TESIS
WACANA KONFLIK LINGKUNGAN DALAM TEKS FILM ANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI
IDA AYU WIDIASTUTI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
WACANA KONFLIK LINGKUNGAN DALAM TEKS FILM ANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI
IDA AYU WIDIASTUTI NIM 1190161030
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
WACANA KONFLIK LINGKUNGAN DALAM TEKS FILM ANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana
IDA AYU WIDIASTUTI NIM 1190161030
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
Lembar Persetujuan Pembimbing
TESIS INI TELAH DISETUJUI Tanggal 9 Desember 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. NIP 19440923 197602 1 001
Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum. NIP 19621214 199010 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum. Sp.S(K). NIP 19620310 198503 1 005
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, NIP 19590215 198510 2 001
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 9 Desember 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No. 4407/UN.14.4/HK/2014 Tanggal 26 November 2014
Ketua
: Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U.
Anggota : 1. Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum. 2. Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S. 3. Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt. 4. Dr. I Wayan Suardiana, M.Hum.
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Ida Ayu Widiastuti
NIM
: 1190161030
Program Studi
: Linguistik, Konsentrasi Wacana Sastra
Judul Tesis
: “Wacana Konflik Lingkungan dalam Teks Film Animasi Mononoke Hime Karya Hayao Miyazaki”
dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah ini bebas plagiat.
Apabila pada kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 17, Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 9 Desember 2014 Yang membuat pernyataan,
Ida Ayu Widiastuti
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena hanya atas Asung Wara Nugraha-Nya, tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D.KEMD., selaku Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K)., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, dan Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, terima kasih atas fasilitas, motivasi, dan waktunya. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana. Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U., selaku pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan kesabarannya pada saat membimbing penulis. Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum., selaku pembimbing II, terima kasih atas waktu yang diluangkan selama membimbing dan saran-saran yang diberikan untuk kemajuan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum., selaku pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi dari masa perkuliahan hingga penelitian tesis. Kepada para penguji yang selalu membaca dengan cermat dan mengkritisi penelitian ini dari proposal hingga penulisan tesis, penulis mengucapkan terima kasih. Sumbangan pemikiran dari mereka sangat berarti dan memberikan pedoman bagi kesempurnaan penelitian ini. Para dosen di Program Studi Magister Linguistik, khususnya di Konsentrasi Wacana Sastra yang selalu memberikan ilmu tanpa pamrih. Kepada pegawai administrasi dan perpustakaan Program Studi Magister Linguistik, yang selalu membantu penulis dengan penuh kebaikan dan keramahan. Kepada para dosen Program Studi Sastra Jepang Universitas Udayana, khususnya Bu Mita dan Bu Silvi. Terimakasih atas motivasi dan bantuannya dalam memeroleh sumber data dan informasi yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini.
Kepada ayah (Ida Bagus Wisnawa) dan ibu (Ida Ayu Astiti) yang selalu memberikan dukungan, baik moral maupun materi. Kepada ayah mertua (Ida Bagus Dirga) dan ibu mertua (Ida Ayu Puspawati) yang selalu memberikan dorongan secara moral. Terima kasih banyak atas kasih yang diberikan dengan terwujudnya tesis ini setidaknya merupakan bagian kecil yang bisa membuat bangga keluarga. Kepada Ida Bagus Adinugraha suami tercinta yang dengan sepenuh hati mendukung penulis menjalani perkuliahan dan membantu menyelesaikan tugas akhir ini. Seluruh keluarga besar penulis yang memberikan semangat untuk menyelesaikan tesis ini. Terima kasih pula kepada teman-teman seperjuangan angkatan 2011 Konsentrasi Wacana Sastra (Dian, Ari, Widi, Putri, Alit, Suana, Ngurah, Bligus, Bli Widana, Bli Artayasa, dan Bli Supertama) yang selalu memberikan masukanmasukan dan dukungan selama ini. Chinatsu yang telah menyediakan waktu di tengah kesibukannya dan membantu dalam memeroleh sumber data dan informasi yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Semoga Tuhan memberikan rahmat dan karunia kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Akhir kata, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat dan bisa menambah wawasan bagi para pembaca.
Denpasar, 9 Desember 2014
Penulis
ABSTRAK
WACANA KONFLIK LINGKUNGAN DALAM TEKS FILM ANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI
Penelitian ini mengkaji wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki. Alasan pemilihan film animasi ini karena masalah konflik lingkungan disajikan Hayao Miyazaki dengan memasukkan unsur agama Shinto yang dikemas dalam film animasi modern. Analisis teks film animasi Mononoke Hime bertujuan untuk menguraikan bentuk, fungsi, dan makna wacana konflik lingkungan yang berkaitan dengan sumber daya alam. Dialog antar tokoh dalam film animasi yang telah dipilih dalam penelitian ini, ditranskripsi dengan teknik catat lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Data dianalisis dengan metode deskriptif analitik lalu disajikan dengan metode informal. Penelitian ini menggunakan teori semiotika dan teori konflik. Hasil analisis menunjukkan bahwa Mononoke Hime terjadi pada zaman Muromachi. Pada saat alam dikuasai oleh manusia dengan teknologi, maka rasa hormat terhadap penguasa alam yang disebut Kami semakin hilang. Pada saat itu terjadi konflik antara kelompok Kami dan kelompok manusia. Kelompok Kami memiliki gagasan bahwa sumber daya alam harus dilindungi agar dapat dinikmati seluruh makhluk hidup dalam jangka waktu panjang. Namun, populasi manusia terus bertambah sehingga kebutuhan terus meningkat. Oleh karena itu, kelompok manusia memiliki gagasan bahwa sumber daya alam harus dieksploitasi untuk kesejahteraan hidup. Apabila sumber daya alam terus menerus dieksploitasi maka persediaannya akan habis dan berdampak pada kerusakan lingkungan. Konflik ini disebabkan oleh faktor lingkungan sehingga konflik lingkungan menjadi wacana utama dalam penelitian ini. Penelitian ini menyimpulkan bahwa konflik lingkungan berfungsi positif yaitu untuk memperkuat solidaritas dalam kelompok internal. Selain itu konflik juga berfungsi sebagai pengendalian sosial agar tercipta integrasi sosial. Konflik lingkungan memiliki makna penghormatan atas alam sehingga terwujud harmonisasi alam. Namun konflik ini juga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang dapat menimbulkan bencana bagi kehidupan seluruh makhluk hidup. Oleh karena itu, harmonisasi yang disertai penghormatan atas alam harus segera diwujudkan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Kata kunci: teks film animasi Mononoke Hime, konflik lingkungan, harmonisasi alam
ABSTRACT
ENVIRONMENTAL CONFLICT DISCOURSE IN ANIMATION FILM TEXT OF MONONOKE HIME BY HAYAO MIYAZAKI
This study analysis environmental conflict discourse in the text of animation film of Mononoke Hime by Hayao Miyazaki. The reason of this film is chosen because of the environmental conflict issues has been presented by Hayao Miyazaki with combination of elements of Shinto religion are packed in modern animation movie. The analysis of animation movie subtitles of Mononoke Hime is aim to elaborate the form, function and meaning of environmental conflict discourse which related to the natural resources. The dialogue among the figures in the animation movie that has been chosen in this research, it is transcribed by technical note then translate into Bahasa Indonesia. The data are analyzed by analytic descriptive method, and then it is served by informal method. This research use semiotic theory and conflict theory. The analysis result show that Mononoke Hime occur in the Muromachi period. When the nature was controlled by the humans with technology, then the respectfulness to the natural ruler called Kami are getting lost. The conflict was occurred at that time between the group of Kami and the group of humans. The group of Kami have an idea that the natural resources must be protected in order to enjoy by all living things in the long term. However, humans populations are rapidly increase so they need to go up. Therefore, groups of humans have the idea that natural resources should be exploited to welfare. If the natural resources are constantly exploited, it will affect to the out of supply and the environmental damages. The conflicts are caused by environmental factors whereas the environmental conflicts become the main discourse in this study. This research conclude that environmental conflicts are positively useful to strengthen the solidarity in the internal group. In addition, the conflicts also serves as a social control in order to create social integration. Environmental conflicts have meaning of respect to the nature to realize a natural harmony. Nevertheless, these conflicts also cause environmental damage that can lead to disaster for the entire life of human being. Therefore, harmonization with respect to the nature must be realized in order to create a better future.
Key words: animation film text of Mononoke Hime, environmental conflict, natural harmonization
DAFTAR ISI SAMPUL DALAM PRASYARAT GELAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT PENETAPAN PANITIA PENGUJI UCAPAN TERIMA KASIH ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR BAGAN DAFTAR GAMBAR GLOSARIUM
i ii iii iv v vi viii ix x xiii xiv xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum 1.3.2 Tujuan Khusus 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis 1.4.2 Manfaat Praktis
1 1 8 9 9 9 10 10 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.2 Konsep 2.2.1 Konflik Lingkungan 2.2.2 Teks Film Animasi 2.2.2 Mononoke Hime 2.3 Landasan Teori 2.3.1 Teori Konflik 2.3.2 Teori Semiotika 2.4 Model Penelitian
12 12 17 17 18 20 20 21 22 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian 3.2 Jangkauan Penelitian 3.3 Jenis dan Sumber Data 3.4 Instrumen Penelitian 3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data 3.6 Metode dan Teknik Analisis Data 3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
27 27 28 28 28 29 29 29
BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JEPANG PADA ZAMAN MUROMACHI DAN KONFLIK DALAM TEKS FILM ANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI 31 4.1 Sinopsis 31 4.2 Hubungan Manusia dan Alam dalam Agama Shinto 34 4.3 Keadaan Sosial pada Zaman Muromachi 36 4.4 Pemetaan Konflik 39 4.4.1 Kelompok Tatara Ba 39 4.4.2 Kelompok Kami 42 4.4.3 Kelompok Jiko Bou 48 4.4.4 Kelompok Samurai 50 4.4.5 Ashitaka 50 4.4.6 Bagan Pemetaan Konflik 52 4.5 Dinamika Konflik 53 4.5.1 Prakonflik 54 4.5.2 Konfrontasi 54 4.5.3 Krisis 55 4.5.4 Pascakonflik 56 BAB V BENTUK WACANA KONFLIK LINGKUNGAN DALAM TEKS FILM ANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI 58 5.1 Bahasa 58 5.1.1 Sonkeigo 59 5.1.2 Kenjoogo 60 5.1.3 Keitai 62 5.1.4 Jootai 63 5.2 Gaya Bahasa 65 5.2.1 Repetisi 65 5.2.2 Idiom 68 5.3 Bentuk Wacana Konflik Lingkungan dalam Mononoke Hime 69 5.3.1 Bentuk Wacana Perlindungan Alam 70 5.3.2 Bentuk Wacana Eksploitasi Alam 74 BAB VI FUNGSI WACANA KONFLIK LINGKUNGAN DALAM TEKS FILM ANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI 82 6.1 Solidaritas Internal Masyarakat Jepang dalam Mengatasi Konflik Lingkungan 82 6.2 Pengendalian Sosial Masyarakat Jepang dalam Menjaga Harmonisasi Alam 91 6.3 Integrasi Sosial Masyarakat Jepang dalam Mewujudkan Harmonisasi Alam 98 BAB VII MAKNA WACANA KONFLIK LINGKUNGAN DALAM TEKS FILM ANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI 102 7.1 Penghormatan Atas Alam 102 7.2 Kerusakan Lingkungan 110 7.3 Harmonisasi Alam 115
7.4 Pencerahan
121
BAB VIII PENUTUP 8.1 Simpulan 8.2 Saran
122 122 126
DAFTAR PUSTAKA
127
LAMPIRAN Biografi Hayao Miyazaki
DAFTAR BAGAN
1. Bagan I Model Penelitian 2. Bagan II Bagan Pemetaan Konflik 3. Bagan III Hubungan Alam, Kami, manusia dalam agama Shinto
25 52 103
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 4.1 Eboshi memegang ishibiya 2. Gambar 4.2 Shishigami dan Daidarabocchi 3. Gambar 4.3 Inugami 4. Gambar 4.4 Inoshishigami yang dipimpin Okkotonushi 5. Gambar 4.5 Shoujou 6. Gambar 4.6 Kodama 7. Gambar 4.7 Jiko Bou dan Karakasaren 8. Gambar 4.8 Jibashiri 9. Gambar 4.9 Pasukan samurai 10. Gambar 4.10 Ashitaka 11. Gambar 6.1 Ashitaka memerhatikan para wanita yang menginjak fuigo 12. Gambar 7.1 Tatara Ba 13. Gambar 7.2 Kodama mati akibat lendir hitam 14. Gambar 7.3 San dan Ashitaka mengembalikan kepala Shishigami
39 42 44 45 46 47 48 49 50 51 86 111 114 116
GLOSARIUM A Anime
F Fuigo pembakaran
: Diadaptasi dari kata animation dalam bahasa Inggris dan digunakan di seluruh dunia untuk merujuk kepada kartun animasi yang diproduksi oleh seniman Jepang.
: Alat untuk menghasilkan angin yang membantu proses pasir besi. Fuigo tersebut menggunakan papan kayu yang diinjak naik dan turun untuk menghasilkan angin.
G Gekokujo
H Harae
Hokucho
: Keadaan masyarakat di mana bawahan memberontak kepada atasan.
: Upacara dalam agama Shinto untuk menghilangkan segala macam kekotoran, kesalahan, dan kesengsaraan dengan memanjatkan doa kepada para dewa. : Istana utara yang didirikan oleh Ashikaga Takauji untuk mendirikan kekaisaran baru di Kyoto.
I Inoshishigami : Pasukan dewa yang berbentuk babi hutan berukuran besar dan berwarna coklat tua. Kelompok ini dipimpin oleh Okkotonushi. Inugami : Dewa yang berbentuk serigala. kelompok Inugami yang terdiri atas San, Moro, dan anaknya. Ishibiya : Senjata api yang diperkenalkan ke Jepang pada tahun 1543 oleh bangsa Portugis saat melakukan perdagangan. Ishibiyashuu : Pasukan yang bersenjatakan senjata api yang diberikan Jiko Bou kepada Eboshi untuk membantunya membangun pabrik pengolahan besi. Ittaikan : Semangat kerja sama dan kebersamaan dalam kelompok yang lahir dan orang-orang yang masuk ke suatu kelompok tanpa membawa keterampilan atau keahlian yang menjadi pengalamannya. J Jibashiri Jinja
Jootai
: Pasukan pemburu. : Bangunan-bangunan dianggap suci dalam agama Shinto yang dikhususkan untuk keperluan memuja roh atau objek-objek t tertentu . : Bahasa ‘bentuk biasa’ yang setiap bagian akhir kalimatnya memakai verba bentuk kamus dengan berbagai bentuk perubahannya dalam bentuk biasa yang tidak hormat.
K Kami
: Sebutan untuk dewa dalam bahasa Jepang. Kami berarti segala bentuk kewujudan yang memiliki beberapa keistimewaan dan sifat-sifat yang menimbulkan rasa takut dan segan. Karakasaren : Pasukan suruhan kaisar yang dipimpin oleh Jiko Bou. Mereka mengenakan pakaian berwarna merah dan putih serta membawa payung yang disebut karakasa. Keitai : Keitai merupakan ‘bentuk hormat’ yang setiap bagian akhir kalimatnya selalu memakai verba bantu desu atau masu sebagai ungkapan menyatakan perasaan hormat. Kenjoogo : Cara bertutur kata yang menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara dengan cara merendahkan diri sendiri termasuk bendabenda, keadaan, aktivitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya. Kodama : Roh pohon. Kyoudotai : Kepercayaan dan keyakinan yang ada pada diri seseorang terhadap suatu tindakan yang bersifat kolektif. Setiap orang yang terlibat di dalam kelompoknya sudah dihadapkan dengan batasanbatasan yang menyangkut kebersamaan. M Matsuri
: Festival yang diadakan oleh orang Jepang untuk menghormati dewa-dewa setempat. Mononoke Hime : Putri dari makhluk antara roh dan monster. N Nanbokuchou : Zaman istana di utara (hokucho) dan selatan (Nanchō). Nanchou : Istana selatan yang didirikan kaisar bernama Godaigo. S Shimenawa Shishigami
: Tali dari jerami yang digunakan sebagai penanda suatu yang suci. : Dewa penguasa hutan yang berwujud rusa dengan banyak tanduk dan memiliki wajah seperti manusia. Shishigami memiliki kekuatan memberi kehidupan dan kematian kepada seluruh makhluk hidup. Shōgun : Jenderal atau panglima tertinggi. Shoujou : Kera Shuudanshikou : Orientasi kelompok yang menjadi kerangka berpikir orang Jepang terhadap kerja kelompok didasari kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok dalam suatu kehidupan sosial masyarakat yang diikat oleh kehidupan bekerja sama di dalam satu kehidupan kelompok atau masyarakat. Sonkeigo : Digunakan untuk menyatakan rasa hormat terhadap orang yang dibicarakan (termasuk benda-benda, keadaan, aktivitas, atau halhal lain yang berhubungan dengannya) dengan cara menaikkan derajat orang yang dibicarakan.
T Tatara Tatarigami
: Teknik pengolahan pasir besi menjadi besi. Tatara Ba adalah tempat pengolahannya. : Dewa kutukan.
Z Zaman Muromachi : Zaman pada saat terjadi banyak kekacauan sosial di Jepang sekitar tahun 1333-1568. Zaman Sengoku : Akhir zaman Muromachi saat terjadi perang dan pemberontakan antara pasukan panglima tertinggi bernama Ashikaga Takauji dan kaisar.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Konflik lingkungan yang dihadapi saat ini sebenarnya bersumber pada cara pandang manusia yang berbeda tentang sumber daya alam. Ada manusia yang menganut paham ekosentrisme 1 , teosentrisme 2 , tetapi sebagian besar manusia menganut paham antroposentrisme3 yang justru keliru. Kekeliruan tersebut telah menimbulkan berbagai bencana akibat kerusakan lingkungan yang akan mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Sumber kesalahan cara pandang yang demikian ternyata terletak pada masalah moral manusia untuk mematuhi etika lingkungan. Menurut Sutaryono (2008:42) penanaman nilai moral tidak dapat dilakukan secara mendadak, tetapi harus mengikuti perjalanan hidup manusia, yaitu mulai dari anak-anak, dewasa, hingga tua atau pendidikan sepanjang usia. Penanaman fondasi pendidikan lingkungan sejak dini menjadi solusi utama yang harus dilakukan agar generasi muda memiliki bekal pemahaman tentang lingkungan hidup yang kokoh. Masa anak-anak merupakan perjalanan yang kritis, sebagai generasi bangsa pada masa mendatang. Jika pengetahuan dan cara yang ditanamkan pada masa kanak-kanak itu benar, dapat diharapkan ketika berubah ke
1
Ekosentrisme adalah paham yang berpusat pada makhluk hidup secara keseluruhan dalam kaitan memberikan penghormatan terhadap semua spesies (Susilo, 2012:111). 2 Teosentrisme adalah paham tentang lingkungan yang memerhatikan lingkungan secara keseluruhan, yaitu antara hubungan manusia dan lingkungan. Namun, paham ini dibatasi oleh agama dalam mengatur hubungan manusia dan lingkungannya (Susilo, 2012:35). 3 Antroposentrisme menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta, sementara alam seisinya hanyalah alat bagi pemuasan kepentingan sehingga mereka dapat melakukan apa saja terhadap alam demi pemenuhan segala kebutuhannya (Sonny Keraf, 2010:47).
masa remaja dan dewasa, bekal pengetahuan, pembentukan perilaku, serta sikap dalam dirinya terhadap sesuatu akan positif. Film animasi merupakan salah satu sarana untuk mendidik anak-anak belajar melestarikan lingkungan. Gambar-gambar tokoh yang menarik dan lucu serta alur cerita yang sederhana membuat anak-anak memiliki keinginan untuk belajar melalui film animasi. Banyak film animasi yang telah mengangkat tema tentang lingkungan, baik film animasi barat maupun film animasi Jepang. Namun, film animasi Jepang memiliki keistimewaan tersendiri. Berbeda dengan film animasi barat, film animasi Jepang digunakan oleh animator-animator Jepang untuk mengeksplorasi berbagai macam gaya, ide cerita, serta tema, dari yang ditujukan untuk anak-anak, remaja, hingga dewasa. Selain itu, menurut Napier (2001:4--12) film animasi Jepang merupakan bentuk kesenian kontemporer dengan narasi yang khas dan estetika visual yang memuat budaya tradisional Jepang. Film ini juga berguna sebagai cerminan dari masyarakat Jepang kontemporer dengan berbagai materi yang memberikan wawasan mengenai isu, impian, dan kehancuran. Salah satu animator terkenal Jepang, Hayao Miyazaki telah menciptakan beragam film animasi, antara lain Kaze no Tani no Naushika, Tenkū no Shiro Rapyuta, Tonari no Totoro, Majo no Takkyūbin, Porco Rosso, Sen to Chihiro no Kamikakushi dan Mononoke Hime. Film yang tersukses adalah Sen to Chihiro no Kamikakushi yang berhasil mendapatkan gelar Film Animasi Terbaik dalam Academy Awards pada tahun 2002. Pada tahun 2005, Hayao Miyazaki dianugerahi gelar Penghargaan Kehormatan Seumur Hidup pada Festival Film Venesia (Diakses dari http://tipsindonesia.com/hayao-miyazaki-dan-studio-ghibli/ tanggal 20 Juni 2014).
Film animasi karya Hayao Miyazaki memiliki ciri khas dibandingkan dengan film animasi Jepang lainnya. Hayao sangat mendukung feminisme, karena dalam film animasinya perempuan diberikan hak untuk dapat bertahan dan membuat perubahan dalam masalah yang dihadapi. Ciri khas kedua dalam film Hayao adalah kekhasan pada tokoh antagonisnya. Inilah yang membuat filmnya digemari, karena tokoh-tokoh yang seharusnya bersifat jahat, tetapi ternyata memiliki sisi hati yang baik. Hayao sengaja mengaburkan hal ini dengan tujuan menciptakan resolusi nonkekerasan. Tema-tema film Hayao juga sangat kental dengan suasana penghormatan terhadap alam. Hayao mengajak penonton untuk melihat alam bukan sebagai objek eksploitasi, melainkan sahabat untuk dijaga, seperti dalam film Kaze no Tani no Nausicaa, Tonari no Totoro, dan Mononoke Hime. Kaze no Tani no Nausicaa dan Tonari no Totoro berlatar waktu pada zaman modern. Sebaliknya Mononoke Hime berlatar waktu pada zaman kuno, yaitu pada zaman Muromachi4. Film ini mengangkat tema tentang agama Shinto, khususnya penghormatan atas alam. Dalam Kaze no Tani no Nausicaa dan Tonari no Totoro tidak ada interaksi langsung antara manusia dan alam. Berbeda dengan tokoh binatang dalam Mononoke Hime yang diberikan kemampuan berbicara dengan manusia sehingga manusia dan alam dapat saling berinteraksi. Oleh karena itu, Mononoke Hime lebih menarik digunakan sebagai objek penelitian. Mononoke Hime terdiri atas dua kata, yaitu Mononoke dan Hime. Apabila diartikan dalam bahasa Indonesia, Mononoke berarti makhluk antara roh dan monster. Kata hime berarti putri. Jadi, Mononoke Hime dapat berarti putri dari
4
Pada zaman Muromachi terjadi banyak kekacauan sosial. Kekacauan ini berlangsung dari tahun 1333 ketika pasukan yang dipimpin oleh Ashikaga Takauji menghancurkan Keshogunan Kamakura sampai tahun 1568 ketika Oda Nobunaga merebut ibu kota Kyoto (Youko, 1996:73).
makhluk antara roh dan monster. Dalam film ini San disebut sebagai Mononoke Hime karena merupakan seorang manusia yang dibesarkan oleh Kami5 berbentuk serigala bernama Moro. Film animasi ini diproduksi oleh studio milik Hayao bernama Studio Ghibli pada 12 Juli 1997 dan berdurasi 133 menit dalam bentuk DVD. Penelitian ini menganalisis film animasi Mononoke Hime dalam bentuk teks yang telah ditranskripsi dan diterjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Film animasi ini menceritakan kisah seorang pemuda bernama Ashitaka yang terkena kutukan mematikan oleh Tatarigami 6 . Ia memulai perjalanan untuk memecahkan misteri kutukannya di negeri yang bernama Tatara Ba, tempat pengolahan pasir besi menjadi besi. Namun, tempat yang dikunjungi tersebut terseret dalam pertempuran sengit antara manusia dan Kami. Pemilihan film animasi tersebut disebabkan oleh sejumlah keistimewaan. Pertama, binatang-binatang dalam Mononoke Hime diberikan kemampuan untuk melawan manusia yang telah merusak alam sehingga penonton dapat melihat alam dari sisi yang berbeda. Binatang-binatang tersebut merupakan roh penjaga hutan digambarkan dalam bentuk hewan besar memiliki kekuatan dan dapat berkomunikasi dengan manusia yang disebut sebagai Kami. Personifikasi hewan tersebut dibuat oleh Hayao Miyazaki untuk menyatakan bahwa manusia harus memiliki rasa hormat yang lebih terhadap alam.
5
Kami adalah sebutan untuk dewa dalam bahasa Jepang. Kami berarti segala bentuk kewujudan yang memiliki beberapa keistimewaan dan sifat-sifat yang menimbulkan rasa takut dan segan. (Djam’annuri, 1981:18) 6 Tatarigami dapat berarti dewa kutukan. Orang-orang Tatara Ba yang dipimpin oleh Eboshi menembakkan bola logam menggunakan senapan untuk mengusir dewa dari hutannya. Hal ini menimbulkan kebencian dan marah dalam diri dewa hutan sehingga dewa tersebut terkena kutukan dan berubah menjadi Tatarigami.
Kedua, Mononoke Hime mengangkat tema tentang agama Shinto, yaitu pengormatan atas alam yang seiring dengan perkembangan zaman semakin hilang. Hayao Miyazaki mengangkat kembali tema ini dalam film animasinya untuk melestarikan kearifan lokal budaya Jepang. Penghormatan atas alam merupakan kepercayaan masyarakat primitif yang berpandangan bahwa dunia dan alam sekitarnya bukanlah objek, melainkan sebagai subjek seperti dirinya sendiri. Alam dan lingkungan memiliki kehendak atas manusia dan kehidupan manusia dikendalikan olehnya. Begitu kuatnya dominasi lingkungan mendorong manusia mengembangkan ritus-ritus yang berisi rantai hubungan gerak alam dengan kekuatan mitos supranatural (Ghazali, 2011:25--37). Dalam konteks ini, penghormatan manusia pada alam dan lingkungan bisa dikatakan cukup besar. Filosofi yang dianut masyarakat mengatakan bahwa alam perlu dihormati, dipelihara, dan diajak bersahabat. Konsep kepercayaan tersebut sama seperti kepercayaan masyarakat Jepang terhadap Kami dalam agama Shinto. Objek pemujaan agama Shinto adalah segala sesuatu yang dianggap sakral yang dijumpai manusia dalam alam sekitarnya yang dapat disebut dengan Kami (Djam’annuri, 1981:18). Kami dapat berwujud gejala alam, binatang, dan benda yang dianggap memiliki sifat-sifat istimewa. Kekuatan Kami diyakini dapat memengaruhi kehidupan manusia, mendatangkan keuntungan atau sebaliknya menimbulkan kesengsaraan. Pada angin, api, hutan, gunung, dan gejala-gejala alam lainnya dirasa ada suatu kekuatan spiritual yang menumbuhkan perasaan segan dan takut sehingga memaksa seseorang untuk memujanya, baik karena mengharapkan rahmatnya maupun karena takut dan menghindarkan diri dari hukumannya (Djam’annuri, 1981:121). Perasaan segan dan takut terhadap Kami
berpengaruh pada karakter masyarakat Jepang untuk tetap menjaga kelestarian alam. Agama Shinto memiliki andil besar dalam mengatur hubungan antara manusia dan lingkungan di Jepang. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran paham teosentrisme yang mengatur hubungan antara manusia dan alam dalam batasan agama. Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi memudahkan manusia untuk mengelola sumber daya alam. Bahkan, dengan angkuhnya manusia meyakini bahwa teknologi mampu menyelesaikan dampakdampak negatif yang dihasilkan lingkungan ke depan. Perasaan segan dan takut akan alam semakin lama semakin pudar. Pemikiran manusia tentang alam beralih ke dalam paham antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai penguasa alam. Demi menuruti industrialisasi, sumber daya alam dieksploitasi secara luas. Semakin berhasil manusia mengeksploitasi sumber daya alam, semakin sukses manusia mengendalikan hidupnya dan semakin banyak pula material income yang didapatkan. Sebenarnya jika sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing secara individu, alam akan memiliki kemampuan meregenerasi dengan sendirinya. Hanya yang terjadi, penggunaan sumber daya alam tidak memerhatikan daya dukung lingkungan, akibatnya lingkungan rusak di mana-mana dan besar kemungkinan tidak terselamatkan. Akibat kerusakan lingkungan yang banyak terjadi, manusia mulai berpikir untuk menyelamatkan lingkungan dan beralih ke dalam paham ekosentrisme. Paham ekosentrisme tidak melihat dunia sebagai sebuah objek yang terisolasi, tetapi sebagai pertalian fenomena yang secara mendasar saling berhubungan dan saling tergantung. Ekosentrisme berpusat pada makhluk hidup secara keseluruhan
dalam kaitan memberikan penghormatan terhadap semua spesies (Susilo, 2012:108,111). Namun, belum seluruh manusia menganut paham ekosentrisme, masih ada yang menganut paham antroposentrisme, inilah yang menimbulkan pertentangan. Hal tersebut terjadi akibat perbedaan paham setiap manusia dalam pengelolaan lingkungan sehingga pertentangan tersebut dapat disebut sebagai konflik lingkungan. Ketiga, wacana konflik lingkungan ini tercermin dalam film animasi Mononoke Hime. Paham teosentrisme dalam film ditunjukkan dengan adanya berbagai macam Kami. Paham antroposentrisme tercermin dalam diri Eboshi Gozen yang lebih mementingkan kelangsungan hidup manusia daripada alam. Paham ekosentrisme tercermin dalam diri Ashitaka sebagai penengah konflik antara dua paham tersebut. Ashitaka tidak memihak salah satunya, tetapi ia menginginkan manusia dan alam dapat hidup berdampingan dan saling melengkapi. Keempat, masalah-masalah tentang lingkungan disajikan Hayao Miyazaki dengan latar waktu pada zaman kuno. Melalui film animasi ini, Hayao mengingatkan kembali kepada penonon terhadap kepercayaan para leluhur tentang kekuatan alam yang melebihi kuasa manusia sehingga membangkitkan rasa hormat penonton terhadap alam. Ia berhasil menghubungkan tradisi budaya Jepang dengan isu kontemporer dan menyajikannya dalam industri film modern. Setelah menonton film ini Hayao berharap agar manusia dapat menghargai alam dan menghentikan eksploitasi alam secara berlebihan kemudian kembali hidup ke alam. Kelima, Mononoke Hime telah meraih berbagai penghargaan nasional dan internasional, seperti film terbaik pada penghargaan Japan Academy Award ke-21, film Jepang terbaik, animasi terbaik dan film Jepang pilihan pemirsa dalam
kompetisi film Mainichi ke-52, film Jepang terbaik dan film Jepang pilihan pembaca dalam sepuluh festival film terbaik Asahi, penghargaan film terbaik dari agen urusan budaya, sutradara terbaik dalam film festival Takasaki, dan lain-lain. Film tersebut telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dirilis di banyak negara, seperti Inggris, Cina, Jerman, Prancis, Korea, Spanyol, Portugis, Polandia, Italia,
dan
lain-lain
(Diakses
dari
http://www.nausicaa.net/wiki/
Princess_Mononoke tanggal 6 Februari 2013). Wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi Mononoke Hime menjadi satu satuan naratif cerita. Penulis menemukan kisah yang digerakkan oleh konflik seorang protagonis yang kemudian selesai dengan happy ending. Artinya, seorang reseptor (penonton yang dalam hal ini adalah penulis) tidak begitu saja menemukan bentuk konflik, fungsi konflik, dan makna konflik dalam cerita. Hal inilah kemudian melahirkan interpretasi, penafsiran penulis dengan melakukan perbandingan-perbandingan terhadap keadaan sosial masyarakat Jepang pada zaman Muromachi melalui media pembelajaran film animasi Mononoke Hime.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan judul penelitian ini dan pemaparan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat diperinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah bentuk wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki? 2. Apakah fungsi wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki?
