Parpol dan kesejahteraan masyarakat
Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA
Wajah Partai Politik dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat 1. Pendahuluan Sebelum kita menganalisis, dengan pendekatan normatif, hubungan antara partai politik dan kesejahteraan masyarakat, terlebih dulu kita mengemukakan sedikit perdebatan ekonomi politik tentang hubungan antara demokrasi dan kapitalisme. Mungkin diskusi tentang ekonomi politik ini tidak begitu kena dengan tema di atas, tetapi saya yakin bahwa diskusi ekonomi politik itu akan membantu pembukaan cakrawala diskusi kita tentang hubungan antara partai politik (demokrasi) dan kesejahteraan masyarakat (ekonomi). Apakah demokrasi dan kapitalisme harus sejalan, atau keduanya saling mengandaikan, atau keduanya saling meniadakan? Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam analisis berikut ini adalah pendekatan normatif,1 yang berbicara tentang apa yang seharusnya (das Sollen) dan bukan pendekatan deskriptif, yang berbicara tentang apa yang ada (das Sein). Tentu saja pendekatan normatif tetap bertolak dari fakta kehidupan politik yang empiris, namun kejadian-kejadian politik itu hanyalah titik tolak untuk menemukan apa yang seharusnya dilakukan. Itu berarti, kalau sekarang kita berbicara tentang fakta kehidupan politik dari partai politik dan bagaimana perannya dalam penciptaan kesejahteraan masyarakat, maka yang menjadi sasaran adalah bagaimana seharusnya partai politik itu menjalankan tugas dan perannya sebagai organisasi politik untuk mewujudkan suatu masyarakat yang sejahtera. Jadi, kita tidak sekedar menggambarkan bagaimana peran dan tugas partai politik selama ini dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat, melainkan lebih pada usaha untuk menggambarkan bagaimana seharusnya partai politik berperan. Pendekatan normatif ini mengandaikan prinsip dasar, bahwa manusia apriori harus (Sollen) bersikap baik dan tidak buruk terhadap siapa dan apa saja yang ada; jadi bahwa terhadap apa saja yang ada kita apriori mengambil sikap yang mendukung, membela, menyetujui, memajukan, melindungi dan tidak merusak, menyiksa, membatasi dan mematikan. Prinsip ini terwujud dalam prinsip kesejahteraan umum – yang mempunyai relevansi politik tinggi – yang berisi bahwa semua tindakan dan kebijakan, harus demi keuntungan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyak orang, asal tidak melanggar hak dan Andre Brodoz & Gary S. Schaal, “Einleitung”, dalam, Bodroz, A. & S.Schaal, G, (editor), Politische Theorien der Gegenwart I, Opladen & Farmington Hills, 2006, hlm. 11-13. 1
1
Parpol dan kesejahteraan masyarakat
Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA
keadilan. Prinsip dasar lain adalah prinsip keadilan yang mengatakan bahwa kita wajib untuk memperlakukan semua orang dengan adil, artinya untuk menghormati hak-hak mereka dan memberikan perlakuan yang sama dalam situasi yang sama. 2. Sedikit tentang ekonomi politik 2. 1. Demokrasi dan kapitalisme, saudara kembar Demokrasi dan kapitalisme dapat dipandang sebagai saudara kembar di erah globalisasi saat ini. Liberalisasi politik dipandang sebagai padanan yang serasi dengan liberalisasi ekonomi. Inilah yang selalu dipromosikan oleh Amerika Serikat. Mereka yakin bahwa kombinasi pemerintahan demokratis, pasar bebas, sektor swasta yang dominan serta terbuka bagi perdagangan, adalah resep bagi kemakmuran dan pertumbuhan. Francis Fukuyama dalam The End of History, 2 mengidentikkan keruntuhan tembok Berlin dengan berakhirnya suatu sistem ekonomi-politik yang sempat menguasai dunia ialah komunisme. Sebagai penggantinya adalah sistem persaingan, yaitu demokrasi liberal yang diiringi dengan ekonomi liberal atau yang kita kenal dalam sebutan ekonomi pasar bebas. Gabungan ekonomi pasar bebas dan demokrasi liberal, menurut Fukuyama, menghasilkan kemajuan dan kemakmuran tidak saja di negara maju tetapi juga di negara-negara berkembang. Sedangkan Milton Friedman dalam Capitalism and Freedom, 3 menghubungkan antara kebebasan politik (demokrasi) dan kebebasan ekonomi (kapitalisme). Ia mengaitkan dua jenis kebebasan, di satu pihak, kebebasan bergerak, kebebasan mengadakan tukar-menukar dan kebebasan atas hak miliki, dengan kebebasan bergerak, kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan untuk berserikat di lain pihak. Kalau cara pandangan ini ditempatkan dalam kerangka perjuangan kaum berjuis, maka penggabungan itu sangat masuk akal. Kaum berjuis dianggap memperjuangkan kebebasan ekonomi dan kebebasan politik sekaligus ketika mereka berhadapan dengan penguasa politik yang absolut, atau ketika mereka berhadapan dengan kebijakan merkantilis di abad ke 18 dan ke 19. Pada waktu itu kaum berjuis sangat menentukan politik: No bourgeosie, no democracy. Begitu kaum berjuis berhasil melepaskan diri dari cengkeraman ekonomi negara, mereka juga bisa meloloskan diri dari cengkeraman politik negara. Dengan kata lain, kapitalisme mendorong demokrasi. 4 Francis Fukuyama, The End of History and the Las Man, London: Penguin, 1989. Milton Friedman, Capitalism and Freedom, Chicago: University of Chicago Press, 1965. 4 Bdk. pandangan Anthony Downs dalam An Economic Theory of Democracy (New York: Harper and Row, 1957) tentang paralelisme antara perusahaan dalam kapitalisme dengan partai politik dalam demokrasi. Keduanya memerlukan sistem kompetisi terbuka. Perusahaan bersaing untuk memperebutkan konsumen sedangkan partai politik memperebutkan pemilih. Baik perusahaan maupun partai politik bekerja dengan asumsi yang sama, yaitu kedaulatan konsumen atau pemilih. 2 3
