisahan engkau dan aku. Kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Korkom IAIN Walisongo seperjuangan; ada Saifudin Blengko, Hanif Paidi, Azka Maghrib, Topan Musyafak, Rofik Tongklo, dll. semoga perjuangan kita tidak hanya sampai saat ini, aku akan selalu merindukan canda tawa kalian. Teruntuk Adinda Novia Tri Utami yang selalu menyemangati diriku. Semoga kebaikanmu mendapat imbalan yang semestinya.
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 15 Juni 2012 Deklarator,
Abtadiussholikhin Al-Banariy 072111041
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Kawin Hamil (Studi Pasal 53 dalam Perspektif Sadd al-Dzari’ah”, tanpa halangan yang berarti. Shalawat serta salam penulis limpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, beserta para keluarga dan sahabatnya : Proses penyusunan skripsi ini tidak lepas dari peran serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, pada kesempatan ini penulis hendak menghaturkan ungkapan terima kasih kepada : 1. Allah SWT yang selalu mencurahkan Rahmat dan HidayahnNya untukku. 2. Kedua orang tua penulis yang telah memberikan dan mencurahkan segala kemampuannya
untuk
memenuhi
keinginan
penulis
untuk
tetap
bersekolah. Tanpa mereka mungkin karya ini tidak akan pernah ada. 3. Prof. Dr. Muhibbin, M.Ag, selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang 4. Dr. Imam Yahya, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang 5. Drs H. Muhyiddin, M.Ag selaku Pembimbing I dan Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag selaku Pembimbing II yang telah merelakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mendampingi dan menjadi teman diskusi penulis. 6. Para Dosen Pengajar, terima kasih atas seluruh ilmu yang telah penulis terima yang sangat membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. 7. Ketua Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Institut bersama staff, yang telah memberikan kemudahan kepada penulis untuk memanfaatkan fasilitas dalam proses penyusunan skripsi. 8. Seluruh temanku dan seluruh pihak yang tidak mungkin penulis sebut dan tulis satu persatu, terima kasih atas segala bantuan dan peran sertanya yang telah diberikan kepada penulis.
vii
Selain ungkapan terima kasih, penulis juga menghaturkan ribuan maaf apabila selama ini penulis telah memberikan keluh kesah dan segala permasalahan kepada seluruh pihak. Tiada yang dapat penulis berikan selain do’a semoga semua amal dan jasa baik dari semua pihak tersebut di atas dicatat oleh Allah SWT sebagai amal sholeh dan semoga mendapat pahala dan balasan yang setimpal serta berlipat ganda dariNya. Harapan penulis semoga skripsi yang sifatnya sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis pada pada khususnya dan segenap pembaca pada umumnya. Terlebih lagi semoga merupakan sumbangsih bagi almamater dengan penuh siraman rahmat dan ridlo Allah SWT. Amin.
Semarang, 15 Juni 2012
Abtadiussholikhin Al-Banariy 072111041
viii
ABSTRAK
Penelitian dengan judul “Analisis Kawin Hamil (Studi Pasal 53 dalam Perspektif Sadd al-Dzari’ah” ini dilatarbelakangi oleh adanya peluang mafsadat yang terkandung dalam Pasal 53 KHI. Peluang mafsadat tersebut adalah tidak adanya kejelasan batasan sebab kehamilan yang diperbolehkan dilakukannya kawin hamil dalam Pasal 53 KHI. Dampaknya, tidak jarang Pasal 53 KHI dijadikan legalitas kawin hamil yang kehamilannya akibat zina. Hal ini jelas kurang sesuai dengan hukum Islam yang sangat melarang praktek zina. Untuk menganalisa problematika tersebut, maka dalam penelitian ini diajukan dua rumusan masalah yakni bagaimana Pasal 53 KHI dalam perspektif sadd al-dzari’at dan bagaimana formulasi Pasal 53 KHI sebagai solusi kawin hamil. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mana pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan. Sedangkan proses analisis dilakukan dengan mendasarkan pada metode analisis deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa keberadaan Pasal 53 KHI merupakan sarana untuk melindungi hak-hak manusia namun terkandung aspek mafsadat yang berkaitan dengan pelaksanaan syari’at Islam tentang zina. Untuk menghilangkan aspek mafsadat dalam Pasal 53 KHI, dalam kontesk saddu al-dzari’at, diperlukan perubahan redaksi berupa penambahan ketentuan batasan penyebab kehamilan dan sanksi yang menyertainya. Formulasi Pasal 53 KHI sebagai solusi kawin hamil dapat direalisasikan dengan menambahkan redaksi terkait dengan pembatasan sebab kawin hamil yang dapat dilaksanakan tanpa adanya sanksi dan pemberlakuan sanksi bagi kawin hamil yang disebabkan zina berupa taubat sosial.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................
i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING .......................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................
iii
HALAMAN MOTTO ...............................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...............................................................
v
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................
vi
KATA PENGANTAR ...............................................................................
vii
ABSTRAK .................................................................................................
viii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
ix
BAB
BAB
I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...................................................................
1
B. Rumusan Masalah..............................................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..........................................
6
D. Kajian Pustaka ...................................................................
7
E. Metodologi Penelitian........................................................
9
F. Sistematika Penulisan ........................................................
11
II TINJAUAN UMUM KAWIN HAMIL DAN SADD AL-DZARI’AT A. Pernikahan Menurut Hukum Islam....................................
13
B. Syarat dan Rukun Nikah ....................................................
18
C. Perkawinan Wanita Hamil dan Khilafiyah Ulama ............
23
D. Sadd al-Dzari’at .................................................................
27
x
BAB
III KAWIN HAMIL DALAM PASAL 53 KHI A. Sejarah KHI............................................................................... 37 B. Corak Fiqh KHI ........................................................................ 41 C. Deskripsi Pasal 53 KHI ............................................................. 43 D. Pendapat Ulama Indonesia tentang Pasal 53 KHI..................... 45
BAB
IV PASAL 53 KHI DALAM PERSEPSI SADD AL-DZARI’AT A. Korelasi Pasal 53 KHI dengan Sadd al-Dzari’at ....................... 49 B. Justifikasi Pasal 53 KHI Korelasinya dengan Sosio-Culture Indonesia .................................................................................... 61
BAB
V PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................
68
B. Saran-saran .......................................................................
68
C. Penutup .............................................................................
69
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BIODATA PENULIS
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan yang merupakan akad antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, mempunyai tujuan untuk mengikatkan dan menyalurkan nafsunya, sehingga akan menyebabkan halalnya hubungan suami isteri yang sebelumnya diharamkan. Disamping itu pernikahan juga harus bisa membuat ketentraman
kebahagiaan
keharmonisan dalam
hidup
dalam
suasana
keluarga. Jika dengan
yang
damai
adanya pernikahan
serta itu
menyebabkan timbulnya akibat-akibat yang tidak baik, misalnya pertengkaran, perselisihan maka hal inilah yng tidak dikehendaki dalam pernikahan dan sangat bertentangan dengan syari’at Islam yang bertujuan suci dan mulia. Pernikahan juga merupakan wujud realisasi janji Allah menjadikan kaum perempuan sebagai istri dari jenis (tubuh) laki-laki, agar nyatalah kecocokan dan sempurnalah kemanusiaan. Dia juga menjadikan rasa mawaddah dan ar-rahmah antara keduanya supanya saling membantu dalam melengkapi kehidupan.1 Ayat tersebut juga dipertegas oleh sabda Rasulullah Saw.:
1
Wahbah Az-Zuhaily, Tafsr Al- Munir, juz 21, Beirut-Libanon : Dar al-Fakir Al-Mu’asir, Cet. Ke-1, 1991, hlm. 69.
1
2
Artinya : “Rasulullah telah bersabda kepada kita : “ Hai para pemuda, barangsiapa diantaramu mampu untuk kawin maka kawinlah, karena sesungguhnya perkawinan itu akan menjauhkan mata (terhadap zina) dan dapat terpelihara dari nafsu kelamin yang jelek, dan barang siapa yang tidak mampu kawin maka hendaklah puasa untuk mengurangi hawa nafsu terhadap wanita.” (H.R. Bukhori). Dari hadits tersebut di atas dapat diketahui juga bahwa perkawinan itu mempunyai tujuan yang suci dan tinggi. Oleh karena itu, bagi orang yang akan menikah harus mempunyai kesanggupan dalam arti yang sebenarbenarnya, bukan hanya semata-mata untuk memuaskan nafsu saja. Sebab salah satu faktor yang banyak menjerumuskan manusia kedalam kejahatan adalah pengaruh nafsu seksual yang tidak terkendalikan, dan untuk menyalurkan nafsu tersebut hendaknya dengan melalui jalan yang paling baik dan tepat menurut ajaran Islam atau pandangan Allah SWT, yaitu melalui
jalan
perkawinan. Dengan demikian, apabila ada orang yang tidak mampu untuk menikah, hendaknya mereka itu berpuasa agar nafsunya dapat terkendali. Berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits tersebut diatas, maka pernikahan adalah salah satu asas pokok hidup, yang penting dalam bermasyarakat karena pernikahan itu adalah jalan untuk mengatur kehidupan rumah tangga, keturunan. 2
hlm. 583.
Imam Abi Husein Muslim Minal Hajaj, Shahih Muslim, Juz I, Bandung: al-Ma’arif, t.t.,
3
Pengertian perkawinan, menurut
Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 pasal 1 : “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.3 Pengertian perkawinan tersebut dipertegas dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) : “ Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah ”.4 Ada juga yang mendefinisikan bahwa nikah dalah ijab qobul (aqad) yang membolehkan/ menghalalkan bercampur dengan mengucapkan kata-kata nikah.5 Bertitik tolak dari pengertian pernikahan tersebut diatas, dapat diketahui, bahwa pernikahan adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, karena pernikahan tersebut banyak mengandung hikmah, antara lain untuk kemakmuran,6 untuk menjalin persaudaraan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antar keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang diberkahi oleh Islam. Karena masyarakat yang saling berhubungan dan menyayangi adalah masyarakat yang kuat dan bahagia. 7 Oleh karena itu, pernikahan dipandang sebagai sesuatu yang sakral, tetapi persoalannya akan menjadi lain bilamana orang yang menikah itu telah 3
Departemen Agama RI Perwakilan Jawa Tengah, Undang-Undang Perkawinan, Semarang : CV. Al Alawiyah, 1974, hlm. 5 4 Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam,2000, hlm. 14 5 Idris Ahmad, Fiqh Menurut Madzhab Syafi’i, Jakarta : Wijaya, 1969, hlm. 166 6 Syeikh Ali Ahmad Al Jurjawi, Hikmah At Tasyri’ Wa Falsafatuhu, Juz 1, Beirut : Libanon : Dar al-Fikr, hlm. 15. 7 Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Jilid 2, Beirut : Libanon : Dar Al-Fikr, 1992, hlm. 12.
4
hamil sebelum menikah. Tidak jarang wanita hamil tanpa suami yang sah. Baru beberapa bulan melaksanakan pernikahan sudah melahirkan, karena pada waktu akad nikah itu berlangsung mempelai wanita telah hamil terlebih dahulu. Namun demikian, dalam keadaan tersebut, Islam – khususnya di Indonesia – telah memberikan kemudahan dengan keberadaan Pasal 53 KHI yang memperbolehkan perkawinan wanita hamil. Keberadaan pasal tersebut dipandang sebagai suatu pembuka bagi kemaslahatan kehidupan manusia terkait dengan kehormatan dan nasab anak. Pasal 53 KHI merupakan bentuk dari ijtihad yang dilakukan oleh para ulama. Meski demikian, pada kenyataan hasil ijtihad tersebut masih terkandung “madlarat” berupa peluang adanya praktek perzinaan yang semakin luas yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia. Secara tidak langsung, kehadiran Pasal 53 KHI sama saja membuka suatu jalan “legalitas” perzinaan sebagai imbas dari adanya pemberian izin perkawinan bagi wanita hamil. Dapat dikatakan demikian karena dalam ketentuan pasal tersebut tidak terdapat batasan sebab-sebab kehamilan. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin kehamilan wanita yang akan dikawinkan berdasar Pasal 53 KHI dapat disebabkan oleh adanya perzinaan yang disengaja oleh wanita dan pasangan lelakinya. Di sisi lain, keberadaan pengembangan hukum dalam Islam (ijtihad) tidak lain adalah bertujuan untuk menghilangkan madlarat yang akan atau bahkan telah mengancam kehidupan umat Islam. Salah satu kaidah yang sangat menjaga kemashlahatan umat Islam adalah kaidah saddu al-dzari’at.