3. Apakah makna wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki?
1.3 Tujuan Pada dasarnya, setiap penelitian yang bersifat ilmiah tentu mempunyai tujuan yang dapat memberikan arah dan sasaran yang tepat terhadap langkah – langkah yang ditempuh. Adapun tujuan penelitian ini menyangkut dua hal, yakni tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menggali dan mengembangkan kesusastraan Jepang yang berupa film animasi sehingga lebih dikenal oleh masyarakat dan dapat berkembang baik pada masa depan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memotivasi masyarakat meningkatkan apresiasinya terhadap film animasi, sehingga film animasi tidak dipandang hanya sebagai sarana hiburan.
1.3.2 Tujuan Khusus Selain memiliki tujuan umum, penelitian ini juga memiliki tujuan yang bersifat khusus, sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan bentuk wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki 2. Mendeskripsikan fungsi wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki
3. Mendeskripsikan makna wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki
1.4 Manfaat Manfaat penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan sumbangan keilmuan dan praktis. Manfaat pertama adalah manfaat yang bersifat teoretis dan manfaat kedua bersifat praktis yang dijabarkan sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis sebuah penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat. Adapun manfaat teoritis yang diharapkan dari hasil penelitian ini, antara lain, seperti di bawah ini. 1. Dapat memberikan sumbangan bagi studi sastra Jepang sehingga semakin menarik bagi para peneliti sastra Jepang lainnya. 2. Dapat dijadikan sumber informasi mengenai model analisis wacana kesusastraan Jepang modern, khususnya film animasi yang dilakukan secara ilmiah.
1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis ada beberapa manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, antara lain, sebagai berikut. 1. Dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan wawasan masyarakat terhadap konflik lingkungan melalui film animasi Jepang.
2. Dapat memberikan kontribusi bagi program pemerintah Indonesia, khususnya Bali dalam mendidik masyarakat untuk menjaga harmonisasi antara manusia, alam, dan Tuhan melalui film animasi. 3. Dapat menjadi cerminan bagi industri film Indonesia untuk meningkatkan kualitas film animasi dengan mengangkat isu kontemporer namun tetap mempertahankan budaya tradisional.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Pada bab ini diuraikan penelitian sebelumnya terhadap objek penelitian dan kajian lain yang relevan dengan penelitian ini. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan orisinalitas penelitian dan mengapresiasi peneliti yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, juga diuraikan dengan ringkas konsep, teori, dan model penelitian. Ada beberapa peneliti atau tulisan yang membahas film animasi Mononoke Hime, yaitu Ayuningsih (2013), Prabowo (2013), Roslyn McDonald (2004), Napier (2001), dan Seiji Kano (1997). Penelitian mereka umumnya membahas aspek kritik sastra, feminisme, dan gambaran umum mengenai film animasi Mononoke Hime. Penelitian mereka mampu memperkenalkan aspek menarik film animasi Mononoke Hime, tetapi masih ada aspek lain yang juga bisa dianalisis lebih jauh. Penelitian ini membahas masalah yang tidak dibahas dalam penelitian yang disebutkan di atas, yakni konflik lingkungan terkait dengan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat perbedaan paham dalam mengelola sumber daya alam dalam film animasi Mononoke Hime. Penelitian Ayuningsih dalam bentuk skripsi yang berjudul “Cara Pandang Antroposentris pada Tokoh Eboshi dan Ekosentris pada Tokoh Ashitaka dalam Anime Mononoke Hime Karya Sutradara Miyazaki Hayao” (2013) meneliti bagaimana tindakan manusia terhadap alam yang dipengaruhi cara pandang
antroposentris dan ekosentris. Penelitian ini menggunakan kajian kritik sastra lingkungan yang berlandaskan teori etika lingkungan antroposentrisme dan ekosentrisme. Dari penelitian ini ditemukan kesalahan cara pandang tokoh Eboshi yang bersumber dari antroposentrisme, yaitu ia mengeksploitasi hutan tanpa bertanggung jawab sehingga menimbulkan dampak buruk bagi makhluk hidup penghuni hutan. Adapun paham ekosentrisme terdapat dalam diri Ashitaka yang menjaga relasi hidupnya dengan lingkungan di sekitarnya dengan menghormati dan melindungi alam tempat ia berada. Penelitian Ayuningsih memiliki relevansi dengan penelitian penulis karena membahas lingkungan dalam Mononoke Hime. Namun, penelitian Ayuningsih hanya menganalisis tindakan manusia terhadap alam yang dipengaruhi oleh paham antroposentrisme dan ekosentrisme. Penelitian ini tidak menganalisis paham teosentrisme yang justru menjadi dasar dalam cerita Mononoke Hime. Padahal, film ini mengangkat tema tentang kepercayaan masyarakat Jepang, yaitu penghormatan atas alam yang dapat dilihat dari berbagai macam Kami yang ditampilkan. Oleh karena itu, penelitian penulis tidak hanya menganalisis konflik antara manusia, tetapi juga disharmoni yang terjadi antara manusia, Kami, dan alam dalam Mononoke Hime. Prabowo dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Feminisme Radikal dalam Film Animasi Mononoke Hime” (2013) mencari hubungan antara tokoh Eboshi beserta para pekerja wanita dan gerakan feminisme, khususnya feminisme radikal. Penulis menggunakan metode kepustakaan dan metode analisis deskriptif di dalam penulisan skripsi ini. Pada penelitian ini ditemukan adanya gerakan feminisme radikal yang dilakukan oleh tokoh Eboshi dan para pekerja wanitanya yang
disebabkan oleh tekanan dari keadaan sosial, yaitu pria dianggap lebih dominan dibandingkan dengan wanita. Penelitian Prabowo memiliki relevansi dengan penelitian penulis karena menggunakan Mononoke Hime sebagai objek penelitian. Penelitian ini dapat membantu mendeskripsikan karakter tokoh-tokoh wanita dalam Mononoke Hime. Namun, penelitian tersebut hanya menganalisis feminisme dalam Mononoke Hime, sedangkan dalam penelitian ini lebih difokuskan pada konflik lingkungan antara Kami, manusia, dan alam. Penelitian mengenai Mononoke Hime juga pernah dilakukan oleh Napier dalam bukunya yang berjudul Anime from Akira to Princess Mononoke (2001:4-12). Buku ini membahas dan mengkritisi muatan dari beberapa film animasi Jepang. Salah satu diantaranya ialah Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki. Mononoke Hime digolongkan sebagai film animasi apocalyptic, yaitu hasil penggambaran kegelisahan masyarakat Jepang terhadap masa depan dengan penggambaran environmental apocalypse di dalamnya. Film animasi ini memberikan sebuah gambaran lain dari budaya Jepang dengan menghancurkan dua citra stereotype, yaitu kaum wanita yang subordinat dan kehidupan harmonis orang Jepang dengan alam. Selain itu, Mononoke Hime juga berbeda dengan jidaigeki, yaitu film tentang masa-masa sejarah pada periode tertentu yang biasanya menampilkan kaum samurai sebagai pusat perhatiannya. Di dalam Mononoke Hime kelompok yang ditonjolkan justru kaum wanita, orang-orang yang tersingkir, dan suku non-Yamato, yaitu bukan etnis Jepang. Walaupun menggunakan tema historis yang dibubuhi fantasi sebagai ceritanya, Napier (2001:181) berpendapat bahwa Hayao Miyazaki tidak membuatnya sebagai suatu sarana pelarian dari realitas untuk penonton, tetapi justru sebagai sarana pendidikan. Dalam pandangan Hayao Miyazaki, abad ke-14
merupakan saat transisi, yaitu pandangan nilai manusia berubah dari dewa-dewa menjadi uang. Meskipun dalam penelitiannya Napier menggolongkan Mononoke Hime sebagai bentuk dari environmental apocalypse, secara keseluruhan cenderung lebih membahas nilai-nilai dalam film animasi tersebut yang justru berbeda dengan pandangan stereotipe Jepang. Napier memaparkan wanita yang kuat dan disharmoni antara manusia dan alam. Jadi, fokus penelitian Napier adalah pada tema feminisme dan lingkungan. Berbeda dengan penelitian Napier, penelitian penulis berfokus hanya pada tema lingkungan khususnya penyebab terjadinya disharmoni antara manusia dan alam serta akibat dan solusi dari masalah tersebut. Seiji Kano dalam penelitian yang berjudul Mononoke Hime Kisochishiki menjelaskan hal-hal yang menginspirasi Hayao Miyazaki untuk membuat film animasi Mononoke Hime (Diakses dari http:// www.yk.rim.or.jp. tanggal 5 Februari 2013). Ia mengungkapkan bahwa Hayao Miyazaki terinspirasi oleh kepercayaan masyarakat Jepang pada zaman kuno, yaitu penghormatan atas alam. Pada saat itu Jepang masih menjaga harmonisasi dengan alam dan berpikir sangat primitif. Mereka percaya dengan adanya roh-roh dan dewa-dewa yang hidup di alam. Namun, sejak zaman Muromachi pemikiran masyarakat Jepang mulai berubah menjadi lebih mementingkan materi daripada alam. Penelitian ini memiliki relevansi dengan penelitian penulis karena mengulas hal-hal yang mendasari film animasi Mononoke Hime secara jelas sehingga penelitian ini dapat menjadi acuan dan pembanding dalam penelitian. Namun, Seiji Kano tidak membahas konflik lingkungan secara lebih mendalam.
Roslyn McDonald menulis esai yang berjudul Studio Ghibli Feature Films and Japanese Artistic Tradition (dari Diakses dari http://www.nausicaa.net/ miyazaki/essay/files/RoslynMcDonald_Ghibli.pdf.tanggal 6 Februari 2013). Esai ini mengulas tradisi seni dan budaya Jepang yang diungkapkan melalui cerita, tema, karakter, dan citra dalam empat film animasi produksi Studio Ghibli, yaitu Hotaru no Haka yang disutradarai oleh Isao Takahata dan Tonari no Totoro, Mononoke Hime, dan Sen to Chihiro no Kamikakushi yang disutradarai oleh Hayao Miyazaki. Penelitian Roslyn memiliki relevansi dengan penelitian penulis karena membahas salah satu film animasi yang sama, yaitu Mononoke Hime. Namun, penelitian tersebut hanya menjelaskan akibat pertempuran antara manusia dan alam tanpa menjelaskan penyebab dan fungsi pertempuran tersebut. Selain itu, penelitian ini melihat perdamaian manusia dan alam dari segi Mononoke Hime saja tanpa mengaitkan dengan harmonisasi antara manusia dan alam dalam kehidupan nyata. Penelitian–penelitian di atas menjadi kajian pustaka sebagai acuan dan pembanding dalam penelitian ini. Walaupun terdapat penelitian yang membahas tentang Mononoke Hime, penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian tersebut adalah konflik lingkungan yang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini yang mencakup paham teosentrisme, antoposentrisme, dan ekosentrisme. Penelitian ini menganalisis bentuk wacana yang menjadi penyebab konflik lingkungan, fungsi konflik lingkungan bagi tiap kelompok yang bertikai, serta makna konflik lingkungan terhadap kehidupan manusia dan alam.
2.2 Konsep Untuk melakukan kajian yang lebih jelas terhadap konflik lingkungan dalam film animasi Mononoke Hime perlu dijabarkan beberapa konsep. Adapun konsepkonsep yang dijelaskan pada penelitian ini adalah konflik lingkungan, teks film animasi, dan Mononoke Hime.
2.2.1 Konflik Lingkungan Konflik berarti ketegangan atau pertentangan (Moeliono, 2005:455). Konflik lingkungan bisa diartikan sebagai suatu bentuk perbedaan ide atau pertentangan ide, pendapat, paham, dan kepentingan tentang lingkungan di antara dua pihak atau lebih. Pertentangan antarkelompok tersebut ada yang berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan dan ada pula berkadar rendah yang tidak menggunakan kekerasan. Pertentangan tersebut berkembang menjadi konflik yang ditandai interaksi timbal balik di antara pihak-pihak yang bertentangan. Selain itu, pertentangan juga dilakukan atas dasar kesadaran pada tiap-tiap kelompok bahwa mereka saling berbeda pemikiran dan berlawanan tentang pengelolaan lingkungan. Dalam Mononoke Hime terjadi pertentangan antara beberapa kelompok yang disebabkan oleh faktor lingkungan. Konflik tersebut berawal dari perebutan kekuasan atas hutan Shishigami antara kelompok Tatara Ba dan kelompok Kami. Kelompok Tatara Ba mengeksploitasi hutan dengan leluasa untuk mencari pasir besi, tetapi kelompok Kami melindungi hutan yang merupakan tempat tinggalnya. Baik pihak manusia maupun pihak Kami, memperebutkan hutan Shishigami untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Berdasarkan penjelasan di atas konflik lingkungan menjadi wacana utama dalam Mononoke Hime.
2.2.2 Teks Film Animasi Animasi berarti membuat gambar lebih kelihatan hidup, sehingga bisa mempengaruhi emosi penonton, turut menjadi sedih, ikut menangis, jatuh cinta, kesal, gembira, bahkan tertawa. Animasi juga dikenal dengan istilah motion picture yang mempunyai pengertian gambar bergerak. Disebut gambar bergerak karena dalam proses pembuatannya di gunakan gambar yang berurutan dan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga tampak seolah-olah gambar tersebut dapat bergerak (Diakses
dari
http://www.referensimakalah.com/2013/01/pengertian-film-
animasi.html tanggal 7 Oktober 2014). Film animasi berasal dari dua unsur, yaitu film yang berakar pada dunia fotografi dan animasi yang berakar pada dunia gambar. Film animasi merupakan teknik pembuatan film dengan efek animasi untuk menciptakan ilusi gerakan dan serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Penciptaan tradisional dari animasi gambar-bergerak selalu diawali hampir bersamaan dengan penyusunan storyboard7. Sketsa tambahan dipersiapkan kemudian untuk memberikan ilustrasi latar belakang, dekorasi serta tampilan, dan karakter tokohnya. Pada masa kini, hampir semua film animasi dibuat secara digital dengan komputer (Danesi, 2010:134). Di Jepang film animasi disebut dengan anime. Kata anime merupakan adaptasi dari kata animation dalam bahasa Inggris dan digunakan di seluruh dunia untuk merujuk kepada kartun animasi yang diproduksi oleh seniman Jepang (Garcia,
7
Storyboard adalah sketsa gambar yang disusun berurutan sesuai dengan naskah. Storyboard dapat menggiring khayalan seseorang mengikuti gambar-gambar yang tersaji, sehingga menghasilkan persepsi yang sama pada ide cerita kita (Sukoco, 2014:1)
2010:155). Film animasi produksi Jepang berbeda dengan film animasi produksi negara barat. Film animasi barat sebagian besar ditujukan untuk penonton anakanak sebagai sarana hiburan dan menyuguhkan cerita yang ringan agar mudah dipahami. Berbeda dengan film animasi barat, film animasi Jepang digunakan oleh animator-animator Jepang untuk mengeksplorasi berbagai macam gaya, ide cerita, serta tema, dari yang ditujukan untuk anak-anak, remaja, hingga dewasa. Menurut Napier (2001:4--12) film animasi Jepang memiliki pendalaman mengenai isi-isu kontemporer yang tak jarang kompleks dan kritis tidak berbeda dengan tulisan sastra. Film animasi Jepang selain menghibur penontonnya juga menstimulasi penonton untuk mengkritisi isu-isu kontemporer yang tidak dapat diberikan oleh bentuk kesenian tradisional. Film ini merupakan bentuk kesenian kontemporer dengan narasi yang khas dan estetika visual yang memuat budaya tradisional Jepang dan merupakan bagian dari seni dan media. Selain itu, juga berguna sebagai cerminan dari masyarakat Jepang kontemporer dengan berbagai materi yang memberikan wawasan, baik mengenai isu, impian, maupun mimpi buruk. Teks film animasi merupakan hasil penerjemahan percakapan dan uraian ke dalam bahasa lain dan diproyeksikan pada bagian bawah film animasi. Percakapan dan uraian dalam bahasa Jepang di film animasi Mononoke Hime dicatat dengan jelas dan terperinci kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang digunakan sebagai objek penelitian. Kutipan teks film animasi disajikan dalam bahasa Jepang dan huruf Jepang dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
2.2.3 Mononoke Hime Mononoke berasal dari kata mono dan ke. Kamata Toji mengartikan kata mono sebagai roh. Ke berarti suatu karakter yang misterius serta tidak berbentuk. Mononoke berarti roh yang misterius serta tidak berbentuk (Takashi, 2006:1). Definisi lainnya menyebutkan Mononoke adalah makhluk antara roh dan monster. Mononoke disebut sebagai monster karena ukurannya yang besar. Sebenarnya tidak ada padanan kata yang tepat untuk mengartikan kata Mononoke, baik dalam bahasa Inggris maupun dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, judul film ini dalam bahasa Inggris adalah Princess Mononoke. Kata Mononoke tetap digunakan karena orang Jepang tidak menemukan kata yang tepat untuk menerjemahkannya (Diakses dari http://www.nausicaa.net/miyazaki/mh/ faq.html tanggal 9 Juli 2014). Kata hime berarti putri sehingga Mononoke Hime dapat berarti putri roh atau monster. Dalam film ini San disebut sebagai Mononoke Hime karena merupakan seorang manusia yang dianggap sebagai anak oleh Inugami bernama Moro.
2.3 Landasan Teori Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, kata teori mengandung arti seperangkat pengertian, konsep, proposisi yang mempunyai korelasi dan teruji kebenarannya. Sebuah teori dengan tingkat keumuman yang tinggi dapat dimanfaatkan untuk memahami sejumlah disiplin yang berbeda (Ratna, 2009:1). Dalam kaitan dengan kegiatan penelitian, teori merupakan sebuah alat bedah yang dapat dipakai untuk memahami dan mendeskripsikan suatu topik penelitian.
Berkaitan dengan pemahaman teori seperti itu, maka penelitian ini menggunakan teori konflik dan teori semiotika.
2.3.1 Teori Konflik Teori konflik adalah salah satu perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri atas bagian atau komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Artinya, komponen yang satu berusaha menaklukkan kepentingan yang lain untuk memenuhi kepentingannya atau memeroleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Perbedaan kepentingan dan pandangan tersebut memicu terjadinya konflik sosial yang berujung saling mengalahkan, melenyapkan, memusnahkan di antara elemen tersebut (Setiadi, 2011:347). Teori konflik yang dikemukakan Lewis Coser sering kali disebut teori fungsionalisme konflik, karena menekankan fungsi konflik bagi sistem sosial atau masyarakat. Dalam perspektif teori konflik, individu dalam tatanan sosial bukan saja sebagai penerima dan penerus nilai, melainkan juga penggagas dan penentu nilai yang bertanggung jawab. Konflik bukan sesuatu yang disfungsional, destruktif, atau patologis, sebagaimana dipersiapkan oleh pendukung teori struktural fungsional. Konflik malah merupakan sesuatu yang positif dan fungsional bagi terpeliharanya struktur sosial (Setiadi, 2011:372). Coser mengatakan bahwa konflik merupakan mekanisme tempat kelompok dan batas-batasnya terbentuk dan diperhatikan. Konflik dapat menyatukan anggota kelompok melalui pengukuhan identitas kelompok. Untuk membedakan konflik yang menjadi sumber kohesi atau perpecahan kelompok menurut Coser, tergantung
kepada asal mula ketegangan, isu tentang konflik, cara menangani, dan yang terpenting struktur tempat konflik itu berkembang. Pada intinya, Coser menekankan bahwa konflik dan konsensus, integritas dan perpecahan, merupakan proses fundamental dan bagian dari setiap sistem sosial yang dapat dipahami (Polloma, 1994:80--129). Konflik dalam perspektif penelitian ini dipandang sebagai pencerminan dari kesadaran dan semangat pembaruan masyarakat Jepang. Konflik merupakan refleksi dari proses dialogis antara tuntutan kepentingan individual material dan tuntutan kepentingan sosiokultural etik. Dalam hal ini konflik adalah suatu proses instrumental dalam pembentukan, pemeliharaan, dan perubahan struktur sosial. Konflik yang terjadi dalam Mononoke Hime disebabkan oleh perbedaan kepentingan tiap-tiap kelompok yang berujung pada peperangan. Namun, konflik tersebut menciptakan harmonisasi antara manusia dan alam. Berdasarkan penjelasan tersebut, teks film animasi Mononoke Hime dikaji menggunakan teori konflik. Teori ini digunakan untuk mengkaji bentuk dan fungsi wacana konflik lingkungan.
2.3.2 Teori Semiotika Menurut Peirce, kata semiotika merupakan sinonim kata logika. Logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran menurut hipotesis Pierce yang mendasar dilakukan melalui tanda-tanda. Semuanya merujuk sebagai tanda karena kehadirannya direspons manusia sebagai sarana komunikasi yang di dalamnya mempunyai arti. Segala sesuatu yang dipersepsi oleh manusia mempunyai arti hakikatnya adalah tanda dan manusia dalam kehidupannya tidak akan lepas dari
tanda, karena dalam komunikasi sehari – hari manusia selalu membutuhkan tanda. Charles Sanders Peirce menyatakan bahwa manusia hanya dapat berpikir dengan sarana tanda, artinya manusia dalam komunikasi sehari – hari selalu menggunakan tanda. Secara definitif, tanda adalah segala apa yang menyatakan sesuatu yang lain daripada dirinya. Tanda itu dihasilkan melalui proses signifikasi yang merupakan proses yang memadukan penanda dan petanda (dalam Barthes, 2007:37--38). Menurut Charles Sander Peirce, konsep tanda itu bersifat ‘triadik’ karena terbangun atas representamen, interpretan, dan objek. Representamen adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain, dalam beberapa hal atau kapasitas. Interpretan merupakan sesuatu yang lain itu. Objek merupakan sesuatu yang diacunya. Peirce menjelaskan bahwa tanda – tanda berkaitan dengan objek– objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda–tanda karena ikatan konvensional dengan tanda–tanda tersebut. Berdasarkan objeknya tanda terdiri atas tiga hal, yaitu sebagai berikut. 1. Ikon (icon) adalah suatu tanda yang menggunakan kesamaan dengan apa yang dimaksudkannya, misalkan kesamaan peta dengan wilayah geografis yang digambarkannya, kesamaan lukisan kuda dengan binatang yang digambarkannya. 2. Indeks (index) adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan kasual dengan apa yang diwakilinya, misalnya asap merupakan tanda adanya api, mendung merupakan tanda akan datangnya hujan. 3. Simbol (symbol) adalah hubungan antara suatu penanda dan item yang ditandainya yang sudah menjadi konvensi masyarakat. Misalnya lampu merah berarti berhenti (Al-Ma’ruf, 2009:91).
Teks film animasi Mononoke Hime dianalisis dengan konsep trikotomi semiotika oleh Peirce yang terbangun atas ikon, indeks, dan simbol. Tanda-tanda yang berkaitan dengan konflik lingkungan dianalisis sehingga pada akhirnya mendapatkan makna wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki.
2.4 Model Penelitian Teks Film Animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki
Wacana Konflik Lingkungan
Teori Konflik Teori Semiotika
Bentuk
Fungsi
Metode dan Teknik Penelitian
Makna
(Bagan I. Model Penelitian)
Keterangan : : Hubungan langsung : Teori, metode, dan teknik penelitian : Objek penelitian : Wacana : Hasil penelitian
Penjelasan : Masalah konflik lingkungan menginspirasi Hayao Miyazaki untuk menghasilkan sejumlah film animasi. Namun, diantaranya karyanya, Mononoke Hime merupakan film animasi terbaik yang bertema lingkungan sehingga digunakan sebagai objek dalam penelitian. Langkah awal dilakukan proses pembacaan teks hasil transkripsi dari film animasi tersebut yang sudah
diterjemahkan dari bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian dilakukan klasifikasi data yang terdapat konflik lingkungan. Data dianalisis dengan menggunakan teori semiotika dan teori konflik. Metode yang diterapkan dalam proses analisis adalah metode studi pustaka, deskriptif analitik, dan informal. Teknik yang digunakan adalah teknik transkripsi, teknik penerjemahan, teknik baca, dan teknik tulis. Pada akhirnya tujuan penelitian dapat dicapai, yaitu untuk mengetahui bentuk, fungsi, dan makna wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang dengan menggunakan paradigma ideografis dengan penekanan penelitian pada ilmu–ilmu kemanusiaan (humaniora). Karena penelitian ini mengemukakan banyak masalah sosial, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sosiologis. Penelitian ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas akhir Program Studi Linguistik Konsentrasi Wacana Sastra Universitas Udayana. Dengan pertimbangan bahwa teori–teori strukturalisme sudah berkembang menjadi teori – teori yang baru, maka teori yang digunakan adalah teori postrukturalisme dalam hubungan ini teori semiotika dan teori konflik. Konsep–konsep dibedakan menjadi dua jenis, yaitu leksikal dan operasional dalam penelitian yang lebih banyak digunakan adalah konsep operasional. Untuk menganalisis keseluruhan masalah dalam penelitian, maka metode dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data. Pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka. Analisis data menggunakan metode deskriptif analitik. Penyajian hasil analisis data dengan cara informal. Untuk menopang metode di atas, maka teknik yang digunakan adalah teknik transkripsi, teknik penerjemahan, teknik baca, dan teknik catat. Perangkat keras yang digunakan untuk membantu keseluruhan cara di atas adalah sistem kartu data.
3.2 Jangkauan Penelitian Penelitian ini dibatasi hanya menganalisis wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki. Wacana Konflik lingkungan dalam teks Mononoke Hime dianalisis dalam bentuk, fungsi, dan makna dengan menggunakan teori semiotika dan teori konflik.
3.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data penelitian adalah kualitatif, berupa narasi, ungkapan, dan tanda yang terdapat dalam film animasi yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah teks hasil transkripsi dan terjemahan dari film animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki. Film tersebut dalam bentuk DVD berdurasi 133 menit dan menggunakan bahasa Jepang. Sumber data sekunder adalah buku dan artikel mengenai konflik lingkungan. Selain itu, juga digunakan buku dan artikel yang dapat memberikan informasi yang berhubungan dengan penelitian ini.
3.3 Instrumen Penelitian Instrumen adalah alat bantu yang digunakan untuk mendapatkan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kartu data. Kartu data berguna untuk mempermudah analisis tiap-tiap data.
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode penyediaan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Sementara itu, teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah teknik transkripsi, teknik penerjemahan, teknik baca, dan teknik catat. Film animasi Mononoke Hime yang telah dipilih sebagai objek penelitian ditonton secara berulang-ulang sampai menemukan data-data lisan tentang konflik lingkungan yang tepat. Data-data lisan tersebut ditranskripsi dengan teknik catat menjadi bentuk data tulis. Setelah data-data menjadi bentuk transkrip yang bisa dibaca, peneliti melakukan penerjemahan dari bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia. Teks hasil terjemahan tersebut dianalis untuk menemukan bentuk, fungsi, dan makna wacana konflik lingkungan dalam Mononoke Hime.
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitik. Ratna (2009:53) menjelaskan bahwa, metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta – fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Analisis secara deskriptif tidak hanya sekadar menguraikan, tetapi juga diharapkan dapat memberikan pemahaman yang jelas sesuai dengan fokus penelitian.
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Penelitian ini tidak menggunakan data statistik yang berupa angka – angka, bagan, gambar, ataupun rumus, tetapi menggunakan data – data yang berupa katakata, kalimat-kalimat, dan wacana. Oleh karena itu, penyajian hasil analisis data dilakukan dengan metode informal, yang menggunakan kata-kata dan narasi.
Pada penelitian ini seluruh data disajikan dalam bahasa Jepang yang ditulis dengan huruf hiragana, katakana, dan kanji disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Hasil analisis disajikan seutuhnya dalam bahasa Indonesia. Analisis dituangkan dalam tujuh bab. Bab I terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Bab II terdiri atas kajian pustaka, konsep, landasan teori, serta model penelitian. Bab III yaitu metode penelitian terdiri atas rancangan penelitian, jangkauan penelitian, jenis dan sumber data, instrumen penelitian, metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, serta metode dan teknik penyajian analisis data. Bab IV membahas gambaran umum masyarakat Jepang pada zaman Muromachi dan konflik dalam teks film animasi Mononoke Hime. Bab V membahas bentuk wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki. Bab VI menjelaskan fungsi wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki. Bab VII mengungkapkan makna wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki. Bab VIII adalah bagian akhir yang berisi simpulan atas proses analisis yang telah dilakukan serta saran – saran yang berkaitan dengan hasil analisis.
BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JEPANG PADA ZAMAN MUROMACHI DAN KONFLIK DALAM TEKS FILM ANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI
Dalam bab ini diuraikan gambaran umum masyarakat Jepang pada zaman Muromachi dan konflik dalam teks film animasi Mononoke Hime yang mencakup sinopsis Mononoke Hime, hubungan manusia dan alam dalam agama Shinto, keadaan sosial pada zaman Muromachi, pemetaan konflik, dan dinamika konflik. Uraian yang dipaparkan dideskripsikan berdasarkan kutipan-kutipan pada teks film animasi Mononoke Hime untuk menganalisis latar belakang yang memicu timbulnya konflik lingkungan.
