KAWIN HAMIL, ANAK ZINA DAN STATUS ANAK DALAM HUKUM ISLAM PASCA PUTUSAN MK
M. Nurul Irfan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta E-mail:
[email protected]
Abstrak: Masalah kawin hamil atau Married by Accident sudah sangat marak terjadi masyarakat, ironisnya banyak di antara warga masyarakat yang menganggap bahwa kasus ini sebagai hal biasa dan tidak merasa berdosa bila melakukannya. Anak lahir dalam kasus ini disebut dengan anak zina yang pada dasarnya jika mengacu pada konsep pemeliharaan nasab, maka ia tidak akan pernah mempunyai wali nasab secara sah kepada bapak biologisnya. Oleh sebab itu pada saat anak zina yang berjenis kelamin wanita akan menikah setelah memasuki masa layak menikah, ia mutlak memerlukan wali hakim. Sebab jika tetap diwalikan oleh bapak biologisnya, sangat boleh jadi perkawinannya tidak sah, karena ia lahir akibat dari perzinaan yang tidak mungkin menjadi sebab terbentuknya hubungan nasab dengan ayah bilogisnya. Prinsip dasar seperti inilah yang ditegaskan dalam sebuah hadis sahih riwayat Imam Muslim bahwa anak hanya bsa bernasab kepada pemilik ranjang yang sah sedangkan pezina hanya layak memperoleh sanksi hukum. Tetapi kenyataannya status Anak sah yang didefinisikan oleh rumusan pasal 42 UU Perkawinan dan pasal 99 Kompilasi Hukum Islam masih menimbulkan pemahaman berbeda dalam kaitannya dengan status anak sah menurut hukum Islam. Bahkan seolah-olah rumusan kedua pasal ini, -selain akibat rumusan pasal 284 KUHP- sebagai pemicu atau penyebab terjadinya berbagai kasus hamil luar nikah. Berbagai masalah pelik inilah yang akan dicari jawabannya dalam tulisan ini.
229
PENDAHULUAN Dalam Kajian Hukum Islam terdapat sebuah teori Maqâsid al-Syarî’ah, yaitu tujuantujuan mendasar diberlakukannya ajaran agama Islam atau tujuan pemberlakuan hukum Islam. Inti dari teori Maqâsid al-Syarî’ah berupa makna dan tujuan yang dikehendaki oleh syarak dalam mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia. Teori ini di kalangan ulama ushul fikih juga disebut dengan asrar al-Syarî’ah, yaitu rahasia-rahasia yang terkandung di balik hukum yang ditetapkan oleh syarak berupa kemaslahatan bagi umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Dalam hal ini ajaran Islam dengan konsep Maqâsid al-Syarî’ahnya sangat mementingkan pemeliharaan terhadap lima hal prinsip, yaitu : agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Pemeliharaan terhadap kelima hal ini termasuk ke dalam al-Maslahah al-Haqîqiyyah. Kelima hal di atas juga disebut dengan al-Kulliyyah al-Khams atau panca jiwa syariah yang harus selalu dijaga dengan baik. Oleh karena agama harus dijaga, maka akidah harus bersih dari unsur syirik dan kelima tiang agama dalam rukun Islam harus dilaksanakan dengan sebaikbaiknya. Dalam rangka menjaga agama ini disyariatkanlah jihad yaitu berperang di jalan Allah untuk mempertahankan agama dari serangan musuh dan bersamaan dengan itu, siapapun yang melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam agama harus ditarik kembali kepada ajaran yang benar. Bahkan sanksi hukum harus diberlakukan bagi yang murtad dan melakukan pelecehan-pelecehan terhadap agama, demikian halnya para pelaku bidah juga harus diberikan sanksi hukum secara tegas. Selanjutnya, syariat agama Islam diberlakukan untuk menjaga jiwa manusia. Menjaga jiwa dan melindunginya dari berbagai ancaman berarti memelihara eksistensi kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Untuk mewujudkan hal itu, Islam menetapkan aturan hukum bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dan pelaku delik penganiayaan. Bila nyawa seorang muslim melayang atau anggota tubuh rusak dan terluka akibat tangan seseorang tanpa alasan hukum yang membolehkannya, maka pelaku dikenakan sanksi kisas atau diat. Dari pernyataan ini dapat diketahui bahwa jiwa dan kehormatan fisik manusia dalam pandangan hukum Islam sangat dihormati dan mahal harganya. Kemudian tujuan syariat selanjutnya adalah untuk menjaga akal. Oleh karena akal harus selalu dipelihara, maka syariat Islam menyatakan haram mengkonsumsi minum-minuman dan makanan yang memabukkan. Dalam hal ini pemabuk, produsen, pengedar dan semua pihak yang terlibat di dalamnya harus dikenai sanksi, baik sanksi hudud maupun takzir. Hal prinsip keempat yang juga diperhatikan oleh syariat adalah tentang harta. Harta harus dijaga secara baik, tidak boleh saling mencurangi dan menguasai dengan cara yang batil dalam bermuamalah, tidak boleh mendzalimi hak-hak anak-anak yatim, mengorupsi, melakukan penyuapan kepada hakim atau pejabat tertentu, memberikan hadiah dengan tujuan dan maksud khusus kepada seorang pejabat, menggasab, mencuri atau merampok. Tujuan pemberlakuan hukum Islam terakhir yang sekaligus menjadi tema sentral pembahasan tulisan ini adalah nasab atau keturunan. Dalam rangka menjaga nasab inilah agama Islam melarang segala bentuk perzinaan dan prostitusi serta sangat menganjurkan nikah untuk melangsungkan keturunan umat manusia agar tidak punah dan mempunyai hubungan kekerabatan yang sah dan jelas. Dalam tulisan ini akan penulis kemukakan tentang kawin hamil atau Married by Accident, Anak Zina dan Status Anak dalam perspektif Hukum Islam baik 230
hukum Islam murni dalam berbagai nas baik Alquran dan hadis maupun hukum Islam Indonesia yang terdapat dalam UU no 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pada bagian akhir tulisan ini akan penulis kemukakan juga tentang dampak putusan MK tentang Anak luar nikah yang sangat kontoversial itu. PEMBAHASAN A. Pengertian Kawin Hamil dan Prilaku Masyarakat Kawin hamil atau yang lebih popular dengan Married By Accident (MBA) adalah sebuah kasus yang menggambarkan bahwa terjadinya perkawinan disebabkan karena adanya kecelakaan berupa kehamilan sebelum pernikahan tersebut diselenggarakan. Anak zina adalah yang dilahirkan oleh ibu kandungnya sebagai akibat dari perbuatan zina yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Terkait status anak zina, kawin hamil dan berbagai masalah yang ada hubungannya dengan anak zina ini menjadi sebuah kajian hukum Islam yang cukup penting untuk dibahas dalam buku ini. Sedangkan Putusan Mahkamah Konstitusi tentang anak di luar nikah adalah sebagai sebuah bentuk dikabulkannya uji materi atau judicial review atas pasal 43 ayat (1) UU no 1 Tahu 1974 tentang Perkawinan. Ketiga hal ini akan penulis uraikan secara berurutan dengan pembahasan secara komparatif baik dari berbagai literatur kitab fikih maupun perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Secara harfiah kata married by accident terdiri dari tiga kata yaitu married, by dan accident. Married adalah kata kerja bentuk past tense dari marry yang artinya kawin atau nikah. By yang artinya dengan atau karena, merupakan kata keterangan dan accident adalah sebuah kejadian mengejutkan atau kecelakaan. Jadi married by accident sering diartikan dengan nikah karena kecelakaan, maksudnya karena telah terjadi sebuah kecelakaan berupa kahamilan yang tidak diinginkan, maka seseorang terpaksa melakukan pernikahan. Dengan demikian, married by accident adalah nikah karena kehamilan telah terlanjur terjadi yang pada umumnya tidak direncanakan oleh salah seorang atau kedua pasangan yang mengalaminya. Masalah married by accident ini sudah sangat populer, baik terjadi di kalangan remaja kota maupun desa. Hal ini bisa jadi karena kasus-kasus hamil luar nikah ini telah menjadi sesuatu yang sangat marak dan biasa terjadi di masyarakat. Belum dilakukan penelitian secara serius dan mendalam mengapa hal ini terjadi. Penulis dalam kapasitas sebagai dosen di sebuah universitas Islam terdepan di kawasan Ciputat dan di sebuah universitas terbesar di kawasan Tangerang Selatan tidak jarang melakukan wawancara ringan dengan perserta kuliah di dua kampus besar ini. Hal ini penulis lakukan hampir setiap penghujung semester dalam pertemuan terakhir atau dua kali pertemuan sebelum terakhir dalam setiap perkuliahan di kelas. Hasil wawancara ringan penulis di setiap kelas dalam setiap akhir semester ini sungguh sangat mengejutkan. Sebab hampir setiap mahasiswa dan mahasiswi yang penulis tanya apakah di tempat anda tinggal, baik tempat tinggal yang lama maupun tempat tinggal baru terjadi kasus married by accident?. Jawaban yang diberikan oleh masing-masing peserta kuliah itu menyatakan ada. Sangat jarang mahasiswa atau mahsiswi yang menyatakan tidak terjadi.1 Memang ada juga peserta kuliah yang menjawab tidak tahu. Terhadap mahasiswa yang menjawab tidak tahu, biasanya penulis melakukan pengamatan sederhana lebih lanjut. Yaitu dari cara mereka menyampaikan jawaban, bila dilakukan dengan nada datar dan yang bersangkutan 1
M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), Cet Pertama, hlm
145
231
kelihatan sebagai mahasiswa yang baik, Islami dan tampak seperti mahasiswa yang berakhlaq mulia, maka penulis berasumsi bahwa mungkin saja mahasiswa ini sedang mengamalkan hadis Nabi tentang tidak boleh membuka aib orang lain, sebagaimana sabda Nabi:
من ن س عن م من ك ب من ك ال ني ن س هللا ع ه ك ب س هللا في من س م هللا ع يه في ال ني اآلخ في ع خيه من س ك يق ي س فيه ع س ل هللا له به } ابن م جه ابن ح ال م
ضي هللا ع ه عن ال ي ملسو هلآو هيلع هللا ىلص ق عن بي ه ي ي القي م من ي ع مع ي من ك ال ني اآلخ هللا في ع الع م ك الع م م ب ا، يق ل الج { ا ح
Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi SAW bersabda, barang siapa melepaskan beban penderitaan duniawi seorang mukmin maka Allah akan melepaskan beban penderitaannya kelak di hari kiamat, barang siapa membantu pihak lain yang sedang mengalami kesulitan-kesulitan duniawi maka Allah akan membantu menyelesaikan kesulitannya kelak di hari kiamat, barang siapa menutupi aib seorang muslim lain, maka Allah akan tutupi aibnya baik di dunia maupun aibnya di akhirat kelak, Allah akan menolong hambanya selama hamba itu bersedia menolong sudaranya, siapapun yang berupaya mencari jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memberikan kemudahan jalan menuju surga (HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majjah dan Ibnu Hibban)2 Namun sebaliknya jika mahasiswa yang memberikan jawaban tidak tahu itu memang benar-benar tidak tahu, berarti di lingkungan tempat ia tinggal memang benar-benar tidak terjadi kasus hamil di luar nikah, walaupun acap kali jawaban ini masih belum meyakinkan penulis. Terhadap mahasiswa yang memberikan jawaban tidak ada kasus hamil di luar nikah di tempat ia tinggal, penulis berprasangka baik, semoga jawaban itu tidak salah. Sebab bisa jadi ketidaktahuan yang bersangkutan hanya karena ia kurang bergaul di masyarakatnya sehingga tidak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di lingkungan sekitarnya. Apa yang sedang penulis paparkan dalam sub judul tentang married by accident ini tidak lain merupakan sebuah gambaran sederhana bahwa ternyata kasus-kasus hamil di luar nikah sudah sangat marak dan hampir terjadi di setiap tempat. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Baik faktor intern maupun faktor ekstern. Faktor intern yang penulis maksudkan terkait dengan kondisi psiskis dan kejiwaan pelaku dan ada hubungannya dengan masalah keimanan dan keberagamaan yang bersangkutan. Sedangkan faktor ekstern terkait dengan masalah luar baik menyangkut ilmu pengetahuan teknologi dan era keterbukaan informasi serta akses internet yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Terkait dengan pembahasan tentang nasab dan status anak, kasus married by accident di Indonesia, tampaknya tidak bisa berdiri sendiri melainkan sebagai sebuah pelanggaran yang diakibatkan oleh adanya aturan perundang-undangan yang memiki daya cengkeram secara yuridis. Artinya ada keterkaitan erat dengan konsep perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Married by accident biasanya terjadi karena kasus perzinaan dan perzinaan ini terjadi bahkan marak dilakukan oleh sebagian warga masyarakat tidak lain juga karena rumusan pasal terkait larangan perzinaan atau overspel atau gendak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sangat berbeda jauh dengan semangat yang diusung oleh Hukum Islam. Dalam pasal 284 KUHP hanya disebutkan bahwa zina masuk dalam kategori delik aduan, sehingga kalau tidak ada pihak yang merasa terganggu dan merasa dirugikan dengan adanya kasus perzinaan, maka delik overspel ini tidak bisa diperkarakan di sidang pengadilan.
