“Sebenarnya aku berharap engkau tidak terlalu terburu-buru menutup pintu di belakangmu setelah menyalakan lampu.” Sesungguhnya, aku menutup pintu sebelum menyalakan lampu. Aku telah tinggal di daerah tropis selama hampir dua bulan, dan walaupun tidak terlalu sensitif terhadap nyamuk, aku masih berhati-hati untuk tidak membawa mereka masuk ke kamar bersamaku, sekadar untuk mencegah banyak tokek tertarik masuk ke kamarku. “Kita bisa membicarakan apa pun yang kau suka,” ujarku. “Apakah engkau tertarik pada sepak bola?” “Tidak sama sekali.” “Bagaimana dengan kriket?” “Tidak.” “Prangko langka?” “Berhenti!” “Kalau begitu, aku sarankan kita berbicara mengenai realitas.” “Realitas?” “Tentu, mengapa tidak? Atau, apakah menurutmu topik itu terlalu sembarangan?” “Hmm … lanjutkan saja, toh aku tidak akan pergi tidur sebelum matahari terbit.” “Di atas segalanya, hal itu begitu besar dan luar biasa tua. Walaupun tidak ada yang tahu pastinya dari mana ia berasal.” “Matahari?” “Bukan, realitas. Hal itulah yang sedang kita bicarakan sekarang. Kurasa, kita harus berusaha berkonsentrasi pada satu demi satu hal saja, dan tata surya hanyalah sebuah potongan mikroskopik dari apa yang kita tahu sebagai realitas. Secara keseluruhan, realitas terdiri dari kurang lebih seratus miliar galaksi, salah satunya adalah Bimasakti, persimpangan milik kita dengan ‘jalur susu1 di tikungan jalan. Di dalamnya, Matahari hanyalah satu dari lebih dari seratus miliar bintang yang lain. Dialah yang akan terbit beberapa jam lagi, dan kemudian sebuah hari baru akan dimulai di Bumi, karena kita berada di atas dateline, ‘tempat setiap hari baru dimulai’.” “Kalau begitu, realitas sungguh besar,” komentar Gordon, sehingga membuat dirinya terlihat lebih bodoh daripada pendapatku mengenainya sebelumnya. “Tetapi, kita berada di sini hanya untuk waktu yang sangat singkat,” ujarku, “kemudian, syuut kita akan menghilang untuk selamanya; suatu masa yang cukup panjang. Contohnya, diriku akan menghilang beberapa tahun atau beberapa dekade lagi dan kemudian, aku tidak akan mungkin mencari tahu bagaimana keadaan berlanjut di sini. Jelas, aku juga tidak akan hadir pada seratus juta tahun dari sekarang. Pada saat itu, aku telah tiada tepat selama seratus juta tahun minus beberapa minggu dan bulan, tak lupa pula termasuk sisa malam ini.” “Kupikir, engkau tidak perlu membebani dirimu dengan kekhawatiran seperti itu,” ujarnya hampir menghibur, seolah-olah bukan dirinya yang menyebabkan kemurunganku. “Yang paling menggangguku bukanlah pendeknya hidup,” aku melanjutkan. “Bahkan aku pun memerlukan istirahat, dengan sedikit tidur, karena terus terang aku merasa sedikit lelah bahkan sekarang. Yang membuatku kesal adalah bahwa aku tidak akan pernah diizinkan kembali setelah istirahat itu kembali ke realitas. Aku tidak akan memaksa untuk kembali ke tempat ini, ke Bimasakti. Maksudku, jika ada masalah kepadatan penduduk, aku bersedia untuk mempertimbangkan sebuah galaksi yang sama sekali berbeda. Dengan syarat, di sana ada bar dan aku diinkarnasikan sebagai salah satu dari dua jenis kelamin planet-planet yang seperti biara tempat reproduksi merupakan sebuah proses hermafrodit tidak pernah membuatku tertarik, sehingga aku pun menghindari
planet-planet seperti itu jauh-jauh. Bukan proses meninggalkan yang menjadi masalah, melainkan tidak adanya kemungkinan untuk dapat kembali. Bagi kami yang memiliki dua atau tiga lipatan otak yang sepertinya berlebih ini yang sebenarnya memang lebih daripada yang dibutuhkan, atau engkau dapat menyebutnya cadangan bagi kami, perasaan seperti ini terkadang dapat menghancurkan seluruh kebahagiaan dalam hidup, dan tidak semata-mata secara emosional. Aku tidak hanya memaksudkan serangan terhadap perasaan, tetapi juga terhadap rasionalitas itu sendiri. Engkau mungkin dapat mengatakan bahwa apa yang dipengaruhi oleh kedua atau ketiga lipatan otak yang berlebih ini adalah lipatan-lipatan itu sendiri: mereka menggigit ekor mereka sendiri. Tidak hanya secara bermain-main, tetapi dengan ganas; dengan kata lain, mereka memiliki sifat menghancurkan diri sendiri, dan tidaklah mudah untuk menyingkirkan mereka. Sementara itu, bagi kadal mudah saja mencopot ekornya yang diserang. Pada primata yang lebih tinggi, tidak ditemukan bagian otak yang memungkinkan kemampuan kadal memutuskan anggota tubuhnya. Tentunya, sinapsis-sinapsis yang diserang dapat diberi anestesi selama beberapa jam, dengan beberapa tenggak gin, misalnya, tetapi hal itu hanyalah suatu penahanan gejala-gejala sementara dan bukanlah sebuah solusi bagi dilema itu sendiri.” “Aku tahu,” hanya itu yang ia katakan, dan kini aku benar-benar mulai bertanyatanya apakah ia hanya melebih-lebihkan, karena aku tidak percaya bahwa ia mengerti satu kata pun yang kuucapkan. “Daerah-daerah otak yang tidak benar-benar diperlukan untuk melakukan fungsifungsi dasar kehidupan, dengan kata lain daerah-daerah yang berlebihan, menyebabkan kami dapat memperoleh serpih-serpih pemahaman tentang evolusi kehidupan di Bumi, beberapa hukum alam mendasar, dan yang terpenting, sejarah alam semesta itu sendiri, mulai dari Big Bang hingga masa kini. Kami tidak mengisi kepala kami dengan barang rongsokan.” “Aku terkesan.” “Kami mengerti cukup banyak untuk mendapatkan beberapa gagasan yang jelas mengenai sejarah realitas, geografinya dan sifat-sifat dari massa itu sendiri. Tetapi tidak ada yang tahu apakah sebenarnya inti dari massa, setidaknya tidak di dalam wilayah kami, dan jarak di dalam alam semesta tidak hanya besar, tetapi sangat-sangat besar. Pertanyaannya adalah, dapatkah kami lebih memahami mengenai apakah sesungguhnya dunia ini pada tingkatan yang paling mendasar jika otak kami, sebut saja, sepuluh persen lebih besar atau lima belas persen lebih efektif? “Bagaimana menurutmu? Apakah engkau percaya kami telah mencapai sejauh yang bisa kami capai tak peduli seperti apa otak yang kami miliki, tanpa peduli berapa ukurannya? Karena ada beberapa hal tak terbantahkan yang mengungkapkan fakta bahwa pada prinsipnya, kami tidaklah mungkin memahami lebih banyak daripada yang telah kami mengerti. Jika memang hal inilah yang terjadi, merupakan sebuah keajaiban kecil bahwa kami memiliki otak yang ukurannya benarbenar tepat untuk memahami hal-hal seperti teori relativitas, hukum-hukum fisika kuantum, dan genom manusia. Jika ditinjau dari perspektif ini, tidak banyak terdapat mata rantai yang hilang. Aku tidak yakin bahwa bahkan seekor simpanse yang paling pandai memiliki secuil saja pengetahuan tentang Big Bang, berapa tahun cahaya yang dibutuhkan untuk menuju galaksi terdekat, atau bahwa Bumi ini bulat. “Sebuah faktor menarik adalah bahwa jika otak manusia lebih besar daripada sekarang, wanita tidak akan dapat berdiri tegak. Nah, harus segera kutegaskan bahwa tanpa posisi tubuh manusia yang tegak lurus, otak mereka tidak akan pernah berkembang hingga ukuran pada saat ini. Di sini aku menunjukkan sebuah keseimbangan yang begitu apik, jadi izinkanlah aku mengungkapkannya dalam kalimat lain: seberapa banyak yang dapat kami mengerti mengenai misteri yang menyelubungi diri kita mungkin bergantung pada panggul wanita. Menurutku tidak mungkin bahwa kepandaian di semesta ini dibatasi oleh suatu keterbatasan anatomi yang begitu biasa. Tetapi, tidakkah aneh bahwa persamaan bagian tubuh ini
tampaknya bertahan dengan baik? Sepertinya Ś/. dalam persamaan ini adalah quantum satis (jumlah yang mencukupi), dan karenanya quantum satis bagi alam semesta ini untuk suatu saat menyadari dirinya sendiri. Ukuran panggul manusia amat tepat untuk memungkinkan kami memahami apakah tahun cahaya itu, berapa tahun cahaya jarak yang dibutuhkan untuk menuju galaksi-galaksi terjauh dan bagaimana, contohnya, partikel-partikel zat terkecil bereaksi baik di dalam laboratorium maupun selama beberapa detik pertama setelah Big Bang.” “Tetapi, apa tidak mungkin ada otak-otak yang lebih besar di suatu tempat di luar angkasa?” Gordon memotong. Aku menahan tawa. “Itu tentu saja mungkin, dan aku tidak keberatan mempertimbangkan suatu otak yang mungkin, contohnya, dapat mengingat seluruh isi Ensiklopedia Britannica. Bahkan aku tidak kesulitan membayangkan sebuah otak yang mampu menyerap seluruh pengetahuan manusia yang dikumpulkan menjadi satu. Yang kuragukan adalah apakah, secara teoretis, mungkin untuk memahami jauh lebih banyak rahasia alam semesta daripada yang telah dipahami manusia. Jadi, setiap pertanyaan yang kuajukan pada akhirnya berujung pada satu permasalahan: apakah semesta ini sendiri masih memiliki rahasia lain untuk diungkapkan. Maksudku, jika menemukan sepotong meteorit, engkau dapat mulai menghitung berapa beratnya, gravitasinya secara spesifik, dan yang paling penting, komposisi kimianya. Tetapi, setelah itu semua selesai, tidaklah mungkin untuk memeras lebih banyak rahasia dari batu tersebut. Setelah itu, batu itu hanyalah sebuah batu, dan memang dari dulu adalah batu. Jadi, ia