2
Parpol dan kesejahteraan masyarakat
Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA
Akan tetapi, pandangan bahwa kapitalisme mendorong demokrasi sejak lama telah disanggah oleh kaum kiri dan kaum kanan. Dari kaum kiri itulah yang dikemukakan oleh Karl Marx dalam analisisnya tentang negara Bonapartis. Sebenarnya kebebasan ekonomi dan kebebasan politik tidak selalu seiring. Ketika kebebasan untuk berbicara dan berserikat dipakai oleh kaum tidak berpunya, maka pasti mereka akan mengancam harta milik dan keuntungan kaum kapitalis. Dengan cepat kaum kapitalis akan menelikung kebebasan politik kaum proletar demi menegakkan ketertiban dan melindungi harta milik mereka. Bahkan, mereka tidak ragu-ragu akan melindas parlemen jika langkah itu memang terpaksa harus dilakukan. Sedangkan sanggahan dari kaum kanan datang Max Weber: „Sungguh menggelikan mengaitkan kapitalisme modern yang telah maju dengan demokrasi atau kebebasan. Semua bentuk pembangunan sudah dinafikan ketika di Barat kepentingan ekonomi dari kelas yang berpunya dibuat untuk melayani kebebasan berjuis“. Jadi, demokrasi memang mendapat pupuk subur dari kapitalisme lewat prinsip self-regulating yang dipegangnya, tetapi berbagai sisi kapitalisme yang diunggulkan ternyata tidak niscaya mendukung demokrasi. Dari pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa kapitalisme dapat melumpuhkan demokrasi. Kapitalisme sendiri tampak tidak peduli tentang sistem politik, entah otoriter, negara satu partai atau multi partai (demokrasi). Kapitalisme dapat tumbuh subur di tanah apa pun. 2. 2. Dua tese besar tentang demokrasi dan ekonomi Tese pertama mengatakan bahwa ekonomi adalah basis bagi pembangunan demokrasi. Seymour Martin Lipset mengatakan bahwa „semakin kaya suatu bangsa, semakin besar peluang negara itu untuk berdemokrasi“. 5 Menurut Lipset, sangat erat hubungan antara demokrasi dengan pembangunan sosial-ekonomi atau tingkatan modernisasi yang dicapai, karena modernisasi dan hasil pembangunan yang berujud pada kesejahteraan akan selalu disertai oleh sejumlah faktor yang kondusif bagi demokrasi, yakni meningkatnya tingkat mutu pendidikan dan pembangunan mass media. Lagi pula kesejahteraan juga akan menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan untuk meredakan ketegangan yang ditimbulkan oleh konflik politik. Jalan pemikiran Lipset dapat digambarkan demikian: Kehidupan ekonomi yang lebih baik akan memberikan kesempatan untuk memperoleh tingkat pendidikan dan akses media massa yang lebih tinggi. Jenjang yang lebih tinggi pada aspek-aspek tersebut sudah tentu merupakan salah satu faktor kondusif bagi munculnya tuntutan-tuntutan yang lebih besar akan demokrasi. Pendidikan dapat membuka cakrawala pemikiran seseorang termasuk di Seymour Martin Lipset, Political Man: The Social Bases of Politics, Baltimore, Maryland: The Johns Hopkins University Press, 1983, hlm. 31: “The more well-to-do a nation, the greater the chances that it will sustain democracy”. 5
3
Parpol dan kesejahteraan masyarakat
Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA
dalamnya tentang politik, ideologi. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi membuat seseorang menjadi lebih menyadari akan kedudukan dan martabatnya. Mereka itu tidak puas hidup di bawah rejim otoriter yang represif. Mereka menuntut partisipasi yang lebih besar dan luas dalam pembangunan. Akan tetapi, temuan Lipset ini seolah menjadi tidak berarti ketika banyak negara berkembang yang lepas dari penjajahan dan berdiri sebagai negara baru, serta umumnya mengukuti jejak modernisasi, pada akhirnya tidak seperti dikemukakan itu. Boleh saja modernisai melahirkan kesejahteraan yang mendorong ke arah demokratisasi dan itu terjadi di Eropa Barat, Amerika Utara dan Australia, tetapi tidak demikian halnya dengan Korea Selatan, Taiwan, serta negara-negara Amerika Latin yang ternyata tidak melahirkan demokrasi tetapi melahirkan otoriterisme. Padahal negara-negara itu pembangunan ekonominya tergolong cepat disertai dengan distribusi pendapatan yang cukup merata. Tese kedua mengatakan bahwa demokrasi adalah basis bagi pembangunan ekonomi. Barrington Moore berpendapat bahwa bukan kemajuan ekonomi yang mendasari pertumbuhan demokrasi melainkan suasana yang demokratis yang memungkinkan kemajuan ekonomi. 6 Dengan adanya demokrasi maka itu berarti sudah terbuka ruang kebebasan di dalam masyarakat. Dengan itu para penguasa yang didukung oleh para pemodal atau tuan tanah tidak lagi dapat bertindak tanpa memperhatikan apa maunya masyarakat melainkan ia harus sungguh-sungguh mendengarkan mereka. Hanya, kalau kita bertolak dari pengalaman beberapa negara berkembang maka analisis Moore tidak kena. Beberapa negara berkembang berhasil membangun ekonomi menjadi maju, bahkan kelas-kelas sosial relatif tumbuh menjadi maju, dan masyarakat sipilnya relatif terbangun, namun demokrasi masih saja kehabisan tenaga untuk berkembang. Bagi para pendukung pendekatan otoriter yakin bahwa demokrasi justru menghambat pembangunan ekonomi. Lowenthal, misalnya, berpendapat bahwa dalam sistem demokratis yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk menuntut kebebasan dan hak-haknya secara tidak terbatas terkadang dapat menghambat hal-hal penting yang perlu dilakukan bagi pembangunan ekonomi. Korea Selatan dianggap sebagai contoh sukses negara otoriter yang mampu membangun negerinya dengan kemajuan ekonomi yang cemerlang. 3. Partai politik dan demokrasi 3. 1. Partai politik, itu suatu keharusan Menurut paham demokrasi modern, kekuasaan untuk memerintahi orang lain harus dilegitimasikan dari kehendak mereka yang diperintah. Setiap Lih. Barrington Moore, The Social Origins of Dictatorship and Democracy. Lord and Peasent in the Making of the Modern World, Boston: Beacon Press, 1966. 6
