wajah semu akademisi
Salam PERSMA! Sudah empat bulan kita tidak saling bersapa, untuk sekadar berbagi kabar menyajikan realita dan berbagi wacana. Ada rasa bersalah saat kami terlambat menerbitkan buletin ini. Namun begitu dikaruniai kesempatan, semoga kesalahan kami bisa termaafkan. Informasi mungkin bisa basi, namun pengetahuan akan senantiasa hidup dalam sebuah keabadian. Begitu juga dengan topik buletin edisi ke-52, akan membahas mengenai dunia yang tidak akan ada habisnya: Pendidikan! Pendidikan adalah salah satu pilar penting yang dibutuhkan dalam proses “memanusiakan manusia”. Namun dalam perjalanannya, ada banyak kerikil bahkan bebatuan tajam yang berusaha mengganjal. Hingga pendidikan tak lagi bisa dikatakan murni karena telah banyak yang berusaha untuk mencuri kesuciannya. Buletin ini akan menyajikan beberapa tulisan mengenai pendidikan yang ada di perkuliahan, khususnya di Universitas Jember. Selain tulisan dalam bentuk berita maupun opini, kami juga menyajikan cerpen dan puisi. Seperti yang dikatakan pepatah: “Tiada gading yang tak retak!”, begitu juga dengan tulisan kami. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk pemyempurnaan buletin kami. Ucapan terima kasih tidak lupa disampaikan kepada semua pihak yang telah tergabung dalam penyajian buletin. Semoga terus terjaga untuk senantiasa berkarya[]
Pemimpin Umum: Rhona Putra Ardianto Pemimpin Redaksi: Agustira Rahman Ilhami Koordinator Litbang: Bill Alghifari Staf Litbang: Wulan Panuluh Biro Umum: Arum Andary Ratri Koordinator Kaderisasi: Izzatul Kamilia
Anggota Magang: Nurfitriani, Immanuel Y.S, Syahrul Fatoni, Siti Nur Azizah, Sekli Layouter & Desain: Syahrul Fatoni KEPADA PEMBACA YANG BUDIMAN Kami mengharapkan kritik dan saran tentang Tegalboto atau informasi apa saja yang ada di kampus. Kirim ke 089661987146. Jangan lupa tulis nama dan fakultas ya!
Diterbitkan oleh UKPKM Tegalboto Universitas Jember Jl. Kalimantan 35 Komp. Gd. PKM Kav. selatan 68121
[email protected], facebook: UKPKM Tegalboto
Elegi
-Nur Fitriani-
Setiap akhir semester beberapa fakultas di Universitas Jember (UJ) mengadakan Ujian Akhir Semester (UAS) yang menentukan hasil belajar mahasiswa selama satu semester. Salah satu syarat untuk mengikuti UAS adalah mahasiswa harus memiliki presensi kehadiran sebesar 75% dari waktu yang telah dijadwalkan. Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan bagi mahasiswa, khususnya yang masih keberatan dengan jatah masuk yang diberikan dalam perkuliahan. Apakah sebenarnya tujuan dari kebijakan tersebut dibuat? Menurut Ninik Kusbandini, Kepala Bagian Pendidikan dan Kerjasama Bidang Akademik UJ menyatakan bahwa kebijakan ini sudah dibuat oleh atasan (Pembantu Rektor I), berdasarkan persetujuan dari masing-masing fakultas. Presensi kehadiran 75% tersebut telah memberi kelonggaran mahasiswa untuk memanfaatkan waktu mereka sebaik-baiknya selama di perkuliahan. Jatah 25% itu diberikan untuk mengantisipasi apabila ada mahasiswa yang sakit dan ada kepentingan di luar perkuliahan, sehingga tidak ada kesempatan untuk membolos. “Di instansi pendidikan manapun baik itu SD, SMP, SMA, maupun perkuliahan pasti ada yang namanya aturan yang bertujuan untuk memudahkan maksud dari pendidikan itu sendiri yaitu untuk mencerdaskan”, tambah Ninik. Kebijakan ini didukung oleh pihak dosen, salah satunya Ketut Anom Wijaya, Dosen Fakultas Pertanian yang mengatakan, “Kebijakan ini sudah sangat tepat dikarenakan salah satu tujuan dari pendidikan bukan hanya membuat manusia itu cerdas, namun juga disiplin.” Ia juga berpendapat apabila suatu sistem tidak ada aturannya maka dipastikan tidak akan berjalan dengan baik. Selain itu ada beberapa informasi penting yang mengharuskan mahasiswa untuk datang sendiri ke kampus. Meskipun bertujuan untuk meningkatkan kedisiplinan, namun kebijakan ini menimbulkan dampak negatif bagi mahasiswa yaitu maraknya kasus titip-absen. Istilah titipabsen atau yang sering disebut dengan TA sudah menjadi hal yang biasa dilakukan apabila mereka berhalangan hadir. Hal ini dikarenakan mereka takut apabila tidak bisa mengikuti kegiatan UAS yang menentukan kelulusan mata kuliah yang ditempuh. Belum lagi jika ada beberapa dosen yang menentukan penilaian UAS berdasarkan kehadiran mahasiswa, “Yang penting sering masuk. Minimal akan saya kasih B nanti...,” ucap salah satu Dosen Mata Kuliah Umum UJ seusai mengajar di ruang 9 UPT Perpustakaan. Salah satu mahasiswa PBSI (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) FKIP UJ Khusnul Khotimah, mengaku kurang setuju dengan banyaknya kasus TA. “Sampai semester dua ini saya belum pernah yang namanya titip-absen. Mending jika benar-benar berhalangan hadir saya memilih untuk membuat surat atau menelepon dosennya”, ucap Khusnul. Menurutnya mahasiswa yang sering titip-absen merupakan mahasiswa yang kurang bertanggung jawab, karena akan merugikan teman yang dititipi absen jika ketahuan.
Ketidaksukaan pada TA juga didukung oleh salah satu dosen favoritnya di PBSI yang bernama Siswanto. Ia akan mengecek ulang siapa saja mahasiswa yang ikut mata kuliah di akhir pelajaran. Ia sangat perhatian dengan kehadiran mahasiswa dikarenakan hal ini juga mempengaruhi kelancaran dalam penyampaian materi. Apabila ada yang ketahuan TA, maka konsekuensinya mahasiswa harus mengulang pada semester depan. Materi perkuliahan dari dosen pada dasarnya bukanlah suatu patokan yang tidak bisa dikembangkan. Materi yang didapatkan pada saat kuliah hanya berfungsi sebagai pemantik, selebihnya mahasiswa bisa mencari dan menggali lebih dalam lagi dari berbagai referensi. Sumber referensi yang bisa digunakan misalnya dari buku, koran, blog, jurnal, serta berbagai sumber lain yang saat ini semakin mudah untuk dicari. Pendapat ini juga didukung oleh Azizah, seorang mahasiswa Fakultas Pertanian yang mempunyai kakak bernama Feri yang merupakan lulusan Fakultas Teknologi Pertanian. Feri jarang sekali masuk kuliah dan sering melakukan TA. Namun IPK-nya selalu bagus, karena ia tahu bahwa materi dari dosen hanya sebagai acuan. Sehingga selebihnya urusan mahasiswa untuk mencari materi di luar jam perkuliahan. Presensi kehadiran dijadikan sebagai indikator kelayakan untuk mengikuti ujian. Meskipun seorang mahasiswa hadir 100%, tidak bisa menjamin seorang mahasiswa sepenuhnya paham dengan materi yang disampaikan. Pada akhirnya nilai menjadi tujuan utama yang mereka agungkan. Sementara itu bagi mahasiswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata akan membosankan ketika mereka diharuskan mengulang materi yang sudah mereka pahami. Waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk mengkaji teori lebih dalam terpakai untuk mengulang materi yang sama dengan mahasiswa lainnya. Di sisi lain mereka harus tunduk dengan kebijakan yang dibuat oleh pusat. Seperti yang digambarkan Suwardjono dalam Revolusi Paradigma Pembelajaran Perguruan Tinggi: Dari Penguliahan ke Pembelajaran, ia mengatakan syarat kehadiran minimal 75% tidak secara mutlak harus dihilangkan, namun tidak sebagai indikator kelayakan peserta ujian (syarat ujian). Misalnya saja seperti metode yang diterapkan oleh para asisten dosen di Fakultas Pertanian UJ. Bagi para praktikan yang tidak bisa mengikuti praktikum Wawasan Agribisnis diminta untuk merangkum sebuah jurnal dengan materi tertentu lalu mempresentasikannya. Hal tersebut diterapkan untuk mengatasi kurangnya presensi. Sehingga mahasiswa yang presensi kehadirannya tidak memenuhi 75% dapat mengikuti ujian tanpa harus kecewa menerima nasib begitu saja. Kebijakan yang mengutamakan presensi kehadiran sebagai syarat mengikuti UAS, terkesan lebih mengutamakan kuantitas (kehadiran) daripada kualitas (pencapaian) dari mahasiswa. Jika presensi kehadiran menjadi salah satu acuan, akan berpotensi untuk membuat mahasiswa bergantung pada apa yang telah disampaikan oleh dosen. Padahal materi dari dosen hanya sekedar acuan. Pengetahuan tentang materi bisa lebih digali di luar jam perkuliahan. Seorang mahasiswi di FMIPA bernama Ismi mengaku kurang setuju dengan kebijakan tersebut, “Sebaiknya kehadiran tidak perlu dijadikan sebagai salah satu syarat masuk UAS. Hal itu dikarenakan tingkat kemampuan dan pemahaman mahasiswa itu tergantung pribadi masing-masing”. Jika bermaksud untuk mendisiplinkan mahasiswa, namun apabila mereka lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas apakah bisa dicapai mahasiswa yang benar-benar cerdas?[]
?