bisa disingkirkan, mungkin untuk menimbun debu dalam sebuah museum. Tetapi, kita tidak akan bertambah ilmu. Karena apalah artinya sebuah batu?” “Kurasa, aku tidak terlalu paham,” Gordon menghela napas. Ia nyaris tampak kelelahan sekarang. “Nah itulah, kau lihat sendiri. Aku hanya mengatakan bahwa mungkin era sains sudah hampir berakhir. Kita telah mencapai tujuan kita; tujuannya adalah kesadaran akan adanya jalan panjang menuju tujuan itu sendiri. Kita telah memperkenalkan diri kepada alam semesta, dan alam semesta telah berpayah-payah menunjukkan dirinya kepada kita. Mungkin sains memang sudah berakhir, itulah maksudku, mungkin kita sudah mengetahui segalanya yang perlu diketahui. Dan dengan kata ‘kita1, mohon dimengerti bahwa yang kumaksud bukan hanya kita berdua. Aku memasukkan segala jenis otak yang mungkin ada di seluruh semesta ini. Jika memang inilah yang terjadi dan saat ini aku cenderung memercayai teori ini jika memang inilah yang terjadi, realitas akan mengalami suatu anonimitas yang tak tertanggulangi. Siapakah diriku? tanya realitas. Tetapi tidak ada yang menjawab. Tidak ada yang melihat maupun mendengar kita. Kita hanya melihat diri kita sendiri.” “Andai saja aku dapat lebih membantu,” gumam Gordon kebingungan, dan ia seharusnya dapat membantu jika saja ia cukup pintar untuk meninggalkan botol yang didudukinya. “Tetapi, tadi katamu engkau percaya ada kehidupan abadi,” aku menambahkan. “Maka, tidak seharusnya engkau membawa penumpang ketika terbang tanpa didampingi seorang kopilot; tetapi sudahlah, kita dapat melupakan hal itu.” “Apakah normal bagi individu seperti dirimu untuk memercayai kehidupan abadi?” tanyaku. “Aku tidak pernah bertemu tokek yang memiliki argumen kuat yang mendukung pendapat sebaliknya.” “Dapatkah engkau lebih spesifik?” “Tidak ada satu tokek pun yang menyangkal
adanya suatu kehidupan abadi. Kurasa tidak pernah terpikirkan oleh seekor reptil pun bahwa suatu hari kehidupan akan berakhir. Pemikiran itu tidak pernah tebersit dalam benak kami.” Dan saat ia melanjutkan, seolah-olah ia mencoba meniru cara bicaraku. “Dan dengan mengatakan hal itu, yang kumaksud adalah semua spesies dari setiap genus dan famili dalam keempat ordo vertebrata kelas Reptilia. Tidak ada satu pun dari kami yang sedikit pun berpikir bahwa hidup berakhir pada suatu saat.” Terpikir olehku bahwa jika aku mundur beberapa generasi dalam sejarah manusia, hal yang sama terjadi pada primata. Getir angin dingin dari kehampaan akbar adalah sebuah fenomena baru. Dan siapa tahu, mungkin rasa takut akan kematian juga tidak dikenal di planet-planet lain di seluruh alam semesta. Ia berkata: “Ada sebuah dunia. Dari segi probabilitas, hai ini nyaris mustahil. Akan jauh lebih mungkin jika, secara kebetulan, tidak ada apa pun. Dengan begitu, setidaknya tak ada satu orang pun yang akan menanyakan mengapa tidak ada apa pun.” Karena aku tidak menjawab, ia menambahkan, “Apakah kau mendengar apa yang kukatakan?” “Ya, tentu saja, dan kini mungkin engkau dapat memberitahuku apakah kalian semua di pulau ini memang senang berjalan-jalan sambil mengarang hal itu atau apakah kau menemukannya dalam sebuah buku tua tentang ungkapan bijak.” Ia tidak menjawab sehingga aku pun berusaha membuatnya terus bicara. “Apakah engkau sudah memikirkan hal itu sejak lama? Atau, apakah kalian semua memang semacam pujangga yang senang berkelana?” Tetapi, ia sudah memulai aksi penutupnya karena kini ia menyatakan: “Kita melahirkan dan dilahirkan oleh sebuah jiwa yang tak kita kenal. Ketika teka-teki itu berdiri pada kedua kakinya tanpa dapat terpecahkan, itulah giliran kita. Ketika impian mencubit lengannya sendiri tanpa terbangun, itulah kita. Karena kita adalah teka-teki yang tak teterka siapa pun. Kita adalah dongeng yang terperangkap dalam khayalannya sendiri. Kita adalah apa yang terus berjalan tanpa pernah tiba pada pengertian “Mungkin kini giliranmu untuk bersiap tidur,” ujarku. “Aku mulai merasa tidak sabar.” “Silakan pergi tidur kapan pun engkau suka,” ujarnya tak peduli. “Akan kujaga botolmu.” “Langkahi dulu mayatku!” teriakku, karena kini saatnya telah tiba. Sinapsissinapsis sarafku benar-benar harus diberi anestesi. Bersamaan dengan itu, aku melompat menerjang dirinya dan botol tersebut. Gordon merayap dengan marah melintasi tanganku, kemudian berlari secepat kilat ke atas dinding sementara botol itu terguling dan jatuh ke lantai, menyebabkan obat penenang yang vital itu mengalir keluar dan menghilang ke dalam celah-celah yang menganga di antara lantai-lantai kayu. Saat aku berhasil memungutnya dan mengangkatnya ke arah cahaya, hanya ada sekitar dua takaran ganda yang tersisa, atau paling banyak tiga. Kuletakkan botol itu di mulutku dan aku mengosongkannya dengan sekali tenggak. “Dasar bajingan!” ia berkata dari atas dinding. “Tetapi, kita akan bertemu lagi!”
Hal terakhir yang kuingat sebelum diriku terle-lap adalah Gordon yang mengulang kalimat-kalimat ini dalam bahasa Spanyol, yang diambil dari berbagai deskripsi Ana dan Jose mengenai realitas: “Jika tuhan memang ada, tidak hanya ia ulung meninggalkan jejak. Lebih dari segalanya, ia ahli menyembunyikan diri. Dan dunia bukanlah sesuatu yang pandai bercerita. Langit masih menjaga rahasia mereka. Tidak banyak desas-desus yang beredar di antara bintang-bintang. Tetapi, belum ada seorang pun yang melupakan Big Bang. Sejak saat itu, keheningan meraja, dan semua yang ada di sana pun bergerak menghindar. Kita masih bisa bertemu dengan sebuah bulan. Atau sebuah komet. Tetapi, jangan mengharapkan sambutan hangat. Undangan berkunjung tidak ditulis di angkasa.” Hanya ada ingatan yang kabur, dan terkadang sulit dimengerti, mengenai hal-hal yang dikatakan Gordon untuk mencoba membuatku terjaga sepanjang malam, tetapi kurasa ia membangunkanku sekitar pukul lima dengan ungkapan berikut: “Diperlukan waktu bermiliar-miliar tahun untuk menciptakan seorang manusia. Dan diperlukan hanya beberapa detik untuk mati.”[] Saudara Tiri Manusia Neanderthal yang Ternama BEGITULAH HARI PERTAMAKU DI PULAU FIJI BERLANGSUNG, DAN AKU tidak perlu melanjutkan lagi dengan lebih terperinci. Aku menjelaskannya kepadamu agar engkau memahami reaksiku di Salamanca. Aku baru akan mulai berbicara mengenai kita ketika tiba-tiba aku melihat Ana dan Jose di tepi Sungai Tormes, dan pada saat itu juga aku merasa seolah kembali berada di Pantai Pangeran Charles. Maka, aku pun tidak pernah memulai pembicaraan mengenai kita, atau apa yang terjadi pada Sonja, karena engkau tertawa begitu keras kau kira diriku menceritakan kisah yang tidak masuk akal hanya untuk menahanmu di sana. Tetapi memang menyenangkan mendengarmu tertawa lagi. Seharusnya aku menciptakan lebih banyak omong kosong hanya untuk membuatmu tertawa. Tetapi memang Ana dan Joselah yang kulihat, aku yakin akan hal itu, dan buktinya muncul keesokan harinya. Hanya sepuluh hari berlalu sebelum aku bertemu dengan Jose lagi, kali ini di Madrid. Ketika ia menceritakan keseluruhan kisah yang luar biasa mengenai El Planeta dan kedua lukisan di Prado, menjadi sangat jelas bagiku bahwa ada sebuah pelajaran penting yang harus saling kita sampaikan dan satu-satunya kesempatan untuk membuka dialog baru di antara kita adalah dengan mengirimkan surat kepadamu. Vera aku akan memintamu melakukan sesuatu untukku, walaupun ini akan menjadi hal terakhir yang akan kau lakukan untukku. Aku akan berusaha mengirimkan segala yang telah kutulis kira-kira pada Kamis sore, dan pada Jumat engkau harus ikut denganku ke Sevilla. Aku berutang janji kepada Ana dan Jose untuk pergi ke Sevilla hari itu, dan aku hampir yakin kau pun akan berpikiran sama setelah membaca kisah mengenai Ana dan gambar ajaib itu. Tentunya engkau belum melupakan kartu yang kau kirimkan kepadaku dari Barcelona bertahun-tahun yang lalu. “Ingatkah engkau ramuan ajaib itu?” tulismu. Ketika tiba di rumah, engkau memberitahukan bahwa jika menemukan minuman itu, kau tidak akan ragu untuk memberiku setengah darinya. Engkau amat berharap kita dapat selalu bersama. “Bagiku hanya ada satu lelaki dan satu dunia,” ujarmu. Ingatkah engkau? Kemudian, engkau melanjutkan: “Aku merasakan hal ini begitu kuat karena aku hanya hidup sekali.” Kemudian, takdir datang dan mengatakan yang sebaliknya. Untuk saat ini, yang kuminta hanyalah agar dirimu menyisihkan satu hari dalam hidupmu demi kepentinganku. Aku tidak bisa pergi ke Sevilla tan-pamu. Aku benarbenar tidak bisa. Setelah mengingat-ingat kembali pertemuan pertamaku yang menyebalkan dengan Gordon, aku turun menuju Rotunda dan membaca El Pais serta membeli secangkir