2
Jâmi’ al-Ahadîts, Seri al-Maktabah al- Syamilah, jilid 21 hlm 479
232
Di samping zina hanya dianggap sebagai delik aduan yang sangat berpengaruh pada sikap sebagian anggota masyarakat yang merasa “enteng” dan bahkan tetap merasa tidak bersalah dalam berbuat zina, sanksi hukum pelaku zina di Indosesia juga sangat ringan bahkan banyak kasus yang akibatnya tidak bisa diproses secara hukum. Proses hukum bagi pelaku zina tidak mungkin berjalan dan terlaksana dengan baik mana kala sistem hukumnya tidak dirubah terlebih dahulu. Dalam sebuah majalah yang terbit beberapa waktu lalu disebutkan bahwa hampir setiap malam tahun baru masehi, di setiap jalan yang menuju ke kawasan penginapan seperti Kali Urang di Yogyakarta atau Puncak di kawasan Bogor Jawa Barat, banyak apotik atau mini market-mini market yang kehabisan stok kondom. Ironisnya bahwa para pembelinya umumnya adalah para pasangan remaja yang diperkirakan belum terikat sebuah pernikahan dan mereka berduaan menuju ke kawasan penginapan dimaksud dengan berboncengan motor atau mengendarai mobil. Sebuah gambaran kebrobrokan moral bangsa yang luar biasa karena overspel, gendak atau zina hanya masuk dalam kategori delik aduan yang jika dilakukan oleh pasangan yang suka sama suka maka keduanya bebas dari berbagai tuntutan hukum. Di samping itu, budaya sebagian besar masyarakat Indonesia yang sudah merasa aman pada saat anak perempuannya dilamar oleh seorang pemuda. Kemudian pemuda tersebut diizinkan untuk membawa pergi ke mana saja atau bahkan telah dibolehkan untuk tidur bersama karena telah siap melaksanakan perkawinan. Hal ini jelas sebagai sebuah pemicu terjadinya puluhan bahkan ratusan kasus married by accident yang merupakan sebuah masalah besar dikaitkan dengan keabsahan nasab anak kepada ayah kandungnya. Penulis nyatakan sebagai sebuah masalah besar karena pada dasarnya, anak yang dilahirkan dalam kasus hamil di luar nikah ini tidak akan memiliki nasab sah secara hukum Islam kepada bapak kandungnya yang pada umumnya bersedia menikahi ibunya. Mengapa tidak memilki nasab sah secara hukum Islam?. Tidak lain karena proses pembuahan dan “pembuatan” anak itu telah berlangsung sebelum kedua orang tuanya melakukan akad nikah sebagai syarat halalnya hubungan suami istri. Walaupun akhirnya kedua pasangan ini menikah dan anak itu memang anak biologisnya. Masalah nasab anak yang lahir dalam kasus married by accident ini , menurut penulis ada dua kategori sebagai pilihan hukum. Pertama, hukum Islam murni atas dasar hadis Nabi tentang teori nasab yang tidak mungkin terbentuk kecuali melalui pernikahan, baik nikah yang sah, nikah yang fasid maupun melalui hubungan badan secara syubhat. Kedua, hukum Islam Indonesia atas dasar pasal 42 UU Perkawinan jo pasal 99 KHI tentang kedudukan anak dan pasal 53 tentang kawin hamil. Terkait dua pilihan hukum ini, meminjam istilah as-Sya’rânî dalam al-Mîzân alKubrâ, ada dua kelompok manusia yaitu kelompok mutasyaddid, yang ketat dan keras dalam bersikap dan kelompok mutakhaffif, yang ringan dan “nyantai” dalam bersikap. Bagi kelompok mutasyaddid, tentu akan mendasarkan pilihan hukumnya kepada hadis Nabi tentang teori nasab, sehingga ia akan sangat berhati-hati, dengan semangat takut dosa, penuh keimanan dan menyesal atas dosa zina yang pernah dilakukan pada saat pacaran. Kelompok mutasyaddid dalam soal ini pasti akan jujur di depan KUA, jika seandainya anak yang lahir akibat married by accident itu berjenis kelamin perempuan dan setelah 20 tahun berjalan, akan dinikahkannya. Jujur maksudnya ia akan berkata apa adanya kepada penghulu bahwa anak perempuan pertamanya adalah sebagai anak hasil “iseng” masa muda. Oleh sebab itu ia akan memohon kepada bapak penghulu agar berkenan menikahkannya langsung, ia akan memohon penghulu agar bertindak sebagai wali hakim. Sebab sebagai kelompok mutasyaddid, tentu ia memahami tentang hadis 233
Nabi yang menyatakan bahwa hakim adalah sebagai wali wanita manapun yang tidak memiliki wali, seperti anak perempuan pertamanya yang nyatanya memang telah “diproses” sebelum keduanya menikah. Hal ini ia lakukan semata-mata demi keabsahan pernikahan anak kesayangannya, demi kemaslahatan keluarga anak pertamanya dan demi sterilisasi dosa agar tidak terjadi estafet dosa hingga anak cucu. Inilah pendirian hukum Islam kelompok mutasyaddid. Sungguh sangat baik dan mulia apa yang ia tempuh. Lain halnya dengan kelompok mutakahffif. Kelompok mutakahffif akan cenderung “nyantai” dengan kasus married by accident yang dialaminya. Ia tidak akan bersedia mengaku secara jujur dengan apa yang pernah dialaminya 20 tahun yang lalu pada saat berpacaran. Alih-alih memahami hadis Nadi tentang teori nasab, justru ia merasa tidak berdosa atas perbuatan mesum yang pernah dilakukannya dan sudah menghasilkan anak perempuan pertama yang saat ini ia akan nikahkan. Celakanya sikap dan pendirian semacam ini mendapat semacam legitimasi yuridis dari UU Perkawinan dan KHI. Ia akan berpendapat, bukankah anak perempuan pertama kami ini adalah anak sah kami? Mengapa harus dengan wali hakim?. Dia kan anak sah kami, pasal 42 UUP dan pasal 99 KHI sudah jelas-jelas menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Seingat kami, demikian kelompok mutakhaffif ini berdalih, anak kami ini lahir setelah kami menikah. Memang sebelumnya telah hamil, tapi kami langsung menikah dan seingat kami lima bulan setelah nikah baru lahir anak kami ini. berarti ia jelas sebagai anak yang sah. Sebab ia baru lahir setelah kami menikah, ia lahir dalam perkawinan, berarti ia sebagai anak sah kami. Inilah sebuah gambaran betapa kelompok mutakhaffif ini akan selalu “nyantai” bahkan merasa benar, tidak pernah ada nada penyesalan atas perbuatan zina yang dilakukannya. Kelompok ini juga tidak pernah berfikir untuk peningkatan kualitas generasi baru, apalagi berfikir tentang dosa masa lalu. Sebuah gambaran realita kehidupan rumah tangga di masyarakat kita!. B. Status anak sah menurut UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Dalam hukum Islam, nasab menjadi sebuah masalah yang sangat penting dan dikaji dalam kaitannya terhadap masalah pernikahan, kewajiban memberi nafkah, kewarisan, perwalian hubungan kemahraman dan lain-lain. Nasab atau hubungan kekerabatan antara seorang anak dan bapak hanya bisa terbentuk melalui tiga cara yaitu melalui pernikahan yang sah, pernikahan yang fasid dan melalui hubungan badan secara syubhat. Sedangkan nasab anak kepada ibu kandungnya bisa terbentuk melalui proses persalinan atau kelahiran. Baik kelahiran bersifat syar’i mapun tidak.3 Artinya sekalipun anak lahir akibat perzinaan tetap saja bisa dinasabkan dengan ibu kandungnya. Namun demikian dalam masalah-masalah tertentu, seorang anak baik laki-laki apalagi perempuan akan sangat membutuhkan wali dari dari jalur nasab lakilaki, yaitu bapak kandungnya, khususnya jika anak perempuan itu akan menikah. Nasab anak kepada ayah kandungnya, pada umumnya terbentuk melalui pernikahan yang sah. Dalam hal ini seorang suami adalah sebagai pemilik ranjang yang sah atau al-Firâsy sebagaimana ditegaskan dalam hadis shahih di bawah ini:
{ ل ْع ه ْالحج
َّللا ع يْه س م ْال ل ل ْ ا
ال ي ص
3
ق
س ْعت ب ه ْي
بْن ي ق }
Wahbah al- Zuhailî al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1997), cet. ke-4, jilid 10, hlm 7256
234
ح ث مح ا ال
Hadis ini diriwayatkan melalui Muhammad bin Ziyad, ia berkata, saya mendengar Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda anak hanya bisa bernasab dengan laki-laki yang memiliki ranjang yang sah, sedangkan pezina hanya mendapatkan batu (rajam) (HR. alBukhari) Atas dasar hadis ini para ulama bersepakat bahwa perzinaan tidak pernah bisa membentuk nasab anak kepada bapak kandungnya. Dalam kitab al Tamhid sebuah komentar dan syarah kitab al-Muwatta’ Imam Malik disebutkan sebuah kutipan sebagai berikut:
أ
ي ل ف ال
لك { ال
ج عت األم ع
ل الزن
ي حق في اإلسال
ق "ل ع ه الحج " ف }381 8
Penulis buku ini berkata bahwa “Bagi pezina hanya akan memperoleh batu”. Maka dalam ajaran Islam tidak bisa diterima upaya menghubungkan nasab anak zina kepada bapak kandungya. Semua ulama telah sepakat dengan pendapat ini. Bahkan mengenai nasab anak zina ini, Ibnu Hazm menegaskan:
س ئ ح ْ م، ال حْ يم، ال ق، ْال: ل ع يْه حق األُم مي م ْن، ت ثه مه،مه ل الزن ي ْ ْ ال، ال في ن ق، ال له ع يْه حق األُب ال في ب، ال ي ثه ه، ال ي ثه ال ت ق من نط ه: األُم ْ ال ن ْع م في ه ا خالفً ال في ال حْ يم فق،ي { ال ح ب اآلث.ط ٌّ ْ ه م ْه ج، ال في غ ْي لك،في تحْ يم }103 9
Anak yang lahir akibat perzinaan hanya ada hubungan saling mewarisi dengan ibu kandungnya, ia juga hanya memiliki hak-hak seperti perlakuan baik, pemberian nafkah, hubungan kemahraman dan berbagai macam ketentuan hukum lain dengan ibu kandungnya saja. Anak zina tidak bisa mewarisi dari seseorang yang telah membuahi ibu kandungnya, ia juga tidak memiliki hubungan saling mewarisi dengan bapak kandungnya dan berbagai hak lain seperti hak perlakuan baik, nafkah dan hubungan kemahraman dengan bapak kandungnya dan berbagai macam hak lain. Bahkan kedudukan anak zina sebagai orang lain sama sekali dengan bapak biologisnya. Kami tidak menemukan perbedaan pendapat dalam masalah ini kecuali pada masalah hubungan kemahraman saja.4 Selanjutnya, akan penulis kemukakan beberapa kutipan langsung pendapat para ulama baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf/kontemporer mengenai proses menasabkan atau pengakuan-pengakuan nasab anak kepada seorang ayah atau kepada seseorang yang pernah berzina dengan ibu kandung anak yang disengketakan.
ً الزاني ا ك نت ف ا ، ج ء ب ل، سي ش لز ج ع الع ء ع: ق ال ك ع العزيز ال ا ، ن ي ب لص حب ال ا، ال ي ب ليه، فإنه ال ي حق ب لزاني ل اس حقه، لم ي ه ص حب ال ا
Dr. Abdul Aziz al-Fauzan berkata, para ulama sepakat menyatakan bahwa jika ada seorang wanita bersuami atau sebagai budak melahirkan anak, lalu si suami atau sang tuan/majikan itu tidak menyangkal tentang nasab anak yang dilahirkannya itu, lalu jika tiba-tiba ada lelaki lain yang pernah berzina dengan wanita bersuami atau budak itu mengklaim anak yang dilahirkan itu sebagai anaknya, maka pengakuan itu sama sekali tidak bisa diterima dan bayi itu tetap bernasab kepada suami atau majikan dimaksud dan tidak mungkin bernasab dengan laki-laki yang mengaku pernah menzinainya.5
Ibnu Hazm, Abû Muhammad ‘Alî Ibn Ahmad bin Sa'îd, al-Muhallâ, bi al-Âtsâr, (Beirut : al-Maktabah alTijârî, tth 1351 ), jilid 9, hlm 309 5 Abdul ’Azîz al-Fauzân, Hukmu Nisbati al-Maulûdi Ilâ abîhi min al-Madkhûl bihâ Qabl al-‘Aqdi, ( Tt. Tp: Tth), Edisi Maktanah Syamilah, jilid 1, hlm 11-19 4
235
ال، كل ح
ل جل الحقً به ع
ف ا
كل ل ي ل ع
" ج عت األم ع: ق ابن ع ال ي يه ب ع ع ح م ال ع
Ibnu Abdil Barr berkata bahwa umat/ulama telah sepakat menyatakan bahwa setiap anak yang lahir dari seorang wanita yang bersuami, pasti anak itu bernasab dengan ayah kandungnya, apapun alasannya, kecuali memang sang suami menyangkal nasab anak tersebut melalui tata cara yang telah diatur dalam pembahasan li’an
ا
في
ن ال ال،جل ف ع آخ نه ال ي حقه
ف ا
نه ا ل ع
" ج ع ا ع: ق ابن ق ام ." ل ع غي ف ا
Ibnu Qudamah berkata bahwa para ulama sepakat jika ada seorang wanita yang bersuami, lalu tiba-tiba datang seorang lelaki lain yang mengaku bahwa anak yang diasuh wanita bersuami itu sebagai anak kandungnya, maka pengakuan ini tidak bisa diterima. Perbedaan pendapat terjadi dalam hal apabila si wanita itu tidak memiliki suami, lalu tiba-tiba ada seorang laki-laki mengaku pernah berhubungan badan dengan wanita tersebut dan mengaku anak yang diasuhnya itu sebagai anaknya, bagaimana kekuatan pengakuan ini, apakah bisa dibenarkan? Di sinilah perbedaan pendapat ulama terjadi.
