Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
PERUBAHAN TINGKAT KONSUMSI DAN PARTISIPASI RUMAHTANGGA TERHADAP TELUR ITIK WAHYUNING K . SEJATI Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kehyakan Pertanian Jln. A . Yani 70, Bogor ABSTRAK Telur itik merupakan sumber protein hewani yang penting peranannya bagi kesehatan masyarakat . Selain dalam bentuk telur segar, telur itik sangat disukai dalam bentuk telur asin . Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat seberapa besar tingkat konsumsi serta partisipasi masyarakat Indonesia terhadap telur itik, baik telur itik segar rpaupun telur asin . Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data mentah dari Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik setiap 3 tahun sekali . Data diambil pada tiga titik waktu yaitu tahun 1999, 2002 dan 2005 untuk Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timor, DI Yogyakarta dan Indonesia . Data diolah menurut kelompok wilayah (desa dan kota) dan menurut kelompok pendapatan (pendapatan rendah, sedang dan tinggi) . Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan produksi telur itik segar di Indonesia tahun 2000 sampai dengan 2005 secara nasional terus meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 6,42%/tahun . Produksi tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat dimana pada tahun 2005 tercatat sebanyak 34 .689 ton . Secara agregat tingkat partisipasi masyarakat terhadap konsumsi telur itik segar di wilayah pedesaan lebih tinggi dibanding wilayah kota (6,8 vs 4,68% pada tahun 2005), dengan tingkat konsumsi yang sama yaitu 0,28 kg/kapita/tahun pada tahun 2005 . Secara agregat pada tahun 2005 rumahtangga yang mengkonsumsi telur itik segar meningkat seiring dengan bertambahnya tingkat pendapatan, yaitu 2,94% untuk rumahtangga berpenghasilan rendah, 4,65% penghasilan sedang, dan 5,56% pada penghasilan tinggi, dengan konsumsi berturut-turut 0,20 ; 037 dan 0,52 kg/kapita/tahun . Pada komoditas telur asin, kondisinya berbeda . Di kota, partisipasi masyarakat yang mengkonsumsi telur asin lebih tinggi dibanding didesa, demikian pula dengan tingkat konsumsinya . Kata kunci : Tingkat konsumsi, partisipasi, telur itik PENDAHULUAN Pola konsumsi khususnya konsumsi pangan rumahtangga merupakan salah satu faktor penentu tingkat kesehatan, kecerdasan serta produktivitas rumahtangga. Di tingkat rumah tangga, ketahanan pangan dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dan wilayah, serta tingkat pendapatan atau daya beli (RACHMAN dan SuPiuYATi, 2002) . Semakin tinggi tingkat pendapatan, maka konsumsi pangan hewani cenderung semakin tinggi (HERMANTO et al ., 1996) . Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1996 menunjukkan bahwa walaupun secara total konsumsi protein di Indonesia telah melampaui jumlah yang direkomendasikan, namun konsumsi protein hewani masih rendah (BPS, 1999) . Sebagai salah satu sumber pangan, telur itik merupakan sumber gizi protein hewani yang sangat digemari masyarakat . Disamping dapat dikonsumsi
216
langsung, telur itik merupakan bahan baku industri makanan jadi, misalnya kerupuk, mie, roti, telur asin dan sebagainya. Sejalan dengan hal tersebut, maka produksi telur itik terus berkembang . Dengan latar belakang tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat partisipasi (%) konsumsi mayarakat terhadap telur itik baik telur itik segar maupun telur asin serta tingkat konsumsi (kg/kapita/ tahun) masyarakat terhadap telur itik . METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan den-an menggunakan data mentah dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh BADAN PUSAT STATISTIK pada tahun 1999, 2002 dan 2005, untuk Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, DIY dan Indonesia. Data tersebut kemudian diolah berdasarkan tingkat wilayah (desa, kota) serta