kopi dan kue-kue kecil. Lega rasanya dapat beristirahat total setelah berkonsentrasi penuh menulis dan hanya mendengarkan musik harpa ditemani dengungan konferensi-konferensi mini yang berlangsung di bawah kubah itu. Aku tahu tagihan hotelku semakin menumpuk, tetapi aku telah memutuskan untuk tidak meninggalkan Madrid hingga aku usai menceritakan segalanya kepadamu. Seperti yang dapat kau lihat, aku memuaskan diri dengan tinggal di the Palace lagi. Para karyawan di sini sudah mengenalku, dan tempat ini hanya selangkah dari Prado, dua langkah dari Kebun Raya, dan tidak lebih dari lima menit jalan kaki menuju Retiro atau Puerta del Sol. Kembali ke Fiji. Ketika terbangun keesokan harinya, dengan segera aku dicekam oleh “kegelisahan pagi hari” karena semalam telah membuka diri dengan begitu terus terang terhadap seseorang yang tak kukenal dan yang tidak ingin kujadikan teman. Penyesalan seperti itu selalu memiliki dua sisi, karena walaupun seseorang memang telah berlaku sedikit sembrono, sakit kepala akibat alkohol selalu membesar-besarkan tindakan gegabah yang begitu kecil dan jarang terjadi seperti itu. Dalam derita sebuah penye salan, engkau tidak pernah benar-benar tahu apa saja yang telah kau katakan dan apa yang hanya kau simpan dalam hati. Selama pagi berikutnya, engkau dibebani keyakinan bahwa engkau telah mendapatkan seorang musuh atau lebih buruk lagi, seorang teman seumur hidup, dan dengan ini yang kumaksud adalah seorang sahabat, seseorang yang mengetahui rahasia terdalammu. Aku tahu, ia ada di suatu tempat di dalam kamar itu, tetapi sebagai seorang ahli tokek, aku juga tahu bahwa pada pukul sekian, kecongkakannya tentunya jauh berkurang dibandingkan pada malam hari. Tidak lama kemudian, aku menghadapi cermin di kamar mandi, dan walaupun aku tidak termasuk dalam kategori orang-orang yang selalu memulai hari mereka dengan mematut-matut diri di depan cermin, semakin tua diriku dan semakin dekat aku dengan akhir hayatku semakin jelas aku dapat melihat ekspresi wajah hewan yang terpantul menyambutku pada pagi hari. Aku melihat seekor katak yang telah bermetamorfosis, seekor kadal yang berdiri tegak, seorang primata yang berduka. Tetapi, aku juga melihat sesuatu yang lain, dan hal itulah yang paling meresahkan. Aku melihat seorang malaikat yang terperangkap oleh kekurangan waktu yang akut, dan jika ia tidak dapat menemukan jalannya kembali ke surga sekarang juga, jam biologisnya akan berdetak semakin cepat dan semakin cepat, dan terlambatlah sudah untuk kembali kepada keabadian. Semua ini disebabkan sebuah kesalahan fatal yang terjadi jauh pada masa lampau, ketika sang malaikat yang tengah dilanda kepanikan menjelma ke dalam tubuh yang terdiri dari darah dan daging. Jika sekarang ia tidak bisa menggapai keselamatannya, ia tidak akan dapat kembali. Dalam perjalanan menuju sarapan, aku bertemu dengan John di tengah pepohonan palem. Ia berdiri di bawah sebuah pohon kelapa sambil mempelajari sebuah papan pengumuman yang bertuliskan: AWAS! BANYAK KELAPA JATUH. Mungkin ia menderita rabun dekat karena berdiri begitu dekat dengan batang pohon, tepat di bawah mahkota pohon itu. “Apakah Anda sedang bermain rolet Rusia?” tanyaku. Ia berjalan mendekatiku. “Apa yang Anda katakan?” Tetapi, aku tidak perlu menjelaskan lebih lanjut karena tepat pada saat itu, sebutir kelapa besar jatuh ke tanah tepat di tempat ia berdiri beberapa detik sebelumnya. Ia berpaling untuk melihat. “Sepertinya Anda telah menyelamatkan nyawa saya,” ujarnya. “Terima kasih kembali.” Aku tidak tahu harus membicarakan apa selanjutnya, tetapi kutahu aku memerlukan
seseorang untuk diajak bicara seseorang untuk diajak bicara mengenai Ana dan Jose. Sejak memandang ke dalam cermin, aku telah memutuskan bahwa hari ini aku akan melakukan sedikit penyelidikan. Walaupun kemungkinannya kecil, aku tidak dapat menyingkirkan pemikiran bahwa pasangan dari Spanyol itu mungkin mampu membantu seorang malaikat menderita yang telah terlalu lama berinkarnasi ini. “Apakah Anda sudah melihat kedua orang Spanyol itu?” tanyaku. Ia menggelengkan kepalanya. “Bukankah Anda kemarin bertemu dengan mereka di date line?” Sekali lagi aku mendapat perasaan bahwa ia memiliki hubungan dengan Ana dan Jose. Siapa yang telah memberitahunya bahwa aku bertemu dengan mereka di date line? Apakah itu sesuatu yang biasa dibicarakan oleh orang-orang? Aku mengangguk. “Mereka pasangan yang menarik,” ujarku. “Apakah Anda dapat berbahasa Spanyol?” Apakah aku melihat sebuah senyuman sekilas? Dari semua kejadian yang kualami, aku punya perasaan bahwa ia tahu alasanku bertanya. Tetapi, ia menggelengkan kepala. “Sedikit sekali. Tetapi, mereka dapat berbahasa Inggris dengan lancar.” “Oh, tentu. Tetapi, kadang-kadang mereka juga berbicara satu sama lain dengan bahasa Spanyol.” Ia mendengarkan dengan saksama; kewaspadaannya hampir membuatku takut. Seolaholah ia memiliki ketertarikan khusus terhadap segala pengamatanku. Apakah ketertarikannya ini entah bagaimana terkait dengan kedua orang Spanyol itu? “Dan Anda mengerti apa yang mereka katakan?” Kini aku menghadapi masalah. Aku tidak ingin memberi tahu John bahwa aku berkeliling pulau sambil mencuri dengar pembicaraan Ana dan Jose. “Yang jelas mereka tidak bercakap-cakap mengenai sepak bola maupun kriket, itu yang saya mengerti,” ujarku. “Pembicaraan di antara keduanya menyangkut hal-hal yang cukup aneh.” Ia berdiri sambil menghirup udara. “Konon wanita itu salah satu dari penari flamenco yang paling terkenal di Sevilla,” ujarnya. Flamenco! Sekali lagi otakku mendapat kesempatan untuk mencari kata kunci yang mungkin dapat membantu mengarahkan kepada suatu pertemuanku di masa lalu dengan Ana. Aku pernah beberapa kali mendatangi sebuah bar flamenco di Madrid, tetapi itu beberapa tahun yang lalu, dan jika aku memang melihat Ana di sana, tentunya ingatanku tidak akan mampu membedakan dirinya di antara segala irama yang bergairah, kostum yang berputar-putar, dan lagu yang sensual. Juga, jauh di dalam benakku, tersimpan bayangan Ana yang tentunya kukenal dalam jangka waktu yang jauh lebih lama dibandingkan hanya satu pertunjukan flamenco. Tetapi, informasi mengenai flamenco itu tetap saja berguna. “Saya punya perasaan pernah bertemu Ana sebelumnya,” ujarku. Ia terkejut. “Di mana?” “Itulah masalahnya. Saya tidak dapat mengingat di manakah saya pernah bertemu dengannya.”
“Menarik,” ujarnya. “Bahkan luar biasa. Saya sendiri menghadapi masalah yang persis sama. Ada sesuatu yang tidak asing tentang dirinya sehingga nyaris terasa menyebalkan ….” Jadi kini jelas bahwa kami berdua merasakannya, dan aku dapat melupakan gagasan bahwa aku pernah memimpikan Ana, atau bahwa aku pernah menikah dengannya dalam kehidupan yang lampau. Kini, mungkin, aku juga tahu alasan mengapa John begitu ingin tahu apakah aku pernah, atau tidak pernah, bertemu dengan kedua orang Spanyol itu di dateline. “Wajahnya tidak mudah dilupakan,” ujarku. Kurasa jawaban singkatku itu terdengar dangkal. Ia berdiri sambil berpikir keras sebelum menjawab, “Mungkin. Tetapi nyatanya juga bukan wajah yang dapat diingat. Masih ada kemungkinan ketiga ii Aku begitu tegang menunggu apa yang akan ia katakan. “Kita berdua pernah melihat wanita ini sebelumnya. Maka, mungkin ia telah menjalani semacam … metamorfosis.” Aku pun telah memikirkan gagasan yang mulai terasa pening. Udara yang panas kami diganggu oleh suara wanita marah suara Laura, yang berteriak di tengah menerus membuntutiku!”
mirip dengan itu dan lembap tidak yang datang dari pepohonan palem.
dan sekarang kepalaku membantu. Tetapi kini arah kolam renang. Itu “Kubilang jangan terus-
Detik berikutnya kami mendengar suara ceburan, dan menyadari bahwa Laura telah mendorong Bill ke dalam air. Aku menganggukkan kepala kepada John dan berkata bahwa aku harus segera pergi sarapan sebelum terlambat. Saat melewati pinggir kolam renang, aku memerhatikan bekas-bekas kejadian sebelumnya yang masih tampak. Bill tengah memanjat keluar dari kolam setelah tanpa terencana jatuh dengan perut terlebih dulu menyentuh air. Ekspresi wajahnya menunjukkan amarah ala Buster Keaton, tetapi biarpun basah kuyup, pakaiannya tetap keren dengan celana pendek kuning dan kaus biru muda bermotif pohon-pohon kelapa. Laura tengah sibuk menempatkan diri untuk berjemur di atas sebuah kursi panjang, dan ia pun menunjukkan ekspresi puas yang kejam seperti dalam film bisu. Ketika ia mengangkat kepala dan melihatku berjalan ke arah restoran, ia menutupi tubuhnya dengan handuk dan bertanya apakah aku hendak pergi sarapan. Aku mengangguk. “Saya akan minum teh dengan Anda,” ia mengumumkan. Sepertinya ia telah selesai membaca Lonely Planet-nya. Diletakkannya handuknya kembali di atas kursi, lalu ia mengenakan sebuah gaun merah menutupi bikini hitamnya dan memasukkan kakinya ke dalam sepasang sandal. Aku berdiri menunggunya. Kemudian kami pun pergi ke restoran. Para karyawan membagikan kopi dan teh. Aku baru sempat mengambil roti dan selai ketika mereka mulai membereskan makanan-makanan yang disajikan. Aku menatap ke dalam satu mata hijau dan satu mata cokelat Laura. “Apakah lelaki itu mengganggu Anda?” tanyaku. Ia hanya mengangkat bahu. “Oh, tidak, tidak juga.” “Tetapi, Anda kan mendorongnya ke dalam kolam?” “Ceritakan tentang penelitian Anda,” pintanya.