Repro Internet
Elegi
-Sekli A.PDosen mempunyai metode masing-masing dalam mengajar. Dosen dari fakultas sosial maupun fakultas eksak telah mempertimbangkan metode yang mereka gunakan. Metode tersebut diharapkan mampu membantu mahasiswa dalam memahami materi, baik dari segi teori maupun penerapan lapang. Pada umumnya, metode mengajar dosen ada dua macam, yaitu metode ceramah dan metode diskusi. Metode ceramah bisa diumpamakan sebagai pembelajaran satu arah. Dosen lebih banyak mengalokasikan waktu kuliah untuk menjelaskan materi sedangkan mahasiswa duduk manis mendengarkan. Tidak jarang mahasiswa mengantuk saat perkuliahan. Kalaupun ada waktu tersendiri untuk sesi tanya jawab, mahasiswa belum tentu memanfaatkannya. Peran dosen sangat dominan, sehingga mahasiswa hanya menjadi objek yang menerima bahan ajar. Metode ini membuat mahasiswa pasif. Mereka hanya akan mendapat informasi dari apa yang dikatakan dosen sehingga informasi yang mereka terima terbatas, kecuali bagi mahasiswa yang aktif dalam mencari informasi tambahan. Halimatus Sa'diyah, salah satu dosen Fakultas Pertanian mengatakan bahwa metode yang efektif untuk fakultas eksak di Universitas Jember adalah metode ceramah. Dosen harus menjelaskan materi-materi secara detail. Hal ini dikarenakan mata kuliah fakultas eksak kebanyakan adalah menghafal, baik rumus maupun teori. Menurutnya, metode ini sudah tepat diterapkan pada mahasiswa. Dia memilih cara yang komunikatif dan santai dalam menerapkan metode ceramahnya sehingga mahasiswa tidak terlalu terbebani dengan mata kuliah Statistik yang diajarkannya. Azizah, salah satu mahasiswa yang pernah diajar oleh Halimatus Sa'diyah membenarkan itu, “Yo enak, nyambung aja, komunikatif sama mahasiswa, jadi nggak monoton,” katanya. Menurut Nindi, mahasiswa FKIP Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, metode ceramah masih menjadi metode yang paling efektif karena bisa menciptakan interaksi antara dosen dan mahasiswa walaupun perlu juga adanya metode proyek atau praktek untuk menyeimbangkan itu. Herlina, salah satu mahasiswi Fakultas Farmasi juga mengatakan, “Metode ceramah memang paling efektif digunakan di fakultas eksak karena dosen bisa langsung menerangkan materinya.” Sementara itu, metode yang lain yakni metode diskusi lebih mengutamakan keaktifan mahasiswa dalam menyikapi materi. Mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok dan mendiskusikan bersama materi kuliah. Peran dosen hanya membimbing jalannya diskusi dan memberikan penjelasan jika diskusi tidak berjalan lancar. Mahasiswa dituntut lebih mandiri dan bebas mencari informasi dari segala sumber. Tantik, salah satu mahasiswi Ekonomi jurusan Manajemen angkatan 2013 mengatakan bahwa untuk semester satu beberapa dosennya menggunakan metode diskusi. Metode ini dirasa sudah efektif karena Kurikulum Pendidikan Berbasis Karakter atau yang
disebut Kurikulum 2013 menuntut peserta didik untuk bersikap aktif. Menurut situs kurikulum2013.org, Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang mengutamakan pemahaman, skill, dan pendidikan berkarakter. Peserta didik dituntut untuk memahami materi, aktif berdiskusi, serta memiliki sopan santun dan disiplin yang tinggi. “Metode diskusi menjadi sangat efektif karena kurikulum saat ini mengharuskan keaktifan mahasiswa,”katanya. Tantik menambahkan bahwa metode diskusi juga memiliki kekurangan. Dia terkadang kurang paham dengan apa yang disampaikan oleh teman-temannya ketika presentasi sehingga peran dosen dibutuhkan sebagai penyeimbang informasi. Dia juga mengatakan bahwa metode ceramah maupun praktek memiliki kekurangan. Menurutnya, kekurangan metode ceramah adalah mengurangi keaktifan seorang mahasiswa, sedangkan kekurangan metode proyek atau praktek adalah pada penguasaan materi yang dimiliki setiap individu yang berbeda. Oleh karena itu, kedua metode ini sebaiknya berjalan seimbang dalam proses pembelajaran. Kolaborasi Metode Ceramah dan Diskusi Saat ini metode ceramah dan diskusi adalah metode yang paling banyak digunakan oleh dosen. Namun ternyata ada satu metode alternatif yang mungkin bisa diterapkan. Siswanto salah satu dosen FKIP Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia mengatakan, “Metode saya bukan hanya ceramah dan diskusi, tetapi metode proyek juga.” Pernyataan tersebut dibuktikan dalam mata kuliah Apresiasi Drama yang mengharuskan mahasiswa melakukan pementasan drama. Pementasan tersebut diselenggarakan di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa sebagai tugas pengganti UAS akhir bulan Mei lalu. “Sebenarnya metode ceramah dan diskusi itu termasuk dalam penerapan metode proyek itu,” tambahnya. Jadi bisa dikatakan bahwa metode proyek adalah kolaborasi antara metode ceramah dan metode diskusi yang kemudian diaplikasikan . Dia juga mengklaim bahwa metode proyek adalah metode yang tepat dan dapat digunakan oleh fakultas sosial maupun eksak. “Awalnya mahasiswa merasa terbebani dengan metode proyek yang diterapkan, tetapi lama-kelamaan mereka ketagihan.”ungkapnya. Siswanto menyatakan bahwa seorang dosen harus mampu membuat anak didiknya mengerti suatu materi baik secara teoritis maupun aplikatif. Metode ceramah dan metode proyek atau praktek harus berjalan seimbang agar tercipta proses pembelajaran yang efektif meskipun tidak semua fakultas dapat menerapkan keduanya. Misalnya saja fakultas eksak yang kebanyakan dosennya menerapkan metode ceramah. Ada beberapa faktor yang membuat metode proyek ini belum bisa diterapkan. Dosen yang mungkin menganggap praktek kurang penting atau dosen yang mungkin belum menemukan cara untuk mengaplikasikan mata kuliahnya ke dalam sebuah proyek. Seorang dosen bebas memilih metode apa yang akan dia gunakan untuk mengajar. Namun dia juga harus siap menerima kritik dan saran dari mahasiswa terhadap metodenya. Hal itu karena mahasiswa adalah objek yang menerima metode mengajar yang diberikan.[]
Repro Internet
Elegi Repro Internet
-S. Nur AzizahSiapakah yang tidak mengenal akademisi? Semua sudah tahu siapa yang dimaksud dengan akademisi. Menurut KBBI, akademisi berarti orang yang berpendidikan atau anggota akademi. Akademisi dimata masyarakat adalah orang yang memiliki ilmu, “Akademisi adalah orang yang berada dalam institusi pendidikan,” tegas Nurlita mahasiswa Manejemen Fakultas Ekonomi, bahkan para akademisi sering kali lebih di unggulkan di dalam masyarakat karena dianggap lebih tinggi derajatnya dibanding kaum non-akademisi. Zaman berkembang semakin maju. Sejalan dengan perkembangannya muncullah internet yang memberikan kemudahan dalam mengakses segala hal, khususnya informasi dan komunikasi. Internet yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan Amerika pada awalnya digunakan untuk keperluan militer, namun seiring dengan perkembangannya yang semakin pesat, saat ini internet sudah dapat diakses oleh semua lapisan. Namun ibarat dua sisi mata uang, internet dengan segala kelebihannya juga mendatangkan beberapa dampak buruk. Salah satunya adalah memicu tindakan plagiat, tidak hanya di kalangan orang awam bahkan di kalangan mahasiswa yang katanya “melek” pengetahuan. Mahasiswa dengan seabrek tugas yang dimiliki tak ayal lebih memilih internet daripada susah-susah mencari buku di perpustakaan sebagai referensi. “Mending cari di google, tinggal klik langsung muncul,” ungkap Gita mahasiswa D3 Fakultas Ekonomi. Dengan fasilitas wi-fi yang disediakan oleh kampus maka mahasiswa tidak perlu mengeluarkan biaya untuk dapat mengakses internet. Hal inilah yang memicu kian maraknya plagiarisme di kalangan mahasiswa. Sebelum membahas kasus ini lebih jauh, ada baiknya kita melirik sejenak definisi plagiat tersebut. Plagiat merupakan tindakan menyalin atau menjiplak karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan, tanpa mendapat izin dari yang bersangkutan dan mengakuinya sebagai karya sendiri. Menurut Heri Prasetyo dosen FISIP yang juga aktif di Lembaga Penelitian Universitas Jember, plagiat adalah menyalin dan mengambil keuntungan dari karya orang lain, baik itu dari sisi materi maupun yang lain. “Di lingkungan mahasiswa, misalnya untuk mendapat nilai tinggi,” ujarnya saat ditemui di kantor Lembaga Penelitian Universitas Jember (04/06). Pendapat lain juga disampaikan oleh Siswanto dosen FKIP Universitas Jember, plagiat itu memiliki makna sederhana yakni ketika seseorang mengklaim gagasan orang lain sebagai gagasannya “Ilmuwan salah itu biasa, tapi ilmuwan tidak jujur itu berbahaya” tegasnya saat diwawancarai seusai menonton pertunjukan teater di Gedung PKM Universitas Jember (31/5). Heri Prasetyo mengatakan bahwa salah satu penyebab plagiasi adalah kebijakan negara yang bermasalah, adanya tradisi yang dihadapkan dengan tradisi, dan juga adanya individu yang bersifat kekinian (mengandalkan internet), “Tradisi dalam mahasiswa di sini yakni mencari nilai yang bagus dengan internet,” tambahnya. Pendapat lain disampaikan oleh
Siswanto yang juga menegaskan bahwa salah satu penyebab plagiasi adalah tradisi kita yang mengharuskan membuat skripsi atau tesis tebal-tebal, menurutnya boleh saja tebal asalkan di wilayah gagasannya “Di luar negeri itu membuat skripsi tipis sekali namun benar-benar ilmiah,” tambahnya. Bagaimana jika kasus plagiasi ini tidak hanya merambah kalangan mahasiswa saja melainkan juga di kalangan para dosen yang notabene adalah seorang pendidik? Tentu saja hal itu merupakan sesuatu yang memprihatinkan mengingat dosen tidak hanya berperan sebagai pengajar melainkan juga sebagai seorang tauladan. Jangan salahkan para mahasiswa jika mereka terlahir sebagai akademisi yang hanya bisa copy-paste di internet, jika dosennya saja melakukan hal yang sama. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Pada hakikatnya dosen bukanlah seorang dewa, ia juga manusia biasa yang mempunyai banyak kekurangan, oleh karenanya jika dosen melakukan plagiat seharusnya juga mendapatkan hukuman, “Banyak kasus profesor yang dicabut gelarnya karena kasus plagiat,” ungkap Siswanto. Jadi seorang dosen pun mendapat hukuman ketika ia melakukan plagiat. Sedangkan hukuman bagi mahasiswa yang plagiat ialah harus di drop-out namun terdapat sistem yang tidak konsisten di negara ini, kadang mahasiswa masih diberi kesempatan untuk memperbaiki atau menulis ulang tugasnya agar lembaga yang menaungi tidak tercemar di mata masyarakat karena mendrop-out mahasiswanya. Menurut Heri plagiat merupakan hal yang dilakukan seorang pribadi namun memerlukan tanggung jawab sosial, yaitu menyangkut juga nama baik lembaga yang menaunginya. Contoh kasus plagiasi yang dilakukan oleh kalangan dosen yang telah dipublikasikan oleh media misalnya di Universitas Jember pada tahun 2007 yaitu