4.1 Sinopsis Kisah ini terjadi pada zaman Muromachi 1333-1568 di Desa Emishi, sebuah desa yang tersembunyi di timur laut Jepang. Suatu hari Desa Emishi terancam saat kedatangan Tatarigami berwujud babi hutan besar yang ditutupi oleh ular hitam dan membakar semua jalan yang dilewatinya. Ashitaka, calon pemimpin Desa Emishi, mencoba untuk menghentikan monster itu. Lengan Ashitaka tertular ular hitam dari Tatarigami. Namun, Ashitaka dapat mengarahkan tembakannya menembus dahi Tatarigami hingga mati. Hii sama, seorang nenek dukun di desa memberi tahu Ashitaka bahwa bekas luka itu terkutuk dari Tatarigami dan dapat membunuh Ashitaka. Kemudian Ashitaka pergi meninggalkan desa untuk mencari cara menyembuhkan kutukannya.
Ashitaka tiba di Tatara Ba, yaitu tempat pemukiman pekerja pengolah besi yang menyerupai benteng dan dikelilingi oleh danau. Eboshi mengundang Ashitaka untuk tinggal di sana sebagai tamu. Para pekerja Tatara Ba dengan bangga menceritakan pada Ashitaka bagaimana Eboshi tanpa rasa takut membunuh Inoshishigami bernama Nago no Kami. Ashitaka menyadari bahwa Nago no Kami pasti adalah Tatarigami yang telah dibunuh. Ashitaka memberi tahu Eboshi tentang Tatarigami dan kutukan yang diterima dari Tatarigami. Ashitaka sangat marah pada Eboshi, tapi ia mengurungkan niatnya membunuh Eboshi. Tiba-tiba datang San menyerang Tatara Ba lalu ia bertarung dengan Eboshi. Ashitaka menengahi pertarungan antara Eboshi dan San. Lalu Ashitaka membawa San pergi meninggalkan Tatara Ba. Tiba-tiba seorang wanita menembak Ashitaka dengan Ishibiya8. Peluru menembus dada Ashitaka. Ia masih tetap berjalan sambil membawa San dan Yakkul, rusa tunggangannya mengikutinya. Sesampainya di kaki gunung Ashitaka jatuh terkulai karena terlalu banyak mengeluarkan darah. San meletakkan Ashitaka dalam keadaan tak sadar di atas Yakkul dan membawa mereka ke kolam yang ada di tengah hutan. Dalam tidur lelapnya Ashitaka mengambang di air. Ia melihat Shishigami mendekatinya. Saat Ashitaka terbangun, Shishigami menghilang. San muncul dan mengatakan bahwa Shishigami membiarkan Ashitaka untuk hidup sehingga San akan menolongnya. Sekelompok Inoshishigami muncul. Mereka mengatakan bahwa mereka jauh-jauh datang dari utara untuk membunuh manusia dan melindungi hutan. Pemimpin mereka bernama Okkotonushi mengatakan bahwa jika semua 8
Ishibiya merupakan senjata api yang diperkenalkan ke Jepang pada tahun 1543 oleh bangsa Portugis saat melakukan perdagangan. Dalam Mononoke Hime, ishibiya diproduksi oleh para pekerja Eboshi (Beasley, 2003:173).
Inoshishigami harus mati, ia harus membuat manusia-manusia itu menderita. San bersama-sama dengan dua Inugami bergabung dengan Inoshishigami untuk memulai serangan terhadap manusia dengan kekuatan penuh. Di Tatara Ba Eboshi dan para pekerjanya tengah berjuang melawan para samurai yang dipimpin tuan Asano. Mereka menuntut untuk mendapatkan pasir besi tetapi Eboshi menolaknya. Eboshi berhasil mengusir samurai dengan ishibiya kemudian Jiko Bou datang mengunjunginya. Ia menuntut Eboshi untuk memenuhi janjinya berburu Shishigami. Eboshi terpaksa menyanggupinya karena hutang budinya pada Jiko Bou. Lalu terjadilah perang antara kelompok manusia dan kelompok Kami. Ashitaka hadir untuk meredakan pertempuran tersebut. Ashitaka menemukan Eboshi dan Jiko Bou di hutan. Ia menyuruh Eboshi untuk kembali ke Tatara Ba, tapi ia menolaknya. Lalu Shishigami muncul di sisi lain dari kolam. Perlahan-lahan berjalan di atas air menuju Ashitaka. Kemudian Eboshi yang bersembunyi di balik pohon, menembak Shishigami beberapa kali. Pada tembakan ketiga peluru mengenai kepala Shishigami yang dalam wujud setengah berubah menjadi Daidarabocchi. Kepala Shishigami jatuh ke tanah. Tubuh Shishigami yang tanpa kepala berubah menjadi lendir hitam dan meledak. Segala sesuatu yang disentuhnya mati. Eboshi meraih kepala Shishigami dan melemparkannya ke Jiko Bou yang menempatkannya dalam sebuah wadah lalu ia lari dengan anak buahnya. Daidarabocchi mencari kepalanya dengan berjalan dari hutan sampai ke Tatara Ba dan menghancurkan apapun yang dilewatinya. Ashitaka dan San menemukan Jiko Bou dan anak buahnya membawa wadah dengan kepala di dalamnya. Sementara Ashitaka dan San berperang melawan Jiko Bou dan anak buahnya, lendir hitam dari Daidarabocchi mengelilingi mereka. Jiko
Bou akhirnya menyerah dan membuka wadah. Ashitaka dan San memegang kepala Shishigami di atas dan mengembalikannya pada Daidarabocchi. Setelah kepalanya kembali, Daidarabocchi perlahan berdiri. Kemudian cahaya pagi menghantamnya. Tubuh Daidarabocchi perlahan-lahan jatuh ke danau. Ia menghilang bersama tiupan angin. Setelah angin, tanaman mulai tumbuh di seluruh hutan. San merasa sedih karena Shishigami telah mati. Namun, Ashitaka meyakinkan San bahwa Shishigami tidak mati dan ia akan hidup dengan sendirinya. San menyukai Ashitaka tetapi, ia tetap tidak bisa memaafkan manusia. San memutuskan tetap tinggal di hutan dan Ashitaka tinggal di Tatara Ba. Ashitaka akan mengunjungi San di hutan. Eboshi menyadari kesalahannya dan berjanji kepada para pekerjanya untuk mulai membangun Tatara Ba menjadi tempat yang lebih baik tanpa merusak alam.
4.2 Hubungan Manusia dan Alam dalam Agama Shinto Beberapa peneliti telah menemukan bahwa spiritualitas dan perhatian terhadap kelestarian alam dalam Mononoke Hime berasal dari agama Shinto, sebuah adat agama Jepang yang masih dilakukan hingga saat ini. Miyazaki menggunakan agama Shinto untuk berkomunikasi dengan penontonnya menyampaikan pentingnya melestarikan alam, dampak perbuatan manusia terhadap alam, dan keseimbangan hubungan antara manusia dan alam. Penelitian ini menemukan bahwa Shinto dapat digunakan untuk menafsirkan Mononoke Hime dan melihat warisan budaya Jepang di dalam film animasi tersebut. Agama Shinto pada mulanya adalah agama alam yang merupakan perpaduan antara paham animisme dan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Dengan cara
yang sangat sederhana bangsa Jepang purba memersonifikasikan semua gejala alam yang ditemukan. Bellah menyebutkan bahwa alam adalah kekuatan pemelihara yang penuh kebajikan yang harus dihargai oleh manusia dan merupakan perwujudan dari sumber kejadian. Alam tidaklah terpisah dari para dewa atau manusia tetapi menyatu dengan keduanya (1992:82). Semua benda di alam, baik yang hidup maupun yang mati, dianggap memiliki roh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk berbicara. Semua roh atau spirit itu dianggap memiliki daya-daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Daya-daya kekuasaan tersebut dipuja dan disebut dengan Kami (Djam’annuri, 1981:56). Seorang sarjana dan pembaru agama Shinto abad modern yang bernama Motoori Nironaga menyebutkan bahwa istilah Kami pada mulanya diterapkan terhadap berbagai macam Dewa Langit dan Dewa Bumi yang disebutkan dalam catatan-catatan kuno dan terhadap spirit-spirit mereka yang berdiam di tempattempat suci di mana mereka dipuja (dalam Djam’annuri, 1981:57) . Bukan hanya manusia, melainkan binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan, laut dan gununggunung, serta semua benda yang lain apa pun bentuknya yang patut ditakuti dan dipuja sebab kekuasaan yang luar biasa dan tinggi yang dimiliki, disebut Kami. Wujud-wujud yang jahat dan mengerikan juga disebut Kami apabila mereka itu merupakan objek-objek yang pada umumnya ditakuti. Sewaktu tempat-tempat pemujaan permanen belum ada, maka objek-objek alam, seperti gunung, sungai, pohon, dan sebagainya dipuja secara langsung. Akan tetapi, lambat laun mulai didirikan bangunan-bangunan tertentu untuk keperluan memuja dewa-dewa. Sebagian di antaranya hanya berupa tempat-tempat berteduh
yang dibangun sangat sederhana dan sebagian yang lain sudah merupakan bangunan permanen yang dikhususkan untuk keperluan memuja roh atau objekobjek tertentu. Bangunan-bangunan tersebut dianggap suci dan dalam bahasa Jepang disebut dengan jinja. Pada umumnya jinja-jinja tersebut terletak di daerah yang dikelilingi oleh hutan dan merupakan kelanjutan tempat-tempat pemujaan alam pada zaman kuno (Djam’annuri, 1981:79). Namun, tradisi agama Shinto ini mulai pudar seiring dengan perkembangan zaman. Saat teknologi mempermudah manusia untuk menguasai alam maka rasa takut terhadap alam semakin hilang. Keadaan tersebut mulai terjadi di Jepang sejak zaman Muromachi.
4.3 Keadaan Sosial pada Zaman Muromachi Film animasi ini berlatar belakang zaman Muromachi pada tahun 1333-1568 yaitu zaman yang membingungkan karena terdapat dua penguasa sehingga sering terjadi perang untuk memperebutkan kekuasaan. Saat ini sistem dari abad pertengahan hancur dan masyarakat mulai bergerak menuju ke era modern. Permasalahan diawali pada tahun 1333 saat kaisar Godaigo mulai menjalankan pemerintahan baru yang berpusat pada kaisar di Kyoto. Namun, pimpinan militer, yaitu Ashikaga Takauji merasa tidak puas dengan pemerintahan ini sehingga ia memberontak dan menyerbu Kyoto. Kaisar kalah lalu melarikan diri ke Yoshino (di Nara) dan mendirikan istana di sana (Yamakawa, 1990:68--69). Ashikaga Takauji mendirikan kekaisaran baru yang disebut Hokucho (istana utara) di Kyoto. Di lain pihak, kaisar Godaigo mendirikan istana Nanchō (istana selatan) di Yoshino. Pada rentang waktu tersebut dikenal juga dengan zaman Nanbokuchō (zaman istana di utara dan selatan). Saat terjadi situasi di mana kedua
istana saling bertentangan. Pada zaman ini banyak muncul gekokujo, yaitu keadaan masyarakat di mana bawahan memberontak kepada atasan seperti yang dilakukan Ashikaga Takauji kepada kaisar. Keadaan ini berlangsung selama kurang lebih seratus tahun dan disebut zaman Sengoku (Yamakawa, 1990:70--74) Orang yang menjadi penguasa baru pada zaman ini disebut sengoku daimyou9. Sengoku daimyou tinggal di wilayah mereka, mencurahkan energi untuk meningkatkan militer mereka sendiri, politik, dan kekuatan ekonomi. Kegiatan mereka meliputi membangun kota-kota benteng, melakukan survei tanah, menghancurkan pemberontakan petani dan membawa desa di bawah pengawasan yang ketat (Youko, 1996:79) Meskipun pemerintahan dalam negeri sedang kacau, tapi perdagangan baik di dalam maupun luar negeri mengalami kemajuan yang pesat. Pada akhir zaman ini bangsa barat pertama kali menginjakkan kakinya di Jepang. Ini merupakan titik awal masuknya budaya barat yang berkembang menjadi kemajuan teknologi. Tahun 1543 Portugis pertama kali datang ke Pulau Tanegashima untuk berdagang dengan Jepang Dalam perdagangan ini bangsa portugis memperkenalkan senjata api yang membawa kemajuan teknologi militer dalam periode Sengoku. Saat itu perang terjadi di mana-mana sehingga orang Jepang dengan cukup cepat mengadopsi beberapa teknologi militer bangsa Portugis, seperti meriam dan senjata api. Dengan memiliki senjata api (yang paling canggih pada masa itu), akan dapat menundukkan musuh-musuhnya lebih cepat dan mempertahankan wilayah yang
9
Daimyou berarti orang yang memiliki pengaruh besar di suatu wilayah. Di dalam masyarakat samurai di Jepang, istilah daimyou digunakan untuk samurai yang memiliki hak atas tanah yang luas (tuan tanah) dan memiliki banyak samurai sebagai pengikut (diakses dari http://id.wikipedia. org/wiki/ Daimyo tanggal 6 Juni 2014).
telah dikuasainya serta membentuk pemerintahan pusat yang kokoh (Beasley, 2003:159). Namun bahan dasar pembuatan meriam dan senjata api yaitu pasir besi di Jepang merupakan benda yang sangat langka. Hal ini disebabkan adanya fakta bahwa Jepang miskin atas sumber daya alam, terutama besi. Oleh karena itu orang Jepang terkenal hemat dengan konsumsi sumber daya mereka. Apa yang sedikit mereka miliki, mereka gunakan dengan keahlian yang tinggi. Oleh karena itu dikembangkan metode tatara untuk memanfaatkan pengolahan pasir besi dengan baik (diakses dari https://www.hitachi-metals.co.jp/e/tatara/index.htm.). Kemajuan metode tatara semakin berkembang menjadi lebih modern sehingga menghasilkan lebih banyak alat baru, seperti pedang dan baja yang juga sangat dibutuhkan dalam masa perang. Perang berakhir saat kekuatan keluarga Ashikaga yang ada di ibukota sudah semakin lemah dan tidak mampu menjaga kestabilan negara. Salah seorang daimyou terkuat yaitu Oda Nobunaga dengan bantuan Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu berhasil mempersatukan Jepang. Tahun 1568 Nobunaga merampas Kyōto dan mengangkat Ashikaga Yoshiaki sebagai Shōgun 10 boneka (Shōgun yang kekuasaannya ada di tangan majikannya). Jadi kekuasaannya ada di tangan Nobunaga (Yamakawa, 1990:76).
10
Shōgun adalah istilah jenderal atau panglima tertinggi pasukan dalam Bahasa Jepang. Pejabat Shogun diangkat dengan perintah kaisar dan dalam prakteknya berperan sebagai kepala pemerintahan. Kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan kaisar Jepang (Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Shogun tanggal 12 Agustus 2014)
4.4 Pemetaan Konflik Pemetaan konflik memberikan deskripsi pendahuluan mengenai berbagai sikap, perilaku, dan situasi yang berkembang dalam dinamika konflik (Susan, 2010:95). Situasi yang terjadi dalam Mononoke Hime adalah konflik antara empat kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kelompok-kelompok tersebut terdiri atas kelompok Tatara Ba, kelompok Kami, kelompok samurai, dan kelompok Jiko Bou. Ashitaka menjadi penengah dalam konflik.
4.4.1 Kelompok Tatara Ba Kelompok Tatara Ba terdiri atas Eboshi Gozen, Ishibiyashuu dan orangorang yang dikucilkan masyarakat seperti mantan wanita pelacur, penderita penyakit lepra, dan orang-orang yang putus asa ditampung di Tatara Ba. Eboshi Gozen merupakan pimpinan kelompok Tatara Ba yang disegani oleh para pekerjanya. Di bawah ini adalah gambar Eboshi yang sedang memegang ishibiya. Eboshi mengenakan topi berwarna merah, jaket berwarna biru dan baju berwarna merah.
(Gambar 4.1 Eboshi memegang ishibiya)
Warna merah menandakan bahwa Eboshi adalah wanita yang kuat, pemberani, dan berjuang keras untuk mencapai tujuannya yaitu membangun Tatara Ba. Warna biru menandakan bahwa Eboshi juga memiliki karakter tenang, percaya diri, stabil, dan bersikap dingin. Selain itu biru juga menandakan bahwa Eboshi melindungi dan memberikan perhatian, dan bersahabat kepada para pekerjanya sehingga ia sangat dihormati dan dicintai. Eboshi memegang ishibiya menandakan feminisme dalam Mononoke Hime. Wanita dapat menggunakan senjata yang biasanya hanya digunakan para pria sehingga dalam film ini kedudukan wanita dan pria digambarkan sejajar. Warna merah dan biru yang kontras menandakan Eboshi memiliki karakter dualisme, yaitu tokoh antagonis yang memiliki sisi baik hati. Karakter Eboshi diciptakan oleh Miyazaki sesuai dengan pernyataannya bahwa dia sudah bosan melihat karakter antagonis yang berwajah seram dan jahat. Dia bukanlah karakter yang jahat, tetapi memiliki ambisi yang besar demi kemajuan desa yang dibentuknya, yaitu Tatara Ba. Bahkan ia tidak takut untuk membunuh Kami sekalipun. Kebaikan hati Eboshi dapat diketahui dari sikapnya terhadap para pekerja Tatara Ba. Tatara Ba ialah utopia11 yang diciptakan oleh Eboshi untuk menampung orang-orang yang dikucilkan masyarakat, mantan pekerja seks, dan penderita lepra yang diasingkan oleh masyarakat. Eboshi menolong mereka dan memberinya pekerjaan di Tatara Ba. Berikut ini adalah penjelasan laki-laki di Tatara Ba tentang
Utopia menunjuk ke sebuah masyarakat hipotetis sempurna. Kata sifat utopis digunakan untuk merujuk ke sebuah proposal yang baik, tetapi (secara fisik, sosial, ekonomi, atau politik) tidak mungkin terjadi atau paling tidak merupakan sesuatu yang sulit dilaksanakan (diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Utopia tanggal 10 Juli 2014). 11
kebaikan hati Eboshi. Eboshi mempekerjakan para wanita yang ditemukan di tempat pelacuran untuk membantu proses pembakaran besi di Tatara Ba. 「エボシさまときたら、 売られたむすめたちを、 みんな、 ひきと っちまうからな。やさしい方なんだよ。」 Terjemahan : “Nona Eboshi mengontrak setiap gadis yang ditemukan dari tempat pelacuran. Dia sangat baik.” Hal lainnya adalah Eboshi juga menolong orang-orang yang terkena penyakit lepra. Saat mereka dikucilkan oleh masyarakat, Eboshi justru menolong dan mempekerjakan mereka. Tanpa takut tertular ia mengobati orang-orang tersebut dan merawatnya dengan baik. Ia menyediakan tempat khusus di taman sebagai tempat tinggal mereka. Eboshi memberikan mereka pekerjaan sebagai pembuat ishibiya. Mereka merasa sangat dihargai dan hidupnya menjadi lebih berarti. Berikut ini penjelasan salah seorang penderita penyakit lepra tentang Eboshi. Ia melarang Ashitaka membunuh Eboshi karena Eboshi telah menyelamatkan mereka. 「その人は 、わしらを、 人と して、 あつかってくださった、たっ たひとりの人だ。わしらの病を、 おそれず、くさった肉をあらい、 布をまいてくれた。とうか、 どうか、 その人を・・・。」 Terjemahan : “Dia satu-satunya yang menganggap kami sebagai manusia. Tanpa ketakutan pada penyakit kami, dia yang mencuci daging busuk kami, mebaluti kami perban. Aku mohon padamu jangan bunuh nona Eboshi.” Eboshi dibantu oleh pasukan Ishibiyashuu untuk mewujudkan ambisinya memajukan industri besi Tatara Ba. Pasukan ishibiyashuu adalah pasukan yang bersenjatakan ishibiya yang diberikan Jiko Bou kepada Eboshi untuk membantunya membangun Tatara Ba. Pasukan ishibiyashuu bertugas menembak para Kami yang menghalangi pekerja Tatara Ba menebang pohon-pohon. Selain itu pasukan ini bertugas menjaga keamanan Tatara Ba dari serangan musuh yaitu kelompok Inugami dan kelompok samurai.
4.4.2 Kelompok Kami Kelompok Kami terdiri atas Inugami, Inoshishigami, Shoujou, Kodama, dan Shishigami. Diantara para Kami, Shishigami yang memiliki kekuatan tertinggi karena dapat memberikan kehidupan dan kematian. Ia menguasai hutan tempat tinggal Kami sehingga hutan tersebut dinamakan hutan Shishigami. Gambar di bawah ini adalah gambar Shishigami dan wujud perubahannya pada malam hari, yaitu Daidarabocchi.
(Gambar 4.2 Shishigami dan Daidarabocchi)
Pada gambar di atas Shishigami berwujud rusa dengan banyak tanduk dan memiliki wajah seperti manusia. Hayao Miyazaki menggunakan wujud rusa sebagai Kami karena rusa dianggap penjelmaan Kami dalam agama Shinto. Tanduk berwarna hijau dan berbentuk seperti cabang pohon, wajah seperti manusia, dan tubuh berbentuk rusa menandakan bahwa Shishigami memiliki kuasa atas seluruh unsur alam baik itu tumbuh-tumbuhan, hewan, maupun manusia. Shishigami dapat memberikan kehidupan dan kematian kepada seluruh makhluk hidup.
Pada malam hari Shishigami berubah wujud menjadi Daidarabocchi yang tampak seperti gambar di atas. Daidarabocchi yang disebut juga si pejalan malam adalah raksasa, berwarna biru, dan berwujud rusa. Daidarabocchi merupakan salah satu jenis youkai 12 yang ada dalam mitologi Jepang yang disebut sebagai pemelihara bumi. Ia juga dapat memindahkan gunung dan membuat danau. Dalam film animasi ini Shishigami bertransformasi menjadi Daidarabocchi karena wujud raksasa Daidarabocchi memudahkannya berjalan – jalan pada malam hari untuk menjaga dan mengawasi alam. Warna biru Daidarabocchi menandakan perlindungan dan harmonisasi alam. 「シシ神は、命をあたえもし、うばいもする。そんなことも、わす れてしまったのか。いのししども。」 Terjemahan: “Dewa rusa memberikan kehidupan dan mengambilnya kembali. Apa kalian para inoshishigami lupa akan hal itu?” Selain Eboshi, Shishigami juga memiliki karakter dualisme karena ia merupakan tokoh protagonis yang memiliki sisi yang buruk. Kutipan di atas menunjukkan bahwa Shishigami memiliki kekuatan atas kehidupan dan kematian. Kekuatan tersebut dapat terlihat pada jejak kakinya yang dapat menumbuhkan dan mematikan tanaman yang diinjaknya. Menurut Ross hal tersebut berkaitan dengan agama Shinto karena dalam Shinto semua Kami memiliki “sisi kasar” (ara-mitama) dan “sisi lembut” (nigi-mi-tama) (1983:27). Sisi kasar Shishigami adalah mengambil kehidupan dan sisi lembutnya adalah memberikan kehidupan. Di satu sisi ia menyembuhkan luka di dada Ashitaka akibat tertembak peluru, di sisi lain dia mencabut nyawa Moro dan Okkotonushi yang merupakan sesama Kami.
12
Youkai adalah makhluk gaib yang biasanya memiliki kekuatan supranatural. Selain itu youkai juga pernah dianggap sebagai Kami, tetapi turun derajatnya (Miyata, 1990:10)
Selain Shishigami dan Daidarabocchi, Inugami dan Inoshishigami juga merupakan Kami yang memiliki kekuatan serta dapat berkomunikasi dengan manusia. Inugami merupakan Kami yang berbentuk serigala. Inugami dimunculkan dalam film animasi ini karena merupakan salah satu makhluk yang dianggap memiliki kekuatan mistis oleh masyarakat Jepang. Inugami merupakan hewan peliharaan gaib yang loyal dengan satu orang pemilik atau keluarga, sama seperti seekor anjing normal lainnya. Hanya saja, ketika Ia tidak diperlakukan dengan baik, mereka
akan
menyerang
balik
majikannya
(Diakses
dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Inugami tanggal 18 Oktober 2014). Berikut ini adalah gambar Inugami dalam Mononoke Hime.
(Gambar 4.3 Inugami)
Gambar di atas adalah kelompok Inugami yang terdiri atas San, Moro, dan anaknya. Kelompok ini dipimpin oleh Moro, serigala yang berukuran paling besar. San merupakan seorang manusia yang dibesarkan oleh Moro karena saat bayi ditinggalkan di hutan oleh orang tuanya. Moro sangat menyayanginya seperti anaknya sendiri. San merupakan wanita yang kuat dan pemberani. Mereka bertugas
untuk melindungi hutan dan Shishigami. Namun, hutan dan Shishigami diperlakukan semena-mena oleh manusia sehingga Inugami bekerja sama dengan Inoshishigami untuk menyerang manusia. Inoshishigami adalah Kami yang berbentuk babi hutan berukuran besar dan berwarna coklat tua. Inoshishigami datang jauh-jauh dari utara untuk membalas kematian temannya bernama Nago karena ulah manusia yang telah merusak hutan. Di bawah ini adalah gambar Okkotonushi, pimpinan kelompok Inoshishigami yang berukuran paling besar, berwarna abu-abu, berumur 500 tahun dan buta.
(Gambar 4.4 Inoshishigami yang dipimpin Okkotonushi)
Dalam film ini wujud babi hutan dianggap sebagai Kami sesuai dengan mitos di negara timur yang menyebutkan babi adalah hewan yang dianggap suci pada zaman prasejarah. Salah satunya dalam mitologi Hindu, awatara Waraha merupakan dewa wisnu yang menjelma menjadi babi hutan untuk menyelamatkan bumi. Waraha dengan dua taring yang panjang mencuat menopang bumi yang dijatuhkan
oleh
raksasa
bernama
Hiranyaksa
(Diakses
dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Waraha tanggal 18 Oktober 2014). Sesuai dengan mitologi tersebut, Inoshishigami dalam Mononoke Hime memiliki karakter pemberani
dan
pantang
menyerah
berperang
melawan
manusia
demi
menyelamatkan hutan Shishigami. Hutan Shishigami juga dihuni oleh hewan yang disebut Shoujou yang berarti orangutan. Shoujou merupakan kera dalam legenda Jepang yang memiliki ekor panjang, wajah seperti manusia, dan berjalan seperti manusia. Namun, dalam film animasi ini Shoujou digambarkan dalam wujud perpaduan antara orangutan dan gorila yang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan manusia seperti gambar di bawah ini.
(Gambar 4.5 Shoujou)
Pada gambar di atas para Shoujou terlihat sangat marah karena manusia membabat pohon-pohon di hutan sehingga mereka tidak memiliki tempat tinggal dan sumber makanan. Berbeda dengan Inugami dan Inoshishigami yang mempertahankan hutan dengan cara menyerang manusia, para Shoujou mempertahankan hutan dengan cara menanam pohon. Mereka berulang kali
menanam pohon di hutan yang telah dibabat, tetapi Eboshi dan pekerjanya selalu mengusirnya. Selain Shoujou, hutan Shishigami juga dihuni oleh makhluk yang disebut kodama. Kodama terdiri dari dua kata yaitu ko berarti pohon dan dama berarti roh. Jadi kodama adalah roh pohon. Pada zaman kuno, kodama disebut Kami yang tinggal di pohon-pohon, tapi saat ini kodama disebut youkai. Tidak ada yang tahu persis seperti apa wujud kodama. Mereka tidak dapat dibedakan dari bentuk pohon biasa. Dalam Mononoke Hime, kodama digambarkan dalam wujud makhluk yang lucu, berwarna putih, bertubuh mungil dengan kepala bulat, bisa menghilang, dan berjumlah banyak seperti gambar di bawah ini.
(Gambar 4.6 Kodama)
Kodama digambarkan seperti gambar di atas oleh Hayao Miyazaki agar penontonnya yang sebagian besar anak-anak tidak takut terhadap roh pohon. Wujud imajinasi Hayao Miyazaki ini membuat kodama menjadi terkenal di Jepang. Dalam film ini kodama tidak dapat berkomunikasi dengan manusia tapi dapat mengerti
ucapan manusia. Ia juga memiliki sifat baik hati karena mengantarkan Ashitaka keluar dari hutan Shishigami. Selain itu, ia memiliki kemampuan memanggil Shishigami atau Daidarabocchi dengan cara menggerakkan kepalanya.
4.4.3 Kelompok Jiko Bou Kelompok Jiko Bou terdiri atas karakasaren, jibashiri dan Jiko Bou sebagai pimpinan. Mereka adalah agen suruhan kaisar yang bertugas memburu kepala Shishigami untuk diberikan pada kaisar agar tetap abadi. Gambar di bawah ini adalah gambar Jiko Bou dan pasukan karakasaren. Mereka mengenakan pakaian berwarna merah dan putih serta membawa payung yang disebut karakasa.
(Gambar 4.7 Jiko Bou dan Karakasaren)
Warna pakaian merah dan putih pada pasukan tersebut sama dengan warna bendera negara Jepang yang disebut Hinomaru. Hal ini menandakan bahwa Jiko Bou dan pasukan karakasaren merupakan utusan pemimpin Jepang yaitu kaisar. Warna merah pada pakaian mereka menandakan kekuatan dan ambisi. Jiko Bou sangat berambisi untuk mendapatkan kepala Shishigami meskipun ia harus menempuh bahaya sekalipun. Pasukan karakasaren menjadi kekuatan kelompok ini untuk melancarkan tujuannya. Warna putih pada pakaian mereka menandakan
kebersihan. Dalam hal ini ‘bersih’ yang dimaksud adalah tindakan memburu kepala Shishigami merupakan tugas mulia berdasarkan titah kerajaan karena dilakukan untuk keabadian kaisar. Payung yang digunakan kelompok ini sebenarnya adalah senjata utama mereka. Dibuat dalam bentuk payung besar untuk mengelabui orangorang. Jiko Bou menyewa pasukan pemburu untuk membantunya memburu Shishigami. Gambar di bawah ini adalah pasukan pemburu yang disebut dengan jibashiri. Jibashiri mengenakan pakaian berwarna coklat dan penutup kepala dari kulit binatang.
(Gambar 4.8 Jibashiri)
Warna coklat biasanya menandakan bumi, tanah, atau batang pohon. Jibashiri menggunakan warna ini agar terlihat sama dengan warna tanah atau batang pohon sehingga terlihat menyatu dengan alam. Warna coklat juga menandakan pemikiran yang materialis. Jibashiri bersedia berburu Kami demi mendapatkan bayaran Jiko Bou, meskipun hal itu merupakan tindakan kejahatan. Beberapa anggota pasukan memakai pakaian dari kulit beruang sebagai penutup kepala. Mereka mengenakan
topi dari kulit binatang sebagai bentuk penyamaran mereka agar tidak terlihat dan tercium oleh binatang yang diburu.