Dan aku tidak keberatan mengganti topik. Dengan cepat kujelaskan tentang penelitian lapanganku, dan segera kusadari bahwa ia pun bukan seorang amatir mengenai topik itu. Ia juga punya latar belakang di bidang itu dan dapat memberiku informasi yang tidak kuketahui mengenai masalah-masalah serupa di Benua Australia. Aku mengajukan beberapa pertanyaan mengenai yayasan lingkungan yang menyediakan dana untuk laporan tahunan yang ia ceritakan kepada kami malam sebelumnya. Pada awalnya Laura sedikit menghindar, tetapi akhirnya ia menyebutkan fakta bahwa yayasan tersebut sesungguhnya adalah sebuah hibah, karena seluruh dananya berasal dari sumbangan dari satu orang Amerika saja. “Seorang idealis?” tanyaku. “Seorang kaya,” ia membenarkan. “Uangnya berlimpah.” Aku bertanya apakah ia optimistis atau pesimistis mengenai masa depan Bumi dan umat manusia dalam jangka panjang. “Saya seorang yang pesimis mengenai masa depan manusia, tetapi optimis mengenai Bumi.” Aku mulai memahami sudut pandangnya, dan dengan segera ia pun menjelaskan segalanya. Minat Laura terhadap lingkungan ternyata memiliki akar ideologi yang lebih dalam daripada yang kubayangkan. Ia percaya bahwa Bumi adalah sebuah organisme, yang pada saat ini tengah menderita serangan demam yang akut, tetapi serangan ini adalah sebuah demam yang memurnikan dan akan memastikan bahwa sang Ibu itu akan segera membaik. “Sang Ibu?” “Gaia. Kecuali jika sesuatu yang luar biasa terjadi, akhirnya ia akan menghancurkan mikroba-mikroba yang telah membuatnya sakit.” “Gaia?” ulangku sambil menghela napas pelan. “Itu hanyalah sebuah nama yang kami berikan kepada ‘Ibu Pertiwi1; tentu kita dapat saja memanggilnya Eartha. Tetapi yang penting adalah menyadari bahwa dunia ini adalah sesuatu yang hidup.” “Yang akan menghancurkan mikroba-mikroba.” “Berjuta-juta tahun yang lalu, dinosauruslah yang disingkirkan,” ia memulai. “Dan mungkin hal itu terjadi bukan disebabkan jatuhnya meteor. Mungkin mereka menyebarkan penyakit di dunia dan menghancurkan diri mereka sendiri. Saya pernah mendengar sebuah teori bahwa kepunahan itu ada hubungannya dengan gas buangan yang dihasilkan para dinosaurus. Tetapi Bumi berhasil memulihkan dirinya sendiri, ia terlahir kembali. Kini umat manusia mengancam kehidupan di Bumi. Kita tengah menghancurkan habitat kita sendiri, dan Gaia ingin menyingkirkan kita.” “Dan kemudian … kemudian dunia akan bangkit kembali?” Laura mengangguk. Aku menatap ke dalam satu mata cokelatnya dan berkata, “Tidakkah Anda beranggapan bahwa kemanusiaan juga memiliki nilai intrinsik?” Ia hanya mengangkat bahu, dan aku mengerti bahwa ia tidak terlalu menghargai nilai manusia. Secara pribadi, aku selalu sulit menemukan nilai sebuah dunia yang tidak dapat menghasilkan kehidupan selain organisme-organisme rendah. Tetapi aku lebih bersimpati pada pemikiran mengenai kelahiran kembali. Walaupun, seperti yang telah kuakui kepada Gordon malam sebelumnya, sudah terlambat bagi dunia ini dan tidak ada jaminan bahwa akal sehat akan mendapatkan kesempatan lagi, setidaknya untuk planet ini, karena hal ini mungkin akan memakan waktu sangat lama. “Saya selalu beranggapan setiap individu manusia tak ternilai harganya,” ujarku.
“Begitu pula setiap panda.” Aku menatap ke dalam satu mata hijaunya. “Bagaimana dengan Anda?” aku berkata. “Tidakkah Anda takut mati?” Ia menggelengkan kepala. “Saya hanya akan mati dalam wujud saya yang sekarang.” Aku ingat bahwa saat itu aku berpikir betapa cantiknya wujud itu. “Tetapi, saya juga merupakan bagian dari planet hidup ini,” ia melanjutkan. “Saya lebih takut bahwa ia akan mati. Karena saya memiliki identitas yang lebih mendalam dan permanen dalam dirinya.” “Identitas yang lebih mendalam dan lebih permanen,” ulangku. Ia tersenyum menantang. “Anda tentunya pernah melihat foto Gaia yang diambil dari luar angkasa ….” “Tentu saja.” “Tidakkah ia begitu indah?” Aku tidak memercayai satu pun kata-katanya. Walau bagaimanapun, aku tidak pernah memiliki banyak waktu untuk meladeni monisme ekstrem seperti ini digabung dengan perhatian kepada lingkungan yang agak diwarnai kebencian terhadap manusia. Dan walaupun hal ini membuatku sedikit tidak nyaman, harus kuakui bahwa pada saat yang sama, aku menyukai Laura. Ia seseorang yang berpikiran tajam, menarik, dan dalam beberapa hal, seseorang yang terluka. Aku berusaha menimbang pertanyaan retorisnya. Baiklah, pikirku, kita memang menjalani hidup kita yang singkat di Bumi, tetapi semuanya tidak berakhir di situ karena kita akan kembali. Kita kembali sebagai bunga lili dan pohon kelapa, sebagai panda dan badak, dan semua ini adalah Gaia, identitas kita yang terdalam dan termurni. Wanita itu duduk sambil mengetuk-ngetukkan sandalnya. Aku dapat melihat sekilas bagian atas bikini hitamnya di sela-sela gaun merahnya. “Bagaimanakah kehidupan di Bumi berawal?” tanyanya. Aku menganggap pertanyaan ini retoris, tetapi aku tetap memberikan jawaban tradisional bahwa seluruh kehidupan di Bumi bisa jadi berasal dari satu buah makromolekul karena semua materi genetik menunjukkan suatu hubungan yang tak terbantahkan. “Jadi, Bumi adalah sebuah organisme hidup,” ia menyimpulkan. “Dan hal ini bukan hanya sebuah metafora. Saya benar-benar memiliki hubungan saudara dengan kembang sepatu itu.” Ia menunjuk ke arah taman, dan aku melihat Bill telah mengambil handuk yang ditinggalkan Laura di atas kursi tempatnya berjemur. Aku memutuskan untuk tidak mengungkit-ungkit hal itu. “Sesungguhnya,” wanita itu melanjutkan, “hubungan saya dengan kembang sepatu itu lebih dekat daripada setetes air dengan tetesan air yang lain. Dan jika seluruh kehidupan memang muncul dari satu buah makromolekul yang sama ….” Ia ragu sejenak, dan sekali lagi aku menatap ke dalam matanya yang hijau.