فإ ا، ه له م لم ي ه: ح ه: لق له "ال ل ل ا " مع ي: "نقل عن ال فعي نه ق: ق ابن حج ال ي " الع ه ف ل ل ل ال ا ال ا ا ت: ال ني،ن ب ش له ك ل ع ان ع ه
Ibu Hajar al-Haitami berkata, dinukilkan dari Imam as-Syafi’i, sesungguhnya beliau pernah berkata bahwa hadis Nabi yang berbunyi al-Waladu lil Firasy, memiliki dua arti mendasar, pertama, bahwa nasab anak yang lahir dari pasangan suami istri dipastikan bersambung dengan bapak kandungnya, hanya saja kalau sang bapak kandung itu menyangkalnya melalui proses khusus, seperti li’an, maka penyangkalan itu bisa diterima. Kedua kalau sampai terjadi persengketaan tentang nasab anak antara pemilik ranjang yang sah dengan seorang laki-laki yang pernah berzina dengan istri sang suami itu, maka anak tersebut harus tetap dinasabkan kepada sang suami sebagai pemilik ranjang yang sah. Itulah pendapat para ulama mengenai nasab anak kepada bapak kandungnya atau malah kepada lelaki yang pernah berzina, Dari beberapa pemaparan ulama di atas bisa penulis simpulkan bahwa jika pengakuan nasab datang dari seseorang terhadap anak yang lahir dari seorang wanita yang berstatus sebagai istri atau budak, jelas pengakuan nasab dari seorang lakilaki itu sama sekali tidak bisa dibenarkan. Sebab nasab hanya akan bersambung kepada lelaki yang memiliki ranjang yang sah, baik seorang suami maupun tuan atau majikan.Tentu saja untuk majikan ini hanya berlaku di zaman dulu. Sedangkan pada saat ini seiring dengan telah dihapuskannya penjajahan dan perbudakan di atas dunia ini, maka dengan sendirinya hal ihwal yang berkaitan dengan budak harus dinyatakan tidak berlaku lagi. Masalah penting lain yang dikemukakan dan bahkan diperdebatkan oleh para ulama adalah jika pengakuan nasab itu datang kepada anak yang lahir dari seorang wanita yang berstatus lajang. Baik janda mapun perawan yang jelas-jelas tidak memiliki seorang suami. Apakah pengakuan nasab dalam kondisi ini bisa dibenarkan? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. ً لم ت ن مه ف ا،ل الزن ي حق ب لزاني ا اس حقه ه ا م هب ع بن، سي ش لز : الق األ
، ال عي، ابن سي ين،
الح ن ال ص
ه ق،" ، ه ق ألبي ح ي بن ي س ي، الزبي . ابن القيم، ابن تي ي،سح ابن اه يه
Pendapat pertama dikemukakan oleh Urwa bin Zubair, Salman bin Yasar, Abu Hanifah, Hasan Bashsri Ibnu Sirin, an-Nakha’i, Ishaq bin Rahuyah, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu al-Qayyim. 236
Mereka menyatakan bahwa anak zina tetap bisa dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu kandungnya, jika memang lelaki itu mengakuinya dan benar-benar si wanita itu tidak bersuami dan bukan berstatus budak. Bahkan secara lebih tegas, Abu Hanifah sebagai dikutip oleh Abdul Aziz al-Fauzan mengatakan:
يز ج
فح ت م ه
ا ن ال جل ب ل
س ً بأ
"ال: نه ق
ع ي بن ع صم عن بي ح ي ال ل ل له، ع ي ي،
فق مع ح
Diriwayatkan oleh Ali bin ‘Ashim, dari Abu Hanifah, beliau berkata bahwa menurut saya tidak masalah jika ada seorang laki-laki yang menzinai seorang wanita sehingga si wanita itu hamil, lalu dinikahinya pada saat ia hamil dan si suami itu diam-diam saja atas kejadian yang dialaminya, anak itupun bisa dinasabkan kepada lelaki dimaksud.6 Itulah pendapat pertama, menurut penulis, pendapat ini terasa agak janggal. Sebab jelas bertentangan dengan prinsip mendasar dalam al-Kulliyyatul Khams, panca jiwa syariah yang menyatakan bahwa tujuan mendasar syariat Islam adalah untuk menjaga lima hal prinsip, yaitu untuk menjaga dan memelihara agama, jiwa, akal, nasab dan harta. Di mana agama dijaga melalui kewajiban jihad, jiwa dijaga dengan adanya hukuman kisas, akal dijaga dengan diharamkannya khamr, nasab pun harus dijaga dengan diberlakukannya hukuman rajam dan cambuk serta harta harus dipelihara melalui hukuman potong tangan. Dengan demikian penulis tidak setuju dengan pendapat pertama yang mengakui nasab anak zina kepada bapak biologisnya dengan syarat ibu kadungnya itu tidak bersuami. Menurut penulis apakah wanita yang mengandung anak zina itu bersuami atau tidak bersuami tetap saja anak yang dilahirkan dalam status di luar nikah tetap tidak bisa dinasabkan kepada bapak biologisnya. Kemudian bagaimana pendapat kedua? Pendapat kedua dikemukakan oleh ulama madzhab empat dan ulama madzhab al-Dzahiriyyah sebagai berikut: 6
Beberapa dalil yang dikemukan oleh para ulama yang menganggap sah anak zina bernasab dengan ayah biologisnya, jika memang wanita itu tidak bersuami dan bukan sebagai budak adalah sebagai berikut:
،غالما ً فولدت، فأتت راعيًا فأمك ته من نفسها،"أن بغيًّا راودته عن نفسه فامت ع: وفيه،حديث جريج العابد يف الصحيحني وغريمها يف القصة املشهورة من أبوك؟ فقال، اي غالم: فغمز إبصبعه يف بط ه وقال له، فدعا ابلغالم، وصلى، فتوضأ، وسبو، وأنزلو، فأتو فكسروا صومعته، هو من جريج:فقالت فالن الراعي" ا ديث:الغالم أو على صفة كذا وكذا، "إن جاءت به على صفة كذا وكذا فهو للذي ُرِميَت به: وفيه قول ال يب ملسو هيلع هللا ىلص،حديث املالع ة بني هالل بن أمية وامرأته لوال األميان لكان وهلا شأن أن عمر بن ا طاب رضي:× فقال رسول هللا، فجاءت به على الوصف املكرو، فهو هلالل بن أمية: ويف رواية،فهو لزوجها فإذا كان يلحق أبمه، واألب أحد الزانيني،معا ً فإن الولد انتج من زانمها،) أوالد ا اهلية مبن ادعاهم يف اإلسالم قياس األب من الزان على األم الزانية38(هللا ع ه كان يُليط فلم ال يلحق أببيه إذا استلحقه وأقر أبنه خلق من مائه؟ َ ، ألنه هي اليت ولدته،ع د مجيع العلماء
وي سب، وهو إذا كان يلحق أبمه، فإن األب أحد الزانيني، والقياس الصحيح يقتضيه...ووضوحا ً "وهذا املذهب كما ترا قوة:قال ابن القيم ً فما املانع، واتفقا على أنه اب هما، وقد اشرتكا فيه، وقد وجد الولد من ماء الزانيني، ويثبت ال سب بي ه وبني أقارب أمه مع كوهنا زنت به، وترثه ويرثها،إليها "من وقه ابألب إذا مل يدعه غري ؟ فهذا ض القياس
، بل لو انتفى م ه بعد استلحاقه له مل يقبل م ه انتفاؤ، فإنه يلحق به، واستلحق ولد م ها، مث أكذب نفسه، فإن املالعن إذا العن زوجته،قياس الزاين على املالعن
، ومحايتهم من التشرد والضياع، والقيام عليهم حبسن الرتبية واإلعداد،فكذلك الزاين إذا استلحق ولد من الزان أن الشارع يتشوف فظ األنساب ورعاية األوالد ولو نشأ من دون أب ي سب إليه ويع برتبيته، وال ج اية حصلت م ه،خصوصا أن الولد ال ذنب له ،ويف نسبة ولد الزان إ أبيه حتقيق هلذ املصلحة ً مؤذاي له أبنواع اإلجرام والعدوان ً ورمبا نشأ، واإلنفاق عليه ألدى ذلك يف الغالب إ تشرد وضياعه واحنرافه وفساد ً ،حاقدا على تمعه 237
، األ بع
ه م هب األئ،مه
ن ي ب ل،ل الزن ال ي حق ب لزاني ا اس حقه
:الق ال ني . ال ه ي
Menurut pendapat kedua, anak zina tidak bisa bernasab dengan bapak bilogisnya, walaupun ia mengakuinya, anak zina itu hanya bisa bernasab dengan ibu kandungnya. Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Imam-imam Madzhab yang empat dan madzhab al-Dzahiriyyah. 7 Dalam hal ini penulis lebih setuju dengan pendapat kedua ini, sebab menolak nasab anak zina dengan ayah biologisnya jelas sejalan dengan prinsip dasar maqâsid as-Syarîah yang di antaranya adalah dalam rangka menjaga kemurnian nasab atau keturunan. Dalam rangka menjaga kemurnian nasab inilah Islam mensyariatkan nikah dan sangat melarang berbagai macam bentuk prostitusi dan perzinaan. Dengan demikian, tampaknya rumusan pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi “Anak yang sah adalah : a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut “, jelas bertentangan dengan kandungan hadis shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim yang menegaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang lahir akibat pernikahan yang sah bukan sekedar lahir “dalam” perkawinan yang sah. Sebab kalau dengan menggunakan kata “dalam”, berarti yang penting pada saat anak itu lahir, orang tuannya sebagai pasangan zina itu telah terikat dalam sebuah pernikahan. Bahkan seandainya pada saat terjadi kontraksi otot rahim karena sudah pembukaan satu atau dua menjelang kelahiran bayi malang itu dan proses pernikahan mereka baru berlangsung, kemudian dalam waktu beberapa menit berikutnya sang jabang bayi tak berdosa itu lahir, maka atas dasar rumusan pasal 99 KHI di atas tetap saja dinyatakan sebagai anak sah, bukan anak zina, padahal jelas-jelas pembuahan embrio bayi malang itu telah terjadi pada saat mereka belum terikat dalam sebuah ikatan pernikahan yang sah.