4.4.4 Kelompok Samurai Kelompok samurai ikut masuk ke dalam konflik sehingga perseteruan menjadi semakin rumit. Kelompok ini dipimpin oleh Tuan Asano yang sangat ingin menguasai Tatara Ba untuk mendapatkan pasir besi. Pada gambar di bawah ini adegan saat kelompok samurai menyerang Tatara Ba. Terlihat pasukan samurai berjumlah sangat banyak dengan menggunakan berbagai macam senjata seperti pedang, panah, dan tombak.
(Gambar 4.9 pasukan samurai)
4.4.5 Ashitaka Konflik yang terjadi dalam Mononoke Hime ditengahi oleh seorang pemuda dari Desa Emishi bernama Ashitaka. Ashitaka tidak memihak salah satu kelompok
dan mengutamakan perdamaian di antara kelompok yang bertikai. Di bawah ini adalah gambar Ashitaka dengan mengenakan pakaian berwarna biru.
(Gambar 4.10 Ashitaka)
Warna biru yang dikenakan Ashitaka menandakan karakter tenang, bijak, dan percaya diri. Selain itu, Ashitaka memiliki idealisme menciptakan perdamaian untuk menyelesaikan masalah. Berbeda dengan pemikiran setiap kelompok yang memilih jalan konflik untuk menyelesaikan permasalahan. Ashitaka bersahabat baik dengan kelompok Kami dan kelompok Tatara Ba dan berusaha menciptakan harmonisasi antara manusia dan alam.
4.3.6 Bagan Pemetaan Konflik Berdasarkan pemaparan di atas, tiap-tiap kelompok dimasukkan dalam gambar pemetaan untuk mengetahui hubungan mereka dalam konflik. Pemetaan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan dengan pihak lainnya
(Susan, 2010:95). Berikut ini adalah bagan pemetaan konflik dalam Mononoke Hime.
Kelompok Samurai
Kelompok Tatara Ba: Eboshi Gozen Mantan wanita pelacur Orang-orang yang dikucilkan Para penderita lepra Ishibiyashuu
Kelompok Kami : Shishigami Inugami Inoshishigami Shoujou Kodama
Kelompok Jiko Bou : Jiko Bou Karakasaren Jibashiri
Ashitaka
(Bagan II. Pemetaan Konflik)
: Kerja sama : Netral : Hubungan konflik : Konflik tak langsung
Menurut Fisher, pemetaan konflik meliputi pemetaan pihak berkonflik dan berbagai aspirasi dari pihak-pihak yang ada. Ketika masyarakat yang memiliki berbagai sudut pandang berbeda memetakan situasi mereka secara bersama, mereka saling mempelajari pengalaman dan pandangan masing-masing (dalam Susan, 2010:95).
Kelompok samurai yang dipimpin oleh Tuan Asano menyerang Tatara Ba karena
ingin
menguasai
pasir
besi.
Namun,
orang-orang
Tatara
Ba
mempertahankan tempat tinggal mereka dan bertarung dengan menggunakan ishibiya sehingga mempersulit para samurai yang hanya bersenjatakan pedang. Kelompok Tatara Ba juga berkonflik dengan kelompok Kami. Eboshi sebagai pimpinan Tatara Ba ingin menguasai hutan agar dapat dengan leluasa mengeruk pasir besi untuk menafkahi pekerja-pekerjanya. Namun, kelompok Kami ingin melindungi dan menjaga hutan sebagai tempat hidup mereka. Kaisar mengirim pasukannya yang dipimpin oleh Jiko Bou untuk memburu kepala Shishgami dan Eboshi bersedia bekerjasama dengan mereka karena utang budinya pada Jiko Bou. Ashitaka menjadi penengah di antara kelompok yang bertikai. Ia tidak memihak kelompok Kami ataupun kelompok Tatara Ba. Ia menginginkan perdamaian antara kelompok tersebut. Demi melindungi kelompok Tatara Ba dan kelompok Kami, Ashitaka melawan kelompok Jiko Bou dan kelompok samurai yang dianggap dapat mengancam perdamaian.
4.5 Dinamika Konflik Langkah selanjutnya setelah pemetaan konflik adalah menganalisis dinamika konflik. Kunci memahami dinamika konflik pertama adalah dengan melihat sumber konflik, yaitu segala sesuatu yang menjadi inti masalah, seperti sumber daya alam, perbedaan tafsir agama, atau etnis (Susan, 2010:101). Konflik yang terjadi dalam Mononoke Hime bersumber pada sumber daya alam, yaitu hutan Shishigami dan pasir besi yang dikelola di Tatara Ba. Sesuai dengan pendapat Fisher tahapan
dinamika konflik dalam Mononoke Hime meliputi prakonflik, konfrontasi, krisis, dan pascakonflik (dalam Susan, 2010:102--103).
4.5.1 Prakonflik Prakonflik adalah periode pada saat terdapat suatu ketidaksesuain sasaran di antara dua pihak atau lebih sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum meskipun satu pihak atau lebih mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Terdapat ketegangan hubungan di antara beberapa pihak dan keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain pada tahap ini (Susan, 2010:102). Prakonflik terjadi pada saat Ashitaka terkena kutukan Tatarigami sehingga ia harus pergi dari desa dan melakukan perjalanan ke Tatara Ba. Di Tatara Ba ia mencari jawaban untuk menyembuhkan kutukan Tatarigami. Ia menemukan jawabannya pada Eboshi yang ternyata telah menembak Inoshishigami bernama Nago sehingga berubah menjadi Tatarigami. Ashitaka sangat marah akan tindakan kejam Eboshi yang merusak hutan dan membunuh dewa penghuni hutan. Seharusnya Tatarigami menyerang Eboshi yang telah menembaknya, tetapi ia justru menyerang Ashitaka sehingga terkena kutukan. Penyerangan Tatarigami ke Desa Emishi merupakan ketidaksesuaian sasaran. Sempat terjadi debat antara Ashitaka dan Eboshi, tetapi Ashitaka mengurungkan niatnya menyerang Eboshi untuk menghindari kontak karena ia telah menolong banyak orang di Tatara Ba.
4.5.2 Konfrontasi Selanjutnya tahap konfrontasi memperlihatkan satu tahap pada saat konflik mulai terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, para pendukungnya
mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Ladang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi di antara kedua pihak (Susan, 2010:102). Konfrontasi terjadi pada saat San menyerang Tatara Ba untuk membalaskan dendam penghuni hutan yang telah dibunuh oleh Eboshi. Ashitaka mencoba membujuknya untuk kembali ke hutan, tetapi ia tak menghiraukannya. Ia menyerang Ashitaka hingga pisaunya merobek lehernya. Selanjutnya ia terlibat pertarungan sengit satu lawan satu dengan Eboshi. Akan tetapi, ia seorang diri, orang-orang Tatara Ba mengelilinginya seperti hewan yang akan dijebak. Dengan mendesak masuk dalam keramaian, Ashitaka menengahi pertarungan Eboshi dan San, lalu memukul Eboshi dan San sampai pingsan. Pertarungan ini hanya kekerasan pada tingkat rendah sebagai bentuk perilaku konfrontatif San terhadap Eboshi.
4.5.3 Krisis Setelah konfrontasi terjadi tahap krisis yang merupakan puncak konflik. Tahap ketika konflik pecah menjadi bentuk aksi-aksi kekerasan yang dilakukan secara intens dan massal. Konflik skala besar ini merupakan periode perang ketika orang-orang dari kedua pihak terbunuh. Akibat menunjukkan pada situasi yang disebabkan oleh pecahnya konflik pada tahap krisis (Susan, 2010:102--103). Masa krisis terjadi pada saat perang antara kelompok manusia dan kelompok Kami. Kelompok manusia telah memasang jebakan untuk memancing kelompok Kami keluar dari hutan. Saat kelompok Kami menyerang kelompok manusia, ranjau yang telah dipasang kelompok manusia meledak sehingga membunuh banyak
korban, baik dari pihak Kami maupun manusia. Selain itu, perang juga terjadi di Tatara Ba antara orang-orang Tatara Ba dengan kelompok samurai yang menghancurkan pabrik pengolahan besi tersebut.
4.5.4 Pascakonflik Tahapan yang terakhir pascakonflik merupakan situasi yang diselesaikan dengan mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang, dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua belah pihak. Pascakonflik bisa juga disebut sebagai tahapan deeskalasi konflik kekerasan yang dapat terjadi karena beberapa faktor. Pertama, kedua belah pihak yang berkonflik menemukan pemecahan masalah dari konflik. Kedua, salah satu pihak mengalami kekalahan luar biasa, tanpa mendapatkan apa pun yang diperebutkan, dan tidak memiliki kemampuan melanjutkan konflik. Ketiga, semua pihak yang berkonflik mengalami kehancuran dan tidak mampu melanjutkan konflik. Keempat, pihak berkonflik menghentikan sementara waktu konflik untuk menyusun strategi selanjutnya (Susan, 2010:103--104). Pascakonflik terjadi pada saat Eboshi menembak kepala Shishigami lalu keluar lendir hitam dari tubuhnya yang menghancurkan hutan Shishigami dan Tatara Ba. Semua orang dan Kami berlari untuk menyelamatkan diri agar tidak terkena lendir. Peristiwa tersebut mengakhiri pertempuran yang terjadi dan hubungan antara kelompok yang berkonflik mengarah ke lebih normal. Sesuai dengan penjelasan di atas tahapan deeskalasi konflik kekerasan berakhir karena faktor ketiga, yaitu semua pihak yang berkonflik mengalami kehancuran dan tidak
mampu melanjutkan konflik. Kehancuran juga menyadarkan banyak pihak dampak tentang konflik dan memilih untuk berdamai.
BAB V BENTUK WACANA KONFLIK LINGKUNGAN DALAM TEKS FILM ANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI
Dalam bab ini diuraikan bentuk-bentuk wacana konflik lingkungan yang mencakup bentuk wacana perlindungan alam dan bentuk wacana eksploitasi alam yang diawali dengan menganalisis bahasa dan gaya bahasa. Uraian yang dipaparkan dalam bab ini mengacu pada perubahan sosial yang disebabkan masuknya budaya barat yang membawa pengaruh bagi perkembangan teknologi sehingga mengubah cara berpikir masyarakat Jepang menjadi lebih mementingkan materi dibandingkan kelestarian alam. Perbedaan paham dalam pengelolaan sumber daya alam menimbulkan konflik lingkungan antara manusia dan alam.
5.1 Bahasa Bahasa adalah suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, digunakan oleh suatu masyarakat untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri (Keraf, 2010:30). Bahasa juga merupakan salah satu manifestasi kebudayaan yang memiliki peran sangat penting dalam kehidupan manusia. Melalui bahasa kita dapat mengenali kebudayaan suatu bangsa. Salah satu contoh adalah bangsa Jepang yang selalu memperhitungkan status atau keberadaan mitra bicara dalam menjalin hubungan sosial dan komunikasinya. Hal ini menjadikan bahasa Jepang mengenal tingkatan bahasa dalam komunikasi seharihari. Tingkatan bahasa tersebut terdiri atas bentuk hormat dan bentuk biasa.
Ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang disebut dengan keigo. Secara singkat Terada Takanao menyebut keigo sebagai bahasa yang mengungkapkan rasa hormat terhadap lawan bicara atau orang ketiga (dalam Sudjianto, 2007:189). Pada dasarnya keigo dipakai untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis) untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan). Jadi, yang dipertimbangkan pada waktu menggunakan keigo adalah konteks tuturan termasuk orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga. Nomura Masaaki dan Koike Seiji dalam Nihongo Jiten membagi keigo menjadi sonkeigo, kenjoogo, dan teineigo (dalam Sudjianto, 2007:190). Dalam Mononoke Hime terdapat hanya dua jenis keigo, yaitu sonkeigo dan kenjoogo.
5.1.1 Sonkeigo Oishi Shotaro menjelaskan bahwa sonkeigo digunakan untuk menyatakan rasa hormat terhadap orang yang dibicarakan (termasuk benda-benda, keadaan, aktivitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya) dengan cara menaikkan derajat orang yang dibicarakan (dalam Sudjianto, 2007:190). Dalam Mononoke Hime, sonkeigo muncul pada saat seorang tokoh memanggil orang yang dihormatinya. Berikut ini adalah nama panggilan dalam bentuk hormat. 「アシタカさま」 「Ashitaka sama」 “Tuan Ashitaka” 「兄さま」 「Ani sama」 “Kakak (laki-laki)”
「エボシさま」 「Eboshi sama」 “Nona Eboshi” 「ヒイさま」 「Hii sama」 “Nyonya Hii” Pada data di atas sonkeigo terdapat pada kata sama yang mengikuti di akhir nama tokoh. Pemakaian kata sama dipakai untuk menghormati lawan bicara dengan cara menaikkan derajatnya. Berbeda dengan bahasa Indonesia, dalam bahasa Jepang tidak ada perbedaan gender saat memanggil orang yang dihormati. Kata sama dapat merujuk baik pada arti tuan, nyonya, nona, maupun kakak tergantung konteks kalimat.
5.1.2 Kenjoogo Hirai Masao menyebut kenjoogo sebagai cara bertutur kata yang menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara dengan cara merendahkan diri sendiri termasuk benda-benda, keadaan, aktivitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya (dalam Sudjianto, 2007:192). 「いずこよりいまし、あらぶる神とは存せぬも、かしこみ、かしこ み申す。この地に塚をきずき、あなたの御霊を、おまつりします。 うらみをわすれ、しずまりたまえ。」 「Izuko yori imashi, araburu kami to wa zonzenu mo, kashikomi, kashikomi mousu. Kono chi ni tsuka o kizuki, anata no mitama o, omatsuri shimasu. Urami o wasure, shizumaritamae.」 Terjemahan : “Walaupun saya tidak tahu darimana asalmu, ya dewa yang mengamuk, saya dengan hormat bicara dengan engkau. Di tanah ini kita akan membangun kuburan dan mengadakan matsuri untuk menghormati arwah engkau. Lupakanlah kebencianmu dan tenanglah!”
Pada kutipan di atas kenjoogo terdapat pada kata mousu dan omatsuri shimasu. Kata mousu berasal dari kata iu yang berarti ‘mengatakan.’ Mousu dipakai untuk merendahkan aktivitas Hii sama sebagai orang yang berbicara untuk menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara, yaitu Tatarigami. Kata omatsuri shimasu berasal dari kata matsuri yang berarti ‘upacara’ disisipkan pola ‘o … shimasu’ sehingga artinya menjadi ‘mengadakan upacara’. Selain itu, penyisipan pola ‘o … shimasu’ pada kata omatsuri shimasu dipakai untuk merendahkan aktivitas Hii sama sebagai orang yang berbicara dari perwakilan warga Emishi untuk menyatakan rasa hormat kepada Tatarigami sebagai orang yang dibicarakan. 「アシタカさま、 おねがいします。お気をつけて。」 「Ashitaka sama, onegaishimasu. Oki o tsukete.」 Terjemahan : “Tuan Ashitaka, tolong bawa kembali nona Eboshi. Berhati-hatilah!” Pada kutipan di atas kenjoogo terdapat pada kata onegaishimasu dan oki o tsukete. Kata onegaishimasu berasal dari kata negau yang berarti memohon kepada seseorang agar apa yang diidamkannya bisa menjadi kenyataan. Kata negau disisipkan pola ‘o … shimasu’ sehingga artinya menjadi onegaishimasu. Onegaishimasu merupakan ungkapan yang banyak dipakai dalam menyatakan harapan yang bermakna ‘tolonglah’ atau ‘bantulah’. Ungkapan ini digunakan secara luas dalam berbagai situasi kepada orang yang lebih tinggi, sederajat, ataupun yang lebih rendah kedudukannya (Edizal, 2010:95). Penyisipan pola ‘o … shimasu’ pada kata onegaishimasu dipakai untuk merendahkan aktivitas Toki, salah seorang wanita pekerja di Tatara Ba sebagai pembicara untuk menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara, yaitu Ashitaka. Kata oki o tsukete berasal dari kata ki o tsukete disisipkan awalan ‘o’ artinya adalah
‘berhati-hatilah’. Penyisipan awalan ‘o’ pada kata oki otsukete dipakai untuk merendahkan aktivitas Toki sebagai orang yang berbicara untuk menyatakan rasa hormat kepada Ashitaka sebagai orang yang dibicarakan. 「しし神よ、首をおかえしする。しずまりたまえ!」 「Shishigami yo, kubi o okaeshi suru. Shizumaritamae!」 Terjemahan: “Dewa rusa! Kami mengembalikan kepalamu! Tenanglah dalam kedamaian!” Pada kutipan di atas kenjoogo terdapat pada kata okaeshi suru. Kata okaeshi suru berasal dari kata kaeshi disisipkan pola ‘o … suru’ artinya adalah ‘mengembalikan’. Penyisipan pola ‘o … suru’ pada kata okaeshi suru dipakai untuk merendahkan aktivitas Ashitaka sebagai orang yang berbicara untuk menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara, yaitu Shishigami.
5.1.3 Keitai Dalam pendidikan bahasa Jepang keitai yang merupakan ‘bentuk hormat’ sering disebut juga desu-masutai, yaitu ‘bentuk desu-masu’ karena setiap bagian akhir kalimatnya selalu memakai verba bantu desu atau masu sebagai ungkapan yang menyatakan perasaan hormat (Sudjianto, 2007:197). 1) 「だんな、だいじょうぶですか?顔色がまっさおです。」 「Danna, daijoubu desu ka? Kao iro ga massao desu.」 “Tuan, apa kau baik-baik saja? Mukamu sangat pucat.” 2) 「あんな連中を、 信用しちゃだめです。」 「Anna renchū o, shinyou shicha dame desu.」 “Jangan percaya orang-orang itu!” Kutipan di atas adalah bentuk keitai dalam Mononoke Hime. Kata desu pada kutipan pertama dan kedua berasal dari kelas kata jodooshi (verba bantu) yang tidak
memiliki arti, tetapi berfungsi untuk menyatakan keputusan dalam bentuk halus. Kutipan pertama merupakan ucapan Kouroku, laki-laki pekerja di Tatara Ba kepada Ashitaka. Kouroku menggunakan bentuk desu untuk menyatakan rasa hormat kepada Ashitaka. Kutipan kedua merupakan ucapan salah seorang pekerja wanita di Tatara Ba kepada Eboshi. Bentuk desu dalam kutipan ini juga untuk menyatakan rasa hormat wanita tersebut kepada Eboshi. 「いつも、いつもカヤは、兄さまをおもっています。」 「Itsumo, itsumo Kaya wa, ani sama o omotteimasu.」 “Selalu, selalu Kaya akan memikirkan kakak.” Kata omotteimasu pada kutipan di atas merupakan bentuk halus dari kata omotteiru yang berarti ‘memikirkankan’. Bentuk masu pada kata omotteimasu berasal dari kelompok jodooshi yang dipakai untuk menghaluskan bahasa. Kutipan tersebut merupakan ucapan Kaya pada Ashitaka saat sebelum meninggalkan desa Emishi. Bentuk masu digunakan Kaya untuk menyatakan rasa hormatnya pada Ashitaka yang telah dianggapnya seperti kakak.
5.1.4 Jootai Kebalikan istilah keitai adalah jootai, yaitu ‘bentuk biasa’ yang sering disebut datai ‘bentuk da’, de arutai ‘bentuk de aru’ atau kedua-duanya disatukan menjadi da-dearutai ‘bentuk da-de aru’ karena setiap bagian akhir kalimatnya selalu memakai verba bantu da/de aru atau memakai verba bentuk kamus dengan berbagai bentuk perubahannya dalam bentuk biasa yang tidak hormat (Sudjianto, 2007:198). Dalam Mononoke Hime paling banyak ditemukan bentuk jootai yang menunjukkan keakraban hubungan antartokoh, baik sebagai teman maupun bawahan. Berikut ini beberapa contoh jootai dalam Mononoke Hime.
アシタカ:「なにかくる!じいじ、なんだろう?」 じいじ:「わからぬ。人でわない。」 アシタカ:「村では、ヒイさまが、みなをよびもどしている。」 Ashitaka :「Nanika kuru! Jīji,nan darou?」 Jiiji :「Wakaranu. Hito dewa nai.」 Ashitaka :「Mura dewa, hii sama ga, mina o yobimodoshite iru.」 Terjemahan : Ashitaka : “Ada sesuatu yang datang! Jiiji apa itu?” Jiiji : “Tidak tahu. Itu bukan manusia” Ashitaka : “Hii sama menyuruh semua orang kembali ke desa.” Jootai pada kutipan di atas terdapat pada kata kuru dan yobimodoshite iru yang merupakan verba bentuk kamus. Kuru merupakan bentuk kamus dari kata kimasu yang berarti ‘datang’ dan yobimodoshite iru merupakan bentuk kamus dari kata yobimodoshite imasu yang berarti ‘menyuruh’. Selain itu, ada kata dewa nai yang merupakan bentuk biasa dari kata dewa arimasen yang berarti ‘bukan’. Ashitaka berbicara kepada jiiji dengan menggunakan bentuk jootai yang menunjukkan hubungan akrab antara mereka berdua yang sama-sama tinggal di Desa Emishi. 「だが、ただ死をまつか、みずからおもむこかは、きめられる。 みなさい。あのいのししのからだに、くいこんでいたものだよ。ほ ねをくだき、はらわたをひきさきむごい苦しみを、あたえたのだ。」 「 Daga, tada shi o matsu ka, mizu kara omomuko ka wa, kimerareru. Minasai. Ano inoshishi no karada ni, kui konde ita mono da yo. Hone o kudaki, harawata o hikisaki mugoi kurushimi o, ataeta no da.」 Terjemahan : “ Takdirmu sudah ditentukan. Kau tidak bisa meskipun kau mengusahakannya. Lihat! Ini ada di dalam tubuh monster itu! Dia kesakitan. Benda ini menghancurkan tulangnya dan mengoyak isi perutnya.” Jootai pada kutipan di atas terdapat pada kata kimerareru dan da. Kimerareru merupakan bentuk kamus dari kata kimeraremasu yang berari ‘ditentukan’. Kata da merupakan bentuk biasa dari kata desu yang menyatakan keputusan. Kutipan di atas merupakan perkataan Hii sama kepada Ashitaka. Hii sama adalah seorang nenek
yang berprofesi sebagai dukun di Desa Emishi. Hii sama menggunakan bentuk jootai kepada Ashitaka yang menunjukkan hubungan atasan dan bawahan. Dapat diketahui bahwa Hii sama merupakan orang yang dihormati di Desa Emishi sehingga dapat menggunakan bahasa bentuk jootai kepada warga Emishi. Namun, bawahan tidak dapat menggunakan bentuk jootai kepada atasan karena akan terkesan tidak hormat.
5.2 Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan gagasan dan perasaan dengan bahasa khas sesuai dengan kreativitas, kepribadian, dan karakter pengarang untuk mencapai efek tertentu, yakni efek estetik dan efek penciptaan makna. Jangkauan gaya bahasa sangat luas meliputi semua hierarki kebahasaan. Pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan (Keraf, 2010:112). Dalam Mononoke Hime ditemukan gaya bahasa Jepang yang sangat khas, yaitu majas repetisi dan idiom.
5.2.1 Repetisi Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberikan tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Keraf, 2010:127). Kata atau kelompok kata yang diulang dalam repetisi bisa terdapat dalam satu kalimat atau lebih dan berada pada posisi awal, tengah, atau di tempat yang lain (Nurgiyantoro, 2010:301). Ada beberapa kata yang direpetisi dalam Mononoke Hime. 「いずこよりいまし、あらぶる神とは存せぬも、かしこみ、かしこ
み申す.」 「Izuko yori imashi, araburu kami to wa zonzenu mo, kashikomi, kashikomi mousu.」 Terjemahan : “Walaupun saya tidak tahu darimana asalmu, ya dewa yang mengamuk, saya dengan hormat berbicara dengan engkau.” Kutipan di atas merupakan ucapan Hii sama kepada Tatarigami. Repetisi terdapat pada kata kashikomi yang berarti ‘dengan hormat’. Pengulangan kata kashikomi menunjukkan penegasan. Hii sama menegaskan bahwa ia berbicara kepada tatarigami dengan sangat hormat. 「おまもりするよう、息をふきこめました。いつも、いつもカヤは, 兄さまをおもっています。きっと、きっと・・・。」 「O mamori suru yō, iki o fukikomemashita. Itsumo, itsumo Kaya wa,ani sama o omotte imasu. Kitto, kitto.」 Terjemahan : “Simpan ini untuk menjagamu. Aku akan selalu memikirkanmu, pasti.” Saat Ashitaka akan meninggalkan Desa Emishi, Kaya menghampirinya. Kaya memberikan sebuah kalung belati dari permata sebagai jimat untuk menjaganya selama perjalanan ke negeri barat. Kutipan di atas adalah ucapan perpisahan Kaya pada Ashitaka. Repetisi terdapat pada kata itsumo yang berarti ‘selalu’. Repetisi tersebut bermakna penegasan bahwa Kaya pasti akan selalu memikirkan Ashitaka. Antara Kaya dan Ashitaka tidah ada hubungan darah tetapi Kaya sudah menganggap Ashitaka seperti kakaknya sendiri sehingga ia memanggil Ashitaka dengan sebutan anisama yang berarti kakak laki-laki. Kaya sangat khawatir pada Ashitaka karena ia terkena kutukan mematikan. Repetisi juga terdapat pada kata kitto yang berarti ‘pasti’. Kaya mengucapkan kata tersebut untuk meyakinkan Ashitaka bahwa ia pasti akan menunggu Ashitaka kembali lagi ke Desa Emishi setelah menghilangkan kutukannya.
「これより、西へ西へとすすむと、山のおくの、また山おくに、人 をよせつけぬ、深い森がある。シシ神の森だ。」 「Kore yori, nishi e nishi e to susumu to, yama no oku no, mata yama oku ni, hito o yosetsukenu, fukai mori ga aru. Shishigami no morida.」 Terjemahan : “Jauh ke barat di dalam gunung adalah hutan dewa rusa. Belum ada yang menapakkan kakinya di sana.” Kutipan di atas merupakan penjelasan Jiko Bou pada Ashitaka tentang daerah di barat. Repetisi terdapat pada kata nishi e yang berarti ‘ke barat’. Pengulangan kata nishi e menjelaskan bahwa tempat yang terletak sangat jauh di barat dan daerah tersebut ada di dalam gunung. Negeri barat yang dimaksud Jiko Bou adalah hutan Shishigami yang merupakan hutan tempat tinggal para Kami. Para Kami tersebut dipimpin oleh Shishigami, yaitu dewa rusa sehingga hutan tersebut disebut hutan Shishigami. Keberadaan Kami di hutan tersebut membuat manusia merasa takut untuk melewatinya. 「木、 うえた。木 、うえ、 木、うえた。みな、 人間ぬく 。森 、も どらない。 人問、 ころしたい。」 「Ki, ueta. Ki, ueta, ki, ueta. Mina ningen nuku. Mori, modoranai. Ningen, koroshitai.」 Terjemahan : “Kami menanam pohon, manusia menghancurkannya. Hutan tidak akan kembali lagi. Kami membunuh manusia.” Kutipan di atas merupakan ungkapan kekecewaan para Shoujou terhadap manusia. Repetisi terdapat pada kata ki ueta yang berarti ‘tanam pohon’. Pengulangan kata tersebut menjelaskan suatu pekerjaan yang dilakukan berulangulang oleh para Shoujou, yaitu menanam pohon. Pohon-pohon di hutan tempat tinggal para mereka dibabat habis hingga menjadi hutan yang gundul dan gersang. Mereka berusaha menyelamatkan hutan dengan menanam pohon lagi dan lagi,
tetapi manusia menghancurkannya kembali sehingga tanah hutan menjadi rusak dan tidak dapat subur seperti sebelumnya. Hal tersebut membuat para Shoujou ingin membunuh manusia.
5.2.2 Idiom Idiom merupakan konstruksi kata yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya. Sekelompok kata yang berupa idiom mempunyai makna khas dan tidak sama dengan makna kata per katanya. Jadi, idiom mempunyai kekhasan bentuk dan makna di dalam kebahasaan yang tidak dapat diterjemahkan secara harfiah (Al-Ma’ruf, 2009:72). Berikut ini adalah beberapa idiom yang terdapat dalam Mononoke Hime. 「はい。タタリ神に矢を射るとき、心をきめました。」 「Hai. Tatarigami ni ya o iru toki, kokoro o kimemashita.」 Terjemahan : “Ya, aku sudah siap sejak melepaskan panahku pada Tatarigami.” Bentuk kamus dari idiom kokoro o kimemashita adalah kokoro o kimeru. Kokoro berarti ‘hati’ dan kimeru berarti ‘memutuskan’. Dalam kutipan di atas idiom tersebut berarti ‘sudah siap’. Apabila dihubungkan dengan arti sebenarnya, ‘hati yang memutuskan’ menunjukkan kesiapan seseorang. Dalam film ini menunjukkan kesiapan Ashitaka pergi dari desa untuk menyembuhkan kutukan Tatarigami di tangannya. 「おいで、なかなおりしょう。おまえの主人をはこぶから、カをか しておくれ。」 「Oide, nakanaori shou. Omae no shujin o hakobukara, chikara o kashite okure.」 Terjemahan : “Kemari. Mari berteman. Bantu aku membawa tuanmu ya.”
Bentuk kamus chikara o kashite okure adalah chikara o kashite okuru. Chikara berarti ‘kekuatan’ dan kashite okuru berarti ‘pinjamkan’. Idiom tersebut menunjukkan makna meminta bantuan. Dalam film ini diceritakan San meminta bantuan Yakkul untuk memanggul Ashitaka yang sedang pingsan. 「のろいが、わが身を食いつくすまで、苦しみ、 生きろと ・・・。」 「Noroi ga, waga mi o kui tsukusu made, kurushimi, ikiro to. 」 Terjemahan : “ Dia menyembuhkan lukaku, tetapi bekasnya masih ada. Aku harus menderita sampai kutukan ini membunuhku.” Mi berarti ‘nyawa’, kui berarti ‘makan’. Mi o kui berarti ‘makan nyawa’. Memakan nyawa menunjukkan arti ‘membunuh’. Dalam film ini diceritakan Shishigami menyembuhkan luka Ashitaka, tetapi tidak menghilangkan kutukannya. Ia harus merasakan penderitaan sampai kutukan itu membunuhnya.