5
Kaidah ini pada hakekatnya menekankan pada adanya penutupan jalan yang membawa kepada sesuatu secara hissi atau ma’nawi, baik maupun buruk.8 Pengertian yang hamper sama juga diberikan oleh Ibn al-Qayyim, sebagaimana dikutip oleh Amir Syarifuddin, yang menyatakan bahwa secara lughawi istilah saddu al-dzari’at memiliki konotasi makna yang netral tanpa memberikan suatu penilaian terhadap hasil perbuatan. Oleh karena itu beliau mendefinisikan saddu al-dzari’at sebagai apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu.9 Jadi pada dasarnya, sadd al-dzari’at tidak hanya menghilangkan sesuatu dari perbuatan melainkan proses menghalangi terjadinya perbuatan. Dalam istilah konvensional, istilah sadd al-dzari’at dapat dianalogikan dengan upaya pencegahan atau preventif. Melalui kaidah ini, hukum akan ditetapkan sebagai upaya pencegahan suatu perbuatan yang dapat menuju atau menyebabkan suatu kerusakan (mafsadat). Berdasarkan hal tersebut, maka dalam skripsi ini penulis bermaksud untuk memberi judul Analisis Kawin Hamil (Studi Pasal 53 KHI Dalam Perspektif sadd al-Dzari’ah) B. Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa terdapat permasalahan berkaitan dengan tinjauan saddu al-dzari’at terhadap keberadaan Pasal 53 KHI. Dalam penelitian ini diajukan dua rumusan masalah sebagai berikut:
8 9
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Beirut: Daar al-Fikr, 1958, hlm. 290. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, hlm. 399.
6
1. Bagaimana korelasi Pasal 53 dengan saddu al-dzari’at? 2. Bagaimana formula Pasal 53 KHI sebagai solusi kawin hamil? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui korelasi Pasal 53 dengan saddu al-dzari’at. 2. Untuk mengetahui formula Pasal 53 KHI sebagai solusi kawin hamil. Sedangkan manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini dapat menjadi media kritik terhadap ketentuan perundang-undangan, khususnya yang berhubungan dengan kehidupan umat Islam. 2. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu pengembangan khazanah keilmuan perdata Islam, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan kawin hamil.
7
D. Kajian Pustaka Untuk menghindari asumsi plagiasi, maka berikut ini akan penulis paparkan penelitian terdahulu yang hampir memiliki kesamaan dengan penelitian yang penulis laksanakan. Sepanjang penelusuran penulis di IAIN Walisongo, baru ada satu penelitian terdahulu yang berkaitan dengan aplikasi Pasal 53 KHI. Penelitian
tersebut
dilakukan
SIti
Roichanah
dengan
judul
Problematika Penerapan Pasal 53 KHI dalam Persepsi Kepala KUA SeKabupaten Temanggung, Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2006. Penelitian ini lebih memfokuskan pada persepsi para kepala KUA di Kabupaten Temanggung mengenai penerapan Pasal 53 KHI tentang nikah hamil. Dari penelitian ini terungkap bahwa hampir 70% Kepala KUA Kabupaten Temanggung menggunakan aturan Pasal 53 KHI untuk menyelesaikan kasus nikah hamil, 10% menolak nikah hamil (tidak mengikuti KHI) dan 20% lainnya dengan terpaksa menerima nikah hamil dengan terlebih dahulu melakukan penyelidikan yang berkaitan dengan kondisi wanita hamil tersebut. Jika ternyata wanita hamil tersebut berakhlak tidak baik atau tuna susila, maka beberapa Kepala KUA tidak bersedia menikahkan. Namun jika wanita baik-baik dan kehamilannya terjadi karena adanya hubungan keterpaksaan, maka pernikahannya akan dilaksanakan selama tidak ada larangan hukum yang menghalangi. Penelitian yang dilakukan oleh Fitrotus Salamah yang berjudul Pendapat Ulama Terhadap Pasal 53 Ayat (1) dan Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam Relevansinya Dengan Hak Waris Anak. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
8
perkawinan perempuan yang hamil di luar nikah merupakan perkawinan yang sah selama tidak ada hal-hal yang menghalangi secara syara’ seperti adanya hubungan darah antara suami istri. Pasal ini sah digunakan sebagai dasar dalam memperbolehkan seorang perempuan yang hamil di luar nikah untuk melangsungkan perkawinan. Namun pasal ini tidak boleh digunakan sebagai dasar untuk memberikan status hukum sebagai anak sah dari kedua orang tuanya bagi anak yang ada dalam kandungan perempuan tersebut. Anak yang ada dalam kandungan itu ketika lahir merupakan anak sah tetapi dia hanya memiliki hubungan hukum dan hubungan nasab dengan ibu dan kerabat ibunya. Status hukum anak yang ada dalam kandungan tersebut bukan merupakan anak sah dari kedua orangtuanya meskipun ia lahir dalam perkawinan yang sah, hal ini dikarenakan anak tersebut telah ada sebelum terjadinya akad perkawinan antara ibu dan suaminya atau anak tersebut lahir akibat perbuatan zina. Tetapi anak tersebut adalah anak sah yang hanya memiliki hubungan hukum dan hubungan nasab dengan ibu dan kerabat dari ibunya. Hasil-hasil penelitian terdahulu di atas berbeda dengan penelitian yang penulis laksanakan. Perbedaan penelitian tersebut adalah dalam penelitian terdahulu ini hanya memusatkan pada problematika penerapan Pasal 53 KHI oleh Kepala KUA dan pendapat ulama mengenai Pasal 53 KHI sedangkan penelitian yang penulis laksanakan terpusat pada Pasal 53 KHI dalam perspektif sadd al-dzari’at.
9
E. Metodologi Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian literer atau kepustakaan (library research). Disebut penelitian literer atau kepustakaan karena sumber data dalam penelitian ini merupakan sumber data literer atau kepustakaan. Sedangkan pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perbandingan hukum. Maksudnya adalah dalam menganalisa data, penulis membandingkan dua teori hukum yang berkaitan dengan obyek penelitian yang mana dalam hal ini adalah teori saddu al-dzri’at menurut hukum Islam dan ketentuan KHI mengenai perkawinan wanita hamil dalam Pasal 53. 2. Sumber data Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua dengan penjelasan sebagai berikut: a. Data primer, yakni data yang berkaitan dan diperoleh langsung dari sumber data utama (pokok).10 Dalam penelitian ini, data primernya adalah Pasal 53 KHI. Sedangkan sumber data primer penelitian ini adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi sumber keberadaan Pasal 53 tentang nikah hamil. b. Data sekunder, yakni data yang dapat menunjang data primer dan diperoleh tidak dari sumber primer.11
10 11
Saifudin Azwar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 91. Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I, Yogyakarta: Andi Offset, 1993, hlm. 11.
10
3. Metode Pengumpulan Data Karena penelitian ini merupakan penelitian literer, maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode kepustakaan. Pengertian metode kepustakaan adalah metode pengumpulan data dengan mencari bahan dalam buku-buku atau pustaka-pustaka tertentu. Dalam penelitian ini, obyek kepustakaan meliputi seluruh buku atau jurnal yang membahas tentang kaidah saddu al-dzari’at serta KHI sebagai sumber primer penelitian. 4. Metode Analisa Data Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data deskriptif kualitatif dengan pendekatan historis social. Maksudnya adalah proses analisis yang dilakukan didasarkan pada kaidah deskriptif dan kaidah kualitatif. Kaidah deskriptif adalah bahwa proses analisis dilakukan terhadap seluruh data yang telah didapat dan diolah. Kemudian hasil analisis tersebut disajikan secara menyeluruh sebagai satu kesatuan. Sedangkan kaidah kualitatif adalah bahwa proses analisis ini ditujukan untuk mengembangkan teori dengan jalan membandingkan teori dengan tujuan untuk menemukan teori baru yang dapat berupa penguatan terhadap teori lama maupun melemahkan teori yang telah ada tanpa menggunakan rumusan statistic.12 Jadi analisis data deskriptif kualitatif adalah analisis data yang dilakukan terhadap seluruh data yang diperoleh untuk mengembangkan
12
Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002, hlm. 41.
11
dan menemukan teori tanpa menggunakan rumusan statistic yang mana hasil analisisnya nanti akan disajikan secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak berdiri sendiri-sendiri. F. Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini dipaparkan dalam sebuah laporan yang terdiri dari tiga bagian dengan penjelasan sebagai berikut: Bagian awal yang isinya meliputi halaman cover, halaman persetujuan pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, halaman kata pengantar, halaman abstrak, dan halaman daftar isi. Bagian isi yang isinya terdiri dari lima bab dengan penjelasan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan yang isinya latas belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Umum tentang Kawin Hamil dan Saddu al-Dzari’at. Dalam bab ini akan dipaparkan kedua ruang lingkup teori yang merupakan teori yang akan menjadi landasan analisis dalam penelitian ini. Penjelasan kedua teori tersebut meliputi pengertian, dasar hukum, klasifikasi dan implementasinya. Bab III Kawin hamil dalam Pasal 53 KHI yang isinya meliputi sejarah pembentukan KHI, Corak Fiqih KHI, Deskripsi Pasal 53 KHI, dan Pendapat Ulama Indonesia tentang pasal 53 KHI.
12
Bab IV Pasal 53 KHI dalam Persepektif Saddu al-Dzari’at di mana bab ini terdiri dari dua bagian yakni analisis korelasi Pasal 53 KHI dengan saddu al-dzari’at dan analisis formula Pasal 53 KHI sebagai solusi kawin hamil. Bab V adalah Penutup yang isinya meliputi kesimpulan, saran-saran dan daftar pustaka. Bagian ketiga adalah bagian akhir yang isinya meliputi daftar pustaka, lampiran-lampiran dan biografi penulis.
BAB II TINJAUAN UMUM KAWIN HAMIL DAN SADDU AL-DZARI’AT
A. Pernikahan Menurut Hukum Islam Nikah menurut etimologi berarti: 1. Kumpul )ع ُ َْواْلجَم
(اَلّضَ ُّم, 2. Akad )(اَلْ َعقْ ُد, 3. Wati'
) (اَلْ َوطْ ُء.1
Namun menurut pendapat yang shahih, nikah arti hakekatnya adalah akad, sedangkan wati' sebagai arti kiasan atau majaznya.2 Kata nikah yang berarti akad adalah, seperti firman Allah SWT. Q.S. al-Baqarah: 221
Artinya : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah (2) : 221)3
Sedangkan nikah yang berarti wati' adalah seperti firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah ayat 230.
1
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hisni al-Dimasyqi al-Syafi'i, Kifayah al-Akhyar, Juz 2, Semarang: Toha Putra, tt., hlm. 36. 2 Ibid. 3 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Jakarta: PT. Intermasa, 1971, hlm. 53.
13
14
Artinya : Kemudian jika si suami mentalaknya , maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang mengetahui. (Al-Baqarah (2) : 230).4 Sedang nikah menurut terminologi, ada beberapa pengertian, antara lain: a. Najmuddin Amin al-Kurdi memberikan pengertian nikah sebagai berikut: 5
Akad yang menjamin bolehnya bersetubuh dengan lafad inkah atau tazwij atau terjemahannya. b. Taqiyuddin, abi Bakar memberikan pengertian nikah sebagai berikut: 6
Akad yang terkenal yang mengandung beberapa rukun syarat. c. Dan Abd al-Wahab asy-Sya'rani memberikan pengertian sebagai berikut: 7
Nikah termasuk akad syari' yang disunahkan dari asal syara'. Tegasnya, pernikahan yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan perkawinan adalah "suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka 4
Ibid., hlm. 56. Najmuddin Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, tt., hlm. 338. 6 Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad al-Hisni ad-Damasyqi asy-Syafi'i, Loc. cit 7 Abdul Wahab Asy-sya‟rani, Kitab Al-Mizan, Juz 3, Mesir: Matba‟ah at-taqadim alilmiyah, Cet. ke-1,1321 H, hlm.172. 5
15
mewujudkan
kebahagiaan
hidup
berkeluarga
yang
diliputi
rasa
ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridloi Allah SWT.8 Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 dijelaskan bahwasanya "perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa".9 Pengertian perkawinan tersebut dipertegas dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan "perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholidhan
untuk
mentaati
perintah,
Allah
dan
melaksanakannya
merupakan ibadah”.10 Berdasarkan penjelasan mengenai pengertian pernikahan atau perkawinan di atas dapat diketahui bahwa pernikahan merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah. Selain sebagai bentuk ketaatan, dalam pernikahan juga terkandung tujuan-tujuan yang berhubungan dengan eksistensi manusia sebagai makhluk multi dimensi seperti makhluk hukum, biologis, dan social yang memerlukan perkembangbiakan. Menurut Imam Ghazali, dalam pernikahan terkandung beberapa tujuan yang berhubungan dengan eksisrtensi manusia tersebut yang dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Memperoleh keturunan yang sah 8
Dirjend Bimbaga Islam Depag, Ilmu Fiqih, Jilid II, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana perguruan tinggi, Cet. ke-2, 1985, hlm. 49. 9 Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Pengantar Sahal Mahfudh), Yogyakarta: Gama Media, Cet. ke-1, 2001, hlm. 103. 10 Ibid.