4
Parpol dan kesejahteraan masyarakat
Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA
wewenang untuk memberikan perintah kepada masyarakat haruslah berdasarkan atau sesuai dengan tatanan masyarakat yang disetujui oleh masyarakat. Kedaulatan rakyat itu berdasarkan hak setiap orang untuk menentukan dirinya sendiri dan untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut seluruh masyarakat. Dalam konteks inilah kita berbicara tentang partai politik sebagai salah satu lembaga politik yang mewujudkan demokrasi kedaulatan rakyat itu. Partai politik adalah organisasi yang paling umum dipakai dalam masyarakat modern untuk mewujudkan demokrasi kedaulatan rakyat itu. Akan tetapi dengan kesadaran bahwa demokrasi itu sendiri tidak identik dengan partai politik, karena eksistensi partai politik hanya untuk memungkinkan secara organisasional perwujudan demokrasi kedaulatan rakyat yang menjadikan keputusan-keputusan politik tentang kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh orang-orang tertentu saja. Meski partai politik bukan satu-satunya lembaga politik yang bisa ikut ambil bagian dalam proses pembuatan keputusan politik dalam pemerintahan, namun partai politik tetap sebagai suatu organisasi politik yang memainkan peran khusus dan menentukan bagi perwujudan demokrasi. Karena, partai politik adalah sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Sebagai lembaga politik, partai politik bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada. Dan partai politik merupakan organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi negara. 3. 2. Partai politik di era sistem multi partai 3. 2. 1. Lahirnya partai politik Partai politik pertama-tama lahir di Eropa Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat adalah faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik lahir secara spontan dan kemudian berkembang menjadi penghubung antara rakyat dan pemerintah. Pada awal perkembangannya kegiatan partai politik dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen saja. Kegiatannya mula-mula bersifat elitis dan aristokartis, yakni mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan-tuntutan raja. Dengan meluasnya hak pilih maka kegiatan politik juga berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum. Karena kegiatan politik itu membutuhkan dukungan dari pelbagai golongan masyarakat, maka kelompokkelompok politik tadi mengembangkan organisasi massa. Dengan pembentukan organisasi massa itu, lahirlah abad ke 19 partai politik.
5
Parpol dan kesejahteraan masyarakat
Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA
Dengan membentuk wadah organisasi politik mereka bisa menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran yang sama, sehingga pikiran dan orientasi mereka bisa dikonsolidasikan. Dengan begitu pengaruh mereka dalam pembentukan dan pelaksanaan kebijakan bisa lebih besar. Karena itu, parpol kurang lebih dapat diartikan sebagai suatu organisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. 7 Sedangkan tujuan mereka adalah untuk memperoleh kekuasan politik dan merebut kedudukan politik secara konstitusional, untuk melaksanakan program partainya. Di Indonesia partai politik telah merupakan bagian dari kehidupan politik selama kurang lebih seratus tahun, karena partai politik sudah lahir sejak masa perjuangan kemerdekaan. Partai politik pertama-tama lahir pada zaman penjajahan sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Dalam suasana itu semua organisasi, apakah bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammadijah, atau menganut asas agama seperti Serikat Islam, atau menganut asas politik sekuler seperti PNI, atau menganut asas sosialis seperti PKI, semuanya memainkan peran penting dalam perkembangan pergerakan nasional. Pola kepartaian masa itu menunjukkan keanekaragaman dan pola itu hidup lagi pada masa merdeka, khususnya pada masa demokrasi liberal tahun 1955 dan era reformasi pada saai ini, dalam bentuk sistem multi-partai. 3. 2. 2. Empat fungsi utama partai politik Partai politik modern menjalankan empat fungsi utama: sebagai sarana komunikasi politik, rekrutmen politik, sosialisasi politik dan pengatur konflik. 8 Pertama, parpol adalah sarana komunikasi politik. Di dalam masyarakat terdapat banyak ragam pendapat dan aspirasi. Menghadapi kenyataan ini parpol melakukan apa yang disebut interest aggregation (penggabungan kepentingan). Pendapat dan aspirasi yang berbeda itu ditampung kemudian digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Parpol tidak berhenti di situ, tetapi melanjutkan dengan usaha merumuskan pelbagai pendapat dan aspirasi itu menjadi suatu wujud yang lebih teratur. Proses ini dikenal dengan sebutan interest articulation (perumusan kepentingan). Kalau tidak diadakan agregasi dan artikulasi, maka pendapat dan aspirasi yang banyak dan berbeda itu akan saling berbenturan.