5.3 Bentuk Wacana Konflik Lingkungan Dalam Mononoke Hime Konflik dalam Mononoke Hime disebabkan oleh dua kelompok yang memiliki pandangan berbeda terhadap pengelolaan lingkungan, yaitu kelompok Kami dan kelompok manusia yang terdiri dari kelompok Tatara Ba, kelompok Jiko Bou, dan kelompok samurai. Kelompok Kami melihat kegunaan alam dari kacamata pemerhati lingkungan sedangkan kelompok manusia melihat kegunaan alam dari nilai ekonomi. Kelompok Kami memaknai pemanfaatan sumber daya alam sesuai dengan tingkat kecukupan akan sumber daya sampai pada kurun waktu yang tak terhingga. Kelompok manusia berpandangan bahwa sumber daya alam diperlukan sebanyak-banyaknya untuk mengakomodasi keperluan manusia. Kelompok-kelompok tersebut memiliki pandangan dalam pengelolaan sumber
daya alam yang dapat berdampak baik dan buruk bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
5.3.1 Bentuk Wacana Perlindungan Alam Dalam Mononoke Hime kelompok Kami yang terdiri dari Inugami, Inoshishigami, Kodama dan Shoujou dan dipimpin oleh Shishigami berjuang melindungi hutan Shishigami dari tangan manusia yang telah merusaknya. Dalam kelompok ini ada seorang manusia yang dibesarkan oleh Inugami bernama San. San merupakan sosok wanita yang kuat dan pemberani dan ia berjuang mati-matian untuk melindungi alam. Meskipun seorang manusia, tapi San lebih mementingkan kehidupan alam dibandingkan manusia. Ia melawan kejahatan manusia terhadap alam. San dan kelompok Kami diintepretasikan sebagai masyarakat lokal yang tinggal di sekitar daerah eksploitasi sumber daya alam dan memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Masyarakat ini biasanya memiliki kepercayaan terhadap kekuatan alam yang melebihi kekuatan manusia. Seperti Shishigami yang memiliki kekuatan alam yang dapat memberikan kehidupan dan kematian sesuai ucapan Ashitaka dalam kutipan berikut. 「シシ神は、 死にはしないよ。 命そのものだから。 生と死と、 ふ たつとも、 もっているもの。わたしに、 生きろといってくれた。」 Terjemahan : “Shishigami tidak bisa mati. Dia hidup dengan sendirinya. Hidup dan mati adalah sesuatu yang dia berikan dan dia ambil. Dia memberi tahu kita untuk tetap hidup.” Shishigami merupakan representasi dari sumber daya alam yang menyediakan segala kebutuhan manusia sehingga dapat mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu masyarakat ini melakukan penghormatan atas alam sehingga pantang bagi mereka untuk menebang tunas-tunas muda dan mencemari lingkungan. Pola seperti ini diwariskan turun temurun, jika terdapat anggota yang melanggar akan dikenakan sanksi. Berdasarkan mitos ini lingkungan dapat dilestarikan oleh kelompok masyarakat lokal. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran dalam paham teosentrisme. Teosentrisme mengacu pada pandangan bahwa sistem keyakinan dan nilai terkait dengan Ketuhanan secara moralitas lebih tinggi dibandingkan dengan sistem lainnya. Singkatnya, teosentrisme lebih menekankan keberpusatan pada Tuhan dibandingkan pada manusia. Manusia menganut paham ini sebelum teknologi ditemukan sehingga manusia merasa takut akan alam (Susilo, 2012:35,39). Dalam paham ini manusia menganggap kehidupannya dikendalikan dan didominasi kekuatan supranatural yang menguasai alam. Masyarakat ini juga membangun mitos-mitos tertentu yang semata-mata ditujukan sebagai tanggapan terhadap alam. Misalnya, manusia memiliki persepsi yang beragam tentang bencana alam, gunung meletus, banjir, maupun peristiwaperistiwa lainnya. Alam dapat mendatangkan bencana bagi seluruh makhluk hidup jika manusia terus mengekploitasi alam tanpa berusaha melestarikannya. Bencana alam akan menghancurkan segalanya termasuk manusia itu sendiri. Mitos-mitos tersebut bertujuan untuk mengendalikan perilaku eksploitasi manusia terhadap alam karena sumber daya alam merupakan komponen utama dalam menyokong kehidupan di bumi. Hampir seluruh peradaban manusia membutuhkan sumber daya alam yang sifatnya terbatas. Sejarah membuktikan semakin majunya peradaban manusia, maka kebutuhan akan sumber daya alam
akan semakin besar. Namun, perkembangan sumber daya alam khususnya bahan pangan berbanding terbalik dengan jumlah populasi manusia. Pertumbuhan manusia akan mengikuti deret hitung sedangkan perkembangan bahan pangan akan mengikuti deret ukur. Kenyataan ini ternyata juga sebanding dengan kebutuhan manusia lainnya. Alam yang dieksploitasi secara terus menerus akan mengakibatkan kekurangan sumber daya alam sehingga manusia tidak dapat mencukupi kebutuhannya dalam jangka waktu panjang. Hal tersebut juga mengakibatkan alam tidak memiliki waktu untuk meregenerasi sehingga semakin lama akan terjadi kerusakan alam. Berdasarkan hal tersebut masyarakat lokal yang peduli terhadap lingkungan memiliki gagasan untuk melindungi sumber daya alam. Dalam mewujudkan gagasan ini masyarakat melakukan berbagai upaya seperti reforestation 13 dan perlawanan kepada masyarakat yang merusak lingkungan. Dalam Mononoke Hime upaya reforestation dilakukan oleh para Shoujou. Berikut ini kutipan ucapan Shoujou yang telah berupaya menyelamatkan hutan Shishigami dengan menanam pohon. 「木、 うえた。木 、うえ、 木、うえた。みな、 人間ぬく 。森 、も どらない。 人問、 ころしたい。」 Terjemahan : “Kami menanam pohon, menanam pohon, menanam pohon. Manusia menghancurkannya. Hutan tidak akan kembali lagi. Kami membunuh manusia.” Para Shoujou berusaha menanam pohon terus menerus di hutan Shishigami, tetapi manusia selalu menghancurkannya. Pohon-pohon tidak akan tumbuh lagi dan hutan
13
Reforestation adalah penghutanan kembali (Hidayat, 2011:10).
pun akan menjadi rusak. Shoujou merasakan kebencian terhadap manusia sehingga ingin membunuhnya. Upaya Shoujou tersebut sama seperti yang dilakukan masyarakat yang berusaha
menyelamatkan
lingkungan
dengan
melakukan
reforestation.
Reforestation merupakan konsep pengelolaan hutan yang lestari. Hasil alam yang telah dipanen akan ditanam kembali sehingga sumber daya alam tetap terjaga kelestariannya. Jika sumber daya alam selalu dilestarikan oleh manusia setelah digunakannya, maka karunia alam dapat dinikmati seluruh makhluk hidup dalam jangka waktu yang panjang. Usaha yang dilakukan Shoujou tersebut sia-sia sehingga Inugami dan Inoshishigami bekerjasama melakukan perlawanan terhadap manusia. Berikut ini kutipan ucapan Okkotonushi, pimpinan Inoshishigami yang bermaksud melakukan perlawanan terhadap manusia. 「モロ、 わしの一族をみろ。 みんな、 小さく、ばか になりつあ る。このままでは、 わしらは、 ただの肉として、 人間に、 符ら れるようになるだろう。」 Terjemahan : “Lihat suku kami, Moro. Kami tumbuh menjadi kecil, dan kami tumbuh menjadi bodoh. Untuk mengakhiri ini adalah dengan cara mengakhiri permainan manusia yang suka berburu daging.” Akibat ulah manusia yang telah merusak alam kekuatan Kami dan penghuni hutan menjadi lemah, mereka merasa kecil dan bodoh. Okkotonushi ingin segera mengakhiri penderitaannya dengan cara menyerang manusia. Perlawanan kelompok Kami dapat diintepretasikan sebagai gerakan penyelamat lingkungan. Warga sekitar lokasi kerusakan lingkungan melakukan penyelamatan lingkungan dengan menggunakan sikap dan tindakan mereka. Upaya ini dilakukan sebab upaya reforestation ini tidak dapat berjalan dengan baik
sehingga para penyelamat lingkungan melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang telah merusak alam. Dampak-dampak yang dirasakan sangat merugikan masyarakat dan lingkungan memaksa mereka bergerak dengan beragam cara. Gerakan perlawanan ini berupa aksi-aksi demonstrasi di lapangan, lobi-lobi dengan para pejabat negara, maupun penyebaran informasi dan opini ke berbagai kalangan. Dalam pelaksanaannya gagasan masyarakat lokal tentang lingkungan tidak selalu berdampak baik bagi perkembangan kehidupan manusia selanjutnya. Manusia hanya akan bergantung dengan ketersediaan sumber daya alam dan cenderung
menyerah
terhadap
bencana
alam.
Apalagi
seiring
dengan
perkembangan zaman populasi manusia bertambah dengan cepat sehingga kebutuhan manusia akan sumber daya alam tidak tercukupi. Oleh karena itu diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengeksploitasi sumber daya alam agar kebutuhan seluruh manusia dapat terpenuhi. Selain itu, manusia akan mendapatkan keuntungan materi jika sumber daya alam dieksploitasi secara maksimal.
5.3.2 Bentuk Wacana Eksploitasi Alam Pada zaman Muromachi teknologi mulai dikenal oleh beberapa masyarakat Jepang sehingga kepercayaan mereka akan kekuatan alam pun mulai berubah. Ilmu pengetahuan dan teknologi membuat manusia dapat menguasai, mengendalikan, bahkan dapat menaklukkan alam. Berdasarkan pemikiran tersebut lahirlah paham antoposentrisme. Antroposentrisme merupakan paham yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta (Susilo, 2012:105). Hori menjelaskan bahwa pemikiran mengenai alam yang modern untuk hidup berdampingan dengan
alam pada akhirnya juga merujuk pada pemikiran mengenai utopia, yaitu alam bekerja demi manusia (Hori, 2008:1). Dalam pemikiran antroposentrisme manusia melihat alam sebagai suatu objek untuk memenuhi kebutuhan karena manusia tidak dapat hidup tanpa alam. Pernyataan tersebut menjadi pembelaan oleh kaum pendukung antroposentrisme (Sonny Keraf, 2010:34). Paham antroposentrisme tercermin dalam diri Eboshi Gozen yang memiliki gagasan mengeksploitasi alam demi kebutuhan manusia. Eboshi merupakan representasi dari orang Jepang yang modern, yaitu demi modernisasi mereka harus mengorbankan hutan dan Kami. Kami yang tinggal di hutan dipercaya sebagai penjaga hutan maka dengan membunuh Shishigami yang menjadi penguasa hutan tersebut Eboshi berharap dapat menguasai hutan. Hal tersebut dipaparkan dalam kutipan berikut. アシタカ:「あなたは、 シシ神の森まで、うばうつもりか。」 エボシ: 「古い神が、いなくなれば、ここは、ゆたかな国になる。 もののけ姫も、人間にもどろう。」 Terjemahan : Ashitaka : “Bahkan kau juga menginginkan hutan Shishigami?” Eboshi : “Tanpa para dewa kuno, mereka hanyalah hewan buas. Dengan hilangnya hutan dan Inugami itu tanah ini akan menjadi kaya, dan Mononoke akan menjadi manusia.” Dari pernyataan Eboshi tersebut dapat diketahui keinginannya untuk menguasai alam. Dengan mengalahkan para Kami, maka yang memegang kendali atas hutan adalah para manusia. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Eboshi memiliki gagasan bahwa alam digunakan sebagai objek eksploitasi manusia. Hal tersebut dilakukannya karena keadaan pada zaman Muromachi, saat manusia berjuang matimatian untuk bertahan hidup. Saat terjadi banyak peperangan sehingga masyarakat
mengalami kesulitan ekonomi yang mengakibatkan wabah kepalaran dan kemiskinan. Manusia harus memanfaatkan sumber daya alam secara maksimal untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Eboshi datang untuk merevolusi dan merevitalisasi industri besi dengan mempekerjakan orang-orang yang dikucilkan masyarakat seperti mantan pelacur, penderita kusta, pengemis, dan lain-lain untuk memperkuat Tatara Ba. Ia dicintai oleh para pekerjanya karena telah memberikan mereka pekerjaan untuk mencari nafkah dan memperlakukan mereka dengan baik. Eboshi digambarkan memiliki jiwa revolusioner dalam kemajuan sosial dan teknologi. Kemajuan teknologi digunakannya untuk mencari keuntungan materi dengan cara mengeksploitasi alam agar dapat menafkahi pekerjanya. Inovasinya telah membawa kemakmuran dan stabilitas rakyat Tatara Ba yang dapat hidup tanpa ancaman kelaparan dan penindasan tuan tanah meskipun mereka harus bekerja keras mengolah besi. Eboshi dapat diintepretasikan sebagai pelaku bisnis yang melihat sumber daya alam dari segi ekonomi. Eboshi memiliki gagasan bahwa nilai ekonomi yang terkandung dalam sumber daya alam yang dapat memberikan kesejahteraan, melalui kegiatan pengelolaan dan pemanfaatannya. Mendapatkan manfaat ekonomi dari pengelolaan sumber daya alam, maka terdapat relevansi bahwa pemanfaat atau pengelolaan sumber daya alam dapat berkontribusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, demi menuruti perkembangan industrialisasi, sumber daya alam yang pasif tadi dieksploitasi secara luas. Semakin berhasil perusahaan mengeksploitasi sumber daya alam, maka semakin sukses mereka dapat mengendalikan hidupnya dan semakin banyak pula material income yang
didapatkan. Dalam hal ini pelaku bisnis bersikap individualism yakni sikap dan keyakinan dengan menekankan dorongan personal tanpa memikirkan kepentingan dan kerugian di pihak masyarakat lokal (Susilo, 2012: 65—68). Bentuk-bentuk keserakahan semacam ini akan lebih mengorientasikan manusia hanya pada kepentingan dan keberhasilan dirinya, tanpa berpikir panjang akibat yang akan diterima kelompok masyarakat lokal. Menyangkut persoalan distribusi sumber daya alam, persoalan yang sering terjadi adalah ketidakmerataan. Usaha Eboshi membangun Tatara Ba didukung oleh Jiko Bou yang merupakan agen suruhan kaisar. Kelompok Jiko Bou diperintahkan kaisar untuk menjalankan tugas berburu kepala Shishigami yang dianugerahi keabadian untuk diberikan kepada kaisar. Shishigami merupakan Kami yang menguasai alam karena kekuatannya memberi kehidupan dan kematian. Jiko Bou dibantu oleh pasukan karakasaren dan jibashiri. Jiko Bou melakukan berbagai cara agar tujuan kaisar dapat tercapai. Ia memberikan pasukan ishibiyashuu kepada Eboshi untuk membantunya membangun Tatara Ba. Kemudian Jiko Bou memaksa Eboshi untuk mau bekerjasama dengannya memburu kepala Shishigami. Eboshi yang merasa berhutang budi bersedia melaksanakannya. Selain itu, Jiko Bou juga menggunakan kekerasan dan senjata untuk membunuh para penghuni hutan. Pelaku bisnis seperti perusahaan dan investor dapat berkembang dengan baik apabila didukung oleh pemerintah. Kaisar dalam film ini dapat diintepretasikan sebagai pemerintah pusat suatu negara. Keinginan kaisar mendapatkan kepala Shishigami untuk keabadiannya merupakan gambaran seorang penguasa yang memperkuat kedudukannya dengan cara menguasai sumber daya alam. Dalam hal ini fungsi negara dalam konsep hak menguasai negara atas sumber daya alam lebih
sebagai pihak yang mempunyai otoritas untuk melakukan penatagunaan sumber daya alam. Penatagunaan sumber daya alam merupakan kebijakan pengelolaan yang mengatur aspek-aspek penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berwujud konsolidasi pemanfaatan sumber daya alam sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil (Hidayat, 2011:20). Negara dimaknai sebagai pemilik mutlak atas bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya tapi negara lebih pada posisi politis sebagai “badan penguasa” dalam suatu wilayah. Pemerintah pusat memeiliki gagasan menguasai segala sumber daya alam yang digunakan untuk tujuan sebesar-sebesarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah pusat sebagai organisasi kekuasaan tertinggi di dalam suatu wilayah, diberikan mandat oleh rakyatnya guna mengatur dan memimpin kehidupan rakyatnya dalam suatu wilayah. Mereka bertugas untuk dapat menciptakan rasa aman dan kesejahteraan bagi rakyatnya oleh karena itu semua tanggung jawab pengurusan dan pengelolaan yang ada dalam suatu wilayah diserahkan kepada pemerintah pusat termasuk mengatur, dan mengkoordinir penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada pada wilayahnya. Selain itu, negara juga mempunyai kewajiban melakukan pemeliharaan dan pelestarian sumber daya alam (Hidayat, 2011:21--22). Demi melancarkan gagasannya menguasai sumber daya alam, pemerintah mengerahkan pasukan militer. Pasukan Jiko Bou diintepretasikan sebagai pasukan militer. Kekuasaan yang menggunakan saluran militer menggunakan cara-cara kekerasan dan paksaan agar pihak yang dikuasai yaitu masyarakat lokal memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi kepada pihak yang berkuasa. Sarana paksaan fisik yang sering kali digunakan untuk menguasai pihak lain adalah senjata. Melalui
senjata, pasukan militer dapat menguasai pihak lain, sebagaimana sistem pemerintahan kolonialisme. Tujuan dari kekuasaan yang menggunakan saluran militer ini yaitu menimbulkan rasa takut masyarakat lokal agar menurut terhadap apa yang diperintahkan oleh kekuatan militer tersebut. Mereka memandang kekuasaan sebagai perjuangan, pertentangan, dominasi, dan konflik pada umumnya. Kekuasaan yang demikian ini menimbulkan sifat kekuasaan yang otoriter. Adapun kekuasaan atas sumber daya alam dipandang negatif jika penggunaan sumber-sumber kekuasaan ini untuk mencegah masyarakat lokal mencapai tujuan yang sebenarnya baik tetapi dipandang tidak perlu sehingga merugikan pihak tersebut. Hal ini disebabkan kekuasaan pribadi tujuannya lebih pada pencapaian tujuan individu atau kelompok kecil penguasa saja. Penerapan konsep hak menguasai negara, atas sumber-sumber daya alam yang ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat pada praktiknya lebih banyak digunakan untuk melegitimasi negara dalam hal memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi pemilik modal besar untuk membuka usaha-usaha pengelolaan sumber daya alam dengan dalih untuk melaksanakan pembangunan perekonomian. Akibatnya dari tujuan tersebut maka keluarlah berbagai kebijakan pemerintah, yang tidak jarang akibat dari kebijakan tersebut mengeliminasi keberadaan
masyarakat
termasuk
masyarakat
lokal
dari
tanah
tempat
penghidupannya selama ini. Kelompok samurai diceritakan ingin mendapatkan keuntungan dari Tatara Ba. Kelompok samurai dipimpin seorang daimyou bernama Tuan Asano yang memiliki pengaruh besar di sekitar wilayah Tatara Ba. Ia memiliki banyak samurai sebagai pengikut yang membantunya dalam memperkuat kekuasaan. Tatara Ba
ingin dikuasai Tuan Asano karena pabrik pengolahan besi ini memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Selain itu, Tatara Ba dapat mengolah besi menjadi senjata yang sangat diperlukan untuk memperkuat dan memperluas kekuasaannya. Tuan asano dan kelompok samurainya dapat diintepretasikan sebagai pemerintah daerah yang turut mencari keuntungan dari pelaku bisnis seperti perusahaan dan investor. Sumber daya alam merupakan aset esensial bagi daerah terutama yang memiliki sumber daya alam berlimpah sehingga pada akhirnya mampu meningkatkan pendapatan daerah dan taraf kehidupan masyarakatnya. Perizinan diberikan kepada perusahaan atau investor guna membuka lahan untuk proses produksi berbagai bentuk sumber daya alam agar kesejahteraan masyarakat dapat meningkat. Selanjutnya dapat memajukan daerah tersebut secara bertahap dan berkelanjutan. Dalam era otonomi daerah saat ini, pemerintah daerah memiliki kewenangan mengizinkan kekuatan-kekuatan bisnis dalam sumber daya alam. Kewenangan dari pemerintah daerah digunakan para pelaku bisnis untuk mengekploitasi alam secara besar-besaran sehingga dapat meraih material income sebanyak-banyaknya. Pemerintah daerah pun turut memperoleh keuntungan dari pelaku bisnis tersebut. Sumber daya alam diekploitasi untuk kepentingan komersil dalam bidang perekonomian, perindustrian, pariwisata, dan lain-lain. Semakin banyak sumber daya alam yang dijadikan proyek komersil semakin banyak pendapatan daerah yang diperoleh.
Dalam hal ini manusia memiliki sifat materialism 14 dalam mengkonsumsi sumber daya alam. Konsumsi bukan lagi sekadar sebagai sarana untuk bertahan hidup atau menjaga kelangsungan hidup, tetapi ia telah berubah menjadi hidup itu sendiri. Konsumsi merupakan gaya hidup baru yang diyakini sebagai salah satu simbol dari modernitas. Akibatnya, ia menjadi semacam candu yang tak bisa dikendalikan. Sebagai konsekuensi menuruti kebutuhan nafsu manusia ini, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun pelaku bisnis berlomba-lomba mencari sumber-sumber material untuk memanjakan nafsu mereka. Industri muncul demi memenuhi kebutuhan hidup manusia dan mendatangkan keuntungan materiil bagi siapa pun yang berhasil menggerakkan dan memanfaatkannya. Tetapi, sesuatu yang tidak bisa dihindari jika industri juga menghasilkan dampak yang merugikan alam, lingkungan, dan tentunya habitat manusia. Seperti yang dilakukan Shishigami yang telah menghancurkan segalanya akibat ulah manusia yang mengeksploitasi alam. Sebenarnya jika sumber daya alam dimanfaatkan hanya mengikuti kebutuhan masing-masing secara individu, ia akan memiliki kemampuan meregenerasi dengan sendirinya. Hanya yang terjadi penggunaan sumber daya alam tidak memerhatikan daya dukung lingkungan dan minimnya usaha untuk melestarikannya. Akibatnya lingkungan rusak di mana-mana dan besar kemungkinan tidak terselamatkan.
14
Materialism adalah kemodernan yang diukur dengan tindakan-tindakan konsumsi (Susilo, 2012:66)
BAB VI FUNGSI WACANA KONFLIK LINGKUNGAN DALAM TEKS FILM ANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI
Dalam bab ini diuraikan fungsi wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi Mononoke Hime yang mencakup solidaritas internal masyarakat Jepang dalam mengatasi konflik lingkungan, pengendalian sosial masyarakat Jepang dalam menjaga harmonisasi alam, dan integrasi masyarakat Jepang dalam mewujudkan harmonisasi alam. Fungsi wacana konflik lingkungan dianalisis sesuai dengan teori fungsi konflik. Uraian ini perlu dilakukan untuk menganalisis fungsi konflik dalam Mononoke Hime yang tidak selalu berdampak negatif, tetapi justru berdampak positif bagi kehidupan masyarakat Jepang.
6.1 Solidaritas Internal Masyarakat Jepang dalam Mengatasi Konflik Lingkungan Coser mengungkapkan bahwa konflik dengan kelompok lainnya dapat menghasilkan solidaritas di dalam kelompok tersebut sehingga menjadi kekuatan yang mempersatukan. Konflik juga dapat berfungsi untuk memperlancar komunikasi dalam kelompok (dalam Setiadi, 2011:372). Sebelum terjadi konflik anggota-anggota kelompok akan berkumpul dan merencanakan apa yang akan dilakukan. Lewat tukar-menukar pikiran bisa mendapat gambaran yang lebih jelas akan apa yang harus dibuat entah untuk mengalahkan lawan atau untuk menciptakan kedamaian. Selanjutnya komunikasi akan menjadi proses refleksi
internal kelompok-kelompok mengenai kelompok di luar mereka sehingga meningkatkan partisipasi setiap anggota terhadap pengorganisasian kelompok. Konflik dalam Mononoke Hime terjadi karena perubahan sosial dan perbedaan kepentingan masing-masing kelompok. Inti masalah terletak pada sumber daya alam, yaitu hutan Shishigami dan pasir besi yang bukan menjadi masalah yang mendasar dalam kelompok internal. Konflik yang demikian itu saling menetralisasi dan sesungguhnya berfungsi mempersatukan sistem sosial. Masalahmasalah tersebut tidak menyangkut nilai-nilai inti dalam kelompok internal, maka konflik yang demikian tidak membahayakan struktur sosial dalam kelompok. Bahkan, justru dapat meningkatkan solidaritas internal, yaitu berbagai kelompok bisa memiliki pandangan yang berbeda mengenai berbagai masalah yang berbeda pula. Karakter masyarakat Jepang yang berorientasi terhadap kelompok menjadi dasar rasa solidaritas kelompok-kelompok dalam Mononoke Hime. Orientasi kelompok adalah kerangka berpikir orang Jepang terhadap kerja kelompok yang didasari kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok dalam suatu kehidupan sosial masyarakat yang diikat oleh kehidupan bekerja sama di dalam satu kehidupan kelompok atau masyarakat. Orientasi kelompok ini disebut dengan shuudanshikou (Kawamoto, 1973:17). Orang Jepang ketika berinteraksi dengan sesamanya di dalam kegiatan kelompok menunjukkan sikap keberadaannya dalam kelompok. Mereka berusaha keras menjalankan tugas dan kewajiban dalam melakukan kegiatan agar mereka memperoleh hasil yang menguntungkan bagi kelompoknya.
Ada dua hal yang mendasari pemikiran orang Jepang dalam kerangka orientasi kelompok dan keberhasilan dalam kehidupan kelompok, yaitu semangat kebersatuan (ittaikan) dan kebersamaan (kyoudoutai) (Madubrangti, 2008:24). Semangat kebersatuan (ittaikan) adalah semangat kerja sama dan kebersamaan dalam kelompok yang lahir dan orang-orang yang masuk ke suatu kelompok tanpa membawa keterampilan atau keahlian yang menjadi pengalamannya (Iwamoto, 1997). Kebersamaan (kyoudoutai) adalah kepercayaan dan keyakinan yang ada pada diri seseorang terhadap suatu tindakan yang bersifat kolektif. Setiap orang yang terlibat di dalam kelompoknya sudah dihadapkan dengan batasan-batasan yang menyangkut kebersamaan (Durkheim, 1990:4). Shuudanshikou, ittaikan, dan kyoudoutai mempererat hubungan internal dalam kelompok Tatara Ba dan kelompok Kami saat terjadi konflik. Solidaritas kelompok Tatara Ba dapat terwujud berkat peran pemimpin mereka, yaitu Eboshi. Kekuasaaan digunakan Eboshi untuk mengendalikan dan mengatur struktur sosial dalam kelompok internal sehingga rasa solidaritas dapat terwujud. Eboshi merevitalisasi Tatara Ba dengan mempekerjakan orang-orang yang terbuang dari masyarakat seperti penderita kusta, pelacur, dan orang-orang yang putus asa. Para pekerja ini memperkuat proses pengolahan besi di Tatara Ba. Eboshi dicintai oleh para pekerjanya karena diberikan kesempatan bekerja untuk mencari nafkah dan memperlakukan mereka seperti layaknya manusia bukan seperti orang buangan. Mereka diperlakukan dengan sangat baik, sopan, dan diberikan perhatian oleh Eboshi sehingga ia dipercaya sebagai pemimpin. Pemimpin yang baik hati dan peduli menciptakan suasana kerja yang menyenangkan sehingga para pekerja dapat saling bekerjasama dan beorientasi
pada kepentingan kelompok. Eboshi telah menumbuhkan rasa ittaikan dan kyoudoutai pada pekerja Tatara Ba agar terwujud shuudanshikou. Hal ini dapat dilihat dari kinerja seluruh pekerja dalam pengolahan pasir besi. Ittaikan pada kelompok Tatara Ba terlihat di dalam kegiatan mengolah pasir besi. Para pekerja di Tatara Ba terdiri atas orang-orang yang tidak memiliki keahlian mengolah besi. Namun, dalam sistem kerjasama kelompok Tatara Ba merupakan satu kesatuan unit keluarga. Kesatuan unit keluarga sebagai tempat kerja ini terbentuk dari para pekerja yang sebelumnya tidak memiliki suatu keterampilan dan mereka bekerja sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing dalam organisasi yang mengikatnya. Tugas dan kewajiban ini dilakukan para pekerja sebagai pengetahuan yang dimiliki dan berkembang sebagai pengalaman yang dapat menyejahterakan kelompok Tatara Ba. Eboshi mengajari para wanita untuk bekerja mengolah pasir besi menjadi besi dengan menggunakan metode tatara. Tatara merupakan metode Jepang kuno untuk pengolahan pasir besi. Proses pembakaran pasir besi dengan metode tersebut memerlukan suhu panas yang sangat tinggi sehingga membutuhkan alat yang bernama fuigo untuk menghasilkan angin yang membantu proses pembakaran pasir besi. Fuigo tersebut menggunakan papan kayu yang diinjak naik dan turun untuk menghasilkan angin. Para pekerja tatara harus terus menginjak papan itu agar angin tetap
keluar
tanpa
henti
(diakses
dari
https://www.hitachi-
metals.co.jp/e/tatara/index.htm.) Berikut ini adalah gambar proses pembakaran besi di Tatara Ba yang dilakukan oleh para wanita dengan menginjak fuigo.
(Gambar 6.1 Ashitaka memerhatikan para wanita yang sedang menginjak fuigo)
Para pekerja wanita bergotong royong menginjak fuigo untuk menghasilkan angin dalam proses pembakaran besi. Mereka bekerja sangat keras karena fuigo tersebut alat yang cukup berat dan tidak boleh berhenti diinjak selama proses pembakaran. Para wanita itu bergantian dengan teman-temannya apabila mereka kelelahan. Ada lima orang di kanan dan lima orang di kiri yang silih berganti menginjak fuigo naik turun. Sistem kerja gotong royong menciptakan interaksi saling mengisi yang dilakukan setiap pekerja dalam mengolah pasir besi dengan menginjak fuigo. Mereka berkomunikasi dan bertukar pikiran sehingga terjalin keakraban antarindividu. Keakraban tersebut memperkuat ittaikan dan kyoudoutai pekerja wanita dalam kelompok Tatara Ba. Hal ini menunjukkan harmoni para pekerja wanita sehingga terwujud solidaritas dalam kelompok Tatara ba. Eboshi menanamkan persatuan kepada para pekerja sejak dini sehingga saat terjadi konflik solidaritas dalam kelompok internal menjadi lebih meningkat. Hal tersebut dapat terlihat dari sikap kebersamaan (kyoudoutai) dan kepedulian para
pekerja kepada pemimpin mereka. Saat menyerang Eboshi, Ashitaka disela oleh salah seorang penderita lepra di Tatara Ba. Di bawah ini adalah kutipan ucapan penderita lepra tersebut. 「お若い方、どうか、その人 を、 ころさない でおくれ。その人は 、 わしらを、 人と して、 あつかってくださった、たったひとりの人だ。 わしらの病を、 おそれず、くさった肉をあらい、 布をまいてくれた。 とうか、 どうか、 その人を・・・。」 Terjemahan : “Anak muda aku mohon padamu jangan bunuh nona Eboshi. Dia satusatunya yang menganggap kami sebagai manusia. Tanpa ketakutan pada penyakit kami, dia yang mencuci daging busuk kami, mebaluti kami perban.” Seorang penderita lepra memberikan pembelaan untuk menghentikan serangan Ashitaka pada Eboshi. Orang itu meyakinkan Ashitaka bahwa Eboshi sebenarnya adalah wanita yang sangat baik hati. Di saat penderita lepra dikucilkan oleh masyarakat, Eboshi dengan berjiwa besar menerima dan merawat mereka. Bahkan luka mereka dibersihkan dan dibalut olehnya tanpa rasa takut akan tertular. Eboshi adalah satu-satunya orang yang memperlakukan mereka seperti layaknya manusia. Selain itu, Eboshi juga memberikannya pekerjaan sebagai pembuat ishibiya sehingga mereka tidak putus asa oleh penyakitnya dan memiliki semangat hidup. Mereka merasa sangat berutang budi pada Eboshi yang telah merawat dan menyayanginya. Penjelasan di atas menunjukkan kekompakan Eboshi dan para pekerjanya. Saat Eboshi mendapat serangan dari Ashitaka para pekerja segera membelanya. Serangan Ashitaka yang secara potensial dapat menimbulkan konflik justru dapat meningkatkan kekompakan dalam kelompok internal. Selain itu, konflik antara Eboshi dan Ashitaka juga membantu memperkuat batas antara kelompok Tatara Ba dengan pihak lain yang dianggap mengancam persatuan.