“Ya?” “… maka molekul itu sungguh fantastis. Saya tidak akan ragu menyebutnya bersifat ilahiah. Molekul itu adalah sebuah benih tuhan. Dan oleh karenanya, saya juga tidak akan ragu memanggil Gaia seorang dewi.” “Dan Gaia adalah diri Anda?” “Dan diri Anda. Dan kembang sepatu itu.” Aku sudah pernah mendengar hal ini sebelumnya, dan seperti yang telah kukatakan, aku tidak percaya bahwa ia sungguh-sungguh bermaksud mengatakan setengah dari apa yang ia katakan. “Tetapi, Bumi juga memiliki masa hidup yang terbatas,” potongku. “Ia hanyalah sebuah ‘planet kesepian’ di tengah kehampaan akbar.” “Atau di tengah Segala Sesuatu!” Bersamaan dengan kata-kata ini, ia meraih kedua tanganku, dan membuatku begitu kebingungan sehingga tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku bahkan tidak tahu apakah aku dapat membedakan antara “segala sesuatu” dan “kehampaan”. Bukankah keduanya hampir sama? Ia meremas tanganku lembut. Kemudian ia berkata, “Bersama-sama kita adalah satu.” Aku terpaku oleh rasa terkejut karena mendadak diikat menjadi suatu pasangan. Tetapi, setelah membicarakan segala sesuatu atau kehampaan memang menyenangkan dapat menggenggam sebuah tangan yang hangat. Jikalau pun segala sesuatu bukanlah satu, setidaknya kami berdua. Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa ada kemungkinan sedikit pun aku akan mengubah dasar-dasar ideologiku, karena aku juga tahu bahwa jika malam benar-benar gelap, semua garis dan bentuk akan lenyap. Kami duduk di sana selama beberapa saat sambil berpegangan tangan. Laura adalah seorang wanita memikat dan sekaligus seorang idealis keras kepala. Bagaimanapun, hingga taraf tertentu, apa yang ia katakan hampir tak terbantahkan. Sama tak terbantahkannya dengan individualismeku yang tanpa semangat. Dan bersama kami adalah satu. “Apakah hal itu juga berlaku pada sang insinyur perminyakan?” tanyaku, dan baru pada saat itulah ia menarik kedua tangannya. Ia menggelengkan kepala dan mengatakan dengan sebuah senyuman hangat, “Ia berasal dari sebuah semesta lain.” Walaupun begitu, tidak lama kemudian, ia bangkit dan pergi menuju tempatnya berjemur di tepi kolam renang, mungkin untuk melontarkan kepada orang Amerika itu kata-kata pedas karena telah mengambil handuknya. Aku memutuskan menyewa sebuah mobil dan pergi ke Taman Nasional Tavoro di sebelah timur pulau untuk mencoba melihat burung-burung nuri yang terkenal dan air-air terjun yang deras. Aku juga harus melakukan hal lain, yang lebih disebabkan oleh alasan kesehatan. Jochen Kiess, sang pemilik Maravu Plantation Resort, berasal dari Jerman. Ia sangat membantuku dalam memesan mobil, tetapi misiku berikutnya tidak dapat diselesaikan dengan begitu mudah. Tempat itu memiliki sebuah bar, yang tentu saja sepenuhnya sah, tetapi undang-undang nasional melarangnya menjual satu
botol penuh minuman keras. Aku berkata bahwa aku cukup mengerti keadaannya, karena kami pun memiliki peraturan yang sama persis di Norwegia. Tetapi, ini bukanlah penjualan biasa, lebih merupakan kompensasi yang sah atas kerusakan yang disebabkan oleh salah satu dari banyak tokek yang terdapat di penginapan tersebut. Namun, aku juga menjelaskan bahwa aku bersedia membayar botol itu, per takaran dengan harga yang sama per takaran seperti yang dijual di bar. Aku tidak yakin ia memercayai alasanku, tetapi akhirnya kebaikan hatinya mendorongnya membiarkan diriku bersiul-siul kembali ke bare 3 dengan sebotol Gordon’s Dry Gin yang masih utuh. Dalam perjalananku kembali, aku memetik setangkai kecil kembang sepatu yang telah ditunjuk Laura, yang lebih memiliki hubungan saudara dengannya dibandingkan hubungan antara dua tetes air. Tentu saja ia benar mengenai tetes air itu, tetapi itu hanya karena dua tetes air sama sekali tidak memiliki hubungan saudara. Mereka hanya sangat mirip satu dengan yang lain. Aku mengisi botol gin yang telah kosong dengan air, memasukkan tangkai kembang sepatu ke dalamnya dan meletakkan botol itu di atas sebuah meja kecil di depan jendela yang menghadap ke arah pepohonan palem. Selanjutnya, aku membuka tutup botol yang baru dan meletakkan botol itu di bibirku. Aku menelan seteguk kecil, hanya untuk menyatakan kepemilikanku atas botol itu dan memastikan botol itu tidak dapat dibawa kembali ke bar. Kubuka tas kabinku, dan dengan hati-hati kuletakkan botol itu di dalamnya dan kemudian menguncinya. Pada saat itulah aku melihatnya lagi. Gordon sedang tidur siang di bingkai di atas tirai. Pada awalnya kupikir ia tengah tertidur, walaupun sulit untuk membedakan pada reptil yang dilahirkan dengan sepasang kacamata yang menyatu sebagai kelopak matanya. Mungkin ia telah melihatku masuk dengan sebotol gin baru. Apa pun yang sebenarnya terjadi, kini aku menatap lurus ke matanya yang terbuka. “Obat untuk sakit kepala?” tanyanya. Sial! Ia mulai lagi. “Aku hanya membilas mulutku,” aku meyakinkan dirinya. “Lagi pula, apa yang kulakukan dalam privasi kamarku sendiri bukanlah urusanmu.” “Engkau tidak bermaksud untuk melanjutkan percakapan kita tadi malam, kan?” “Tentu saja tidak. Aku hanya mengatakan bahwa sebaiknya engkau tidak berlaku melebihi derajatmu. Engkau hanyalah seekor tokek.” “Sebenarnya ya dan tidak, Tuan.” “Apa maksudmu?” “Mungkin itulah yang terlihat di sini saat ini, tetapi pada kenyataannya ….” Aku punya dugaan apa yang akan ia katakan. “Silakan!” ujarku. “Aku tidak akan menghalangi kebebasan berbicara.” “Sesungguhnya, aku adalah ruh dunia. Ia telah bersemayam di dalam seekor tokek. Jadi, jika ada apa pun yang ingin kau ketahui, engkau hanya perlu bertanya.” “Kurasa, aku tidak peduli,” ujarku. “Aku sudah tahu apa pun yang kau katakan.” “Aku meragukan hal itu. Aku adalah ruh dunia yang mengetahui segalanya.” “Baiklah, ungkapkan saja kalau begitu. Apa yang kau tahu?” “Engkau menghabiskan sarapan dengan seorang primata betina dari Australia.” “Oke. Baiklah, katakan saja engkau telah lulus tes. Sekarang dapatkah engkau
memberitahuku apakah aku jatuh cinta kepadanya?” Ia tertawa. “Tidak. Hal itu sungguh konyol dalam waktu yang begitu singkat, bahkan bagi seorang primata laki-laki sepertimu. Tetapi, jika tidak dapat menjinakkan naluri hewanimu, engkau akan tersesat.” “Wanita itu adalah sesosok ruh dunia juga.” “Itu benar, Tuan. Aku ada di mana-mana di sekelilingmu. Engkau hidup, bergerak, dan mengada dalam diriku.” ? Masih ada beberapa perkampungan terpencil yang tidak tergoda untuk menjual jiwa mereka demi uang. Para penghuni desa kecil Bouma di sebelah timur Taveuni tahu bahwa mereka dianugerahi salah satu hutan hujan terindah di dunia sebagai hak mereka sejak lahir; hutan itu telah menjadi magnet bagi pencinta alam dan para pembuat film-film mengenai daerah surgawi seperti Return to the Blue Lagoon. Maka, ketika para penduduk desa ditawari sejumlah besar uang agar mereka mengizinkan pinggiran hutan mereka ditebang, timbullah perdebatan ramai karena modal dalam bentuk uang tunai bukanlah sesuatu yang berlimpah di Bouma, maupun di Fiji. Tetapi, pada akhirnya mereka menolak penebangan dan menyetujui sebuah gagasan fleksibel untuk mengubah lingkungan mereka yang rimbun menjadi sebuah taman alam, yang juga akan menjadi sumber penghasilan bagi desa miskin itu sebuah sumber penghasilan yang dapat diperbarui, yang akan bertahan jauh lebih lama daripada pembayaran tunai yang pernah ditawarkan bagi desa itu untuk tebang bersih. Kini, lima ribu hektar taman yang dilindungi telah dibangun untuk menerima para ekoturis yang datang ke sini, dan para penduduk desa itu sendirilah yang membangun jalan setapak dan memagari bagian-bagian yang paling curam, juga menyediakan toilet dan fasilitas untuk piknik dan berkemah. Dan contoh yang mereka berikan telah menyebar. Beberapa proyek yang serupa kini tengah direncanakan pada bagian-bagian lain di pulau ini. Setelah melewati desa mereka dan menyeberangi Sungai Bouma yang indah, dengan hati yang ringan aku pun membayar lima dolar Fiji untuk tarif masuk taman firdaus yang dilindungi ini. Di dalam sebuah gubuk kecil, aku diberi informasiinformasi berguna mengenai jalan setapak sepanjang delapan kilometer yang telah dipersiapkan, dan membeli sebungkus biskuit dan sebotol air. Aku juga meyakinkan mereka bahwa aku sadar penggunaan api sekecil apa pun dapat mengakibatkan bencana yang hebat. Aku berjalan menyusuri Sungai Bouma sejauh hampir satu kilometer. Jalan setapak yang kuikuti ditanami dengan begitu lebat sehingga menjadi sebuah lorong panjang yang diapit oleh pohon-pohon palem dan semak-semak berbunga. Inilah yang kusebut sebagai lanskap kultural, Vera. Andai saja engkau ada di sana! Tidak lama kemudian, kudengar deru air terjun besar yang pertama. Aku pernah membaca bahwa air terjun ini memiliki ketinggian dua puluh meter dan membentuk sebuah kolam gelembung yang sangat besar. Aku juga diberi tahu bahwa tempat ini jarang dikunjungi, maka aku telah meninggalkan pakaian renangku dan memutuskan untuk melompat masuk telanjang bulat ke dalam kolam alami ini jika aku memang sendirian, dan jika tidak, aku akan mendatangi air terjun yang lain. Air terjun itu berjarak satu setengah jam perjalanan dari sini, tingginya hampir lima puluh dua meter, walaupun kolamnya tidak sebesar yang ini. Begitu aku melihat air terjun itu aku masih teringat akan deru lembutnya terdengar suara-suara yang tidak asing menyambutku, dan sesaat kemudian aku pun melihat Ana dan Jose di dalam kolam. Aku tidak tahu apakah aku kecewa karena tidak lagi sendiri atau hanya terkejut melihat siapa yang kutemui. Tidak ada bedanya, tetap saja aku bertemu rintangan tak terduga, karena walaupun tidak dapat disangkal aku senang bertemu kembali dengan mereka, aku harus menghadapi kenyataan bahwa mereka memiliki ide yang persis sama denganku dan tengah berenang tanpa busana. Sekali lagi mereka mengingatkanku akan Adam dan Hawa, laki-laki dan wanita pertama yang diciptakan oleh Tuhan, suatu bentuk paling