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
berdasarkan tingkat pendapatan (rendah,sedang dan tinggi) . Komoditas yang diamati dalam penelitian ini adalah telur itik, yaitu telur itik segar dan telur asin . Variabel yang diamati adalah tingkat konsumsi per kapita berdasarkan wilayah dan tingkat pendapatan, dan tingkat partisipasi konsumsi berdasarkan tingkat pendapatan dan wilayah . Tingkat partisipasi didefinisikan sebagai persentase rumah tangga contoh yang mengkonsumsi komoditas tertentu (SUYANTO, 1992). Dalam penelitian ini perubahan tingkat partisipasi konsumsi dilihat dari dua sisi . yaitu (1) partisipasi menurut wilayah . yaitu wilayah kota dan wilayah desa; dan (2) partisipasi menurut kelompok pendapatan . yaitu kelompok pendapatan rendah . sedang dan tinggi . Data pendapatan diprediksi dari pengeluaran rumahtangga, seperti yang dilakukan oleh ARININGSIH (2002) . Hal ini karena nilai pendapatan rumahtangga sering kurang akurat, terutama untuk rumahtangga yang memiliki lebih dari satu orang pencari nafkah . HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan produksi telur itik Produksi telur itik di Indonesia pada tahun 2005 tercatat 194 .957 ton . dengan laju pertumbuhan rata-
rata selama lima tahun terakhir sebesar 6,42% per tahun (Tabel 1) . Tiga provinsi terbesar penghasil telur itik yaitu berturut-turut Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari ketiga provinsi tersebut Jawa Barat merupakan sentra produksi telur itik terbesar di Indonesia, dengan produksi tahun 2005 sebanyak 34 .689 ton atau menyumbang sekitar 18% dari produksi Indonesia . Sentra produksi terbesar kedua adalah Jawa Tengah, dengan laju pertumbuhan tertinggi yaitu 17,05% per tahun . Perubahan tingkat partisipasi konsumsi telur itik Tabel 2 menyajikan tingkat partisipasi masyarakat terhadap telur itik dilihat dari kelompok wilayah . Pada Tabel tersebut nampak bahwa tingkat partisipasi konsumsi telur itik dari tahun ke tahun terlihat sangat beragam, namun secara agregat tampak bahwa untuk wilayah pedesaan, partisipasi konsumsi-nya terlihat lebih tinggi dibanding wilayah kota, baik pada kondisi tahun 1999, 2002 maupun pada tahun 2005 . Dilihat dari kelompok pendapatan, perubahan tingkat partisipasi menunjukkan kecenderungan bahwa semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi pula partisipasi rumahtangga mengkonsumsi telur itik (Tabel 3) .
Tabel 1 . Perkembangan produksi telur itik di beberapa provinsi tahun 2000-2005 (ton) Tahun Provinsi Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur DIY Indonesia
2000 27 .492 15 .974 10 .819 1 .061 144.305
2001 25 .516 15 .049 16.260 1 .061 157 .578
2002 28 .073 15 .919 16 .384 961 169 .651
2003 32 .379 16 .931 16 .520 1 .164 185 .037
2004 31 .906 19 .641 16 .686 1 .433 173 .222
Tabel 2 . Perubahan tingkat partisipasi konsumsi telur itik menurut wilayah (%) Kota Provinsi Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Indonesia
1999 2,11 3,65 4,19 0,85 3,48
2002 7,65 4,38 3,33 2,45 4,31
2005 2,77 4,67 4,33 2,00 4,68
1999 8,17 5,72 3,32 2,10 6,87
2005 34 .689 31 .997 16 .863 1 .852 194 .957
R ( %/tahun) 5,09 17,05 10,79 12,81 6,42
Desa 2002 6,44 5,92 3,41 1,99 7,69
2005 5,43 3,66 2,60 2,51 6,80
217
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam'Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
Tabel 3 . Perubahan tingkat partisipasi konsumsi telur itik menurut kelompok pendapatan (%) Provinsi