Eboshi tidak hanya memberikan perhatian terhadap para penderita lepra, tapi juga pada para pekerja wanita. Ia dekat dan bersahabat dengan para pekerjanya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut. トキ:「エボシさま、 わたしたちも、 おともさせてください。せっ かく、 石灰天を、 おぼえたんだから。あんな連中を、 信用 しちゃだめです。」 エボシ:「だからこそ、 みんなに、 ここをまもってもらいたいのさ。 こわいのは、 もののけより、 人間のほうだからね。シシ神 ごろしがすんだら、いろいろ、わかるだろうよ。 師匠連が、 シシ神の首だけで、 ここから手をひくもんか。待だけじゃ ない、 石灰失衆が、敵になるかもしれないんだ。しっかり やりな、 みんな。」 Terjemahan : Toki : “Biarkan kami pergi bersamamu! Jangan percaya orang-orang itu! Kami tidak bisa menolongmu dari sini jika terjadi apa-apa! Kami telah belajar bagaimana caranya menembak.” Eboshi : “Itulah alasannya mengapa aku ingin kalian berada di sini. Aku lebih takut pada manusia daripada dewa hutan. Dengan kematian dewa rusa, segalanya akan menjadi jelas. Apakah kepala dewa rusa yang diinginkan oleh kaisar? Kita mungkin saja bertarung melawan para penembak. Kita tidak bisa memercayai mereka. Tetaplah berada di tempat kalian berdiri.” Kutipan di atas adalah percakapan antara Toki dan Eboshi ketika Eboshi memutuskan untuk bekerja sama dengan kelompok Jiko Bou untuk melawan kelompok Kami. Pekerja laki-laki ikut dalam pertempuran melawan Kami, sedangkan pekerja wanita dan para penderita lepra tetap mempertahankan Tatara Ba dari serangan kelompok samurai. Toki, salah seorang pekerja wanita mengkhawatirkan Eboshi dan ingin ikut dengannya melawan kelompok Kami agar dapat menolongnya jika terjadi musibah. Eboshi meyakinkan para pekerja wanita untuk menjaga Tatara Ba karena ia telah mengajari mereka cara menembak. Eboshi juga khawatir jika Ishibiyashuu berbalik melawan Tatara Ba. Ia memberikan tanggung jawab kepada para wanita untuk menjaga Tatara Ba dari serangan musuh.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui hubungan antara Eboshi dan para pekerjanya sebelum dan sesudah konflik. Sebagai pimpinan, Eboshi menjalin komunikasi yang akrab dengan para pekerjanya sehingga mereka dapat saling percaya. Kepercayaan ini yang mendasari sikap kyoudoutai dan ittaikan sehingga anggota kelompok Tatara Ba terfokus pada shuudanshikou, bukan kepentingan individu. Hal tersebut yang menciptakan solidaritas internal dalam kelompok Tatara Ba saat terjadi konflik dengan kelompok Kami. Solidaritas internal juga ditunjukkan oleh kelompok Inoshishigami dan Inugami. Sekelompok Inoshishigami yang berasal dari utara pergi menuju hutan Shishigami. Inoshishigami yang dipimpin oleh Okkotonushi tersebut mendengar kabar bahwa para Inoshishigami yang dipimpin oleh Nago telah mati di hutan Shishigami akibat ishibiya yang ditembakkan oleh manusia. Mereka datang dengan seluruh kelompoknya untuk membalaskan dendam Nago dan untuk menyelamatkan hutan Shishigami. Ketegangan sempat terjadi ketika Inoshishigami bertemu dengan Inugami, tetapi dapat dihindarkan karena ketegangan itu dapat diproyeksikan ke suatu sumber yang ada di luar masalah dalam kelompok. Hasilnya adalah bahwa para anggota kelompok Kami mempersalahkan manusia karena kesulitan internalnya daripada membiarkan kesulitan ini menghasilkan perpecahan atau konflik dalam kelompok itu. Kemudian mereka bergabung dengan Inugami dalam satu kelompok yang membela para Kami dan penghuni hutan. Konflik dengan kelompok Tatara Ba memperkuat kekompakan internal dan meningkatkan moral kelompok Kami. Persepsi terhadap ancaman dari manusia membantu kelompok Kami meningkatkan
atau mempertahankan solidaritas internal. Di bawah ini adalah kutipan percakapan antara Moro dan Okkotonushi tentang pemikirannya melawan manusia. おっことぬし:「モロ、 わしの一族をみろ。 みんな、 小さく、ば かになりつある。このままでは、 わしらは、 ただ の肉 として、 人間に、 符られるようになるだろ う。」 モロ:「気にいらぬ。 いちどに、 けりをつけようなどと、 人間ど もの、 おもう つ ぼだ。」 Terjemahan : Okkotonushi : “Lihat suku kami, Moro. Kami tumbuh menjadi kecil, dan kami tumbuh menjadi bodoh. Untuk mengakhiri ini adalah dengan cara mengakhiri permainan manusia yang suka berburu daging.” Moro : “Untuk mempertaruhkan semuanya di pertempuran terakhir adalah bermain ke dalam permainan mereka.” Akibat ulah manusia, Okkotonushi dan pasukan Inoshishigami merasa menderita. Okkotonushi memutuskan untuk menyerang manusia agar perilaku kejam mereka terhadap alam mendapat ganjarannya. Moro memiliki pemikiran yang sama untuk menyerang manusia, lalu mereka sepakat untuk bekerja sama melawan manusia. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa konflik dengan kelompok lainnya dapat menghasilkan solidaritas di dalam kelompok tersebut sehingga menjadi kekuatan yang mempersatukan. Solidaritas dalam kelompok internal dapat terwujud karena kelancaran komunikasi antar anggota dalam kelompok. Mereka saling berinteraksi mencari jalan keluar untuk menghadapi dan menyelesaikan konflik dengan cara mengalahkan lawan atau untuk menciptakan kedamaian. Selanjutnya komunikasi akan menjadi proses refleksi internal kelompok-kelompok mengenai kelompok di luar mereka sehingga tercipta ittaikan dan kyoudoutai. Dua hal tersebut mendasari pemikiran masyarakat Jepang agar berorientasi terhadap kelompok sehingga terwujud solidaritas internal.
Film animasi Mononoke Hime sebagai sarana edukasi yang mengajarkan kepada penonton rasa ittaikan dan kyoudoutai dalam masyarakat Jepang. Ittaikan dan kyoudoutai menurut Fukutake harus diajarkan sejak anak lahir, karena sejalan dengan pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwanya ia sudah dihadapkan dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung di dalam kehidupan keluarga (1997: 39--41). Kehidupan keluarga tidak terlepas dari tradisi yang menunjukkan rasa ittaikan dan kyoudoutai yang menghasilkan solidaritas. Sikap solider terlihat dari kehidupan anak tanpa disadari sehingga film animasi merupakan sarana edukasi yang baik untuk menanamkan rasa solidaritas kepada anak sejak dini.
6.2 Pengendalian Sosial Masyarakat Jepang dalam Menjaga Harmonisasi Alam Di dalam kehidupan sosial selalu terdapat alat kontrol atau alat kendali untuk mengendalikan berbagai tingkah laku anggota kelompok sosial agar tingkah laku para anggota tersebut tetap dalam batas-batas tingkah konformis. Artinya perilaku manusia selalu dibatasi dalam batasan antara mana yang boleh dilakukan dan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan. Batasan ini tentu dalam bentuk perintah dan larangan yang dinamakan pengendalian sosial. Menurut Joseph S.Roucek pengendalian sosial adalah proses baik direncanakan maupun tidak direncanakan, yang bersifat mendidik, mengajak, bahkan memaksa warga-warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku (dalam Setiadi, 2011:252). Di dalam kenyataan tertentu pasti ada sebagian anggota masyarakat yang menaati peraturan dan ada sebagian yang melakukan pelanggaran. Untuk mencegah
atau mengurangi agar warga masyarakat tidak melakukan pelanggaran aturan, maka di dalam kelompok masyarakat terdapat seperangkat nilai dan norma. Norma dan nilai sosial bukan hanya sebagai petunjuk arah bagi tata kelakuan para anggota kelompok sosial saja tetapi ia juga memiliki kekuatan kendali yang mengikat masyarakat agar tidak melakukan penyimpangan sosial Dalam masyarakat Jepang ada berbagai aturan dan norma yang mengatur kehidupan sosial. Aturan dan norma tersebut dipengaruhi oleh agama Shinto yang mendasari nilai-nilai sosial Jepang sejak zaman dahulu kala. Salah satunya adalah penghormatan atas alam. Menurut agama Shinto, alam adalah kekuatan pemelihara yang penuh kebajikan yang harus dihargai oleh manusia dan merupakan perwujudan dari sumber kejadian. Manusia dapat masuk ke inti realitas dan menyatu dengannya melalui pemahaman atas bentuk-bentuk alam. Alam tidaklah terpisah dari para dewa atau manusia, tetapi menyatu dengan keduanya (Bellah, 1992:82). Norma sosial dalam agama Shinto mengatur masyarakat Jepang untuk menghormati alam karena manusia dapat hidup melalui sumber daya alam. Selain itu, segala sesuatu di alam diyakini memiliki kekuatan dan dapat menciptakan bencana yang disebut dengan Kami. Alam, Kami, dan manusia tidaklah terpisah, tetapi menyatu sehingga terwujud harmonisasi. Agama Shinto memiliki andil besar bagi tercapainya harmonisasi alam, sebab melalui pendidikan keagamaan, masyarakat Jepang dibimbing untuk menjadi manusia yang bertindak atas dasar norma-norma agama yaitu untuk menghormati alam. Jika semua anggota masyarakat bersedia menaati norma ini, maka hampir dapat dipastikan bahwa
lingkungan menjadi lestari dan kehidupan masyarakat akan makmur dan sejahtera karena sumber daya alam yang memadai. Dalam Mononoke Hime alam dibuat hidup dalam wujud binatang-binatang berukuran besar, dapat berkomunikasi dengan manusia dan memiliki kekuatan supranatural yang disebut dengan Kami. Alam diciptakan sedemikian rupa oleh pengarang agar dapat melawan manusia yang telah merusak alam, yaitu kelompok Tatara Ba. Kelompok Tatara Ba membabat hutan untuk kepentingan pabrik pengolahan besi. Kelompok samurai menyerang Tatara Ba untuk menguasai besi. Selain itu, kelompok Jiko Bou memburu kepala Shishigami. Kelompok Kami dan para penghuni hutan melawan manusia untuk melindungi hutan sehingga terjadilah konflik. Sikap kelompok Tatara Ba, samurai, Jiko Bou, dan Kami tidak sesuai dengan norma sosial dalam agama Shinto. Kelompok Tatara Ba, samurai, dan Jiko Bou telah merusak alam demi kepentingan dan keuntungan pribadi sehingga tidak sesuai dengan norma sosial, yaitu penghormatan atas alam. Manusia yang seharusnya dapat melestarikan alam, justru merusaknya. Kemudian kemarahan kelompok Kami kepada manusia telah menimbulkan disharmonisasi. Hal tersebut juga tidak sesuai dengan norma agama Shinto, yakni terciptanya harmonisasi antara Kami, manusia, dan alam. Ashitaka menjadi penengah dalam konflik dan berusaha mengendalikan keadaan sosial yang sedang kacau. Ashitaka berusaha meredakan permusuhan dengan melakukan komunikasi baik kepada pihak Tatara Ba maupun pihak Kami. Namun konflik antara kedua kelompok tersebut tidak dapat dihindari sehingga ia hanya mengikuti jalannya konflik dan menjaga agar konflik tak menghancurkan seluruh struktur kelompok.
Di tengah perang antara kelompok Kami dan kelompok Tatara Ba ia mencoba mencari jalan keluar yang meredakan permusuhan. Ia menolong kelompok Tatara Ba dan kelompok Kami dan meyakinkan mereka untuk berdamai. Berdasarkan pengalamannya tersebut Ashitaka melakukan mekanisme pengendalian sosial dengan beberapa cara yaitu pengendalian secara persuasif, koersif, dan pervasi. Pertama-tama
Ashitaka
melakukan
pengendalian
secara
persuasif.
Pengendalian sosial yang dilakukan Ashitaka yaitu dengan cara tidak menggunakan kekerasan, tindakan pengendalian dilakukan dengan cara pendekatan kepada setiap individu. Mereka diajak, disarankan, diimbau, atau dibimbing melalui alasan yang rasional sehingga imbauan, saran dan ajakan Ashitaka dapat diterima secara akal. Dengan demikian pihak yang dikendalikan tidak melakukan penyimpangan sosial atas dasar kesadaran dirinya, bukan karena tekanan. Pada saat meleraikan perkelahian antara Eboshi dan San, Ashitaka menunjukkan tangan yang terkena kutukan pada mereka sebagai bukti dampak dari kebencian. Ashitaka menghentikan perkelahian tersebut karena tidak ingin lagi ada kebencian dalam diri manusia, berikut ini kutipannya. 「そなたのなかには、夜又がいる。このむすめのなかにもだ。みん な、みろ!これが、 身のうちにすくう、 にくし みと、うらみの すがただ。肉をくさらせ、 死をよびよせるのろいだ。これ い じょ う、にくしみに、 身をゆだねるな!」 Terjemahan : “Terdapat iblis di dalam dirimu dan di dalamnya. Lihat ini! Ini adalah bentuk dari kebencian yang ada padaku! Ini membuat busuk dagingku dan bersiap menjemput nyawaku! Jangan membuat kebencian itu tumbuh!” Ashitaka berusaha menciptakan persatuan di antara kelompok dengan cara terus berkomunikasi membujuk mereka untuk menghentikan konflik dan berdamai.
Pengendalian secara persuasif tidak berhasil karena konflik masih saja terjadi sehingga Ashitaka terpaksa melakukan pengendalian secara koersif. Tindakan pengendalian yang dilakukan Ashitaka dengan menggunakan kekerasan atau paksaan. Saat meleraikan perkelahian antara San dan Eboshi, Ashitaka terpaksa memukul mereka untuk menghentikannya. Selain itu, Ashitaka melakukan perlawanan dengan kelompok samurai yang menambah permasalahan dalam konflik. Ashitaka juga bertarung dengan Jiko Bou yang mengambil kepala Shishigami agar kerusakan lingkungan dapat dihentikan. Kemudian Ashitaka melakukan pengendalian sosial dengan cara pervasi atau pengisian. Ashitaka berusaha melakukan penanaman atau pengenalan norma secara berulang-ulang dengan harapan hal yang berulang-ulang itu akan masuk ke kesadaran seseorang sehingga orang akan mengubah sikapnya sesuai dengan yang diinginkan. Tidak hanya sekali, tetapi berulang-ulang Ashitaka berusaha membujuk Eboshi. Ambisi Eboshi membuat dirinya menjadi manusia yang serakah. Ia tidak hanya menginginkan pasir besi, tetapi juga hutan Shishigami, bahkan ia menembak kepala Shishigami agar semua keinginannya tercapai. Berikut ini adalah kutipan percakapan Ashitaka yang membujuk Eboshi agar hutan dan pabrik hidup bersama. Namun, Eboshi menolaknya, ia lebih memilih mengikuti ambisinya. エボシ:「シシ神ごろしをやめて、侍ごろしを、やれと いう のか。」 アシタカ:「ちがう。森とタタラ場、 ともに生きる道は、 なしの か!?エボシさま、 もどりましょう。」 Terjemahan : Eboshi : “Jadi maksudmu tidak usah membunuh Shishigami, dan membunuh para samurai saja, begitu?” Ashitaka : “Bukan! Bisakah hutan dan pabrik besi hidup bersama? Eboshi ayo kembali!”
Ketika Inoshishigami dan Moro bersiap-siap untuk menyerang manusia, Ashitaka berusaha membujuk Moro mewujudkan persatuan. Ia membujuk Moro agar hutan dan manusia hidup bersama dalam kedamaian. Di bawah ini adalah percakapan saat Ashitaka membujuk Moro, tetapi ditolaknya. 「モロ 、森と人が、 あらそわずにすむ道は、 ないのか。ほんとう に、 もう、 とめられないのか?」 Terjemahan : “Tak bisakah hutan dan manusia hidup bersama dalam kedamaian? Tidak bisakah ini dihentikan?” Inoshishigami sudah berjalan menuju ke tempat manusia dan Moro sudah sepakat dengan Okkotonushi untuk membantu mereka. Selain itu, Moro ingin membalas dendam pada Eboshi yang menjadi penyebab kerusakan hutan. San pernah mengira Ashitaka ada di pihak Eboshi lalu perdebatan terjadi di antara mereka. San menjadi lebih membenci manusia. Keinginan Ashitaka untuk menciptakan perdamaian, dipandang sebagai pengkhianatan oleh San. San menusuk dada Ashitaka. Akan tetapi, Ashitaka tetap berusaha meyakinkannya jika mereka bersama-sama saling membantu, maka hutan akan terselamatkan dan San menyanggupinya. Berikut ini adalah kutipan perdebatan antara Ashitaka dan San. アシタカ:「モロが、かたきをうった。もう、罰はうけている。 首をさがしている。 ここも、 あぶない。サン、 カを、 か してくれ。」 サン:「いやた! おまえも、 人間のみかただ。その女をつれて、さ っさといっちまえ!人間なんか、大きらいだ!」 アシタカ:「わたしは、 人間だ。 そなたも、人間だ。」 サン:「だまれ!わたしは山犬だ!」 アシタカ:「サン・・・。」 サン:「よろな!すまない。 なんとか、 とめようとしたんだが . . .。」 「もう、 おわりだ。 なにもかも。森は死んだ・・・。」 アシタカ:「まだおわらない。 わたしたちが、生きているのだから。 力をかしておくれ。」
Terjemahan : Ashitaka : “Moro sudah melakukan balas dendam padanya. Dia sedang mencari kepalanya. Kita tidak bisa berada di sini. San! Bantu aku!” San : “Tidak! Kau ada di pihak mereka! Ambil wanita itu dan pergilah! Menjauhlah aku benci manusia!” Ashitaka : “Aku manusia dan kau juga.” San : “Diam! Aku adalah Inugami!” Ashitaka : “San..” San : “Menjauhlah! Ini sudah berakhir. Semuanya. Hutan telah mati.” Ashitaka : “Belum. Kita masih hidup. Bantu aku.” Perang antara kelompok manusia dan kelompok Kami mengakibatkan kehancuran alam. Kehancuran tersebut merupakan hukuman kepada manusia dari setiap bentuk perbuatan yang merusak alam. Konflik membuat manusia dan alam memiliki batasan-batasan dan memperkuat kesadaran akan tindakan manusia yang justru merugikan dirinya sendiri. Keegoisan dan keserakahan manusia akan alam dapat terkendali setelah konflik mereda. Ashitaka mengendalikan keadaan dengan mendidik dan berulang-ulang mengajak manusia dan alam untuk hidup harmonis, bahkan dengan melakukan kekerasan agar persatuan dapat terwujud. Manusia menyadari bahwa alam tidak hanya dapat dieksploitasi, tetapi juga dijaga dan dilestarikan agar terwujud harmonisasi. Harmonisasi alam akan terwujud jika anggota masyarakat mematuhi norma dan nilai sosial. Manusia akan hidup dalam keadaan lingkungan sosial yang aman, tertib, damai, dan tenteram sehingga tiap-tiap anggota masyarakat tidak menemukan berbagai macam gangguan sosial dalam memenuhi kebutuhan sosialnya.
6.3 Integrasi Sosial Masyarakat Jepang dalam Mewujudkan Harmonisasi Alam Menurut Ralf Dahrendorf konflik berfungsi sebagai pengintegrasian masyarakat. Integrasi sosial adalah suatu proses penyatuan antara dua unsur atau lebih yang mengakibatkan terciptanya suatu keinginan yang berjalan dengan baik dan benar. Selain itu, integrasi sosial dapat diartikan sebagai suatu proses mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat sebagai sebuah sistem. Dalam hal ini, konflik sebagai penyelesaian ketegangan antara unsur-unsur yang bertentangan mempunyai fungsi penstabil dan menjadi komponen pemersatu hubungan (dalam Setiadi, 2011:380). Konflik yang terjadi dalam Mononoke Hime disebabkan oleh perubahan sosial pada zaman Muromachi. Perubahan sosial ini diwarnai oleh gejala, yaitu tatanan perilaku lama tidak digunakan lagi sebagai pedoman, sedangkan tatanan perilaku yang baru masih simpang siur sehingga banyak orang kehilangan arah dan pedoman perilaku. Keadaan ini memicu banyak orang bertingkah seenaknya yang berakibat pada benturan antarkepentingan, baik secara individual maupun kelompok sehingga memunculkan kelompok manusia dan kelompok Kami yang saling bertentangan. Kelompok Kami melindungi dan memelihara alam untuk ketersediaan sumber daya alam dalam jangka waktu yang panjang. Kelompok manusia mengeksploitasi alam untuk kepentingan materi dan kesejahteraan masyarakat. Ashitaka menjadi penengah dalam konflik untuk meredakan permusuhan. Ia mengendalikan keadaan dengan mendidik dan berulang-ulang mengajak manusia dan alam untuk hidup harmonis. Namun, manusia dan Kami tetap bertentangan.
Hingga pada akhirnya terjadi perang yang menghancurkan segalanya. Kami dan manusia sadar akan kesalahannya dan berusaha menyatukan perbedaan. Agar setiap perbedaan dapat hidup berdampingan, maka perlu untuk menyelaraskan berbagai perbedaan tersebut agar dapat dicapai kesatuan hidup yang lebih baik. Integrasi sosial tercipta saat manusia dan Kami menghadapi kehancuran alam. Berada dalam keadaan terdesak membuat mereka memiliki tujuan yang sama untuk menyelamatkan diri dari kehancuran. Bahaya yang mengancam memaksa manusia dan Kami untuk bekerjasama saling membantu. Eboshi yang sedang terluka telah diselamatkan oleh Inugami, anak Moro. Meskipun sebelumnya ia sangat membenci Inugami, setelah diselamatkan olehnya ia merasa berutang budi. Ternyata Eboshi justru diselamatkan oleh musuhnya sendiri sehingga membuat Eboshi berubah pikiran tentang Inugami. Eboshi juga berjanji kepada para pekerjanya untuk mulai membangun Tatara Ba yang telah hancur. Mereka akan membangun Tatara Ba menjadi desa yang lebih baik dengan tidak merusak alam dan tetap melakukan penghormatan atas alam. Berikut ini kutipan janji Eboshi kepada para pekerjanya. 「ざまはない。 わたしか、 山犬の背ではこばれ、 生きのこってしま った・・・。」 「札をいおう。 だれか、 アシタカを、 むかえにいっておくれ。みん な、 はじめか ら、 やりなおしだ。 ここを、 いい村にしよう。」 Terjemahan : “Bisakah kau mempercayai ini? Aku diselamatkan oleh serigala! Tolong bawa Ashitaka padaku. Aku ingin berterima kasih padanya. Kita akan memulainya dari awal lagi. Kita akan membangun desa yang baik. Kutipan perkataan Eboshi di atas merupakan bentuk integrasi antara manusia dan Kami. Meskipun tidak ditampilkan dalam film, tapi dapat dipastikan bahwa Eboshi tidak akan menyerang para Kami dan penghuni hutan lagi karena hutang budinya. Ashitaka telah berhasil menyadarkan Eboshi hingga ia berubah pikiran
akan membangun Tatara Ba menjadi desa yang baik. Baik dalam hal ini dapat diartikan mendirikan pengolahan pasir besi tanpa membabat hutan dan menjalin kerjasama dengan kelompok Kami. Eboshi telah menyaksikan kekuatan alam yang dapat menghancurkan segalanya akibat perbuatannya. Ini dapat menjadi semangat integrasi antara manusia dan Kami. Integrasi antara Kami dan manusia juga ditunjukkan oleh Ashitaka dan San saat menyerahkan kepala Shishigami. San sebagai simbol alam dan Ashitaka sebagai simbol manusia bekerjasama untuk menyelamatkan segalanya yang telah hancur. San menyukai Ashitaka, tapi ia tidak dapat memaafkan perbuatan manusia terhadap alam. Ashitaka dapat mengerti perasaan San dan memutuskan untuk tinggal di Tatara Ba dan menjalani hidup masing-masing. Namun Ashitaka berjanji akan mengunjungi San di hutan. Kutipan di bawah ini percakapan antara Ashitaka dan San. サン:「アシタカは、すきだ。でも、 人間を、 ゆるすことは、でき な い。」 アシタカ:「それでもいい。サンは森で、わたしはタタラ場で、 く らそう。ともに、 生きよう。あいにいくよ。ヤックル にのって。」 Terjemahan : San : “Aku suka padamu, tetapi aku tidak bisa memaafkan apa yang sudah Dilakukan manusia. ” Ashitaka : “Itu benar. Kau tinggallah di hutan dan aku akan tinggal di pabrik besi. Bersama kita akan hidup. Yakul dan aku akan mengunjungimu.”
Manusia diwujudkan sebagai Eboshi dan alam diwujudkan sebagai San. Ashitaka ada untuk memudahkan mereka bersama-sama sehingga manusia dan alam dapat hidup secara individual, tetapi harmonis. Individual yang dimaksudkan adalah manusia dan alam hidup di habitat mereka masing-masing. Namun, saling
membutuhkan satu sama lain. Begitulah cara alam dan manusia dapat hidup dengan harmonis.
BAB VII MAKNA WACANA KONFLIK LINGKUNGAN DALAM TEKS FILM ANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI
Dalam bab ini diuraikan makna wacana konflik lingkungan dalam film animasi Mononoke Hime yang mencakup penghormatan atas alam, kerusakan lingkungan, harmonisasi alam dan pencerahan. Pemaknaan terhadap konflik lingkungan mendeskripsikan kepercayaan agama Shinto tentang penghormatan atas alam yang memengaruhi hubungan harmonisasi antara manusia dan alam di Jepang. Kepercayaan tersebut memberikan batasan pada manusia untuk tidak merusak alam demi kepentingan materi karena manusia sebagai makhluk hidup tertinggi seharusnya yang bertanggung jawab untuk melestarikan alam.
7.1 Penghormatan Atas Alam Pada zaman dahulu kala, saat teknologi belum ditemukan, manusia menganggap kehidupannya dikendalikan dan didominasi kekuatan supranatural yang menguasai alam sehingga manusia merasa belum sepenuhnya memiliki otonomi atas alam dan lingkungan. Begitu kuatnya dominasi alam mendorong manusia mengembangkan ritus-ritus yang berisi rantai hubungan gerak alam dengan kekuatan mitos supranatural (Susilo, 2012: 35). Dalam konteks ini, penghormatan manusia pada alam dan lingkungan bisa dikatakan cukup besar. Keyakinan ini disebabkan oleh kegamangan manusia dalam memahami dan menjelaskan fenomena alam.
Dalam watak dominasi lingkungan, tidak heran jika dalam masyarakat terlembaga tradisi-tradisi atau ritualisme. Selain untuk menghibur ketidakpastian, ia juga merupakan cara manusia untuk menghormati alam. Alam terletak pada setiap diri kita, oleh karena itu, alam merupakan bagian hidup manusia. Filosofi yang dianut masyarakat mengatakan bahwa alam perlu dihormati, dipelihara, dan diajak bersahabat. Agama Shinto merupakan salah satu agama yang sejalan dengan filosofi tersebut karena penghormatannya atas alam. Menurut agama Shinto, alam adalah kekuatan pemelihara yang penuh kebajikan yang harus dihargai oleh manusia dan merupakan perwujudan dari sumber kejadian. Manusia dapat masuk ke inti realitas dan menyatu dengannya melalui pemahaman atas bentuk-bentuk alam. Alam tidaklah terpisah dari para dewa atau manusia, tetapi menyatu dengan keduanya (Bellah, 1992:82). Agama ini memiliki keyakinan tentang dewa yang menguasai gejala-gejala alam dan lingkungan-lingkungan tertentu. Maka tidak heran dalam beberapa mitos, tersebutlah dewa angin, dewa laut, dewa pohon, dan lain-lain.