7
Beberapa alasan logis yang dikemukakan oleh para ulama imam madzhab yang menyangkal keabsahan nasab anak zina bernasab dengan ayah biologisnya adalah sebagai berikut:
" وللعاهر ا جر، "الولد للفراش:قول ال يب ملسو هيلع هللا ىلص ومن ادعى و ًلدا من غري رشدة فال يرث وال، من ساعي يف ا اهلية فقد ق بعصبته، "ال مساعاة يف اإلسالم:× قال رسول هللا:ما روا ابن عباس رضي هللا ع هما قال
."يورث
وإن كان، وال يرث، "إن ال يب × قضى أن كل مستلحق إن كان من أمة مل ميلكها أو من حرة عاهر هبا فإنه ال يلحق به:ما روا عمرو بن شعيب عن أبيه عن جد قال وهو ولد زان، فإنه ال يلحق به وال يرث، "من ادعى و ًلدا من أمة ال ميلكها أو من حرة عاهر هبا: ويف رواية،"الذي يدعى له هو ادعا فهو ولد زنية من حرة كان أو أمة
فإنه إذا،شرعا ملع الزجر عن الزان ً "ألن قطع ال سب: قال السرخسي. وإشاعة للفاحشة بني املؤم ني، أن إثبات ال سب ابلزان فيه تسهيل ألمر الزان."ألهل أمه من كانوا أنه يلزم على القول ابستلحاق ولد الزان أن الشخص إذا اعرتف بزان. فلم يلحق به حبال، أنه ال يلحق به إذا مل يستلحقه."علم أن ماء يضيع ابلزان يتحرز عن فعل الزان ألن اعرتافه ابلزان معها ال يلزم م ه، أبن هذا الزم ال يلزم: وميكن أن يعرتض عليه. وهذا مل يقل به أحد،مع امرأة وولدت و ًلدا أن هذا الولد يلحق ابلزاين ولو مل يستلحقه
ولو أثبت ا ال سب، "ألن الزانية أيتيها غري واحد: قال السرخسي، وهلذا مل يقل هبذا الالزم أحد، فقد يكون من زان غري،إقرار أبن هذا الولد نتيجة زان وأنه لوق من مائه ." وذلك حرام ابل ص،ابلزان رمبا يؤدي إ نسبة ولد إ غري أبيه
238
Pasal 99 KHI ini dikutip langusung dari pasal 42 UU no 1 tahun 1974 tentangperkawinan yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pada saat penulis bertindak sebagai saksi ahli di MK terkait uji materi UU perkawinan ini, penulis mengemukakan beberapa pernyataan sebagaimana penulis uraikan di bawah ini. Menurut penulis, sekalipun pasal 42 UU No 1 Tahun 1974 ini, tidak bertentangan dengan UUD 1945, namun akan sangat baik jika kata-kata “dalam” yang terdapat pada rumusan pasal ini untuk ditinjau ulang atau bila perlu dihilangkan. Sebab dengan adanya kata “dalam”, maka implikasi dan pengaruh besarnya akan terjadi pada legalisasi perzinaan. Hal ini bisa terjadi karena dengan rumusan pasal ini, negara secara otomatis berarti ,mengakui atau mengizinkan dan melegalisasi proses hubungan badan sebelum nikah. Masyarakat dengan ringan dan tanpa merasa berdosa akan menyatakan bahwa married by accident, hamil di luar nikah sudah wajar dan lumrah terjadi di masyarakat modern. Anggapan masyarakat seperti ini memang sangat beralasan, sebab definisi anak sah menurut pasal 42 UU No 1 tahun 1974 dan KHI pasal 99 adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kalau kata dalam masih tetap dipertahankan, pasti akan terus terjadi kasus-kasus hamil di luar nikah. Masyarakat akan tetap merasa aman melakukan zina, toh anaknya tetap dianggap anak sah oleh undang-undang. Bahkan seandainya ada seorang anak gadis telah hamil tua sudah memasuki bulan ke 9, lalu agar anak yang akan lahir itu sah, maka orang tua gadis itu berusaha menikahkan anak gadisnya itu, kemudian beberapa hari atau bahkan beberapa jam lagi bayi hasil perzinaan itu lahir, maka anak zina itu tetap dianggap sebagai anak sah, mengingat ia telah lahir dalam perkawinan. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip mendasar dalam Hukum Islam, tentang pemeliharaan nasab. Penulis nyatakan bahwa UU NO 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI berpotensi mengembalikan cara penetapan nasab ala zaman jahiliah, sebab UU no 1 tahun 1974 ini di satu sisi tidak mengakui anak yang lahir di luar perkawinan, hanya karena pernikahan kedua orang tuanya tidak dicatat, di sisi lain anak yang diproses melalui perzinaan justru dianggap sebagai anak sah. Dengan syarat pada saat anak itu lahir bapak dan ibunya telah menikah. Sungguh sebagai sebuah rumusan pasal yang perlu mendapatkan perhatian serius. Al-Qadhi ‘Iyadh sebagaimana dikutip oleh Imam al-Nawawi berkata:
به
اإلم ء ل زن فإ اع فت األ بأنه له لحق
ك نت ع الج ه ي لح ال ب ب لزن ك ن ا ي أج فج ء االسال بإبط لك بإلح ال ل ب ل ا ال عي
Adalah kebiasaan masyarakat jahiliah menetapkan nasab anak melaui perzinaan, mereka menyewakan budak-budak perempuan untuk berzina, jika ada seorang budak mengaku bahwa anak yang dilahirkan itu berasal dari benih seorang laki-laki hidung belang yang pernah menidurinya, maka mereka menetapkan nasab anak yang lahir itu kepadanya. Ajaran agama Islam hadir untuk membatalkan tradisi buruk ini. Lalu menetapkan dasar pembentukan nasab berdasarkan kepemilikan ranjang secara syar’i/perkawinan yang sah8. C. Status Anak Zina dan akibat kawin hamil Pada dasarnya setiap anak yang lahir, baik dalam perkawian maupun di luar perkawinan anak yang dilahirkan semuaya memiliki status dan kondisi fitrah yang sama-sama bersih tanpa dosa dan noda. Tidak ada anak yang lahir dengan membawa dosa turunan dari siapapun 8
Imam al-Nawawi, Syarh Sahîh Muslim, (Riyâd, Bait al-Afkar al-Dauliyyah, Tth), hlm 913
239
termasuk dari kedua orang tuanya yang melakukan perzianaan. Perzinaan memang sebagai salah satu dosa besar sebagai mana dinyatakan oleh Husain al-Dzahabi bahwa zina adalah sebagai dosa besar yang kesepuluh.9 Julukan yang sudah terlanjur melekat pada diri anak yang dilahirkan dalam kasus perzinaan memang ada sejak dahulu. Tidak begitu jelas julukan ini pertama kali muncul di dunia ini. Tetapi yang jelas apapun nama, julukan dan predikat anak zina, secara hukum ia tetap sebagai anak yang bersih dan suci. Anak zina juga masuk dalam kategori “maulud” anak yang dilahirkan, sebagaimana disebutkan dalam hadis:
ْ كل م ْ ل ي ل ع ْال: س هللا ص هللا ع يه س م ، ط ق: ق، ضي هللا ع ْه، ع ْن بي ه ْي ، ابن ج ي، ال ئ، ال ا م، ْ ي ج نه { ا ح، ْ ي ص انه، ب ا ي انه ح ي } ال ي ق، ب نعيم، الح كم، الط ان، ابن ح
Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah SAW bersabda, setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, suci sehingga adalah kedua orang tuanya yang membuat ia beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi ( HR Ahmad, al-Darimi. Al-Nasa’I, Ibnu Jarir, Ibnu Hibban, al-Tabrani, al-Hakim, Abu Na’im dan al-Baihaqi) Berdasarkan hadis ini bisa dikemukakan di sini bahwa setiap bayi tanpa kecuali, termasuk yang lahir dalam kasus perselingkuhan, samen leven, perzinaan dan dalam kondisi normal tetap dalam kondisi bersih suci tanpa dosa sedikitpun. Apalagi menanggung dan memikul beban dosa kedua orang tuanya yang terlibat dalam kasus hubungan terlarang. Kalau anak zina saja dianggap bersih, maka anak yang lahir dalam kasus nikah di bawah tangan, dalam nikah siri dan dalam berbagai bentuk pernikahan apapun tentu saja harus lebih ditekankan kefitrahan dan kebersihannya. Dalam kaitan ini, masyarakat terkadang belum bisa memahami makna kata fitrah sebagaimana hadis di atas. Ada sebagian yang berpendapat bahwa oleh karena setiap bayi yang lahir itu tetap dianggap bersih tanpa dosa, maka sudah selayaknya kalau anak itu tidak diberikan sanksi-sanksi tertentu dan ia harus dibebaskan dari berbagai tuntutan hukum. Oleh sebab itu, demikian komentar sebagian warga masyarakat, anak zina tidak boleh diperlakukan secara khusus apalagi dicap sebagai anak haram, anak kotor, anak jadah dan beberapa gelar negatif lain termasuk disebutkan bahwa anak zina untuk selamanya tidak akan pernah mempunyai nasab dengan ayah biologisnya dan seterusnya yang sungguh akan sangat merugikan bagi perkembangan psikis anak tersebut. Bila dibaca secara sekilas seakan-akan kalimat semacam ini memang benar dan sejalan dengan UUD 1945, Ham dan UU Perlindungan Anak. Namun jika direnungi dan ditelaah secara mendalam, pada dasarnya pernyataan seperti ini, ternyata juga tidak tepat. Sebab aturan hukum Islam tentang anak zina yang tidak akan memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya dan tidak akan bisa menerima hak nafkah, hak perwalian dan hak waris dari pewarisnya bukan sebagai hukuman atas anak yang tak berdosa itu. Tetapi sebagai hukuman bagi ayah biologisnya yang biasanya ia akan merasa senang dengan lahirnya anak, lalu ia bisa berbangga dengan anaknya, sehingga rasa bangga orang tuanya ini diwujudkan dengan adanya hak ayah biologisnya untuk memberikan hak nasab, hak nafkah, memberikan hak perwalian dan memberikan warisan kepada anaknya. Orang tua, khususnya ayah bilogis dilarang memiliki sikap bangga atas anak biologisnya, sebab sang ayah biologis telah melakukan pelanggaran besar 9
Al-Dzahabî, Syamsuddîn, Kitâb al-Kabâ`ir, (Jakarta : Syirkah Dina Mutiara Berkah Utama, tth), hlm 42
240
berupa perzinaan yang dilakukan berdua dengan ibu anak itu. Sang ayah biologis bukan hanya dilarang berbangga dengan anak yang dilahirkannya, melainkan ia dihukum dengan keharusan bersedia untuk tidak memberikan hak perwalian, hak kewarisan dan hak nafkahnya kepada anak biologisnya. Hal ini dimaksudkan sebagai konsekuensi logis dari perbuatan zina yang pernah dilakukannya. Tetapi fakta di lapangan berkata lain. Ayah biologis yang dihukum dengan hukuman moral berupa tidak boleh berbangga dan menerima beberapa hak mendasar atas anak kandungnya, ternyata disalahartikan dengan menyatakan bahwa lantaran anak lahir dalam kasus hamil di luar nikah, maka sang anak menanggung penderitaan berupa memperoleh predikat sebagai anak haram, anak najis, anak jadah dan beberapa julukan sangat buruk lain. Di sinilah letak salah kaprah yang menurut penulis sangat perlu diluruskan. Yaitu yang dihukum itu bukan anak yang tidak berdosa, melainkan bapak dan ibu kandungnya yang sudah terlanjur berbuat dosa karena berzina. Bagaimana dengan ibu kandungnya? Mengapa ia tidak dihukum seperti ayah kandung yang diputus segala hak keperdataannya dengan anak hasil perzinaannya? Jawabannya tidak lain bahwa sudah ada sebagian ulama yang juga menghukum ibu seperti ayah kandungnya. Tetapi jumhur ulama pada umumnya tidak setuju jika sang ibu juga diberi hukuman yang sama dengan ayah biologisnya. Alasan jumhur ulama tentu saja karena teks hadis-hadis Nabi berkata demikian. Jika diteliti secara logika, boleh jadi karena peran ibu dalam masa hamil dan mnyusui anak sangat berat, sehingga tetap diberikan hak keperdataan secara utuh terhadap anak yang pernah dikandung, diberi ASI dan disapih serta dididiknya. Apa yang penulis kemukakan di atas, memang tidak lazim dijelaskan oleh para ulama fikih. Dalam hal ini penulis berupaya untuk mencari jawaban atas pertanyaan orang awam yang biasanya mereka bertanya, mengapa anak zina yang katanya bersih tidak menanggung beban dosa kedua orang tuanya, tetapi tetap dicap sebagai anak yang untuk seumur hidupnya tidak punya wali? Tidak bernasab dengan bapak biologisnya, tidak mendapatkan nafkah dan waris? Bukankah hal ini sebagai sebuah bentuk diskriminasi hukum? Bukankah hal ini justru menunjukkan bahwa anak zina itu banyak menanggung beban penderitaan akibat dosa yang dikerjakan oleh kedua orang tuanya? Bukankah dalam Islam terdapat ayat yang menyebutkan bahwa tidak ada dosa warisan, tidak ada pelimpahan dosa? Dan seterusnya beberapa pertanyaan “ ngeyel” dan konyol yang cukup sulit untuk menjawab dan meluruskannya, agar tidak menyesatkan. Dalam rangka menjawab beberapa model pertanyaan “aneh” inilah penulis memaparkan penjelasan di atas. Sebagai sebuah tambahan jawaban, bahwa bagi orang yang hatinya bersih akan segera faham bahwa akibat perbuatan zina, maka orang tuanya dihukum dengan dicegahnya menikmati anugerah anak yang dilahirkannya, ia tidak memiliki hubungan nasab, dan beberapa hak lain yang mengiringinya. Beberapa konsekwensi ini bagi orang yang bersih dan mukhlish, ia tentu akan faham bahwa hal itu sebagai hukuman. Tetapi bagi manusia yang hatinya kotor, alMujrimun dan para pendosa, dipastikan tidak akan bisa memahami konsep hukuman Allah yang selembut ini. Mereka justru akan mengatakan, jika tidak boleh memberi nafkah, tidak boleh jadi wali dan tidak boleh memberikan harta warisan kapada anak zina, maka justru “kebeneran” kan malah jadi enak, tidak perlu repot-repot mengurus dan bertanggungjawab atas anak yang lahir dalam perzinaan ini. Para pendosa dipastikan tidak akan faham dengan konsep “istidrâj” sebagaimana firman Allah:
}383 : 7/ {األع ا
241
ال ين ك ب ا ب ي ت س ْ ْ ج ْم م ْن حيْث ال ي ْع