Bdk. Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theory and Pratice in Europe and America, Weltham, Mass; Blaisdell Publishing Company, 1967, hlm. 419: “A political party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaining for its leaders the control of a government, with the further objective of giving to members of the party, through such control ideal and material benefits and advantages” (Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisasi secara tetap dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil dan materil). 8 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 405-409. 7
6
Parpol dan kesejahteraan masyarakat
Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA
Kalau dikatakan bahwa parpol melakukan komunikasi politik dari bawah ke atas, itu maksudnya bahwa parpol merumuskan kepentingan itu menjadi usul kebijakan kepada pemerintah. Usul kebijakan inilah dimasukkan ke dalam apa yang disebut platform partai atau program partai untuk diperjuangkan melalui parlemen kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum. Demikianlah tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan pemerintah melalui parpol. Sedangkan komunikasi dari atas ke bawah, itu maksudnya, bahwa parpol tidak hanya mengusulkan kebijakan tertentu kepada pemerintah melainkan juga mendiskusikan, memperdebatkan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Tetapi tidak hanya sebatas mendiskusikan kebijakankebijakan pemerintah, melainkan juga ikut bertanggung jawab menyebarluaskan kebijakan-kebijakan itu. Tetapi justru peran komunikasi politik inilah yang paling lemah dalam porses demokrasi selama ini. Parpol dipandang oleh para politisi (anggota partai) hanya sekedar „kendaraan“ politik untuk mengantar anggota partai ke dalam kekuasaan di parlemen dan kekuasaan di lembaga eksekutif pemerintahan. Parpol eksis ketika pemilu (pemilihan umum) dan pilkada (pemilihan kepala daerah). Begitu pemilu dan pilkada selesai maka selesai juga keberadaan parpol dalam masyarakat. Ini terjadi, karena para politisi kita memandang parpol hanya sebagai kendaraan politik untuk merebut kekuasaan dan perebutan kekuasaan politik itu menjadi bersifat temporal karena pemilu dan pilkada dilaksanakan hanya sekali dalam lima tahun. Jadi, parpol betulbetul kendaraan politik, bukan organisasi politik yang berperan menghubungkan rakyat dengan pemerintah. Kedua, parpol sebagai sarana sosialisasi politik. Itu berarti, partai politik berkontak dengan masyarakat melalui diskusi atau ceramah sehingga terbentuk sikap dan orientasi masyarakat atas suatu fenonmen politik yang sedang terjadi. Sosialisasi politik ini adalah bagian dari proses yang menentukan sikap politik warga negara terhadap pelbagai isu politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan agama yang muncul dan berkembang di tengah masyarakat. Begitu suatu isu politik, misalnya isu atau diskusi tentang perlu tidaknya Ujian Nasional, maka parpol tampil mengkaji isu itu secara kritis. Karena, banyak masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang dunia pendidikan dan persekolahan. Di sinilah kesempatan partai politik melakukan sosialisasi politiknya sehingga dengan itu masyarakat memiliki suatu orientasi atas persoalan itu dan akhirnya bisa mengambil sikap yang tepat, entah mendukung atau menolak kebijakan Ujian Nasional itu. Tetapi, mengapa sosialisasi politik selama ini tidak berjalan dengan baik? Itu terjadi karena kebanyakan anggota parpol adalah orang-orang yang „diangkat pasang“ sejauh sesuai tuntutan undang-undang menjelang pemilu tanpa memiliki suatu standar pemahaman dasar politik dan tanpa pengetahuan 7
Parpol dan kesejahteraan masyarakat
Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA
yang memadai tentang masyarakat dengan segala persoalannya. Parpol baru melakukan sosialisasi politik, yakni mereka mengkampanyekan pelbagai program politik dari partai, dan mendiskusikan pelbaga program atau kebijakan pemerintah ketika mereka berhadapan dengan kepentingan politik temporal pemilu legislatif dan pilkada. Setelah itu para politisi itu menarik diri dari tugas sosialisasi politik, lalu tugas itu diserahkan kepada para politisi di parlemen. Akan tetapi, ini suatu kekeliruan besar, seakan-akan eksistensi partai politik terbatas pada pemilu atau pilkada. Partai politik seharusnya tetap eksis, meski pemilu dan pilkada telah selesai, dan meski tak seorang anggota partai pun menduduki posisi politik baik di parlemen maupun di lembaga eksekutif. Karena, partai politik bukan sekedar kendaraan politik melainkan sebuah organisasi politik, sebuah organisasi perjuangan politik. Sosialisasi politik tidak hanya menyangkut kegiatan pembentukan sikap dan orientasi masyarakat atas suatu fenomen politik yang sedang berlangsung, melainkan juga menyangkut kegiatan pembentukan budaya politik kepada masyarakat. Di sini dimaksudkan tidak terutama bahwa para anggota parpol terjun ke tengah masyarakat untuk mengajarkan ilmu politik supaya masyarakat bisa berpolitik secara benar, tetapi terutama bahwa cara-cara mereka bertindak dan cara-cara mereka mengambil keputusan di dalam organisasi politik adalah cara-cara yang memungkinkan pembentukan budaya politik yang demokratis bagi masyarakat pada umumnya. Namun, apa yang terjadi selama ini? Justru, para anggota parpol sendiri dalam konteks pergerakan dan perjuangan partai, sering demi mencapai target politik, menggunakan cara-cara yang jauh dari nilai-nilai dan norma-norma demokrasi. Karena itu, sebenarnya sosialisasi politik pertama-tama adalah usaha pendidikan anggota partai menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawab sebagai warga negara dan sadar sebagai politisi yang bertugas untuk memperjuangkan kepentingan umum. Jadi, sekurang-kurangnya ia sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara. Kalau tanggung jawabnya sebagai warga negara saja lemah, apalagi tanggung jawabnya sebagai politisi untuk memperjuangkan kepentingan umum. Akan dengan mudah kita melihat tindaktanduk politisi yang lemah sebagai warga negara, karena biasanya dia berdebat dengan cemerlang di dalam sidang parlemen untuk, misalnya, mengesahkan RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), dengan argumentasi atas nama kepentingan masyarakat (umum). Ternyata, perjuangannya itu betul-betul hanya sebatas „atas nama“ kepentingan umum, karena sasaran sebenarnya bukan untuk kepentingan masyarakat melainkan untuk kepentingan pribadinya. Bagaimana kita menyiapkan anggota parpol agar menjadi politisi yang cerdas dan bertanggung jawab? Itulah peran sosialisasi politik yang dilakukan oleh partai politik, misalnya, melalui kursus kader, penataran, ceramah di lingkungan parpol itu sendiri. 8