(Bagan III. hubungan alam, Kami dan manusia dalam agama Shinto)
Gambar di atas adalah bagan penghormatan atas alam dalam agama Shinto. Pada gambar di atas dapat terlihat posisi antara alam, Kami, dan manusia. Dalam
agama Shinto alam dianggap suci. Alam berada di atas Kami dan manusia karena manusia dan Kami adalah milik alam. Arah panah tersebut menunjukkan bahwa antara alam dan manusia tidak ada hubungan didominasi atau mendominasi dan mereka tidaklah sama. Antara manusia dan alam terdapat hubungan saling mempengaruhi dan saling menguntungkan satu sama lain (Bak, 2014:1). Berdasarkan kepercayaan tersebut film animasi Mononoke Hime diciptakan sehingga banyak ditemukan unsur-unsur Shinto dalam film animasi ini. Dalam pembukaan film ini ditunjukkan keadaan alam Jepang yang masih begitu liar, yaitu pegunungan yang diselimuti hutan lebat dengan pohon-pohon besar. Selain itu, juga terdapat kata pengantar seperti berikut. むかし、この国は、深い森におおわれ、そこには、太古からの神が みがすんでいた。 Terjemahan : Pada zaman dahulu negeri ini diselimuti oleh hutan belantara. Di sana tinggallah roh para dewa kuno. Dari Mononoke Hime kalimat pengantar di atas dapat dimengerti bahwa dahulu hutan di Jepang sangat luas dan dipercaya sebagai tempat tinggal para Kami. Kemunculan Kami menandakan bahwa cerita dalam Mononoke Hime terinspirasi dari kepercayaan dalam agama Shinto. Pengormatan atas alam dalam agama Shinto terlihat pada sikap warga Desa Emishi. Warga Emishi diceritakan memiliki kedekatan dengan alam dibandingkan dengan masyarakat Jepang lainnya yang mulai berpikir untuk menguasai alam. Hubungan suku Emishi dengan alam dapat diketahui dari kutipan berikut. 「山がおかし、鳥達がいないの、ケモノ達も」 Terjemahan : “Burung-burung tiada, gunungnya aneh, juga para binatang”
Dari kutipan tersebut dapat dilihat kedekatan antara suku Emishi yang hidup di gunung dan memerhatikan tanda-tanda seperti adanya burung dan hewan-hewan sebagai pertanda bencana. Selain itu, penghormatan atas alam dapat terlihat ketika Tatarigami menyerang Desa Emishi. Inoshishigami yang bernama Nago berubah menjadi Tatarigami karena rasa benci dan dendamnya kepada manusia. Tatarigami tersebut mengamuk dan berjalan masuk ke desa Emishi. Ashitaka berusaha menghalanginya. Walaupun sosok Tatarigami menakutkan, Ashitaka tetap memandangnya sebagai Kami dan menghormatinya dengan berusaha membujuknya untuk kembali ke hutan dan tidak mengganggu desa suku Emishi. Adegan dan percakapan saat Ashitaka dikejar oleh Tatarigami dapat dilihat di bawah ini. 「しずまれ。しずまれたまえ!さぞかし名のある、山の主とみうけ たが、なぜ、そのようにあらぶるのか!?とまれ! なぜ、わが村 をおそう!? やめろ、しずまれ!やめろおー!」 Terjemahan : “Tenangkan amarahmu, aku mohon! Oh, dewa hutan yang tidak memiliki nama, mengapa kau mengamuk seperti itu? Berhenti! Jangan hancurkan desa kami! Berhenti! Tenangkan amarahmu! Berhenti!” Ashitaka memandang Tatarigami sebagai seorang dewa, bukan sebagai monster sehingga dia menghormatinya. Oleh karena itu, ketika melihat Tatarigami menyerang desa, Ashitaka tidak menyerangnya, tetapi menenangkan dengan hormat. Ashitaka tidak berhasil menenangkan Tatarigami yang sedang mengamuk sehingga ia terpaksa menembaknya dengan panah sampai mati. Tatarigami yang dikalahkan oleh Ashitaka terbaring sekarat. Lalu Hii sama seorang dukun dari Desa Emishi membungkukkan badan memberikan hormat sambil berkata, seperti di bawah ini.
「いずこよりいまし、あらぶる神とは存せぬも、かしこみ、かしこ み申す。この地に塚をきずき、あなたの御霊を、おまつりします。 うらみをわすれ、しずまりたまえ。たたりがみ けがらわしい人間ど もめ。わが苦しみと、にくしみを、しるがいい。」 Terjemahan: “Dewa tak dikenal yang sedang marah aku berlutut padamu di tempat kau jatuh kami akan membuat gundukan dan melakukan matsuri. Jangan berikan kami kebencian dan jadikanlah kedamaian.” Kemarahan dan kebencian Kami dapat dihindari dan ditolak dengan melakukan ritual keagamaan. Salah satu diantaranya adalah ritual Harae. Harae atau harai merupakan upacara dalam agama Shinto untuk menghilangkan segala macam kekotoran, kesalahan, dan kesengsaraan dengan memanjatkan doa kepada para dewa (Djam’annuri, 1981:65). Harae dilakukan pada jasad Tatarigami untuk mengembalikannya kepada kondisi atau keadaan agar dia dapat mendekati para dewa dengan melakukan penyucian badan ataupun pikiran. Setelah itu Hii sama membacakan doa untuk menyucikan arwah Tatarigami agar mati dalam kedamaian, bukan dengan kebencian. Jiiji sama tidak hanya mendoakan Tatarigami, tetapi juga membuat gundukan untuk menguburkannya. Ia juga berjanji untuk mengadakan matsuri di tempat gundukan tersebut. Matsuri adalah kegiatan yang dipercayai oleh masyarakat Jepang sebagai ritual terhadap pemujaan kepada leluhur dan dewa-dewa alam semesta (Madubrangti, 2008: 22). Ritual matsuri dilakukan di tempat itu untuk menghormati Tatarigami dan mendoakannya agar terhindar dari kebencian Tatarigami. Selain Tatarigami, dalam Mononoke Hime juga muncul yaitu Kodama. Kodama adalah Kami yang tinggal di pohon. Beberapa orang percaya bahwa Kodama tidak terkait dengan satu pohon tapi bisa bergerak gesit melewati pohon
dan bepergian bebas dari pohon ke pohon. Beberapa orang lain percaya bahwa Kodama berakar seperti pohon itu sendiri dan tampak tidak berbeda dari pohonpohon lainnya. Miyazaki dengan imajinasinya menggambarkan kodama menjadi bentuk yang lucu berbadan mungil, berwarna putih dan berkepala bulat. Kodama muncul pada saat Ashitaka menyelamatkan dua pekerja Tatara Ba yang jatuh dari bukit akibat serangan Inugami. Salah satu pria yang diselamatkan oleh Ashitaka bernama Kouroku merasa ketakutan ketika melihat Kodama. Ashitaka menenangkan Kouroku bahwa Kodama tidak berbahaya dan menjelaskan bahwa adanya Kodama menunjukkan hutan tersebut sehat. Kouroku yang ketakutan mengatakan bahwa Kodama akan memanggil Shishigami. Ashitaka melihat kijang tunggangannya tidak merasa takut, berbeda dengan saat diserang Tatarigami, menyadari bahwa tidak adanya bahaya. Ashitaka menunjukkan rasa hormatnya dengan meminta izin untuk melewati hutan tersebut. Berikut ini percakapan antara Ashitaka dan Kouroku saat bertemu Kodama. アシタカ:「コダマ? ここにも、 コダマがいるのか?すきにさせて おけば、 わるさはしない。 森が、 ゆたかなしょうこ だ。」 こうろく:「こいつらは、シシ神をよぶんだ。」 アシタカ:「シシ神? 大きな山犬か?」 こうろく:「ちがう、もっとおっかねえ、 ばけものの親玉だ。 うひ ゃあ、 またでた!」 アシタカ:「ヤックルが、へいきでいる。 きけんなものは、 近くに はいない。すまぬが、そなたたちの森を、とおらせても らぞ。」 Terjemahan : Ashitaka : “Kodama? Mereka di sini juga? Kau terluka. Tenanglah. Mereka tidak akan menyakitimu. Mereka hanya sebuah tanda yang menandakan bahwa pohon tersebut sehat. ” Kouroku : “Mereka akan memanggil Shishigami. ” Ashitaka : “Shishigami? Serigala yang besar?” Kouroku : “Bukan, monster yang besar. Dia pergi!”
Ashitaka : “Yakul tidak takut. Mereka tidak berbahaya. Kami mohon tunjukkan jalan menuju keluar hutan kalian.”
Rasa takut Kouroku terhadap Kodama menunjukkan tahapan pertama cara pandang manusia terhadap alam. Kepercayaan terhadap sesuatu yang mistis yang menghuni hutan menimbulkan rasa takut. Rasa takut Kouroku juga berkaitan dengan aktivitas mereka (penduduk Tatara ba) yang membabat hutan untuk memeroleh pasir besi. Perlakuan Ashitaka terhadap para kodama berbeda karena kedekatannya dengan hutan sehingga terjadi sifat menghormati. Masyarakat Jepang memiliki kepercayaan bahwa siapapun yang menebang pohon yang terdapat Kodama akan terkena kutukan. Kutukan Kodama adalah sesuatu yang harus ditakuti. Kodama dikatakan memiliki kekuatan supranatural yang dapat menjadi berkat dan kutukan. Kodama yang disembah dan dihormati akan melindungi rumah dan desa-desa. Kodama yang dianiaya atau tidak dihormati dapat memberikan kutukan. Masyarakat di desa Mitsune, Hachijou-jima, Jepang merayakan festival setiap tahun untuk mengucap syukur dan hormat kepada Kodama memohon pengampunan dan berkat ketika mereka menebang pohon untuk industri kayu (Diakses dari http://hyakumonogatari.com/2012/08/05/kodama-thetree-spirit/ tanggal 11 Oktober 2014). Penghormatan atas alam dalam Mononoke Hime juga ditunjukkan dengan adanya berbagai macam Kami yang berwujud binatang, berukuran besar, dan memiliki kekuatan supranatural. Dapat dikatakan bahwa Miyazaki memilih menggunakan wujud binatang sebagai Kami untuk menunjukkan kedekatan antara Kami dan alam atau hutan. Selain itu, binatang-binatang sering dianggap sebagai Kami karena beberapa alasan. Binatang-binatang tersebut dirasa sebagai wujud-
wujud yang menakutkan, seperti harimau, serigala, ular, dan sebagainya. Binatangbinatang tersebut dianggap sebagai pelayan-pelayan dewa, seperti rusa, kera, burung merpati, kura-kura, dan sebagainya. Binatang-binatang tersebut dianggap sebagai inkarnasi atau penjelmaan dewa, semisal burung kasa, ular naga, rusa, dan sebagainya (Djam’annuri,1981:121). Dalam Mononoke Hime, Kami berwujud binatang rusa, kera, babi hutan, dan serigala. Kami yang berwujud binatang ini memiliki kemampuan untuk berbicara seperti manusia dan memiliki kekuatan luar biasa sehingga ditakuti oleh manusia. Personifikasi hewan yang diciptakan Hayao Miyazaki untuk memotivasi penghormatan manusia terhadap alam. Alam sebaiknya diperlakukan seperti layaknya manusia dan bukan seperti benda sekali pakai. Mempergunakan sumber daya alam tanpa rasa hormat berarti menganggap rendah kekuatan alam. Jika ingin sumber daya alam melimpah, maka manusia harus berusaha menghormatinya. Pesan pengarang ini diperjelas dalam adegan komunikasi Kami dan penghuni hutan pada Ashitaka, sedangkan mereka tidak berkomunikasi dengan Eboshi dan para pekerja Tatara Ba. Maksud pengarang dalam adegan tersebut adalah alam hanya akan menghormati orang-orang yang memperlakukan mereka dengan hormat. Eboshi dan para pekerjanya memperlakukan hutan seperti benda sekali pakai, menebang hutan tanpa melestarikannya sehingga alam memberikan mereka bencana. Ashitaka memperlakukan hutan dengan hormat, jadi meskipun penghuni hutan membenci manusia, mereka masih memperlakukan Ashitaka dengan hormat yang sama seperti yang ditunjukkannya.
Masalah lingkungan hendaknya diselesaikan dengan memberi penghormatan atas alam. Alam tidak dapat selalu dapat memenuhi kebutuhan manusia, sedangkan manusia telah menggunakan sumber daya alam melebihi kapasitas kebutuhannya. Ada sesuatu yang hilang dalam sikap manusia terhadap alam, yaitu rasa hormat. Wajar jika hal tersebut berdampak pada munculnya berbagai masalah lingkungan yang menimbulkan bencana alam. Ada kalanya kekuatan alam melebihi kekuatan manusia yang dapat menghancurkan manusia itu sendiri. Hal tersebut dapat dihindarkan, jika manusia dapat memperlakukan alam dengan lebih hormat. Mitos dan kepercayaan seperti dalam agama Shinto memberikan arah dan pedoman kepada manusia agar bertindak lebih bijaksana. Menyadarkan manusia tentang adanya kekuatan-kekuatan gaib, di luar mereka. Kemudian, manusia dibantu untuk menghayati daya-daya itu sebagai kekuatan yang menguasai alam dan kehidupan semuanya. Melalui film animasi ini, Hayao Miyazaki mengharapkan agar manusia menyadari kekuatan alam yang melebihi kekuatan manusia. Manusia dapat berhenti mengeksploitasi alam dan mulai untuk melestarikan alam. Selain itu, manusia dapat mengucap rasa syukur dan terima kasih terhadap apa yang telah diberikan oleh alam.
7.2 Kerusakan Lingkungan Terjadinya konflik yang disebabkan oleh faktor lingkungan dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan dan pihak yang terlibat di dalamnya. Salah satunya adalah kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang implikasinya akan merambat kepada perubahan sosial tidak akan pernah lepas dari ulah manusia itu sendiri, terutama bagaimana ia mengelola alam lingkungannya.
Seiring dengan perkembangan industri upaya manusia untuk melestarikan alam semakin berkurang karena materi menjadi lebih penting daripada alam dan lingkungan. Semakin lama perkembangan industri justru membawa dampak yang buruk bagi kehidupan sosial, terutama dengan semakin tingginya volume pencemaran lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi dalam Mononoke Hime disebabkan konflik antara kelompok Tatara Ba yang mengekploitasi alam dan kelompok Kami yang melindungi alam. Konflik terjadi pada zaman Muromachi sejak masuknya bangsa barat ke Jepang yang membawa pengaruh bagi perkembangan teknologi. Saat orang-orang mencoba menaklukan alam dan memperkosa lahan untuk mendapatkan harta yang melimpah. Konflik dipicu oleh kelompok Tatara Ba yang membangun industrialisasi dengan mengorbankan hutan dan penghuninya. Industrialisasi merupakan salah satu langkah untuk mencapai kemajuan dan sarana untuk mengejar ketertinggalan kehidupan kelompok Tatara Ba. Eboshi bersama para pekerjanya membangun Tatara Ba untuk mengolah pasir besi.
(Gambar 7.1 Tatara Ba)
Pada gambar Tatara Ba di atas terlihat asap putih yang timbul dari proses pengolahan besi yang menyebabkan pencemaran udara di lingkungan sekitarnya. Hutan-hutan yang ada di sekitarnya terlihat gundul dan gersang terasa begitu kontras dengan danau serta bukit lainnya yang masih hijau. Dalam pelaksanaannya, industrialisasi di Tatara Ba ternyata harus mengorbankan hutan untuk menggali lebih banyak pasir besi agar dapat mengolah besi. Asap yang dikeluarkan dari proses pembakaran besi menyebabkan polusi udara yang berpengaruh pada hutan Shishigami. Pengolahan besi dengan metode Tatara melahirkan permasalahan baru, yaitu pencemaran lingkungan yang menyebabkan berbagai persoalan, terutama ancaman kelangsungan hidup penghuni hutan dan manusia itu sendiri. Dengan persoalan ini, maka industrialisasi yang direncanakan sebagai kemajuan hidup manusia, justru akan membawa dampak buruk bagi kehidupan seluruh makhluk hidup. Dalam film ini Kami dan penghuni hutan menjadi korban industrialisasi yang dilakukan oleh manusia. Mereka kehilangan tempat tinggalnya dan kekuatan hutan menjadi lemah. Kami dalam bentuk hewan, tapi memiliki kecerdasan seperti manusia, dihormati, dan ditakuti karena kekuatannya melakukan perlawanan terhadap manusia sehingga terjadilah konflik. Senjata ishibiya yang digunakan oleh manusia mengakibatkan banyak korban dari pihak Kami. Shishigami, Moro, dan pasukan babi hutan mati terkena tembakan ishibiya. Kebencian Okkotonushi dan Nago mengubahnya menjadi Tatarigami lalu mati. Demi mewujudkan ambisi industrialisasinya manusia mengorbankan Kami dan penghuni hutan. Hal tersebut menjadi gambaran bahwa perang yang disebabkan oleh manusia tidak hanya menghancurkan lingkungan, tetapi juga satwa liar baik di masa lalu maupun masa
kini. Kenaikan tarif reproduksi manusia dan kemajuan teknologi menyebabkan manusia menghancurkan habitat satwa liar dalam rangka memperluas kota dan desa. Nago yang telah berubah menjadi Tatarigami melukai lengan Ashitaka, warga Desa Emishi dan memberikannya kutukan mematikan. Kutukan itu dapat meningkatkan kekuatan Ashitaka untuk melawan manusia yang menyebabkan Nago menjadi Tatarigami. Luka tersebut merupakan simbol ancaman industri ke desa. Industrialisasi memberikan pengaruh yang sangat kuat ke seluruh tempat, kota, desa, bahkan sampai hutan. Pada akhirnya kutukan tersebut akan melahap tubuh dan jiwa Ashitaka. Itu merupakan simbol industrialisasi yang menyebar ke seluruh tempat hingga manusia mengeksploitasi seluruh sumber daya alam. Hal tersebut menimbulkan kerusakan alam yang menghancurkan kehidupan seluruh makhluk hidup. Dalam film ini semua penduduk Tatara Ba mendapatkan manfaat dari kerusakan lingkungan. Para penderita kusta dan mantan pelacur mendapatkan pekerjaan, Eboshi mendapatkan besi, dan seluruh Tatara Ba menjadi kaya. Namun, kerusakan lingkungan telah merugikan Kami, San, dan penghuni hutan lainnya yang kehilangan tempat tinggalnya. Tatara Ba memperoleh manfaat dari kerusakan lingkungan karena hutan dan penghuninya yang membayar semua kerusakannya. Jika penghuni hutan diwujudkan sebagai masyarakat lokal yang tinggal di daerah eksploitasi sumber daya alam, maka dapat dikatakan bahwa kerusakan lingkungan dapat mendukung masyarakat pelaku bisnis yang telah menghancurkannya, tetapi biaya kerusakan akan diproyeksikan ke masyarakat lokal. Kerusakan lingkungan dapat bermanfaat bagi orang-orang yang telah menghancurkannya, tapi harus membuat orang lain menderita, itu sungguh tidak layak.
(Gambar 7.2 Warna pohon berubah dan para kodama mati akibat lendir hitam)
Pada gambar di atas terlihat warna pohon yang berubah serta para Kodama yang mati karena lendir hitam Shishigami. Eboshi dan Jiko Bou yang membunuh Shishigami menunjukkan hilangnya rasa hormat manusia terhadap Kami dan hutan. Kehilangan rasa hormat manusia terhadap alam menjadi penyebab hancurnya alam itu sendiri. Pada saat itu Shishigami menghancurkan segalanya dan membawa kematian kepada Kami, manusia, dan alam. Manusia yang tersisa berjalan ketakutan sementara hutan di sekitar mereka layu dan mati. Namun, setelah Ashitaka dan San mengembalikan kepala Shishigami ke tubuhnya, ia menghilang dan seketika alam yang telah rusak mulai tumbuh, penyakit penderita kusta tiba-tiba sembuh, dan luka kutukan Ashitaka pun menghilang. Kekacauan yang dibuat oleh Shishigami berfungsi untuk mengendalikan keserakahan manusia terhadap alam. Ia menghancurkan segalanya dan memberikan kematian agar manusia menyadari
kesalahannya. Lalu memberikan kehidupan kembali agar manusia menyadari kekuatan alam dan Kami sehingga manusia dapat mengontrol tindakannya dalam memanfaatkan sumber daya alam. Di sini Miyazaki membentuk sebuah wacana bahwa jika manusia menghancurkan alam maka dirinya sendiri juga akan hancur karena manusia tidak dapat hidup tanpa alam. Unsur fantasi yang ada di dalam Mononoke Hime digunakan untuk mempertanyakan pemahaman kita mengenai kenyataan yang terjadi. Kehancuran alam bukan hanya fantasi belaka, sejak dahulu manusia mengeksploitasi alam untuk kepentingannya sendiri, baik setelah mengetahui risikonya maupun belum. Miyazaki berusaha mendidik penontonnya, terutama generasi muda agar dapat melihat bahwa kerusakan hutan terjadi akibat tanggung jawab manusia.
7.3 Harmonisasi Alam Kerusakan lingkungan yang terjadi dalam Mononoke Hime melahirkan pejuang-pejuang yang berusaha menyelamatkan lingkungan yang telah rusak. Jika kepentingan antroposentrisme membenarkan perilaku eksploitatif manusia, pahampaham tandingan menjadikan proyek penyelamatan lingkungan sebagai asas-asas dan tujuan-tujuan gerakan. Paham tersebut adalah paham ekosentrisme, yaitu paham yang berpusat pada makhluk hidup secara keseluruhan dalam kaitan memberikan penghormatan terhadap semua spesies (Susilo, 2012:111). Paham ekosentrisme tercermin dalam diri Ashitaka. Ashitaka tidak memihak, baik kelompok Eboshi maupun kelompok Kami. Ia tidak setuju jika manusia mengekploitasi alam dengan cara menghancurkan alam dan penghuninya. Ia juga
tidak setuju jika alam melawan manusia. Ashitaka ingin manusia dan alam dapat hidup berdampingan dan saling melengkapi. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran ekosentrisme, yaitu manusia bisa berkembang menjadi penuh dan utuh justru dalam relasi dengan semua kenyataan kehidupan dan alam. Manusia harus menyadari, bahwa ia akan berhasil menjadi manusia yang sempurna hanya dalam kesatuan asasi dengan alam atau melalui interaksi positif manusia dengannya secara keseluruhan dan dengan bagian lain dari alam. Miyazaki mengajarkan bahwa manusia tidak boleh menyerah dan bertanggung jawab atas kerusakan alam. Hal ini digambarkan melalui perjuangan San dan Ashitaka untuk merebut kembali kepala Shishigami dari Jiko Bou. Berikut ini adalah gambar San dan Ashitaka yang mengembalikan kepala Shishigami.
(Gambar 7.3 San dan Ashitaka mengembalikan kepala Shishigami)
San dan Ashitaka mengembalikan kepala Shishigami sehingga dia kembali ke dalam wujud dewa malam, yaitu Daidarabocchi. Walaupun demikian setelah berdiri tegap, Daidarabocchi jatuh dan lenyap menjadi angin. Akan tetapi usaha Ashitaka tidak sia-sia, luka-luka bekas kutukan di sekujur tubuhnya dan San telah hilang. Begitu pula dengan bukit-bukit yang gundul mulai ditumbuhi rerumputan dan kembali menjadi hijau. Para penderita lepra yang selamat dari bencana itu secara ajaib sembuh. Bagi San walaupun hutan kembali tumbuh, hutan itu tidak akan sama seperti dahulu. Shishigami telah mati dan hutan yang ada sekarang menjadi hutan yang tenang tidak seperti sebelumnya yang terlihat begitu liar dipenuhi pohon-pohon besar. San tidak dapat memaafkan perbuatan manusia kepada hutan sehingga dia menolak untuk tinggal bersama Ashitaka. Ashitaka juga berkata bahwa dia akan membantu membangun kembali Tatara Ba dan akan terus mengunjungi San sesering mungkin. Inilah yang dimaksud dengan hidup berdampingan, baik dengan San maupun dengan alam. Berikut ini kutipan percakapan antara San dan Ashitaka. サン:「よみがえっても、 ここは、 もう、シシ神の森じゃない。シ シ神さまは、 死んでしまった。」 アシタカ:「シシ神は、 死にはしないよ。 命そのものだから。 生 と死と、 ふたつとも、 もっているもの。わたしに、 生 きろといってくれた。」 サン:「アシタカは、すきだ。でも、 人間を、 ゆるすことは、でき な い。」 アシタカ:「それでもいい。サンは森で、わたしはタタラ場で、 く らそう。ともに、 生きよう。あいにいくよ。ヤックル にのって。」 Terjemahan : San : “Bahkan kalau mereka tumbuh kembali, mereka tidak akan menjadi hutan Shishigami lagi. Dewa rusa telah mati.” Ashitaka : “Shishigami tidak bisa mati. Dia hidup dengan sendirinya. Hidup dan mati adalah sesuatu yang dia berikan dan dia ambil.
Dia memberi tahu kita untuk tetap hidup.” San : “Aku suka padamu, tetapi aku tidak bisa memaafkan apa yang sudah dilakukan manusia. “ Ashitaka : “Itu benar. Kau tinggallah di hutan dan aku akan tinggal di pabrik besi. Bersama kita akan hidup. Yakkul dan aku akan mengunjungimu.” Pada kutipan di atas Ashitaka tidak dapat membujuk San untuk hidup di antara manusia. San tidak mampu memaafkan manusia saat ia masih berduka karena kematian Shishigami. Namun, Ashitaka percaya bahwa jiwa Shishigami masih hidup sebab setelah ia menghilang tanaman mulai tumbuh dan kutukan di lengan Ashitaka menghilang. Meskipun pandangan mereka yang berlawanan terhadap kemanusiaan, mereka berjanji untuk mempertahankan persahabatan mereka dan mengunjungi satu sama lain. Demikian juga manusia dan alam yang tidak selalu sepakat, tapi tidak ada yang menghalangi kehidupan yang lebih baik diantara mereka. Ini menjadi awal kesempatan bagi manusia dan alam untuk mereformasi hubungan mereka. Bahkan Eboshi menyadari hal ini dan mengatakan bahwa akan mulai membangan Tatara Ba menjadi tempat yang lebih baik tanpa merusak alam. Eboshi yang sebelumnya berhati dingin telah memurnikan pandangannya terhadap alam. Miyazaki (dalam McCarthy, 1999:51) mengungkapkan bahwa tidak ada akhir yang bahagia di dalam kisah perseteruan antara dewa dan manusia atau antara alam dan budaya. Manusia tidak bisa terlepas dengan alam dan adanya keinginan untuk kembali ke alam. Manusia memandang alam sebagai sesuatu yang diinginkan kembali karena menimbulkan rasa nyaman dan tenang. Pada akhirnya rasa kekaguman manusia terhadap alam juga merupakan sarana pemuasan dari
hasratnya itu sendiri tidak berbeda dengan tujuan sebelumnya yang memanfaatkan alam sebagai sumber daya. Walaupun Shishigami telah mati dan hutan yang liar menjadi tenang, pada bagian akhir ditunjukkan bahwa kodama kembali hidup di hutan tersebut. Oleh karena itu, Miyazaki menunjukkan nilai sakral dan mistis hutan tidak berubah. Pandangan barat dan Jepang yang sama-sama mengidamkan keindahan alam dan proses di baliknya mungkin mirip, tetapi memiliki perbedaan. Pandangan barat menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan alam hanya terbatas antara manusia dengan hutan dan binatang. Akan tetapi, manusia Jepang memandang hutan bukan sebagai tempat tinggal dirinya sendiri, melainkan tempat tinggal dewa. Wacana yang mengendalikan perbuatan manusia tentu berubah-ubah, tetapi jika orang Jepang melihat pohon yang dililitkan oleh shimenawa 15 mereka akan mengerti bahwa pohon tersebut bukan pohon biasa, melainkan pohon yang di dalamnya terdapat kodama. Nilai-nilai seperti ini yang memisahkan pemikiran mengenai hubungan manusia dan alam di Jepang (Napier, 2001:30). Selama orang Jepang percaya bahwa terdapat nilai religius pada alam, mereka akan tetap menghormati hutan, baik hutan itu telah mendapat campur tangan manusia maupun tidak. Menurut Umehara, pandangan orang Jepang mengenai hutan itu sendiri yang menyelamatkan 67% jumlah hutan yang ada di Jepang. Hori mengkritik keterangan tersebut karena tidak ada pemisahan mengenai mana hutan yang masih belum dijamah manusia dengan hutan yang sudah tidak natural. Hal ini
15
Shimenawa adalah tali dari jerami yang digunakan sebagai penanda suatu yang suci. Shimenawa dipasang pengurus kuil di sekeliling kuil Shinto, sekeliling goshintai (objek pemujaan), batu besar, pohon besar, air terjun, atau sebagai penanda bagian dalam kuil Shinto yang dianggap suci (diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Shimenawa).
sama dengan membandingkan hutan pada awal film Mononoke Hime dan hasil akhir yang ada. Walaupun berbeda, tetapi selama pandangan menghormati hutan tidak berubah maka keharmonisan antara manusia dan hutan akan tetap ada (Hori, 2008:1) McCarthy (1999:201) menyatakan bahwa jika manusia dapat memberikan ruang kebebasan bagi alam dan tetap mencintainya juga menghormatinya tidak untuk mengendalikannya sesuka hati, maka mungkin manusia dan alam dapat hidup dengan harmonis. Keharmonisan inilah yang ditunjukkan melalui Ashitaka dan San. Mereka tetap berdiri di posisinya masing-masing, yaitu manusia dan alam, tetapi mereka saling mencintai dan menghormati. Ashitaka berkata bahwa dia akan tetap mengunjungi San sesering mungkin, menunjukkan hubungan yang ideal antara manusia dan alam. Manusia tidak akan bisa berpisah dengan alam secara mutlak. Mereka yang tinggal di kota akan melepas rindu sesekali dengan menikmati alam sama dengan Ashitaka yang mengunjungi San. Akan tetapi, tetap harus ada pemisahan teritorial antara manusia dan alam yang disertai rasa hormat. Miyazaki menunjukkan utopia yang berbeda, yaitu tidak untuk tinggal di dalam alam tetapi untuk tetap tinggal di dalam kota dan hidup berdampingan dengan hutan dan menghormatinya. Manusia dan alam dapat mengatasi perbedaan mereka dan menghormati satu sama lain, meskipun mereka tidak sering berinteraksi. Mereka dapat menghargai perbedaan mereka tetapi tetap saling menghargai.
7.4 Pencerahan Mononoke Hime adalah film yang mengajarkan kita untuk lebih menghormati alam. Personifikasi hewan merupakan motivasi bahwa kita harus memperlakukan alam seperti layaknya manusia. Manusia juga harus menghormati perbedaan-perbedaan antara manusia dan alam. Film ini menawarkan sudut pandang kita pada cara manusia memperlakukan alam dan pada tahapan klimaks, manusia telah melangkah terlalu jauh merusak alam dengan cara membunuh spirit hutan, yaitu Shishigami. Alam memang dapat merevitalisasi seperti yang disaksikan di akhir film ini, tetapi alam tidak dapat menahan begitu banyak kehancuran. Hampir terlambat menyelamatkan kerusakan alam ketika Ashitaka dan San membuat upaya terakhir mereka dengan mempersatukan kepala Shishigami dan tubuhnya. Ini menunjukkan bahwa manusia harus menebus kesalahan mereka terhadap alam. Lebih baik jika kita melakukannya segera karena jika menunggu terlalu lama, maka akan ada saat kita akan terlambat untuk mengubah apa pun. Melalui Mononoke Hime, Hayao Miyazaki ingin mendidik masyarakat untuk masa depan yang lebih baik dengan mewujudkan harmonisasi antara manusia dan alam. Film ini dibuat tidak hanya untuk masyarakat Jepang, tetapi juga untuk masyarakat di seluruh dunia. Mengingat bagaimana manusia mencemari bumi hampir sepanjang waktu, pelajaran dalam film ini bermanfaat bagi seluruh manusia di dunia untuk merawat bumi menjadi tempat yang lebih baik daripada sebelumnya dan segera melakukannya sebelum terlambat.