terdapat kasus plagiat yang dilakukan oleh seorang guru besar. Seperti yang dimuat di okezone.com Jum'at (02/11/07) diberitakan bahwa Soetriono sang guru besar Fakultas Pertanian Universitas Jember terbukti telah melakukan plagiat terhadap karya ilmiah yang ditulis oleh profesor Rudi Wibowo yang juga mengajar di fakultas yang sama. Plagiat dalam buku yang berjudul Makro Ekonomi Dasar itu termuat penuh dalam tulisan pada Bab I dan II yang sebelumnya sudah ditulis oleh profesor Rudi. Kasus lain yang juga terjadi di Universitas Jember adalah Lembaga Penelitian Universitas Jember dituduh memplagiat konsep tata ruang wilayah atau RT/RW. Plagiasi yang dilakukan oleh para akademisi merupakan masalah serius yang harus dihadapi oleh semua pihak. Hal itu dikarenakan para akademisi merupakan generasi penerus yang akan menentukan masa depan bangsa ini. Akademisi melakukan plagiasi, apa kata dunia? [ ]
Diskursus Ilustrasi:Syahrul Fatoni
-Immanuel Yudhistira SPendidikan merupakan sebuah langkah awal untuk membawa kemajuan bangsa Indonesia. Salah seorang tokoh pendidikan seperti Ki Dewantoro yang dikenal sebagai bapak pendidikan juga berpendapat positif bahwa pendidikan digunakan untuk memajukan bangsa. Melihat kenyataan yang ada saat ini, kualitas pendidikan yang diberikan justru hanya mengejar title semata. Selain itu keterpurukan yang ada pada pendidikan juga diimbangi dengan maraknya kasus korupsi di bidang itu, misalnya saja kasus korupsi dana sekolah yang ada di Jember. Dana yang dikorupsi merupakan dana untuk membangun 136 sekolah yang rusak (Sumber: Tempo.co). Kasus tersebut juga dapat mencoreng citra pendidikan untuk memajukan generasi bangsa. Korupsi dapat membuat pembangunan di bidang pendidikan menjadi terhambat. Hal ini dapat dilihat dari tidak meratanya pembangunan sekolah. Kemajuan pendidikan hanya bisa dirasakan di kota besar saja. Di daerah terpencil atau pelosok sangat sulit untuk menikmati dan mengenyam bangku pendidikan, sebut saja daerah seperti Papua. Sangat sulit untuk memperoleh pendidikan yang layak disana, sehingga tidak jarang banyak relawan yang bersedia untuk memberikan bantuan pendidikan di daerah terpencil. Keganjilan lain yang ada dalam pendidikan adalah mengenai penyeragaman program (kurikulum) yang ditentukan oleh menteri pendidikan. Kurikulum seringkali tidak dapat menunjukkan potensinya secara maksimal dikarenakan selalu gonta-ganti. Seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang kemudian berganti menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP dirasa lebih memberi kebebasan karena kegiatan operasional dikembalikan kepada sekolah, akan tetapi tetap saja tidak dapat menunjukkan eksistensinya mengingat setiap pergantian menteri maka kurikulum ikut berganti. Penerapan metode pengajarannya juga seringkali berganti, seperti TCL (Teacher Center Learning) yang kemudian diganti menjadi SCL (Student Center Learning). Jika dievaluasi penerapan metode pembelajarannya, TCL menekankan proses kelas dikuasai oleh guru, sehingga sumber pembelajaran didapatkan dari guru. Hal ini memaksa imajinasi dan kerangka berpikir serta analisis siswa menjadi tumpul, karena harus menelan materi yang diberikan. Kemudian perubahan metode menjadi SCL yang memusatkan pembelajaran pada siswa, dianggap memberikan kemajuan pada siswa. Akan tetapi aspek perubahan metode ini perlu diperhatikan dari segi kemampuan dan kemauan siswa, karena seringkali ada kesiapan yang kurang, seperti membaca dan memahami materi untuk kemudian didiskusikan. Gambaran lain yang dapat dilihat dari kekurangan pendidikan yang ada adalah
Rp
pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN). Pengadaan ujian tersebut seringkali dirasa memberatkan siswa. Beban itu membuat para siswa melakukan hal yang tidak rasional, seperti berdoa ke makam atau bahkan ke dukun untuk meminta kelulusan dalam UAN. Tekanan mental juga dihadapi siswa dalam menghadapi ujian ini, sehingga tidak jarang ada kasus bunuh diri gara-gara tidak lulus dalam UAN. Tidak efisien rasanya menentukan kelulusan siswa dengan ujian yang hanya berlangsung beberapa hari. Kriteria kelulusan yang ada pada pendidikan seringkali hanya berorientasi pada ujian dan nilai semata. Hal itu membuat munculnya kecurangan yang dilakukan dalam setiap ujian, seperti penggunaan kunci jawaban pada saat UAN, calo masuk perguruan tinggi, dan kasus lainnya. Dari beberapa contoh kasus di atas dapat digambarkan bagaimana wajah pendidikan yang ada saat ini. Orientasi yang ditampilkan dalam pendidikan hanya untuk mencari pamor serta keuntungan lembaga pendidikan saja atau beberapa oknum tertentu. Bisa jadi pendidikan yang dimunculkan hanyalah rekayasa dan pengaturan saja untuk mempertahankan reputasi sekolah atau dinas dan menteri yang katanya berpendidikan. Penjelasannya secara sederhana ketika banyak siswa yang lulus maka reputasi pun akan ikut meningkat dan pendidikan dianggap berhasil. Tetapi ada satu aspek yang perlu digaris bawahi ketika kualitas dan mutu pendidikan menjadi dikesampingkan. Prosedur dalam pendidikan tidak hanya seputar sistem dan ekonomi saja, satu lagi yang harus diperhatikan adalah metode pengajaran yang diberikan. Pihak pengajar seperti guru/dosen yang merupakan ujung tombak dalam meningkatkan kualitas pendidikan berperan penting dalam pelaksanaan metode pengajaran. Namun seringkali pihak pengajar tidak melaksanakan tugasnya dengan maksimal. Saat terjadi proses
pembelajaran seringkali siswa diasumsikan sebagai objek, dalam artian siswa hanya menerima secara mentah apa yang dikatakan oleh pengajar tanpa harus mempertimbangkan sumber referensi lainnya. Siswa menjadi pasif dengan metode pengajaran yang seperti itu dan sulit untuk mendapat pemahaman. Hal itu dapat dilihat ketika dalam proses pembelajaran siswa merasa jenuh bahkan mengantuk. Penjelasan yang bersifat definitif itu memaksa siswa menjadi tidak dapat menggunakan analisisnya. Pemikiran siswa menjadi dibatasi dan terkotak dengan proses yang seperti itu. Pemberian yang definitif juga tidak diimbangi praktek untuk belajar di luar kelas. Bukankah realitas yang ada dalam tatanan struktur masyarakat sangat berbeda dengan sistematika yang ada di kelas? Sebenarnya tujuan pendidikan sendiri dapat diasumsikan untuk mempersiapkan siswanya menghadapi atau melihat realitas yang ada dalam masyarakat, tetapi dengan metode yang menghafal itu kepekaan siswa dibungkam seketika. Siswa dipaksa menelan teks dan dimuntahkan pada saat ujian. Praktek kekuasaan juga diterapkan dalam metode pengajaran di kelas. Pihak pengajar sebagai penguasa yang mendominasi siswa dengan bentuk slide dan penjelasan yang harus dihafalkan. Siswa diibaratkan sebagai robot yang belum diisi bahan bakar sedangkan pengajar mengisi bahan bakar melalui pengajarannya. Pola pikir siswa tidak lebih dari pengulangan pola pikir pengajar yang nantinya siswa pun diharapkan mempraktikan pengajaran yang seperti itu. Sangat mengecewakan apabila siswa tidak memiliki kesadaran dan kepekaan terhadap situasi tersebut. Seharusnya ibarat sebuah gelas kosong yang diisi air jika berlebihan air itu akan meluap. Seperti itulah jika siswa yang telah menerima metode yang dirasa tidak efektif lambat laun akan memiliki kesadaran dengan sistem pembelajaran yang demikian. Sedikit membandingkan p e n d i d i k a n , m e l i h a t
sejarah metode pendidikan pada abad ke 4 sebelum masehi tepatnya pada zaman Sokrates. Bayangkan pada zaman itu pendidikan tidak dilakukan di dalam kelas, tetapi belajar melalui keadaan sekitar melihat realitas dalam masyarakat yang membuat kepekaan serta daya pikir diorientasikan pada realitas. Dewasa ini dimana segala fasilitas telah tersedia, pendidikan hendaknya mengalami perkembangan yang baik khususnya di Indonesia. Alangkah baiknya sebagai siswa sadar akan praktik seperti itu. Pendidikan bukan hanya mengenai prestasi dan nilai semata tetapi bagaimana seorang siswa menjalani proses ke arah yang lebih baik, ketika ada yang salah dengan proses itu hendaknya siswa mengingatkan atau bahkan mengkritik metode yang tidak sesuai. Lubang hitam Pendidikan Pendidikan saat ini tidak ada bedanya dengan praktek penjajahan zaman kolonialisme yang diulang kembali. Pola pikir siswa sengaja dipetakan melalui sekolah. Bahkan dibentuk untuk patuh terhadap peraturan yang dirasakan membatasi gerak pemikiran siswa. Pendidikan sekarang lebih tepat digambarkan sebagai sistem kapitalisasi, dimana pihak yang memiliki modal selalu menang. Kemampuan siswa tidak diperhatikan yang dilihat hanyalah mereka yang memiliki modal besar yang akan menguasai sistem. Seringkali siswa yang memiliki kemampuan tetapi tidak memiliki modal hanya sebatas dilirik untuk masuk dalam kegiatan industri yang nantinya akan dikendalikan. Siswa diibaratkan sebagai bahan mentah yang digolongkan sesuai dengan mutunya, kemudian diseleksi untuk dipersiapkan dalam dunia kerja. Siswa sebagai output yang telah diolah menjadi bahan siap untuk diproduksi. Siklus seperti ini berlangsung secara berlarut. Apakah orientasi pendidikan hanya tentang mendapat pekerjaan apa nantinya?.