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. (QS: alA’raf/7: 182) Konsep istijrâj inilah yang bisa dijadikan sandaran kuat tentang hukuman bagi orang tua yang berzina, ia harus menanggalkan semua hak yang mestinya melekat pada dirinya. Yaitu pada saat dikaitkan dengan tanggapan orang yang masuk dalam kategori al-Mujrim. Orang yang banyak melakukan dosa, belum tentu ditegur oleh Allah di dunia ini, tetapi justru sebaliknya, ia malah diulur, atau meminjam istilah Betawi “diambulin” atau orang jawa menyebutnya dengan “dilulu”. Sampai sejauh mana ketidaksadaran mereka dalam memahami konsep istidrâj Allah ini. Penulis pun sadar bahwa pada saat menulis beberapa paragraf terakhir ini, apa yang penulis kemukakan memang berbeda jauh dengan konsep ilmu hukum Islam. Hal ini bahkan telah memasuki ranah ilmu keislaman yang lain, namun penulis yakin bahwa uraian semacam ini masih relevan dengan tema nasab dan status anak dalam hukum Islam. Masalah lain yang sering terjadi di masyarakat adalah married by accident atau kawin hamil sebagaimana penulis uraikan di atas. Dalam pasal 53 ayat 1 sampai dengan ayat 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan sebagai berikut: (1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Dengan melihat rumusan pasal 53 ayat (1) bisa dimaknai bahwa wanita hamil dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya dan dapat pula tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Inilah konsekuensi dari penggunaan kata “dapat”. Kata ini juga digunakan dalam rumusan pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Di sana disebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keaadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Oleh karena dalam pasal ini juga menggunakan kata “dapat”, maka walaupun korupsi dilakukan dalam keadaaan tertentu seperti dimaksudkan oleh pasal 2 ayat (2) ini dilakukan, pidana mati dapat pula tidak dijatuhkan. Sehingga sampai hari ini tidak ada seorang koruptorpun di Indonesia yang pernah dijatuhi hukuman mati. Inilah konsekwensi dari pemakaian kata “dapat”. Pertanayaannya mengapa tim perumus KHI menggunakan kata “dapat” pada rumusan pasal 53 ayat (1) ini?. Tentu saja hal ini dimaksudkan sebagai langkah antisipatif. Sebab dalam kasus hamil di luar, bisa saja terjadi kehamilan akibat perkosaan. Dalam kasus hamil karena perkosaan, sudah barang tentu wanita korban perkosaan itu tidak akan pernah dikawinkan dengan pria pemerkosa. Sehingga rumusan pasal ini bisa berbunyi seorang wanita hamil di luar nikah dapat tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Kemudian terkait ayat (2) yang menyebutkan bahwa Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Jika kondisi hamil seperti yang dimaksud dalam pasal ini dikait-kaitkan dengan masalah iddah bagi wanita hamil yang disebutkan dalam Alquran surat al-Talaq/65 ayat 4 yang berbunyi ال ج ن ْ ي ْعن ح ْ ن ْ” ْاألح, wanita-wanita hamil masa iddah mereka hingga mereka melahirkan, maka sama sekali tidak tepat. Sebab kewajiban iddah itu sebagai sebuah kenikmatan agama yang hikmahnya antara lain untuk menjaga kemurnian nasab itu sendiri. Karena tujuan iddah jelas seperti ini, maka dalam kasus hamil di luar nikah sama sekali tidak tepat jika tetap menggunakan ayat ini sebagai dalil dalam melarang wanita hamil akibat zina untuk menikah dalam kondisi “
242
hamil. Dengan kata lain, wanita hamil yang dilarang menikah hingga melahirkan anaknya sebagaimana pesan ayat di atas adalah jika hamilnya akibat pernikahan yang sah, tetapi jika hamil bukan karena menikah, malainkan karena berzina, tetap menggunakan ayat ini sebagai dalil hukum, maka sama saja yang bersangkutan tidak menghormati Alquran. Sebab Alquran tidak pernah merestui seorang wanita untuk hamil sebelum ia menikah. Tidak ada satu ayatpun yang membolehkan hamil dulu sebelum menikah. Hal ini perlu penulis tegaskan sebab sangat boleh jadi di sebagian tempat, ada ustadz, bahkan ulama atau tokoh agama Islam yang melarang wanita hamil untuk menikah dengan pria yang menghamilinya atau dengan lelaki lain yang bersedia menikahinya, dengan dalil ayat 4 surat al-Talaq di atas. Bahkan hal lucu dan aneh juga bisa terjadi bahwa agar anak yang dikandung oleh wanita hamil tanpa menikah itu sah dan bernasab dengan ayah biologisnya, maka sesaat setelah wanita hamil di luar nikah itu melahirkan, ia langsung dinikahkan ulang. Inipun sebuah kebiasaan yang tidak berdasar. Oleh sebab itu perlu sosialisasi secara simultan di masyarakat tentang isi pasal 53 KHI ini. Menurut penulis, banyak tokoh agama di sebagian masyarakat Indonesia yang belum atau tidak mau mengenal KHI, padahal yang bersangkutan sangat faham dengan berbagai arti ayat Alquran dan bahkan beberapa hadis Nabi SAW. Sehingga dengan alasan bahwa KHI tidak lebih baik daripada Alquran dan hadis, maka sering didapatkan pendapat-pendapat ganjil di masyarakat seperti yang penulis gambarkan di atas. Termasuk dalam masalah gono-gini atau harta bersama suami istri sebagaimana antara lain disebutkan dalam pasal 96 KHI. Oleh sebab itu sosialisasi hukum Islam Indonesia seperti yang terdapat dalam UU Perkawinan dan KHI sangat perlu dilakukan. Tentu yang paling praktis melalui jalur-jalur KUA (Kantor Urusan Agama) di setiap kecamatan di seluruh Indonesia. Dalam rangka sosialisasi hukum Islam Indonesia, buku penulis ini menjadi bagian penting untuk bisa disampaikan kepada seluruh KUA agar mereka ikut membaca tema penting dan aktual terkait dinamisasi hukum Islam di Indonesia. Dari uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa terkait anak zina dan hamil di luar nikah, pada dasarnya anak yang lahir dalam keadaan dan kondisi apapun baik lahir dalam perkawinan maupun akibat perzinaan apalagi akibat perkosaan, maka anak tersebut tetap lahir dalam kondisi fitrah, suci bersih tidak memiliki noda dan dosa. Dalam ajaran agama Islam juga tidak dikenal istilah dosa turunan atau pelimpahan dosa dari pihak satu ke pihak lain. Sebab masing-masing orang bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya, baik berupa ganjaran maupun dosa. Kemudian terkait hamil di luar nikah, sosialisasi dan penjelasan secara arif, bijak dan simultan terkait pasal 53 KHI sangat diperlukan untuk segala lapisan masyarakat. Masyarakat sangat perlu diberitahu urgensi memahami hukum Islam sesuai kontek keIndonesiaan agar bisa aplikatif dan tidak bersikap dan bersifat kaku dalam memahami hukum yang ada dalam Alquran dan hadis. Dalam rangka inilah sosialisasi UU Perkawinan dan KHI serta tema-tema penting dalam perkembangan dan dinamisasi hukum Islam di Indonesia diperlukan. Termasuk di dalamnya tentang putusan MK terkait status anak luar nikah. Sosialisasi ini sangat penting dilakukan agar semangat melindungi wanita dan anak-anak tetap terakomodir. Tetapi prinsip penegakan hukum Islam tidak mengalami pergeseran bahkan agar tidak sampai ada penyimpangan pemahaman yang berakibat menimbulkan mafsadat di masyarakat. Namun sebaliknya aspek maslahat bagi umat harus selalu diutamakan dan dikedepankan. D. Dampak Putusan MK tentang anak luar nikah
243
Sebelum penulis menguraikan dampak putusan MK tentang anak luar nikah, terlebih dahulu perlu dikemukakan bahwa penulis berada di balik putusan MK yang sangat kontroversi dan bahkan menjadi polemik hingga saat buku yang aslinya tesis penulis di UIN Jakarta ini ditulis dan direvisi, polemik dimaksud belum kunjung berakhir. Buntut dari putusan MK ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa no 11 tahun 2012 tentang Anak Zina dan Perlakuan Terhadapnya. Fatwa ini sangat panjang berjumlah 11 halaman yang bisa dilihat pada bagian-bagian akhir buku ini. Sekitar satu tahun lalu di awal-awal bulan April 2011 penulis mendapatkan amanat dari salah seorang promotor disertasi yang ahli dalam bidang hukum pidana. Beliau adalah Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah yang sengaja penulis “sowani”, untuk berkenan memberikan kata pengantar pada buku penulis berjudul Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Pada saat itu beliau memberitahu bahwa kalau ada seseorang meminta penulis untuk menjadi saksi ahli terkait hukum Islam, tolong dibantu dan diterima. Itulah awal mula penulis berada di balik putusan MK ini. Tidak lama dari kabar yang beliau amanatkan, penulis dihubungi malalui telepon oleh ibu Machicha Mochtar. Hal ini terjadi pada saat penulis menjadi anggota TPI (Tim Pengawas Independen) Ujian SMU/SMK di SMK Kebangsaan Kawasan Bintaro) tahun 2011. Akhirnya ia dan kuasa hukumnya datang ke rumah penulis dengan maksud sesuai dengan yang disampaikan oleh promotor penulis di atas. Adalah Rabu 4 Mei 2011 penulis bertugas untuk menyampaikan kesaksian di depan sidang pleno majelis hakim MK. Pada mulanya penulis “pesismis” dengan permohonan uji materi atas pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan ini. Sebab menurut penulis, jika kedua pasal itu tetap dipertahankan, mungkin akan menimbulkan mudarat bagi sebagian anggota masyarakat, tetapi untuk menyatakan kedua pasal itu tidak berlaku karena bertentangan dengan UUD 1945 juga pasti akan menimbulkan mudarat yang lebih besar. Padahal dalam hukum Islam terdapat sebuah prinsip jika terdapat dua mudarat yang bersamaan, maka harus mengesampingkan mudarat yang lebih kecil, agar tidak terjadi kekacauan lebih lanjut. Di samping itu, penulis juga kemukakan bahwa sebagai warga Negara yang baik, mestinya seseorang bukan hanya taat kepada ajaran agamanya, melainkan juga harus taat kepada ulil amri yang antara lain produknya adalah UU. Taat kepada ulil amri merupakan bagian dari kewajiban taat kepada Allah, sesuai dengan ayat 59 surat an-Nisa, juga beberapa hal lain yang penulis kemukakan dalam sidang pleno untuk mendengarkan keterangan saksi ahli itu. Secara lengkap bisa dilihat pada bagian lain dalam uraian ini. Selang sekitar sembilan bulan terhitung sejak 4 Mei 2011, Jumat 17 Februari 2012 penulis diminta hadir dan ikut mendengarkan putusan MK terkait uji materi di atas. Oleh karena ketika itu hari jumat, bersamaan dengan tugas penulis sebagai khatib jumat di masjid alAsyiratussyafi’iyyah Gandaria Jakarta Selatan, maka setelah putusan dibacakan, penulis langusng mohon keluar terlebih dahulu dan belum sempat menghidupkan HP kembali hingga khutbah jumat selesai. Sesaat setelah jumatan berakhir, tentu setelah HP aktif kembali, detikcom yang pertama kali telepon penulis mempertanyakan substansi dan dampak putusan MK yang disinyalir justru akan memberi peluang bagi maraknya perzinaan di Indonesia. Pada saat itu penulis tegaskan bahwa bukan itu maksud putusan MK. MK lebih pada membela kepentingan dan hak-hak anak. Penulis tegaskan bahwa MK sama sekali tidak menyingung tentang nasab, sebab nasab itu sebagai masalah agama sedang putusan MK itu sebagai ranah Negara. Pernyataan penulis pada kalimat terakhir di atas inilah yang ternyata oleh sebagian tokoh hukum Islam di MUI dianggap sangat berbahaya. Sebab kalimat itu menggambarkan bahwa 244
anda berpemikiran sekuler. Bahkan anggapan-anggapan dan berbagai persepsi serta tanggapan bertubi-tubi “menyerang” penulis. Hingga saat itu penulis merasa bagai artis pendatang baru dalam dunia hukum Islam di Indonesia. Bahkan nama penulis cukup populer di beberapa media berita di internet, detikcom, hukumonline, mahkamahkonstitusicom, mediaindonesia, bahkan di detikhot, republika dan lain-lain. Kemudian media yang disebut terakhir inilah yang akhirnya penulis jadikan sarana “curhat” lebih lanjut terkait berbagai komentar pedas dan miring atas putusan MK dalam masalah ini. Setidaknya hingga buku ini ditulis sudah tiga artikel penulis yang dimuat oleh harian umum Islami yang banyak dibaca para ulama ini. Ketiga artikel ini juga bisa dilihat pada bagian lain dari buku ini. Demikian luas dan hebohnya dampak putusan MK ini. Hal ini bisa terjadi karena beberapa faktor. Antara lain karena uji materi ini diajukan oleh seorang artis dan mantan pejabat kelas atas di Republik ini. Hal lain yang paling pokok tentu saja terkait materi putusan itu sendiri. Materinya adalah hukum Islam yang sangat aplikatif, praktis dan bersifat mengakar hingga pada lapisan bawah masyarakat, sebab menyangkut perkawinan dan lembaga perkawinan bahkan lembaga catatan sipil. Dampak putusan MK yang satu ini bukan hanya terbatas pada satu kementerian, melainkan menembus lintas kementerian, yaitu Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan HAM, kementerian Dalam Negeri dan juga Mahkamah Agung RI. Bahkan hingga ke kampung-kampung di seluruh pelosok Nusantara merasakan dampak dari putusan ini, khususnya bagi ujung tombak pelaksana hukum Islam di KUA dan PA serta PTA di seluruh Nusantara. Di sinilah letak urgensi dan sisi menariknya putusan MK yang satu ini. Penulis juga agak menyayangkan sebagian pihak yang terlalu cepat berkomentar pedas bahkan juga menyebut-nyebut nama penulis. Komentar semacam ini dianggap terlalu cepat sebab dimungkinkan yang bersangkutan belum atau bahkan tidak membaca secara utuh apa yang sesungguhnya penulis paparkan kepada MK. Ada sebagian yang sudah langsung curiga bahwa putusan MK ini diberi masukan oleh orang yang “beraliran lain” dalam hukum Islam, ada yang memberikan saran, walau sudah terlambat, sebaiknya saksi ahli berdiskusi dulu dengan temanteman dosen di FSH UIN Jakarta, sebelum memberikan kesaksian, terhadap masukan yang terakhir ini, penulis berikan apresiasi yang setinggi-tingginya dan jazakumullâh atas masukan berharganya. Kesan-kesan seperti ini tentu saja sangat bisa dimengerti, terlebih setelah penulis kirim sebuah artikel berjudul “Ijtihad Spektakuler MK” di harian Republika yang terbit hari Selasa 21 Februari 2012, pasca putusan MK. Tulisan ini mendapat tanggapan beragam dari para pembaca. Ada yang setuju, ada yang sangat kontra. Bahkan Sabtu 25 Februari Ketua KUA Kecamatan Gemolong Sragen, Muh Nursalim menulis artikel tanggapan dengan judul “Ijtihad Liar MK”. Pihak MUI juga menjadi sangat sibuk, kaget bahkan mungkin juga marah bak kebakaran jenggot dengan putusan MK yang kontroversi ini. Hingga ada pernyataan pedas dari MUI bahwa memangnya MK itu Tuhan yang Kalamnya tidak bisa dikoreksi dan tidak boleh dirubah?, dan berbagai tanggapan pro-kontra yang sungguh membuat perkembangan pemikiran hukum Islam Indonesia sangat dinamis setelah dipicu oleh putusan MK terkait anak luar nikah ini. Untuk sekedar melengkapi bahan kajian, apa yang menjadi tuntutan dan permohonan pihak pemohon yudicial review UU Perkawinan yang berakibat pada polemik MK dan MUI ini, berikut penulis paparkan secara lengkap permohonan dimaksud, tentu setelah disadur dan diedit seperlunya tanpa merubah makna intinya. Termasuk di dalamnya ada beberapa hal yang penulis
245
