Bab 1 Asep dan Nek Minah Pada suatu sore, di sebuah pedesaan di kota bandung, turun hujan yang sangat deras. Seorang anak laki-laki berlari sekuat tenaga mencoba menghindari air hujan. Kala itu jalanan sangat sepi dan petir seakan melepas kemarahan pada bumi. Kaki bocah itu terlalu pendek untuk melawan serbuan air yang menghujam cepat. Secepat apapun dia berlari pada akhirnya dia disergap oleh hujan, membuatnya basah dan kedinginan. Ada rasa takut menggerayangi pikirannya. Sore itu begitu sepi. Dalam ketakutannya itu dia menerobos air hujan, tak menghiraukan jalanan yang licin dan berlubang. langkah kaki yang kecil memikul ketakutan yang besar, tubuh yang sudah lemah dan kedinginan itu ingin cepat sampai rumah. Pada akhirnya, langkah kakinya terhenti di depan pintu sebuah rumah. meski bajunya kini menjadi basah, dan tubuhnya yang kecil bergetar didekap dingin, yang terpenting baginya adalah wujud ketakutan sudah tertinggal jauh dari punggungnya. “tok tok tok.” Anak itu mengetuk pintu rumah. “assalamu ‘alaikum nek.” Salam yang keluar dari tubuhnya yang kedinginan. “nek, cepat buka pintunya nek, dingin!” suaranya bertambah keras. Terlihat
wajahnya mulai pucat dan kedinginan. Dia membuka bajunya di depan pintu, memeras baju tersebut agar tidak terlalu basah ketika masuk rumah. “Wa ‘alaikum salam.” Balas seseorang di dalam rumah. Orang ini hendak membukakan pintu untuk si anak kecil. Dia melangkahkan kakinya begitu perlahan, meraba bilik rumahnya sambil mencari-cari letak kunci yang tadi dia simpan. Tak lama kemudian pintu rumah itu dibuka oleh seorang perempuan. tubuhnya membungkuk seakan memikul bebatuan, rambutnya abu-abu dan sudah tidak menyisakan kemilau. wanita tua itu bernama minah, umurnya 63 tahun. Dia tinggal di sebuah rumah kecil di perkampungan yang jauh dari kota. hidup berdua dengan seorang cucu yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Seraya membukakan pintu, kata-kata lembut pun keluar dari mulut nek minah “aduh nak, kenapa kamu tidak berteduh dulu. sampai basah dan kedinginan seperti ini. aduh... ya sudah cepat mandi, kepalanya dibasuh. Ada air panas di teko. pakai air hangat untuk mandi, setelah itu jangan lupa shalat ashar.” “iya nek.” jawab anak tersebut dengan singkat. Dia bergegas mengambil teko yang berisi air panas. Mencampurnya dengan seember air dingin yang ada di kamar mandi. Setelah itu dia membersihkan seluruh tubuhnya. 2
Diluar hujan begitu deras, nek minah melanjutkan pekerjaannya menambal baju yang sobek. Namun, ketika sekali lagi dia menengok keluar jendela, seketika dia langsung beranjak dari tempat duduknya dan bergegas menuju belakang rumah. “astaghfirullah..” gumam nek minah. dia lupa bahwa siang tadi dia menjemur pakaian, dia bangkit dari duduknya dan pergi ke belakang rumah mengangkat pakaiannya. Namun, apalah daya, nek minah sudah semakin lambat dan pelupa. pakaian itu kini kembali basah. begitu pula pakaian yang menempel di tubuhnya, kini turut basah. “Alhamdulillah, pakaian ini tidak terbawa angin.” ucap nek minah. Masih ada rasa syukur dalam hatinya. Nek minah kembali merentangkan pakaianpakaian basah itu di dalam rumah. ada sebatang bambu kering yang panjang, di atas tungku yang baranya masih menyala merah, di bambu itu juga ada beberapa tongkol buah jagung yang digantung dan cangkangnya terlihat sudah sangat kering. Nek minah mengganti pakaian basah yang menempel ditubuhnya dengan kaus kumal yang sudah pudar warnanya. dan mengbulung kain sarung yang sudah kusut di pinggangnya. Lalu dia kembali ke ranjangnya, melanjutkan pekerjaan yang sempat terhenti.