Tidak hanya sebatas itu, dalam prosesnya siswa seharus diajarkan memiliki kepekaan serta mampu memilah antara yang seharus dan tidak dilakukan. Pendidikan bukan hanya sebatas memperoleh gelar dan pekerjaan semata. Di dalamnya siswa dapat melatih mental untuk bersaing agar dapat diaplikasikan dalam realitas yang akan dihadapi di luar lembaga pendidikan. Marilah sedikit melihat pendidikan berdasarkan sudut pandang Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul Politik Pendidikan (kebudayaan, kekuasaan, dan pembebasan). Buku ini membahas tentang bagaimana pendidikan dibentuk untuk mencapai humanisasi bukan sebagai alat melakukan penindasan. Menurut Freire manusia seharusnya menjadi pelaku bukan malah menjadi objek. Hendaknya sebagai pelaku manusia dapat melihat realitas dengan sikap kritis dan daya cipta (inovatif) tidak hanya sebatas subjek pasif yang hanya mau menerima tanpa mau menciptakan. Pendidikan menurut Freire haruslah berorientasi pada pengenalan realitas yang ada. Dalam buku ini sistem pendidikan yang ada digambarkan sebagai sebuah bank dalam komoditas ekonomi. Depositor atau investornya adalah guru yang mewakili lembaga masyarakat mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah ilmu pengetahuan yang diajarkan. Dalam hal ini siswa seperti sebuah bejana kosong yang akan diisi sebagai tabungan yang hasilnya akan dipetik kelak. Dengan melihat paradigma Freire seharusnya siswa memiliki kesadaran bahwa selama ini sistem pendidikan membentuk siswa untuk “tahu apa” bukan “ingin mengetahui apa”. Siswa dipaksa untuk menerima hasil pemikiran pengajar bukan untuk mengembangkan hasil pemikirannya. Seringkali sistem pendidikan mengajarkan definisi baik dan buruk tanpa berkaca dari realitas yang ada seperti kutipan lagu yang diciptakan oleh Tom Paxton salah seorang musisi asal Amerika dengan membawa gaya lagu yang
merakyat, beginilah bunyi lagu tersebut: “Apa yang kau pelajari disekolah hari ini, anakku? Apa yang kau pelajari disekolah hari ini, anakku? Aku di ajari bahwa Washington tidak pernah berdusta, Aku diajari bahwa tentara itu tidak gampang mati, Aku diajari bahwa setiap orang punya kebebasan, begitulah yang diajarkan guruku. Itulah yang aku pelajari di sekolah hari ini, itulah yang aku pelajari di sekolah...” Jika dilihat dari perspektif lagu ini tentunya pendidikan hanyalah upaya untuk menjejali siswa dengan sudut pandang pengajar yang parahnya siswa hanya menerima dengan pasrah. Apakah bangga dengan pendidikan seperti ini? Seharusnya siswa memiliki pandangan yang kritis, selalu bertanya, meragukan sesuatu, meneliti berdasarkan pemikirannya. Hendaknya siswa membuang pengulangan birokratis, ataupun melakukan kegiatan yang sama dan itu terasa asing. Siswa memiliki wewenang untuk mengontrol dirinya sendiri, bukan malah digerakkan lewat tangan orang lain. Sebagai aktor dan pelaku yang sebenarnya, siswa diharapkan mampu untuk membawa ke arah perubahan yang lebih baik. Siswa merupakan agen perubahan bukannya agen untuk mencari suara bagi orang lain. Pendidikan yang baik tidak hanya ditemukan melalui lembaga saja. Thomas Alfa Edison yang menemukan bola lampu serta Albert Einstein, mereka berdua tidak tamat jenjang sekolah dasar, akan tetapi siapa yang tidak kenal dua tokoh besar ini? Intinya hanya pada kemuan untuk belajar dan mencari tahu. Semua orang adalah guru dan murid tidak hanya pada lembaga formal saja.[]
Rp
Repro Internet
Selamat Hari Aksara Internasional
Diskursus
-Nurani SoyomuktiPernah nonton film 3 Idiots, sebuah film Bollywood yang diluncurkan pada tahun 2009, yang disutradarai oleh Rajkumar Hirani dan diproduseri oleh Vidhu Vinod Chopra? Tiada yang tak sepakat bahwa film ini merupakan sindiran yang luar biasa terhadap sistem dan budaya pendidikan tinggi (perguruan tinggi). Budaya otoriter dalam sistem pengajaran, dijunjung-tingginya nilai-nilai feodal, latar belakang kelas yang timpang antara penghuni pendidikan, dikritik keras dalam film ini. Film ini diadaptasi dari sebuah novel berjudul Five Point Someone oleh Chetan Bhagat. Para pemainnya, yang terdiri dari Aamir Khan, R. Madhavan, Sharman Joshi, Kareena Kapoor, Omi Vaidya, Parikshit Sahni dan Boman Irani, melakukan akting yang bagus untuk menjalinkan sebuah cerita yang menyimpulkan bahwa kampus kita berisi dengan nilai dan budaya yang penuh masalah, juga ingin membuktikan bahwa ia yang pada akhirnya berhasil adalah yang mau bekerja keras, belajar dengan cara alternatif, dan sekaligus memperjuangkan nilai-nilai yang baru. India tidak kurang film yang syarat kritik sosial. Tetapi barangkali film inilah yang dapat menggambarkan dengan baik bagaimana kritik di dunia pendidikan tinggi harus dilakukan, hingga film ini banyak diminati oleh kalangan masyarakat. Sejak dirilis pertama kalinya saja, film ini memecahkan rekor box office seluruh film yang pernah ada di India. Saya melihat film ini agak terlambat, karena baru pertengahan tahun 2010 lalu. Pada hal film Bollywood ini sudah ditayangkan di beberapa bioskop Indonesia sejak Desember 2009. Di awal tayangnya, film ini memang tidak begitu heboh, mungkin salah satunya kalah dengan histeria film Hollywood, Avatar, yang mendapatkan promosi besar-besaran. Sedangkan 3 Idiot ditayangkan nyaris tanpa promosi sedikitpun dan waktu tayangnya relatif singkat. Awal Januari, 3 Idiot hanya diputar beberapa hari saja. Beruntung di tahun 2010 saya bisa menikmatinya dari file yang saya dapat dari salah seorang aktifis gerakan pers mahasiswa Tegalboto waktu saya berkunjung. Saya sempat menonton beberapa kali untuk mengulangi kata-katanya yang penuh makna, yang kalau dikutip tidak kalah dengan kutipan dari buku-buku yang penuh kata-kata inspiratif dan layak untuk disimpan atau disebarkan. 3 Idiots bercerita tentang kehidupan 3 orang mahasiswa yang diketemukan di sebuah sekolah bagi calon insinyur terbaik di India, Imperial College of Engineering (ICE). Ketiganya adalah Rancchoddas "Rancho" Shyamaldas Chanchad atau dipanggil ”Rancho”
(diperankan Aamir Khan), Farhan Qureshi, dipanggil Farhan (diperankan oleh R. Madhavan), dan Raju Rastogi, dipanggil Raju (diperankan oleh Sharman Joshi). Dikampus tersebut mereka selalu dipanggil idiot. Salah satunya karena mereka berasal dari kalangan miskin. Mengingat alur film ini yang agak maju mundur yang membutuhkan penonton berpikir, diketahui belakangan dari film ini, Rancho sebenarnya adalah anak yatim piatu yang biasa dipanggil Chhote, ia disekolahkan oleh Bapaknya Rancho dengan tujuan ijazah yang ia peroleh untuk dan atas nama anaknya. Ia adalah seorang anak yang cerdas. Rancho (Chhote) masuk kampus benarbenar untuk belajar dan bukan semata demi mendapatkan ijazah. Ia mencintai dan menjiwai mesin karena itu ia berhasil menjadi lulusan terbaik. Meski selalu ranking pertama setiap semester, dia dianggap sebagai biang pengacau sistem dan budaya pendidikan yang ingin dilawannya. Di akhir cerita, penonton disuguhkan kisah gemilang dari seorang yang memang kerja keras, kritis, dan berotak cerdas. Setelah sekian tahun, Phunsuk Wangdu alias Rancho menjadi ilmuwan besar yang memiliki 400 hak paten. Ia berhasil mengalahkan Chathur, mahasiswa pintar tapi sombong yang belajar hanya menghafal tanpa memahami. Mahasiswa teladan versi kampus ideot seperti Chathur, di akhir kisah justru menjadi sosok pecundang yang harus membuka celana dan menunggingkan pantat ala ospek ICE seraya berseru, ”Oh Paduka Raja, Anda sungguh hebat. Terimalah persembahan hamba!” sebagai tanda kekalahannya dalam taruhan. Sebab, sepuluh tahun kemudian, ternyata Rancho, anak tukang kebun yang kuliah atas nama anak majikannya itu, telah menjadi penemu terkenal (dalam nama baru) dengan 400 hak paten dan dikejar-kejar dunia. Film ini menggambarkan Rancho sebagai seorang mahasiswa yang