16
2. Mencegah zina 3. Menyenangkan dan menenteramkan jiwa 4. Mengatur rumah tangga 5. Menumbuhkan usaha untuk mencari rizki yang halal memperbesar rasa tanggung jawab.11 Manfaat terbesar dalam pernikahan ialah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah dari kebinasaan, sebab seorang perempuan, apabila ia sudah menikah maka nafkahnya (biaya hidupnya) wajib ditanggung oleh suaminya. Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab kalau tidak ada pernikahan, tentu manusia akan menurunkan sifat kebinatangan, dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana dan permusuhan antar sesamanya, yang mungkin juga menimbulkan perselisihan yang dahsyat. Demikianlah maksud pernikahan yang sejati dalam Islam. Singkatnya, untuk kemaslahatan dalam rumah tangga dan keturunan, juga untuk kemaslahatan masyarakat. Sebab lain orang untuk menikah, karena menikah itu (mampu) menahan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa tidak mau manikah, maka hendaknya berpuasa, karena berpuasa bisa menjadi penawar nafsu. Dengan menikah berarti seseorang telah memelihara sebagian dari agamanya.12
11
Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, Jilid 2, Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, tt., hlm. 27. 12 Abu Asma Anshari, Etika Perkawinan, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1993, hlm.5.
17
Hukum asal pernikahan pada dasarnya sama dengan hukum asal semua perbuatan manusia, yakni mubah.13 Namun oleh karena adanya aspek-aspek yang terkandung dalam suatu pernikahan, maka kemudian hokum pernikahan dapat berubah menjadi lima hokum sesuai lima tingkatan hukum dalam Islam yaitu wajib, sunnah, haram, Makruh dan mubah. Hal ini sebagaimana diuraikan oleh Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah sebagai berikut: 14 1. Wajib Bagi orang yang sudah mampu, tidak kuat menahan nafsunya dan takut terjerumus dalam perzinaan. 2. Sunnah Bagi orang yang sudah mampu, akan tetapi dapat menahan dirinya dari perbuatan zina. 3. Haram Bagi orang yang tidak memenuhi hak-hak isteri, baik lahir maupun batin serta nafsunya tidak mendesak. 4. Makruh Bagi orang yang tidak mampu memenuhi hak-hak isteri, baik lahir maupun batin, walaupun tidak merugikan isteri. 5. Mubah Bagi orang yang tidak terdesak alasan-alasan mewajibkan atau mengharamkan untuk menikah. 13
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. Ke-1, 1996, hlm. 21. 14 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 12-14.
18
Menurut jumhur, nikah itu hukumnya Sunnah, sedangkan golongan zahiri berpendapat bahwa nikah itu hukumnya wajib.15 B. Rukun dan Syarat Nikah Suatu akad dapat terlaksana secara sah manakala telah terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Demikian pula halnya dengan akad nikah yang merupakana salah satu bentuk dari akad-akad yang ada dalam ajaran Islam. Rukun dalam pernikahan wajib terpenuhi ketika akan diadakan akad. Tidak sah akadnya jika tidak terpenuhi rukunnya. Sedangkan Jadi syaratsyarat nikah masuk pada setiap rukun nikah dan setiap rukun nikah mempunyai syarat masing-masing yang harus ada pada rukun tersebut, sehingga antara syarat-syarat dan rukun itu menjadi satu rangkaian, artinya saling terkait dan melengkapi. Akan tetapi tidak termasuk salah satu bagian dari hakikat pernikahan.16 Rukun Nikah yang harus agar dapat terlaksanakannya pernikahan meliputi: 17 1. Mempelai laki-laki 2. Mempelai perempuan 3. Wali 4. Dua orang saksi
15
Ibn Rusyd al-Qurtubi al-Andalausi, Bidayah al-Mujtahaid, Juz 4, Beirut: Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt., hlm. 197. 16 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, , Cet. ke-3, 1998, hlm70-72. 17 Zainudin Bin Abdul Aziz Al – Malibari, Fathul Mu‟in, Jilad III Kudus: Menara Kudus, 1979, hlm. 13.
19
5. Ijab dan Qobul Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam tiap rukun nikah di atas adalah sebagai berikut: 1. Mempelai laki-laki Syarat-syarat bagi mempelai laki-laki yaitu :18 a. Jelas orangnya b. Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri c. Tidak memiliki empat istri, sekalipun salah satu diantaranya berada dalam iddah raj‟iyyah d. Tidak ada hubungan mahram dengan calon istri (istri bukan muhrim yang haram dinikahi) e. Tidak ada pertalian sesusuan dengan calon istri f. Tidak ada hubungan persemendaan dengan calon istri. 2. Syarat-Syarat mempelai perempuan19 a. Dalam keadaan tidak bersuami dan tidak sedang iddah dari talak suami yang lain. b. Jelas orangnya c. Tidak ada hubungan muhram dengan calon suami d. Tidak ada pertalian susuan dengan calon suami e. Tidak ada hubungan persemendaan calon suami 3. Syarat-Syarat Wali
18 19
Ibid.., hlm. 34. Ibid., hlm. 20.
20
Dalam perkawinan, wali memegang peranan yang sangat penting, sebab perkawinan itu dilangsungkan oleh wali pihak perempuan atau wakilnya dengan calon suami, sehingga dalam perkawinan diperlukan wali dari pihak perempuan, sebab wanita tidak sah melakukan akad nikah dirinya sendiri ataupun untuk orang lain sebagaimana sabda Rasulullah saw:
Artinya: “Tiada nikah melainkan dengan adanya wali” Menurut jumhur, wali merupakan syarat sahnya nikah dan bagi wanita tidak boleh, mengawinkan dirinya sendiri.21 Adapun syarat-syarat wali adalah : 1. Beragama Islam 2. Baligh 3. Berakal 4. Merdeka 5. Laki-laki 6. Mempunyai sifat adil: Keberadaan wali dalam pernikahan sangat penting. Hal ini dapat terlihat dari perbedaan pendapat mengenai keberadaan wali sebagai legalitas pernikahan bagi seorang yang masih dalam kelompok anak. Menurut Abu Hanifah bahwa dalam pernikahan yang dilakukan pada saat 20
Abdurrahman Al-Kahlani Al-San'ani, Subulu Al-Salam, Kitabun Nikah, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, tt., hlm. 117. 21 Ibid.
21
usia anak melalui wali, anak itu apabila sudah besar boleh memilih lagi untuk menetapkan pernikahan atau memutuskannya. Sedangkan Imam Syafi‟i berpendapat bahwa tidak boleh seseorang mengawinkan anak kecil kecuali oleh bapaknya, sebab orang tua sangat mendalam rasa cinta kepada anaknya. Pendapat tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa pernikahan anak dengan wali bapaknya akan tetap menjadi dasar legalitas pernikahan serta anak tidak perlu memutuskan pilihan terhadap pernikahan yang telah dilakukannya.22 4. Saksi Menurut jumhur ulama, perkawinan yang tidak dihadiri saksi itu tidak sah. Jika ketika berlangsungnya ijab qabul itu tidak ada saksi yang menyaksikan sekalipun diumumkan kepada khalayak ramai dengan menggunakan cara lain, perkawinannya tetap tidak sah.23 Tentang syarat-syarat menjadi saksi adalah sebagai berikut: a. Beragama islam b. Laki-laki c. Baligh d. Berakal e. Mendengar f. Melihat g. Bisa berbicara h. Mengerti bahasa yang digunakan 22
Abdurrahman Al-Kahlani Al-San'ani, Subulu Al-Salam, Terj. Abu Bakar Muhammad, “Subulus Salam III”, Surabaya: Al-Ikhlas, Cet. ke-1, 1995, hlm. 433. 23 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 48.
22
i. Tidak ditentukan selaku wali 24 Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.25 5. Ijab dan Qobul Rukun yang mendasar dalam perkawinan adalah ridhanya laki-laki dan perempuan dan persetujuan keduanya untuk berkeluarga. Perasaan ridha dan setuju itu bersifat kejiwaan yang tidak dilihat dengan mata kepala. Karena itu harus ada tanda yang tegas untuk menunjukkan keamanan mengadakan ikatan suami istri. Tanda itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan akad.26 Akad nikah terdiri dari dua bagian, yaitu ijab dan qabul. Ijab ialah perkataan wali atau wakilnya, dan qabul ialah penerimaan dari pihak mempelai laki-laki atau wakilnya. Akad nikah itu tidak dapat dibenarkan dan tidak mempunyai akibat hukum yang sah apabila belum memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Adanya pernyataan menikahkan atau mengawinkan dari wali b. Adanya
pernyataan
penerimaan
dari
pernikahan tersebut.
24
Zaenuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary, op. cit., hlm. 35. Moh. Idris Ramulyo, op. cit., hlm. 75. 26 Ibid., hlm. 29. 25
mempelai
pria
akan
23
c. Antara
pernyataan
ijab
dan
Qabul
saling
bersambungan,
maksudnya tidak diselingi oleh kata lain yang tidak bersangkutan dengan akad.27 6. Mahar Dalam bahasa Indonesia kata mahar dikenal dengan maskawin. Mahar atau maskawin adalah harta pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang merupakan hak istri dan sunnah disebutkan ketika akad nikah berlangsung.28 Jadi pemberian maskawin ini adalah wajib dan sunnah disebutkan pada waktu akad nikah.29 Namun apabila maskawin itu tidak disebutkan dalam akad nikah, maka wajib membayar maskawin yang pantas (mahar mitsil).30 C. Perkawinan Wanita Hamil dan Khilafiyah Ulama Al-Qur'an dan al-Hadits telah memberikan petunjuk dengan jelas mengenai wanita yang boleh dinikahi dan yang dilarang, baik larangan yang bersifat sementara maupun larangan yang bersifat selama-lamanya. Dan wanita yang sedang hamil itu secara umum termasuk wanita yang diharamkan untuk dinikahi dalam waktu yang sementara. Jika sebab yang menghalangi itu sudah tidak ada maka barulah boleh menikah. Akan tetapi wanita hamil ini masih dapat diperinci lagi sehingga ada juga yang membolehkan untuk
27
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary, op. cit., hlm. 14. Dirjend Bimbaga Islam Depag, op. cit., hlm. 109. 29 Ibid., hlm. 110. 30 Ibid., hlm. 114. 28
24
menikahinya disaat kehamilan. Misalnya wanita hamil karena zina walaupun ini masih Ikhtilaf. Dalam hal ini penulis sajikan tentang macam-macam wanita hamil yaitu sebagai berikut : 1. Wanita hamil yang sedang bersuami 2. Wanita hamil yang telah diceraikan oleh suaminya 3. Wanita hamil yang ditinggal mati suaminya 4. Wanita hamil yang diakibatkan karena wati syubhat 5. Wanita hamil karena zina Berikut ini adalah keterangan mengenai wanita-wanita hamil tersebut 1. Wanita hamil yang sedang bersuami Wanita hamil ini tidak boleh menikah sama sekali karena dia mempunyai suami, dan agama Islam melarang keras adanya poliandri, yaitu seorang istri bersuami lebih dari satu. Sebagaimana dalam firman Allah SWT. (Q.S. an-Nisa: 24).