3
Tak lama berselang, si anak keluar dari kamarnya, dengan sarung hitam dan baju koko putih. langkah demi langkah perlahan dia mendekati nek minah, berhati-hati menghindari tetesan air yang jatuh dari atap. Begitu dingin udara sore itu, hingga dia merapatkan dan menggosokkan kedua tangannya di depan dada. Anak itu duduk dekat nek minah. “sedang apa nek?” tanya anak tersebut membuka percakapan dengan neneknya. “nenek sedang menambal baju yang robek.” Jawab nek minah. Anak itu memperhatikan baju yang sedang dirajut oleh nek minah. Lalu dia sadar bawha baju itu adalah bajunya. “itu kan bajuku nek, biar aku saja yang lanjutkan!” Pinta anak itu. dia merasa berkewajiban untuk memperbaikinya sendiri, meski sebenarnya dia belum bisa merajut. Nek minah menatap anak tersebut. “tidak usah. kamu perhatikan saja nenek ya..” ucap nek minah, penolakan lembut keluar dari hatinya yang penuh kasih sayang. Disaat percakapan itu berlangsung, nek minah menyadari ada tetesan air di dalam rumahnya. musim penghujan yang tiba setelah sekian lama kemarau, mengingatkannya bahwa rumah yang ia tinggali kini sudah rusak. Genteng rumahnya sudah berlubang dan 4
meneteskan air, lantai semennya retak hingga bercampur dengan tanah yang basah, dan lagi angin yang kencang memperjelas bunyi engsel yang berkarat. “hhh, kenapa tidak boleh nek? padahal aku ingin membantu.” Ucap anak tersebut dengan suara yang terdengar sangat kecewa. “oooh, jadi cucu nenek ingin membantu.. Nak, kamu lihat tetesan air itu kan? Taruhlah ember atau baskom dibawahnya, supaya air itu tidak mebanjiri seisi rumah.” Jawab nek minah. Dia memberi tugas baru, berusaha untuk tidak mengecewakan anak tersebut. Baru saja anak itu akan pergi mengambil ember, nek minah sudah melanjutkan kata-katanya. Dia menghentikan langkah kaki sang anak, dan membuatnya kembali menoleh. “sekalian kamu lihat keatas, kamu ingat-ingat dimana letak genteng yang bocor. besok kamu ke rumah mang udin, minta bantuannya mengganti genteng itu dengan yang baru. Bisa tidak nak?” pinta nek minah. “bisa nek, insyaallah..” Jawab anak itu dengan nada datar. Anak itu masih ingin membantu neneknya menjahit baju dengan tangannya sendiri. ada keinginan yang besar dalam dirinya, keinginan untuk tidak merepotkan neneknya yang sudah tua. Anak itu kemudian pergi ke dapur untuk mengambil ember dan baskom, diletakkannya ember 5
tersebut untuk menadah air yang jatuh dari atap. “tokk tokk tokk” terdengar suara air yang jatuh ke dalam ember yang kosong. Dia letakkan juga baskom kaleng yang dia dapat dari dapur, “trong trong trong” suara lantang yang keluar ketika air jatuh ke dalam baskom. 2 ember dan 2 baskom menadah air yang turun dari atap, menimbulkan suara yang beraneka ragam, seperti nada-nada dari alat musik sungguhan. Mereka berdua lalu terdiam, tenggelam dalam lantunan suara hujan, bersama dentak tetesan air dan kodok-kodok yang bersahutan dalam nyanyian alam. Suara-suara itu memberikan ketenangan pada diri sang anak. di saat yang sama memberi kegelisahan pada diri sang nenek yang hawatir rumahnya diterpa angin dan hujan. Anak itu masih memperhatikan nek minah, lalu tiba-tiba nek minah memberinya nasihat. “nak, kadang kala, niat baik dan kemauan tidak cukup untuk membuahkan kebaikan. kamu harus punya kemampuan untuk berbuat. nenek melarang kamu menyulam, karena untuk saat ini benang ini sangat pendek, tidak cukup untuk sebuah kesalahan. dan jarum ini masih terlalu tajam untuk tangan kecilmu yang nenek sayangi. Suatu saat nanti kamu pasti menyulam bajumu sendiri, untuk sekarang kamu cukup perhatikan saja ya.” Dari wajahnya anak itu terlihat sangat kecewa. Dia menundukkan pandangannya, lalu berkata “iya nek, besok-besok jika ada baju yang robek lagi nenek 6