Pendapatan rendah
Pendapatan tinggi
Pendapatan sedang
1999
2002
2005
1999
2002
2005
1999
2002
2005
5,18
7,25
3,67
5,94
5,12
4,50
7,01
4,06
4,19
3,57
4,24
3,67
6,99
5,52
4,24
6,91
7,82
5,18
0,75
1,99
2,21
2,26
2,13
2,27
1,91
2,52
2,55
DIY
1,99
2,59
3,04
3,46
3,37
4,13
7,88
5,23
3,69
Indonesia
4,16
5,52
5,16
5,99
6,10
6,52
7,34
7,20
6,31
Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur
Kecuali untuk wilayah Jawa Barat pada tahun 2002 dimana semakin tinggi pendapatan semakin rendah partisipasinya . Jawa Tengah cenderung memiliki partisipasi yang paling tinggi khususnya, yaitu 7,82% pada tahun 2002 . Namun demikian pada tahun 2005 kondisinya menurun menjadi
telur itik mempunyai nilai gizi yang tinggi serta ukurannya lebih besar daripada telur ayam . Pada umumnya yang mengkonsumsi telur itik untuk jamu adalah kaum laki-laki . Sementara untuk kaum perempuan, lebih banyak meng-konsumsi telur ayam kampung . Perubahan konsumsi telur itik menurut wilayah kota dan desa disajikan dalam Tabel 4 . Dari tabel tersebut dapat disimak bahwa perubahan konsumsi telur itik terlihat beragam baik dilihat dari tahun maupun lokasi. Meskipun demikian terdapat kecenderungan bahwa di wilayah desa, konsumsi telur lebih tinggi dibanding di kota . Namun untuk tahun 2005, secara agregat konsumsi telur di desa terlihat sama dengan di kota yaitu 0,28 kg/ kapita/ tab un .
5,15%. Perubahan tingkat konsumsi telur itik Telur itik banyak dikonsumsi untuk keperluan khusus, seperti pembuatan martabak, bahan dasar pembuatan mie atau bahkan pada dewasa ini telur itik banyak dikonsumsi sebagai campuran minum jamu . Alasan yang dikemukakan penjual jamu tradisional di berbagai kota menyebutkan bahwa
Tabel
Perubahan konsumsi telur itik menurut wilayah (kg/th/kapita) Kota Provinsi 4.
Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Indonesia
2002
2005
1999
2002
2005
0,09
0,28
0,10
0,36
0,32
0,28
0,14
0,22
0.26
0,23
0,28
0,22
0,22
0,20
0,28
0,21
0,19
0,17
0,05
0,11
0,10
0,08
0,08
0,14
0,18
0,27
0,28
0,31
0,42
0,28
Ditinjau dari kelompok pendapatan (label 5), perubahan tingkat konsumsi telur itik meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan . Namun demikian di Jawa Barat pada tahun 2002 untuk rumahtangga berpendapatan sedang justru konsurnsinya lebih kecil dibanding rumahtangga
218
Desa
1999
ber-penghasilan rendah . Hal yang menarik adalah bahwa konsumsi rumahtangga di Indonesia lebih besar dibanding yang terjadi di beberapa provinsi penelitian . Hal ini mengindikasikan bahwa di provinsi lain (luar Jawa) konsumsi telur itik lebih besar dibandingkan di Jawa .
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
Tabel 5 . Perubahan tingkat konsumsi telur itik menurut kelompok pendapatan (kg/tahun/kapita) Provinsi
Pendapatan rendah 1999 2002 2005
Pendapatan sedang 1999 2002 2005
1999
Pendapatan tinggi 2002 2005
Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur
0,21 0,15 0,03
0,39 0,22 0,10
0,11 0,14 0,09
0,27 0,21 0,08
0,22 0,25 0,07
0,20 0,24 0,13
0,32 0,28 0,11
0,26 0,33 0,13
0,30 0,42 0,17
DIY Indonesia
0,08 0,20
0,15 0,34
0,16 0,20
0,17 0,27
0,20 0,35
0,23 0,37
0,57 0,35
0,30 0,37
0,37 0,52
Perubahan tingkat partisipasi konsumsi telur
dilihat dari provinsi, nampak bahwa Jawa Tengah,
asin
khususnya di wilayah kota, memiliki partisipasi tertinggi yaitu 9,08% pada tahun 2005
(Tabel
Telur asin merupakan sumber protein hewani
6) . Hal ini dapat dipahami karena Jawa Tengah,
yang cukup banyak diminati masyarakat . Telur
khususnya di Daerah Brebes, merupakan sentra
asin banyak dijual baik di tingkat kios kecil, pasar
produksi telur asin.