kemukakan dalam sidang pleno untuk mendengarkan keterangan saksi ahli sembilan bulan sebelum putusan ini dibacakan dan dipublikasikan. 1. Alasan-alasan Permohonan Uji Materiil UU Perkawinan Sejumlah alasan yang diajukan oleh pihak pemohon dalam permohonan uji materiil UU Perkawinan ini dikemukakan bahwa pemohon merupakan pihak yang secara langsung mengalami dan merasakan hak konstitusionalnya dirugikan dengan diundangkannya UU Perkawinan terutama berkaitan dengan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1). Pasal ini ternyata justru menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi Pemohon berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anaknya yang dihasilkan dari hasil perkawinan.10 Alasan berikutnya bahwa hak konstitusional Pemohon yang telah dilanggar dan merugikan tersebut adalah hak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut. Pasal-pasal pokok dalam UUD 1945 yang terkait hak asasi manusia itu merupakan alasan kuat bahwa pihak pemohon dan anaknya memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan pengesahan atas pernikahan dan status hukum anaknya. Sebab ternyata hak konstitusional yang dimiliki oleh Pemohon telah dicederai oleh norma hukum dalam UU Perkawinan. Norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan karena perkawinan Pemohon adalah sah dan sesuai dengan rukun nikah dalam Islam. Merujuk ke norma konstitusional yang termaktub dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 maka perkawinan Pemohon yang dilangsungkan sesuai dengan rukun nikah adalah sah tetapi terhalang oleh Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan.11 Dari rumusan pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan di atas, bisa diketahui bahwa norma hukum yang mengharuskan sebuah perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku telah mengakibatkan perkawinan yang sah dan sesuai dengan rukun nikah agama Islam (norma agama) menjadi tidak sah menurut norma hukum. Kemudian secara otomatis hal ini berdampak kepada status anak yang dilahirkan Pemohon ikut tidak menjadi sah menurut norma hukum dalam UU Perkawinan. Jadi, jelas telah terjadi pelanggaran oleh norma hukum dalam UU Perkawinan terhadap perkawinan Pemohon (norma agama). Hal senada juga disampaikan oleh Van Kan:yang menyatakan bahwa “Kalau pelaksanaan norma-norma hukum tersebut tidak mungkin dilakukan, maka tata hukum akan memaksakan hal lain, yang sedapat mungkin mendekati apa yang dituju norma-norma hukum yang bersangkutan atau menghapus akibat-akibat dari pelanggaran norma-norma hukum itu.”12 Pihak pemohon berusaha keras untuk mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi dengan mengemukakan bahwa konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut adalah setiap orang memiliki kedudukan dan hak yang sama termasuk haknya untuk mendapatkan pengesahan atas pernikahan dan status hukum anaknya. Norma konstitusi yang timbul dari Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) adalah adanya persamaan dan kesetaraan di hadapan hukum. Tidak ada diskriminasi dalam penerapan norma hukum terhadap setiap orang disebabkan cara pernikahan yang ditempuhnya 10
Risalah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jumat 17 Februari 2012
11
Risalah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jumat 17 Februari 2012 (Van Kan, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan dari Incleiding tot de Rechtswetenshap oleh Mr. Moh. O. Masduki), PT. Pembangunan, Jkt, cet. III, 1960, hal. 9-11.) 12
246
berbeda dan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut adalah sah di hadapan hukum serta tidak diperlakukan berbeda. Tetapi, dalam praktiknya justru norma agama telah diabaikan oleh kepentingan pemaksa yaitu norma hukum Perkawinan Pemohon yang sudah sah berdasarkan rukun nikah dan norma agama Islam, menurut norma hukum menjadi tidak sah karena tidak tercatat menurut Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. Akibatnya, demikian alasan lebih lanjut yang diajukan oleh pihak pemohon, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan Pemohon menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Di sisi lain, perlakuan diskriminatif ini sudah barang tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di muka hukum menjadi tidak jelas dan sah. Padahal, dalam UUD 1945 dinyatakan anak terlantar saja, yang status orang-tuanya tidak jelas, dipelihara oleh negara. Tetapi kenyataannya hal yang berbeda diperlakukan terhadap anak pemohon yang dihasilkan dari perkawinan yang sah, sesuai dengan rukun nikah dan norma agama justru dianggap tidak sah oleh UU Perkawinan. Konstitusi Republik Indonesia tidak menghendaki sesuatu yang sudah sesuai dengan norma agama justru dianggap melanggar hukum berdasarkan norma hukum. Bukankah hal ini merupakan pelanggaran oleh norma hukum terhadap norma agama; ? demikian pihak pemohon berupaya meyakinkan para hakim Mahkamah Konstitusi.13 Selanjjutnya dikemukakan berbagai argumentasi kuat oleh pihak pemohon bahwa dalam kedudukannya sebagaimana diterangkan di atas, maka telah terbukti Pemohon memiliki hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional dengan berlakunya UU Perkawinan, khususnya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1), yaitu yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan dan hubungan hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Telah terjadi pelanggaran atas hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia, karena Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tersebut bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Hal ini mengakibatkan pemikahan Pemohon yang telah dilakukan secara sah sesuai dengan agama yang dianut Pemohon, yaitu agama Islam, tidak mendapatkan kepastian hukum sehingga menyebabkan pula anak hasil pemikahan Pemohon juga tidak mendapatkan kepastian hukum pula; Jelas hak konstitusional dari anak telah diatur dan diakui dalam Pasal 28B ayat (2)14. UUD 1945 jelas-jelas menjamin dan melindungi hak-hak anak, tetapi kenyataannya sejak Iahirnya anak Pemohon telah mendapatkan perlakuan diskriminatif yaitu dengan dihilangkannya asal-usul dari anak Pemohon dengan hanya mencantumkan nama Pemohon dalam Akta Kelahirannya dan negara telah menghilangkan hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang karena dengan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya menyebabkan suami dari Pemohon tidak mempunyai kewajiban hukum untuk memelihara, mengasuh dan membiayai anak Pemohon. Tidak ada seorang anakpun yang dilahirkan di muka bumi ini dipersalahkan dan diperlakukan diskriminatif karena cara pemikahan yang ditempuh kedua orang tuanya berbeda tetapi sah menurut ketentuan norma agama. Dan, anak tersebut adalah anak yang sah secara hukum dan wajib diperlakukan sama di hadapan hukum; Kenyataannya maksud dan tujuan diundangkannya UU Perkawinan berkaitan pencatatan perkawinan dan anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan, dianggap sebagai anak di luar perkawinan sehingga hanya mempunyai hubungan perdata dengan 13
Risalah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jumat 17 Februari 2012 Risalah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jumat 17 Februari 2012
14
247
ibunya. Kenyataan ini telah memberikan ketidakpastian secara hukum dan mengganggu serta mengusik perasaan keadilan yang tumbuh dan hidup di masyarakat, sehingga merugikan pihak Pemohon.15 Dengan pernyataan yang sangat meyakinkan pihak pemohon mengemukakan bahwa kelahiran anak Pemohon ke dunia ini bukanlah suatu kehadiran yang tanpa sebab, tetapi sebagai hasil hubungan kasih-sayang antara kedua orang tuanya (Pemohon dan suaminya), namun akibat dari ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, menyebabkan suatu ketidakpastian hukum hubungan antara anak dengan bapaknya. Hal tersebut telah melanggar hak konstitusional anak untuk mengetahui asal-usulnya. Juga menyebabkan beban psikis terhadap anak dikarenakan tidak adanya pengakuan dari bapaknya atas kehadirannya di dunia. Tentu saja hal tersebut akan menyebabkan kecemasan, ketakutan dan ketidaknyamanan anak dalam pergaulannya di masyarakat. Dengan demikian, nyata-nyata bahwa pihak Pemohon secara objektif mengalami kerugian materi atau finansial, yaitu Pemohon harus menanggung biaya untuk kehidupan Pemohon serta untuk membiayai dalam rangka pengasuhan dan pemeliharaan anak. Hal ini disebabkan adanya ketentuan dalam UU Perkawinan yang mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum atas pernikahan pemohon dan anak yang dihasilkan dari pemikahan tersebut. Akibatnya, pemohon tidak bisa menuntut hak atas kewajiban suami memberikan nafkah lahir dan batin serta biaya untuk mengasuh dan memelihara anak.16 Tegasnya, demikian pihak pemohon mengajukan argumentasinya, UU Perkawinan tidak mencerminkan rasa keadilan di masyarakat dan secara objektif-empiris telah memasung hak konstitusional pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia untuk memperoleh kepastian hukum dan terbebas dari rasa cemas, ketakutan, dan diskriminasi terkait pernikahan dan status hukum anaknya. Bukankah Van Apeldoorn dalam bukunya Incleiding tot de Rechtswetenschap in Nederland menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki kedamaian. Kedamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu yaitu kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan lain sebagainya terhadap yang merugikannya. Kepentingan individu dan kepentingan golongan-golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan-kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian dan kekacauan satu sama lain kalau tidak diatur oleh hukum untuk menciptakan kedamaian dengan mengadakan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi, di mana setiap orang harus memperoleh sedapat mungkin yang menjadi haknya.17 Lebih lanjut pihak pemohon berusaha mengemukakan berbagai alasan yuridis bahwa norma konstitusi yang termaktub dalam UUD 1945 salah satunya mengandung tujuan hukum. Tujuan hukum dapat ditinjau dari teori etis (etische theorie) yang menyatakan hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Kelemahannya adalah peraturan tidak mungkin dibuat untuk mengatur setiap orang dan setiap kasus, tetapi dibuat untuk umum, yang sifatnya abstrak dan hipotetis. Dan, kelemahan lainnya adalah hukum tidak selalu mewujudkan keadilan. Di sisi lain, menurut teori utilitis (utilities theorie), hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya 15
Risalah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jumat 17 Februari 2012 Risalah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jumat 17 Februari 2012 17 (Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Incleiding tot de Studie van Het Nederlandse Recht oleh Mr. Oetarid Sadino, Noordhoff-kalff N.V. Jkt. Cet. IV, 1958, hal. 13). 16
248
pada orang sebanyak-banyaknya. Kelemahannya adalah hanya memperhatikan hal-hal umum, dan terlalu individualistis, sehingga tidak memberikan kepuasan bagi perasaan hukum. Teori selanjutnya adalah campuran dari kedua teori tersebut yang dikemukakan oleh para sarjana ini. Bellefroid menyatakan bahwa isi hukum harus ditentukan menurut dua asas, yaitu keadilan dan faedah. Utrecht menyatakan hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas tersebut tersimpul pula tugas ketiga yaitu hukum bertugas polisionil (politionele taak van het recht). Hukum menjaga agar dalam masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri (eigenrichting). Sedangkan, Wirjono Prodjodikoro berpendapat tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan bahagia dan tertib dalam masyarakat.18 Atas dasar penjelasan tersebut, demikian dikemukakan oleh pihak pemohon, norma hukum yang termaktub dalam UU Perkawinan telah melanggar hak konstitusional yang seharusnya didapatkan oleh Pemohon. Sehingga pihak pemohon menyatakan bahwa berdasarkan semua hal yang telah diuraikan di atas, , maka MK berwenang untuk mengadili dan memutuskan Perkara Permohonan Uji Materiil Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan terhadap Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Berdasarkan semua hal yang telah diuraikan tersebut dan bukti-bukti terlampir maka dengan ini Pemohon memohon ke Mahkamah Konstitusi agar berkenan memberikan Putusan sebagai berikut: pertama, Menerima dan mengabulkan Permohonan Uji Materiil Pemohon untuk seluruhnya; kedua, Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, bertentangan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD1945; ketiga, Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya; Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, maka dimohonkan Putusan yang seadil12 adilnya (ex aequo et bono)19. Kemudian menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-6, sebagai berikut: 1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2. Bukti P-2 : Fotokopi Penetapan Pengadilan Agama Tangerang Nomor 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs. 3. Bukti P-3 : Fotokopi Rekomendasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia Nomor 230/KPAI/VII/2007. 4. Bukti P-4 : Fotokopi Surat Tanda Penerimaan Pengaduan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Nomor 07/KPAI/II/2007. 5. Bukti P-5 : Fotokopi Surat Nomor 173/KH.M&M/K/X/2006 perihal Somasi tertanggal 16 Oktober 2006. 6. Bukti P-6 : Fotokopi Surat Nomor 03/KH.M&M/K/I/2007 perihal Undangan dan Klarifikasi tertanggal 12 Januari 2007. Selain berbagai alasan yang cukup logis dan sitematis sebagaimana diuraikan di atas, pihak pemohon juga mengajukan ahli, yaitu Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag., yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dan memberikan keterangan tertulis dalam persidangan tanggal 4 Mei 2011, yang pada pokoknya sebagai berikut: pertama, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan telah jelas mengakui bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya; kedua, keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang menyebutkan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengakibatkan adanya dua pemahaman. Di satu sisi, perkawinan adalah sah jika dilakukan 18
(RiduanSyahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Pustaka Kartini, Cet. Pertama, 1991, hal. 23-26). Risalah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jumat 17 Februari 2012