harus mengajariku menyulam.” Dia berusaha menerima dan memahami kata-kata neneknya. “besok-besok kamu akan nenek ajari memasukan benang kedalam jarum.” Tegas nek minah. “hhh..” gumam anak itu. Nama anak ini adalah asep. Dia tumbuh tanpa kedua orang tuanya. Dia sangat beruntung dengan keberadaan sang nenek, sehingga dia tetap menjadi seorang anak yang cerdas. Namun, tidak adanya sosok ayah dan ibu sering kali membuatnya minder dalam pergaulan. Asep berumur 14 tahun, dia baru saja naik ke kelas 3 SMP. Asep termasuk anak berprestasi, bahkan dari kelas satu SD hingga sekarang dia tidak pernah lepas dari ranking tiga besar. Sambil mentautkan kain dan benang, nek minah bertanya kepada asep. “kamu tadi belajar apa di sekolah? Terus sepulang sekolah kemana dulu? Jam segini kok baru pulang.” “tadi belajar bahasa indonesia nek. sepulang sekolah tadi kan aku pulang ke rumah, tapi nenek ga ada, terus aku main ke rumah imam. aku keasikan main, terus waktu pulangnya aku kena hujan. Gitu nek..” terang asep kepada nek minah. Nek minah tersenyum menyimak cerita cucunya. Dia bahagia memiliki seorang cucu yang sangat 7
bersemangat dalam belajar, senang membaca dan bertanya. Nek minah lalu bertanya kepada asep “pelajarannya ada yang sulit tidak nak? nanti nenek bantu.” Seraya memandang asep dan menghentikan sejenak gerakan tangannya yang sedang merajut. Asep menjawab sambil menatap nek minah. “ga ada nek, asep sudah bisa semua.” terdengar rasa percaya diri yang besar dari ucapannya. “bagus kalau begitu, terus belajar ya, jangan terlalu banyak main. Memang kamu tadi main apa di rumah imam? kok sampai lupa waktu.” Tanya nek minah seraya kembali melanjutkan pekerjaannya. “itu loh nek, liatin semut berantem. Seru banget, semutnya itu hebat-hebat. Tapi sebenarnya aku kasihan juga sih.” Jawab asep. “sengaja kamu adu ya semutnya?” tanya nek minah dengan lembut. “si imam yang ngaduin semut nek, aku cuma lihat aja.” Terang asep. Asep lalu menaikkan kedua kakinya ke atas ranjang, kemudian duduk bersila menghadap nek minah. “Tapi, tadi aku heran nek, kok semut itu mau ya berantem sama temennya sendiri? Padahal yang satu itu Cuma dicopot antenanya itu, eh langsung gigit-gigitan.” sambung asep.
8
“ooh imam.” Nek minah terdiam cukup lama, lalu melanjutkan perkataannya. “itulah binatang nak, mereka tidak punya akal. Gara-gara semut yang satu itu tidak ada antenanya jadi dianggap berbeda oleh semut yang lain, padahal dia itu masih temannya. mereka tidak punya akal yang tinggi untuk berpikir, makanya mereka jadi bermusuhan. Kamu tidak boleh ngadu semut lagi ya nak, kasihan semutnya!” Tegas nek minah. “iya nek. aku ga ngadu semut lagi..” asep terdiam sesaat kemudian berkata “nah manusia kan punya akal, tapi kenapa masih ada yang bermusuhan nek? tetangga kita itu sering berantem nek.” “hus..!” nenek memandang asep dengan tatapan yang tegas. “ga boleh ngomongin orang lain!” “iya nek. maaf, aku lupa.” Jawab asep. “begini nak, manusia juga punya hawa nafsu seperti binatang. akal juga jika salah digunakan maka akan membuat perbedaan semakin banyak. Kita akan menjadi lebih tidak berakal dari binatang jika kita menjadikan hawa nafsu berada diatas akal. maka dari itu Allah juga melengkapi manusia dengan perasaan. Perasaan itu bisa berguna untuk mengendalikan akal agar tidak dikuasai hawa nafsu, agar tidak mudah berantem seperti semut. Paham nak?” terang nek minah, sementara itu asep terus memperhatikan.
9
“berarti yang paling penting itu perasaan ya nek? berarti manusia yang sering berantem itu tidak punya perasaan ya nek?” tanya asep. Dia terlihat sangat serius menanti jawaban dari neneknya. Nek minah kembali melanjutkan pekerjaan menjahitnya yang sempat terhenti tanpa dia sadari, kemudian menjawab pertanyaan asep. “mereka punya perasaan, tapi tidak digunakan. Perasaan itu ada di hatimu, Gunakan hatimu, rasakanlah keberadaan lingkunganmu. gunakan juga akalmu, itu baru namanya manusia sejati.” Dengan lembut nek minah menasehati cucunya. “nek, yang aku tahu, hati itu tempatnya darah nek, bukan perasaan. Aku kadang bingung yang disebut perasaan itu ada dimana.” Asep menyangkal pendapat nek minah yang menurutnya salah, tidak sama dengan yang dia ketahui selama ini.
10