Parpol dan kesejahteraan masyarakat
Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA
Ketiga, partai politik sebagai sarana rekrutmen politik: Partai politik berfungsi untuk melakukan seleksi anggotanya untuk menjadi pemimpim baik di internal partai maupun di dalam pemerintahan. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai politik membutuhkan kader partai yang berkualitas cemerlang dalam bidang pemikiran politik dan kepemimpinan. Karena, hanya dengan kader yang demikian partai politik dapat menjadi organisasi politik yang dapat berkiprah dalam politik pemerintahan dengan baik. Dengan mempunyai kader-kader yang berkualitas, partai tidak akan sulit menentukan pemimpinnya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon pemimpin politik di pemerintahan baik di tingkat daerah maupun nasional. Rekrutmen internal untuk memilih pemimpin partai umumnya sejauh ini berjalan dengan baik, meski sering juga disertai dengan sedikit ketegangan dan pertentangan di kalangan anggota partai, karena masing-masing kubu di dalam partai memperjuangkan „orangnya“ untuk duduk di posisi pimpinan partai. Juga, rekrutmen politisi untuk duduk di posisi pimpinan di lembaga parlemen, sejauh ini berjalan dengan baik, walupun sering juga dengan ketegangan dan pertentangan di dalam tubuh partai, karena baik orang partai di dalam parlemen maupun orang partai di luar parlemen, memiliki kepentingan yang berbeda. Sedangkan, yang menjadi problematis, atau boleh juga dikatakan, yang menjadi kelemahan besar rekrutmen politik selama ini adalah rekrutmen politik untuk menduduki jabatan politik di lembaga eksekutif-pemerintahan, seperti memilih dan menetapkan calon presiden dan wakilnya, calon gubernur dan wakilnya, calon bupati/walikota dan wakilnya. Sebagian besar partai politik belum berani mencalonkan kader partainya untuk posisi jabatan politik itu. Ini disebabkan karena partai politik masih berpandangan bureaucratic polity, bahwa yang pantas menduduki jabatan politik sebagai kepala pemerintahan adalah mereka yang berpengalaman di bidang birokrasi pemerintahan; jadi yang layak menduduki jabatan itu, dalam pandangan mereka, adalah birokrat. Hanya sedikit partai politik yang benar-benar menjalankan apa yang disebut politik partai, yakni mereka berani mencalonkan kader partainya sendiri untuk posisi jabatan politik di birokrasi pemerintahan. Keempat, partai politik adalah sarana pengatur konflik. Di dalam suatu masyarakat majemuk seperti Indonedia potensi konflik selalu ada. Apabila kemajemukan itu terjadi di negara yang berpaham demokrasi, maka persaingan dan perbedaan pendapat dianggap hal yang wajar dan mendapat tempat. Di sini partai politik berfungsi sebagai pengatur konflik itu. Elite partai politik dapat menumbuhkan pengertian di antara mereka dan bersamaan dengan itu juga meyakinkan para pendukungnya. Jadi, partai politik di sini dapat menjadi penghubung psikologis dan organisasional antara warga negara dengan pemerintah. Selain itu juga partai politik melakukan konsolidasi dan artikulasi tuntutan-tuntutan yang beragam yang muncul di pelbagai lapisan masyarakat. 9
Parpol dan kesejahteraan masyarakat
Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA
Melihat kenyataan sejauh ini, kita harus berani mengakui bahwa partai politik belum sepenuhnya menjalankan tugasnya sebagai pengatur konflik di dalam masyarakat, malah justru partai politiklah yang menjadi pemicu konflik di dalam masyarakat. Bahwa setiap partai politik memiliki nilai-nilai yang diperjuangkan, yang bisa saja berbeda dan bahkan bertentangan, namun kenyataan itu tidak harus menjadi alasan bagi munculnya konflik di dalam masyarakat. Memang konflik adalah fenomen positif bagi kehidupan bersama. Namun, yang umum terjadi di dalam konteks kehidupan multi partai, konflik yang muncul selalu yang bersifat saling menghancurkan, dan konflik terjadi bukan karena mempersoalkan kepentingan umum masyarakat melainkan lebih karena mempersoalkan kepentingan kelompok bahkan kepentingan orangseorang yang dibungkus dalam kepentingan partai. 4. Partai politik dan kesejahteraan umum 4. 1. Kesejahteraan umum dalam pengertian politik Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa tujuan negara adalah untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum. Tetapi yang belum umum diketahui adalah pengertian kesejahteraan umum itu sendiri. Kesejahteraan umum tidak identik dengan jumlah kesejahteraan semua anggota masyarakat. Kesejahteraan umum sekaligus kurang dan lebih dari jumlah semua kesejahteraan individual dalam masyarakat. Dikatakan kurang, karena negara selalu hanya dapat menyelenggarakan kondisi yang memungkinkan warga negara menciptakan kesejahteraannya masing-masing, tetapi tidak dapat memastikan bahwa mereka semua memang sejahtera. Karena, kesejahteraan setiap warga negara tidak hanya tergantung dari apa yang disediakan atau dikondisikan oleh negara, tetapi juga tergantung dari warga negara itu sendiri. Sedangkan dikatakan lebih, karena masyarakat sendiri adalah lebih dari penjumlahan semua individu yang menjadi anggota-anggotanya. 9 Kesejahteraan umum itu memang diusahakan oleh negara tetapi dengan pengertian bahwa negara hanya memiliki kewajiban untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan semua warganya dengan usaha sendiri menciptakan kesejahteraannya. Karena itu, kesejahteraan umum sebenarnya lebih tepat dirumuskan sebagai jumlah syarat dan kondisi yang perlu tersedia agar para anggoata masyarakat dapat sejahtera. Jadi, kesejahteraan umum adalah keseluruhan prasyarat-prasyarat sosial yang memungkinkan setiap warga negara mengembangkan potensi dirinya untuk dapat mencapai keutuhan atau perkembangan dirinya dengan lebih utuh dan cepat. Akan tetapi, kapan seseorang merasa sejahtera? Jawabannya bisa dirumuskan secara negatif, bahwa manusia itu sejahtera kalau ia bebas dari Franz Magnis-Suseno, Etika Politik. Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999, hlm. 314. 9