tradisional, bahkan hampir semua pasar modem
Partisipasi rumahtangga yang meng-konsumsi
menjual jenis ini . Partisipasi makan telur asin
telur asin menurut kelompok pendapatan nampak
rumahtangga di kota lebih tinggi dibanding di desa .
bahwa Jawa Barat memiliki tingkat partisipasi
Hal ini berbeda dengan telur itik segar, dimana
tertinggi (9,23% pada posisi tahun 2002), yang
masyarakat desa
kemudian disusul oleh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perubahan tingkat partisipasi rumahtangga
mengkonsumsi lebih banyak
dibanding yang di kota . Perubahan tingkat partisipasi juga meningkat dari tahun ke tahun, kecuali pada tahun 2005 untuk
yang mengkonsumsi telur asin meningkat dari tahun 1999, 2002 dan 2005 untuk semua Provinsi .
wilayah Indonesia tingkat partisipasinya sedikit
Peningkatan partisipasi juga terjadi seiring dengan
menurun baik di wilayah desa maupun kota . Bila
meningkatnya pendapatan (Tabel 7) .
Tabel 6 . Perubahan tingkat partisipasi konsumsi telur asin menurut wilayah (%) Provinsi
Kota
Jawa Barat Jawa Tengah DIY
1999 4,40 4,32 4,39
2002 6,75 7,39 5,13
2005 8,38 9,08 8,95
1999 4,37 2,36 1,67
Jawa Timur Indonesia
4,39 3,24
8,20 6,97
8,32 6,36
1,63 1,90
Desa 2002
2005
7,97 3,62 2,28
7,10 4,76 3,02
2,48 2,68
3,12 2,62
Tabel 7 . Perubahan tingkat partisipasi konsumsi telur asin menurut kelompok pendapatan (%) Provinsi Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur DIY Indonesia
Pendapatan rendah 1999 2002 2005 6,06 3,48 3,59 4,91 2,40 3,34 1,63 2,33
2,66 1,70
1,83
3,68
2,67 4.35 2,94
Pendapatan tinggi
Pendapatan sedang 1999 2002 2005 4,18 7,95 8,87 3,07 5,34 6,97 4,71 6,07 2,54
1999 6,46 4,43 4,42
2002 9,23 8,61 6,60
2005 8,79 8,68 8,73
2,55 2,51
5,66 3,33
8,48 6,01
5,42 5,56
3,72 5,31
9,13 4,65
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarkkat
Bila dilihat dari tingkat konsumsi di masingmasing provinsi, nampak bahwa hampir seluruh angka yang tertera pada Tabel 8 berada di bawah 0,52 (tingkat konsumsi agregat tahun 2005 untuk kelompok pendapatan tinggi), kecuali DIY tahun 1999 untuk rumahtangga dengan pendapatan tinggi (0,72 kg/tahun/kapita).
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu 0,40 kg/kapita/tahun . Perubahan yang terjadi dari tahun ke tahun terlihat terus meningkat baik pada wilayah kota maupun desa, di semua provinsi . Di Indonesia, tingkat konsumsi telur asin meningkat seiring dengan tingkat pendapatan . Pada tahun 2005, konsumsi telur asin untuk masyarakat berpendapatan tinggi, tercatat 0,52 kg/tahun/kapita (label 9) . Angka ini lebih tinggi dibanding masyarakat berpenghasilan sedang (0,15 kg/tahun/kapita) dan yang berpenghasilan rendah yaitu 0,07 kg/tahun/ kapita . Hal ini dapat dipahami karena untuk masyarakat berpenghasilan tinggi secara otomatis memiliki daya beli yang lebih besar. Namun bila dilihat perkembangan dari tahun ke tahun nampak bahwa tingkat konsumsi telur berfluktuatif untuk semua tingkat pendapatan .