Artinya : Juga dilarang bagimu mengawali wanita yang bersuami, kecuali budak wanita yang kamu kuasai (dalam peperangan). Itulah ketetapan Allah bagi kamu sekalian. Di luar itu kamu diperbolehkan, mencari isteri dengan hartamu, tanpa bermaksud zina atau menyeleweng. Isteri–isteri yang telah kamu gauli, berilah maskawin, sebagaimana yang ditentukan. Tidak masalah bagi kamu, terhadap sesuatu yang telah disetujui bersama sesudah
25
maskawin ditentukan. Sungguh Allah Maha tahu lagi Maha bijaksana.31 2. Wanita hamil yang telah diceraikan oleh suaminya Wanita hamil ini boleh dinikahi oleh laki-laki lain asal iddahnya sudah selesai yaitu sampai ia melahirkan anaknya, meskipun dalam beberapa hari saja.
Sebagaimana firman Allah SWT (Q.S. at-Talaq: 4)
Artinya :Perempuan yang tidak lagi haid dari istri – istrimu, jika kamu ragu, idah mereka tiga bulan, juga bagi mereka yang belum haid, adapun mereka yang hamil idahnya sampai melahirkan kandungannya. Siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan memudahkan segala persoalan.32
3. Wanita hamil yang ditinggal mati suaminya Madzhab empat berpendapat bahwa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan bayinya. Sekalipun hanya beberapa saat dia ditinggal mati oleh suaminya dia sudah boleh menikah lagi sesudah lepas dari kehamilannya.33
31
Departemen Agama Republik Indonesia, op. cit., hlm. 120-121. Ibid., hlm. 946. 33 Abu Bakar Muhammad, op. cit., hlm. 711. 32
26
Namun Madzhab Imamiyah berpendapat lain. Menurutnya iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah iddah paling panjang diantara waktu melahirkan dan 4 bulan 10 hari. 4. Wanita hamil yang diakibatkan karena wati syubhat Imam Maliki, Hanafi, dan Imamiyah berpendapat bahwa wanita hamil yang dicampuri secara syubhat, maka iddahnya sampai ia melahirkan.34 5. Wanita hamil karena zina Hukum menikahkan wanita hamil ini masih ada perbedaan pendapat. Ada yang membolehkan dan ada juga yang tidak membolehkan. Ulama yang membolehkan diantaranya adalah Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah. Mereka membolehkan akadnya akan tetapi terjadi perbedaan dalam hal persetubuhan. Menurut Imam Syafi'i, boleh bersetubuh dengannya tanpa menunggu istibra'. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, tidak boleh bersetubuh tanpa menunggu istibra',
35
adapun imam
Malik untuk menikahinya mensyaratkan istbra'. Sedangkan imam Ahmad berpendapat tidak boleh menikahinya kecuali dengan dua syarat yaitu taubat dan istibra'.36 Dalam Kompilasi Hukum Islam dikatakan bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina bila yang menikahi wanita itu laki-laki yang menghamilinya. Bila yang menikahinya bukan laki-laki yang menghamilinya, hukumnya menjadi tidak sah, karena pasal 53 ayat 1 KHI 34
Ibid., hlm. 714. Muhyiddin, op. cit., hlm. 65-66. 36 Ibid., hlm.67. 35
27
tidak memberi peluang untuk itu. Kompilasi Hukum Islam membatasi pernikahan wanita hamil hanya dengan pria yang menghamilinya, tidak memberi peluang kepada laki-laki lain yang tidak menghamilinya. Karena itu kawin darurat yang selama ini masih terjadi di Indonesia, yaitu kawin dengan sembarang laki-laki yang dilakukannya hanya untuk menutupi malu karena sudah terlanjur hamil, sama dengan pendapat Imam Hanafi.37 Menurut Imam Syafi'i wanita hamil akibat zina boleh menikah dengan pria yang bukan menghamilinya, dengan alasan, karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita yang diharamkan untuk dinikahi termasuk halal (boleh) untuk disetubuhi walaupun ia dalam keadaan hamil.38 D. Saddu al-Dzrai’at 1. Pengertian Kata sadd adz-dzari‟ah ( )سد الذريعةmerupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (ُ ) سَدdan adz-dzari‟ah ()الذَرِيْعَة. Secara etimologis, kata as-sadd (ُ )الّسَدmerupakan kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَ َيّسُدُ سَدًا. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang.39 Sedangkan adzdzari‟ah ( )الذَرِيْعَةmerupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti
37
Memed Humaedillah, op. cit., hlm. 40. Ibid., hlm. 36. 39 Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, Beirut: Dar Shadir, tt, juz 3, hlm. 207. Lihat juga dalam Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 160-170 dan Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari‟ah, Jakarta: Rabbani Press, 2008, hlm. 257-258. 38
28
jalan, sarana (wasilah)40 dan sebab terjadinya sesuatu.41 Bentuk jamak dari adz-dzari‟ah ( )الذَرِيْعَةadalah adz-dzara‟i ()الذَرَائِع.42 Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara‟i.43
Pada awalnya, kata adz-adzari‟ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A‟rabi, kata adz-dzari‟ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.44
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari‟ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari‟ah adalah
40
Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, loc. cit., Juz 8, hlm. 93 Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad bin Abd ar-Razzaq al-Husaini (al-Murtadha az-Zabidi), Taj al-Arus fi Jawahir al-Qamus, juz 1, hlm 5219 dalam Kitab Digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09. 42 Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, loc. cit. 43 Syihab ad-Din Abu al-Abbas al-Qarafi, Tanqih al-Fushul fi „Ilm al-Ushul, dalam Kitab Digital al-Marji‟ al-Akbar li at-Turats al-Islami, Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt. 44 Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, loc. cit. 41
29
masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).45
Dalam karyanya al-Muwafaqot, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari‟ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu‟).46 Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari‟ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.47 Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan. 48
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari‟ah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari‟ah yang pada sesuatu yang pada awalnya memang dilarang.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adzdzari‟ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu 45
Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min „Ilm alUshul, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994, hlm 295. 46 Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Dara l-Ma‟rifah, tt., juz 3, hlm 257-258. 47 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami, Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1986, hlm 347. 48 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A‟lam al-Muqi‟in, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1996, juz 2, hlm 103.
30
yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang. 2. Dasar Hukum •
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. al-An‟am: 108). Pada ayat di atas, mencaci maki Tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari‟ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki Tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd adzdzari‟ah). • •
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa‟ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “Dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. (QS. al-Baqarah: 104). Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa „ina ( )رَاعِنَاberarti:
31
“Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata raa‟inan ( )رَعِنًاsebagai bentuk isim fail dari masdar kata ru‟unah (عوْنَاة ُ ُ )رyang berarti bodoh atau tolol.49 Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata raa‟ina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa‟ina. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd adzdzari‟ah.50 Selain dari al-Qur‟an, dasar hukum mengenai saddu al-dzari‟at juga dapat diketemukan dalam hadits sebagai berikut:
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.”51
49
Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimi ar-Razi, Mafatih al-Ghaib (Tafsir ar-Razi), juz 2, hlm. 261 dalam Kitab Digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09. 50 Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami‟ li Ahkam alQur‟an, juz 2, hlm. 56 dalam ibid. 51 Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja‟fi, al-Jami‟ ash-Shahih alMukhtashar, Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987, juz 5, hlm 2228.
32
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd adz-dzari‟ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd adz-dzari‟ah.52
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari‟ah adalah:
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah).53 Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd adz-dzari‟ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-dzari‟ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari. 3. Klasifikasi Dzari‟at
Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari‟ah menjadi empat macam, yaitu:54
a. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras
52
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Ma‟rifah, tt., juz 2, hlm 360. 53 Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt, hlm 176. 54 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, op. cit., hlm. 104.
33
yang
bisa
mengakibatkan
mabuk
dan
perbuatan
zina
yang
menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan. b. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (attahlil). Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba. c. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik. d. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asySyatibi membagi adz-dzari‟ah menjadi tiga macam, yaitu:
34
a. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga. b. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan orang. c. Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.55
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa saddu aldzari‟at dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Secara kualitas mafsadat Dilihat dari segi kualitas mafsadatnya, sadd al-dzari‟ah dapat dibedakan menjadi dua, yakni perbuatan yang membawa kepada kemafsadatan secara pasti dan perbuatan yang biasanya atau kemungkinan besar membawa kepada kemafsadatan.
55
Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa‟ al-Furuq, juz 6, hlm 319 dalam Kitab Digital alMaktabah; asy-Syathibi, op. cit., juz 2, hlm 390.
35
b. Mafsadat yang ditimbulkannya Dilihat dari jenis mafsadatnya, maka sadd al-dzari‟ah dapat dibedakan menjadi dua, yakni mafsadat yang dihasilkan dari perbuatan yang memang membawa mafsadat secara asalnya seperti minum minuman keras dan mafsadat yang timbul dari perbuatan yang pada asalnya merupakan perbuatan yang baik. 4. Cara Menentukan Saddu al-Dzari‟at Guna menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena ia bisa menjadi sarana (adz-dzariah) terjadinya suatu perbuatan lain yang dilarang, maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu: 56 a. Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu perbuatan, apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang dihalalkan atau diharamkan. Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat bahwa seseorang yang hendak menikahi seorang janda perempuan talak tiga adalah karena sekedar untuk menghalalkan si perempuan untuk dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu harus dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan tujuan pernikahan yang digariskan syara‟ yaitu demi membina keluarga yang langgeng. b. Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari
56
879-880.
Lihat, Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986, hlm
36
suatu perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka perbuatan itu harus dicegah. Menurut Imam al-Syathibi, terdapat tiga syarat sebuah perbuatan dapat menjadi perbuatan yang harus dilarang atau dicegah, yaitu: a. Perbuatan yang boleh dilakukan yang membawa atau menghasilkan mafsadat. b. Kemafsadatan lebih kuat dari kemaslahatan pekerjaan c. Dalam hal perbuatan yang dibolehkan, unsur mafsadatnya lebih banyak.
BAB III KAWIN HAMIL DALAM PASAL 53 KHI A. Sejarah KHI Berbicara masalah sejarah KHI tidak terlepas dari pengadilan agama, karena pengadilan agama merupakan lembaga social yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara yang diajukan oleh orang yang merasakan dirugikan haknya oleh orang lain kepadanya (Pasal 49 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama). Sebelum terbentuknya Kompilasi Hukum Indonesia terjadi perubahan penting dan mendasar yang telah terjadi dalam linkungan Pengadilan Agama dengan disyahkannya RUU-PA menjadi UU No 7 Tahun 1989,yang diajukan oleh menteri Agama Munawir Sjadzali ke sidang DPR.di antara isinya sebagai berikut : 1. Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri,kedudukanya benarbenar telah sejajar dan sederajat dengan peradilan umum,peradilam militer,dan peradilan tata usaha negara. 2. Nama,susunan,wewenang (kekuasaan) dan hukum acaranya telah sama dan seragam di seluruh Indonesia.Terciptanya unifikasi hukum acara peradilan agama akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan peradilan agama. 3. Perlindungan kepada wanita telah ditingkatkan dengan jalan antara lain,memberikan hak yang sama kepada istri dalam proses dan membela kepentingannya di muka peradilan agama.
37
38
4. Lebih memantapkan upaya penggalian berrbagai asas dan kaidah hukum Islam sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembinaan hukum nasional melalui yurispondensi. 5. Terlaksananya
ketentuan-ketentuan
dalam
Undang-undang
Pokok
Kekuasaan Kehakiman (1970). 6. Terselengaranya pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara yang sekaligus berwawasan Bhineka Tunggal Ika dalam bentuk Undangundang Peradilam Agama.1 Namun keberhasilan umat Islam Indonesia (menteri Agama,ulama) dalam menggolkan RUU PA menjadi Undang-undang Peradilan Agama No.7 Tahun 1989,tidaklah berarti persoalan yang berkaitan dengan implementasi hukum Islam di Indonesia menjadi selesai.Ternyata muncul persoalam krusial yang berkenaan dengan tidak adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama.Secara material memang telah ditetapkan 13
kitab yang dijadikan
rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafi’i.2 Akan tetapi tetap saja menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan hakim.
1
Muhammad Daud Ali, “Hukum Islam:Peradilan Agama dan Masalahnya” dalam, Hukum Islam di Indonesia:Pemikiran dan Praktik, Tjun Suryaman (ed), Bandung: Rosadakarya,1991, hlm. 84. 2 Lihat,Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama,1993/1994,h.129-130.