10
Parpol dan kesejahteraan masyarakat
Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA
kelaparan dan kemiskinan, bebas dari kecemasan akan hari esok, bebas dari perasaan takut, bebas dari penindasan, bebas dari perlakuan tidak adil. Sedangkan secara positif manusia disebut sejahtera adalah apabila ia merasa aman, apabila ia dapat hidup sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilainya sendiri, apabila ia bebas mewujudkan kehidupan individual dan sosialnya sesuai dengan aspirasi dan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian, tugas mengusahakan kesejahteraan umum berarti negara hanya berkewajiban menciptakan kondisi kesejahteraan para warganya, tetapi tidak dapat membuat mereka sejahtera. Negara tidak langsung harus dan dapat menciptakan kesejahteraan seseorang. Kalau itu yang dilakukan oleh negara, maka negara itu telah jatuh ke dalam totalitarisme. Yang harus diciptakan oleh negara adalah hanya prasyarat-prasyarat objektif yang perlu tersedia agar kesejahteraan masing-masing anggota masyarakat dapat terwujud. Negara bertugas untuk menciptakan prasarana-prasarana yang diperlukan masyarakat agar dapat merasa sejahtera, 10 tetapi dengan syarat, sejauh itu tidak dapat dilakukan oleh warga negara. Kalau hal itu bisa dilakukan individu atau anggota masyarakat sendiri tetapi negara tetap mau agar negara yang menyelenggarakannya, maka negara telah melanggar satu asas negara demokratis modern, yakni asas subsidiaritas:11 Bahwa sejauh suatu hal bisa dilakukan oleh warga masyarakat sendiri, maka negara hanya ikut ambil bagian di dalam usaha itu untuk melengkapi bukan untuk menggantikan. 4. 2. Partai politik menciptakan kesejahteraan umum 4. 2. 1. Tuntutan keadilan sosial Menyelenggarakan kesejahteraan umum adalah tugas raksasa, terutama karena dalam dua ratus tahun terakhir ada dimensi baru dalam mengusahakan kesejahteraan umum yang semakin menyolok, yakni tanggung jawab sosial negara. Bahwa negara bertugas untuk menjamin kesejahteraan umum mempunyaai implikasi bahwa negara bertanggung jawab secara khusus terhadap mereka yang lemah, kurang berpendapatan, cacat, pokoknya mereka semua yang tidak dapat menyelamatkan diri mereka sendiri dari kemelaratan. Tetapi apa dasar moral kewajiban negara untuk memberi bantuan khusus kepada golongan-golongan sosial yang lemah. 12 Dasar utama kewajiban itu telah kita letakkan dalam perumusan kesejahteraan umum sebagai tujuan negara. Dan penetapan tujuan itu bertolak dari kerangka pemikiran dasar bahwa negara bukan tujuan pada dirinya sendiri melainkan harus bermanfaat Bdk. UUD 1945, pasal 34, ayat 3: „Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak“. 11 Nell-Breuning, Baugesetze der Gesellschaft. Gegenseitige Verantwortung – Hilfreicher Besitand, Freiburg/Basel/Wien: Herder, 1968, hlm. 77-148. 12 UUD 1945 pasal 34 ayat 1: „Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara“. Ayat 2: „Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan“. 10
11
Parpol dan kesejahteraan masyarakat
Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA
bagi masyarakat. Akan tetapi pemberian manfaat oleh negara ini hanya bersifat subsider, jadi bukan untuk menggantikan aktivitas masing-masing individu warga negara melainkan hanya untuk melengkapkan apa yang oleh individu warga negara tidak bisa dengan kesanggupan sendiri menghasilkannya. Karena dukungan terutama dibutuhkan oleh golongan-golongan sosial yang lemah, maka negara harus menyediakan bantuan khusus kepada mereka. Dasar pertama kewajiban negara untuk secara khusus menjamin prasyaratprasyarat kesejahteraan golongan lemah adalah tanggung jawab sosial negara. Karena masyarakat merasa diri sebagai senasib sepenanggungan, masyarakat merasa bertanggung jawab atas nasib semua anggotanya dan tidak akan membiarkan sebagian hidup dalam kekurangan dan penderitaan. Maka masyarakat, melalui negara, merasa wajib untuk menjamin bahwa tidak ada anggotanya yang harus hidup dengan menderita hanya karena syarat-syarat objektif bagi suatu kehidupan yang wajar tidak tersedia. Pertanyaan yang patut diajukan berkaitan dengan fakta adanya golongan-golongan yang lemah di dalam masyarakat, adalah mengapa terdapat golongan lemah di dalam masyarakat? Pertanyaan ini mengantar kita kepada analisis struktural tentang penciptaan kesejahteraan umum, khususnya bagi kaum yang lemah. Di sini kita perlu mengakui bahwa ternyata sekurangkurangnya sebagian dari kekurang-mampuan atau kemiskinan golongan tertentu itu bukanlah semata-mata akibat suatu kekurangan individual anggota-anggota itu, melainkan akibat kelemahan kedudukan mereka dalam proses kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat. Mereka menderita karena tidak memiliki kekuatan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan mereka. Ketidakmampuan mereka adalah akibat ketidakadilan. Dengan demikian perhatian terhadap golongan yang kurang mampu bukan hanya merupakan tuntutan solidaritas melainkan tuntutan keadilan sosial. Negara wajib untuk mengutamakan golongan lemah karena negara wajib untuk bertindak adil. Kesadaran itu terungkap dalam tuntutan bahwa negara harus mengusahakan keadilan sosial. Dalam Etika Politik, pembahasan kewajiban negara untuk mengusahakan keadilan sosial dipisahkan dari pembahasan kewajiban sosial negara. Memang antara keadilan sosial dan tanggung jawab sosial negara saling meliputi, namun keduanya tidak identik.13 Membantu menciptakan kesejahteraan adalah tanda rasa kesetiakawanan dalam masyarakat, ungkapan perhatian dan kebaikan mereka yang beruntung terhadap mereka yang kurang beruntung. Sedangkan keadilan sosial adalah kewajiban yang keras. Tidak mengusahakan keadilan sosial bukan sekadar bersikap kurang sosial melainkan sama dengan Undang-Undang Dasar kita, UUD 1945 yang telah diamandemen, memahami bahwa keadilan sosial dan tanggung jawab sosial berkaitan, karena itu kedua hal itu ditetapkan dalam satu bab yaitu Bab XIV dengan judul: Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Pasal 33 berbicara tentang sistem ekonomi dan pasal 34 berbicara tentang tanggung jawab sosial negara. 13