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan Berdasarkan analisa di atas maka simpulan penelitian dapat dikemukakan bahwa Mononoke Hime adalah film yang didominasi konflik antara kelompok manusia dan kelompok Kami disebabkan oleh faktor lingkungan. Wacana tentang konflik lingkungan disajikan dengan memasukkan unsur agama Shinto, khususnya tentang hubungan antara manusia dan alam. Wacana itu disampaikan melalui dialog tokoh-tokohnya dengan berbagai ragam bahasa. Dalam Mononoke Hime terdapat tiga jenis ragam bahasa hormat, yaitu sonkeigo, kenjoogo dan keitai. Film animasi ini lebih sering menggunakan bahasa bentuk biasa yang disebut jootai. Bahasa itu menunjukkan keakraban hubungan antartokoh sebagai teman maupun bawahan. Gaya bahasa Jepang yang terdapat dalam film animasi ini, antara lain majas repetisi, majas personifikasi, dan idiom. Bahasa dan gaya bahasa membentuk wacana perlindungan alam dan wacana eksploitasi alam dalam Mononoke Hime. Wacana tersebut dibentuk oleh dua kelompok yang memiliki pandangan berbeda terhadap pengelolaan sumber daya alam sehingga menimbulkan konflik. Wacana perlindungan alam dikemukakan oleh kelompok Kami yang memiliki gagasan melindungi dan melestarikan sumber daya alam sehingga seluruh makhluk hidup dapat menikmati karunia alam dalam jangka waktu yang panjang. Namun, seiring dengan perkembangan zaman populasi manusia bertambah dengan cepat sehingga kebutuhan manusia akan sumber daya
alam tidak tercukupi. Oleh karena itu sumber daya alam dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat dan kesejahteraan hidupnya. Wacana eksploitasi alam dikemukakan oleh kelompok manusia yang terdiri dari kelompok Tatara Ba, kelompok Jiko Bou, dan kelompok samurai. Kelompok manusia memiliki gagasan mengeksploitasi sumber daya alam secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat. Namun, apabila sumber daya alam terus menerus dieksploitasi dan digunakan secara maksimal maka persediaannya yang terbatas akan segera habis. Kegiatan eksploitasi tanpa memerhatikan kelestarian alam juga akan berdampak pada kerusakan lingkungan. Konflik yang terjadi antarkelompok saling menetralisir dan sesungguhnya berfungsi mempersatukan sistem sosial. Kekuatan solidaritas internal dalam kelompok Tatara Ba bertambah erat karena tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok Kami dan kelompok samurai bertambah besar. Sebaliknya, konflik dengan kelompok Tatara Ba memperkuat kekompakan internal dan meningkatkan moral kelompok Kami. Solidaritas internal dalam kelompok Tatara Ba dan kelompok Kami sesuai dengan karakter masyarakat Jepang yaitu shuudanshikou yang didasari oleh ittaikan dan kyoudoutai. Konflik membuat manusia dan alam memiliki batasan-batasan dan memperkuat kesadaran akan tindakan manusia yang justru merugikan dirinya sendiri. Keegoisan dan keserakahan manusia akan alam dapat terkendali setelah konflik mereda. Ashitaka mengendalikan keadaan dengan mendidik dan berulangulang mengajak manusia dan alam untuk hidup harmonis, bahkan dengan melakukan kekerasan agar persatuan dapat terwujud. Manusia menyadari bahwa alam tidak hanya dapat dieksploitasi, tetapi juga dijaga dan dilestarikan agar
terwujud harmonisasi. Harmonisasi alam akan terwujud jika anggota masyarakat mematuhi norma dan nilai sosial. Selan itu, konflik juga berfungsi sebagai pengintegrasian masyarakat. Integrasi sosial tercipta saat manusia dan Kami menghadapi kehancuran alam. Berada dalam keadaan terdesak membuat mereka memiliki tujuan yang sama untuk menyelamatkan diri dari kehancuran. Bahaya yang mengancam memaksa manusia dan Kami untuk bekerjasama saling membantu. Manusia diwujudkan sebagai Eboshi dan alam diwujudkan sebagai San. Ashitaka ada untuk memudahkan mereka bersama-sama sehingga manusia dan alam dapat hidup secara individual, tetapi harmonis. Individual yang dimaksudkan adalah manusia dan alam hidup di habitat mereka masing-masing. Namun, saling membutuhkan satu sama lain. Begitulah cara alam dan manusia dapat hidup dengan harmonis. Konflik lingkungan yang terjadi dalam Mononoke hime memiliki makna penghormatan atas alam. Penghormatan atas alam dalam agama Shinto terlihat pada sikap hormat warga Desa Emishi terhadap Kami, kemunculan Kodama, dan adanya berbagai macam Kami dalam wujud hewan besar. Personifikasi hewan yang diciptakan Hayao Miyazaki bertujuan untuk memotivasi penghormatan manusia terhadap alam. Selan itu, mitos dan kepercayaan dalam agama Shinto memberikan arah dan pedoman kepada manusia agar bertindak lebih bijaksana. Masalah lingkungan hendaknya diselesaikan dengan memberi penghormatan atas alam. Ada kalanya kekuatan alam melebihi kekuatan manusia yang dapat menghancurkan manusia itu sendiri. Hal tersebut dapat dihindarkan, jika manusia dapat memperlakukan alam dengan lebih hormat.
Terjadinya konflik yang disebabkan oleh faktor lingkungan dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi dalam Mononoke Hime disebabkan konflik antara kelompok Tatara Ba yang mengekploitasi alam dan kelompok Kami yang melindungi alam. Eboshi dan Jiko Bou yang membunuh Shishigami menunjukkan hilangnya rasa hormat manusia terhadap Kami dan hutan. Kehilangan rasa hormat manusia terhadap alam menjadi penyebab hancurnya alam itu sendiri. Di sini Miyazaki membentuk sebuah wacana bahwa jika manusia menghancurkan alam maka dirinya sendiri juga akan hancur karena manusia tidak dapat hidup tanpa alam. Kerusakan lingkungan yang terjadi dalam Mononoke Hime melahirkan pejuang-pejuang yang berusaha menyelamatkan lingkungan yang telah rusak. Hal ini tercermin dalam diri Ashitaka yang menginginkan manusia dan alam dapat hidup berdampingan dan saling melengkapi. Perjuangan San dan Ashitaka untuk merebut kembali kepala Shishigami dari Jiko Bou merupakan bentuk tanggung jawab manusia terhadap kerusakan alam. Jika manusia dapat memberikan ruang kebebasan bagi alam dan tetap mencintainya juga menghormatinya bukan untuk mengendalikannya sesuka hati, maka manusia dan alam dapat hidup dengan harmonis. Keharmonisan inilah yang ditunjukkan melalui Ashitaka dan San. Mereka tetap berdiri di posisinya masing-masing, yaitu manusia dan alam, tetapi mereka saling mencintai dan menghormati. Harus ada pemisahan teritorial antara manusia dan alam yang disertai rasa hormat. Melalui Mononoke Hime, Hayao Miyazaki ingin mendidik masyarakat untuk masa depan yang lebih baik dengan mewujudkan harmonisasi antara manusia dan alam. Film ini dibuat tidak hanya untuk masyarakat Jepang, tetapi juga untuk
masyarakat di seluruh dunia. Mengingat bagaimana manusia mencemari bumi hampir sepanjang waktu, pelajaran dalam film ini bermanfaat bagi seluruh manusia di dunia untuk merawat bumi menjadi tempat yang lebih baik daripada sebelumnya dan segera melakukannya sebelum terlambat.
8.2 Saran Penelitian ini mengkaji Mononoke Hime sebagai salah satu karya film animasi Jepang dengan pembahasan terbatas pada wacana konflik lingkungan. Adanya konflik antara manusia dan alam yang disebabkan oleh perbedaan paham akan pengelolaan sumber daya alam dipaparkan dalam penelitian ini. Konflik lingkungan ini dapat mewujudkan harmonisasi hubungan manusia dan alam. Sebagai objek kajian, film animasi Mononoke Hime tidak menutup kemungkinan adanya penafsiran dan pemberian makna lain pada penelitian ini dengan sudut pandang yang berbeda, baik teori maupun metode. Pada penelitian ini telah diperkenalkan pula masyarakat dan budaya Jepang pada zaman Muromachi. Penelitian selanjutnya diharapkan lebih banyak lagi penelitian masyarakat dan budaya Jepang modern yang terdapat dalam film animasi Jepang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books. Ayuningsih, Trie Kartika. 2013. “Cara Pandang Antroposentris pada Tokoh Eboshi dan Ekosentris pada Tokoh Ashitaka dalam Anime Mononoke Hime Karya Sutradara Miyazaki Hayao” (Skripsi). Surabaya: Universitas Brawijaya. Bak, Mikyung. Animism Inside Japanese Animations. www.kyoto-seika.ac.jp/ cumulus/e.../s2_4.pdf diakses 15 Oktober 2014 Beasley, W.G. 2003. Pengalaman Jepang Sejarah Singkat Jepang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Bellah, Robert N. 1992. Religi Tokugawa Akar-Akar Budaya Jepang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bhartes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi. Terjemahan Stephanus Aswar Herwinarko. L’aventure Semiologique. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Chandra, T. 2004. Kamus Indonesia-Jepang. Jakarta: Kursus Bahasa Jepang Evergreen. Chandra, T. 2007. Mengenal Kanji. Jakarta: Kursus Bahasa Jepang Evergreen. Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra. Djam’annuri. 1981. Agama Jepang. Yogyakarta: PT.Bagus Arafah. Durkheim, Emile. 1990. Pendidikan Moral. (Drs. Lukas Ginting Pentj). Jakarta: Erlangga. Edizal. 2010. Tutur Kata Manusia Jepang. Padang: Kayupasak. Fukutake, Tadashi. 1997. Nihon Shakai no Koozoo (Anak, Sekolah, Masyarakat). Tokyo: Tokyo Daigaku Shuppan. Garcia, Hector. 2010. A Geek in Japan Discovering The Land of Manga, Anime, Zen, and The Tea Ceremony. Singapore: Tuttle Publishing. Ghazali, Adeng Muchtar. 2011. Antropologi Agama. Bandung: Alfabeta. Hidayat, Herman. 2011. Politik Lingkungan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta. Hori, Iku. 2008. Watashitachi wa shizen to kyōsei dekiru no ka? : “Mononoke hime” no tetsugaku-teki kōsatsu (Apakah mungkin untuk hidup dalam harmoni dengan alam kita? : pertimbangan filosofis dari "Mononoke Hime". http://ci.nii.ac.jp/naid/110007151074 diakses 13 Februari 2014. Iwamoto, Yoshiteru. 1997. Ie to Kyoudoutai (Ie dan Kerja Sama). Tokyo: Housei Daigaku Shuppan. Kano, Seiji. 1997. Mononoke Hime Kisochishiki. http:// www.yk.rim.or.jp. diakses 5 Februari 2013. Kawamoto, Akira. 1973. “Ie” no Kouzou. (Struktur “Ie”). Tokyo: Shakai Shisousha. Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Madubrangti, Diah. 2008. Undokai: Ritual Anak Sekolah Jepang dalam Kajian Kebudayaan. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
McCarthy, Helen. 1999. Hayao Miyazaki: Master of Japanese Animation. Berkeley: Stone Bridge Press. McDonald, Roslyn. 2004. Studio Ghibli Feature Films and Japanese Artistic Tradition. http://www.nausicaa.net/miyazaki/essay/files/ RoslynMcDonald_Ghibli.pdf. diakses 6 Februari 2013 Miyata, Noboru. 1990. Youkai no Minzokugaku; Nihon no Mienai Kuukan. Tokyo: Iwanami Shoten. Moeliono, Anton. M. et.all. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Napier, Susan. 2001. Anime: From Akira to Princess Mononoke. New York: Palgrave. Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Polloma, Margaret M. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Prabowo, Angelia Roberto Masami. 2013. “Analisis Feminisme Radikal dalam Film Animasi Mononoke Hime”. (Skripsi). Jakarta: Universitas Bina Nusantara Ratna, I Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ross, Floyd Hiat. 1983. Shinto The Way of Japan. Conneticut: Greenwood Press. Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana. Sonny Keraf, A. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Sudjianto dan Ahmad Dahidi. 2007. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang. Jakarta: Kesaint Blanc. Sukoco, Bendol. Storyboard adalah sketsa gambar yang disusun berurutan sesuai dengan naskah. http://www.academia.edu/5703629/ Storyboard_adalah_sketsa_gambar_yang_disusun_berurutan_sesuai_dengan _naskah diakses 26 Juli 2014. Susan, Novri. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana. Susilo, Rachmad K. Dwi. 2012. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Rajawali Pers. Sutaryono, 2008. Pemberdayaan Setengah Hati: Subordinasi Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Hutan. Yogyakarta: STPN & Lapera Pustaka Utama. Takashi, Shiraishi. et. all. 2006. Understanding Mononoke Over the Ages. Jurnal Japan Echo Volume 33 No.5, October 2006 http://www.japanecho.com/ sum/2006/330516.html diakses 16 Oktober 2014. Taniguchi, Goro. 2000. Kamus Standar Bahasa Jepang - Indonesia. Jakarta : Dian Rakyat. Yamakawa. 1990. Ryuu Gakusei no Tame no Nihon no Rekishi. Tokyo: Tokyo University of Foreign Studies. Youko, Kawamono. 1996. Japanese History 11 Expert Reflect On The Past. Kodansha : Japan.
Film dan Referensi Miyazaki, Hayao. 1997. Mononoke Hime. Studio Ghibli. (dalam bentuk DVD) Daimyou. http://id.wikipedia. org/wiki/ Daimyo diakses 6 Juni 2014. Hayao Miyazaki dan Studio Ghibli. http://tipsindonesia.com/hayao-miyazaki-danstudio-ghibli/ diakses 20 Juni 2014. Inugami. http://id.wikipedia.org/wiki/Inugami diakses 18 Oktober 2014. Kodama. http://hyakumonogatari.com/2012/08/05/kodama-the-tree-spirit/ diakses 11 Oktober 2014. Mononoke Hime FAQ. http://www.nausicaa.net/miyazaki/mh/faq.html diakses 9 Juli 2014. Pengertian Film Animasi. http://www.referensimakalah.com/2013/01/pengertianfilm-animasi.html diakses 7 Oktober 2014. Princess Mononoke. http://www.nausicaa.net/wiki/Princess_Mononoke diakses 6 Februari 2013. Shimenawa. http://id.wikipedia.org/wiki/Shimenawa diakses 6 Juni 2014. Shogun. http://id.wikipedia.org/wiki/Shogun diakses 12 Agustus 2014. Tatara. https://www.hitachi-metals.co.jp/e/tatara/index.htm. Diakses 9 Juli 2014. Utopia. http://id.wikipedia.org/wiki/Utopia diakses 10 Juli 2014. Waraha. http://id.wikipedia.org/wiki/Waraha diakses 18 Oktober 2014.
LAMPIRAN BIOGRAFI HAYAO MIYAZAKI Hayao Miyazaki lahir di Tokyo, Jepang pada 5 Januari 1941. Beliau adalah seorang sutradara film animasi, penulis komik, dan salah seorang pendiri studio animasi bernama Studio Ghibli. Di antara film-film animasi Miyazaki, film Princess Mononoke dan Spirited Away yang tersukses di Jepang dalam sejarah. Beberapa tokoh yang memiliki pengaruh pada karya Miyazaki adalah Ursula K. Le Guin, Lewis Carroll, Diana Wynne Jones, dan Jean Giraud. Saat masih kecil, Miyazaki sering menggambar pesawat terbang karena ayahnya merupakan direktur di sebuah perusahaan pembuat pesawat terbang. Ibunya yang gemar membaca dan mempunyai rasa keingintahuan yang besar kelak turut memengaruhi sifat Miyazaki pula. Pada tahun ketiga di sekolah menengah, Miyazaki menonton Hakujaden yang disebut sebagai film animasi layar lebar berwarna pertama Jepang dan mulai tertarik kepada dunia animasi. Tahun 1963 ia lulus dari Universitas Gakushuin dengan gelar dalam bidang ilmu politik dan ekonomi. Pada April 1963 ia menjadi seniman antara (menggambar adegan-adegan antara dua adegan penting atau keyframe) untuk film animasi Wanwan Chushingura di Toei. Tahun 1965 ia menikahi Akemi Ota, yang juga seorang animator dan kelak memeroleh dua anak, Goro (yang kemudian menjadi animator di Studio Ghibli) dan Keisuke. Miyazaki diangkat menjadi animator kepala, seniman konsep, dan perancang adegan untuk film Hols: Prince of the Sun (1968) yang juga merupakan salah satu karya penting Isao Takahata. Isao terus menjadi kolaborator Miyazaki sepanjang tiga dekade selanjutnya. Setelah berperan penting dalam beberapa film animasi Toei, pada tahun 1971 ia bergabung dengan A Pro, ia menjadi salah seorang sutradara enam episode pertama seri Lupin III bersama dengan Takahata. Film Miyazaki selanjutnya, yaitu Nausicaä of the Valley of the Wind (Kaze no Tani no Naushika, 1984) merupakan sebuah film petualangan yang memperkenalkan berbagai tema yang akan hadir kembali pada film-filmnya yang berikutnya: kekhawatiran terhadap ekologi, ketertarikan kepada pesawat terbang, dan penokohan-penokohan yang bermoral ambigu, khususnya di antara tokohtokoh musuh. Ini adalah film pertama yang ditulis dan disutradarai Miyazaki, hasil adaptasi dari komik yang dikarangnya juga. Setelah kesuksesan Nausicaä of the Valley of the Wind, Miyazaki mendirikan Studio Ghibli dengan Takahata dan memproduksi hampir seluruh karyanya setelah itu melalui Studio Ghibli reputasinya terus berkembang seiring dengan film-film barunya, antara lain Laputa: Castle in the Sky (1986), My Neighbor Totoro (1988), Kiki's Delivery Service (1989), dan Porco Rosso (1992).
Film berikutnya, yaitu Princess Mononoke (Mononoke Hime, 1997) menjadi film tesukses di Jepang sebelum rekor ini diungguli film Titanic. Mononoke Hime juga dianugerahi gelar Film Terbaik pada Penghargaan Film Jepang. Miyazaki memutuskan untuk pensiun setelah itu. Namun, kala berlibur ia bertemu dengan putri seorang temannya, yang menjadi inspirasi Miyazaki bagi film animasi Spirited Away (Sen to Chihiro no Kamikakushi, 2001). Film ini sukses besar di Jepang dan mendapatkan gelar Film Terbaik di Penghargaan Film Jepang, Penghargaan Beruang Emas di Festival Film Berlin (2002), serta Film Animasi Terbaik dalam Academy Awards (2002). Miyazaki kembali keluar dari masa pensiun pada film Howl's Moving Castle setelah sutradaranya, Mamoru Hosoda, menarik diri dari film tersebut. Pada tahun 2005 Miyazaki dianguerahi gelar Penghargaan Kehormatan Seumur Hidup pada Festival Film Venesia. Film terbarunya, yaitu Ponyo on the Cliff by the Sea (Gake no ue no Ponyo) dirilis pada 19 Juli 2008. Berikut ini adalah ciri khas film animasi karya Hayao Miyazaki yang menjadi keunggulannya. 1. Tokoh Protagonis Miyazaki selalu mengangkat sosok gadis kecil dalam film-filmnya. Mereka tampil dengan karakter yang berani, mandiri, dan aktif. Akan tetapi, Hayao juga menyertakan bocah laki-laki kecil dalam beberapa animasinya sebagai tokoh utamanya. Intinya, anak-anak adalah subjek khas Hayao dalam film-filmnya. Ini bisa dilihat dalam film Spirited Away, Ponyo, dan My Neighbour Totoro. Ciri khas dan keunggulan Hayao, yaitu hadirnya tokoh gadis kecil yang energik dan mandiri dalam film-filmnya. Ini bisa jadi adalah penyataan Hayao bahwa wanita sebagai kaum yang lemah, tetapi seiring dengan proses dalam film ini, mereka akhirnya memiliki keberanian dan kekuatan sampai berubah menjadi sosok yang lebih dewasa. Hal ini tampak jelas dalam film Nausicaa, Spirited Away, My Neighboor Totoro, Kiki’s Delivery Service, Ponyo, Arriety, dan lain-lain. Sosok gadis kecil ini pun terkadang digambarkan sebagai gadis yang polos atau lucu nan menggemaskan. Hayao memiliki kelebihan dalam menggambar gerak serta keluwesan anak-anak kecil. Karya Hayao dapat dikatakan sangat mendukung feminisme karena di sini perempuan diberikan hak untuk dapat bertahan dan membuat perubahan dalam masalah yang dihadapi. Ini menjadi semacam pernyataan Hayao terhadap kekurangan dalam budaya asia, khususnya Jepang, yaitu budaya patriarki masih mendominasi negara-negara di Asia. Hayao sendiri pernah hidup pada sebuah zaman ketika Jepang terlibat perang dunia ke-2 dan akhirnya diluluhlantakkan oleh bom atom akibat peperangan yang didominasi oleh kaum laki-laki . Hayao lahir tahun 1941 dan besar dengan film-film animasi yang berkembang pascapeledakan bom Hiroshima dan Nagasaki. Tema-temanya banyak menceritakan penderitaan akibat ledakan bom atom tersebut seperti pada film
Grave Of The Fireflies. Dari sinilah, hati kecilnya terpanggil untuk menyuarakan perdamaian melalui filmnya dan Hayao memilih figur gadis kecil sebagai simbol penggerak perdamaian tersebut. Ia melihat bahwa dominasi orang-orang dewasa, khususnya laki-laki sebagai pihak penguasa dan militer telah menyebabkan perang besar dan kerugian, baik secara material maupun psikis bagi negaranya. Meskipun seorang pesimistis, Hayao tidak ingin rasa pesimis ini dibagikan kepada anak-anak. Ia merasa anak-anak berhak menciptakan cara pandang mereka sendiri terhadap dunianya. 2. Tokoh Antagonis Ciri khas kedua dalam film Hayao adalah kekhasan pada tokoh antagonisnya. Inilah yang membuat filmnya digemari karena tokoh-tokoh yang seharusnya bersifat jahat, tetapi ternyata memiliki sisi hati yang baik. Misalnya saja dalam Spirited Away, sang nenek penyihir Yubaba meskipun jahat, ternyata sangat penyayang terhadap bayi kecilnya. Hayao sangat pandai memainkan hal ini, bahkan terkadang sang tokoh yang antagonis bisa turut memberikan lelucon sehingga menimbulkan rasa simpatik juga terhadap tokoh tersebut. Misalnya saja dalam film Porco Rosso dan Castle In The Sky. Pendekatan ini nantinya bisa membuat Hayao menyampaikan pesan cinta kasih universal, yaitu mencintai orang lain, bahkan musuh-musuh kita sekalipun. Pendekatan ini juga yang membuat kita bisa menerima alur cerita yang seperti ini, yakni tokoh antagonis bisa menjadi tokoh yang dikasihani, bahkan menghibur. Banyak tokoh antagonis tersebut yang justru bekerja sama dengan tokoh protagonis pada akhir cerita, misalnya tokoh bajak laut udara dalam film Castle In The Sky dan menyadari kesalahannya setelah melihat pengorbanan sang tokoh protagonis dalam film Nausicaa Valey of The Wind. Hal ini jugalah yang membedakan karya Hayao dengan film animasi lainnya. Film animasi anak-anak umumnya harus bercerita sangat jelas siapa yang menjadi jagoan dan penjahat. Namun, Hayao mengaburkan hal ini dengan tujuan menciptakan resolusi non kekerasan. Jadi, dari sini terlihat bahwa karya animasi Hayao bukan sekadar kartun untuk konsumsi anak-anak. 3. Tema-Tema dalam film Tema-tema film Hayao sangat kental dengan suasana penghormatan terhadap alam dan kearifan lokal (budaya masyarakat sekitarnya dalam menjaga keseimbangan alam). Kedekatannya dengan tema ini tampak dari bagaimana cara ia menggambarkan latar film dengan detail alam di mana tokoh berada. Hayao membuat tampilannya selayaknya sebuah lukisan pemandangan. Bahkan, bentuk gambar alam yang ditawarkan memberikan rasa “mistis dan magis” khas ketimuran (kebijakan masyarakat Asia dalam penghormatan terhadap alam dan roh leluhur).
Hayao tidak main-main dengan tema alam ini. Itulah sebabnya film Hayao tidak bisa disamakan dengan kartun yang hanya sekadar konsumsi anakanak. Meskipun menghibur, tema besar di baliknya sangat mendorong kita untuk melihat alam bukan sebagai objek eksploitasi, melainkan sahabat untuk dijaga, seperti dalam film Princess Mononoke dan My Neighboor Totoro. Misalnya dalam film animasi pada masa awal-awal beliau berkarya, Nausicaä of the Valley of the Wind ( 1984 ), tampak jelas di sana, Hayao sudah menancapkan pernyataannya bahwa alam bukanlah musuh atau objek eksploitasi, melainkan sahabat sekaligus warisan pencipta yang patut dihargai. Selain tema alam, Hayao juga sering menyentuh tema kekeluargaan. Bahkan beberapa filmnya yang kurang dikenal menggambarkan tema-tema kekeluargaan. Tema berikutnya yang cukup kental adalah terkait dengan petualangan di udara. Ini terkait dengan masa kecil dan hobi Hayao yang sering membantu ayahnya menggambar bentuk-bentuk rancangan pesawat, seperti dalam film Laputa : Castle In The Sky, Porco Rsso, dan Kiki’s Delivery Service. 4. Musik dan Efek Bekerja bersama pembuat musik andalannya, Joe Hisaishi, Hayao mengeksplorasi berbagai bunyi alam dan musik-musik lokal Asia seperti dalam salah satu adegan pengejaran di film Spirited Away, yaitu tokoh utama Chihiro dikejar Roh Tanpa Wajah, terdengar bunyi alunan khas musik Bali. Musik yang ditawarkan Hayao terkadang bersifat magis dan mistis sesuai dengan gambaran cerita dan latar alamnya, suara vokalnya pun cenderung khusyuk dan syahdu untuk didengar. Bahkan, untuk setiap karakter makhluk mistisnya, misalnya para roh alam atau dewa alam, ia menghadirkan mereka dengan bunyi efek yang khas. Seolah memberikan pernyataan bahwasanya mereka ada atau hadir di dunia kita meskipun tidak terlihat secara mata, dapat didengar suaranya dalam batin kita yang selaras dengan alam. Suatu pernyataan yang sangat kental dengan budaya leluhur Asia, yaitu menghargai dan berkomunikasi dengan alam. 5. Karakter Lucu Banyak karakter binatang dan monster rekaan Hayao yang tampil dengan lucu, bahkan memiliki karakter yang unik. Misalnya saja dalam film My Neighboor Totoro ada dua binatang kecil dan satu Totoro yang besar tampak menggemaskan. Selain itu, dalam film Ponyo ada ikan-ikan kecil berwajah manusia yang lucu. Ini menjadi daya jual sendiri bagi animasi-animasi garapan Hayao. Mungkin ini juga yang membuat animasi Hayao mendapat tempat di hati anak-anak meskipun tema yang disodorkan sebenarnya sangatlah serius. Film-filmnya juga kaya akan warna, khususnya warna keindahan dan keragaman alam.
6. Percintaan Meskipun tokoh-tokoh utama dalam film Hayao kebanyakan muncul dengan pasangannya, misalnya gadis kecil dengan bocah pria seusianya dan lain-lain. Namun, sama seperti kehadiran tokoh antagonis yang seolah jahat, tetapi baik juga (ambigu), di sini Hayao juga membuat kedua tokoh atau pasangan tersebut seolah saling mencintai, tetapi seolah juga tidak hanya bersahabat. Seiring dengan proses film berjalan, chemistry antara kedua tokoh ini justru memperteguh emosi persahabatan dibandingkan dengan kisah percintaan mereka sehingga banyak filmnya yang menjadi layak untuk dikonsumsi oleh anak-anak yang masih kecil sekalipun. Awalnya penonton seolah dibawa kepada romantika kedua tokoh. Perlahan mereka menemukan bahwa yang mengikat kedua tokoh bukanlah romantika, melainkan unsur persahabatan, ketulusan, dan kepolosan sebagai bagian dalam dunia anak-anak. 7. Tokoh-Tokoh yang Sering Muncul Beberapa tokoh yang menjadi ciri khas dan selalu muncul dalam film Hayao Miyazaki adalah, sebagai berikut. a. Kucing dan babi Khususnya kucing, hewan ini paling sering muncul dalam film-film Hayao, sebagai tokoh dengan kekuatan mistis. Sebaliknya, hewan babi muncul sebagai bentuk hukuman terhadap karakter buruk seorang tokoh atau kutukan alam. b. Nenek Ada figur nenek yang tampak lembut dan ada juga yang tampak sebagai nenek lincah dan antagonis. Jadi, mereka hadir sebagai sosok keibuan dan penuh kasih sayang kepada tokoh utama. Namun, di satu sisi lain mereka juga hadir sebagai tokoh wanita yang kuat, bahkan mengambil alih pimpinan dalam sebuah usaha atau kelompok kejahatan, seperti dalam film Spirited Away dan Castle In The Sky. c. Kaki tangan tokoh antagonis yang konyol Mereka acap kali menjadi penghibur kita, lelaki bertubuh bongsor dan kadang brewokan, tetapi sangat konyol dan lucu. Ini menjadikan kita melihat sosok tokoh antagonis sebagai orang yang ternyata lemah, konyol, dan bisa memberikan rasa simpatik juga seperti tokoh anak-anak sang Bajak Laut Udara dalam film Castle In The Sky dan Hantu Tanpa Wajah dalam Spirited Away. d. Dewa dan dewi alam Meskipun sosok dewa dan dewi alam digambarkan besar dan menyeramkan ada kesan anggun, bahkan indah. Akan tetapi, tetap saja kekuatan dewa-dewi dan roh penjaga alam ini bisa terancam oleh keserakahan manusia. Suatu simbolis yang menggambarkan bahwa keserakahan manusia bisa menghancurkan apa saja termasuk keindahan dan keharmonisan yang sudah dijaga oleh sang Pencipta.
e. Kakek-kakek tua yang acap kali menjadi penolong tokoh protagonis Sebagaimana peran para lansia di negara-negara Asia yang memberikan pencerahan atau petuah atau petunjuk, kepada yang lebih muda, dalam film-film Hayao keberadaan tokoh kakek-kakek ini juga muncul sebagai orang yang memberikan petunjuk, seperti tokoh kakek bertangan banyak dalam film Spirited Away dan kakek penjelajah gua dalam Castle In The Sky. Film animasi Hayao bukanlah sekadar film anak-anak. Karya-karyanya juga memiliki konten dan pesan yang jauh lebih mendalam. Dalam gambar bergeraknya, ia memberikan pesan kepada dunia untuk menjaga kearifan lokal dan keindahan alam di sekitar kita. Jarang sekali seorang sutradara bisa menyampaikan pesan yang berat (pelestarian alam), tetapi dibalut dengan cerita yang cukup menyentak dan sekaligus menghibur.
Filmografi Sutradara, skenario, dan storyboard
Future Boy Conan, 1978 The Castle of Cagliostro (Lupin III), 1979 Sherlock Hound, 1982 Nausicaä of the Valley of the Wind, 1984 Laputa: Castle in the Sky, 1986 My Neighbor Totoro, 1988 Kiki's Delivery Service, 1989 Porco Rosso, 1992 On Your Mark, video klip pendek Princess Mononoke, 1997 Spirited Away, 2001 Howl's Moving Castle, 2004 Ponyo on the Cliff by the Sea, 2008