19
249
menurut agama atau kepercayaan masing-masing; di sisi lain perkawinan dimaksud tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak dicatat; Ketiga, Dari perspektif hukum Islam, perkawinan dinyatakan sah apabila telah memenuhi lima rukun, yaitu ijab qabul, calon mempelai pria, calon mempelai wanita, dua orang saksi, dan wali dari pihak mempelai wanita; Keempat, Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan tidak jelas, kabur, dan kontradiktif dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, serta berdampak pada pernikahan seseorang yang telah memenuhi syarat dan rukun secara Islam tetapi karena tidak dicatat di KUA maka pernikahannya menjadi tidak sah; kelima, Karena perkawinan tersebut tidak sah, lebih lanjut Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mengatur bahwa anak dari perkawinan tersebut hanya memiliki nasab dan hubungan kekerabatan dengan ibu dan keluarga ibu. Pada akta kelahirannya, anak tersebut akan ditulis sebagai anak dari ibu tanpa bapak; Keenam, Anak tersebut juga akan mengalami kerugian psikologis, dikucilkan masyarakat, kesulitan biaya pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan lahiriah lainnya; Ketujuh, Keharusan mencatatkan pernikahan yang berimplikasi pada status anak di luar nikah yang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya adalah bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, karena anak yang seharusnya dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi akhirnya tidak terlindungi hanya karena orang tuanya terlanjur melaksanakan perkawinan yang tidak dicatat; kedelapan, dalam hukum Islam, anak lahir dalam keadaan bersih dan tidak menanggung beban dosa orang tuanya. Islam tidak mengenal konsep dosa turunan atau pelimpahan dosa dari satu pihak ke pihak lainnya; Kesembilan, pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam bersifat individu. Seseorang tidak dapat menanggung beban dosa orang lain, apalagi bertanggung jawab terhadap dosa orang lain, sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran Surat al- Isra’/17:15; Surat al-An’am/6:164; Surat Fatir/35:18; Surat az-Zumar/39:7; dan Surat an-Najm/53:38; Kesepuluh, Islam mengenal konsep anak zina yang hanya bernasab kepada ibu kandungnya, namun ini bukan anak dari perkawinan sah (yang telah memenuhi syarat dan rukun). Anak yang lahir dari perkawinan sah secara Islam, meskipun tidak dicatatkan pada instansi terkait, tetap harus bernasab kepada kedua bapak dan ibunya; kesebelas, dalam Islam dilarang melakukan adopsi anak jika adopsi tersebut memutus hubungan nasab antara anak dengan bapak. Jika anak yang akan diadopsi tidak diketahui asal muasal dan bapak kandungnya, maka harus diakui sebagai saudara seagama atau aula/anak angkat; dan bukan dianggap sebagai anak kandung; dan Keduabelas, dalam fiqh, tidak pernah disebutkan bahwa pernikahan harus dicatat, tetapi terdapat perintah Allah dalam Al Quran Surat an-Nisa’ ayat 59 untuk menaati ulil amri (dalam hal ini Undang-Undang sebagai produk ulil amri). Dengan demikian, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28B ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; Ketigabelas, jika Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mengandung madharat, tetapi menghapusnya juga menimbulkan madharat, maka dalam kaidah hukum Islam, harus dipilih madharat-nya yang paling ringan. Selain mendengarkan keterangan ahli, majelis hakim Mahkamah Konstitusi juga mendengarkan berbagai masukan dari pihak pemerintah, pihak DPR. Pihak pemerintah menyampaikan paparan dan alasan panjang lebar yang kesimpulannya adalah bahwa Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi yang mengadili permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut: pertama, menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing); Kedua, menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan 250
permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); Ketiga, menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan; Keempat, menyatakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan 24 tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Namun demikian apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono). 2. Pendapat dan Putusan Mahkamah Konstitusi Majelis hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pokok permohonan para Pemohon, adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anak; Selanjutnya menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan, “... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”. Mahkamah juga berpendapat bahwa berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di atas nyatalah bahwa (i) pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan; dan (ii) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundangundangan merupakan kewajiban administratif. Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945]. Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945]. Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait 251
dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 UU 1/1974 yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya; Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak. Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu. Dengan demikian, akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak. Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan; Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”; 252
Selanjutnya Mahkamah konstitusi menimbang bahwa, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka dalil para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak beralasan menurut hukum. Adapun Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya; Sebagai konklusi dari pendapat Mahkamah Konstitusi bahwa berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: Pertama, Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; Kedua, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo; Ketiga, Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); Akhirnya Mahkamah Konstitusi menyampaikan amar putusan dengan mengadili dan menyatakan Pertama, Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; Kedua, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya; Ketiga, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”; Keempat, Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya; Kelima, Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria
253
Farida Indrati, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masingmasing sebagai Anggota. 3. Persepsi Penulis Terkait putusan MK
Penulis yakin bahwa kesembilan hakim MK ini adalah orang-orang dan tokoh-tokoh terkemuka di Republik ini. Selain ketua MK, beberapa nama hakim MK penulis anggap sangat memahami prinsip-prinsip dasar dalam hukum Islam termasuk al-Kulliyyât al-Kamsah, alDarûriyyât al-Kahmsah atau Panca Jiwa Syariah yang merupakan tujuan mendasar dari disyariatkannya ajaran hukum Islam. Inilah yang juga disebut dengan teori maqâsid al-Syarî’ah yang meliputi lima aspek pokok yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal, harta dan nasab. Aspek terakhir inilah yang langsung bersinggungan dengan putusan MK terkait anak luar nikah. Sebab dengan putusan di atas, tersirat adanya prinsip mendasar yang bisa tertabrak. Prinsip mendasar yang dapat tertabrak ini adalah tentang maksud kata “di luar perkawinan”, makna hubungan darah dan makna hubungan perdata. sebagaimana dapat dilihat pada putusan di atas. Dalam putusan itu disebutkan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Menurut penulis, ada tiga catatan penting yang perlu diulas terkait putusan MK yang menimbulkan polemik ini yaitu, Pertama, tentang cakupan makna kata di luar perkawinan. Kedua, tentang cakupan makna hubungan darah. Dan ketiga, tentang cakupan makna kata hubungan perdata. Pertama, tentang cakupan makna kata “di luar perkawinan”, di mana dalam putusan itu disebutkan bahwa “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya dan seterusnya mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Menurut penulis, kata “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” memiliki dua pengertian, pengertian pertama berarti anak yang lahir sebagai akibat nikah siri atau nikah di bawah tangan dan pengertian kedua berarti anak yang lahir sebagai akibat perzinaan, perselingkuhan samen leven atau kumpul kebo dan jenis-jenis kontak seksual dalam betuk hubungan khusus yang lain. Apabila cakupan makna kata “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” ini hanya dibatasi pada arti yang pertama, yaitu anak yang lahir dalam nikah siri atau nikah di bawah tangan, maka dijamin dari sisi hukum Islam tidak akan menabrak prinsipprinsip yang paling mendasar yaitu terkait pemeliharaan nasab sebagai tujuan mendasar pensyariatan hukum Islam. Kalaupun tetap ada pengaruh “negatif”, menurut penulis, terbatas pada masalah makin terbukanya peluang nikah siri atau nikah di bawah tangan tersebut. Sebab orang akan dengan ringan berpendapat bahwa nikah siri atau nikah di bawah tangan, sejak putusan MK ini dinyatakan berlaku sudah menjadi legal. Peluang nikah siri bisa semakin lebar
254
dan mudah untuk dilakukan terlebih anak yang dilahirkan dari nikah siri ini tetap dianggap sebagai anak yang sah. Akibat hukum dari anak luar nikah dalam arti anak yang lahir dari nikah siri telah dianggap memiliki hubungan perdata dan hubungan darah dengan ayah kandungnya dan keluarga ayahnya, bisa berupa anggapan dari sebagian warga masyarakat yang berpendapat tidak perlu menikah di lembaga-lembaga resmi seperti KUA. Lembaga pernikahan seperti KUA tidak begitu diperlukan lagi karena sudah dianggap bisa mempunyai hubungan nasab dan hubungan perdata dengan ayah kandungnya dan keluarga ayahnya, walaupun hanya nikah di bawah tangan. Inilah pernafsiran penulis terkait sisi “negatif” dari pembatasan makna kata “diluar pernikahan” terbatas pada anak yang lahir dalam nikah siri atau nikah di bawah tangan. Sekali lagi ini adalah persepsi penulis yang sangat boleh jadi salah. Walaupun penulis juga yakin bahwa teman-teman di KUA juga memiliki persepsi yang sama dengan penafsiran penulis ini. Selanjutnya apabila cakupan makna kata “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” ini berarti juga mencakup seluruh anak yang lahir sebagai akibat perzinaan, perselingkuhan samen leven atau kumpul kebo dan jenis-jenis kontak seksual dalam betuk hubungan khusus yang lain, maka di sinilah letak masalah besar yang banyak dipertanyakan berbagai pihak termasuk oleh para ulama di MUI. Penulis sebutkan sebagai masalah besar sebab memang di sinilah letak masalah pokok yang dianggap oleh sebagian kalangan bahwa putusan MK sama saja dengan melegalkan perzinaan di Indonesia. Walupun secara resmi MK telah memberikan penjelasan pada hari Rabu 7 Maret 2012 bahwa MK tidak melegalisasi perzinaan. Dalam penjelasan MK itu disebutkan bahwa pertama, setiap kelahiran, secara alamiah pasti didahului kehamilan seorang perempuan akibat terjadinya pembuahan melalui hubungan seksual dengan lelaki atau melalui rekayasa teknologi. “Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menyebabkan terjadinya kelahiran anak tersebut harus bertanggung jawab atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal ini sejalan dengan pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Kedua, putusan MK membuka kemungkinan bagi ditemukannya subjek hukum yang harus bertanggung jawab terhadap anak dimaksud sebagai bapaknya, melalui mekanisme hukum dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dan atau hukum, dalam rangka meniadakan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum dalam masyarakat. Ketiga, terkait perspektif UU Perkawinan yang memang memiliki karakter khas, dalam pengertian formal merupakan hukum yang bersifat unifikasi sehingga terdapat norma hukum yang berlaku untuk seluruh warga negara. Sisi negatif lain yang sangat menonjol dan mengemuka di masyarakat adalah bahwa akibat putusan MK ini, perzinaan dianggap oleh MK atau setidaknya dapat dianggap akibat dari putusan MK sebagai sesuatu yang legal. Sebab tanpa harus menikahpun, asalkan bisa dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, maka anak yang lahir akibat perzinaan itu tetap memiliki hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan ibu kandung, ayah biologis dan keluarga ayahnya”. Dengan demikian praktis tidak ada bedanya antara anak yang lahir dalam perkawinan dangan anak yang lahir akibat perzinaan. Keduanya dianggap tetap memiliki hubungan perdata dan hubungan darah kepada ayah ibunya dan keluarga ayah dan ibunya. Hal ini jelas sebagai sesuatu yang akan mengacaukan tatanan hukum keluarga Islam, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Jika memang seperti ini apa yang dikehendaki MK. Benarkah MK menghendaki hal ini?. Tentu saja tidak, sebab dalam penjelasan resmi di atas 255