39
Berangkat dari realitas ini keinginan untuk meyusun “kitab hukum islam” dalam membentuk kompilasi dirasakan semakin mendesak.Penyusunan Kompilasi ini bukan saja didasarkan pada kebutuhan adanya keseragaman referensi keputusan hukum PA di Indonesia,tetapi juga disadarkan pada keharusan terpenuhinya perangkat-perangkat sebuah Peradilan yaitu kitab materi hukum Islam yang digunakan di lembaga Peradilan tersebut. 3 KHI merupakan salah satu hukum materiil yang dipergunakan di peradilan agama. KHI muncul ketika beraneka ragam putusan pengadilan agama, antara peradilan agama yang satu dengan peradilan agama yang lain berbeda, bahkan tidak jarang pula dalam kasus yang sama putusan juga bebeda-beda. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kitab rujukan yang dipergunakan oleh hakim agama dalam mengadili perkara tersebut yang masih mentah dalam dalam kitab kuning. Memang ia kita pernah pernah mendengar istilah different djude different statement (lain hakim lain putusannya, namun perbedaannya sangat mutlak terjadi dan jauh sekali perbedaannya antara satu putusan peradilan agama denga putusan peradilan agama yang lain. Oleh karena itu, berdasarkan surat edaran biro peradilan agama no. 45/1957 tentang pembentukan pengadilan agama untuk menggunakan 13 kitab kuning sebagai
3
Munawir Sjadzali pernah menyatakan bahwa ada keanehan di Indonesia berkenaan dengan implementasi hokum Islam. Peradilan Agama sudah berusia sangat lama namun hakimnya tidak memiliki standard yang dapat dijadikan rujukan yang sama seperti halnya KHUP. Ini berakibat jika hakim agama menghadapi kasus yang harus diadili maka rujukannya adalah berbagai kitab fikih tanpa suatu standarisasi atau keseragaman. Akibatnya, secara praktis, kasus yang sama dapat melahirkan keputusan yang berbeda jika di tangan hakim yang berbeda. Lihat, Munawir Sjadzali, ”Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam”, dalam, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,DadanMuttaqinet.al (ed), Yogjakarta: UII Press,1999, hlm. 2.
40
pedoman dalam pengambilan keputusan. Kitab-kitab terssebut antara lain sebagai berikut : a. Al-bajuri Fathul mu’in
b.
c. Syarqawi ‘alat tahrir d. Qalyubi/almahalli e. Fathul wahhab dengan syarahnya f. Tuffah g. Targhibul musytaghfirin h. Qawanin syar’iyah lissayyid bin yahya i. Qawanin syar’iyyah lissayyid sadaqah dachlan j. Al-fiqhu ‘ala mazhabi ar-ba’ah k. Syamsuri fil-fara’idh l. Bughyatul musytarsidin m. Mugni al-muhtaj4 Pencetus utama dalam proyek pembentukan KHI diketuai oleh Bustanul Arifin dengan beberapa alasan, antara lain sebagai berikut : a. Harus ada ketentuan hukum yang tegas, agar tercapainya keadilan dalam masyarakat dan tidak melukai keadilan bagi orang pencari keadilan. b. Untuk menyeragamkan hukum islam yang masih bersimpang siur dalam kitab-kitab kuning.
4
Busthanul Arifin, "Pelaksanaan Kompilasi Hukum Islam", pidato penyerahan 3 buku Kompilasi Hukum Islam kepada Menteri Agama dan Ketua Mahkamah Agung R.I., Jakarta tanggal 26 Desember 1987.
41
c. Karena melahat negara lain yang sudah mengkodifikasi kitab undangundang hukum Islam.5 Untuk menjalankan proyek pembentukan KHI, dibentuklah tim pelaksana proyek tersebut yang diketuai oleh Bustanul Arifin berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua MA RI dan Menteri Agama RI no. 7/KMA/1985 dan No.25 tahun 1985 (25 Maret 1985). Dengan kerja keras Bustanul Arifin untuk membentuk KHI maka keluarlah Intruksi Presiden No.1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama RI untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari tiga buku, yaitu :6 1.
Buku I tentang perkawinan, terdiri dari 170 pasal
2.
Buku II tentang kewarisan, terdiri dari 44 pasal, dan
3.
Buku III tentang perwakafan, terdiri dari 15 pasal
B. Corak Fiqh KHI Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil ijtihad dari para ulama. Kehadiran KHI merupakan jawaban atas kebutuhan kesesuaian hukum Islam dengan keadaan yang ada di masyarakat. Itu adalah gambaran ideal keberadaan KHI dalam pandangan hukum Islam. Formulasi hukum “tambahan” sebagai penjelas hukum Islam yang ada dalam al-Qur’an dan alHadits menjadi sebuah keniscayaan karena pada dasarnya dalam kedua sumber hukum tersebut masih terdapat ketentuan-ketentuan yang masih umum sehingga diperlukan penjelasan yang lebih detail maupun penambahan
5
Ibid
6
http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=603267
42
pembahasan dan penjelasan mengenai masalah-masalah yang belum diatur dalam kedua sumber hukum tersebut. Namun di sisi lain pada kenyataannya KHI hadir lebih cenderung karena kebutuhan landasan hukum bagi Lembaga peradilan Agama di Indonesia. Hal itu dikuatkan dengan realita bahwa pada saat itu lembaga Peradilan
Agama
memang
sedang
membutuhkan
payung
legalitas
operasionalnya. Untuk itu kemudian dibentuklah tim yang bertugas untuk membahas rumusan hukum yang menjadi landasan operasional Peradilan Agama. Selain dari aspek pembentukan, dalam corak fiqih, ada beberapa catatan mengenai kedudukan KHI jika ditinjau dari aspek fiqih. Fiqh yang memiliki pengertian sebagai bentuk hasil “ijtihad” sebagai jembatan antara penerapan syari’at dalam realitas sosial.7 Dalam hal ini, penyusunan sebuah kitab fiqh tidak dapat dipisahkan dari dua sumber utama dalam hukum Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadits. Kemudian dalam penyusunan KHI yang dijadikan sebagai acuan penyusunannya adalah kitab-kitab karya ulama serta menyertakan kedua sumber utama hukum Islam. Alasan dijadikannya kitabkitab karya ulama (kitab kuning) sebagai rujukan utama dalam penyusunan KHI lebih dikarenakan fenomena perbedaan ulama dalam menyelesaikan kasus-kasus perdata Islam yang lebih mendasarkan pada kitab kuning. Sehingga dengan adanya penyatuan pendapat ulama dalam rangka membentuk
7
Muhammad Ali Daud, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta Rajawali Pres, Hal, 98
43
hukum Islam di Indonesia tersebut diharapkan dapat menjadi media penyatuan pendapat ulama mengenai sumber pijakan pemutusan masalah perdata Islam.8 Idealnya, perbedaan cara pandang ulama yang didasari perbedaan acuan kitab kuning tidak lantas menjadi alasan dijadikannya kitab-kitab kuning sebagai rujukan tunggal. Bahkan sebaliknya permasalahan tersebut harus dikembalikan pada dasar hukum Islam. Hal ini juga sesuai dengan kaidah ijtihad dalam hukum Islam.9 Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kelahiran KHI bukan dilandasi oleh kebutuhan akan jawaban terhadap permasalahan umat terkait dengan problematika kehidupan, melainkan hanya disandarkan pada upaya agar tidak terjadi “perpecahan” pendapat ulama. Selain itu, lebih lanjut, KHI juga tidak dapat secara murni disebut sebagai fiqh karena lebih identik sebagai integrasi nasionalisme dalam hukum Islam. C. Deskripsi Pasal 53 KHI Pasal 53 merupakan pasal yang isinya menjelaskan tentang kebolehan wanita yang hamil sebelum kawin untuk melaksanakan perkawinan. Selain mengenai kebolehan tersebut, dalam Pasal 53 KHI juga terkandung ketentuanketentuan tentang prosedur perkawinan wanita hamil. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam Pasal 53 KHI berikut ini: (1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
8
Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial Kultural, Jakarta: Lantabora Press, 2004, hlm 120. 9 Ibid.
44
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Dari bunyi pasal di atas dapat dijelaskan ketentuan dalam KHI Pasal 53 sebagai berikut:10 a. Perkawinan wanita hamil diperbolehkan kepada siapa saja wanita yang dalam keadaan hamil tanpa ada ketentuan sebab-sebab kehamilannya. Maksudnya, apapun yang menyebabkan kehamilan wanita sebelum perkawinan yang sah dapat menjadi syarat kebolehan perkawinan wanita hamil selama memenuhi syarat perkawinan. Kehamilan wanita yang terjadi akibat perkosaan, wati’ syubhat, maupun perzinaan diperbolehkan terjadinya perkawinan wanita hamil. Jadi meskipun kehamilan tersebut karena adanya perbuatan zina yang dilakukan secara sengaja dan tidak ada syubhat di dalamnya, tetap saja wanita yang hamil itu dapat dinikahkan. b. Perkawinan wanita hamil dapat dilakukan hanya dengan laki-laki yang menghamilinya. Maksudnya, menurut isi Pasal 53 orang yang berhak mengawini wanita yang hamil adalah orang yang menghamilinya. Artinya, secara tidak langsung wanita hamil tidak boleh kawin dengan orang yang tidak menghamilinya. c. Perkawinan wanita hamil dilaksanakan tanpa adanya pelaksanaan had terlebih dahulu manakala kehamilan disebabkan oleh perzinaan yang
10
Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) ibid
45
disengaja dan jelas. Maksudnya, meskipun dalam al-Qur’an dan al-Hadits disebutkan hukuman bagi pezina, hukuman tersebut tidak perlu dilakukan sebelum perkawinan. d. Perkawinan wanita hamil dapat dilaksanakan tanpa menunggu kelahiran anak dalam kandungan. Maksudnya, apabila telah diketahui kehamilan seorang wanita di luar nikah dan juga diketahui laki-laki yang harus bertanggung jawab, maka wanita tersebut dapat langsung dikawinkan meskipun umur janin dalam kandung sudah mendekati masa kelahiran. e. Perkawinan yang telah dilaksanakan tersebut sudah menjadi perkawinan yang sah dan tidak perlu adanya pengulangan nikah. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan wanita hamil memiliki legalitas dalam lingkup hukum positif. D. Pendapat Ulama Indonesia tentang Pasal 53 KHI Pendapat ulama yang dipaparkan dalam bagian ini adalah pendapat ulama yang menjadi bahan penelitian. Sepanjang penelusuran penulis, terdapat dua penelitian yang telah meneliti pendapat ulama mengenai keberadaan Pasal 53 KHI. Penelitian pertama, yakni penelitian yang dilakukan oleh Fitrotus Salamah, mahasiswi Universitas Brawijaya yang meneliti pendapat ulama Pesantren Hidayatul Mubtadi’ien Lirboyo Kediri. Berdasarkan hasil penelitian, perkawinan perempuan yang hamil di luar nikah merupakan perkawinan yang sah selama tidak ada hal-hal yang menghalangi secara syara’ seperti adanya hubungan darah antara suami istri. Pasal ini sah digunakan sebagai dasar dalam memperbolehkan seorang
46
perempuan yang hamil di luar nikah untuk melangsungkan perkawinan. Namun pasal ini tidak boleh digunakan sebagai dasar untuk memberikan status hukum sebagai anak sah dari kedua orang tuanya bagi anak yang ada dalam kandungan perempuan tersebut. Anak yang ada dalam kandungan itu ketika lahir merupakan anak sah tetapi dia hanya memiliki hubungan hukum dan hubungan nasab dengan ibu dan kerabat ibunya. Status hukum anak yang ada dalam kandungan tersebut bukan merupakan anak sah dari kedua orangtuanya meskipun ia lahir dalam perkawinan yang sah, hal ini dikarenakan anak tersebut telah ada sebelum terjadinya akad perkawinan antara ibu dan suaminya atau anak tersebut lahir akibat perbuatan zina. Tetapi anak tersebut adalah anak sah yang hanya memiliki hubungan hukum dan hubungan nasab dengan ibu dan kerabat dari ibunya. Status hukum ini juga mengakibatkan segala hak dan kewajiban anak hanya menjadi tanggungan ibu dan kerabat ibunya. Hak waris merupakan salah satu hak yang diperoleh dari seorang anak dari kedua orangtuanya. Anak yang lahir dari perbuatan zina hanya memiliki hubungan hukum dan hubungan nasab dengan ibu dan kerabat dari ibunya sehingga ia hanya memiliki hak waris dengan ibu dan kerabat dari ibunya.11 Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Laeli Nurma’ani, mahasiswi Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo yang meneliti tentang pendapat ulama Kota Semarang tentang Pasal 53 KHI. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama Kota 11
Fitrotus Salamah, Pendapat Ulama Terhadap Pasal 53 Ayat (1) dan Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam Relevansinya Dengan Hak Waris Anak, Skripsi S-1, Surabaya: Unibraw, 2011, tidak diterbitkan
47
Semarang mengenai keberadaan Pasal 53 KHI sebagai legalitas kawin hamil. Kelompok pertama adalah ulama Kota Semarang yang membolehkan pernikahan wanita hamil secara mutlak, tetapi mereka membatasi perkawinan wanita hamil hanya dengan pria yang menghamilinya saja. Dengan alasan bahwa wanita hamil akibat zina tidak termasuk ke dalam golongan wanitawanita yang haram untuk dinikahi sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an (An-Nisa’ 22, 23, 24). Kelompok kedua adalah ulama Kota Semarang yang sependapat dengan Pasal 53 KHI tetapi hanya untuk sementara Mereka beralasan bahwa Pasal 53 KHI hanya sebagai pintu darurat saja yang mengakomodir fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat dan untuk menjaga kemaslahatan bersama, pasal ini bukan dijadikan sebagai payung hukum. Dan seandainya pasal ini terus diberlakukan, maka kita sama dengan melegalkan suatu perbuatan yang kemudian menjadi kebiasaan. Kelompok ketiga adalah ulama Kota Semarang yang menolak adanya pernikahan wanita hamil karena zina, dengasn alasan bahwa wanita yang berzina, baik atas dasar suka sama suka maupun karena diperkosa, hamil atau tidak, ia wajib istibra: (masa menunggu untuk mengetahui bersihnya rahim).12 Berdasarkan penjelasan di atas dapat dimengerti bahwa keberadaan Pasal 53 KHI tentang kawin hamil belum memunculkan persatuan pendapat yang sama tentang pasal tersebut. Dari pemaparan di atas, paling tidak terdapat empat klasifikasi pandangan ulama mengenai keberadaan Pasal 53 KHI yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 12
Laeli Nurma’ani, Pendapat Ulama Kota Semarang tentang Pasal 53 KHI, Skripsi S-1, Semarang: IAIN Walisongo Semarang, 2011, Tidak diterbitkan.