Perubahan tingkat konsumsi telur asin label 8 menyajikan perubahan konsumsi telur asin menurut wilayah desa dan kota . Informasi yang didapat dari tabel ini yaitu bahwa secara agregat tingkat konsumsi telur asin pada tahun 2005 untuk wilayah kota adalah 0,22 kg/kapita/tahun sementara di desa tingkat konsumsi sebesar 0,09 kg/kapita/ tahun. Kondisi tertinggi terjadi di Wilayah Kota
Tabel 8 . Perubahan konsumsi telur asin menurut wilayah (kg/th/kapita) Kota Provinsi Jawa Barat Jawa Tengah DIY
Jawa Timur Indonesia
1999 0,13 0,14 0,18 0,14 0,09
2002 0,19 0,25 0,24 0,29 0,22
2005 0,24 0,30 0,40 0,29 0,22
Desa 1999 0,13 0,07 0,08 0,06 0,05
2002 0,25 0,12 0,09 0,08 0,08
2005 0,23 0,14 0,12 0,10 0,09
Tabel 9 . Perubahan tingkat konsumsi telur asin menurut kelompok pendapatan (kg/th/kapita) Provinsi JawaBarat Jawa Tengah JawaTimur DIY Indonesia
Pendapatan rendah
Pendapatan sedang
1999 0,13 0,17
2002 0,15 0,11
2005 0,12 0,10
1999 0,10 0,10
0,06
0,07
0,06
0,10
0,17
0 .07 0,07
0,10 0,11
0,14 0,07
0,15 0,07
0,32 0,16
KESIMPULAN 1 . Perkembangan produksi telur itik di Indonesia'dari tahun 2000 s/d 2005 secara nasional terus meningkat dengan rata-rata laju pertumbuhan 6,42 %/tahun . Produksi tertinggi terdapat di Jawa Barat dimana pada tahun 2005 tercatat sebanyak 34,69 ton . 2 . Tingkat partisipasi masyarakat terhadap konsumsi telur itik di wilayah pedesaan lebih tinggi dibanding wilayah kota .
220
2002 0,24 0,18
2005 0,28 0,23 0,20 0,39 0,15
Pendapatan tinggi 1999 0,16 0,16
0,16 0,72 0,10
2002 0,32 0,32 0,35 0,34 0,19
2005 0,30 0,42
0,17 0,37 0,52
3 . Secara agregat rumahtangga yang mengkonsumsi (partisipasi) telur itik maupun telur asin meningkat seiring dengan bertambahnya tingkat pendapatan masyarakat . 4 . Secara agregat tingkat konsumsi telur itik di wilayah desa lebih tinggi dibanding wilayah kota . Konsumsi telur itik tertinggi dicapai di Jawa Barat pada tahun 1999, yaitu 0,36 kg/ tahun/kapita.
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
5 . Tingkat partisipasi maupun konsumsi telur asin dari kota lebih tinggi daripada di desa .
DAFTAR PUSTAKA
ARININGSIH, E . 2002 . Perilaku konsumsi pangan sumber
protein hewani dan nabati sebelum dan pada masa krisis ekonomi di Jawa . Thesis . Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. BADAN PUSAT STATISTIK . 2005 . Survei sosial ekonomi
Nasional : Konsumsi, kalori, protein penduduk Indonesia dan Provinsi 1999-2005 . Buku 3 . Badan Pusat Statistik . Jakarta .
T. SUDARYANTO dan A. PuRwoTO . 1996. pendugaan elastisitas Pola konsumsi dan produk peternakan . Dalam : HASTIONO et al., Ed. Prosidings Seminar Peternakan dan Veteriner . Cisarua, 7-8 November 1995 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor .
HERMANTO,
RACHMAN, HPS, dan SuPRIYATI . 2002 . Pola konsumsi Jan
pengeluaran rumah tangga : Kasus rumah tangga di pedesaan Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Makalah Seminar di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonmi Pertanian . SuYANTO . 1992 . Demand analysis of poultry products on
Java . Jurnal Agroekonomi 1 (20 :1-13) .
22 1