berperan sebagai biang dari kritik terhadap kampus, kecerdasannya yang berusaha menguak kebiasaan “lucu” di kampus yang menjunjung tinggi nilai-nilai kaum kaya kolot, mengagungkan materi dan status dari pada hakekat nilai demokrasi dan keadilan. Budaya kolot yang mudah ditebak karena memang pola-pola pikir dan budaya kaum feodal tersebut sangat sulit. Kecerdasan dalam mengkritik kebiasaan lucu ditunjukkan olehnya dalam berbagai adegan. Misalnya, ketika pertama kali bertemu dalam sebuah pesta dengan Via (diperankan Kareena Kapoor), ia bisa dengan tepat membuktikan reaksi yang akan dilakukan pengantin laki-laki yang dikirannya calon suami Via. Tebakan Rancho bahwa si laki-laki akan berteriakteriak marah karena sepatunya ditumpahi dengan sayur sangatlah tepat. Sebagaimana ditebak Rancho yang ditunjukkan pada Via, laki-laki itu benarbenar berteriak dan menyebut-nyebut harga sepatunya yang mahal dan merupakan barang ekspor. Pertemuan itu membuat Via(anak perempuan sang Rektor) tertarik dengan Rancho, dan ternyata dia adik dari calon penggantin yang menikah di pesta itu. Kekuatan kecerdasan dan kekritisan Rancho memang merupakan kisah yang banyak digambarkan dalam film ini. Seringkali ulahnya usil dan nakal, untuk sekedar menunjukkan apa yang dilakukan para dosen dan rektor di kampus ICE justru bertentangan dengan semangat belajar yang harus demokratis, tanpa kekangan, dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Dua orang sahabatnya, Raju dan Farhan, juga berasal dari latar belakang keluarga yang miskin. Sebagai anak orang miskin, Raju ingin cepat bekerja untuk memperbaiki kehidupan keluarga. Sehingga obsesinya sejak masuk kuliah adalah supaya cepat lulus, mendapatkan gelar dan sertifikat, kemudian mendapatkan pekerjaan untuk membantu keluarganya yang bahkan untuk menyekolahkan dirinya harus rela menjadi korban—sakit dan miskin. Raju
memiliki sifat penakut, dan ia menganggap bahwa kegiatan berdoa akan menjadi solusi bagi dirinya. Rancho berhasil merubah cara berpikir Raju dan di akhir kisah film ini ia bisa lulus dan bekerja di perusahaan. Sedangkan Farhan adalah mahasiswa yang dipaksa orang tuanya jadi insinyur, padahal minat dan jiwanya ada pada photo hewan, ia ingin menjadi ‘wild life photographer'. Farhan digambarkan sebagai seorang anak yang memilih jurusan kuliah sesuai dengan kehendak orangtuanya. Lagi-lagi Rancho lah yang berhasil memotivasi Farhan untuk mewujudkan keinginannya, yang mendorong agar ia berani memilih keinginannya sendiri. Farhan pada akhirnya berani berkata, ”Jika aku nanti menjadi fotografer, kemudian gajiku sedikit, rumahku kecil, mobilku kecil. Namun, aku akan bahagia, Ayah!”. Pada akhirnya, setelah melalui konflik yang digambarkan dalam film ini, orang tua Farhan mengijinkannya menjadi fotografer, ia menjadi asisten Andre Istvan, seorang wild life photographer di Brazil. Film ini memang merupakan kisah happy ending. Memang seharusnya begitulah film-film yang memotivasi: bahwa tokoh yang melawan keangkaramurkaan dan bentuk kebusukan dan kelucuan haruslah menang dan jaya di akhir cerita, agar penonton merasa dirinya terinspirasi dan meniru perjuangan si pemain utama. Apalagi kata-kata inspiratif yang menguatkan jiwa bagi orang yang ingin sukses dan sedang berada dalam keterpurukan dan kesusahan yang harus bangkit, kutipan kata “All is Well!” yang dijadikan slogan Rancho dan kawankawannya memang menunjukkan suatu pesan dalam film ini: Yakinlah, semua akan baik-baik saja asal kita mau bekerja keras dan terus berusaha, tidak takut pada halangan yang harus kita dan selalu bisa kita singkirkan! Di dalam semua adegan, ‘tiga idiot’ ini memang selalu berhasil mempermalukan bentuk-bentuk ketololan
yang dilakukan dalam dunia pendidikan, juga dalam kehidupan secara umum. Bersama dua orang temannya itu, dan kadang memanfaatkan mereka, Rancho menggugat model pelajaran yang hanya menyuruh mahasiswa menghafal dari buku dan ucapan dosen. ”Singa sirkus juga belajar untuk bisa duduk di kursi hanya karena takut dicambuk. Tapi, kita tetap boleh menyebut singa itu terlatih, bukan terdidik,” tukas Ranchhodas Chanchad di depan rektor dan teman-teman sekelasnya dalam sebuah adegan. Ideologi Persaingan Meskipun Rancho, Raju, dan Farhan diidentikan sosok ‘3 Idiot’ dalam film ini, sesungguhnya film ini ingin menunjukkan bahwa yang idiot adalah sistem dan budaya pendidikan yang ada di kampus tersebut. Dengan keidiotan dan kelucuannya, pendidikan tinggi telah ditunjukkan sebagai lembah yang justru membunuh nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana tekanan-tekanan dan nilai yang membuat warga kampus terdehumanisasikan. Tekanan bahkan membuat para penghuninya memilih mengakhiri hidupnya, yaitu dengan cara bunuh diri. "Hidup adalah perlombaan. Kalau Anda tidak berlari maka Anda akan diinjaki n j a k ! " u j a r s a n g r e k t o r, Vi r u Sahastrabudhhe, ketika menyambut mahasiswa baru dengan wajah sangar. Diulanginya lagi pernyataan itu, ”Hidup adalah perlombaan. Jika kau tidak cepat, kau akan menjadi telur pecah burung Cuckoo!” Menurut saya, ideologi persaingan inilah yang menjadi masalahnya—dan hal ini digambarkan dengan baik sekali oleh film ini. Di kampus ICE itu, banyak mahasiswa stres, bahkan mengalami depresi berat. ”Ini adalah universitas, bukan panci bertekanan. Para mahasiswa ini punya hati, Pak. Bukan mesin yang bisa terus menahan tekanan di sini,” kata Rancho setelah
melihat teman kampusnya bunuh diri dengan cara menggantung dirinya di kamar kos garagara panik karena mendapatkan ancaman DO (drop-out) setelah hasil praktikumnya ditolak. Sebagaimana dikatakan Rancho, itu sama saja dengan pembunuhan. Kampus yang dipenuhi dengan nilai perasingan adalah kampus pembunuh mahasiswanya.[]
Diskursus
-Agustira Rahman Ilhami“Kita membiarkan diri kita diperkosa oleh buku sejarah, ilmu pengetahuan, dan seni.” -F. NietzscheSebagian akademisi telah terjebak pada standar yang cacat mengenai kepintaran. Justifikasi mengenai siapa yang pintar terlalu rumit. Kepintaran yang harusnya diukur dari besarnya rasa ingin tahu seseorang terlalu abstrak dan tersembunyi. Sebagai gantinya, para akademisi terpaksa membuat parameter lain untuk menentukan siapa yang pintar. Dosen akhirnya memberi kesempatan mahasiswa menunjukkan kepintarannya melalui tugas dan latihan soal yang diberikan. Kenyataannya, parameter ini begitu harfiah untuk dijadikan klaim atas nilai kepintaran seseorang. Mahasiswa – sebagai objek yang dinilai dalam hal ini, bisa melakukan beberapa variasi cara untuk mendapatkan penilaian yang tinggi dari dosen. Para dosen memang berharap mahasiswa mengerjakan tugas dan soal dengan proses analisis yang dikiranya akan menggugah rasa ingin tahu mereka. Namun, itu terlalu rumit bagi mahasiswa. Baginya, ada jalan tol untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Tugas dan soal mempunyai jawaban-jawaban mutlak yang diinginkan dosen. Mahasiswa hanya perlu menghafal atau mengingat tahapan-tahapannya untuk mendapatkan jawaban. Jawaban hasil analisis dan menghafal (atau bahkan mencontek) tidak ada bedanya, nilai akhir bagi mereka juga sama saja. Kejadian semacam ini memang banyak terjadi pada fakultas eksak – meski fakultas sosial juga terjadi dengan kadar yang lebih rendah. Pada fakultas eksak, tugas dan soal mempunyai jawaban mutlak berupa angka yang bisa dicapai melalui tahap-tahap yang berisi rumus-rumus pasti. Sifat kritis mahasiswa tidak akan muncul pada proses semacam ini. Rumus-rumus diajarkan secara dogmatis oleh dosen. Pertanyaan yang mendalam mengenai asal-usul rumus hanya akan mengganggu proses pembelajaran. Pertanyaan semacam itu juga