12
Parpol dan kesejahteraan masyarakat
Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA
membiarkan ketidakadilan merajalela. Jadi, bobot etis tuntutan keadilan sosial lebih berat dari pada tuntutan sekadar solidaritas. Bahwa negara diharapkan bersikap sosial berarti bahwa negara diharapkan membantu mereka yang lemah, karena negara tidak rela ada warganya yang bernasib buruk. Sedangkan keadilan menuntut agar ketidakadilan ditiadakan, agar setiap orang diperlakukan menurut hak-haknya, dan agar tidak ada perbedaan yang sewenang-wenang dalam memperlakukan anggota-anggota masyarakat. Keadilan menuntut perlakuan yang sama dalam situasi yang secara objektif sama. Dengan ini menjadi jelas bahwa bobot etis tuntutan keadilan sosial lebih tinggi dari pada tuntutan tanggung jawab sosial negara. Tuntutan keadilan sosial tidak terbatas pada mereka yang tidak mampu melainkan lebih menyangkut mereka yang menderita sebagai akibat ketidakadilan sosial, atau lebih tepatnya, sebagai akibat ketidakadilan struktural dalam pembangunan masyarakat. 4. 2. 2. Partai politik mengusahakan keadilan sosial Sampai di sini kita sudah menemukan bahwa masalah kesejahteraan masyarakat adalah masalah yang menyangkut dua hal, yakni masalah tanggung jawab sosial negara atas mereka yang menderita dan masalah ketidakadilan sosial dalam masyarakat. Pertanyaan kita sekarang: Apa peran partai politik dalam hubungan dengan penciptaan kesejahteraan masyarakat itu? Berdasarkan peran dan fungsi partai politik seperti telah diterangkan di atas, maka sesungguhnya parpol memiliki ruang yang sangat besar untuk ikut mengusahakan kesejahteraan masyarakat. Adalah suatu kekeliruan besar manakala kita berpikir bahwa pihak yang bisa dan harus mengusahakan kesejahteraan masyarakat hanyalah para politisi parlemen. Mengusahakan kesejahteraan masyarakat (umum) bukanlah melulu tugas politisi parlemen melainkan tugas semua anggota masyarakat. Dan parpol, dalam konteks ini, memiliki posisi strategis sebagai organisasi politik. Politisi di parpol meski mereka tidak atau belum masuk dalam lembaga parlemen, namun mereka berkewajiban untuk mengkaji dan mengusahakan kesejahteraan umum. Untuk menjalankan tugas atau usaha menciptakan kesejahteraan masyarakat itu parpol, berdasarakan peran komunikasi politiknya, dapat dan seharusnya turun ke tengah masyarakat untuk membicarakan dengan anggota masyarakat tentang kondisi mereka dan tentang bagaimana cara mengatasi kesulitan yang dihadapi itu. Juga, parpol, berdasarkan peran sosialisasi politiknya, dapat menerangkan kepada masyarakat paham-paham normatif tentang kehidupan politik, seperti tentang kesejahteraan umum dan tentang bagaimana mengusahakan kesejahteraan umum itu. Kita perlu jujur, bahwa masih banyak masyarakat sederhana di desadesa yang tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang kesejahteraan 13
Parpol dan kesejahteraan masyarakat
Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA
umum dan tentang keharusan negara untuk menciptakan kesejahteraan umum itu. Namun melalui komunikasi terbuka dan kritis yang dilakukan parpol, masyarakat dilibatkan dalam persoalan keadilan sosial yang mereka hadapi. Barangkali ada parpol yang berpendapat bahwa komunikasi politik dan sosialisasi politik menyangkut kesejahteraan umum sudah sangat sering dilakukan oleh parpol selama ini. Tetapi, seperti telah disinggung di atas, ternyata semua itu dilakukan bersifat temporal dan juga hanya berdasarkan kepentingan pribadi orang-orang dari partai politik, yakni sejauh berkaitan dengan pengejaran target anggota parpol dalam pemilu legislatif atau pilkada. Ketika pemilu, pilkada, dilangsungkan, parpol-parpol beramai-ramai melakukan kunjungan ke tengah masyarakat untuk membicarakan kesejahteraan umum dan hal-hal yang akan diperjuangkan. Akan tetapi, semua ini dilakukan hanya melulu karena yang bersangkutan mau menjadi caleg (calon legislatif) atau menjadi calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota, bukan karena mereka sungguh-sungguh mau menciptakan kesejahteraan umum itu. Begitu pemilu dan pilkada selesai, selesai jugalah komunikasi politik dan sosialisasi politik mereka tentang kesejahteraan masyarakat. Seakan-akan partai politik hanyalah organisasi politik musiman, tunggu musim pemilu dan pilkada baru mesin partai dihidupkan. Jika demikian adanya, maka tidak salah kalau disebutkan bahwa parpol adalah „kendaraan“ politik bukan organisasi perjuangan politik. Kalau partai politik itu adalah organisasi perjuangan politik, maka selama negara atau pemerintahan itu eksis, maka selama itu juga dia eksis untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. Seharusnya parpol mengkaji proses-proses ekonomis, politis, sosial, budaya dan ideologis di dalam masyarakat, karena keadilan sosial adalah keadilan yang pelaksanaannya tergantung dari struktur proses-proses ekonomis, politis, sosial, budaya dan ideologis itu. Struktur-struktur itu merupakan struktur-struktur kekuasaan dalam dimensi-dimensi utama kehidupan masyarakat. Masyarakat merupakan proses yang mengalir terus menurut struktur-struktur kekuasaan itu. Mengusahakan keadilan sosial dengan demikian berarti mengubah atau seperlunya membongkar strukturstruktur ekonomis, politis, sosial, budaya dan ideologis yang menyebabkan segolongan orang tidak dapat memperoleh apa yang menjadi hak mereka atau tidak mendapat bagian yang wajar dari hasil pekerjaan masyarakat sebagai keseluruhan. Semua ini harus ada dalam kajian partai politik untuk diperjuangkan menjadi bahan kebijakan pemerintah. Karena, pemerintah memiliki keterbatasan untuk mengetahui persoalan kesejahteraan di dalam setiap golongan masyarakat. Bukanlah suatu hal patut diuji, manakala terjadi kelaparan pada suatu kelompok masyarakat, lalu datang partai politik dengan spanduk partai yang 14