dinyatakan bahwa “Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menyebabkan terjadinya kelahiran anak tersebut harus bertanggung jawab atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Sisi tanggung jawab kedua orang tuanya dan aspek kepentingan anaklah yang sangat ditekankan. Jadi bukan dimaksudkan untuk legalisasi perzinaan, walau harus diakui bahwa efek dominonya memang seperti itu. Kedua, tentang cakupan makna hubungan darah. Kalau makna kata hubungan darah dalam putusan ini maksudnya nasab sebagaimana dalam konteks hukum Islam, maka tidak mungkin nasab hanya dibentuk melalui pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Walaupun setelah melalui tes darah atau tes DNA ternyata memang benar-benar ada kesesuaian antara gen seorang anak dengan gen seorang bapak. Sebab menurut hukum Islam, nasab hanya bisa dibentuk dan ditetapkan melalui akad nikah. Baik dalam akad nikah yang sah, akad nikah yang fasid mapun melalui proses hubungan badan secara syubhat. Untuk cara yang disebutkan terakhir, tampaknya di zaman modern seperti saat ini hal ini sangat sulit terjadi. Dengan demikian, apa yang disebutkan oleh pasal 99 huruf b Kompilasi Hukum Islam yaitu hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut, tampaknya sudah sangat tepat. Pasal ini menyebutkan tentang proses bayi tabung bisa dianggap sebagai cara menetapkan status anak sah yang memilki hubungan nasab, jika sperma dan sel telur dalam proses embriologi melalui bayi tabung itu berasal dari suami istri yang sah. Jadi menurut penulis, tes darah dan tes DNA semata-mata tidak bisa dijadikan dasar penetapan hubungan darah atau nasab antara anak dengan bapak biologisnya, jika dari awal tidak ada akad nikah. ketiga, tentang cakupan makna kata hubungan perdata. Dalam hukum Islam, hubungan perdata meliputi empat aspek penting yaitu 2N dan 2W. Nasab, nafkah, wali dan waris. Keempat cakupan hubungan perdata Islam ini tidak bisa ditetapkan hanya melalui ilmu pengetahuan teknologi mutakhir seperti tes darah dan tes DNA, melainkan harus melalui akad nikah. Dengan adanya akad nikah yang sah, akad nikah yang fasid atau melalui proses hubungan badan secara syubhat, walau yang disebut terakhir ini sangat sulit untuk kontek saat ini, maka tanggung jawab seorang ayah untuk memberikan nafkah, untuk memiliki hak perwalian dan memiliki hak waris bisa ditetapkan. Oleh sebab itu putusan MK yang menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya tidak secara otomatis bisa diaplikasikan selama tidak ada akad nikah yang mendahuluinya.Demikian menurut logika hukum penulis. Namun demikian, penulis berpendapat bahwa putusan MK harus dilihat bukan hanya dari sisi negatifnya saja tetapi juga harus dilihat dari sisi positifnya, sekecil apapun dampak positif ini pasti ada. Penulis menyisipkan kata “sekecil apapun”, sebab tampaknya antara sisi posistif dan polemik yang ditimbulkan dari putusan ini memang tidak sebanding. Polemiknya tampak lebih besar dari pada aspek positifnya. Jika boleh dikemukakan di sini, sisi positif putusan MK adalah terkait perlindungan hak anak dan hak wanita sebagai istri kedua, bukan istri pertama. Sebagai saksi ahli dalam uji materi UU perkawinan ini, penulis ingin mengemukakan bahwa kasus yang melatarbelakangi munculnya putusan ini memang berakibat pada hak istri siri alm. Moerdiono bisa diuntungkan, tetapi perasaan istri pertama dan juga keluarganya belum tentu bisa memperoleh hal yang sama. Demikian halnya anak-anak dari istri pertamanya. Memang hal ini
256
sudah masuk dalam ranah perasaan yang sangat sulit untuk membuat ukuran dan menetapkan standarisasinya. Perlu dikemukakan di sini bahwa hingga buku ini ditulis, kasus ini menjadi kasus pertama kali yang disidangkan di PA Tiga Raksa Tangerang pada tanggal 17 April 2012 pasca putusan MK. Namun ternyata permohonan untuk mencari hubungan hukum dan status sebagai anak ini ditolak oleh mejelis hakim PA Tengerang. Alasan penolakan ini antara lain karena pihak pemohon dinilai salah dalam mengajukan perkara, mestinya bukan sebagai permohonan atau volentir, melainkan seharusnya sebagai gugatan atau kontensius yang di dalamnya ada sengketa. Sementara pihak pemohon masih mempertimbangkannya sebab kalau langsung ada unsur sengketa, hal ini dirasa janggal karena kepada saudara seayah langsung ada masalah gugat menggugat. Hal ini dianggap oleh pengacara pemohon tidak perlu terjadi. Dalam hal ini penulis juga sempat bertanya kepada seorang pengacara lain bahwa jika saya yang menangani kasus ini, katanya, saya akan melakukannya, yakni merubah permohonan dari volentir ke kontensius seperti apa yang dikehendaki dewan hakim PA Tangerang itu. Berita terakhir yang penulis ikuti terkait kasus ini hanya sampai di sini. Tentu masalah ini akan terus bergulir sambil menunggu juknis atau juklak berupa PP atau Perma sebagai tindak lanjut putusan MK ini. Terkait penolakan permohonan oleh PA Tangerang ini boleh jadi juga karena memang belum ada Perma yang mengatur secara teknis terkait putusan MK, atau mungkin juga ada faktor lain yang menyebabkan permohonan ini ditolak oleh majelis hakim PA. Hanya Allah dan pihak yang menolak saja yang mengetahui alasan apa sesungguhnya yang dijadikan dasar penolakan. Sisi positif lain yang bisa penulis ungkapkan di sini, bahwa putusan MK ini bisa disebut sebagai sebuah gebrakan atau bahkan boleh disebut sebagai semacam “terapi kejut” terkait pemikiran hukum Islam di Indonesia. Selama ini banyak pihak yang sudah merasa puas dan bangga dengan adanya UU Perkawinan dan KHI. Padahal dilihat dari perspektif perlindungan anak misalnya, UU perkawinan ini masih belum bisa mengakomodir hal-hal prinsip. Misalnya terkait batas minimal usia nikah, dalam pasal 7 UU Perkawinan disebutkan bahwa Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Pasal ini jelas tidak sejalan dengan pasal 1 UU Perlindungan anak yang menyebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam hal ini, sisi positif yang bisa dikemukakan bahwa agar para tokoh dari berbagai pihak dan elemen atau lembaga terkait berkenan menyelaraskan atau setidaknya mewacanakan ulang tentang berbagai kemungkinan perbaikan di masa-masa yang akan datang. Terkait usia nikah ini pula, pihak BKKBN pusat juga memberikan informasi bahwa seorang wanita yang masih belum masuk usia 20 tahun, jika ia mengalami kehamilan, maka akan banyak menimbulkan hal negatif yang rawan terhadap kesehatan ibu dan anak, bahkan bisa menyebabkan kematian dalam proses persalinan. Oleh sebab itu, jika memang UU perkawinan belum memungkinkan direvisi saat ini, maka berbagai pihak harus terus gencar mensosialisasikan urgensi nikah setelah cukup umur dari sisi kesehatan, agar kesehatan reproduksi bisa benar-benar terwujud dan difahami oleh masyarakat. Hal mendasar lain bahwa terkait sisi positif putusan MK ini tidak lain sebagai sebuah bentuk cambuk bagi dinamisasi hukum Islam di Indonesia, walaupun sebagai hal yang sangat wajar jika pada proses awalnya pasti akan menuai berbagai protes dan bahkan hujatan dari berbagai pihak. Sebagai orang yang selama ini bergelut dengan dunia hukum Islam, penulis harus mengakui bahwa terkait anak zina sejauh ini hukum Islam hanya berhenti pada tataran yang statis dan “mengecewakan”. Mengapa penulis sebut statis dan mengewakan? Sebab seakan-akan anak zina yang telah menderita dan diperlakukan oleh doktrin hukum Islam dengan 257
perlakuan yang diskriminatif, padahal ia tidak salah, tidak menanggung beban dosa ayah ibunya dan bahkan ia tidak ingin lahir dalam predikat yang nista dan mengenaskan. Hingga akhirnya putusan MK ini muncul, tidak pernah ada pihak yang ikut peduli dengan nasib anak zina yang pada kenyataannya sangat banyak terjadi di Indonesia. Kalau terkait kasus hamil di luar nikah, tampaknya kita harus sangat bangga dengan tim perumus KHI yang sudah mengemukakan pasal 53 itu. Tetapi bagaimana menjawab pertanyaan tentang nasib anak zina yang terdiskriminasi, padahal ia tidak ingin lahir dalam kondisi seperti itu dan ia tidak berdosa?. Dengan sebab adanya putusan MK inilah para ulama dan para kyai di berbagai penjuru tanah air terkesima bahkan sangat terkejut dengan gebrakan MK yang pada akhirnya MUI mengeluarkan fatwa no 11 tahun 2012 tentang Status Anak Zina dan Perlakuan Terhadapnya yang sangat akomodatif, dinamis, arif dan bijak itu. Konsep sanksi berupa hukuman Takzir bagi pelaku zina yang melahirkan anak agar harus bertanggungjawab terhadap anaknya itulah yang merupakan konsep baru dalam ranah hukum Pidana Islam yang sekaligus sebagai kriminalisasi hukum keluarga Islam Indonesia. Kemudian adanya Konsep wasiat wajibah bagi anak zina. Inilah dua hal penting yang harus diakui sebagai dinamisasi pemikiran hukum Islam di Indonesia sebagai akibat dari dikabulkannya permohonan uji materi UU Perkawianan oleh mantan istri pejabat penting era orde baru. KESIMPULAN Masalah kawin hamil, anak zina dan status anak luar nikah dalam hukum Islam pasca putusan MK menjadi bahan diskusi di berbagai tempat. Pada dasarnya masalah kawin hamil dan anak zina tidak disebut-sebut secara tegas dalam putusan MK tersebut, namun tersirat dengan jelas dalam frase kata “anak luar nikah” sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 43 ayat (1) UU no 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan itu. Terakait kawin Hamil, Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam (KHI) sudah mengaturnya dengan rumusan yang sangat baik, sebab hamil di luar nikah sangat tidak layak jika menjadikan ayat suci Alquran dalam surat al-Talq ayat 4 tentang masa iddah bagi wanita hamil sebagai alasan dilarangnya menikahi wanita hamil di luar nikah. Namun dalam masalah status anak sah, baik pasal 42 UU perkawinan maupun pasal 99 KHI menurut penulis rumusan pasal tersebut sangat perlu dikritisi. Sebab jika kata “dalam” pada kedua pasal itu masih tetap dibiarkan ada, maka hal ini akan menimbulkan persepsi bahwa hamil luar nikah itu tidak ada masalah, sebab tetap saja dianggap sah, yang penting pada saat anak zina itu lahir kedua orang tuanya telah menikah, berarti anak itu tetap sebagai anak sah, karena ia lahir dalam perkawinan, walaupun ia tidak lahir sebagai akibat dari sebuah perkawinan yang sah. Sedangkan putusan MK tentang anak luar nikah memang sebagai sebuah temuan hukum yang sangat radikal, seba b efek domino yang ditimbulkannya berupa adanya anggapan bahwa perzinaan bisa juga menjadi sebab timbulnya hubungan keperdetaan antara anak dengan bapak biologisnya yang tentu saja hal ini tidak sejalan dengan hukum Islam yang menyebutkan bahwa zina tidak akan menimbulkan hubungan nasab anak kepadsa bapak biologisnya seperti halnya pernikahan, walaupun pernikahan siri yang tidak tercatatkan pada lembaga resmi yaitu Kantor Urusan Agama.
DAFTAR PUSTAKA Alquran dan terjemahnya 258
Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâîl, al- Bukhârî , Sahîh al-Bukhârî,, Indonesia : tt : Dahlan, tth Abdul ’Azîz al-Fauzân, Hukmu Nisbati al-Maulûdi Ilâ abîhi min al-Madkhûl bihâ Qabl al-‘Aqdi, ( Tt. Tp: Tth), Edisi Maktanah Syamilah, jilid 1, Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Yazîd al-Qazwinî, Ibnu Mâjjah, Sunan Ibnu Mâjjah,, Beirut : Dâr al-Kitab al-‘Arabi, tth), jilid 1 Abî al-Faraj Abdirrahmân Ibn Alî Ibn al-Jauzî al-Quraisyî, al-Musû’ât, Beirut : Dâr al-Fikr,1983 cet. ke-1, jilid 2 Abdu ar-Rahmân, Al- Jazîrî, al-Fiqh 'alâ Madzâhib al-Arba'ah,, Beirut : Dâr al-Fikr,1996, Cet. ke-1, jilid 5 Ahmad Muhammad ‘Assâf, Al-Ahkâm al-Fiqhiyyah fi Madzâhib al-Islâmiyyah al-Arba’ah, Beirut : Dâr Ihyâ’i al-Ulûm, 1988, cet. ke-3, jilid 2 ‘Alâ`uddîn 'Alî Ibn Balbân al-Farazî, Ibnu Hibbân, Sahîh ibn Hibbân, Beirut : Dar al-Kutub alIlmiyyah, 1989, cet. Ke-1, jilid 5 As-Sayyid Sâbiq, Fiqh as-Sunnah, Beirut : Dâr al-Fikr, 1983, cet. ke-4, jilid 2 Abi al-Mawâhib ‘Abu al-Wahhâb ibn Ahmad ibn Ali al-Ansârî Asy-Sya’rânî, Al-Mîzân alKubrâ, Singapura : Sulaiman Mar’i, tth, Al-Mâwardî al, Abul Hasan ‘Alî bin Muhammad Ibn Habîb -Hâwî al-Kabîr, Beirut : Dar al-Fikr, 1994, jilid 17 ‘Audah, ‘Abdul Qâdir al-Tasyrî' al-Jinâ`î al-Islâmî Muqâranan bi al-Qânûn al-Wad'î, Beirut : Muassasah al-Risâlah, 1992, jilid 2, cet. ke-9, jilid 2 Dadang Hawari, Alquran Ilmu Kdokteran Jiwa dan kesehatan Jiwa, Yogyakarta : PT. Dana bhakti prima Yasa, 1997, cet. ke-3. Ibnu Hazm, Abû Muhammad ‘Alî Ibn Ahmad bin Sa'îd, al-Muhallâ, bi al-Âtsâr, Beirut : alMaktabah al-Tijârî, tth 1351 ), jilid 9, Imam al-Nawawi, Syarh Sahîh Muslim, (Riyâd, Bait al-Afkar al-Dauliyyah, Tth), hlm 913 Al-Dzahabî, Syamsuddîn, Kitâb al-Kabâ`ir, Jakarta : Syirkah Dina Mutiara Berkah Utama, tth Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, cet. Ke-1, jilid 6. Luis Ma’lûf, al-munjid fî al-Lugah wa al-a’lâm, Beirut : Dâr al-Masyriq, 1986, cet. Ke-28 Muhammad Syatâ’ ad-Dimiyatî, I’ânah at-Tâlibîn, Semarang : Toha Putera, tth, jilid 4. Muhammad Alî as-Sâbûnî, Rawâ`i’ al-Bayân fî Tafsîr âyât Ahkâm, Beirut : Dâr al-Fikr, tth, jilid 2 Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad Asy-Syaukânî, Nail Al-Autâr, Beirut : Dâr al-Fikr, tth, jilid Muhammad Ibn Isma’il as-San’ânî, Subul as-Salâm, Indonesia : tt : Dahlan, tth, jilid 4 Muhammad Alî as-Sâyis, Tafsîr âyât al-Ahkâm, Beirut : Dâr al-Fikr, tth, jilid 3 Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad asy-Syaukânî, Fath Qadîr al-jâmi’ Baina Fanni ar-Riwâyah wa ad_dirâyyah Min ilm at-Tafsîr, Beirut : Dâr al-Fikr, tth, jilid 4. M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2012, Cet Pertama Mr. Oetarid Sadino, Noordhoff-kalff N.V. Jkt. Cet. IV, 1958, Al-Syâfi'î, Abû ‘Abdillâh Muhammad Ibn Idrîs al-Umm, Beirut ; Dar al-Fikr, 1983, cet. ke-2, jilid 5 al-Tirmidzî, Abu ‘Īsâ Muhammad bin Surah Sunan al-Tirmidzî, Indonesia , tt : Dahlan, tth, jilid 2, h. 429. Risalah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jumat 17 Februari 2012 259
RiduanSyahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Pustaka Kartini, Cet. Pertama, 1991, hal. 2326). Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Incleiding tot de Studie van Het Nederlandse Recht Van Kan, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan dari Incleiding tot de Rechtswetenshap oleh Mr. Moh. O. Masduki), PT. Pembangunan, Jkt, cet. III, 1960, Wahbah az-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, Damaskus : Dâr al-Fikr, 1989, cet. Ke-3, jilid 6, h. 109. ----------------, at-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdah wa as Syarî’ah wa al-Manhaj, Beirut : Dâr alfikr, 1991, ce. Ke-1, jilid 18,
260