tidak perlu, karena jawaban yang ada sudah mutlak. Segala modifikasi pada rumus hanya akan menunjukkan kebodohan di mata dosen, kecuali memang mempunyai hasil akhir yang sama. Pengetahuan sebagai Pemenuhan terhadap Naluri Kesadaran Berbicara mengenai pendidikan, akan selalu berhubungan dengan hasrat ingin tahu. Pengetahuan digali karena manusia mempunyai hasrat ingin mengetahui. Rasa ingin tahu menjadi pemicu manusia untuk mencari informasi. Mitchell Stephens mengatakannya sebagai “Naluri Kesadaran”. Manusia, menurutnya, selalu ingin mengetahui hal-hal yang tak terucap. Bill Kovach mengambil teori ini untuk menjelaskan kehausan penduduk akan berita. Namun, teori ini juga bisa menjelaskan kehausan manusia terhadap pengetahuan, mengingat penyebarluasan pengetahuan pada masyarakat juga melalui berita. Te o r i “ N a l u r i K e s a d a r a n ” mengatakan bahwa manusia cenderung ingin mengumpulkan banyak informasi dan ilmu. Mereka merasa memerlukan suatu pandangan yang baru untuk menjelaskan realitas yang ada. Mereka memerlukan ilmu untuk memprediksi apa yang akan terjadi. Ilmu yang kebanyakan hadir sebagai konsep dan pola dianggap mampu menjawab kekhawatiran manusia awam atas dunia yang dianggapnya chaos. Ilmu pengetahuan telah membuat manusia mampu menguasai realitas. Realitas-realitas yang nampaknya chaos, ternyata ditemukan pola yang teratur. Penemuan atas pola inilah yang membuat manusia sadar. Mereka saat ini bisa menjelaskan fenomena alam seperti terjadinya hujan, kemarau, reproduksi, dengan alasan yang rasional. Penguasaan atas realitas juga membuat manusia bisa memprediksi dan memanipulasinya. Hampir mirip dengan Mitchell Stephens, Friedrich Nietzsche, juga menganggap pencarian manusia terhadap pengetahuan merupakan interpretasi dari
“Will to Power” atau “Kehendak akan Kuasa”. Namun, pada tahap selanjutnya, Nietzsche mencela orang-orang yang gila akan pengetahuan. Dia berpendapat mereka yang terus-menerus mencari pengetahuan sebagai pemerkosa realitas. “Manusia membiarkan dirinya diperkosa oleh buku sejarah, seni dan sains.” Pada kadar tertentu, Nietzsche menyebutkan bahwa pengetahuan bisa menjadi pengetahuan yang dogmatis, seperti agama. P e n c a r i a n y a n g mendalam mengenai pengetahuan bisa menjadikan akademisi sebagai seorang fanatik. Pendapat Nietzsche ini menggelontorkan pendapat para akademisi yang mengatakan bahwa fanatisme hanya bisa terjadi pada orang agamis. Pencarian ilmu pengetahuan yang berlebihan menjadikan orang terjebak dalam fanatisme dan kesombongan. Pengetahuan yang melahirkan konsep dan pola yang menganggap dunia seakan-akan teratur, menghilangkan kebenaran yang tersembunyi di balik realitas. Para saintis, filsuf, dan pemuka agama bisa tampil menunjukkan kesombongannya dengan mengatakan bahwa konsep yang dia temukan adalah kebenaran yang sebenarbenarnya. Nietzsche menganggap semua ini adalah omong kosong. Realitas yang hadir di dunia, bagi Nietzsche masih chaos, dan pengetahuan yang ditemukan hanya menemukan sebagian kecil dari teka-teki realitas. Tindakan mengonsepkan dunia, dilihat Nietzsche karena ketidaktahanan manusia akan ketidakpastian. Mereka membutuhkan pegangan dan menuntut mendapatkannya sesegera mungkin. Keinginan ini yang membuat manusia jatuh pada euforia saat menemukan sebagian kecil konsep. Dorongan untuk menemukan pegangan sesegera mungkin, lantas menjadikan manusia bersikap fanatis. Mereka dengan terburu-buru menganggap bahwa teka-teki telah terpecahkan, dan tidak ada kebenaran lain selain konsepnya. Para penemu juga dihadapkan
pada dorongan eksistensi diri mereka untuk tampil sebagai cendekia. Mereka
sebagai hasil mutlak dari kehidupan luar peserta didik, sedangkan proses di luar kelas tidak pernah diperhitungkan. Bila diamati lebih dalam, standar penilaian pada Kurikulum 2013 hanya mengurangi potensi kesalahan dalam penilaian, bukan menghilangkannya sama sekali. Pada kenyataannya, penilaian yang menyeluruh dan objektif masih belum bisa dilakukan, mungkin tidak akan pernah bisa. Para peserta didik juga tidak menggunakan pendapat itu sebagai pembenaran terhadap buruknya nilai akademik. Dengan kecacatan itu, kita hanya perlu bertindak sedikit tidak acuh terhadap nilai akademik. Kita tentu tidak perlu menganggap nilai akademik sebagai parameter mutlak atau sebagai satusatunya cermin. Tindakan ini pada dasarnya sama dengan yang dilakukan dosen dan guru, yang memakai kacamata kuda dalam menilai peserta didik. Para peserta didik, dosen dan guru patutnya bersikap rendah hati terhadap nilai yang keluar pada akhir semester. Mereka harus menyadari bahwa segala standar nilai yang muncul adalah cacat. Sikap fanatis yang menganggap nilai akhir semester sebagai satu-satunya cermin standar kepintaran adalah suatu kesombongan. Nietzsche mengingatkan kita untuk bersikap rendah hati di hadapan kebenaran. Dia mengatakan bahwa nilai kebenaran yang kita ketahui hanya dari permukaan saja, “Bersikaplah rendah hati di hadapan kebenaran, karena kebenaran itu seperti wanita.”[]
Diskursus
-Nurani SoyomuktiPada tanggal 17 Agustus 1966, Bung Karno menyampaikan pidato Hari Kemerdekaan yang terakhir yang diberi judul: “JANGAN SEKALI-KALI MENINGGALKAN SEJARAH” (JASMERAH). Bung Karno menegaskan lagi bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah perjuangan mengusir imperialis dari bumi Indonesia dan dunia, dan mengingatkan bahwa mereka yang mengabaikan sejarah ini akan gagal dalam membangun bangsa. Ia mengingatkan bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagai manifesto untuk penghapusan kolonialisme di manapun. Apa yang diungkapkan Bung Karno kini dapat kita rasakan. Yang kita warisi dari Soeharto yang memanipulasi sejarah selama 30-an tahun, yang menghabisi sejarah perlawanan melawan kolonialisme diganti dengan sejarah versi militer yang menguntungkan kekuasaannya, adalah sebuah bangsa yang tak punya karakter dengan berbagai
“kepandiran” dan “kebodohannya” dalam mengarahkan perjalanan bangsa. Kata Anton Kurnia: “Saat kekuasaan berupaya mensterilkan kesadaran sebuah masyarakat, ia menggunakan metode organized forgetting. Kesadaran dienyahkan lewat proses melupakan secara terstruktur dan sistematis.” Penting untuk diketahui bahwa betapa pentingnya pembentukan karakter melalui pencarian sejarah masa lalu. Ibaratnya, seorang anak yang kelak pribadinya rusak dan tak mampu berkembang dengan baik, biasanya adalah yang kehilangan jati dirinya karena tidak tahu asal-usulnya, tidak dijelaskan siapa orangtuanya yang telah meninggalkannya dan ia harus dibohongi. Anak yang seperti ini biasanya akan tumbuh jadi manusia yang tak punya karakter, tak ada sokongan psikologis bagi pembentukan karakternya, karena ia telah terpotong dari masa lalu. Begitu pula ketika sebuah bangsa Indonesia dijauhkan dari sejarah masa lalunya, terutama sejarah pencarian jati diri yang belum tuntas segera dihentikan dengan bentuk teror psikologis yang menciptakan ketakutan dan ketundukan. Maka bangsa ini telah seperti dibonsai, kehilangan jati diri dan masa lalunya, kemudian hasilnya adalah tak memiliki karakter. Pembangunan karakter yang sesuai dengan kepentingan modal yang dikembangkan Orde Baru didesain oleh sebuah kekuatan militer. Bagaimana militerisme berusaha menancapkan kukukukunya dalam dunia pendidikan? (1) Militer (tentara Angkatan Darat/AD) membangun aliansi dengan lembaga-lembaga pendidikan untuk mencapai tujuannya. Sejarah menunjukkan bahwa milter faksi Soeharto yang kemudian menjadi penguasa otoriter di era Orde Baru (32 tahun dan setelahnya) telah berhasil menjadikan komunitas pendidikan, terutama kampus, untuk melawan pemerintahan Soekarno. KAMI, Front mahasiswa 1966 yang
menggulingkan Soekarno tahun 1966 pun diragukan sebagai “kesatuan” mahasiswa mengingat fakta bahwa gerakan mahasiswa pada waktu itu hanya didominasi oleh mahasiswa UI (Universitas Indonesia). Bahkan acara Simposium Kebangkitan '66 pada 6 Mei hingga 9 Mei 1966 tidak diprakarsai oleh KAMI sebagai inti gerakan '66 tetapi oleh UI. Desain OrBa juga bukanlah hasil keinginan mahasiswa '66, tetapi justru dihasilkan oleh Seminar AD (Angkatan Darat) II yang diselenggarakan pada 25 hingga 31 Agustus 1966. Dengan demikian jelas mengapa Pramodya Ananta Toer mengatakan bahwa “Angkatan 66” adalah sebuah “angkatan” yang darinya tidak punya pengaruh bagi perubahan menuju perbaikan yang diinginkan mahasiswa dan rakyat. GM'66 menurut banyak kalangan hanyalah “dimitoskan”. KAMI hanya diperalat oleh tentara untuk menggulingkan presiden Soekarno setelah tentara juga berhasil mengorganisasikan pasukan sipil untuk membunuh sejuta rakyat yang tak dilalui dengan kaidah-kaidah hukum. PKI dan yang di-PKI-kan dibantai—sebuah holocaust sejarah bangsa yang memalukan. (2) Militer mendominasi dunia P&K (Pendidikan dan Kebudayaan), terutama memaksa pelajar untuk menonton produk-produk budaya seperti film yang dibuatnya untuk mengonstruksi sejarah versi tentara. Saya masih ingat ketika semua sekolah di jaman Orde Baru selalu diharuskan membayar uang iuran untuk membeli tiket film. Film-film yang harus ditonton adalah film-film buatan tentara. Sebagaimana diungkap oleh Nurani Soyomukti dalam esainya yang berjudul