awal dari kepuasan hidup setidaknya sebelum adanya penderitaan karena buah apel yang berlanjut dengan pengusiran dari taman. Tetapi, pengusiran hanya akan terjadi dalam bab berikutnya karena kini mereka masih berendam diri dalam keadaan polos. Sebelum memalingkan muka, aku sempat melihat bahwa Ana memiliki sebuah tanda lahir besar di perutnya. Terus-menerus berpura-pura tidak memahami apa yang dibicarakan Ana dan Jose adalah satu hal, tetapi aku belum terjerumus begitu rendah sehingga memata-matai ketelanjangan mereka. Tingkah laku yang rendah seperti itu hanya dapat diserahkan kepada Tuhan sendiri ia adalah sebuah prototipe yang sempurna sebagai Tukang Intip. Masalahnya, aku tidak dapat melanjutkan perjalanan ke air terjun berikutnya tanpa menunjukkan diri karena tidak ada jalan selain jalur resmi, dan jalur tersebut membentang tepat melewati kolam pemandian itu. Maka, aku pun harus kembali ke arahku semula. Namun, aku tidak berbalik, karena tepat pada saat itu aku mendengar Jose mengatakan sesuatu kepada istrinya. Walaupun tidak menangkap keseluruhan kalimatnya, aku akan mendengarnya lagi diulang secara keseluruhan di kemudian hari: “Joker terbangun dari mimpi-mimpi tak terbelenggu untuk menghadapi kulit dan tulang. Ia bergegas memetik buah-buah beri malam sebelum siang hari menyebabkan mereka terlalu masak. Sekarang atau tidak akan pernah sama sekali. Sekarang, atau tidak akan pernah lagi. Joker menyadari bahwa ia tidak akan pernah bangun dari tempat tidur yang sama dua kali.” Mungkin, pikirku, mungkin aku dapat mendengar apa yang ingin diungkapkan Ana pagi ini jika aku tetap tinggal di tempatku di jalan setapak itu dan tidak maju maupun mundur. Wanita itu berkata: “Apakah yang dipikirkan para peri saat mereka terbebas dari rahasia tidur dan tiba dengan bentuk utuh pada suatu hari baru? Apa yang dikatakan statistik? Inilah pertanyaan Joker. Ia selalu terlompat dengan kekaguman yang sama setiap kali keajaiban kecil ini terjadi. Ia terperangkap oleh hal ini sama seperti salah satu permainan sulapnya sendiri. Ini adalah caranya untuk merayakan dimulainya penciptaan. Ini adalah cara dirinya menyambut diciptakannya fajar pagi ini.” Aku sering bertanya-tanya siapakah “Joker” ini, dan kini aku diberi semacam penjelasan, saat Jose berkata: “Joker berjalan di antara para peri dalam penyamaran primata. Ia memerhatikan sepasang tangan yang ganjil, mengusap pipi yang tidak ia kenal, memegang alisnya, dan tahu bahwa di dalamnya terdapat sebuah teka-teki menghantui tentang dirinya, plasma jiwanya, agar-agar dari pengetahuan. Lebih mendekati inti dari hal-hal tidak akan pernah ia capai. Ia memiliki sebuah perasaan samar bahwa tentunya ia adalah sebuah otak yang dicangkokkan. Oleh karenanya, ia tidak lagi merupakan dirinya sendiri.” Atau seorang malaikat biokimia, pikirku, wakil dari keabadian yang amat ingin mengetahui riuh rendahnya kehidupan dunia makhluk darah dan daging, sehingga dalam keangkuhannya, ia lupa menyiapkan jalan untuk kembali. Tidak hanya primata yang harus berhati-hati saat mengenakan sayap yang terbuat dari lilin sehingga tidak menarik kesimpulan terlalu cepat bahwa ia dapat terbang ke surga seperti malaikat. Sebaliknya juga sama gegabahnya. Seorang malaikat yang percaya dapat hidup sebagai primata tanpa melepaskan statusnya sebagai malaikat adalah sama tidak bijaksananya. Sang malaikat tentu saja kehilangan jauh lebih banyak daripada sang primata, walaupun bisa dibilang keduanya kehilangan satu hal yang sama: diri mereka sendiri. Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa sang
malaikat telah salah beranggapan bahwa hidupnya akan abadi. Mungkin saat itu aku menduga Ana dan Jose telah melihatku sehingga mereka pun mulai memamerkan potongan-potongan kebijaksanaan filosofis mereka. Jika memang itu yang terjadi, sungguh konyol jika aku mundur. Tetapi, apakah aku punya perhitungan seperti itu atau tidak, aku hanya ingat menampakkan diriku di jalan setapak itu, dengan satu tangan menutupi mataku, dan peringatan untuk diriku sendiri bahwa tentu saja aku harus bersikap seolah tidak mendengar satu kata pun yang baru saja mereka ucapkan. “Apakah masih ada tempat bagi orang asing?” tanyaku. “Saya telah membayar lima dolar untuk mendapatkan visa di taman surga.” Mereka tertawa dan keluar dari kolam sementara aku berdiri dengan tangan kutunjukkan menutupi kedua mataku. Walaupun demikian, sekejap dua jariku sempat bergeser sedikit saja, cukup untuk memberiku kesempatan melirik tubuh telanjang mereka sebelum mereka mengenakan celana hitam dan selembar gaun musim panas berwarna merah. Mereka telah berpakaian, dan kami pun duduk di atas sebuah bangku di bawah keteduhan sambil makan biskuit dan berusaha untuk saling mengalahkan dalam memberikan pujian terhadap perlindungan alam itu, juga penduduk Bouma, karena kami adalah tamu mereka. Ana mulai sibuk dengan kameranya, dan aku membantu mengambil foto mereka berdua beberapa kali. Sementara si wanita sibuk memotret, sekali lagi Jose mulai mengujiku tentang berbagai macam hipotesis evolusi. Sebagai seseorang yang bukan ahli, ia benar-benar tahu banyak mengenai topik tersebut, ini adalah fakta yang telah kuperhatikan malam sebelumnya. Ia menggunakan istilah-istilah teknis seperti gra-dualism dan punctualism tanpa kesulitan sedikit pun. Mereka telah membuat perjanjian dengan seorang pengemudi yang menunggu di pondok resepsionis, dan kami pun memutuskan bahwa sekarang adalah giliranku untuk menikmati taman surga ini sendirian. Setelah berendam di dalam kolam, aku pun berjalan menuju air terjun yang satu lagi. w Kali berikutnya aku berpapasan dengan Ana dan Jose adalah di tengah pepohonan palem di Maravu beberapa jam kemudian. Dan di sini pun Ana terus mengambil foto. Aku secara khusus menyebutkan fakta ini karena sepertinya fotografi juga merupakan bagian yang sama pentingnya dengan pertukaran kalimat-kalimat rahasia yang terus-menerus saling mereka lontarkan. Saat itu aku sedang sendirian di antara pepohonan, dan tiba-tiba aku mendengar suara-suara yang tidak asing. Ternyata aku berada di dekat pondok Ana dan Jose, dan aku menyadari tentunya mereka tengah duduk di beranda luar. Hampir tidak mungkin mereka melihatku, dan aku yakin tempatku berdiri saat itu terhalang dari penglihatan mereka walaupun aku begitu dekat dengan mereka, sedekat kemarin saat aku tengah duduk di berandaku dan mereka berjalan di antara pepohonan. Aku pasti akan pergi menjauh jika saja tidak mendengar curahan berkepanjangan kalimatkalimat amat menarik yang mulai mengalir. Joselah yang memulai deklamasi. “Siapakah yang dapat menikmati pertunjukan kembang api kosmos jika bangku-bangku penonton di iangit hanya dipenuhi es dan api? Siapakah yang bisa menduga bahwa amfibi pemberani pertama tidak hanya merangkak satu tangkah kecii ke pantai, tetapi juga melakukan satu lompatan raksasa di atas jalan panjang yang mengantarkan primata dapat memandangi panorama evolusi mereka yang membanggakan dari awal jalan yang sama itu? Tepuk tangan bagi Big Bang baru terdengar lima belas miliar tahun setelah ledakan itu terjadi.”
“Atau mungkin sebaiknya kita mengerjakan yang ini lebih dulu,” ujar Ana. “Sesuatu menajamkan telinga dan membuka sebelah mata: naik dari dalam jilatan api, naik dari dalam sup purba yang kental, naik melalui gua-gua labirin, dan naik, naik melintasi ufuk stepa.” “Menurutku bagus. Tetapi tidakkah sebaiknya kita menyebutnya ‘sup purba bertimah’?” “Mengapa? Sup tidak pernah seperti timah.” “Maksudku, secara metaforis, sup itu berat. Benar-benar nyaris mustahil makhluk hidup dapat merangkak keluar ke daratan.” “Tidakkah itu akan merusak iramanya?” “Justru sebaliknya: ‘bangkit dari dalam sup purba yang berat ….”’ “Hmm, kita lihat saja.” Kini giliran Jose. Jelas bahwa ia berhenti sejenak untuk berpikir sebelum memutuskan, tetapi kemudian keluarlah dari mulutnya: “Seperti kabut sihir, panorama itu muncul, melalui kabut, di atas kabut. Saudara tiri dari Neanderthal yang ternama memegang alisnya karena tahu bahwa di belakang dahi primatanya, melayanglah materi otaknya yang lembut, auto pilot evolusi, kantung udara festival protein antara khayalan dan materi.” Dan sekali ini Ana tidak perlu memikirkan jawabannya, karena jawabannya telah tercakup dalam dramaturgi ritual tersebut. “Terobosan itu muncul dalam arena sirkus otak sang tetrapoda. Di sinilah kemenangan-kemenangan terbaru spesies itu diumumkan. Di dalam sel-sel saraf milik vertebrata hangat itu, sumbat botol sampanye yang pertama terbuka. Primata postmodern akhirnya mencapai wawasan menyeluruh. Dan mereka tak takut: alam semesta memandang dirinya sendiri dalam sudut pandang yang lebar.” Selanjutnya hening sejenak dan kupikir narasi itu telah selesai, terutama karena terdengar suara botol anggur yang dibuka. Tetapi, kemudian Jose berkata: “Sang vertebrata tiba-tiba menoleh ke belakang dan melihat ekor penuh misteri milik sanak saudaranya dalam perenungannya tentang malam tahun-tahun cahaya yang telah berlalu. Barulah sekarang jalan rahasia itu mencapai titik akhir. Dan akhir itu adalah kesadaran tentang perjalanan panjang menuju titik akhir itu sendiri. Yang dapat ia lakukan hanyalah bertepuk tangan: ujung-ujung yang disimpannya bagi para ahli waris spesiesnya.” “Perenungan tentang malam tahun-tahun cahaya yang telah berlalu,” ulang Ana. “Tidakkah itu sedikit terlalu berat?” “Tapi, memerhatikan alam semesta sama artinya dengan menengok kembali sejarahnya.” “Kita bisa kembali lagi ke situ nanti. Lalu, mungkin, kita bisa memakai yang ini: Dari ikan dan reptil serta tikus-tikus kecil yang manis, sang primata yang modis mendapat warisan sepasang mata yang bagus dengan pandangan meneropong. Para ahli waris dari ikan duri berongga ini mempelajari lintasan-lintasan galaksi di angkasa, dan tahu bahwa diperlukan beberapa miliar tahun untuk menyempurnakan penglihatan mereka. Lensa-lensa mereka dipoles dengan makromolekul. Pandangan mereka difokuskan dengan protein dan asam-asam amino yang sangat terintegrasi.” Kini giliran Jose lagi. “Di dalam bola mata, terjadi benturan antara penciptaan dan cerminan. Bola penglihatan dua arah ada/ah pintu berputar ajaib tempat jiwa pencipta bertemu dirinya sendiri di dalam jiwa ciptaan. Sang mata yang meneliti alam semesta