Parpol dan kesejahteraan masyarakat
Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA
lengkap dengan kata-kata yang indah, menurunkan bantuan pangan. Akan tetapi, peran parpol secara politik dalam konteks menciptakan kesejahteraan masyarakat bukanlah terutama dengan tindakan karitatif seperti itu, karena tindakan itu sesungguhnya bisa dilakukan oleh banyak lembaga karitatif yang memiliki kepekaan akan penderitaan sesama manusia. Yang utama dituntut dari parpol, maksudnya orang-orang parpol, bukan tindakan baik hati seperti tindakan karitatif itu, melainkan tindakan kebijakan politik. Parpol, begitu melihat fakta kemelaratan masyarakat, tampil ke depan mengkaji persoalan itu dan kemudian memperjuangkan kepada pemerintah agar kondisi itu segera diatasi. Melalui pengkajian kritis, parpol bisa membongkar ketidakadilan yang menjadi sebab kemelaratan warga masyarakat. Parpol harus berani membongkar struktur ketidakadilan, karena sebenarnya pengakuan teoretis terhadap kewajiban negara untuk mengusahakan keadilan sosial tidak berarti bahwa kewajiban itu sungguhsungguh diusahakan oleh pemerintah. Karena, pembongkaran ketidakadilan struktural dengan sendirinya bertentangan dengan kepentingan-kepentingan golongan yang berkuasa. Struktur-struktur yang tidak adil hanya tumbuh dan dipertahankan karena memenangkan kepentingan-kepentingan golongangolongan yang kuat terhadap kepentingan-kepentingan yang lemah. Jadi golongan-golongan yang menguasai masyarakat justru dan dengan sendirinya beruntung dari kenyataan bahwa golongan-golongan lemah tidak sanggup untuk mengambil apa yang sebenarnya menjadi hak mereka. 5. Penutup Harapan bahwa keadilan sosial dapat diciptakan semata-mata dari atas (pemerintah) adalah naif. Karena umumnya mereka yang beruntung „di atas“ cenderung mempertahankan kedudukan yang menguntungkan itu. Karena itu, sangat besar diharapkan agar parpol membongkar struktur-struktur yang tidak adil itu. Adalah mustahil, pihak yang lagi menikmati keuntungan itu relah membongkar struktur-struktur yang tidak adil itu, karena pembongkaran itu sudah jelas bertentangan dengan kepentingan mereka. Mengusahakan keadilan sosial selalu bertentangan dengan kepentingan mereka yang sudah mantap dan berkuasa. Karena itu tidak masuk akal untuk mengharapkan bahwa ketidakadilan struktural sungguh-sungguh dapat dibongkar hanya dari atas saja. Hanya, yang perlu dijaga, adalah bahwa parpol tidak mereduksi tugas untuk menjamin kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat yang menderita kemiskinan dan kelaparan dengan melakukan sekedar tindakan karitatif, yakni memberikan sumbangan barang-barang materiil. Tentu tindakan memberikan bantuan pada saat orang menderita tidak salah baik secara moral maupun secara hukum. Akan tetapi, tugas partai politik adalah terutama 15
Parpol dan kesejahteraan masyarakat
Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA
mengkaji secara kritis persoalan itu dan mengajukan kebijakan politik untuk mengatasinya. Karena, seperti telah dijelaskan di atas, bahwa penderitaan yang dialami masyarakat tidak semata-mata sebagai akibat ketidakmampuan mereka sebagai individu melainkan juga sebagai akibat ketidakadilan struktur masyarakat. Dalam masyarakat tertentu, sebab ketidakadilan struktural lebih besar dari pada sebab ketidakmampuan individual. Dalam kondisi seperti ini partai politik, maksudnya orang-orang partai di parlemen dan di luar parlemen, harus berani membongkarnya agar masyarakat itu bisa segera menikmati kesejahteraan seperti yang lain. Akan tetapi, politisi, baik yang sudah duduk di dalam parlemen maupun yang ada di luar parlemen, sejauh mereka politisi partai, harus memiliki pengetahuan standar politik dan pengetahuan yang memadai tentang persoalan-persoalan sosial, politik, ekonomi, agama dan budaya. Dari seluruh gambaran di atas, sesungguhnya masalah utama kita adalah masih rendahnya kapasitas politisi partai untuk menjalankan peran sebagai politisi. Tanpa kita menyadari ini sebagai masalah, maka kita tidak bisa mengharapkan banyak bahwa para aktor politik di parlemen dan di luar parlemen akan bisa dan sungguh-sungguh mengkaji serta memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. Atambua, 20 Februari 2010. Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA - Setelah menamatkan SMP dan SMA di Seminari Kisol, Manggarai, melanjutkan studi Filsafat/Teologi pada STFK Ledalero, Maumere, dan meraih gelar Sarjana Filsafat pada tahun 1989; lalu menjadi Staf Pengajar di Seminari Kisol, 19891990, dan kemudian menjadi Asisten Dosen bidang Teologi Dogmatik di bawah bimbingan Dr. Georg Kirchberger, SVD, pada STFK Ledalero, 1990-1991; akhirnya menjadi Dosen Tetap bidang Filsafat pada Fakultas Filsafat Agama, Unwira (Seminari Tinggi St. Mikhael, Penfui-Kupang) sejak 1991 sampai saat ini. - Menerima beasiswa dari KAAD Jerman (lembaga beasiswa dari Konperensi Para Uskup Jerman untuk kaderisasi awam katolik di seluruh dunia), untuk melanjutkan studi Program Magister (MA) dan Doktoral (Dr. phil.) dalam bidang Filsafat Politik pada Universitas München, Jerman. Tesis Magister dan Disertasi Doktoral tentang persoalan politik Indonesia ditulis dalam bahasa Jerman. Disertasi Doktoral tentang persoalan hubungan antara agama dan politik di Indonesia diterbitkan di Jerman, tahun 2009.
16