Menguak Ideologi Militer dalam Film Indonesia, di masa pemerintahan rezim militeristik Orde Baru, film digunakan untuk mengkonstruksikan pandangan ideologis warga negara yang tujuannya adalah mengekang kehidupan berdemokrasi. Nasionalisme semu ditebarkan dengan memperbanyak film-film perjuangan merebut kemerdekaan, tetapi menyembunyikan fakta bahwa pemerintah melakukan tindakan sistematis untuk menciptakan ketertundukan, menumpulkan nalar kritis sebagai landasan kehidupan demokrasi. Kebebasan seniman film di era Orde Baru begitu sempit dan yang ada hanyalah penulis cerita yang didikte oleh perusahaan produser film yang diawasi secara ketat oleh pemerintah. Film yang berkembang dikontrol secara ketat di bawah kendali pemerintah militeristik dengan memberlakukan penyensoran formal, informasi, dan kepemilikan suatu karya. Pada masa itu, film-film bertemakan sejarah politik yang tampil sebatas pada kisah perlawanan bersenjata terhadap penjajahan sebelum dan sesudah Perang Dunia II di mana dominasi kekerasan fisik lebih ditonjolkan oleh perjuangan tokoh utamanya, seperti Joko Sembung dan Si Pitung. Dominasi militer sangat menonjol dalam film-film yang ditonton secara massif oleh rakyat karena mobilisasi struktur pemerintahan militer waktu itu, misalnya film Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1983). Belakangan diketahui bahwa film tentang “Serangan Umum 1 Maret 1949” ini tidak objektif dalam menggambarkan sejarah yang sebenarnya karena terlalu menonjolkan (posisi dan peran) Soeharto dalam merebut ibukota Yogyakarta (sebagai ibukota RI waktu itu); sedangkan peran diplomatis yang sangat menentukan dari Hamengku Buwono IX dinegasikan. Film-film sejarah lain seperti Mereka Kembali (1972) dan Bandung Lautan Api (1975) yang diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) dan disponsori oleh Kodam Siliwangi juga bertujuan sama, untuk melanggengkan
dominasi militer dalam kebudayaan Indonesia. Menjelang akhir keruntuhan Orde Baru, film-film Indonesia mengalami kemunduran. Bahkan pada tahuntahun terakhir pemerintahan Orde Baru, perfilman Indonesia berada pada titik yang paling mengerikan. Masyarakat dibombardir dengan produksi film-film 'panas' yang mengumbar syahwat. Maka setelah Soeharto tumbang dan peran militer mulai berkurang, dominasi militer dalam film juga mulai digugat. Film sejarah Gerakan Tiga Puluh September (G30S) 1965 yang diproduksi oleh Perusahaan Film Negara (PPFN), yang selama pemerintahan Orde Baru diputar setiap tahun, menjadi kontroversial. Film tersebut bukan hanya menceritakan konteks politik yang terjadi pada awal tahun 1960-an hingga tahun 1966, tetapi juga sangat kentara sekali dalam menonjolkan Soeharto sebagai seorang prajurit yang paling nasionalis setelah mempelopori pembantaian sejuta lebih nyawa rakyat yang dituduh terlibat memberontak terhadap bangsa dan Negara. Ada permainan dan manipulasi nasionalisme dalam film sejarah ini. (3) Militer mendominasi historiografi dan pelajaran sejarah Indonesia. Inilah yang terjadi dalam kelas di mana anak-anak harus menerima pelajaran sejarah yang telah benar-benar didominasi oleh militer. Penelitian yang dilakukan oleh Catherin Mcgregor yang dijadikan buku berjudul 'History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia's Past' (2007) secara rinci menjelaskan adanya keseragaman dan ketunggalan historiografi Indonesia yang diproduksi dan direproduksi di Indonesia.
Menurutnya, bangunan historiografi yang menyeragamkan cara orang Indonesia memaknai dan merekonstruksi masa lalunya merupakan buah dari keberhasilan militer menempatkan ideologinya sebagai pusat berpikir historis. Jadi sebenarnya bagaimana karakter yang terbangun di era Soeharto? Seminar “pewarisan nilai-nilai” berlangsung lebih dari lima hari (18-22 Maret 1972), bertempat di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (AD) di Bandung dengan peserta berjumlah limaratusan orang termasuk anggota generasi 1945 maupun para generasi muda. Seminar yang disponsori Angkatan Darat (AD) ini bertujuan untuk menghasilkan nilai-nilai dan karakter bagi generasi muda. Para pembicaranya antara lain Prof. Dr. Ir. Mohamad Sadli (seorang lulusan Harvard di bidang Ekonomi), Prof. Mochtar Kusumaatmaja (pengacara lulusan Yale), Prof. Selo Soemardjan (sosiolog lulusan Cornell), dan ahli sains Prof. Garnadi Prawirosudirdjo, juga Nugroho Susanto yang juga sebagai wakil ketua panitia seminar tersebut. Peserta seminar berusaha mendefinisikan nilai-nilai 1945 dan perumusannya yang lebih spesifik, yakni Nilai-nilai 45 TNI. Definisi-definisi yang dihasilkan seminar longgar sekali, tidak langsung dikaitkan dengan periode perjuangan yang diperkirakan. Angkatan Darat menyatakan bahwa komponenkomponen inti dari Nilai-nilai 1945 adalah nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945. Jadi nilai-nilai itulah yang diperjuangkan oleh Generasi 1945 dan generasi-generasi sebelumnya. Hasil seminar itu diterbitkan dalam “Dharma Pusaka 45”, buku yang menjadi panduan
bagi pewarisan Nilai-nilai 1945 dan Nilai 45 TNI kepada generasi muda ABRI. Seminar itu juga mempengaruhi te rb i tn ya b u ku “Se j a ra h N a si o n a l Indonesia”, buku sejarah yang dianggap komprehensif yang ditulis oleh orang Indonesia—terdiri dari para pakar yang diambil dari perguruan tinggi. Sebelum buku teks itu diedarkan ke masyarakat pada tahun 1976, Nugroho Noto Susanto sudah menimbulkan skandal dengan menyerahkan naskah seri sejarah tersebut terlalu dini. Ketika tenggang waktu yang ditetapkan pemerintah untuk proyek ini semakin mendekat, beberapa penulis ada yang sudah menyelesaikan bab-bab mereka tetapi ada yang belum. Nugroho sebagai penyunting dengan “cerdik” memerintahkan asistennya untuk mendapatkan salinan naskah volume enam dengan alasan meminjam untuk suatu keperluan yang lain, lalu dia segera menerbitkannya dalam bentuk yang belum selesai. Inilah yang membuat anggota tim lain marah sekali, karena Nugroho menerbitkan karya yang belum selesai tanpa izin dari pengarangnya. Mereka menganggap yang dilakukan Nugroho sebagai pengkhianatan terhadap profesi. Banyak kekurangan buku itu yang mendapatkan kritikan tajam, antara lain misalnya: Penggambaran sejarah di Volume Lima yang ditulis oleh Yusmar Basri menggambarkan pemimpin nasionalis Indonesia pada akhir masa gerakan sebagai orang-orang yang putus asa, sebagai orang yang tidak percaya diri. Penulis seharusnya juga harus lebih spesifik menyebutkan kelompok nasionalis yang mana yang bersedia bekerjasama dengan Belanda; Sebagai buku sejarah, penilaian
terhadap pelaku sejarah tidak didasarkan pada pandangan pelaku sejarah itu sendiri—tetapi terlalu subjektif. Misalnya ketika menyelidiki sejarah pada era presiden Soekarno berkuasa, ahli sejarah seharusnya menilai kekuatan-kekuatan masyarakat saat itu dan menilai Soekarno bertindak seperti itu berdasarkan pada perhitungan Soekarno sendiri. Penulis Volume Lima dari buku itu dikritik habis karena menggambarkan periode kepemimpinan Soekarno sebagai suatu langkah mundur bagi bangsa hanya karena mereka tidak setuju dengan tindakan-tindakan Soekarno. Para penulis tidak bisa memisahkan antara fakta dengan nilai, kenyataan dari interpretasi. Banyak juga yang keberatan dengan buku itu karena muncul interpretasi bahwa selama Demokrasi Terpimpin presiden Soekarno dianggap meletakkan kepemimpinan dalam tangannya sendiri, karena buku tersebut tak membahas alasan politik Soekarno di belakang tindakannya. Tuduhan dalam buku tersebut bahwa dalam Demokrasi Terpimpin UndangUndang Dasar 1945 tidak dilaksanakan “secara murni” merupakan suatu kesimpulan yang berlebihan. Upaya buku ini untuk menggambarkan Soekarno sebagai seorang yang kejam tak lebih dari pencucian otak. Buku tersebut juga terlalu berlebihan jika menganggap bahwa Soekarno mendukung PKI sepenuhnya. Sebagaimana dikatakan B.M. Diah:
“Yakinkah, ya, haqul yakinkah para penulis Sejarah Nasional Indonesia ini dengan penilaiannya bahwa Presiden Soekarno mendukung penuh PKI, Presiden Soekarno membuat apa saja yang dikehendakinya; mengadakan aliansi dengan atau memberi petunjuk pada PKI untuk menindas rakyat Indonesia dan bersikap arbiter, diktatorial dan tidak bertanggungjawab sama sekali pada masyarakat dan sejarah seperti digambarkan dalam buku “standard” tentang sejarah Indonesia?” Nugroho Susanto memang seorang yang paling berperan untuk mendesain sejarah Orde Baru yang militeristik dan mendiskreditkan masa lalu (jaman Soekarno dengan pembangunan karakter revolusionernya). Meski banyak dikritik orang yang berpikiran waras, tetapi ia sangat berjasa pada Soeharto. Pada tahun 1982 ia diangkat sebagai Rektor Universitas Indonesia (UI) dan pada tahun 1983 diangkat menjadi Menteri Pendidikan. Di posisi inilah ia melanjutkan amanat seminar 1972. Dialah perumus mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), sebuah komponen ideologis yang penting dan langgeng dari sistem pendidikan yang menyertai mata penataran P4. Dia juga merancang sebuah mata pelajaran sejarah yang baru, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Buku ini juga tidak adil melihat sejarah karena tidak menyebutkan sejarah yang sangat penting, misalnya: Gerakan kebangsaan jaman pergerakan di mana gerakan radikal punya peran penting dalam perlawanan terhadap Belanda; arti penting SI Merah dan Sarekat Rakyat
yang berujung pada Pemberontakan 1926-1927,
Catatan Kaki 1 Lihat Sukarno. Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah!. Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1966 2 Anton Kurnia. Dunia Tanpa Ingatan: Sastra, Kuasa, Pustaka. Bandung: Jalasutra, 2001 3 Lihat Nurani Soyomukti. Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme. Yogyakarta: Garasi House of Book, 2008 4 Nurani Soyomukti, “Menguak Ideologi Militer dalam Film Indonesia”, Harian SURYA, Minggu 19 Agustus 2007 5 Katharine E. McGregor. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Syarikat, 2008 6 Katharine E. McGregor. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Syarikat, 2008, hal. 272-273 Dikutip dalam ibid., hal. 275 7 “Karakter Bangsa Adalah Cetakan Dalam Membangun Sebuah Bangsa”, dalam http://hminews.com/news/karakter-bangsa-adalah-cetakan-dalam-membangun-sebuahbangsa/
Bungkus Tempe “Tertangkap. Rudi (11), mengedarkan narkoba di kamar mandi sekolah...”. Tu b u h n y a te r d u d u k p e n u h sahaja. Matanya menjelajahi deretan huruf di kertas usang bau tempe. Pikirannya berkeliaran, ekspresinya memprihatinkan. Sepiring tempe mentah yang telanjang teronggok di sampingnya. Sementara tempe yang belum ia lucuti pakaiannya pasrah bersiap untuk menerima giliran. Tak mau kalah lembaran kertas pakaian tempe berebutan menunggu Sang Tuan untuk membaca tubuhnya. Tempat sampah biru berisi daun pisang menatap dengan masam seolah mereka diabaikan. “Sri...malah baca buku. Cepat selesaikan tugasmu. Sekolah aja enggak, sok pinter kamu...!”, suara majikannya memecah suasana. Dengan tergesa-gesa segera ia akhiri kemesraannya dengan bungkus tempe yang ia baca. Tangannya gemetaran meneruskan pekerjaannya, melucuti
-Nurfitriani-
pakaian tempe. Itulah yang ia kejakan sehari-hari. Ia hidup sebatang kara karena Sri tak bersekolah sejak kematian ayah dan ibunya karena kecelakaan maut. Sumiati, seorang penjual tempe yang galak memungutnya sebagai pembantu. Hanya waktu SD ia dapat menikmati bangku sekolah. Meski demikian nasibnya, ia sangat gemar membaca. Lampu kamarnya pelit untuk memancarkan sinar. Tikar kumal dengan satu bantal cukuplah menunjukkan kamarnya yang sangat sederhana dan ala kadarnya. Ia duduk merenung dengan buku kusam dan sebuah bolpoin di tangan. Sesekali ia goreskan tintanya dengan khidmat. Tampak setumpuk lembaranlembaran bungkus tempe di samping bantal. Tulisannya selesai, ia teliti sekali lagi. mulai terbayang dibenaknya hadiah beasiswa dari lomba cerpen yang diadakan oleh salah satu bungkus tempe sebulan lalu. Selepas merenung, ia bongkar bantal lusuhnya. Ia ambil mukena penuh tambalan dan bergegas mengambil air wudhu. Dinginnya air yang menusuk tulang tak ia hiraukan. Ia dirikan sholat malam dengan khusyuk. Angin malam berbisik, jangkrik-jangkrik mengerik. Bersama mereka Sri memuji Zat Yang Maha Abadi.
“Tempe goreng...tempe goreng. Pak...Buk...tempenya ...masih anget “, teriak Sri saat melewati perumahan penduduk dengan membawa bakul berisi dagangan. “Eh Sri...beli lima ribu ya...!”, muncullah Si Ibu Keriting dengan berlarilari kecil datang menghampiri. “Oh...ini Buk...terimakasih...!”, ucapnya ramah sambil membungkus tempe pembelian ibu tadi. Ibu pun membalas senyuman Sri sambil memandang prihatin akan nasibnya dan pergi berlalu. Sri meneruskan langkah sambil terus berseru. Di bawah pohon mangga ia istirahat sejenak. Ia amati amplop coklat besar yang akan ia kirim ke kantor pos yang akan ia tujukan kepada panitia lomba cerpen. Mulai timbul perasaan minder-nya sekali lagi. “Aku hanya anak yatim piatu, buruh penjual tempe goreng. Aku sudah setahun tak bersekolah. Mana mungkin tulisanku menang? Sementara uangku habis untuk mengeposkan karyaku kemarin...”, pikirnya berkali-kali. Dari ujung jalanan tampak rangkaian anak berseragam putih biru menunggangi sepedah. Mereka tampak riang dengan topinya. Wajahnya cerah secerah langit di angkasa. Menambah hasrat cemburu yang menggebu di dalam jiwa Sri. Ia ingin seperti mereka. Mengepakkan sayap meraih mimpi penuh harap. Semangatnya pun terpompa, keminderannya pun sirna. Segera ia berlari menuju kantor pos. Tak peduli panas menerpa. Dalam hatinya telah tertanam keyakinan yang pasti,”Aku harus dapat beasiswa itu.....”. Sebulan sudah waktu berlalu. Bagi Sri, hari-hari yang dilalui terasa begitu lama. Angannya tertatih-tatih menanti
sebuah pengumumannya mendebarkan. Entah itu hasilnya menggembirakan atau bahkan menyedihkan. Hari ini waktu seakan terhenti, tibalah saat yang dinantinanti. Ia tak punya kesempatan untuk melihat hasil pengumumannya di alun-alun kota. Uang yang ia miliki habis untuk mengeposkan karyanya. Ia menghabiskan waktu untuk bergelut dengan tempe-tempe majikannya. Sesekali ia mencuri kesempatan untuk bermesra dengan bungkus tempe kesayangannya. Namun hatinya tetap tak tenang,”Entahlah...aku pasrah !”, ucapnya memelas. Ketika ia hendak melangkah ke dapur, terdengar suara ketukan pintu yang seperti memberontak. Berulang kali sambil memanggil-manggil nama Sri. Ia hafal betul, itu suara Pima. Sahabat Sri yang sekarang duduk di bangku SMP. Dengan tergopoh-gopoh pula Sri membuka pintu. Ia tatap mata Pima yang nampak tergagapgagap. “Ada apa Pim? Kok teriak-teriak?”, tanya Sri cemas. “Anu Sri...anu...tadi...”, kata Pima terpotong-potong. “Anu-anu....tadi apa?”, sela Sri membujuk. “Kamu....kamu...masuk....nomina si beasiswa di SMP 2 ...cerpenmu...lolos “, jawab Pima penuh tawa. Kata-kata Pima barusan serasa hujan di tengah kemarau panjang bagi Sri. Ia tak kuasa mendengarnya. Tubuhnya terkulai lemas, ia tak sadarkan diri.[]
semua orang sama saat di dalam kela s
Iklan layanan masyara kat ini ditujukan untuk menolak dominasi dosen saat di dalam kelas
P
ecruitment 1. Mahasiswa Universitas Jember 2. Open minded 3. Sanggup berkerja dalam tenggat 3. Mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi 4. Tahan banting 5. Siap menjadi absurd cp: Sekli 082332968373 Toni 085732704398 cp
Menuju Pencerahan Masyarakat