48
1. Menerima Pasal 53 KHI sebagai aspek legalitas perkawinan hamil tetapi tidak menerimanya sebagai legalitas hubungan nasab anak dalam kandungan dengan lelaki yang mengawini ibunya saat telah hamil. Hal ini didasari oleh keadaan keberadaan anak dalam kandungan yang ada sebelum adanya perkawinan sehingga dianggap sebagai anak di luar perkawinan yang secara otomatis dalam hokum Islam tidak memiliki hak nasab dengan ayahnya (lelaki yang mengawini ibunya saat telah hamil). 2. Menerima keberadaan Pasal 53 KHI sebagai legalitas kawin hamil sekaligus legalitas hubungan nasab anak dalam kandungan dengan lelaki yang mengawini ibunya setelah terjadi kehamilan. 3. Menerima keberadaan Pasal 53 KHI namun hanya pada aspek darurat saja. Dalam hal ini menurut mereka, Pasal 53 KHI tidak boleh digunakan secara sembarangan. Penggunaan Pasal 53 KHI perlu pertimbangan yang teliti sehingga tidak terjadi penyalahgunaan hokum. 4. Menolak keberadaan Pasal 53 KHI sebagai legalitas kawin hamil serta legalitas nasab anak dalam kandungan dengan lelaki yang mengawini ibunya setelah kehamilan.
BAB IV PASAL 53 KHI DALAM PERSPEKTIF SADDU AL-DZARI’AT
A. Korelasi Pasal 53 KHI dengan Saddu al-Dzari’at Keberadaan hukum secara umum bertujuan untuk menjaga stabilitas ketentraman dan kebahagiaan hidup umat manusia. Intinya adalah terciptanya suatu kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia, sehingga dapat beraktifitas dengan sebaik-baiknya, baik dalam konteks sebagai makhluk social maupun makhluk beragama. Hal ini secara tidak langsung juga mengindikasikan bahwa kehadiran hukum adalah untuk menjaga agar tidak terjadi suatu kerusakan atau mafsadat dalam kehidupan manusia. Kemaslahatan manusia menurut Islam dibedakan sekaligus sebagai rangkaian urut dalam tiga kelompok, yakni kebutuhan pokok (dlaruriyat), kebutuhan sekunder (hajiyat) dan kebutuhan pelengkap (tahsiniyat).1 Kebutuhan pokok (dlaruriyat) manusia meliputi kebutuhan manusia terhadap lima perkara yakni agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta benda. Kelima kebutuhan ini merupakan satu rangkaian urutan yang memiliki kualitas berdasarkan urutannya. Maksudnya, dari kelima kebutuhan pokok manusia itu, yang paling utama adalah kebutuhan agama. Hal ini tidak berlebihan karena pada dasarnya penciptaan manusia tidak lain adalah untuk melakukan peribadatan kepada Allah. Sedangkan kebutuhan pokok lainnya
1
Pembedaan ini dapat dilihat dalam Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1991, hlm. 329-330.
49
50
adalah sebagai penunjang dan sarana manusia dalam mewujudkan dan menjaga kebutuhan pokok yang utama.2 Kebutuhan sekunder manusia (hajiyat) secara prinsipil adalah segala sesuatu
kebutuhan
yang dapat
menghilangkan
kesempitan
manusia,
meringankan beban yang menyulitkan mereka, dan memudahkan jalan muamalah dan mubadalah bagi mereka.3 Sedangkan kebutuhan pelengkap manusia berhubungan dengan segala kebutuhan yang dapat memperindah atau memperelok keadaan manusia.4 Ketiga kebutuhan manusia tersebut, sebagaimana telah disebutkan di atas, merupakan tatanan kebutuhan yang bertingkat. Artinya, masing-masing kebutuhan memiliki nilai penting sesuai dengan kualitas kebutuhan tersebut. Secara lebih jelasnya, kebutuhan pokok merupakan kebutuhan utama manusia, sehingga dalam memenuhi kebutuhan sekunder bagi kehidupan manusia tidak diperbolehkan melanggar ketentuan kebutuhan pokok terkecuali terdapat ketentuan atau syarat yang diperbolehkan. Misalnya adalah ketika manusia terdampar di dalam hutan dan tidak ada bahan makanan selain binatang babi. Pada dasarnya memakan binatang babi adalah haram dalam agama Islam, namun karena untuk menghilangkan kesempitan dan kesulitan manusia serta untuk menjaga jiwanya, maka hal itu diperbolehkan karena Allah sendiri telah memberikan ruang keringanan terhadap permasalahan tersebut sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Baqarah ayat 185:
2
Ibid., hlm. 334. Ibid., hlm. 333-336. 4 Ibid., hlm. 339-340. 3
51
Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Apabila ditinjau dari segi maslahat dan mafsadat, ada beberapa catatan analisa mengenai Pasal 53 KHI yang dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Sudut pandang maslahat Dari sudut pandang maslahat, ada beberapa hal yang dapat dikategorikan sebagai kemaslahatan yang terkandung dalam Pasal 53 KHI. Beberapa kemaslahatan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Perlindungan terhadap hak nasab anak Perlindungan hak nasab anak ini berhubungan dengan ketentuan Islam yang menyebutkan bahwa anak yang tidak lahir dalam perkawinan yang sah maka dia bukan merupakan anak sah dan tidak berhak atas nasab ayahnya. Dengan tidak adanya hak nasab kepada
52
ayah, maka anak tersebut tidak akan dapat menjadi pewaris segala sesuatu yang berkaitan dengan ayahnya. Selain itu, jika anak tersebut tidak memiliki nasab kepada ayahnya, maka dalam aspek administrasi di Indonesia akan mengalami kesulitan. Hal ini dikarenakan di Indonesia masih menggunakan jalinan nasab dari ayah sebagaimana Islam juga menggunakannya. Dengan demikian, keberadaan Pasal 53 KHI yang membolehkan perkawinan wanita hamil akan dapat menjadi sarana bagi anak yang berada dalam kandungan untuk mendapatkan hak nasab ayahnya. Hal ini juga dikuatkan dengan ketentuan tentang lelaki yang boleh mengawini adalah lelaki yang telah menghamilinya. 2) Perlindungan terhadap kehormatan Kehormatan merupakan salah satu aspek kebutuhan pokok manusia menurut ajaran Islam. Wanita hamil di luar nikah yang tidak segera
dikawinkan
dengan
orang
yang
menghamilinya
akan
berdampak pada hilangnya kehormatan diri dan keluarganya. Hal ini tidak berlebihan karena dalam konteks budaya Indonesia, yang cenderung pada budaya moralitas ketimuran, wanita hamil di luar nikah yang tidak segera kawin dianggap sebagai sebuah hal yang tabu. Pandangan-pandangan negatif akan dapat muncul dari keadaan yang dialami oleh wanita. Pandangan tersebut tidak hanya menyangkut diri wanita saja tetapi juga menyangkut harga diri keluarga si wanita.
53
Oleh sebab itu, dengan adanya Pasal 53 KHI ini akan dapat menjadi sarana untuk menjaga kehormatan wanita dan keluarganya setelah adanya kejadian yang berpeluang meruntuhkan kehormatan, yakni hamil di luar nikah. Hal ini juga diperkuat dengan aspek kesegeraan perkawinan yang tanpa harus menunggu masa kelahiran anak dalam kandungan. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa kemaslahatan yang terkandung dalam Pasal 53 KHI cenderung berhubungan dengan kepentingan manusia dalam menghilangkan kesulitan atau kesempitan yang melandanya. b. Sudut pandang mafsadat Dari sudut pandang mafsadat, ada beberapa hal yang dapat memunculkan mafsadat (kerusakan) dalam Pasal 53 KHI. Mafsadat yang berpeluang muncul tersebut adalah berhubungan dengan pelaksanaan perintah Allah tentang zina. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa zina merupakan salah satu perbuatan yang sangat dilarang oleh Allah dan dalam konteks hukum pidana Islam termasuk salah satu perbuatan yang dikenakan hukuman had. Larangan Allah mengenai zina dapat diketemukan dalam Q.S. alIsra’ ayat 32 sebagai berikut:
54
Artinya: "Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan". (Q.S. Al-Isra: 32).5 Selain larangan zina, Allah juga memberikan penjelasan mengenai ketentuan bagi para pezina. Hal ini seolah-olah terdapat satu pertentangan sekaligus juga mengindikasikan adanya kemurahan Allah. Pertentangan tersebut terletak pada adanya perbuatan yang dilarang Allah pada satu sisi namun di sisi lain seakan-akan Allah memberikan kemurahan berupa ampunan kepada pelaku zina dengan membolehkan perkawinan antar pezina. Namun demikian, jika kedua dalil di atas dipadukan dengan ketentuan hukuman bagi pelaku zina, maka tidak akan ada anggapan adanya pertentangan dalil yang dilakukan oleh Allah. Berikut ini adalah dalil yang berhubungan dengan hukuman yang ditentukan Allah terkait dengan pezina:
Artinya: "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah betas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur: 2)."6
5
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 429. Depag RI, Ibid., hlm. 543.
6
55
7
)
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Bisri bin Umar Zahroniy dari Hammad bin Salamah dari Qatadah dari al-Hasan dari Khittan bin Abdullah dari Ubadah bin Ash-Shamit, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda Allah telah memberikan jalan ke luar bagi mereka (pezina), jejaka dengan gadis, hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dengan janda, hukumannya dera seratus kali dan rajam". Kedua dalil di atas menunjukkan bahwa setiap pezina diberikan hukuman yang berbeda sesuai dengan status perkawinan yang disandang oleh pezina. Apabila pezina belum menikah (ghairu muhsan) dan telah menjalani hukumannya, maka dia dapat melaksanakan perkawinan. Namun jika pelaku zina adalah orang yang telah menikah, maka sangat tidak mungkin dia akan dapat melaksanakan perkawinan karena hukuman yang disediakan bagi mereka adalah hukuman dera dan rajam (dilempar batu hingga meninggal dunia). Jadi dengan keberadaan kedua dalil di atas dapat dipahami bahwa kemurahan Allah diperuntukkan bagi pelaku zina yang belum kawin, itupun dengan catatan apabila mereka mampu bertahan hidup setelah adanya hukuman yang harus diterimanya.