adalah mata alam semesta itu sendiri.” Selama beberapa detik, mereka terdiam. Kemudian, si lelaki berkata, “Keriting atau wajik?” “Wajik! Itu sudah jelas.” Dua gelas diisi, dan aku berdiri di sana selama beberapa saat. Ketika tidak terdengar apa-apa lagi, aku meninggalkan tempat itu sepelan mungkin. Aku sungguh terguncang, tetapi juga telah menemukan jawaban dari segala pertanyaanku, karena kini jelas sudah bahwa kalimat-kalimat janggal itu diciptakan Ana dan Jose bersama-sama di beranda rumah mereka. Tentunya mereka juga memiliki keberanian yang luar biasa, karena kuyakin rentetan panjang kalimat yang baru saja tidak sengaja kudengar itu juga menunjukkan sesuatu yang tanpa ragu-ragu kusebut sebagai kleptomania intelektual, juga pencurian gagasan. Kenyataan bahwa kalimat-kalimat Ana dan Jose semakin lama semakin menyerupai pemikiranku sendiri tentang evolusi nyaris tak bisa disebut kebetulan tidak setelah percakapan kemarin, atau setelah pembicaraan singkatku dengan Jose beberapa jam yang lalu. Sejak pertemuan pertama kami, mereka telah menyelidiki diriku dan menyerap hampir setiap gagasan yang kumiliki. Walaupun begitu, beberapa pertanyaan masih tak terjawab. “Wajik! Itu sudah jelas.” Dan memang sudah jelas wajik, Vera, bukan keriting maupun sekop, tentu saja bukan. Tetapi, apakah artinya? Apakah hubungannya dengan kartu? Dan siapakah “Joker” dan “para peri”? Aku juga tidak yakin apakah “lokakarya” sore itu dimaksudkan sebagai pertunjukan rutin bagi turis kesepian yang mengendap-endap di sekitar pepohonan palem. Contohnya, aku tidak bisa yakin mereka tidak melihatku beberapa menit sebelum aku tiba di belakang beranda mereka. Lalu ada pula Ana. Keluarlah dari kealpaan diriku, Ana! Aku memutuskan untuk melakukan sesuatu. Pertama-tama aku kembali ke pondokku, mengeluarkan pena dan kertas, kemudian duduk di tepi tempat tidur. Aku menulis: “Semakin dekat Joker dengan ketiadaan abadi, semakin jelas pula ia melihat sang hewan yang menemuinya dalam cermin setiap kali ia bangun menghadapi hari baru. Ia tidak dapat menemukan kedamaian dalam tatapan memelas seorang primata yang berduka. Ia melihat seekor ikan yang tersihir, seekor katak yang telah bermetamorfosis, seekor kadal yang berubah bentuk. Ini adalah akhir dunia, pikirnya. Di sinilah perjalanan panjang evolusi terhenti mendadak.” Aku membacanya keras-keras, dan tiba-tiba datang sebuah jawaban dari bingkai jendela. “Aku suka bagian tentang ‘kadal yang berubah bentuk’,” ujar Gordon. “Kenapa?” “Entah bagaimana, bagian itu menekankan bahwa kamilah sesungguhnya yang asli.” “Omong kosong! Engkau juga seekor ikan yang tersihir.” “Tetapi, aku tidak berubah bentuk. Aku tidak memiliki lipatan otak yang terlalu banyak. Aku memiliki sistem saraf yang benar-benar cukup untuk melakukan tugasnya, tidak lebih dan tidak kurang.” “Baiklah, kalau begitu, aku ganti saja menjadi ‘seekor kadal yang berdiri tegak’.” “Menurutku, sebaiknya engkau tetap menggunakan ‘berubah bentuk’, dan tidak hanya karena adanya lipatan-lipatan yang berlebihan itu di dalam otakmu, tetapi juga demi ritme bahasanya. Juga demi hubungan yang baik dengan tetangga.” “Aku punya yang lain lagi,” ujarku, dan aku membacanya keras-keras sambil
menulis: “Joker adalah seorang malaikat yang tengah menderita. Adalah sebuah kesalahpahaman yang fatal yang menyebabkannya mengenakan tubuh dari darah dan daging. Ia ingin hidup sebagai seorang primata hanya selama beberapa detik kosmos, tetapi ia telah mencopot tangga surga di belakang punggungnya. Jika tidak ada yang menjemputnya sekarang, jam biologisnya akan berdetak semakin cepat dan lebih cepat, dan terlambatlah untuk kembali ke surga.” Aku melihat ke atas. “Omong kosong yang romantis, kalau kau ingin tahu pendapatku.” “Aku belum bertanya apa pun kepadamu.” “Bagaimana jika keabadian itu tidak ada?” “Itulah persisnya yang membuatku begitu gusar. Tetapi juga sedih. Aku adalah seorang primata yang berduka.” “Tetapi, engkau mengasumsikan bahwa ada sebuah surga tempat malaikat dapat berinkarnasi, hanya untuk suatu hari menyadari bahwa mereka begitu terperangkap dalam jerat alam duniawi sehingga tidak dapat menyeret diri mereka pulang kembali.” “Apakah sebaiknya aku memasukkan kalimat itu? begitu terperangkap dalam jerat alam duniawi sehingga tidak dapat menyeret diri mereka pulang kembali1?” “Tentu saja tidak. Hampir tidak mungkin ada dunia selain dunia ini, dan dunia ini berjalan dalam waktu dan ruang.” “Aku tahu itu!” aku hampir menjerit.‘“Dan itu satu-satunya alasan mengapa engkau mengatakan hal itu. Tetapi dalam kiasanku itu, ada sebuah “jika” yang tersirat, kau tahu? Aku memang seperti seorang malaikat yang berduka dan hanya jika malaikat memang ada. Engkau harus mencoba membayangkan seorang malaikat yang tengah berduka tersesat di tengah kubangan daging yang berguncang-guncang. Malaikat itu tiba-tiba menyadari bahwa ia telah melakukan sesuatu yang mengerikan sekaligus tak terhindarkan karena tidak dapat menemukan jalan untuk kembali ke surga. Tidakkah kau lihat betapa fatal hal ini bagi sang malaikat? Sebelumnya ia beranggapan bahwa berdasarkan aturan alamiah penciptaan, keberadaannya tidak akan pernah berakhir. Selama ini ia selalu ada dan memiliki kontrak surgawi bahwa itulah yang akan selalu terjadi, dunia tanpa akhir. Tetapi terjadilah sebuah kesalahan, sebuah kesalahan tragis sama seperti buah apel di Taman Firdaus menyebabkan kesalahan kini akhirnya sang malaikat menyadari bahwa statusnya telah sangat terpuruk, karena dengan satu gebrakan, ia telah diubah menjadi malaikat biokimia, yaitu seorang manusia, yang merupakan sebuah mesin kehidupan yang dijalankan dengan protein, hampir sama dengan seekor ikan atau seekor katak. Ia berdiri di hadapan cermin dan menyadari karena kesalahan yang bodoh itu, ia kini tidak lebih berharga daripada seekor tokek.” “Seperti yang telah kukatakan, kami tidak pernah mengeluh tentang status keberadaan kami.” “Tetapi aku tidak seperti itu!” “Karena engkau memiliki satu lipatan terlalu banyak.” “Ya, ya. Dan tidak demikian halnya dengan sang malaikat. Mungkin ia memiliki daya pemahaman yang persis sama dengan manusia, maksudku cukup untuk memahami konsep-konsep tertentu mengenai alam semesta; tempat ia akan terus ada untuk selamanya berbeda dengan manusia. Di situlah letak perbedaan yang sangat besar, hanya di situ. Jika dilihat dari sudut pandang ini, sang malaikat memiliki daya pemahaman yang
cukup, sesuai dengan statusnya dalam kosmos. Secara pribadi, aku mengetahui jauh terlalu banyak mengingat aku berada di sini hanya untuk waktu yang singkat.” “Tidak ada gunanya membahas pemahaman seorang malaikat setelah engkau baru saja mengakui tidak percaya bahwa mereka ada.” Aku tidak memedulikannya. “Aku berasal dari rumah sang salamander,” lanjutku. “Dan bertentangan dengan latar belakang berupa pendeknya masa keberadaanku di sini, aku memiliki satu atau dua lipatan otak yang berlebih. Jadi yang aku diskusikan ini bukanlah sebuah topik intelektual, melainkan sebuah pertanyaan yang berhubungan dengan perasaan, juga sebuah pertanyaan mengenai moral. Aku merasa sungguh sesak sekaligus sedih dihadapkan dengan betapa pendeknya hidup ini dan berapa banyak yang sudah harus kutinggalkan. Ini tidak adil.” “Mungkin sebaiknya engkau menggunakan waktu yang disediakan untukmu dengan melakukan sesuatu selain menyesali kenyataan bahwa waktumu itu begitu pendek.” “Bayangkan engkau berada dalam perjalanan panjang,” ujarku. “Tiba-tiba, engkau diundang ke dalam sebuah rumah milik seorang baik hati yang kau temui, tetapi hanya untuk sebuah kunjungan singkat. Pada saat yang sama, kau juga tahu bahwa engkau tidak akan pernah dapat kembali ke rumah itu, atau dalam hal ini, ke negara atau kota itu.” “Engkau masih bisa duduk dan menikmati percakapan yang menyenangkan.” “Tentu saja. Tetapi, aku tidak perlu mengetahui segalanya tentang bagaimana rumah itu berfungsi. Aku tidak perlu tahu letak semua sendok sup dan panci, tempat gunting rumput dan seprai disimpan. Aku tidak perlu tahu bagaimana perkembangan kedua anak di sekolah atau apa yang disajikan oleh ayah dan ibu kepada tamu mereka pada ulang tahun pernikahan perak mereka tahun lalu. Memang menyenangkan jika sang tuan rumah menunjukkan keadaan rumahnya sedikit. Aku tidak menyepelekan ramah tamah seperti itu, tetapi sudah keterlaluan jika sang tuan rumah menjelaskan segala sesuatu tentang rumah itu, dari bawah tanah hingga loteng, padahal engkau hanya datang untuk minum kopi.” “Sama seperti dua atau tiga lipatan itu.” Aku tidak membiarkan perhatianku dialihkan. “Jika aku tinggal selama beberapa bulan, tentu masalahnya akan sedikit berbeda. Karena pastilah mereka adalah orang-orang yang menarik untuk dikenal jika tidak, aku hampir tidak mungkin akan singgah di tempat mereka, walaupun aku tidak menyadari bahwa mereka akan menggunakan begitu banyak waktu dalam persinggahan singkatku itu untuk membangga-banggakan kehidupan sempurna mereka, rumah mereka yang juga sempurna, lengkap dengan pemanas di bawah lantainya dan Jacuzzi baru. Aku harus mengejar pesawat, aku akan berangkat ke belahan dunia yang lain. Aku gelisah, karena dalam waktu singkat, aku akan bangkit dan meninggalkan tempat itu, taksi mungkin akan segera datang, dan aku tidak akan pernah kembali …. Apakah engkau sungguh-sungguh tidak mengerti apa yang kumaksud?” “Aku benar-benar mulai mengerti bahwa engkau terlalu banyak mengerti.” “Terlalu banyak, tepat sekali, itulah yang kumaksud selama ini. Hampir sembilan puluh sembilan persen dari genku sama dengan gen simpanse dan masa hidup kami hampir sama tetapi kurasa engkau tidak tahu sama sekali berapa banyak lagi yang kumengerti, namun kutahu bahwa aku harus memisahkan diri dengannya. Contohnya, aku memiliki cukup pengetahuan mengenai betapa luar angkasa begitu luas tanpa batas dan bahwa ia dibagi menjadi galaksi dan kumpulan galaksi, spiral dan