7
Abu Isa Muhammad ibn Isa bin Surah at-Tirmizi, hadiś No. 2610 dalam CD program Mausu'ah Hadiś al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
56
Terkait dengan keberadaan Pasal 53 KHI yang membolehkan perkawinan wanita hamil dengan penyebab yang tidak ditentukan dan dibatasi serta tanpa adanya sanksi terlebih dahulu, secara tidak langsung mengindikasikan adanya pertentangan dengan pelaksanaan perintah Allah. Sebab dengan tidak adanya batasan atau ketentuan penyebab kehamilan wanita yang dapat dikawinkan, maka secara tidak langsung terkandung makna bahwa kehamilan akibat zina yang disengaja pun boleh dikawinkan tanpa adanya sanksi terlebih dahulu. Hal ini tentunya akan memberikan dampak negatif – meskipun tidak secara langsung – berupa anggapan sebagai kebiasaan kehamilan akibat zina yang disengaja di luar nikah. Fenomena ini tentu akan menjadi permasalahan tersendiri bagi keberlangsungan pelaksanaan hukum Islam bagi umat Islam di Indonesia. Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa keberadaan hukum salah satunya berfungsi untuk menghilangkan kesempitan dalam kehidupan manusia. Namun hal ini tidak serta merta dapat dilakukan tanpa adanya suatu syarat penyebab. Dalam Islam, hal ini disebut dengan aspek sabab (penyebab). Sabab terbagi ke dalam dua jenis, yakni penyebab yang di luar batas kemampuan manusia di mana penyebab ini merupakan kekuasaan mutlak Allah seperti penyebab berubahnya waktu siang menjadi malam dan penyebab yang berada dalam batas kemampuan manusia. Penyebab
57
yang berada dalam batas manusia terbagi lagi menjadi dua pandangan yakni dalam pandangan hukum taklifi dan pandangan hukum wad’i.8 Jika melihat dan dikembalikan pada aspek sabab, maka kehamilan akibat zina yang disengaja merupakan jenis penyebab yang berada dalam batas kemampuan manusia. Artinya, sebenarnya manusia memiliki kemampuan untuk mencegah hal itu, terlebih lagi telah ada ketentuan hukum yang mengaturnya, baik secara taklifi maupun wad’i. Dari aspek ini terlihat bahwa sebenarnya kehamilan akibat zina sengaja harus dikembalikan kepada hukum taklifi terlebih dahulu baru kemudian kepada hukum wad’i dengan catatan manakala dalam hukum taklifi tidak terdapat kejelasan. Terkait dengan zina, jelas sekali bahwa dalam hukum taklifi telah ada ketentuan yang mengaturnya. Meskipun hukumannya dipandang kurang relevan dengan keadaan masyarakat Indonesia, namun hal ini tidak lantas menjadikan hilangnya aspek sanksi bagi wanita hamil akibat zina. Sebab, tanpa adanya sanksi tersebut dikhawatirkan fungsi hukum sebagai sarana pencegahan suatu pelanggaran tidak akan dapat terlaksana. Kekhawatiran tersebut bukan tanpa sebab, beberapa fakta di antaranya adalah sebagai berikut: 1) Tahun 2008 di Jawa Barat, hubungan seksual sebelum nikah yang dilakukan oleh remaja antara usia 12-17 tahun dengan hasil sebesar 6,9% dengan keadaan remaja wanita hamil diluar nikah.9
8
Amir Syariffuddin, Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 331-
336. 9
http://organisasi.org/fakta-fakta-utama-di-bidang-kesehatan-demografi-dan-pola-hidupmasyarakat-indonesia
58
2) Pada tahun 2010, di Mojokerto, 60 siswi hamil di luar nikah. Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) kabupaten Mojokerto, Yudha Hadi menjelaskan, dari jumlah tersebut sebanyak 42 di antaranya adalah siswi SMA, 12 siswi SMP, dan 6 siswi SD.10 3) Sebanyak 60% pasangan pengantin baru yang mengajukan nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) Kec Junrejo, Kota Batu ternyata hamil di luar nikah. Hal ini berdasarkan data terakhir yang dirilis Kepala KUA Kec Junrejo, Kota Batu Arif Syaifuddin pada Februari 2011.11 4) Survey terakhir, 63 persen remaja di Indonesia usia sekolah SMP dan SMA sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah pada tahun 2011.12 Realita di atas mengindikasikan bahwa zina di luar nikah telah menjadi suatu fenomena yang sangat mengkhawatirkan sekaligus membahayakan. Aspek bahaya ini tidak hanya bagi kehormatan umat manusia saja namun juga mencakup aspek pelaksanaan syari’at Islam. Sebab dengan melihat besaran angka-angka zina dan kehamilan di luar nikah yang ditangani oleh KUA, jelas sekali bahwa zina dan kehamilan di luar nikah telah membahayakan kualitas keagamaan generasi muda umat Islam. Hal inilah yang kemudian menurut penulis perlu mendapat perhatian dengan lebih mempertimbangkan keberadaan Pasal 53 KHI.
10
Haifa Ramadhan/dari berbagai sumber http://www.suara-islam.com. http://www.harianbhirawa.co.id/kasus/25448-60-pengantin-baru-hamil-diluar-nikah 12 http://artikel.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/arsip/63-persen-remaja-berhubungan-seks-diluar-nikah.html 11
59
Menurut penulis, keberadaan Pasal 53 KHI secara tidak langsung menjadi “alat penenang” bagi pelaku zina di luar nikah manakala terjadi kehamilan. Dengan tidak adanya ketentuan batasan penyebab dan sanksi yang terkandung dalam Pasal 53 KHI, seolah-olah tidak ada kekhawatiran maupun ketakutan bagi pelaku. Belum lagi gencarnya serangan budaya barat yang dengan kebanggaannya menjadikan ibu tanpa suami dalam membesarkan anaknya sebagai suatu kehebatan. Hal ini juga telah dilakukan oleh beberapa artis yang notabene menjadi public figure bagi masyarakat Indonesia. Hal inilah yang kemudian mendorong perlu adanya perubahan terhadap ketentuan dan tatanan Pasal 53 KHI. Sebab tanpa adanya perubahan tersebut dikhawatirkan akan semakin menjadi alat legalitas – secara tidak langsung – mengenai kebolehan zina dan hamil di luar nikah. Hal ini tentu akan bertentangan dengan kaidah hukum Islam yang menyebutkan bahwa mafsadat harus dihilangkan.
الضرار يزال “Bahaya harus dihilangkan”
13
B. Formulasi Pasal 53 KHI sebagai Solusi Kawin Hamil Indonesia merupakan wilayah yang dikenal sebagai negara yang plural. Pluralitas tersebut tidak hanya akibat adanya aneka suku bangsa yang berdomisili di Indonesia saja melainkan juga karena adanya akulturasi budaya antara masyarakat Indonesia dengan para pendatang. Sebut saja pada saat 13
Muhtar Yahya dan Fatkhurrahman, Dasar-dasar Hukum Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1986, hlm. 510
60
pertama kali kedatangan agama-agama di Indonesia, masyarakat Indonesia begitu antusias dan dengan mudahnya melakukan imitasi budaya dari setiap agama yang datang. Salah satu akulturasi budaya dalam aspek kehidupan yang hingga kini masih ada tidak dapat dilepaskan dari penjajahan Belanda. Contohnya adalah adanya pergeseran pendidikan di mana pada masa awal Islam hingga masa awal penjajahan, pendidikan bangsa Indonesia didominasi oleh pendidikan-pendidikan pesantren. Namun selepas adanya politik etis yang digulirkan oleh penjajah Belanda, terjadi pergeseran pendidikan yang dialami dan dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Pesantren mulai tersaingi oleh pendidikan konvensional yang ditawarkan Belanda yang pada akhirnya menjadi cikal bakal pendidikan bangsa Indonesia hingga saat ini. Selain dalam aspek pendidikan, pengaruh penjajah juga telihat dalam aspek hukum. Uniknya, pada setiap terjadinya akulturasi budaya, budaya-budaya asli maupun budaya lama yang telah ada di masyarakat lambat laun hilang dan berganti dengan budaya yang lebih baru. Dari penjelasan di atas dapat digarisbawahi bahwa masyarakat Indonesia memiliki karakter yang unik terkait dengan budaya. Keunikan tersebut tidak lain adalah mudahnya masyarakat Indonesia terpengaruh dengan budaya-budaya yang baru dikenalnya. Hanya sedikit budaya lama yang masih dipegang erat seperti budaya tidak adanya penyembelihan Sapi di Kabupaten Kudus sebagai bentuk penghormatan kepada umat Hindu yang telah digalakkan oleh Sunan Kudus sejak masa penyebaran Islam.
61
Ironisnya, hampir setiap budaya yang masuk dan dikenal oleh masyarakat Indonesia begitu mudah ditiru, baik budaya yang bernilai positif (baik) maupun budaya yang bernilai negatif (buruk). Budaya kehidupan malam, pengkonsumsian narkoba hingga seks bebas merupakan beberapa bentuk budaya asing yang hingga saat ini masih menjamur dan menjadi ancaman bagi para generasi muda Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa hingga kini kasus-kasus yang dialami oleh para generasi muda tidak lepas dari ketiga hal tersebut. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah telah melakukan beberapa hal seperti pembuatan undang-undang yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi. Sebut saja seperti undang-undang pornoaksi, undang-undang narkoba yang keseluruhannya merupakan penjabaran secara spesifik dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Salah satu bentuk perundangundangan yang dibuat oleh Pemerintah dalam mengatasi permasalahan moral sosial yang terjadi di kalangan generasi muda adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pada KHI akan dapat ditemukan salah satu pasal yang secara tidak langsung bisa dikatakan sebagai “cara mengatasi” resiko dari mudahnya penerimaan budaya yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Maksud dari cara mengatasi adalah Pasal 53 KHI menjadi legalitas hukum untuk mengatasi akibat dari adanya pergaulan bebas (free sex) berupa kehamilan sebelum adanya perkawinan yang sah. Dengan keberadaan Pasal 53 KHI, secara tidak langsung mengindikasikan bahwa pelaku-pelaku seks bebas yang beragama
62
Islam tidak perlu khawatir apabila wanita pasangannya hamil akibat seks bebas karena mereka tetap dapat melangsungkan perkawinan dalam keadaan hamil akibat zina tanpa dikenakan hukuman terlebih dahulu. Memang sebenarnya keberadaan Pasal 53 KHI secara tidak langsung seakan-akan melegalkan perkawinan pelaku seks bebas saja melainkan juga sebagai sarana legalitas perkawinan wanita hamil selain akibat zina, seperti ketidaksengajaan hubungan (wati’ syubhat) maupun akibat adanya perkosaan. Namun demikian, pada kenyataannya Pasal 53 KHI lebih banyak digunakan untuk melegalkan perkawinan wanita hamil akibat perzinaan sebagaimana telah penulis sebutkan di atas. Meningkatnya jumlah pelaku perkawinan wanita hamil di luar nikah akibat adanya zina mengindikasikan bahwa Pasal 53 KHI belum dapat bekerja sebagaimana fungsi pencegahan dalam hukum. Selain itu, peningkatan tersebut juga menandakan bahwa perkawinan wanita dalam keadaan hamil akibat zina bukan lagi menjadi suatu hal yang tabu dan bahkan telah menimbulkan asumsi kewajaran di kalangan masyarakat. Hal ini sekaligus menunjukkan telah ada pergeseran fungsi hukum dalam Pasal 53 KHI. Pergeseran hukum tersebut sebagaimana telah disebutkan yakni Pasal 53 KHI yang seharusnya menjadi “penolong” bagi wanita-wanita hamil sebelum menikah dalam konteks disebabkan adanya kecelakaan yang bukan bersumber dari perbuatan dosa disengaja, menjadi legalitas “pengesahan hukum” perkawinan wanita hamil akibat perzinaan.
63
Menurut penulis, pergeseran fungsi hukum Pasal 53 KHI tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor berikut ini: 1. Faktor redaksi 2. Faktor pemahaman masyarakat terhadap sumber hukum Islam Keberadaan redaksi wanita hamil menurut penulis masih memiliki makna yang umum. Dalam redaksi Pasal 53 KHI tersebut secara tersurat menandakan bahwa tidak ada akibat kehamilan khusus yang diperbolehkan dalam Pasal 53 KHI. Oleh sebab itu menjadi sangat wajar jika yang terjadi kemudian adalah adanya penggunaan Pasal 53 KHI sebagai dasar pelaksanaan perkawinan wanita hamil dengan segala sebab, baik perzinaan, wati’ syubhat maupun korban perkosaan. Sedangkan faktor pemahaman masyarakat terhadap sumber hukum Islam cenderung pada kurangnya pemahaman masyarakat tentang kedudukan sumber hukum Islam sebagai pedoman perilaku kehidupan. Memang tidak semua masyarakat demikian, namun pada kenyataannya banyak masyarakat yang memiliki pemahaman yang sempit terhadap kepatuhan sumber hukum Islam. Tidak sedikit masyarakat yang lebih memilih mematuhi setiap perkataan ulama atau memilih mengacu kitab-kitab hasil karangan ulama daripada melakukan penelusuran dan pembelajaran hukum dari sumber hukum Islam yang lebih utama, yakni al-Qur’an dan al-Hadits. Bahkan praktek inipun diberlakukan pada saat pembentukan KHI. Pada pembentukan KHI, posisi al-Qur’an dan al-Hadits sebagai dua sumber utama hukum Islam tergantikan oleh kitab-kitab karangan para ulama.
64
Selain pembentukan yang tidak berdasar pada dua sumber utama hukum Islam, KHI juga cenderung disandarkan pada aspek demokrasi nasionalis yang menjadi dasar kehidupan berbangsa bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari adanya beberapa perundang-undangan nasional yang menjadi landasan dasar pembentukan KHI. Contoh kecil dari hal itu salah satunya adalah kurang responnya masyarakat terhadap ancaman menjamurnya praktek perzinaan yang mengakibatkan terjadinya perkawinan wanita hamil dalam Pasal 53 KHI. Idealnya, kehadiran Pasal 53 KHI dengan redaksi yang masih umum dan meningkatnya praktek kawin hamil akibat seks bebas dapat menjadi acuan masyarakat
dalam
mengkritisi
suatu
produk
hukum.
Namun
pada
kenyataannya, dalam kurun waktu satu dasawarsa setelah kelahiran KHI, tidak ada kritik terhadap keberadaan Pasal 53 KHI. Padahal jika melihat realita tersebut seharusnya sudah ada pertanyaan tentang perlunya perubahan terhadap Pasal 53 KHI. Perubahan Pasal 53 KHI, khususnya terkait dengan redaksinya, perlu dilakukan karena hal itu menyangkut permasalahan hukum Allah. Artinya, jika perubahan tidak segera dilakukan maka keberadaan Pasal 53 KHI lambat laun akan semakin membawa dampak lebih buruk terhadap moralitas agama. Pada hakekatnya, realita yang terbentuk nantinya adalah pengesampingan syari’at Islam dalam wujud nasionalisasi hukum Islam. Sebenarnya nasionalisasi hukum Islam tidak akan menimbulkan permasalahan manakala dalam hukum tersebut esensi nilai syari’at Islam tidak hilang atau disamarkan.
65
Namun jika nilai tersebut disamarkan, dihilangkan atau bahkan dibuat sebaliknya, maka dalam nasionalisasi hukum Islam secara tidak langsung telah menodai syari’at Islam itu sendiri. Apabila keadaan Pasal 53 KHI masih tetap dipertahankan sebagaimana adanya, maka hal itu tentu akan memunculkan mafsadat bagi umat Islam. Mafsadat tersebut berupa semakin menjamurnya “tradisi” hamil di luar nikah akibat zina serta tidak terlaksanakannya syari’at Islam terkait dengan zina. Perubahan yang dimaksud tidak lain adalah adanya perubahan redaksi dengan menambahkan ketentuan batasan penyebab kehamilan serta sanksi yang menyertainya. Batasan penyebab kehamilan dan sanksi ini merupakan satu kesatuan, yakni sanksi hanya diberikan dalam perkawinan wanita hamil dengan sebab zina. Adanya sanksi tersebut akan menjadi sebagai sarana untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan mafsadat menjamurnya kebiasaan kawin wanita hamil akibat zina. Sanksi yang diberikan bukan seperti halnya sanksi dalam aspek pidana. Sanksi ini dapat diberikan dalam bentuk denda yang besar dan diberikan kepada masyarakat atau dalam bentuk adanya pertaubatan yang dilakukan di depan umum. Hal ini juga dapat disandarkan pada perpaduan antara pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Pelaksanaan perkawinan yang tanpa menunggu kelahiran anak disandarkan pada pendapat Imam Syafi’i sedangkan ketentuan adanya sanksi disandarkan pada pendapat Imam Ahmad yang menegaskan bahwa wanita hamil dapat dinikahkan dengan adanya pertaubatan. Dengan adanya sanksi yang demikian, tentu akan menjadi
66
penekan (pressure) bagi masyarakat yang akan melakukan zina karena apabila terjadi kehamilan maka mereka akan mendapatkan malu. Sanksi tersebut nantinya akan menjadi penegas adanya aspek pemilihan mafsadat daripada menarik maslahah. Pada kasus Pasal 53 KHI, dengan realita fenomena yang terjadi, mafsadatnya adalah hilangnya pelaksanaan syari’at Islam tentang zina dengan menjadinya KHI Pasal 53 sebagai legalitas kawin hamil akibat zina. Sedangkan maslahahnya berkaitan dengan kehormatan dan nasab anak. Hal ini berkesesuaian dengan kaidah hukum Islam sebagai berikut:14
“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik maslahah, dan apabila berlawanan antara yang mafsadah dan maslahah, maka yang didahulukan adalah menolak mafsadahnya”
14
Mukhlis Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 137.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan dalam bab-bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Keberadaan Pasal 53 KHI merupakan sarana untuk melindungi hak-hak manusia namun terkandung aspek mafsadat yang berkaitan dengan pelaksanaan syari’at Islam tentang zina. Untuk menghilangkan aspek mafsadat dalam Pasal 53 KHI, dalam kontesk saddu al-dzari’at, diperlukan perubahan redaksi berupa penambahan ketentuan batasan penyebab kehamilan dan sanksi yang menyertainya. 2. Formulas Pasal 53 KHI sebagai solusi kawin hamil dapat direalisasikan dengan menambahkan redaksi terkait dengan pembatasan sebab kawin hamil yang dapat dilaksanakan tanpa adanya sanksi dan pemberlakuan sanksi bagi kawin hamil yang disebabkan zina berupa taubat sosial. B. Saran-saran Dari hasil penelitian yang penulis laksanakan tentang Pasal 53 KHI, maka ada beberapa saran yang akan penulis sampaikan terkait dengan perspektif saddu al-dzari’at tentang Pasal 53 KHI sebagai berikut: 1. Perlu adanya pertimbangan untuk melakukan perubahan redaksi demi menjaga fungsi hukum Islam dalam Pasal 53 KHI, sehingga dimungkinkan dapat menanggulangi maraknya kawin hamil, serta sebagai pencipta kemashlahatan tanpa adanya peluang pertentangan dengan syari’at Islam. 67
68
2. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat Islam terkait dengan hukum Islam di Indonesia dan syari’at Islam sehingga masyarakat akan dapat memahami dan mengkritisi hukum yang berlaku bagi mereka sebagai umat Islam dan sebagai warga negara Indonesia. C. Penutup Demikian skripsi yang dapat penulis susun. Bercermin pada kata bijak bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna, maka saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan karya ilmiah ini dan karya-karya ilmiah penulis selanjutnya. Akhirnya, semoga di balik ketidaksempurnaannya, karya ilmiah ini dapat memberikan secercah manfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku: Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah, Jakarta: Rabbani Press, 2008. Abdul Wahab Asy-sya‟rani, Kitab Al-Mizan, Juz 3, Mesir: Matba‟ah at-taqadim al-ilmiyah, Cet. ke-1,1321 H. Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1991. Abdurrahman Al-Kahlani Al-San'ani, Subulu Al-Salam, Kitabun Nikah, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, tt. Abu Asma Anshari, Etika Perkawinan, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1993. Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, , Cet. ke-3, 1998. _______, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Pengantar Sahal Mahfudh), Yogyakarta: Gama Media, Cet. ke-1, 2001. Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, juz 6, hlm 319 dalam Kitab Digital al-Maktabah; asy-Syathibi, op. cit., juz 2, hlm 390. Amir Syariffuddin, Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. _______, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001. CD Program Mausu'ah Hadiś al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company). Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993. Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam,2000. Departemen Agama RI Perwakilan Jawa Tengah, Undang-Undang Perkawinan, Semarang : CV. Al Alawiyah, 1974. Dirjend Bimbaga Islam Depag, Ilmu Fiqih, Jilid II, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana perguruan tinggi, Cet. ke-2, 1985.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1996, juz 2. Ibn Rusyd al-Qurtubi al-Andalausi, Bidayah al-Mujtahaid, Juz 4, Beirut: Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt. Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Dara l-Ma‟rifah, tt., juz 3. _______, al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Ma‟rifah, tt., juz 2. Idris Ahmad, Fiqh Menurut Madzhab Syafi’i, Jakarta : Wijaya, 1969, hlm. 166 Imam Abi Husein Muslim Minal Hajaj, Shahih Muslim, Juz I, Bandung: alMa‟arif, t.t. Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, Jilid 2, BeirutLibanon: Dar al-Fikr, tt. Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt. Kitab Digital al-Maktabah al-Syamilah, versi 2.09. Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. Ke-1, 1996. Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Beirut: Daar al-Fikr, 1958. Muhammad Ali Daud, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta Rajawali Pres Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm alUshul, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994. Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja‟fi, al-Jami’ ash-Shahih alMukhtashar, Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987, juz 5. Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, Beirut: Dar Shadir, tt, juz 3. Muhammad Daud Ali, “Hukum Islam:Peradilan Agama dan Masalahnya” dalam, Hukum Islam di Indonesia:Pemikiran dan Praktik, Tjun Suryaman (ed), Bandung: Rosadakarya,1991. Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial Kultural, Jakarta: Lantabora Press, 2004.
Muhtar Yahya dan Fatkhurrahman, Dasar-dasar Hukum Islam, Bandung: alMa‟arif, 1986. Mukhlis Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Najmuddin Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, tt. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, DadanMuttaqinet.al (ed), Yogjakarta: UII Press,1999. Saifudin Azwar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Jilid 2, Beirut : Libanon : Dar Al-Fikr, 1992. Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002. Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I, Yogyakarta: Andi Offset, 1993. Syeikh Ali Ahmad Al Jurjawi, Hikmah At Tasyri’ Wa Falsafatuhu, Juz 1, Beirut : Libanon : Dar al-Fikr. Syihab ad-Din Abu al-Abbas al-Qarafi, Tanqih al-Fushul fi ‘Ilm al-Ushul, dalam Kitab Digital al-Marji’ al-Akbar li at-Turats al-Islami, Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt. Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hisni al-Dimasyqi al-Syafi'i, Kifayah al-Akhyar, Juz 2, Semarang: Toha Putra, tt. Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986. _______, Tafsr Al- Munir, juz 21, Beirut-Libanon : Dar al-Fakir Al-Mu‟asir, Cet. Ke-1, 1991. Zainudin Bin Abdul Aziz Al – Malibari, Fathul Mu’in, Jilad III Kudus: Menara Kudus, 1979.
Referensi Hasil Penelitian: Fitrotus Salamah, Pendapat Ulama Terhadap Pasal 53 Ayat (1) dan Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam Relevansinya Dengan Hak Waris Anak, Skripsi S-1, Surabaya: Unibraw, 2011, tidak diterbitkan Laeli Nurma‟ani, Pendapat Ulama Kota Semarang tentang Pasal 53 KHI, Skripsi S-1, Semarang: IAIN Walisongo Semarang, 2011, Tidak diterbitkan.
Referensi Website: http://www.suara-islam.com/detail.php?kid=4136 http://artikel.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/arsip/63-persen-remaja-berhubunganseks-di-luar-nikah.html http://organisasi.org/fakta-fakta-utama-di-bidang-kesehatan-demografi-dan-polahidup-masyarakat-indonesia http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=603267 http://www.harianbhirawa.co.id/kasus/25448-60-pengantin-baru-hamil-diluarnikah