bintang-bintang yang berdiri sendiri, dan bahwa ada bintang-bintang yang sehat dan raksasa merah yang sedang demam, katai putih dan bintang neutron, planetplanet dan asteroid. Aku tahu segalanya mengenai Matahari dan Bulan, mengenai evolusi kehidupan di Bumi, mengenai para Fir’aun dan dinasti-dinasti di Cina, negara-negara di dunia dan rakyat mereka sebagaimana terlihat saat ini. Belum lagi segalanya yang telah kupelajari mengenai tumbuh-tumbuhan dan hewan, kanal dan danau-danau, sungai dan celah-celah gunung. Tanpa harus berhenti untuk berpikir, aku dapat menyebutkan kepadamu namanama beberapa ratus kota, aku dapat menyebutkan kepadamu namanama hampir semua negara di dunia, dan aku tahu perkiraan jumlah populasi di setiap negara tersebut. Aku memiliki pengetahuan tentang latar belakang sejarah dari berbagai kebudayaan yang berbeda, agama dan mitos-mitos mereka, dan hingga taraf tertentu, juga sejarah bahasa mereka, terutama hubungan etimologinya, khususnya dalam kelompok bahasa Indo-Eropa. Tetapi, aku juga yakin dapat menyebutkan cukup banyak istilah dari bahasa-bahasa Semit, dan beberapa dari bahasa Cina dan Jepang, ditambah lagi seluruh topografi dan namanama pribadi yang kutahu. Sebagai tambahan, secara pribadi aku mengenal beberapa ratus individu, dan hanya dari negara kecilku sendiri aku dapat dalam waktu singkat menyebutkan kepadamu beberapa ribu nama rekan senegaraku yang masih hidup bahkan data-data biografis yang cukup lengkap dari beberapa orang di antara mereka. Dan aku tidak perlu membatasi diriku dengan orang-orang Norwegia saja, kita hidup di desa yang semakin lama semakin global, dan dengan segera, batas desa itu akan melingkupi seluruh galaksi. Pada tingkatan yang lain, ada orang-orang yang sungguh-sungguh kusukai, walaupun orang tidak hanya membentuk ikatan dengan orang-orang, tetapi juga tempat. Pikirkan saja semua tempat yang kutahu dengan sangat baik, dan aku dapat menyebutkan apakah seseorang telah memangkas sebuah semak-semak atau memindahkan sebuah batu. Lalu ada buku, terutama semua buku yang telah begitu banyak mengajariku tentang biosfer dan angkasa luar, tetapi juga karya-karya sastra. Melalui buku-buku tersebut, aku juga mengenal kehidupan orang-orang khayalan yang, terkadang, begitu berarti bagiku. Dan kemudian, aku tidak dapat hidup tanpa musik, dan pilihanku sangat beragam, segalanya mulai dari musik tradisional dan musik Renaissance hingga Schbnberg dan Pende-recki. Tetapi harus kuakui, dan hal ini punya bobot dalam perspektif yang sedang kita upayakan, harus kuakui aku memiliki kesukaan khusus akan musik romantis, dan hal ini, jangan lupa, juga dapat ditemukan di antara karya Bach dan Gluck, juga Aibi noni. Tetapi, musik romantis telah muncul pada setiap zaman, dan bahkan Plato menyarankan untuk menghindarinya karena ia percaya bahwa perasaan melankolis dapat melemahkan diri. Dan jika engkau mendengarkan Puccini dan Mahler, akan sangat jelas bahwa musik telah menjadi sebuah perwujudan langsung dari apa yang sedang kucoba sampaikan kepadamu, bahwa hidup ini terlalu pendek dan fakta bahwa manusia tercipta memiliki arti bahwa mereka harus meninggalkan terlampau banyak hal. Jika engkau pernah mendengar Abschied dari Das Lied von der Erde ciptaan Mahler, engkau akan tahu maksudku. Semoga engkau mengerti bahwa aku membicarakan perpisahan itu sendiri, saat kepergian, dan hal itu terjadi di dalam organ sama yang menjadi tempat penyimpanan segala yang kutinggalkan.” Aku menghampiri tas kabinku dan membukanya, mengeluarkan botol ginku dan meletakkannya ke mulut. Sungguh tidak perlu dikomentari karena aku hanya menelan seteguk kecil, dan sebentar lagi waktu makan malam. “Kau sudah akan memulai?” ujarnya. “Memulai? Kurasa, penggunaan kata-katamu itu terlalu berat sebelah. Aku hanya minum sedikit karena aku haus, dengan kata lain untuk menyegarkan diri, dan engkau berkata aku memulai.” “Aku hanya khawatir kebiasaan minummu itu dapat semakin memperpendek usiamu, jika hal yang terburuk terjadi.” “Mungkin, dan aku dapat melihat letak paradoks itu, tetapi aku tidak berbicara tentang menjadi tua, aku berbicara mengenai keabadian, dan sehubungan dengan
itu, beberapa tahun saja tidaklah penting.” “Untung aku terbebas dari kekhawatiran mengenai keabadian.” “Ya, aku tidak!” ujarku. Aku menyambar catatan yang telah kutulis, lalu bergegas keluar dari kamar dan membanting pintu di belakangku keras-keras. Dengan sengaja aku berjalan ke arah pondok Ana dan Jose, walaupun saat semakin mendekat, aku sengaja memperlambat langkahku. Jadi, ketika aku melewati beranda itu, seakan-akan, dengan sedikit keberuntungan, tampak seperti kebetulan saja. Aku melipat kertasku dan menyelipkannya di saku belakang. “Anda ingin segelas anggur putih?” terdengar suara Ana. “Ya, terima kasih.” Ia mengambilkan sebuah kursi dan sebuah gelas dari dalam, dan ketika kami telah duduk dan gelas-gelas telah terisi, aku berpura-pura memandang penuh pemikiran ke arah pepohonan palem sambil bergumam sesuatu kepada diriku sendiri, bagaikan tengah meresapi kalimat-kalimat kuno: “Semakin dekat Joker dengan ketiadaan abadi, semakin jelas pula ia melihat sang hewan yang menemuinya dalam cermin setiap kali ia bangun menghadapi hari baru. Ia tidak dapat menemukan kedamaian dalam tatapan memelas seorang primata yang berduka. Ia melihat seekor ikan yang tersihir, seekor katak yang telah bermetamorfosis, seekor kadal yang berubah bentuk. Ini adalah akhir dunia, pikirnya. Di sinilah perjalanan panjang evolusi terhenti mendadak.” Kau mungkin bisa mendengar jika ada jarum yang terjatuh, karena keadaan langsung sunyi senyap di beranda itu sehingga membuatku takut. Aku yakin Ana dan Jose saling berpandangan, tetapi tidak ada satu kalimat pun yang terucap hingga akhirnya Ana bertanya apa pendapatku tentang anggur itu. Aku telah menduga tanggapan semacam itu akan datang, karena apa yang kukatakan hanya dapat diterjemahkan sebagai reaksi atas pertunjukan verbal mereka sendiri beberapa hari terakhir ini. Tetapi, kami hanya duduk di sana selama seperempat jam untuk membahas mengenai Fiji dan beberapa topik umum lainnya. Aku ingat sempat tercekat oleh kemungkinan teoretis yang mengerikan bahwa semua yang kudengar terlontar di antara Ana dan Jose tidaklah berbeda dengan percakapan khayalanku dengan Gordon. Tetapi, jika memang seperti itu masalahnya, mengapa Ana dan Jose tidak berkomentar apa pun tentang pernyataanku yang begitu tiba-tiba mengenai ikan yang tersihir dan primata yang berduka? Peran kami secara tiba-tiba terbalik sepenuhnya. Atau, apakah mereka merasa menjadi korban curi-dengar dan pengintaian karena tak pernah ingin aku memahami kutipan-kutipan mereka? Kepercayaan diri sepasang kekasih yang berenang tanpa busana di bawah sebuah air terjun tropis mungkin tidak dimaksudkan bagi telinga pihak ketiga, dan tentunya tidak menjamin akan adanya jawaban. Ditambah lagi, aku tidak memiliki alasan untuk merasa terhina jika mereka terinspirasi untuk mengadaptasikan topik-topik diskusi kami ke dalam gaya yang lebih puitis. Aku harus mendapatkan lebih banyak kepastian. Setelah berterima kasih kepada mereka atas anggur itu, sebutir kelapa terjatuh dari salah satu pohon, dan sekali lagi aku berkata kepada diri sendiri dengan cukup keras untuk memastikan mereka dapat mendengarnya: “Joker adalah seorang malaikat yang tengah menderita. Adalah sebuah kesalahpahaman yang fatal yang menyebabkannya mengenakan tubuh dari darah dan daging. Ia ingin hidup sebagai seorang primata hanya selama beberapa detik kosmos, tetapi ia telah mencopot tangga surga di belakang punggungnya. Jika tidak ada yang menjemputnya
sekarang, jam biologisnya akan berdetak semakin cepat dan lebih cepat, dan terlambatlah untuk kembali ke surga.” Sekali lagi keadaan menjadi sunyi senyap, dan aku merasakan suatu atmosfer kejengahan meliputi beranda itu. Aku tidak mendapatkan tanggapan sedikit pun dari Vera, bahkan tidak dalam bentuk nonverbal. Dan aku harus menambahkan bahwa sejak sore itu, segalanya telah berakhir. Setelah itu, tidak sekali pun Ana dan Jose berdiskusi berdua di hadapanku. Sesuatu telah mati, mati tanpa dapat dibangkitkan kembali seperti sang malaikat yang kehilangan kunci menuju keabadian. Kami berjalan bersama-sama